Anda di halaman 1dari 16

14

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Hialin Membran Disease

2.1 Definisi

Hyaline membran disease (HMD) adalah suatu penyakit yang

mengenai cabang bronciolus dan saluran alveolar yang mana membran hyaline

tersusun oleh material fibrin dari darah dan debris seluler.8 Penyakit ini disebut

juga Respiratory Distress Syndrome (RDS) merupakan suatu sindrom gawat

nafas akibat defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan masa

gestasi yang kurang.9 Buku pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak

Indonesia IDAI tahun 2009 mendefinisikan HMD sebagai suatu penyakit

gangguan pernafasan yang sering dijumpai pada bayi prematur dan merupakan

sindrom yang terdiri dari satu atau lebih gejala sebagai berikut: pernafasan

cepat > 60x/menit, retarksi dinding dada, merintih ( grunting ) dengan antau

tanpa sianosi pada udara kamar yang memburuk dalam 48-96 jam pertama

kehidupan. Secara histologi, membran hialin muncul melapisi jalan nafas

akhir. Hal ini yang menyebabkan penyakit ini diberi nama HMD yang hanya

dapat ditentukan berdasarkan konfirmasi histologi.10

2.2 Epidemiologi

Hyalin membran disease umumnya terjadi pada bayi prematur. Angka

kejadiannya berhubungan dengan umur gestasi dan berat badan lahir. Angka

tersebut cenderung meningkat karena angka operasi caesar meningkat tetapi

juga cenderung menurun sejak digunakannya surfaktan eksoge.9 HMD pada

bayi yang lahir dengan masa gestasi 28 minggu sebesar 60-80%, pada usia

14
15

kelahiran 30 minggu adalah 25%, sedang pada usia kelahiran 32-36 minggu

sebesar 15-30%, dan pada bayi aterm jarang dijumpai. Di Indonesia, dari

950.000 bayi berat lahir rendah (BBLR) yang lahir setiap tahunnya,

diperkirakan 150.000 bayi di antaranya menderita Infant Respiratory Distress

Syndrome (IRDS) dan sebagian besar berupa HMD.11

Respiratory distress syndrome (RDS) didapatkan pada sekitar 5-10%

pada bayi kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat 500-1500 gram. Angka

kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan berat badan. Persentase

kejadian menurut usia kehamilan adalah 60-80% terjadi pada bayi yang lahir

dengan usia kehamilan kurang dari 28 minggu; 15-30% pada bayi antara 32-

36 minggu dan jarang sekali ditemukan pada bayi yang cukup bulan. Insiden

pada bayi prematur kulit putih lebih tinggi dari pada kulit hitam dan lebih

sering terjadi pada bayi laki-laki dari pada perempuan. Selain itu kenaikan

frekuensi juga sering terjadi pada bayi yang lahir dari ibu yang menderita

gangguan perfusi darah uterus selama kehamilan, misalnya ibu menderita

penyakit diabetes, hipertensi, hipotensi, sectio cesarea serta perdarahan

antepartum.12

HMD terjadi hampir secara eksklusif pada bayi prematur. Kejadian dan

keparahannya berbanding terbalik dengan usia kehamilan bayi baru lahir.

Kurang dari 6 % HMD ditemui dari seluruh neonatus saat ini. Penyakit ini

merupakan penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi

prematur. Diperkirakan 30% dari semua kematian pada neonatus disebabkan

oleh HMD atau komplikasinya.4 MHD biasanya terjadi pada bayi prematur dan

insidennya secara proporsional berlawanan dengan usia kehamilan dan berat


16

lahir. Pada bayi kurang dari 28 minggu kejadiannya sebesar 60-80%, usia 32-

36 minggu sebesar 15-30%, usia kurang dari 37 minggu sebesar 5 %, dan

sangat jarang terjadi pada bayi cukup bulan. Peningkatan frekuensi juga

berhubungan dengan bayi dari ibu diabetes, persalinan sebelum umur

kehamilan 37 minggu, kehamilan multi janin, persalinan seksio sesaria,

persalinan cepat, asfiksia, stress dingin dan adanya riwayat bahwa bayi

sebelumnya terkena, insidens tertinggi pada bayi preterm lakilaki atau kulit

putih.4

2.3 Etiologi

Penyebab kelainan ini secara garis besar adalah kekurangan surfaktan,

suatu zat aktif pada alveoli yang mencegah kolaps paru. RDS seringkali terjadi

pada bayi prematur, karena produksi surfaktan yang dimulai sejak kehamilan

minggu ke-34, baru mencapai jumlah cukup menjelang cukup bulan. Makin

muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadinya RDS.13

2.4 Patofisiologi

2.4.1 Perkembangan paru normal

Paru berasal dari pengembangan “embryonic foregut” dimulai dengan

perkembangan bronkhi utama pada usia 3 minggu kehamilan. Pertumbuhan

paru kearah kaudal ke mesenkim sekitar dan pembuluh darah, otot halus,

tulang rawan dan komponen fibroblast berasal dari jaringan ini. Secara

endodermal epitelium mulai membentuk alveoli dan saluran pernapasan. Di

luar periode embrionik ini, ada 4 stadium perkembangan paru yang telah

dikenal. Pada seluruh stadium ini, perkembangan saluran pernapasan,

pembuluh darah dan proses diferensiasi berlangsung secara bersamaan.3


17

• Pseudoglandular (5-17 minggu)

Terjadi perkembangan percabangan bronkhius dan tubulus asiner

• Kanalikuler (16-26 minggu)

Terjadi proliferasi kapiler dan penipisan mesenkhim

• Diferensiasi pneumosit alveollar tipe II sekitar 20 minggu

• Sakuler (24-38 minggu)

• Terjadi perkembangan dan ekspansi rongga udara. Awal pembentukan

septum alveolar

• Alveolar (36 minggu – lebih 2 tahun setelah lahir) Penipisan septum

alveolar dan pembentukan kapiler baru.3

Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur

disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang,

pengembangan kurang sempurna kerana dinding thorax masih lemah,

produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan

kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut

menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru

(compliance) menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting

intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang

menyebabkan asidosis respiratorik.14

Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10%

protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan

menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara makroskopik, paru-paru

nampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab

itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk


18

mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga

udara bahagian distal menyebabkan edema interstisial dan kongesti dinding

alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II.

Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya

defisiensi surfaktan ini.14

Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau

volutrauma dan keracunan oksigen, menyebabkan kerusakan pada

endothelial dan epithelial sel jalan pernafasan bagian distal sehingga

menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran

hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir.

Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36-72 jam

setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang

immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu

dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal

Displasia (BPD).14

Sel-sel pada paru mengalami kerusakan sehingga paru pada bayi dilapisi

oleh suatu membran yang terbentuk dari sel paru rusak dan protein yang bocor

menuju alveoli-capillary bed dari paru. Membran ini membuat paru sulit

untuk mengembang dan lebih penting lagi bahwa oksigen tidak dapat

melintasi membran ini sehingga oksigen tidak dapat menuju kapiler dan aliran

darah tidak lancer. Hal ini menyebabkan organ-organ tubuh tidak menerima

pasokan oksigenasi yang mengakibatkan kemarian sel pada organ karna tidak

mendapatkan pasokan oksigen dan tidak dapat melakukan proses

metabolisme tubuh.14
19

Gambar 1. Pathway RDS14

2.5 Manifestasi Klinis

Tanda dari RDS biasanya muncul beberapa menit sesudah lahir, namun

biasanya baru diketahui beberapa jam kemudian di mana pernafasan menjadi

cepat dan dangkal (60 x /menit). Bila didapatkan onset takipnea yang terlambat

harus dipikirkan penyakit lain. Beberapa pasien membutuhkan resusitasi saat

lahir akibat asfiksia intrapartum atau distres pernafasan awal yang berat.14

Biasanya ditemukan takipnea, grunting, retraksi intercostal dan

subcostal, dan pernafasan cuping hidung. Sianosis meningkat, yang biasanya

tidak responsif terhadap oksigen. Suara nafas dapat normal atau hilang dengan

kualitas tubular yang kasar, dan pada inspirasi dalam dapat terdengar ronkhi
20

basah halus, terutama pada basis paru posterior. Terjadi perburukan yang

progresif dari sianosis dan dyspnea. 14

Bila tidak diterapi dengan baik, tekanan darah dan suhu tubuh akan

turun, terjadi peningkatan sianosis, lemah dan pucat, grunting berkurang atau

hilang seiring memburuknya penyakit. Apnea dan pernafasan iregular muncul

saat bayi lelah, dan merupakan tanda perlunya intervensi segera.14

Dapat juga ditemukan gabungan dengan asidosis metabolik, edema,

ileus, dan oliguria.Tanda asfiksia sekunder dari apnea atau kegagalan respirasi

muncul bila ada progresi yang cepat dari penyakit. Kondisi ini jarang

menyebakan kematian pada bayi dengan kasus berat.Tapi pada kasus ringan,

tanda dan gejala mencapai puncak dalam 3 hari. Setelah periodeinisial tersebut,

bila tidak timbul komplikasi, keadaan respirasi mulai membaik. Bayi yang lahir

pada 32 – 33 minggu kehamilan, fungsi paru akan kembali normal dalam 1

minggu kehidupan. Pada bayi lebih kecil (usia kehamilan 26 – 28 minggu)

biasanya memerlukan ventilasi mekanik.14

Perbaikan ditandai dengan proses diuresis spontan, dan kemampuan

oksigenasi pada kadar oksigen lebih rendah. Kematian jarang terjadi pada 1

hari pertama pasca kelahiran, biasanya terjadi pada hari kedua sampai ketujuh

pasca dilahirkan, sehubungan dengan adanya kebocoran udara alveoli

(emfisema interstitial, pneumothorax) perdarahan paru atau intraventrikular.

Kematian dapat terjadi setelah beberapa minggu atau bulan bila terjadi

komplikasi berupa bronchopulmonary displasia (BPD) pada penderita dengan

ventilasi mekanik (RDS berat) yang dapat mengakibatkan kematian pada bayi

bayi yang mengalami RDS berat.14


21

2.6 Klasifikasi

Tabel 1. Klasifikasi Gangguan Nafas14

Tabel 2. Penilaian Gawat Nafas dengan Down Score14


Evaluasi
Total Diagnosis
1-3 Sesak nafas ringan
4-5 Sesak nafas sedang
≥6 Sesak nafas berat
22

2.7 Faktor Resiko

Faktor risiko terjadinya Respiratory Distress Syndrome:

1. Pada bayi kurang bulan, paru bayi secara biokimiawi masih imatur dengan

kekurangan surfaktan yang melapisi ronggaparu.

2. Kegawatan neonatal seperti kehilangan darah dalam periode perinatal,

aspirasi mekonium, pneumotoraks akibat tindakan resusitasi,dan

hipertensi pulmonal dengan pirau kanan ke kiri yang membawa darah

keluar dari paru.

3. Bayi dari ibu diabetes mellitus. Pada bayi dari ibu dengan diabetes terjadi

keterlambatan pematangan paru sehingga terjadi distress respirasi

4. Bayi lahir dengan operasi sesar. Bayi yang lahir dengan operasi sesar,

berapapun usia gestasinya dapat mengakibatkan terlambatnya absorpsi

cairan paru (Transient Tachypnea of Newborn).

5. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita demam dan ketuban pecah dini

dapat terjadi pneumonia bakterialis atau sepsis.

6. Bayi dengan kulit berwarna seperti mekonium, mungkin mengalami

aspirasi mekonium.15

2.8 Diagnosis

2.8.1 Anamnesis

Anamnesis tentang:

• Riwayat kelahiran kurang bulan. Riwayat ibu dengan diabetes melitus.

• Riwayat persalinan yang mengalami asfiksia perinatal (gawat janin), atau

partus tindakan dengan bedah sesar.

• Riwayat kelahiran saudara kandung dengan penyakit RDS. 3


23

2.8.2 Pemeriksaan Fisik

• Gejala biasanya dijumpai dalam 24 jam pertama kehidupan.

• Dijumpai sindroma klinis yang terdiri dari kumpulan gejala

➢ Sesak napas, dengan frekuensi napas >60 kali/menit atau <30 kali/menit

➢ Grunting atau merintih

➢ Retraksi dinding dada

➢ Kadang dijumpai sianosis pada suhu kamar

• Manifestasi klinis berupa distress pernafasan dinilai dengan APGAR score

dan Silverman Score. Bila nilai Silverman score > 7 berarti ada distress

nafas, namun ada juga yang menyatakan bila nilainya > 2selama > 24 jam.

• Perhatikan tanda prematuritas.

• Kadang ditemukan hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru-paru.

• Perjalanan klinis bervariasi sesuai dengan beratnya penyakit, besarnya

bayi, adanya infeksi dan derajat dari pirau PDA.15

2.8.3 Pemeriksaan Penunjang

Foto toraks

Posisi AP dan lateral, bila diperlukan serial. Gambaran radiologi dapat

memberi gambaran penyakit membran hialin yang menunjukkan gambaran

penurunan pengembangan paru, konsolidasi keseluruhan yang simetris

bergantunng pada derajat beratnya penyakit, serta gambaran air

bronchogram. Selain itu, terdapat gambaran retikulogranular yang difus

bilateral. Gambaran retikulogranular tersebut merepresentasikan alveoli yang

kolaps, transudasi cairan dari kapler ke interstitial, dan distensi bronkiolus

oleh udara.15
24

2.8.4 Laboratorium

o Darah : Hb, Ht, dan gambaran darah tepi tidak menunjukkan tanda infeksi.

Menunjukkan kecurigaan pneumonia. Kultur streptokokus (-).

o Analisis gas biasanya memberikan hasil : hipoksemia, asidemia yang

berupa metabolik, respiratorik atau kombinasi, dan saturasi oksigen yang

tidak normal (PaO2 kurang dari 50 mmHg, PaCO2 kurang dari 60 mmHg,

saturasi oksigen 92% – 94%, pH 7,31 – 7,45)

o Rasio lesitin/sfingomielin (L/S ratio <2:1).

o Shake test (tes kocok), jika tidak ada gelembung, resiko tinggi untuk

terjadinya PMH 60%.15

2.9 Penatalaksanaan

2.9.1 Manajemen Spesifik Untuk Gangguan Nafas

A. Gangguan Napas Sedang

1. Memberian O2 2-3 liter/menit dengan kateter nasal, bila masih sesak

dapat diberikan O2 4-5 liter/menit dengan sungkup

2. Bayi jangan diberikan minum (di puasakan).

3. Berikan antibiotika (ampisilin dan gentamisin) untuk terapi

kemungkinan besar sepsis.15

B. Gangguan Napas Ringan

Transient Tachypnea of the Newborn (TTN), terutama terjadi pada

bayi aterm setelah bedah sesar. Biasanya kondisi tersebut akan membaik

dan sembuh sendiri tanpa pengobatan. Langkah – Langkah apabila bayi

membutuhkan pengobatan :
25

1. Amati pernapasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam. Bila dalam

pengamatan gangguan napas memburuk atau timbul gejala sepsis

lainnya, terapi untuk kemungkinan besar sepsis.

2. Berikan ASI bila bayi mampu mengisap. Bila tidak, berikan ASI perah

dengan menggunakan salah satu cara alternatif pemberian minum.

3. Kurangi O2 secara bertahap bila ada perbaikan gangguan napas.

Hentikan pemberian O2 jika frekuensi napas antara 30 – 60 kali/menit.

4. Amati bayi selama 24 jam berikutnya, jika frekuensi napas menetap

antara 30-60 kali/menit, tidak ada tanda sepsis, dan tidak ada masalah

lain yang memerlukan perawatan, maka bayi dapat dipulangkan. 15

C. Gangguan Napas Berat :

1. Siapkan rujukan ke RS Rujukan

2. Stabilisasi sebelum merujuk

3. Rujukan disertai petugas yg mahir resusitasi

4. Perhatikan Jalan napas dan Oksigenasi selama transportasi15

2.9.2 Terapi

1. Ventilasi

Manajemen ventilator mekanik

Pemberian continuous positive airway pressure (CPAP) akan

meningkatkan oksigenasi dan survival. CPAP mulai dipasang pada

tekanan sekitar 5-7 cm H2O melalui prong nasal, pipa nasofaringeal atau

pipa endotrakheal. Pada beberapa bayi dengan derajat sakit sedang, CPAP

mungkin dapat mencegah kebutuhan untuk pemakaian ventilator mekanik

(VM). 16
26

CPAP memperbaiki oksigenasi dengan meningkatkan functional

residual capacity (FRC) melalui perbaikan alveoli yang kolaps,

menstabilkan rongga udara, mencegahnya kolaps selama ekspirasi. CPAP

diindikasikan untuk bayi dengan RDS PaO2 > 50%. Pemakaian secara

nasopharyngeal atau endotracheal saja tidak cukup untuk bayi kecil, harus

diberikan ventilasi mekanik bila oksigenasi tidak dapat dipertahankan.

Pada bayi dengan berat lahir di atas 2000 gr atau usia kehamilan 32

minggu, CPAP nasopharyngeal selama beberapa waktu dapat menghindari

pemakaian ventilator. Meski keadaannya demikian observasi harus tetap

dilakukan secara berkala dan CPAP hanya bisa diteruskan bila bayi

menunjukan usaha bernafas yangadekuat, disertai analisa gas darah yang

memuaskan. 16

CPAP diberikan pada tekanan 6-10 cm H2O melalui nasal prongs. Hal

ini menyebabkan tekanan oksigen arteri meningkat dengan cepat. Meski

penyebabnya belum hilang, jumlah tekanan yang dibutuhkan biasanya

berkurang sekitar usia 72 jam, dan penggunaan CPAP pada bayi dapat

dikurangi secara bertahap segera sesudahnya. Bila dengan tindakan CPAP

namun tekanan oksigen arteri tetap tak dapat dipertahankan di atas 50

mmHg (sudah menghirup oksigen 100 %), maka diperlukan tindakan

pemberian ventilasi buatan.16

Ventilasi Mekanik

Bayi dengan Hialin Membran Disease berat atau disertai adanya

komplikasi, yang berakibat timbulnya apnea persisten membutuhkan

ventilasi mekanik buatan. Indikasi penggunaannya antara lain:


27

1. Analisa gas darah menunjukan hasil buruk

• pH darah arteri <>

• pCO2 arteri > 60 mmHg

• pO2 arteri < 50 mmHg pada konsentrasi oksigen 70 – 100 %

2. Kolaps kardiorespirasi

3. Apnea persisten dan bradikardi16

2.10 Komplikasi

1. Patent Ductus Arteriosus

Insidensi PDA pada bayi prematur dengan RDS sekitar 90%.

Dengan meningkatnya angka bertahan hidup bayi sangat kecil disertai

penggunaan surfaktan eksogen, PDA sebagai komplikasi RDS merupakan

masalah dari penanganan RDS pada awal kehidupan.16

PDA diasosiasikan dengan pirau dari kanan ke kiri dan peningkatan aliran

darah paru dan tekanan arteri pulmonal. Peningkatan aliran darah paru

menyebabkan berkurangnya compliance paru yang akan membaik setelah

ligasi PDA. Peningkatan aliran darah paru akan menimbulkan kegagalan

ventrikel kiri dan edema paru serta mempengaruhi keseimbangan cairan

paru. Kebocoran protein plasma ke rongga alveoli menghambat fungsi

surfaktan. Hal ini akan meningkatkan kebutuhan oksigen serta ventilasi

mekanik.16

2. Hemorrhagic Pulmonary Edema

Perdarahan paru seringkali terjadi sekunder akibat edema paru berat

yang merupakan komplikasi dari RDS dan PDA. Insidensinya pada bayi
28

prematur sekitar 1 % namun pada otopsi ditemukan sekitar 55 %. Cairan

hemoragis di rongga udara merupakan filtrat kapiler yang berasal dari

rongga interstitial atau perdarahan alveoli. Bentuk interstitial

ditandaidengan perdarahan pleura, septum interlobularis, peribronkial,

perivaskular, dan dindingaleolar. Bila perdarahan masuk ke alveoli,

eritrosit memenuhi rongga udara dan meluashingga ke bronkiolus dan

bronkus.16

3. Pulmonary Interstitial Emphysema (PIE)

PIE (Pulmonary Interstitial Emphysema) dapat terjadi secara

simetris, asimetris atau terlokalisasi pada satu bagian paru. PIE yang

terletak di perifer dapat menimbulkan bleb subpleura yang bila pecar akan

menimbulkan terjadinya pneumotoraks. Bisa juga menyebabkan

terjadinya pneumomediastinum atau pneomopericardium. Bila alveoli

ruptur, maka udara dapat terlokalisasi dan bersatu di parenkim paru – paru

dengan membentuk pseudokista. Rupturnya alveoli dapat menyebabkan

terjadinya udara masuk ke vena pulmonalis, sehingga menimbulkan

emboli udara.16

4. Infeksi

Infeksi dapat manifes sebagai kegagalan untuk membaik,

perburukan mendadak, perubahan jumlah leukosit, trombositopenia.

Terdapat peningkatan insidensi septicemia sekunder terhadap

staphylococcal epidermidis dan atau Candida. Bila curiga akan adanya

septikemia, lakukan kultur darah dari 2 tempat berbeda dan berikan

antibiotik.16
29

5. Perdarahan intracranial dan leukomalasia periventrikuler

Perdarahan intrakranial didapatkan pada 20-40% bayi prematur

dengan frekuensi lebih tinggi pada bayi RDS yang membutuhkan

ventilasi mekanik. Ultrasound kepala dilakukan dalam minggu pertama.

Terapi indometasin profilaksis dan pemberian steroid antenatal

menurunkan insidensinya. Hipokarbia dan chorioamnionitis dikaitkan

dengan peningkatan periventricular leukomalacia. 16

2.11 Prognosis

Sangat bergantung pada berat badan lahir dan usia gestasi (berbanding

terbalik dengan kemungkinan timbulnya penyulit). Prognosis baik bila

gangguan napas akut dan tidak berhubungan dengan keadaan hipoksemi yang

lama.16

Anda mungkin juga menyukai