Anda di halaman 1dari 4

BAB VI

RUANG LINGKUP, SUMBER DAN ISU-ISU


DALAM EKONOMI ISLAM

1. Ekonomi Islam dapat kita ibaratkan sebagai sebuah bangunan, karenanya untuk membentuk
bangunan, kita membutuhkan adanya landasan, tiang dan atap, kita juga membutuhkan
komitmen para pekerja untuk membentuk bangunan itu, dibutuhkan komitmen untuk
membangun semua aspek yang terkait dengan bangunan itu, terkait dengan hal tersebut, dalam
membangun sistem ekonomi Islam juga tidak dapat lepas dari unsur manusia secara
keseluruhan, disamping kerangka dan landasannyapun harus kokoh, kuat dan jelas.

2. Umer Chapra, menjelaskan adanya lima dasar filosofis yang melandasi terbentuknya bangunan
sistem ekonomi Islam yakni:
 Pertama tauhid, yang akan meletakkan dasar-dasar hubungan antara Allah selaku khaliq
(Pencipta) dengan manusia selaku mahluk dan hubungan antara manusia dengan
sesamanya.
 Kedua, rububiyah, yang menyatakan dasar-dasar hukum Allah untuk selanjutnya yang akan
mengatur model dan bentuk pembangunan sistem ekonomi Islam.
 Ketiga, khilafah, yang menjelaskan status dan peran manusia, sebagai wakil Allah dimuka
bumi.
 Keempat, tazkiyah yang merupakan misi utama utusan Allah adalah untuk menyucikan
manusia dalam hubungannnya dengan Allah, sesama manusia dan alam lingkungan.
 Terakhir yakni falah yang merupakan hasil dan tazkiyah yakni merupakan kesuksesan
hidup di dunia dan di akhirat.

3. Tiang-tiang sistem perekonomian Islam menurut Mannan ada tiga yakni:


 Pertama, adanya pengakuan akan multiownership. Islam mengakui adanya kepemilikan
pribadi, kepemilikan bersama (syirkah) dan kepemilikan negara, hal ini tentu akan sangat
berbeda dengan konsep sistem ekonomi kapitalis klasik yang hanya mengakui kepemilikan
pribadi atau konsep sistem ekonomi sosialis klasik yang hanya mengakui kepemilikan
bersama oleh sekelompok orang (komunal) atau oleh negara.
 Kedua, yakni kebebasan ber-ekonomi selama tidak melanggar rambu-rambu syariah
dengan kaedah "al ashlu fi al- muamalah al-ibahah".5 Ekonomi ialah persoalan manusia
yang selalu berkembang seiring dinamika zaman, karenanya dibutuhkan pemikiran baru
untuk memecahkan berbagai permasalahan ekonomi dan ijtihad untuk bidang ekonomi
sangat diperlukan, bukankah Rasulullah saw telah bersabda yang artinya "Kamu lebih tahu
urusan duniamu"? dengan demikian, bidang muamalah ini akan selalu berkembang sesuai
dengan perubahan waktu dan tempat.
 Ketiga, yakni keadilan sosial (sosial justice) yang berbeda, dengan donasi atau charity
dalam ekonomi konvensional, dalam konsep ekonomi Islam bahkan rizki halal yang kita
dapatkan dengan jerih payahpun diyakini terdapat hak orang lain, dengan lain kata bukan
kita yang berbaik hati memberi donasi, namun ia bukan hak kita, ia hak orang lain.
Terakhir, atapnya ialah akhlak al-karimah atau yang lebih populer disebut dengan etika
ekonomi.

4. Jika mengikuti pendapat Atho’ Mudzhar, maka setidaknya terdapat 4 (empat) macam produk
pemikiran hukum Islam yang dijadikan dasar untuk melegalisasikan dan merealisasikan
syariah dalam kehidupan berekonomi di Indonesia yaitu:
 Fatwa-fatwa ulama, dalam hal ini yakni yang diputuskan oleh Majelis Ulama Indonesia
(MUI) melalui Dewan Syariah Nasional (DSN)
 Keputusan-keputusan Pengadilan Agama (PA) yang menyangkut keputusan terhadap
muamalah Islam
 Peraturan perundangan-undangan dalam negeri
 Kitab- kitab fikih.
Masing-masing produk pemikiran hukum ini mempunyai ciri khasnya tersendiri, karena itu
memerlukan perhatian tersendiri pula.

5. Menurut Atho’ untuk fatwa-fatwa ulama atau mufti, bersifat kasuistik karena merupakan
respon atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan peminta fatwa. Fatwa tidak
mempunyai daya ikat, dalam arti si peminta fatwa tidak harus mengikuti isi atau hukum
fatwa yang diberikan kepadanya, namun fatwa biasanya cenderung bersifat dinamis karena
merupakan respon terhadap perkembangan baru yang sedang dihadapi masyarakat. Isi fatwa
juga belum tentu dinamis, namun bersifat responsif yang sekurang-kurangnya dapat dikatakan
dinamis
6. Fatwa-fatwa ekonomi Islam yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia
merujuk pada buku pedoman untuk mengeluarkan fatwa yang diterbitkan oleh MUI pada
tanggal 2 Oktober 1997. Dalam buku itu disebutkan, dasar-dasar untuk mengeluarkan fatwa
merujuk pada urutan tingkatan; al- Qur’an, Sunah Nabawi, ijma'-qiyas, serta dalil global
lainnya
7. Dalil bagi kebanyakan fatwa dimulai berdasarkan ayat al- Qur’an disertai hadis yang
bersangkutan serta kutipan naskah- naskah fikih dalam bahasa Arab. Dalil secara akal
(rasional) dan pendapat para pakar juga kadangkala disertakan sebagai keterangan pendukung.
Setelah itu barulah pernyataan sebenarnya dari fatwa itu diberikan dan hal itu dicantumkan di
bagian akhir. Pengujian terhadap corak pemikiran hukum ekonomi Islam dilihat dari fatwa-
fatwa MUI misalnya dapat dilihat dari fatwa MUI tentang bunga bank
8. Berikutnya adalah keputusan-keputusan pengadilan agama (PA) yang menyangkut keputusan-
keputusan terhadap muamalah dalam ekonomi Islam. Berbeda dengan fatwa keputusan-
keputusan pengadilan agama bersifat mengikat kepada pihak-pihak yang berperkara, dan
sampai tingkat tertentu juga bersifat dinamis karena merupakan usaha memberi jawaban atau
menyelesaikan masalah yang diajukan ke pengadilan pada suatu waktu tertentu. Hal ini
misalnya menyangkut penyelesaian sengketa perbankan syariah yang dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama atau di luar peradilan agama apabila dalam
akad telah diperjanjikan sebelumnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah
9. Jenis produk pemikiran hukum ketiga, yaitu peraturan perundang-undangan baik perundang-
undangan dalam negeri maupun peraturan perundang-undangan di negeri-negeri muslim
lainnya, dan untuk yang disebutkan terakhir ini, biasanya dijadikan sebagai bahan
perbandingan dalam menetapkan peraturan perundang-undangan maupun fatwa. Ini juga
bersifat mengikat atau mempunyai daya ikat yang lebih luas. Orang yang terlibat dalam
perumusannya juga tidak terbatas pada para fuqaha atau ulama, tapi juga para politisi, ekonom
muslim dan cendekiawan muslim lainnya
10. Di Indonesia produk peraturan perundang-undangan ini misalnya UU No. 21 Tahun 1998 yang
mengusung aspirasi pendirian perbankan syariah di samping perbankan konvensional dan
dalam undang-undang ini secara khusus membahas perbankan syariah dan sekaligus
merupakan upaya pemerintah dalam menguatkan kontribusi lembaga keuangan syariah dalam
memperkokoh pembangunan nasional. Disamping itu, legislasi beberapa undang-undang yang
bermuatan fikih Islam dalam aktualisasi sistem ekonomi Islam juga telah banyak diundangkan
misalnya undang-undang zakat, undang-undang wakaf dan undang-undang peradilan agama
yang menambah kewenangan pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara perdata Islam
dan sengketa perbankan syariah
11. Jenis produk pemikiran hukum keempat menurut Atho’ adalah kitab-kitab fikih yang pada saat
ditulis pengarangnya, tidak dimaksudkan untuk diberlakukan secara umum di suatu negeri,
meskipun dalam sejarah kita mengetahui, beberapa buku fikih tertentu telah diperlakukan
sebagai kitab undang-undang. Kitab-kitab fiqh tersebut juga tidak dimaksudkan, untuk
digunakan pada masa atau periode tertentu. Dengan tidak adanya masa berlaku ini, maka
kitab-kitab fikih cenderung dianggap harus berlaku untuk semua masa, dan oleh sebagian
orang lalu dianggap sebagai jumud atau beku alias tidak berkembang. Selain itu kitab-kitab
fikih juga mempunyai karakteristik lain. Jika fatwa dan keputusan pengadilan agama bersifat
kasuistik - yaitu membahas masalah tertentu- maka kitab-kitab fikih sifatnya menyeluruh dan
meliputi semua aspek bahasan hukum Islam. Sebagai salah satu akibat dari sifatnya yang
menyeluruh ini, maka perbaikan atau revisi terhadap sebagian isi kitab fikih dianggap dapat,
atau akan mengganggu keutuhan isi keseluruhannya. Karena itu kitab-kitab fikih cenderung
menjadi resisten terhadap perubahan
12. Dalam sejarah pertumbuhan hukum Islam, terdapat dua aliran besar di kalangan para pendiri
madzhab, dalam hal porsi penggunaan akal, dalam mencoba memahami dan menjabarkan
ajaran Islam tentang hukum. Kelompok pertama adalah mereka yang mengutamakan
penggunaan hadits dalam memahami ayat-ayat Qur'an dan kelompok kedua, adalah mereka
yang mengutamakan penggunaan akal. Kelompok pertama kemudian dikenal dengan ahl al-
hadis dan kelompok kedua disebut ahl al-ra'yi. Kelompok pertama terutama berkembang di
Madinah, dan dipelopori Imam Malik bin Anas dan kelompok kedua berkembang di Kufah
dan Baghdad, dipelopori Imam Abu Hanifah. Kedua aliran ini telah menghasilkan kitab-kitab
fikih yang berbeda. Kitab-kitab fikih hasil kelompok pertama lebih memberi tempat kepada
hadis-hadis meskipun lemah, sedangkan kelompok kedua menghasilkan kitab- kitab fikih yang
bersifat rasional. Imam Syafi'i sebenarnya telah berusaha menjembatani kedua kelompok itu,
tapi tidak sepenuhnya berhasil, karena ia sendiri pada akhirnya lebih memihak pada
kelompok pertama
13. Dan pada umumnya masyarakat Islam, khususnya masyarakat Islam Indonesia, memandang
fikih identik dengan hukum Islam, dan hukum Islam dipandang identik dengan aturan Tuhan.
Sebagai akibatnya, fikih cenderung dianggap sebagai aturan Tuhan itu sendiri. Dengan cara
pandang itu, maka kitab-kitab fikih dipandang sebagai kumpulan hukum Tuhan, dan karena
hukum Tuhan adalah hukum yang paling benar dan tidak bisa diubah maka kitab-kitab fikih
bukan saja dipandang sebagai produk keagamaan, tapi sebagai buku agama itu sendiri.
Akibatnya, selama berabad-abad fikih menduduki tempat yang amat terpandang sebagai
bagian dari agama itu sendiri, dan bukan bagian dari produk pemikiran keagamaan
14. Menurut Atho’ terjadi siklus bahwa untuk menjaga dan memelihara fikih, fikih memerlukan
penjaga yang disebut faqih atau fuqaha, dan untuk memelihara status diri mereka, maka para
fuqaha memerlukan kehidupan fikih yang tinggi. Kadang-kadang fikih yang dipeliharanya itu
adalah produk para pendahulunya, tapi kadang-kadang juga produksinya sendiri. Ironisnya,
produk-produk pemikiran fikih itu dianggap sebagai identik dengan hukum Tuhan itu sendiri.
Dengan demikian kesalahpahaman terjadi dalam memandang fikih di kalangan sementara
orang Islam, tidak terkecuali di Indonesia. Kekeliruan inilah yang -lebih jauh menurut
Atho’perlu diperbarui dan dibetulkan
15. Muhammad Anas Zarqa (1992),40 menjelaskan bahwa ekonomi Islam itu terdiri dari 3
kerangka metodologi. Pertama adalah presumptions and ideas, atau yang disebut dengan ide
dan prinsip dasar dari ekonomi Islam. Ide ini bersumber dari al- Qur’an, Sunah, dan fikih al-
Maqasid. Ide ini nantinya harus dapat diturunkan menjadi pendekatan yang ilmiah dalam
membangun kerangka berpikir dari ekonomi Islam itu sendiri. Kedua adalah nature of value
judgement, atau pendekatan nilai dalam Islam terhadap kondisi ekonomi yang terjadi.
Pendekatan ini berkaitan dengan konsep utilitas dalam Islam. Terakhir, yang disebut dengan
positive part of economics science. Bagian ini menjelaskan tentang realita ekonomi dan
bagaimana konsep Islam bisa diturunkan dalam kondisi nyata dan riil. Melalui tiga
pendekatan metodologi tersebut, maka ekonomi Islam dibangun
16. Menurut M. Husein Sawit, sebenarnya teori ekonomi Islam (tidak terkecuali teori fikih -nya)
sama seperti teori ekonomi pada umumnya yakni diturunkan dari dasar ilmu pengetahuan yang
dapat diuji kebenaran dan kesahihannya. Suatu ilmu fikih akan sahih jika dilandasi oleh dasar
filosofi, fondasi dasar, paradigma, sistem hukum ekonomi dan selanjutnya dari sanalah
diturunkan seperangkat teori hukum ekonomi, namun disini teori hukum ekonomi Islam
diturunkan dari dasar paradigma syariah atau yang biasa disebut fikih muamalah . Karena itu
ekonomi Islam dituntut untuk dapat mengakomodasikan sejumlah prasyarat yakni karakteristik
dari pandangan hidup Islam beserta aspek- aspek hukumnya. Syarat utama untuk hal ini adalah
dengan memasukkan unsur-unsur syariah dalam bidang ekonomi. Selanjutnya karena hukum
ekonomi Islam ini juga tergolong ke dalam ilmu sosial, karenanya ilmu ini tidak bebas dari
nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral inilah yang merupakan aspek normatif yang harus dipakai
untuk menganalisa fenomena ekonomi serta dan hukumnya guna mengambil sejumlah
keputusan sehingga mampu meraih tujuan-tujuan yang diridhai Tuhan
17. Dalam paradigma Usul fiqh klasik menurut Hasbi As- Shiddiqiey terdapat lima prinsip
yang memungkinkan Hukum Islam bisa berkembang mengikuti masa:
a. prinsip Ijma’;
b. prinsip Qiyas;
c. prinsip Maslahah Mursalah;
d. Prinsip memelihara Urf’; dan
e. berubahnya hukum dengan berubahnya masa. Kelima prinsip ini dengan jelas

18. Dalam agama, ‘urf terkadang disinonimkan dengan kearifan lokal. Menyangkut ‘urf, ini
yang menjelaskan bahwa tentang kearifan berarti ada yang memiliki kearifan (al‘addah al-
ma’rifah), yang dilawankan dengan al-‘addah al-jahiliyyah. Kearifan adat dipahami
sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh
ketentuan agama. Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai
baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan
mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh
masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara
alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Adat
yang tidak baik akan hanya terjadi apabila terjadi pemaksaan oleh penguasa. Bila
demikian maka ia tidak tumbuh secara alamiah tetapi dipaksakan.
19. Salah satu cara yang yang ditempuh dalam rangka menjawab perkembangan zaman
dan perubahan sosial dan perekonomian kontemporer yang berkembang, yang kasusnya tidak
diatur secara eksplisit oleh al-Qur’an dan Sunah adalah dengan memahami secara baik dan
mendalam tujuan hukum yang ditetapkan oleh Allah swt (maqasid al-Syariah). Tujuan
hukum perlu diketahui untuk mengetahui lebih jauh, apakah ketentuan suatu hukum terhadap
suatu kasus dapat diterapkan atau karena adanya perubahan struktur sosial, ekonomi dan
hukum tersebut tidak dapat lagi diterapkan. Tentu yang dimaksud dengan persoalan hukum di
sini adalah hukum yang menyangkut bidang ekonomi Islam
20. Secara bahasa, maqashid al-syariah terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan al-syariah.
Maqasid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan al-syariah berarti jalan menuju sumber
air, yang menurut Fazlurrahman, dapat juga dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok
kehidupan74 Sedangkan menurut istilah al- Syatibi menyatakan bahwa “sesungguhnya syariah
bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia didunia”
Konsep maqasid al-syariah atau maslahat yang dikem- bangkan oleh al-Syatibi di atas
sebenarnya telah melampaui pembahasan ulama abad-abad sebelumnya. Konsep maslahat al-
Syatibi tersebut melingkupi seluruh bagian syariah dan bukan hanya aspek yang tidak diatur
oleh nas. Sesuai dengan pernyataan al-Ghazali, al-Syatibi merangkum bahwa tujuan Allah
menurunkan syariah adalah untuk mewujudkan maslahat.

Anda mungkin juga menyukai