2 TINJAUAN PUSTAKA
Tuna mata besar termasuk jenis tuna besar, sirip dada cukup panjang pada
individu yang besar dan menjadi sangat panjang pada individu yang sangat kecil.
Warna bagian bawah dan perut putih, garis sisi pada ikan yang hidup seperti
sabuk berwarna biru membujur sepanjang badan, sirip punggung pertama
berwarna kuning terang, sirip punggung kedua dan sirip dubur berwarna kuning
muda, jari-jari sirip tambahan (finlet) berwarna kuning terang, dan hitam pada
ujungnya. Panjang cagak maksimum lebih dari 200 cm, pada umumnya 180 cm.
Ukuran layak tangkap pada ikan dimulai pada saat ikan telah dewasa
mencapai ukuran tertentu dan telah memijah untuk pertama kali (length at first
maturity – Lm). Terdapat beberapa hasil penelitian tentang ukuran pertama kali
matang gonad (Lm) ikan tuna mata besar dengan hasil yang bervariasi. Menurut
8
Nugraha dan Mardlijah (2006) bahwa ukuran Lm tuna mata besar di Laut Banda
untuk ikan jantan 146,1 cm dan betina 133,5 cm. Nootmorn (2004) di Western
Indian Ocean untuk Lm jantan 86,85 cm dan betina 88,08 cm. Farley et al.
(2003) di Samudera Hindia Lm ikan tuna mata besar 102,4 cm. Sedangkan pada
Fish base ukuran Lm berkisar 100 – 125 cm.
Fukofuka dan Itano (2006), menyatakan bahwa tuna mata besar
mempunyai ciri-ciri luar sebagai berikut :
• Sirip ekor mempunyai lekukan yang dangkal pada pusat celah sirip ekor.
• Setelah dewasa matanya relatif besar dibandingkan dengan tuna yang lain.
• Profil badan seluruh bagian dorsal dan ventral melengkung secara merata.
• Sirip dada pada ikan dewasa, 1/4 - 1/3 kali fork length (FL).
• Sirip dada pada ikan yuwana lebih panjang dan selalu melewati belakang
sebuah garis yang digambar di antara tepi-tepi anterior sirip punggung kedua
dan sirip anal.
• Ikan-ikan < 75 cm (10 kg) mempunyai sirip dada yang lebih panjang dari pada
tuna sirip kuning dari ukuran-ukuran yang sebanding.
• Ikan-ikan yuwana sering mempunyai 7-10 strip-strip yang berwarna putih dan
tidak terputus-putus, menyilang tegak lurus pada sisi-sisi bagian bawah, jauh
lebih sedikit dibandingkan dengan tuna sirip kuning.
Papua. Semua jenis tuna terdapat di Indonesia kecuali tuna sirip biru utara dan
tuna sirip hitam, karena tuna sirip biru utara menghuni Samudera Pasifik dan
Atlantik, sedangkan tuna sirip hitam hanya terdapat di Samudera Atlantik
(Uktolseja, 1988).
layer, dan kekuatan dari gradien suhu pada termoklin. Banyak dari mereka
umumnya ditemui di bagian atas dari kedalaman 100 meter pada kolom air di area
dimana cukup oksigen. Dibawah termoklin kandungan oksigen sangat rendah
biasanya dibawah 2 ml/l sehingga ikan perenang cepat ini jarang ditemukan.
Mereka biasanya bergerombol sesuai ukuran baik bersama spesies sejenis maupun
dengan spesies lain.
Terdapat beberapa hasil penelitian tentang ukuran pertama kali matang
gonad (Lm) ikan tuna sirip kuning dengan hasil yang bervariasi. Menurut
Mardlijah (2008) bahwa ukuran Lm tuna sirip kuning di Perairan Marisa
(Sulawesi Utara) untuk ikan betina 94,8 cm dengan kisaran 89,2 – 100,9 cm.
Zubaidi (1994) di Perairan Maluku untuk Lm jantan 118,7 cm dan betina 113 cm.
Sedangkan pada Fish base ukuran Lm berkisar 107,5 cm.
Fukofuka dan Itano (2006) menyatakan ciri-ciri morfologi tuna sirip
kuning adalah sebagai berikut :
Morfologi badan
• Badan memanjang dengan ekor panjang.
• Garis besar badan datar antara sirip punggung kedua dengan sirip ekor,
dan antara sirip anal dengan sirip ekor.
Tanda-tanda Badan
• Pola chevron yang mencolok dari garis-garis yang berwarna keperakan
yang jaraknya berdekatan.
• Garis-garis penuh yang diselang-selingi dengan baris-baris dari titik-titik.
• Pola garis meluas dari ekor, ke arah depan sampai di bawah sirip dada dan
ke atas garis tengah sisi.
Badan bagian anterior di bawah dada tuna sirip kuning
• Pita-pita mencolok berselang-seling mengarah ke depan dan bawah sirip
dada.
• Batas pemisah antara daerah bertanda dan tidak bertanda sangat jelas.
Pewarnaan
• Tuna sirip kuning segar memperlihatkan suatu pita pada tengah sisi
berwarna kuning terang.
11
• Punggung berwarna hitam gelap, terpisah dari warna emas oleh suatu pita
biru tipis.
• Sirip-sirip kuning sampai kekuning-kuningan, sirip anal kadang-kadang
tersepuh dengan perak.
• Bagian sisi dan perut putih keperakan.
Panjang sirip dada
• Sirip dada pendek, hanya mencapai sirip punggung kedua.
• Sirip dada lebih tebal, lebih kaku dan membulat pada ujungnya.
Morfologi kepala dan mata
• Panjang dan lebar kepala versus panjang cagak lebih pendek dari bigeye
• Garis tengah mata lebih kecil dibandingkan dengan tuna mata besar pada
panjang cagak yang sama.
Sirip ekor
• Bagian pusat dari tepi ”trailing” membentuk lekukan yang nyata.
• Ada dua punggung menonjol yang membentuk lekukan V atau M.
Pewarnaan pada finlet
• Kuning terang tidak ada warna hitam pada pinggir-pinggirnya.
(Uktolseja et al., 1991). Jenis ini menyebar di perairan dengan suhu yang berkisar
antara 17-31 oC dengan suhu optimum yang berkisar antara 19-23 oC (Nontji,
1987), sedangkan suhu yang baik untuk kegiatan penangkapan berkisar antara 20-
28 oC (Uda, 1952 dalam Laevastu dan Hela, 1970).
Pergerakan migrasi kelompok ikan sirip kuning di wilayah perairan
Indonesia mencakup wilayah perairan pantai, teritorial dan Zona Ekonomi Eklusif
(ZEE) Indonesia. Keberadaan mereka di suatu perairan sangat bergantung pada
beberapa hal yaitu kondisi hidro-oseanografi perairan. Pada wilayah perairan ZEE
Indonesia, migrasi jenis ekor kuning di perairan Indonesia merupakan bagian dari
jalur migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan
perbatasan perairan antara samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Spesies sirip kuning yang berukuran besar biasanya bergerombol dengan
lumba-lumba. Ikan ini mendiami perairan yang hangat di Atlantik, Pasifik, dan
Laut Indian. Di Atlantik Barat spesies ini ditemukan dari Massechusetts sampai
Brazil, termasuk Teluk Meksiko dan Caribean. Migrasi tuna sirip kuning di
Pasifik terjadi terus menerus antara Pasifik Timur dan Barat maupun Pasifik Utara
dan Selatan.
Kingdom : Animalia
Sub Kingdom : Metazoa
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Class : Pisces
13
Gunarso (1985) menyatakan bahwa suhu yang ideal untuk ikan cakalang
antara 26-32 °C, dan suhu yang ideal untuk melakukan pemijahan 28–29 °C
dengan salinitas 33% . Sedangkan menurut Jones dan Silas (1962) cakalang hidup
pada temperatur antara 16–30 °C dengan temperatur optimum 28 °C.
Karneym (1978) yang diacu dalam Nahib (2008) menyatakan bahwa
penyebaran cakalang di Samudera Pasifik terdapat di seluruh daerah tropis, sub
tropis dengan batas garis lintang 40° tetapi kepadatan yang memungkinkan
diadakan penangkapan dibatasi oleh isotherm 20 °C. Waldron (1962) menyatakan
bahwa ikan cakalang masih terdapat pada 40° LS dengan suhu 15 °C, sedangkan
penyebaran tropical antara 30° LU sampai 20° LS, akan tetapi fishing ground
terbesar berada sepanjang katulistiwa 10° LU dan 10° LS.
Cakalang menyebar luas di seluruh perairan tropis dan subtropis.
Penyebaran jenis-jenis tuna dan cakalang tidak dipengaruhi oleh perbedaan garis
bujur (longitude) tetapi dipengaruhi oleh perbedaan garis lintang (latitude)
(Nakamura, 1969). Di Samudera Hindia dan Samudera Atlantik menyebar di
antara 40º LU dan 40º LS (Collete dan Nauen, 1983). Khususnya di Indonesia,
tuna hampir didapatkan menyebar di seluruh perairan di Indonesia. Di Indonesia
bagian barat meliputi Samudera Hindia, sepanjang pantai utara dan timur Aceh,
pantai barat Sumatera, selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Di Perairan
Indonesia bagian timur meliputi Laut Banda Flores, Halmahera, Maluku,
Sulawesi, perairan Pasifik di sebelah utara Irian Jaya dan Selat Makasar
(Uktolseja et al. 1991).
15
Di Indonesia ada dua jenis rumpon, yaitu: a) rumpon laut dangkal, yang
dipasang pada kedalaman kurang dari 100 meter dan biasanya untuk perikanan
pelagis kecil, dan b) rumpon laut dalam, yang dipasang pada kedalaman lebih dari
600 meter (Baskoro dan Effendy, 2005).
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Per.02/Men/2011) tentang
jalur penangkapan ikan, penempatan alat penangkapan ikan, dan alat bantu
penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan negara republik Indonesia,
menyebutkan bahwa rumpon merupakan alat bantu untuk mengumpulkan ikan
dengan menggunakan berbagai bentuk dan jenis pemikat/atraktor dari benda padat
yang berfungsi untuk memikat ikan agar berkumpul. Terdiri dari: a) rumpon
hanyut, merupakan rumpon yang ditempatkan tidak menetap, tidak dilengkapi
dengan jangkar dan hanyut mengikuti arah arus; dan b) rumpon menetap,
merupakan rumpon yang ditempatkan secara menetap dengan menggunakan
jangkar dan/atau pemberat.
Lebih lanjut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
(Per.02/Men/2011), menyebutkan bahwa rumpon menetap terdiri dari: 1) rumpon
permukaan, merupakan rumpon menetap yang dilengkapi atraktor yang
ditempatkan di kolom permukaan perairan untuk mengumpulkan ikan pelagis; dan
2) rumpon dasar, merupakan rumpon menetap yang dilengkapi atraktor yang
ditempatkan di dasar perairan untuk mengumpulkan ikan demersal.
Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 51/Pkts/IK.250/I/1997 tentang
pemasangan dan pemanfaatan rumpon, rumpon didefinisikan sebagai alat bantu
penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut. Berdasarkan
tempat pemasangan dan pemanfaatan rumpon, dikatagorikan ada 3 jenis rumpon,
yaitu: a) rumpon perairan dasar adalah alat bantu penangkapan ikan yang
dipasang dan ditempatkan pada dasar perairan laut; b) rumpon perairan dangkal
adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan
laut dengan kedalam sampai 200 meter; c) rumpon perairan dalam adalah alat
bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut lebih
dari 200 meter.
Studi yang dilakukan Gafa et al. (1987) menunjukkan bahwa rumpon
selain merupakan alat bantu pengumpul ikan tuna cakalang dan jenis ikan lainnya,
18
juga berfungsi sebagai penghambat laju pergerakan ikan bermigrasi serta sebagai
tempat mencari makan, memijah dan berlindung, sehingga ikan akan berada
disekitar rumpon untuk waktu yang lebih lama.
Menard et al. (2000a) mengemukakan bahwa rumpon selain sebagai
tempat berlindung (refuge), rantai makanan (trophic function) dan titik temu
(meeting point) juga berfungsi sebagai tempat berasosiasi (associated) terhadap
jenis ikan pelagis lainnya seperti layaran (billfish) dan hiu (shark).
Samples dan Sproul (1985) menyatakan bahwa keberadaan ikan di sekitar
rumpon disebabkan oleh: a) rumpon sebagai tempat berteduh (shading place) bagi
beberapa jenis ikan tertentu; b) rumpon sebagai tempat mencari makan (feeding
ground) bagi ikan-ikan tertentu; c) rumpon sebagai tempat berlindung dari
predator bagi ikan-ikan tertentu; d) rumpon sebagai titik acuan navigasi
(reference point) bagi ikan-ikan tertentu yang beruaya; e) rumpon sebagai sustrat
untuk meletakkan telurnya bagi ikan-ikan tertentu. Lebih lanjut menurut
Gooding dan Magnuson (1967) dinyatakan bahwa rumpon juga berfungsi sebagai
stasiun pembersih (cleaning place) bagi ikan-ikan tertentu.
Dagorn et al. (2000b) menyatakan bahwa tropical tuna terutama jenis
cakalang, tuna mata besar dan tuna sirip kuning berasosiasi dengan benda
terapung di permukaan perairan. Menard, et al. (2000a) mengatakan bahwa hasil
tangkapan ikan disekitar rumpon dengan purse seine terdiri dari jenis cakalang
yang bercampur dengan tuna mata besar dan tuna sirip kuning tuna dengan ukuran
yang hampir seragam yaitu sekitar 46 cm. Sedangkan hasil riset yang dilakukan
Josse dan Bertrand (2000a) dengan tonda untuk tuna mata besar 50 cm dan tuna
sirip kuning 56 cm. Josse et al. (2000b) dengan tonda untuk tuna mata besar dan
tuna sirip kuning didominasi oleh ukuran 50 cm.
Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 51/kpts/ik.250/1/97, tentang
pemasangan dan pemanfaatan rumpon, menyatakan bahwa rumpon dipasang
dengan jarak pemasangan 10 mil laut antara rumpon satu dengan rumpon lainnya.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kleiber and Hampton (1994), Dragon et al.
(2000a) yang menyatakan bahwa pengaruh FADs berada pada radius 9 km ( 5
nmil), dengan asumsi pengaturan jarak antar FAD 18 km ( 10 nmil).
19
Lebih lanjut Dagorn et al. (2000b) meyatakan bahwa ikan tuna mampu
mendeteksi keberadaan mangsa dan FADs hingga jarak 1,8 km ( 1 nmil), tetapi
ikan tersebut hanya mengetahui arah menuju FADs dan tidak mengetahui jarak ke
FADs tersebut. Berdasarkan beberapa hasil penelitian rumpon yang diacu dalam
Dagorn et al. (2000b) menyatakan bahwa radius area pengaruh FADs berkisar 4 –
7 nmil (7–13 km) (Holland et al., 1990; Cayré, 1991) and model (Hilborn and
Medley, 1989; Kleiber and Hampton, 1994).
Menard et al. (2000b) dan Dagorn et al. (2000a) menyatakan bahwa ikan
tuna kecil yang berasosiasi dengan FADs akan mengurangi aktivitas renangnya
dibandingkan dengan yang berada di laut terbuka sehingga lebih mudah untuk
ditangkap. Lebih lanjut Menard et al. (2000b) menyatakan bahwa pemanfaatan
rumpon secara besar-besaran akan merubah pola migrasi dan pertumbuhan ikan,
yang berpengaruh pada produksi dan distribusi geografis. FADs mempunyai
keterbatasan pengaruh langsung terhadap ekosistem, sehingga pemanfaatannya
yang intensif dapat berpengaruh negative pada yield per – recruitment.
Hasil penelitian Josse et al. (2000b) dengan menggunakan perangkat
akustik sebanyak 16 kali ulangan menunjukkan bahwa schooling ikan tuna kecil
pada strata kedalaman 10 – 50 meter merupakan area dengan kepadatan dan
jumlah schooling terbesar pada jarak horizontal kurang dari 200 meter (0,0 – 0,1
nmil) dari FADs yang kemudian terus menurun dengan nilai kepadatan minimum
ditemukan antara 0,5 – 0,6 nmil dari FADs.
Dalam menentukan lokasi pemasangan rumpon kita harus memperhatikan
faktor-faktor kondisi lingkungan perairan yang disukai oleh jenis ikan tuna dan
cakalang yang menjadi target utama penangkapan. Supadiningsih dan Rosana
(2004) menyatakan bahwa penentuan daerah penangkapan ikan tuna cakalang
dapat dilakukan dengan memanfaatkan data citra satelit (inderaja) yaitu suhu
permukaan laut (SPL), pengangkatan massa air (upwelling), pertemuan dua massa
air yang berbeda (sea front) dan perkiraan kandungan klorofil di perairan.
Jamal (2003) menyatakan bahwa parameter fisika kimia perairan disekitar
rumpon berada pada kisaran normal, yaitu kecepatan arus berkisar antara 0,001-
0,30 m/det, suhu 29,33° - 30,33°C, salinitas 30-31 psu, kecerahan 77,33-84,67 %
serta oksigen terlarut 4 - 4,57 ppm.
20