Anda di halaman 1dari 14

Modul Hukum Acara Peradilan Agama

PERTEMUAN 6
PERBEDAAN DAN PERSAMAAN HUKUM ACARA DI LINGKUNGAN
PERADILAN UMUM DAN PERADILAN AGAMA

A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Perbedaan dan Persamaan
Hukum Acara di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama
1.1 Mempelajari Hukum Acara Perdata Peradilan Umum
1.2 Mempelajari Hukum Acara Peradilan Agama

B. URAIAN MATERI
Tujuan Pembelajaran 1.1:
Hukum Acara Perdata Peradilan Umum

Menurut Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara


Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya
menjamin ditaatinya Hukum Perdata Materiil dengan perantaraan hakim.
Sedangkan menurut Prof. DR. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., hukum
acara perdata ialah rangkaian Peraturan yang memuat cara bagaimana
orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan bagaimana
cara pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan
berjalannya peraturan-peraturan Hukum Perdata.
Menurut Sudikno Mertokusumo, Hukum acara perdata adalah
peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya
hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim atau peraturan hukum
yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum
perdata materiil.
Sifat Hukum acara perdata
Seperti halnya dengan segala hukum, maka hukum acara perdata
sebagian tertulis, artinya termuat dalam beberapa undang-undang negara.
Sebagian lagi tidak tertulis, artinya menurut adat kebiasaan yang dianut

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


1
Modul Hukum Acara Peradilan Agama

oleh para hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara.[3] Dengan


demikian, dalam hukum acara perdata kita apabila ada suatu perkara yang
diajukan kemuka sidang (Pengadilan), hakim tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadili perkara tersebut dengan alasan bahwa hukumnya
tidak tahu atau kurang jelas. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 14
ayat 1 UU No. 14 tahun 1970 yang berbunyi sebagai berikut: “ Pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak tahu atau kursng jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Kalau sekiranya ia tidak menemukan hukum tertulis, maka dia wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Hal ini sesuai dengan isi ketentuan dalam pasal 27 ayat 1 UU
No. 14 tahun 1970 yang berbunyi sebgai berikut: “hakim sebagai penegak
hukum dan keadilan wajib menggali, mengkuti dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat.” Dengan melihat ketentuan tersebut,
jelas bahwa hal ini memberikan kesempatan untuk dipergunakannya
hukum adat. Sehingga dengan demikian selain membantu hakim dalam
melaksanakan tugasnya, maka keputusannya pun diharapkan sesuai dengan
nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Sebagia
contoh, misalnya seorang hakim dari Jawa Barat yang dipindah tugaskan ke
Sumatra Barat, lalu harus mengadili perkara adat maka dalam hal ini ia
tidak dapat menolak dengan alasan tidak tahu hukumnya. Untuk itu ia
dapat memanggil seorang kepala adat atau kepala suku yang mengetahui
hukum adat setempat. Berdasarkan keterangan ahli adat tersebut ia dapat
menjatuhkan keputusannya. Tapi demi mengingat kedudukan hakim atau
pengadil yang merupakan tempat pelarian terakhir bagi para pencari
keadilan, maka sudah sepatutnyalah kalau hakim tersebut mengetahui
segala bentuk hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Selain dalam hal inisiatif pengajuan perkara seperti tersebut di atas,
maka peraturan-peraturan hukum acara perdata mempunyai pula sifat

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


2
Modul Hukum Acara Peradilan Agama

mengikat dan memaksa, ini mengandung arti bahwa kalau tidak ditaati
akan berakibat merugikan bagi pihak itu sendiri, atau kalau peraturan itu
dilanggar oleh hakim, mislanya putusan tidak diucapkan dimuka umum,
maka putusan itu dinyatakan tidak sah menurut hukum. Sebgai contoh
lainnya misalnya, alam hal pengajuan banding dalam undang-undang
dinyatakan bahwa banding dapat diajukan dalam jangka waktu 14 hari
setelah keputusan itu diketahui. Maka jika waktu pengajuannya telah
melewati batas waktu tersebut, permohonan banding tidak akan diterima.
Dengan demikian jelaslah di sini bahwa hukum acara perdata
mempunyai sifat mengikat dan memaksa, karena dianggap
menyelenggarakan kepentingan umum, sehingga peraturan Hukum Acara
Perdata ini tidak bisa dikesampingkan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan atau yang bersengketa serta merta harus tunduk dan
mentaatinya.
Meskipun demikian, ada juga bagian dari peraturan Hukum Acara
Perdata yang bersifat pelengkap (aanvullend recht) karena dianggap
mengatur penyelenggaraan kepentingan khusus dari yang bersangkutan,
sehingga dapat dikesampingkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Misalnya mengenai alat bukti yang dipakai dalam pembuktian suatu
perkara, pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengadakan perjanjian
yang menetapkan bagi mereka hanya dapat mempergunakan 1 (satu)
macam alat bukti, umpamanya tulisan, sedangkan pembuktian dengan alat
bukti lain tidak diperkenankan. Perjanjian yang mengatur tentang
pembuktian yang berlaku bagi orang-orang yang mengadakan perjanjian
tersebut "perjanjian pembuktian", yang menurut hukum memang
dibolehkan dalam batas-batas tertentu.
Sedangkan tujuan hukum acara perdata adalah supaya masyarakat
bisa mempertahankan hak keperdataanya, dan juga agar penyelesaian
perkara perdata atau pemulihan hak perdatanya tidak dengan cara main
hakim sendiri (eigenrichting), akan tetapi harus menurut ketentuan yang

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


3
Modul Hukum Acara Peradilan Agama

termuat dalam Hukum Perdata Formil sehingga tercipta ketertiban dan


kepastian hukum (perdata) dalam masyarakat.
Secara garis besar dapat dikemukakan bahwa hukum acara perdata
berfungsi untuk mempertahankan atau menegakkan hukum perdata agar
benar-benar bermanfaat untuk semua warga.
Adapun sumber hukum acara perdata, antara lain:
a. Het Herziene Indonesiech Reglement (HIR) atau Reglement Indonesia

yang diperbaharui : Stbl. 1848 No. 16 Stbl. 1941 N. 44 untuk daerah Jawa
dan Madura ;
b. Rechts Reglement Buitenngewesten (Rbg. Atau Reglement daerah

seberang : Stb 1927 No. 227 ) untuk luar Jawa san Madura) ;
c. Reglement op de Burgerlijk Rechtsvoerdering (RV atau Reglement
Hukum Acara Perdata untuk golongan Eropa : Stb. 1847 No. 52 , dan
Stb.1849 No. 63)
d. Burgerlijke Wetboek (BW) atau disebut juga Kitab Undang-undang

Hukum Perdata Eropa


e. UU Nomor 2 tahun 1986, tentang Peradilan Umum
Sedangkan asas-asas dalam hukum acara perdata adalah:
a. Peradilan yang terbuka untuk umum (Openbaarheid Van Rechtsspraak)

Peradilan yang terbuka untuk umum merupakan aspek fundamental


dari hukum acara perdata. Sebelum perkara disidangkan, maka hakim
ketua harus menyatakan bahwa “persidangan terbuka untuk umum”
sepanjang undang-undang tidak menentukan lain. (Mis : dalam perkara
persidangan perkara perceraian siding dinyatakan tertutup untuk
umum. Apabila hal ini tidak dipenuhi maka akan mengakibatkan
putusan batal demi hukum (Pasal 19 Ayat 1 dan 2 UU No.4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman
b. Hakim bersifat Pasif (Lijdelijkeheid Van De Rehter)

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


4
Modul Hukum Acara Peradilan Agama

Dalam asas ini terdapat sebuah aturan yang dikenal dengan (Nemo Judex
Sine Actore) yang artinya apabila gugatan tidak diajukan oleh para
pihak, maka tidak ada hakim yang mengadili perkara bersangkutan.
c. Mendengar Kedua belah pihak.
d. Pemeriksaan dalam dua instansi (Onderzoek In Tween Instanties)

e. Pengawasan Putusan Lewat Kasasi.


f. Peradilan dengan membayar biaya.
Peradilan perkara perdata pada asalnya dikenakan biaya perkara (Pasal 4
Ayat 2, Pasal 5 Ayat 2, UU No 4 Tahun 2004. Pasal 121 Ayat 4 HIR/Pasal 145
Ayat 4, 192, 194 RBg. Bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya
perkara dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri
setempat untuk berperkara secara Cuma-Cuma (Pro Deo).

Tujuan Pembelajaran 1.2:


Hukum Acara Peradilan Agama

Pengertian hukum acara peradilan agama menurut pendapat Abdul


Manan adalah hukum yang mengatur tentang cara mengajukkan gugatan
kepada pengadilan agama, bagaimana pihak tergugat mempertahankan diri
dari gugatan penggugat bagaimana para hakim bertindak baik sebelum dan
sedang pemeriksaan dilaksanakan dan bagaimana cara hakim memutus
perkaara yang di ajukan oleh penggugat serta bagaiamana melaksanakan
putusan tersebut seagaimana mestinya sesuai dengan peraturan yang
berlaku, sehingga hak dan kewajiban sebagaimana yang diatur dalam
hukum perdata agama dapat berjalan sebagaimana mestinya. Menurut
mukti arto hukum acara peradilan agama adalah semua kaidah hukum yang
menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak hak dan
kewajiban kewajiban perdata agama sebagaimana yang diatur dalam hukum
perdata materiil yang di atur dalam lingkungan peradilan agama.
PP No. 45 Tahun 1957, PA dibentuk untuk luar Jawa, Madura dan
Kalimantan Selatan, namun tidak disinggung hukum acaranya.

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


5
Modul Hukum Acara Peradilan Agama

UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo. PP No. 9 Tahun 1975


Tentang Peraturan Pelaksanaannya. dan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang.
Peradilan Agama Pasal 54. secara tegas disebutkan hukum acara yang
berlaku di PA
Pasal 54 telah dikemukakan bahwa Hukum acara yang berlaku
dalam lingkungan peradilan agama adalah Hukum Acara Perdata yang
berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali hal-
hal yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini
Inpres Nomor 1 tentang intruksi permasyarakatan Kompilasi Hukum
Islam ( KHI) yang terdiri dari tiga buku yaitu hukum perkawinan, kewarisan
dan wakaf.
Sebelum membicarakan pengertian Hukum Acara Peradilan Agama,
perlu diketahui bahwa Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan
dalam Bab IX pasal 24 ayat (2) bahwa peradilan agama merupakan salah
satu pemegang kekuasaan kehakiman. Peradilan agama adalah salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai dengan ketentuan
pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU No.35
Tahun 1999 dan terakhir diganti dengan UU No.4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 dalam pasal 2
disebutkan: “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu
dari Peradilan Negara Indonesia yang sah, yang bersifat Peradilan Khusus,
yang berwenang dalam jenis perkara perdata Islam tertentu, bagi orang
islam di Indonesia.
Menurut ketentuan Pasal 54, hukum acara yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


6
Modul Hukum Acara Peradilan Agama

Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum,


kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa terdapat hukum acara
perdata yang secara umum berlaku pada pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum dan Peradilan Agama, dan ada pula hukum acara yang
hanya berlaku pada pengadilan dalam Peradilan Agama.
Menurut pasal 1 ayat 1 UU No. 50 Tahun 2009 Peradilan Agama
adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa Hukum Acara Peradilan Agama adalah hukum
yang mengatur tentang berita pengajuan perkara perdata Islam tertentu
dalam kewenangan peradilan khusus di lingkungan Peradilan agama. Atau
dengan kata lain Hukum AcaraPeradilan Agama ialah pertaturan hukum
yang mengatur tentang bagaimana mentaati dan melaksanakan hukum
perdata materiel dengan perantaraan Pengadilan Agama termasuk
bagaimana cara bertindak mengajukan tuntutan hak atau permohonan dan
bagaimana cara Hakim bertindak agar hukum perdata materiel yang
menjadi kewenangan Peradilan Agama berjalan sebagaimana mestinya.
Dalam definisi pengadilan agama tersebut kata “Perdata” dihapus.
Hal ini dimaksudkan untuk:
a. Memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan

pelanggaran atas undang-undang perkawinan dan peraturan


pelaksanaannya
b. Untuk memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah dalam
melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan Qonun
Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa Peradilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam dalam bidang:
a. Perkawinan
b. waris;

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


7
Modul Hukum Acara Peradilan Agama

c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.
Hukum Acara Peradilan Agama sekarang secara garis besar
bersumber kepada dua aturan yaitu:
a. Yang terdapat dalam UU No. 7 tahun 1989

b. Yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum

Adapun asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama adalah meliputi


sebagai berikut:
a. Asas umum lembaga peradilan agama
1) Asas Bebas Merdeka Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi
terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia. Dalam
penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004.
2) Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman, yaitu Penyelenggara
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, semua peradilan di seluruh wilayah Negara
Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan
undang-undang. Dan peradilan Negara menerapkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila.
3) Asas Ketuhanan, yaitu peradilan agama dalam menerapkan
hukumnya selalu berpedoman pada sumber hokum Agama Islam,
sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


8
Modul Hukum Acara Peradilan Agama

dengan kalimatBasmalah yang diikuti dengan irah-irah “Demi


Keadilan Berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa.”
4) Asas Fleksibelitas, yaitu Pemeriksaan perkara di lingkungan
peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan
biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam pasal 57 (3) UU Nomor 7
Tahun 1989 yang tidak diubah dalam Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo pasal 4 (2) dan pasal 5 (2)
UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk
itu, pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara dan
berusaha menjelaskan dan mengatasi segala hambatan yang
dihadapi para pihak tersebut.
5) Asas Non Ekstra Yudisial, yaitu segala campur tangan dalam urusan
peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang
kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI Tahun
1945. Sehingga setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud akan dipidana.
6) Asas Legalitas, yaitu Peradilan agama mengadili menurut hokum
dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini diatur dalam pasal
3 (2), pasal 5 (2), pasl 6 (1) UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama. Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan
hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan hokum. Untuk itu
semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi
dan kewenangan peradilan harus berdasar atas hokum, mulai dari
tindakan pemanggilan, penyitan, pemeriksaan di persidangan,
putusan yang dijatuhkan dan eksekusi putusan, semuanya harus
berdasar atas hukum. Tidak boleh menurut atau atas dasar selera
hakim, tapi harus menurut kehendak dan kemauan hukum.
b. Asas khusus kewenangan Peradilan Agama

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


9
Modul Hukum Acara Peradilan Agama

1) Asas Personalitas Ke-islaman, yakni Yang tunduk dan yang dapat


ditundukkan kepada kekuasaan peradilan agama, hanya mereka
yang mengaku dirinya beragama Islam. Asas personalitas ke-islaman
diatur dalam UU nomor 3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas UU
Nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan agama Pasal 2 Penjelasan
Umum alenia ketiga dan Pasal 49 terbatas pada perkara-perkara
yang menjadi kewenangan peradilan agama.
2) Asas Ishlah (Upaya perdamaian), yaitu Upaya perdamaian diatur
dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 31
PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tentang
perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) UU No. 7 Tahun 1989
yang tidak diubah dalam UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama jo. Pasal 115 KHI, jo. Pasal 16 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004
Tentang Kekuasaan Kehakiman.
3) Asas Terbuka Untuk Umum, Asas terbuka untuk umum diatur
dalam pasal 59 (1) UU No.7 Tahun 1989 yang tidak diubah dalam
UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradila Agama jo. Pasal 19 (3 dan 4)
UU No. 4 Tahun 2004. Sidang pemeriksaan perkara di Pengadilan
Agama adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang
menentukan lain atau jika hakim dengan alasan penting yang
dicatat dalam berita acara siding memerintahkan bahwa
pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagianakan dilakukan
dengan siding tertutup.
4) Asas Equality, Setiap orang yang berperkara dimuka sidang
pengadilan adalah sama hak dan kedudukannya, sehingga tidak ada
perbedaan yang bersifat “diskriminatif” baik dalam diskriminasi
normative maupun diskriminasi kategoris.
5) Asas “Aktif” memberi bantuan, yaitu terlepas dari perkembangan
praktik yang cenderung mengarah pada proses pemeriksaan dengan
surat atau tertulis, hukum acara perdata yang diatur dalam HIR dan

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


10
Modul Hukum Acara Peradilan Agama

RBg sebagai hukum acara yang berlaku untuk lingkungan Peradilan


Umum dan Peradilan Agama sebagaimana yang tertuang pada Pasal
54 UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama.
6) Asas Upaya Hukum Banding, yaitu terhadap putusan pengadilan
tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada
Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali
Undang-undang menentukan lain.
7) Asas Upaya Hukum Kasasi, yaitu terhadap putusan pengadilan
dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah
Agung oleh para pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang
menentukan lain.
8) Asas Upaya Hukum Peninjauan Kembali, yaitu terhadap putusan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang
bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang
ditentukan dalam undang-undang. Dan terhadap putusan
peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
9) Asas Pertimbangan Hukum (Racio Decidendi), yaitu segala putusan
pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut,
memuat pula paal tertentu dan peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan
dasar untuk mengadili.
Hukum Acara Peradilan Agama bersifat “Lex Specialis”, dijelaskan
dalam Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 yang menyatakan bahwa,”Hukum
Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama
adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
Undang-undang ini”.
Berdasarkan bunyi pasal 54 tersebut di atas, berlaku asas “Lex
Specialis derogat Lex Generalis” yang berarti disamping acara yang berlaku

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


11
Modul Hukum Acara Peradilan Agama

pada pengadilan di lingkungan Pengadilan Agama berlaku Hukum Acara


yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, namun
secara khusus berlaku Hukum Acara yang hanya dimiliki oleh pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama.
Seperti telah diuraikan di atas bahwa berdasarkan ketentuan pasal 54
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, hukum acara yang berlaku di
Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan
Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-
Undang tersebut, oleh karena itu ketentuan-ketentuan umum yang berlaku
dalam hukum acara perdata berlaku juga dalam hukum acara Peradilan
Agama. Jadi hubungan hukum acara Peradilan Agama dengan hukum acara
perdata adalah sumber hukumnya dan ketentuan-ketentuan yang berlaku
sebagian besar adalah sama.
Sifat Hukum Acara : “sederhana, murah dan cepat” atau ” Sederhana,
cepat dan biaya ringan.” Peradilan cepat merupakan bagian dari hak asasi
manusia agar putusan segera dapat dilaksanakan.

DAFTAR PUSTAKA
Harahap, M.Yahya. 1993. Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan
Agama UU No.7 Tahun 1989. Jakarta: Pustaka Kartini.
Mertokusumo, Sudikno.1981. Hukum Acara Perdata di Indonesia.Yogyakarta:
Liberty.
Purwono, Joko. 1995. Metode Penelitian Hukum. Surakarta: UNS Press.
Rasyid, Roihan A. 2000. Hukum Acara Peradilan Agama (Ed.2 Cetakan ke-7).
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Sadzali, Munawir. 1993. Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam,
dalam Mahfud, Moh. M.D., dkk (Editor), Peradilan Agama dan
Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta:
UII Press.

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


12
Modul Hukum Acara Peradilan Agama

Soeparmono, R. 2000. Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, , Bandung:


Mandar Maju.
Soetantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. 1997. Hukum Acara
Perdata Dalam Teori dan Praktik. Bandung: Mandar Maju.
Subekti, R. 1989. Hukum Acara Perdata. Bandung: Bina Cipta
Supramono, Gatot. 1993. Hukum Pembuktian di Peradilan Agama. Bandung:
Alumni.
Syahrani, Riduan. 2103. Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Wahyudi, Abdullah Tri.2014. Hukum Acara Peradilan Agama. Bandung:
Mandar Maju.
Zulkarnaen dan Dewi Mayaningsih. 2017. Hukum Acara Peradilan Agama Di
Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan


Agama
________, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
________, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Kedua Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama.
________, Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
________, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.
________, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung.
________, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kompilasi Hukum Islam

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


13
Modul Hukum Acara Peradilan Agama

HIR
RBg

SOAL/TUGAS
1. Jelaskan Perbedaan dan Persamaan Sistem Beracara di
Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama!

S1 Ilmu Hukum Universitas Pamulang


14

Anda mungkin juga menyukai