Anda di halaman 1dari 3

Teori Kritis Jurgen Habermas

Elfridas Simarmata
200521100045

Jurgen Hubermas merupakan salah satu pelopor dari teori kritis yang menggambarkan
teori kritis sebagai metodologi yang berdiri pada ketegangan dialektis, antara filsafat dengan
ilmu pengetahuan (sosiologi). Dalam pemikiran Habermas, teori Kritis dirumuskan sebagai
sebuah filsafat empiris sejarah dengan tujuan praktis, yakni menginginkan filsafat menjadi
empiris, dan sejarah tidak hanya menjadi pisau analisis namun dapat berfungsi dalam tataran
praktis. Teori kritis berpijak pada suatu pandangan umum tentang hakikat realitas sosial, baik
dalam dimensi faktual maupun dimensi normatif. Belajar dan mengamati realitas-realitas
sosial masa lalu dan masa kini merupakan pijakan penting dalam membangun proyeksi
masyarakat yang diharapkan. Hal inilah yang disebut sebagai ontologi sosial karena selalu
berdimensi historis-faktual dan sekaligus proyeksi. Menilik tentang masyarakat modern yang
berjangkar pada tradisi pencerahan, Habermas melihat beberapa tendensi menindas dari
tradisi pencerahan. Oleh karena itu Habermas menolak pendekatan transendental dan
idealistik atas rasio. Namun Habermas ingin menyajikan sebuah konsep rasio yang akan
dapat dijadikan sebagai pijakan evaluasi terhadap norma-norma sosial. Dengan demikian
seluruh proyeksi Habermas mengarah pada pembebasan manusia atas segala bentuk
penindasan, sekalipun penindasan itu dilakukan atas dasar rasionalitas modern.
Suatu ontologi sosial selalu berdimensi historis-faktual dan sekaligus proyektif. Suatu
pandangan umum tentang hakikat masyarakat akan membentuk cara pandang terhadap masa
lalu dan masa kini, namun sekaligus juga mengarah pada proyeksi masyarakat yang
diharapkan. Sejalan dengan hal tersebut, dalam teori kritis Hubermans terdapat konsep dan
asumsi dasar yang menjadi landasan ontis pembacaan Hubermans atas realitas sosial.
Konsep-konsep dasar tersebut meliputi kepentingan, dunia-hidup, sistem, argumentasi,
rasionalitas, dan kolonisasi dunia-hidup, sedangkan asumsi dasarnya meliputi hubungan
antara kepentingan dan pengetahuan; komunikasi dan bentuk-bentuk interaksi sosial; dan
syarat-syarat ontis adanya konsensus rasional. Dari pengalaman sehari-hari diketahui, bahwa
ide-ide seringkali berfungsi memberikan arah kepada tindakan-tindakan. Atau ide-ide
merupakan motif pembenaran atas tindakan. Apa yang pada tingkat tertentu disebut
rasionalisasi, pada tingkat kolektif dinamakan ideologi.
Kepentingan yang dimaksud oleh Habermas adalah kepentingan-kepentingan yang
membentuk pengetahuan dalam masyarakat, yaitu kepentingan analitis-empiris, kepentingan
hermeneutis-historis dan kepentingan emansipatoris kritis. Kepentingan analitis-empiris
berakar dalam hasrat teknis untuk menggunakan kontrol atas dunia fisis dan sosial.
Kepentingan kognitif ini menyatakan bahwa pengetahuan meski terdiri dari hukum-hukum
deterministis dan umum tentang alam dan masyarakat yang dapat digunakan untuk meraih
kontrol teknis atas proses-proses sosial sekaligus fisis. Kepentingan kognitif hermeneutis-
historis berakar pada hasrat untuk memahami keunikan ktivitas manusia yang melihat
pendekatan positivis sebagai reduksionitis dan percaya bahwa pengetahuan meski didasarkan
atas teks-teks pertama dan lokal yang secara historis disituasikan. Sementara kepentingan
kognitif emansipatoris-kritis melihat pengetahuan sebagai proses refleksi diri yang melalui
ketegangan-ketegangan dan kedaruratan historis dapat diungkap.
Dasar dari teori kritis Habermas yakni setiap struktur logis ilmu berkaitan dengan
fungsi pragmatis dari pengetahuan ilmiah. Hal tersebut sangat membantu untuk memahami
wilayah dan bentuk komunikasi intersubjektif yang berbeda, yaitu dunia-hidup yang merujuk
pada dunia kehidupan sehari-hari yang sebelumnya digunakan oleh Alfred Schutz. Namun
Habermas memiliki ketertarikan yang berbeda terhadap dunia-hidup yakni mengaitkannya
dengan komunikasi antar pribadi. Sederhananya bagi Habermas komunikasi yang bebas,
tampa tekanan dan terbuka berarti suatu rasionalisasi dalam dunia-hidup. Meskipun konsep
rasionalisasi telah digunakan dalam makna yang negatif, dan dalam konteks lain Habermas
akan menggunakannya secara demikian, dalam lingkup terbatas dunia-hidup dan komunikasi,
rasionaliasasi memiliki konotasi positif. Metode rasional akan digunakan untuk menerima
konsensus. Konsensus akan muncul jika argumen yang lebih baik menang. Dengan kata lain,
kekuatan-kekuatan luar seperti kekuasaan yang lebih besar dari partai tidak akan berperan
dalam pencapaian konsensus. Orang-orang memperdebatkan issue-issue dan konsensus
dicapai hanya berdasarkan pada argumentasi yang paling baik.
Menurut Habermas argumentasi memiliki tiga tahap umum pra anggapan, yakni: aras
logis, aras proses dialektis, dan aras proses retoris. Pertama, aras logis dari pra anggapan yang
berkaitan dengan pembuatan argumen-argumen yang kuat dan konsisten. Aras ini menuntut
pembicara menyingkirkan kontradiksi-kontradiksi yang ada pada dirinya sendiri dan
menerapkan makna ungkapan secara konsisten. Kedua, pada aras dialogis atau prosedural
dari pra anggapan, menuntut orang yang terlibat dalam diskusi tentang suatu klaim yang
problematis mengadopsi suatu sikap hipotetis yang dapat membuat mereka
mempertimbangkan validitas klaim-klaim tanpa menghiraukan kebutuhan-kebutuhan
langsung dalam situasi tersebut. Sikap hipotetis ini menuntut partisipan-partisipan dalam
argumen mengambil jarak dari perspektif-perspektif pribadi mereka dan mempertimbangkan
persoalan-persoalan yang relevan secara kritis. Terakhir, pada aras retoris dari pra anggapan,
menuntut bahwa struktur situasi pembicaraan bebas dari tekanan dan ketidaksetaraan
(Habermas, 1990: 87). Karena jenis argumentasi yang digambarkan Habermas menuntut
bahwa persetujuan didorong secara rasional, pengaruh-pengaruh yang jauh dari rasio tidak
dapat dilibatkan dalam putusan-putusan partisipan. Jika orang ditekan atau diperdaya untuk
setuju dengan alasan-alasan dari yang lain, pembicaraan tersebut tidak dapat dinyatakan
sebagai argumen. Modal penting bagi argumentasi adalah pemilahan dimensi-dimensi dunia-
hidup.
Terdapat tiga dimensi dunia-hidup dalam teori praktis Habermas, yakni: dunia
objektif yang merepresentasikan fakta-fakta yang independen dari pemikiran manusia dan
berfungsi sebagai titik referensi umum untuk menentukan kebenaran; dunia sosial yang
terdiri dari hubungan-hubungan intersubjektif; dan dunia subjektif dari pengalaman pribadi.
Bagi Habermas, pribadi yang dapat memilah tiga aspek dari pengalaman dan perspektif yang
melibatkan mereka, mencapai suatu pemahaman tak terpusat (decentered) yang menjadi
sesuai dengan tahap moral post-konvensional Kholberg, yang menempatkan seseorang pada
kemampuan untuk menguasai kebutuhan-kebutuhan personal dan norma-norma sosial demi
mempertimbangkan masalah moral secara abstrak.
Dalam dunia-hidup sistem memiliki sumbernya, namun berkembang dalam
strukturnya sendiri yang berbeda, seperti dalam keluarga, sistem hukum, negara, dan
ekonomi. Struktur ini tumbuh terpisah dan berjarak dengan dunia-hidup, sebagaimana dunia-
hidup, sitem, dan strukturnya mengalami rasionalitas progresif sehingga rasionalisasi sistem
memiliki bentuk yang berbeda dengan rasionalisasi dunia-hidup. Dalam hal ini rasionalisasi
yang dimaksud adalah sistem dan strukturnya bertumbuh kembang secara berbeda, kompleks
dan mampu memenuhi kebutuhan diri (self-sufficient). Yang terpenting, kekuatan sistem dan
strukturnya bertumbuh dan dengan kemampuannya mengontrol dan mengarahkan apa yang
terjadi dalam dunia hidup. Namun kenyataan tersebut memiliki beberapa implikasi yang tidka
menyenangkan bagi dunia-hidup, dan yang paling penting sitem mengkolonisasi dunia hidup.
Kolonisasi dunia-hidup mengambil banyak bentuk, namun tidak satupun yang lebih
penting dari fakta bahwa sistem memaksa dirinya sendiri atas komunikasis yang terjadi dalam
dunia-hidup, dan membatasi kemampuan aktor untuk berargumentasi melalui konsensus di
dalam dunia-hidupnya. Dengan kata lain, strukturrasional dari sistemnya bukannya
meninggikan kapasitas untuk berkomunikasi dan mencapai pemahaman dalam consensus,
melainkan mengancam proses-proses tersebut melalui penggunaan kontrol-kontrol eksternal
atas proses-proses tersebut. Dapat disimpulkan bahwa kolonisasi memiliki efek merusak pada
dunia-hidup, khusunya pada komunikasi dalam dunia-hidup. Dimana komunikasi menjadi
semakin kaku, miskin, dan terfragmentasi.
Bertitik tolak pada teori materialisme historis, Habermas berusaha membedakan teori
kritis dari ilmu sebagaimana juga dibedakan dengan filsafat. Habermas mengatakan bahwa
teori dan praksis dijadikan sebagai upaya untuk membuat sebuah teori ilmu yang dapat
dijelaskan secara jelas dan mampu merangkum secara sistematis syarat-syarat penyusunan
ilmu dan penerapannya. Dalam hal ini teori kritis menolak klaim-klaim kontemplatif dari
teori yang dibangun dalam bentuk logika tunggal. Teori kritis menilai bahwa semua filsafat
yang ada hingga saat ini, termasuk dengan semua klaim-klaimnya memiliki watak
kontemplatif yang demikian. Bagi Habermas ilmu dapat menganalisis secara refleksif
konteks sosial yang melekatpada ilmu tidak hanya secara institusional, namun juga secara
metodologis sekaligus menentukan penggunaan informasi yang dihasilkan secara ilmiah.
Habermas juga menolak objektivasi ilmu karena dari sisi metodologis, ilmu sosial dan teori
sosial mengadopsi Teknik eksperimental dari tradisi ilmu alamiah. Karena menurut
Habermas sebelum metode eksperimen diperkenalkan dalam ilmu-ilmu alam, dalam teori
sosial telah ada abstraksi metodologis dengan mencobakan teori atau konsep sosial pada
kondisi-kondisi empiris. Atas dasar tersebut, Habermas mengangap perlu adanya
pengembangan pendekatan sosial yang berangkat dari epistemologi yang pada satu sisi
mampu mengartikulasikan faktisitas, pada sisi lain juga memberi tempat pada normativitas.

Pertanyaan
1. Jika dikaitkan pada zaman sekarang bagaimana pengetahuan tentang masyarakat dan
sejarah akan berperan dalam mendorong terjadinya praksis perubahan sosial di
Indonesia? Mengingat minimnya rasa kemanusiaan pada saat ini, banyak orang yang
tidak tau bagaimana caranya memanusiakan manusia. Contoh nyatanya penindasan
terhadap kaum lemah masih saja terjadi di beberapa perusahaan di Indonesia. Para
buruh di eksploitasi dengan cara dipekerjakan layaknya seperti budak dengan upah
yang rendah. Hal ini membuktikan bahwa sejarah akan penindasan kaum borjuis
terhadap kaum proletary untuk kepentingan akumulasi modal masih saja terjadi.
Masyarakat juga tidak mengamati realitas sosial masa lalu dan realitas sosial masa
kini untuk dijadikan sebagai batu loncatan dalam melakukan proyeksi yang
diharapkan oleh masyarakat.
2. Bagaimana cara dunia-hidup dalam teori kritis dapat memberikan pijakan kritis bagi
akademis yang memadai dalam analisis sosial apabila sistem telah mengkolonialisasi
dunia-hidup sehingga memberikan efek kehancuran bagi dunia-hidup seperti
komunikasi yang semakin kaku, miskin, dan terfragmentasi?
3. Bagiman kepentingan tertentu dapat mendorong manusia memperoleh pengetahuan
baru?
4. Menilik pernyataan Habermas yang menerima asumsi Marx bahwa sejarah berjalan
menurut logika perkembangan tertentu, hanya saja ia tidak setuju bahwa teknologi
dan ekonomi menjadi motor perkembangan sejarah. Menurut Bapak/teman-teman apa
sebenarnya motor atau penggerak dari perkembangan sejarah tersebut? Namun pada
dasarnya tekonologi dan ekonomi juga berperan sebagai motor perkembangan sejarah,
dimana dengan adanya kemjuan teknologi akan mempercepat terjadinya proses
globalisasi sehingga akan tercipta perubahan sosial dan perkembangan kearah yang
lebih baik.
5. Bagaiama Habermas memposisikan teori kritisnya ditengah-tengah teori dan praksis
dengan dalih untuk menyatukannya?

Anda mungkin juga menyukai