A. LATAR BELAKANG
Film adalah karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media
komunikasi massa yang dibuat berdasaran kaidah sinematografi dengan atau tanpa
suara dan dapat dipertunjukan. Sebagai karya seni budaya yang dapat dipertunjukan
dengan atau tanpa suara juga bermakna bahwa film merupakan media komunikasi
massa yang membawa pesan yang berisi gagasan vital kepada publik (khalayak).
Sehingga fungsi lain daripada film yang sebelumnya hanya mempunyai fungsi hiburan
semata ternyata film mempunyai fungsi lain yaitu fungsi pendidikan, informasi dan
pendorong karya kreatif. Dilihat dari perspektif ekonomi keberadaan karya film dapat
mendorong perkembangan ekonomi kreatif.
Penjelasan mengenai film dijelaskan pada Pasal 40 butir 10 UndangUndang
Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta karya, yaitu sinematografi adalah Ciptaan
yang berupa gambar gerak (moving images) antara lain: film dokumenter, film iklan,
reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun. Karya
sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik
dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop,layar lebar,
televisi atau media lainnya. Sinematografi merupakan salah satu contoh bentuk
audiovisual.
Mengingat karya film merupakan karya seni yang mempunyai peran strategis
maka film (Feature Film) termasuk salah satu objek hak cipta yang dilindungi oleh
Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. Film sebagai karya seni
merupakan objek hak cipta yang dilindungi oleh undang-undang maka pembuat film
selaku pemilik hak cipta atas karya film mempunyai hak eksklusif yaitu hak untuk
memonopoli atas karya ciptaanya dalam rangka melindungi karya ciptanya dari pihak
lain seperti hak untuk mengumumkan dan memperbanyak karya ciptannya atau
memberikan izin kepada orang lain untuk mendapat keuntungan secara ekonomis yang
sering disebut dengan hak ekonomi.1
1
Isnaini Yusran, 2010, Buku Pintar HAKI (Tanya Jawab Seputar Hak Kekayaan Intelektual), Bogor: Ghalia
Indonesia, hal. 9 .
Pada dasarnya hak eksklusif pada hak cipta timbul secara otomatis terhitung
sejak suatu ciptaan tersebut dilahirkan atau berwujud. Suatu ciptaan dikatakan telah
dilahirkan atau berwujud jika ciptaan tersebut telah dapat dilihat secara kasatmata atau
dapat didengar. Sejak saat itu pencipta atau pemegang hak telah memiliki hak eksklusif
atas ciptaanya tanpa memerlukan pendaftaran hak secara formal.2
Kemajuan teknologi informasi yang demikian pesatnya telah menyebabkan
perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung
telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru. Salah satunya
adalah pengumuman dan perbanyakan karya cipta film tanpa ijin di internet.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kasus pembajakan gambar karakter film frozen pada kemasan
produk barang ?
2. Bagaimana hukum yang berlaku pada kasus pembajakan gambar karate film
frozen pada kemasan produk barang tersebut ?
C. TUJUAN
1. Mengetahui terjadinya kasus pembajakan gambar karakter film frozen pada
kemasan produk barang.
2. Mengetahui hukum yang berlaku pada kasus pembajakan gambar karate film
frozen pada kemasan produk barang tersebut .
2
Ras Elyta Ginting, 2012, Hukum Hak Cipta Indonesia (Analisis Teori dan Praktik), Bandung: Citra Aditya
Bakti, hal. 64.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberi izin untuk itu dengan
tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.4
3
Situs Resmi Direktorat Jendral Hak Kekayaan Intelektual Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia
(https://www.dgip.go.id/tentang-kami/sekilas-sejarah)
4
Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual.
Hak Cipta menyatakan bahwa Hak Cipta adalah hak yang mengatur karya
intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang dituangkan dalam bentuk
yang khas dan diberikan pada ide, prosedur, metode atau konsep yang telah
dituangkan dalam wujud tetap. Untuk mendapatkan perlindungan melalui Hak Cipta,
tidak ada keharusan untuk mendaftarkan. Pendaftaran hanya semata-mata untuk
keperluan pembuktian belaka. Dengan demikian, begitu suatu ciptaan berwujud, maka
secara otomatis Hak Cipta melekat pada ciptaan tersebut. Biasanya publikasi
dilakukan dengan mencantumkan tanda Hak Cipta ©. Perlindungan hukum terhadap
pemegang Hak Cipta dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan iklim yang lebih
baik bagi tumbuh dan berkembangnya semangat mencipta di bidang ilmu
pengetahuan, seni dan sastra.5
5
UU No. 19 Tahun 2002
BAB III
PEMBAHASAN
1. Kasus pembajakan gambar karakter film frozen pada kemasan produk barang
2. Hukum yang berlaku pada pembajakan gambar karakter film frozen pada
kemasan produk barang
Film sebagai Ciptaan
Film Frozen termasuk dalam kategori ciptaan yang dilindungi, yaitu karya
sinematografi sebagaimana diterangkan Pasal 40 ayat (1) huruf m UUHC. Yang
dimaksud dengan karya sinematografi adalah ciptaan yang berupa gambar bergerak
(moving images), antara lain film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita
yang dibuat dengan skenario, dan film kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam
pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang
memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, layar lebar, televisi, atau media
lainnya. Sinematografi merupakan salah satu contoh bentuk audiovisual.(Penjelasan
Pasal 40 ayat (1) huruf m UUHC)
Oleh karena itu, pemanfaatan film tersebut juga harus sesuai dengan
pelaksanaan hak cipta yang melekat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Pasal 4
UUHC menerangkan bahwa hak cipta terdiri atas hak moral dan hak ekonomi.
Hak moral merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri pencipta untuk
(Pasal 5 ayat (1) UUHC) :
Hak ekonomi merupakan hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta
untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan.(Pasal 9 ayat (1) UUHC) Pencipta
atau pemegang hak cipta memiliki hak ekonomi untuk melakukan (Pasal 9 ayat (1)
UUHC) :
a. penerbitan ciptaan;
b. penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya;
c. penerjemahan ciptaan;
d. pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan;
e. pendistribusian ciptaan atau salinannya;
f. pertunjukan ciptaan;
g. pengumuman ciptaan;
h. komunikasi ciptaan, dan
i. penyewaan ciptaan.
Perjanjian Lisensi
Dalam kasus yang Anda tanyakan, maka pemilik merek yang mencantumkan
gambar karakter film Frozen harus mempunyai lisensi dari pemegang hak cipta.
Lisensi adalah izin tertulis yang diberikan oleh pemegang hak cipta atau pemilik hak
terkait kepada pihak lain untuk melaksanakan hak ekonomi atas ciptaannya atau
produk hak terkait dengan syarat tertentu.(Pasal 1 angka 20 UUHC) Kecuali
diperjanjikan lain, pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait berhak memberikan
lisensi kepada pihak lain berdasarkan perjanjian tertulis untuk melaksanakan, di
antaranya, perbuatan dalam Pasal 9 ayat (1) UUHC. Jika pemilik merek yang
mencantumkan gambar karakter film Frozen tersebut menjual produknya tanpa izin
dari pemegang hak cipta, maka pemilik merek tersebut dapat dianggap melakukan
dugaan pembajakan sebagaimana ketentuan UUHC.
Pembajakan
1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i UUHC untuk
penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100 juta.
2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau
pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h UUHC untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500 juta.
3. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau
pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e,
dan/atau huruf g UUHC untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 tahun dan/ atau pidana denda paling banyak
Rp1 miliar.
4. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada angka 3
yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4 miliar.
Dalam kasus ini, hanya pihak pencipta dan/atau pemegang hak cipta yang
berhak menuntut atas tindak pidana pelanggaran hak cipta yang menyebabkan
kerugian kepada pihak tersebut, karena pelanggaran hak cipta merupakan delik
aduan.(Pasal 120 UUHC)
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa pentingnya menjalin kerjasama serta
mengedepankan ijin terhadap suatu karya yang telah dibuat oleh orang lain. Dengan
demikian hal tersebut akan dapat terjaga secara baik dan tidak menjadikan suatu
masalah antara kedua belah pihak yang terkait dengan peredaran suatu produk yang
telah dibuat. Dalam perkembangannya banyak persaingan tidak sehat yang
menimbulkan terhambatnya kreasi salah satunya plagiasi maupun pembajakan. Hal
ini sebaiknya butuh penanganan yang tegas agar pelaku mendapatkan perlakuan
hukum dan terjaganya originalitas dari berbagai kreasi yang diciptakan oleh generasi
muda Indonesia.
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA
Buku panduan di bidang Hak Cipta,Departemen Kehakiman R.I. DirJen Hak Cipta, Paten dan
Merek, Tangerang, hal. 9.
Isnaini Yusran, 2010, Buku Pintar HAKI (Tanya Jawab Seputar Hak Kekayaan Intelektual),
Bogor: Ghalia Indonesia, hal. 9
Ras Elyta Ginting, 2012, Hukum Hak Cipta Indonesia (Analisis Teori dan Praktik), Bandung:
Citra Aditya Bakti, hal. 64.
Saidin Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights). Edisi revisi,
Penerbit P.T. Raja Grafindo Persada, Jakarta 1997, hal.9.
Website
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5e296a6990493/pembajakan-gambar-
karakter-film-di-kemasan-produk-barang/