Anda di halaman 1dari 13

TUGAS AKHIR SEMESTER

KASUS PEMBAJAKAN GAMBAR KARAKTER FILM FROZEN


PADA KEMASAN PRODUK BARANG
Mata Kuliah : Hak Kekayaan Intelektual dan Etika Profesi
Dosen Pengampu : Agung Purnomo, S.Sn, MA

Haifa Ummul Nafisah


18150107

PROGRAM STUDI DESAIN INTERIOR


FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN
INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media
komunikasi massa yang dibuat berdasaran kaidah sinematografi dengan atau tanpa
suara dan dapat dipertunjukan. Sebagai karya seni budaya yang dapat dipertunjukan
dengan atau tanpa suara juga bermakna bahwa film merupakan media komunikasi
massa yang membawa pesan yang berisi gagasan vital kepada publik (khalayak).
Sehingga fungsi lain daripada film yang sebelumnya hanya mempunyai fungsi hiburan
semata ternyata film mempunyai fungsi lain yaitu fungsi pendidikan, informasi dan
pendorong karya kreatif. Dilihat dari perspektif ekonomi keberadaan karya film dapat
mendorong perkembangan ekonomi kreatif.
Penjelasan mengenai film dijelaskan pada Pasal 40 butir 10 UndangUndang
Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta karya, yaitu sinematografi adalah Ciptaan
yang berupa gambar gerak (moving images) antara lain: film dokumenter, film iklan,
reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun. Karya
sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik
dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop,layar lebar,
televisi atau media lainnya. Sinematografi merupakan salah satu contoh bentuk
audiovisual.
Mengingat karya film merupakan karya seni yang mempunyai peran strategis
maka film (Feature Film) termasuk salah satu objek hak cipta yang dilindungi oleh
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. Film sebagai karya seni
merupakan objek hak cipta yang dilindungi oleh undang-undang maka pembuat film
selaku pemilik hak cipta atas karya film mempunyai hak eksklusif yaitu hak untuk
memonopoli atas karya ciptaanya dalam rangka melindungi karya ciptanya dari pihak
lain seperti hak untuk mengumumkan dan memperbanyak karya ciptannya atau
memberikan izin kepada orang lain untuk mendapat keuntungan secara ekonomis yang
sering disebut dengan hak ekonomi.1

1
Isnaini Yusran, 2010, Buku Pintar HAKI (Tanya Jawab Seputar Hak Kekayaan Intelektual), Bogor: Ghalia
Indonesia, hal. 9 .
Pada dasarnya hak eksklusif pada hak cipta timbul secara otomatis terhitung
sejak suatu ciptaan tersebut dilahirkan atau berwujud. Suatu ciptaan dikatakan telah
dilahirkan atau berwujud jika ciptaan tersebut telah dapat dilihat secara kasatmata atau
dapat didengar. Sejak saat itu pencipta atau pemegang hak telah memiliki hak eksklusif
atas ciptaanya tanpa memerlukan pendaftaran hak secara formal.2
Kemajuan teknologi informasi yang demikian pesatnya telah menyebabkan
perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung
telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru. Salah satunya
adalah pengumuman dan perbanyakan karya cipta film tanpa ijin di internet.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kasus pembajakan gambar karakter film frozen pada kemasan
produk barang ?
2. Bagaimana hukum yang berlaku pada kasus pembajakan gambar karate film
frozen pada kemasan produk barang tersebut ?

C. TUJUAN
1. Mengetahui terjadinya kasus pembajakan gambar karakter film frozen pada
kemasan produk barang.
2. Mengetahui hukum yang berlaku pada kasus pembajakan gambar karate film
frozen pada kemasan produk barang tersebut .

2
Ras Elyta Ginting, 2012, Hukum Hak Cipta Indonesia (Analisis Teori dan Praktik), Bandung: Citra Aditya
Bakti, hal. 64.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Sejarah Perkembangan HAKI di Indonesia


Secara historis, peraturan perundang-undangan di bidang HKI di Indonesia telah
ada sejak tahun 1840-an. Pemerintah Kolonial Belanda memperkenalkan undang-
undang pertama mengenai perlindungan HKI pada tahun 1844. Selanjutnya,
Pemerintah Belanda mengundangkan UU Merek (1885), UU Paten (1910), dan UU
Hak Cipta (1912). Indonesia yang pada waktu itu masih bernama Netherlands East-
Indies telah menjadi anggota Paris Convention for the Protection of Industrial
Property sejak tahun 1888 dan anggota Berne Convention for the Protection of Literary
and Aristic Works sejak tahun 1914. Pada jaman pendudukan Jepang yaitu tahun 1942
s.d. 1945, semua peraturan perundang-undangan di bidang HKI tersebut tetap berlaku.
Pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya. Sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peralihan UUD 1945,
seluruh peraturan perundang-undangan peninggalan kolonial Belanda tetap berlaku
selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. UU Hak Cipta dan UU peningggalan
Belanda tetap berlaku, namun tidak demikian halnya dengan UU Paten yang dianggap
bertentangan dengan pemerintah Indonesia. Sebagaimana ditetapkan dalam UU Paten
peninggalan Belanda, permohonan paten dapat diajukan di kantor paten yang berada di
Batavia, namun pemeriksaan atas permohonan paten tersebut harus dilakukan di
Octrooiraad yang berada di Belanda.
Pada tanggal 11 Oktober 1961 pemerintah RI mengundangkan UU No. 21 tahun
1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan (UU Merek 1961) untuk
menggantikan UU Merek kolonial Belanda. UU Merek 1961 yang merupakan undang-
undang Indonesia pertama di bidang HKI. Berdasarkan pasal 24, UU No. 21 Th. 1961,
yang berbunyi Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Merek 1961 dan
mulai berlaku satu bulan setelah undang-undang ini diundangkan. Undang-undang
tersebut mulai berlaku tanggal 11 November 1961. Penetapan UU Merek 1961
dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari barang-barang tiruan/bajakan. Saat ini,
setiap tanggal 11 November yang merupakan tanggal berlakunya UU No. 21 tahun
1961 juga telah ditetapkan sebagai Hari HKI Nasional.
Pada tanggal 12 April 1982 Pemerintah mengesahkan UU No.6 tahun 1982
tentang Hak Cipta ( UU Hak Cipta 1982) untuk menggantikan UU Hak Cipta
peninggalan Belanda. Pengesahan UU Hak Cipta 1982 dimaksudkan untuk mendorong
dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil kebudayaan di bidang karya ilmu,
seni dan sastra serta mempercepat pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa. Tahun
1986 dapat disebut sebagai awal era modern sistem HKI di tanah air. Pada tanggal 23
Juli 1986 Presiden RI membentuk sebuah tim khusus di bidang HKI melalui Keputusan
No. 34/1986 (Tim ini lebih dikenal dengan sebutan Tim Keppres 34). Tugas utama Tim
Keppres 34 adalah mencangkup penyusunan kebijakan nasional di bidang HKI,
perancangan peraturan perundang-undangan di bidang HKI dan sosialisasi sistem HKI
di kalangan instansi pemerintah terkait, aparat penegak hukum dan masyarakat luas.
Tim Keppres 34 selanjutnya membuat sejumlah terobosan, antara lain dengan
mengambil inisiatif baru dalam menangani perdebatan nasional tentang perlunya sistem
paten di tanah air. Setelah Tim Keppres 34 merevisi kembali RUU Paten yang telah
diselesaikan pada tahun 1982, akhirnya pada tahun 1989 Pemerintah mengesahkan UU
Paten.
Pada tanggal 19 September 1987 Pemerintah RI mengesahkan UU No. 7 tahun
1987 sebagai perubahan atas UU No. 12 tahun 1982 tentang Hak Cipta. Dalam
penjelasan UU No. 7 tahun 1987 secara jelas dinyatakan bahwa perubahan atas UU No.
12 tahun 1982 dilakukan karena semakin meningkatnya pelanggaran hak cipta yang
dapat membahayakan kehidupan sosial dan menghancurkan kreativitas masyarakat.
Perkembangan dilakukan terus menerus sehingga tahun 2002 penetapan HAKI menjadi
lebih sempurna. 3
2. Hak Cipta

Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi izin untuk itu dengan
tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.4

3
Situs Resmi Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia
(https://www.dgip.go.id/tentang-kami/sekilas-sejarah)
4
Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual.
Hak Cipta menyatakan bahwa Hak Cipta adalah hak yang mengatur karya
intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang dituangkan dalam bentuk
yang khas dan diberikan pada ide, prosedur, metode atau konsep yang telah
dituangkan dalam wujud tetap. Untuk mendapatkan perlindungan melalui Hak Cipta,
tidak ada keharusan untuk mendaftarkan. Pendaftaran hanya semata-mata untuk
keperluan pembuktian belaka. Dengan demikian, begitu suatu ciptaan berwujud, maka
secara otomatis Hak Cipta melekat pada ciptaan tersebut. Biasanya publikasi
dilakukan dengan mencantumkan tanda Hak Cipta ©. Perlindungan hukum terhadap
pemegang Hak Cipta dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan iklim yang lebih
baik bagi tumbuh dan berkembangnya semangat mencipta di bidang ilmu
pengetahuan, seni dan sastra.5

5
UU No. 19 Tahun 2002
BAB III

PEMBAHASAN

1. Kasus pembajakan gambar karakter film frozen pada kemasan produk barang

Beredarnya banyak produk yang mengeluarkan versi kemasan barunya dengan


menggunakan gambar karakter film yang sedang trend dimasanya. Salah satunya
adalah karakter film frozen yang banyak digemari oleh kalangan anak-anak hingga
dewasa. Banyak produsen makanan dan minuman yang memnfaatkan penggunaan
karakter tersebut untuk mengikat daya tarik pembeli dan untuk meningkatkan jumlah
penjualan produknya. Hal ini yang menjadikan permasalahan apakah pihak produsen
makanan dan minuman tersebut sudah membuat perjanjian atau ijin terhadap pemilik
atau pembuat karakter film frozen yang akan digunakan tersebut. Dalam suatu produk
seringkali terdapat beberapa kekayaan intelektual, contohnya produk minuman yang
mencantumkan gambar karakter frozen di kemasannya. Dalam produk tersebut,
terdapat dua kekayaan intelektual, yaitu hak cipta dan merek.

2. Hukum yang berlaku pada pembajakan gambar karakter film frozen pada
kemasan produk barang
Film sebagai Ciptaan

Hak cipta berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014


tentang Hak Cipta (UUHC) adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata
tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan ciptaan adalah setiap hasil karya cipta
di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi,
kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang
diekspresikan dalam bentuk nyata.(Pasal 1 angka 3 UUHC)

Film Frozen termasuk dalam kategori ciptaan yang dilindungi, yaitu karya
sinematografi sebagaimana diterangkan Pasal 40 ayat (1) huruf m UUHC. Yang
dimaksud dengan karya sinematografi adalah ciptaan yang berupa gambar bergerak
(moving images), antara lain film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita
yang dibuat dengan skenario, dan film kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam
pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang
memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, layar lebar, televisi, atau media
lainnya. Sinematografi merupakan salah satu contoh bentuk audiovisual.(Penjelasan
Pasal 40 ayat (1) huruf m UUHC)

Oleh karena itu, pemanfaatan film tersebut juga harus sesuai dengan
pelaksanaan hak cipta yang melekat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Pasal 4
UUHC menerangkan bahwa hak cipta terdiri atas hak moral dan hak ekonomi.

Hak moral merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri pencipta untuk
(Pasal 5 ayat (1) UUHC) :

a. tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan


sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum;
b. menggunakan nama aliasnya atau samarannya;
c. mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat;
d. mengubah judul dan anak judul ciptaan; dan
e. mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan,
modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau
reputasinya.

Hak ekonomi merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta
untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan.(Pasal 9 ayat (1) UUHC) Pencipta
atau pemegang hak cipta memiliki hak ekonomi untuk melakukan (Pasal 9 ayat (1)
UUHC) :

a. penerbitan ciptaan;
b. penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya;
c. penerjemahan ciptaan;
d. pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan;
e. pendistribusian ciptaan atau salinannya;
f. pertunjukan ciptaan;
g. pengumuman ciptaan;
h. komunikasi ciptaan, dan
i. penyewaan ciptaan.
Perjanjian Lisensi

Dalam kasus yang Anda tanyakan, maka pemilik merek yang mencantumkan
gambar karakter film Frozen harus mempunyai lisensi dari pemegang hak cipta.
Lisensi adalah izin tertulis yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemilik hak
terkait kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas ciptaannya atau
produk hak terkait dengan syarat tertentu.(Pasal 1 angka 20 UUHC) Kecuali
diperjanjikan lain, pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait berhak memberikan
lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian tertulis untuk melaksanakan, di
antaranya, perbuatan dalam Pasal 9 ayat (1) UUHC. Jika pemilik merek yang
mencantumkan gambar karakter film Frozen tersebut menjual produknya tanpa izin
dari pemegang hak cipta, maka pemilik merek tersebut dapat dianggap melakukan
dugaan pembajakan sebagaimana ketentuan UUHC.

Pembajakan

Penggandaan adalah proses, perbuatan, atau cara menggandakan satu salinan


ciptaan dan/atau fonogram atau lebih dengan cara dan dalam bentuk apapun, secara
permanen atau sementara.(Pasal 1 angka 12 UUHC) Sedangkan pembajakan, yaitu
penggandaan ciptaan dan/atau produk hak terkait secara tidak sah dan pendistribusian
barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan
ekonomi (Pasal 1 angka 23 UUHC) Apabila pemilik merek yang mencantumkan
gambar karakter film Frozen terbukti melakukan pembajakan atau pelanggaran hak
ekonomi lainnya yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) UUHC, maka dapat dikenakan
sanksi yang terdapat pada Pasal 113 UUHC sebagai berikut:

1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i UUHC untuk
penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100 juta.
2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau
pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h UUHC untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500 juta.
3. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau
pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e,
dan/atau huruf g UUHC untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 tahun dan/ atau pidana denda paling banyak
Rp1 miliar.
4. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada angka 3
yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4 miliar.
Dalam kasus ini, hanya pihak pencipta dan/atau pemegang hak cipta yang
berhak menuntut atas tindak pidana pelanggaran hak cipta yang menyebabkan
kerugian kepada pihak tersebut, karena pelanggaran hak cipta merupakan delik
aduan.(Pasal 120 UUHC)
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa pentingnya menjalin kerjasama serta
mengedepankan ijin terhadap suatu karya yang telah dibuat oleh orang lain. Dengan
demikian hal tersebut akan dapat terjaga secara baik dan tidak menjadikan suatu
masalah antara kedua belah pihak yang terkait dengan peredaran suatu produk yang
telah dibuat. Dalam perkembangannya banyak persaingan tidak sehat yang
menimbulkan terhambatnya kreasi salah satunya plagiasi maupun pembajakan. Hal
ini sebaiknya butuh penanganan yang tegas agar pelaku mendapatkan perlakuan
hukum dan terjaganya originalitas dari berbagai kreasi yang diciptakan oleh generasi
muda Indonesia.
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA

Buku panduan di bidang Hak Cipta,Departemen Kehakiman R.I. DirJen Hak Cipta, Paten dan
Merek, Tangerang, hal. 9.

Isnaini Yusran, 2010, Buku Pintar HAKI (Tanya Jawab Seputar Hak Kekayaan Intelektual),
Bogor: Ghalia Indonesia, hal. 9

Ras Elyta Ginting, 2012, Hukum Hak Cipta Indonesia (Analisis Teori dan Praktik), Bandung:
Citra Aditya Bakti, hal. 64.

Saidin Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights). Edisi revisi,
Penerbit P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta 1997, hal.9.

Website

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5e296a6990493/pembajakan-gambar-
karakter-film-di-kemasan-produk-barang/

Anda mungkin juga menyukai