Anda di halaman 1dari 54

CASE REPORT SESSION (CRS)

**Kepaniteraan Klinik Senior/G1A219130/ Januari 2022

** Pembimbing : dr. Nisa Haska, Sp.A

TUMOR LISIS SINDROM ET CAUSA

SUSPEK LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT

Oleh:

Rahmatulhusna Atikah

G1A219130

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

RSUD RADEN MATTAHER JAMBI 2022


HALAMAN PENGESAHAN

Case Report Session (CRS)

TUMOR LISIS SINDROM ET CAUSA SUSPEK LEUKEMIA


LIMFOBLASTIK AKUT

Disusun Oleh

Rahmatulhusna Atikah

G1A219130

Telah diterima dan dipresentasikan sebagai salah satu tugas

Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Raden Mattaher Jambi Program Studi

Pendidikan Kedokteran Universitas Jambi

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan

Jambi, Januari 2022

PEMBIMBING

dr. Nisa Haska, Sp.A

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Clinical Report Session yang berjudul “Tumor Lisis
Sindrom Et Causa Suspek Leukemia Limfoblastik Akut” sebagai salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD Raden Mattaher
Jambi.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Nisa Haska, Sp.A yang telah bersedia
meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis selama menjalani Kepaniteraan
Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher
Provinsi Jambi.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada laporan Kasus ini, sehingga
penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan laporan kasus ini. Penulis
mengharapkan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.

Jambi, Januari 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

BAB II LAPORAN KASUS .................................................................................. 3

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 18

BAB IV ANALISA KASUS................................................................................. 46

BAB V KESIMPULAN ...................................................................................... 49

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 50

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Tumor lisis syndrom (TLS) termasuk kegawatdaruratan dalam bidang onkologi medik berupa
perubahan metabolik yang bersifat fatal yang paling sering terjadi setelah pemberian kemoterapi
pada keganasan hemotologik seperti akut limphoblastik leukemia atau high grade lymphoma (2),
tetapi tumor lisis syndrom dapat juga terjadi pada kegananasan hemotologik yang lain seperti
kronik lymphositik leukemia, akut myeloid leukemia, multipel myeloma, Hogkin lymphoma dan
low-intermediate NHL (2), juga pada beberapa solid tumor seperti kanker paru, kanker mamae dan
testis(3).
Leukemia merupakan penyakit proliferasi patologis dari sel pembuat darah yang bersifat
sistemik dan biasanya berakibat fatal. Hal ini disebabkan oleh proliferasi tidak terkontrol dari klon
sel darah immatur yang berasal dari sel induk hematopoietic Leukemia limfoblastik akut
merupakan keganasan pada sistem limfopoietik, yang ditandai dengan penggantian elemen
sumsum tulang normal oleh sel darah abnormal atau sel leukemik
Pada laporan kasus ini akan dilaporkan An. A.S usia 4 tahun 3 bulan dengan diagnosis tumor
lisis sindrom ec susp. Leukimia Limfoblastik Akut. Selain membahas proses penegakan diagnosis
leukemia, rencana terapi dan perawatan, serta penanganan efek samping yang timbul akibat
penyakit dan pengobatan

1
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama Pasien : An. AS
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 23/10/2017
Umur : 4 Tahun 2 Bulan
Nama Ayah : Tn.
Nama Ibu : Ny.
Bangsa : Indonesia
Agama : islam
Alamat : Tanjung Jabung Timur
MRS tanggal : 27/12/2021 via IGD

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Kencing berdarah ± 2 hari SMRS

Keluhan Tambahan : demam, sesak napas, nyeri perut dan kedua kaki

2.2.1 Riwayat Perjalanan Penyakit


± 3 bulan SMRS demam tinggi , demam kadang timbul secara perlahan, demam terjadi
kadang saat istirahat kadang bisa juga saat berkativitas, demam hilang timbul turun bila
diberikan obat penurun panas kemudian beberapa jam kemudian panas lagi, hal ini terjadi.
demam tidak disertai menggigil (-), berkeringat (+) pusing (-), kejang (-), batuk (-) diare (-)
riwayat trauma (-), berpergian keluar kota dalam 2 minggu (-), pilek (+), mual (-), muntah (+),
muntah hingga 3x sehari sebanyak 1/3 gelas aqua (220 cc) yaitu ± 70 cc berwarna bening dan
bercampur sedikit bercak kemerahan.

2
± 1 minggu SMRS ibu pasien mengatakan anaknya sesak setelah meminum obat TB, obat TB
baru dikonsumsi selama 2 minggu. Karena sesak dirasakan memberat, ibu pasien membawa
anaknya berobat ke RS setempat dan dirawat selama 1 minggu. Keluhan sesak juga disertai
dengan Keluhan juga disertai dengan perut yang makin buncit dan keras. Selamat dirawat
sesaknya mengalami perbaikan sehingga diperbolehkan pulang, tetapi perut pasien masih
keras. Ibu pasien mengatakan BAB pasien berwarna hitam. Dalam sehari pasien buang air
besar hitam >10 kali Ibu pasien juga megelukan kencing berdarah, Darah yang keluar saat
pasien BAK terkadang juga disertai lendir dan gumpalan darah , saat BAK tidak terasa nyeri.
Frekuensi berkemih sekitar 5 kali dalam sehari.

2.2.2 Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat keluhan serupa berupa sesak nafas (-),
 kejang demam (-)
 Riwayat alergi (-)
 Riwayat meningitis (-)
 Riwayat kelahiran lama (-)
 Riwayat kuning (-)
 Riwayat terjatuh & trauma (-)
2.2.3 Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat keluhan serupa (-)
- Riwayat asthma (-)
- Riwayat kejang pada anggota keluarga (-)
2.2.4 Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan anak pertama dan lahir dari keluarga kurang mampu.
2.2.5 Riwayat Sebelum Masuk Rumah Sakit
a. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Masa Kehamilan : Cukup bulan
Partus : normal
Ditolong oleh : Bidan
Tanggal : 23 Oktober 2017
Berat Badan Lahir : 3,6 kg

3
Panjang Badan : 48 cm

b. Riwayat Makanan
ASI : ASI ekslusif sampai usia 6 bulan
Susu Formula :-
MPASI : Diberikan pada usia 6 bulan
Nasi Tim/lembek : Mulai diberikan usia 8 bulan
Nasi Biasa : Mulai usia 1 tahun
Daging, Ikan, Telur : Sejak usia 8 bulan
Sayuran : Sering
Buah : Jarang
Kesan : Cukup

c. Riwayat Imunisasi
Hepatitis B : + (4 kali)
BCG :+ (1 kali)
Polio :+ (1 kali)
DPT :+ (1 kali)
Hib :+ (1kali)
PCV :+ (1kali)
Rotavirus :-
Campak :+ (1kali)
Kesan : Imunisasi dasar tidak lengkap

d. Riwayat Perkembangan
Gigi Pertama : 4 bulan
Tengkurap : 4 bulan
Merangkak : 8 bulan
Duduk : 10 bulan
Berdiri : 17 bulan
Berjalan : 18 bulan
Aktiftas : terhambat
Kesan : Perkembangan terganggu

4
e. Status Gizi
BB : 12 kg
TB : 100 cm
LK : 45 cm
LiLa : 10 cm
Status gizi :

BB/U : <P3 (18/25x100% = 72%) BB Kurang


TB/U : P3 s/d P10 (118/126x100%= 94%) Tinggi Baik
BB/TB : BBA/BBI X 100%
18kg/22kg x 100 %
=82% (gizi kurang)
Lingkar kepala : LK/U : 45 cm (Normocephal)

Riwayat Penyakit yang pernah Diderita


Parotitis :- Muntah berak : +
Pertusis :- Asma :-
Difteri :- Cacingan :-
Tetanus :- Patah tulang :-
Campak :- Jantung :-
Varicella :- Sendi bengkak : +
Thypoid :- Kecelakaan :-
Malaria :- Operasi :-
DBD :- Keracunan :-
Demam menahun :- Sakit kencing : -
Radang paru :- Sakit ginjal :-
TBC (kelenjar) :+ Alergi :-
Kejang :- Perut kembung: -
Lumpuh :- Otitis Media : -
Batuk/pilek :+

2.3 Pemeriksaan Fisik


1. Pemeriksaan Umum

5
Keadaan Umum : Tampak Sakit berat
Kesadaran : Compos Mentis, E4V5M6 (15)
Tekanan Darah :-
Nadi : 154x/i
Pernapasan : 25x/i
Suhu : 39,3oC
Spo2 : 98%

2. Pemeriksaan Khusus
1. Kulit
● Warna : sawo matang
● Turgor : kembali cepat
● Pucat :+
● Lain-lain : papul (-), Petekie (-)

2. Kepala
● Bentuk : normocephal
● Rambut
- Warna : Hitam, merata, tidak mudah dicabut
- Sutura : menutup
● Mata
- Palpebra : Edema (+/+)
- Alis dan bulu mata : Hitam
- Konjungtiva : Anemis (+/+)
- Sklera : Ikterik (-)
- Pupil : Isokor, refleks cahaya (+/+)
- Kornea : Jernih (+)
● Telinga
- Bentuk : Simetris
- Sekret : Tidak ada
- Serumen : (+/+) Minimal
- Nyeri : (-/-)

6
● Hidung
- Bentuk : Simetris
- Sekret : (+/+)
- Epistaksis : (+/+)
- NCH : (+)
● Mulut dan Gigi
- Bentuk : Simetris
- Bibir : Kering (+), pucat (+)
- Karies : Tidak ditemukan
- Lidah : Atropi papil lidah (-)
● Faring
- Hiperemis : (-)
- Edema : Tidak ditemukan
- Membran / pseudomembran : Tidak ditemukan
● Tonsil
- Warna : hiperemis (-)
- Pembesaran : T1-T1
- Abses : (-/-)
- Membran / pseudomembran : Dalam batas normal
● Leher
- Pembesaran kelenjar leher : pembesaran (+/+)
- Kaku kuduk : Tidak ditemukan
- Massa : Tidak ditemukan
- Tortikolis : Tidak ditemukan
- Parotitis : Tidak ditemukan
3. Thoraks
● Jantung
- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea
midclavicula sinistra
- Auskultasi :

7
o Suara dasar : Irama jantung regular
o Bising : Murmur (-). gallop (-)
● Paru
Inspeksi Bentuk : Simetris
Retraksi : (-/-)
Pernapasan : thorakoabdominal
Sternum : ditengah
Palpasi Fremitus vocal : Simetris kanan dan kiri
Perkusi Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi Suara nafas dasar : Vesikuler (+/+) meningkat
Suara nafas tambahan: Ronki (+/+),Wheezing (-/-)
● Abdomen
Inspeksi Bentuk : Distensi (+)
Auskultasi Bising usus menurun
Palpasi Nyeri tekan : diseluruh kuadran

Nyeri lepas : Tidak ditemukan

Turgor : Baik

Hepar : teraba 4 jari dibawah arcus costae,


tepi rata

Lien : teraba pada schiffner 3

Perkusi  Ascites : shifting dullness (+)

 Ekstremitas
Ekstremitas Atas : Akral hangat +/+, edema -/-
Ekstermitas Bawah : Akral hangat +/+, edema -/-, petekie (+)

3. Pemeriksaan Neurologi
● Tanda Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : Tidak ditemukan

8
Brudzinsky I : Tidak ditemukan
Brudzinsky II : Tidak ditemukan
Kernig : Tidak ditemukan
Lasegue : Tidak ditemukan
● Pemeriksaan Fisiologis
Refleks tendon biseps : (+/+) Tidak ada hiperrefleks
Refleks tendon triseps : (+/+) Tidak ada hiperrefleks
Patella : (+/+) Tidak ada hiperrefleks
Achilles : (+/+) Tidak ada hiperrefleks
● Pemeriksaan Patologis : (-/-)
● Tonus : eutoni
● Kekuatan : 5 5
5 5

4. Pemeriksaan Laboratorium
a. 10/01/2022
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan

Hematologi rutin

Hemoglobin 7,00 12-16 g/dL

Hematokrit 19,1 34.5-54 %

Eritrosit 2,43 4.5-5.5 106/ uL

MCV 78,4 80-96 fL

MCH 28,8 27-31 Pg

MCHC 36,7 32-36 g/Dl

RDW 16,5 %

Trombosit 25.1 150-450 103/ uL

9
PCT .021 0.150-0.400 %

MPV 8.30 7.2-11.1 fL

PDW 23.7 9-13 fL

Leukosit 106 4.0-10.0 103/ uL

Faal Ginjal

Ureum 21 15-39 Mg/dl

creatinin 0,27 0,55 -1,3 Mg/dl

Kesan : Anemia mikrositik normokrom

b. 11/01/2022

Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan Satuan

Urin rutin

Warna Kuning Kuning muda

Kejernihan Keruh Jernih

Ph 8 4-8.5

Leukosit Negative Negative uL

Berat Jenis 1.010 1.005 – 1.030

Protein negative Negative

Glukosa Normal Normal


(reduksi )

Keton Negative Negative

10
Bilirubin Negative Negative

Eritrosit Negative Negative

Urobilinogen Normal Normal

Nitrit Negative Negative

Kesan ; dalam batas normal

c. Pemeriksaan Anjuran
- Aspirasi sumsum tulang
- Foto thoraks
- Cek kadar fosfat dan kalsium
- Cek kadar albumin
- USG ginjal
- Konsul untuk hemodialisis
2.5 Diagnosa
Diagnosa Kerja:
Tumor lisis sindrom ec. Susp leukemia limfoblastik akut
Diagnosa Banding:
- leukemia limfoblastik akut
- leukemia mieloblastik akut
- anemia aplastik
2.6 Tatalaksana (bangsal):
- O2 1 lpm
- IVFD D51/4 NS 3 gtt/menit
- Bicarbonat natrium 40 meq/hari
- Inj.ceftriaxone 1 gram/12 jam/IV
- Allupurinol 2 x 90mg
- Paracetamol drips 25ml/8 jam/IV
- - Inj. Ketorolac . ampul (5 mg)/8 jam/IV
- - Transfusi PRC 250 ml
2.7 Prognosa
- Quo ad vitam : Dubia Ad malam
- Quo ad Functionam : Dubia Ad malam

11
- Quo ad Sanationam : Dubia Ad malam

2.8 Follow Up

Tgl S O A P

10/01/2022 Demam (+). Batuk KU: Tampak sakit berat Tumor lisis  02 5 liter NS
(+), kencing merah GCS: E4V5M6 sindrom e.c
(+) VS: Nadi: 129x/menit leukemia  IVFD D5 ¼ NS
RR: 35x/menit T: 38,4C limfoblastik 1000cc/24 jam
SpO2: 98% akut
PF:  Inj. Ceftriaxone 2x 1
Mata: konjungtiva anemis gr
(+/+) edem palpepra (+/+)
Hidung: secret (-/-),  Inj. Amikasin 2x 300
Thorax: simetris, Retraksi
IC(-), SC (-) mg
Pulmo: vesikuler +/+, rh  Inj. Fluconazole 1x 75
+/+. Wh -/-
Cor : S1 S2 normal regular, mg
M (-), G (-)
Abdomen :distensi, BU  Inj. Paracetamol 12 cc
(menurun), pekak, hepar selang seling dengan
teraba 3 jari dibawah arcus
costae, lien teraba di ibuprofen supp
schuffner 3
Ekstremitas : akral hangat,  Nebulizer Ventolin
edema (-), sianosis (-) 1rsp + NS 4cc/ 3x

11/01/2022 Demam (+), batuk KU: Tampak sakit berat Tumor lisis  02 5 liter NS
(+) GCS: E4V5M6 sindrom e.c
VS: Nadi: 130x/menit leukemia  IVFD D5 ¼ NS
RR: 34x/menit T: 39,1C limfoblastik 1000cc/24 jam
SpO2: 98% akut
PF:  Inj. Ceftriaxone
Mata: konjungtiva anemis 2x 1 gr
(+/+)
Hidung: secret (-/-),  Inj. Amikasin
Thorax: simetris, Retraksi
IC(-), SC (-) 2x 300 mg
Pulmo: vesikuler +/+, rh  Inj. Fluconazole
+/+. Wh -/-
Cor : S1 S2 normal regular, 1x 75 mg
M (-), G (-)

12
Abdomen :distensi, BU  Inj. Paracetamol
(menurun), pekak, hepar
teraba 3 jari dibawah arcus 12 cc selang
costae, lien teraba di seling dengan
schuffner 3
Ekstremitas atas: akral ibuprofen supp
hangat, edema (-), sianosis
(-)  Nebulizer
Ekstremitas bawah: akral Ventolin 1rsp +
hangat, edema (-), sianosis
(-)petekie (+) NS 4cc/ 3x

12/01/2021 Demam (+), batuk KU: Tampak sakit berat Tumor lisis  02 5 liter NS
(+), mimisan (+) GCS: E4V5M6 sindrom e.c
VS: Nadi: 110x/menit leukemia  IVFD D5 ¼ NS
RR: 44 x/menit T: 37,9C limfoblastik 1000cc/24 jam
SpO2: 98% akut
PF:  Inj. Ceftriaxone
Mata: Mata: konjungtiva 2x 1 gr
anemis (+/+) edem palpepra
(+/+)  Inj. Amikasin
Hidung: epitaksis (+/+)
Thorax: simetris, Retraksi 2x 300 mg
IC(-), SC (-)  Inj. Fluconazole
Pulmo: vesikuler +/+, rh
+/+. Wh -/- 1x 75 mg
Cor : S1 S2 normal regular,
M (-), G (-)  Inj. Paracetamol
Abdomen :distensi, BU 12 cc selang
(menurun), pekak, hepar
teraba 3 jari dibawah arcus seling dengan
costae, lien teraba di
schuffner 3 ibuprofen supp
Ekstremitas atas: akral  Nebulizer
hangat, edema (-), sianosis
(-) Ventolin 1rsp +
Ekstremitas bawah: akral
hangat, edema (-), sianosis
NS 4cc/ 3x
(-)petekie (+)

13/01/2021 Demam (+), batuk KU: Tampak sakit berat Tumor lisis  02 5 liter NS
(+), mimisan (+) GCS: E4V5M6 sindrom e.c
VS: Nadi: 105 x/menit leukemia  IVFD D5 ¼ NS
RR: 42x/menit T: 38,1C limfoblastik 1000cc/24 jam
SpO2: 98% akut
PF:

13
Mata: Mata: konjungtiva  Inj. Ceftriaxone
anemis (+/+) edem palpepra
(+/+) 2x 1 gr
Hidung: epitaksis (+/+)
 Inj. Amikasin
Thorax: simetris, Retraksi
IC(-), SC (-) 2x 300 mg
Pulmo: vesikuler +/+, rh
+/+. Wh -/-  Inj. Fluconazole
Cor : S1 S2 normal regular,
1x 75 mg
M (-), G (-)
Abdomen :distensi, BU  Inj. Paracetamol
(menurun), pekak, hepar
teraba 3 jari dibawah arcus 12 cc selang
costae, lien teraba di
seling dengan
schuffner 3
Ekstremitas atas: akral ibuprofen supp
hangat, edema (-), sianosis
(-)  Nebulizer
Ekstremitas bawah: akral Ventolin 1rsp +
hangat, edema (-), sianosis
(-)petekie (+) NS 4cc/ 3x

14/01/2021 Demam (+), batuk KU: Tampak sakit berat Tumor lisis  02 5 liter NS
(+), mimisan (+) GCS: E4V5M6 sindrom e.c
VS: Nadi: 152x/menit leukemia  IVFD D5 ¼ NS
RR: 40x/menit T: 38,1C limfoblastik 1000cc/24 jam
SpO2: 92% akut
PF:  Inj. Ceftriaxone
Mata Mata: konjungtiva 2x 1 gr
anemis (+/+) edem palpepra
(+/+)  Inj. Fluconazole
Hidung: epitaksis (+/+)
Thorax: simetris, Retraksi 1x 75 mg
IC(-), SC (-)  Inj. Paracetamol
Pulmo: vesikuler +/+, rh
+/+. Wh -/- 12 cc selang
Cor : S1 S2 normal regular,
M (-), G (-) seling dengan
Abdomen :distensi, BU ibuprofen supp
(menurun), pekak, hepar
teraba 3 jari dibawah arcus  Nebulizer
costae, lien teraba di
schuffner 3 Ventolin 1rsp +
Ekstremitas atas: akral NS 4cc/ 3x
hangat, edema (-), sianosis
(-)
Ekstremitas bawah: akral
hangat, edema (-), sianosis
(-)petekie (+)

14
15/01/2021 Demam (+), batuk KU: Tampak sakit berat Tumor lisis  02 5 liter NS
(+), mimisan (+) GCS: E4V5M6 sindrom e.c
VS: Nadi: 129x/menit leukemia  IVFD D5 ¼ NS
RR: 35x/menit T: 38,4C limfoblastik 1000cc/24 jam
SpO2: 98% akut
PF:  Inj. Ceftriaxone
Mata: Mata: konjungtiva 2x 1 gr
anemis (+/+) edem palpepra
(+/+)  Inj. Fluconazole
Hidung: epitaksis (-/-)
Thorax: simetris, Retraksi 1x 75 mg
IC(-), SC (-)  Inj. Paracetamol
Pulmo: vesikuler +/+, rh
+/+. Wh -/- 12 cc selang
Cor : S1 S2 normal regular,
M (-), G (-) seling dengan
Abdomen :distensi, BU ibuprofen supp
(menurun), pekak, hepar
teraba 3 jari dibawah arcus  Nebulizer
costae, lien teraba di
schuffner 3 Ventolin 1rsp +
Ekstremitas atas: akral NS 4cc/ 3x
hangat, edema (-), sianosis
(-)
Ekstremitas bawah: akral
hangat, edema (-), sianosis
(-)petekie (+)

16/01/2021 Demam (+), batuk KU: Tampak sakit berat Tumor lisis  02 5 liter NS
(+), GCS: E4V5M6 sindrom e.c
VS: Nadi: 129x/menit leukemia  IVFD D5 ¼ NS
RR: 35x/menit T: 38,4C limfoblastik 1000cc/24 jam
SpO2: 98% akut
PF:  Inj. Ceftriaxone
Mata: Mata: konjungtiva 2x 1 gr
anemis (+/+) edem palpepra
(+/+)  Inj. Fluconazole
Hidung: epitaksis (-/-)
Thorax: simetris, Retraksi 1x 75 mg
IC(-), SC (-)  Inj. Paracetamol
Pulmo: vesikuler +/+, rh
+/+. Wh -/- 12 cc selang
Cor : S1 S2 normal regular,
M (-), G (-) seling dengan
Abdomen :distensi, BU ibuprofen supp
(menurun), pekak, hepar

15
teraba 3 jari dibawah arcus  Nebulizer
costae, lien teraba di
schuffner 3 Ventolin 1rsp +
Ekstremitas atas: akral NS 4cc/ 3x
hangat, edema (-), sianosis
(-)
Ekstremitas bawah: akral
hangat, edema (-), sianosis
(-)petekie (+)

17/01/2021 Demam (-) KU: Tampak sakit berat Tumor lisis  02 5 liter NS
mimisan (-) GCS: E4V5M6 sindrom e.c
VS: Nadi: 129x/menit leukemia  IVFD D5 ¼ NS
RR: 35x/menit T: 38,4C limfoblastik 1000cc/24 jam
SpO2: 98% akut
PF:  Inj. Ceftriaxone
Mata: konjungtiva anemis 2x 1 gr
(+/+) edem palpbra (+/+)
Hidung: epitaksis (-/-)  Inj. Fluconazole
Thorax: simetris, Retraksi
IC(-), SC (-) 1x 75 mg
Pulmo: vesikuler +/+, rh  Inj. Paracetamol
+/+. Wh -/-
Cor : S1 S2 normal regular, 12 cc selang
M (-), G (-)
Abdomen :distensi, BU seling dengan
(menurun), pekak, hepar ibuprofen supp
teraba 3 jari dibawah arcus
costae, lien teraba di  Nebulizer
schuffner 3
Ekstremitas atas: akral Ventolin 1rsp +
hangat, edema (-), sianosis NS 4cc/ 3x
(-)
Ekstremitas bawah: akral
hangat, edema (-), sianosis
(-)petekie (+)

16
17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TUMOR LISIS SINDROM
DEFINISI
Sindroma lisis tumor adalah sekumpulan kelainan metabolik sebagai akibat nekrosis sel-
sel tumor atau apoptosis fulminan yang timbul pada penderita kanker baik yang terjadi secara
spontan maupun sesudah pemberian terapi antikanker. Abnormalitas laboratorium yang sering
timbul pada SLT meliputi hiperurisemia, hiperkalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia yang bisa
diikuti dengan gagal ginjal akut. SLT sering terjadi pada pasien yang mempunyai massa tumor
besar, cepat berproliferasi dan responsif terhadap terapi, baik kemoterapi maupun radioterapi,
seperti misalnya diffuse large B cell limfoma, Limphoblastik limphoma, Leukemia akut dan kronik
serta Limfoma Non Hodgkin tipe high grade seperti limfoma Burkitt. 4,7 Sindrom lisis tumor ini
juga telah dilaporkan terjadi pada keganasan hematologi yang lain dan beberapa jenis tumor padat
berukuran besar. 8,9
Sindroma lisis tumor merupakan komplikasi yang sangat serius karena dapat
membahayakan nyawa. Sindroma Lisis Tumor terjadi ketika sejumlah besar sel tumor dibunuh
secara cepat dan mengalami lisis sehingga produk metabolik dan ion-ion intraseluler akan
berpindah ke sirkulasi sistemik. Konsekuensi klinisnya akan timbul disritmia jantung, kejang,
diare, mual muntah, delirium atau gangguan mental, edema, overload cairan , hipotensi, kram otot
atau kelemahan otot, gagal ginjal dan bisa terjadi kematian mendadak.

II PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS


Sel-sel tumor yang terpapar radiasi maupun obat-obat kemoterapi akan mengalami
kerusakan DNA. Apabila kerusakan DNA yang terjadi terlalu parah untuk diperbaiki, maka
kerusakan tersebut dapat mencetuskan kematian sel tumor melalui jalur apoptosis. Saat DNA
mengalami kerusakan, gen supresi tumor p53 akan terakumulasi di sel. Pada awalnya gen p53 akan
menghentikan siklus sel ( pada fase G-1) untuk memberikan waktu istirahat bagi sel untuk
melakukan repair DNA. Namun bila kerusakan DNA yang terjadi terlalu parah dan tidak mungkin
diperbaiki lagi, maka p53 akan mulai memicu apoptosis, dengan mengaktifkan sensor-sensor yang
kemudian mengaktifkan Bax dan Bak dan menstimulasi agen pro apoptosis dari Bcl2 family
member, yang akhirnya mengaktifkan mitokondria mengeluarkan cytochrom c. Cytochrom C akan

18
mengaktifkan caspase initiator, selanjutnya akan mengaktifkan caspase eksekutor. Caspase
eksekutor akan menyebabkan pelekukan DNA dan citokeratin dan akhirnya terbentuk apoptotic
bodies.(11)
Pada keadaan gen p53 mengalami mutasi atau bahkan tidak ada ( pada beberapa jenis
tumor) maka sel tersebut tidak mampu melakukan apoptosis,sehingga sel yang mengalami
kerusakan DNA dapat bertahan hidup, tapi mengalami mutasi atau tranlokasi DNA yang
menyebabkan tranformasi neoplastik. (11)
Beberapa obat kemoterapi anti neoplastik dapat menginduksi kerusakan sel melalui efek
sitotoksik langsung terhadap sel tumor, sehingga menyebabkan kerusakan berat pada membran sel
dan organel yang lain. Pada akhirnya sel akan mengalami nekrosis dan lisis, melepaskan semua isi
nya ke ekstra seluler. (11)

Gambar 1. Jalur-jalur apoptosis (11)

19
Gambar 2. Kematian sel tumor melalui jalur apoptosis intrinsik
( melibatkan DNA damage dan gen p53 )
Sesudah pemberian terapi kanker, sejumlah besar sel tumor dibunuh secara cepat , sehingga
terjadi lisis sel. Komponen-komponen intraseluler seperti asam nukleat, fosfor, kalium, protein
dan anion serta kation intraseluler keluar membanjiri sirkulasi vaskuler. Hal ini dapat membebani
proses eliminasi ginjal dan mengganggu mekanisme buffer asam basa, sehingga menyebabkan
gangguan metabolik. 3,5,6,12

20
Gambar 3. Patogenesis sindroma lisis tumor (13)
Hiperkalemi biasa timbul paling awal, paling sering ditemukan dan sekaligus merupakan
ancaman yang paling berbahaya. Meskipun hiperkalemi timbul sebagai akibat langsung dari
keluarnya kalium intraseluler karena proses kematian sel (lisis sel) yang cepat, namun diperkirakan
turunnya kadar adenosin trifosfat sebelum terjadinya lisis sel berperan juga dalam kebocoran
kalium. Fakta menunjukkan peningkatan kadar kalium merupakan petanda pertama sindrom lisis
tumor. Hiperkalemi yang berat dapat
menimbulkan disritmia jantung. 3,6,13
Hiperurisemia, meskipun bukan merupakan ancaman yang timbul mendadak, tapi
merupakan temuan yang sering juga didapatkan pada SLT. Peningkatan asam urat yang muncul
sebagai nucleotida purine, guanosine, dan adenosin, selanjutnya mengalami katabolisme di hepar.
Pertama kali akan dirubah menjadi inosine, kemudian hipoxanthine dan xanthin, sebelum akhirnya
dioksidasi menjadi asam urat. Hal yang membahayakan bukan hiperurisemia nya melainkan
meningkatnya eksresi asam urat melalui ginjal. Dengan pKa 5.4 , asam urat larut dalam pH
fisiologis tapi kurang larut dalam urin yang asam, dan bila dalam jumlah yang berlebihan akan

21
mengendap membentuk kristal di parenkim ginjal, tubulus distal dan tubulus kolektivus. Saat pH
lumen 5, bisa timbul obstruksi lumen dan oliguria. 3,10,13
Hiperfosfatemia, seperti halnya hiperkalemi dan hiperurisemia berasal dari proses lisis sel,
pada kelanjutannya mengakibatkan timbulnya hiperfosfaturi dan hipokalsemia. Hipokalsemi
terjadi karena pengendapan kalsium fosfat dan sekunder karena rendahnya kadar plasma 1,25-
dihydroxyvitamin D3 (calcitriol). Hipokalsemi menyebabkan peningkatan kadar hormon
paratiroid. Pada saat bersamaan terjadi penurunan reabsorbsi fosfat di tubulus proximal, sehingga
makin menonjolkan hiperfosfaturia dan meningkatkan resiko terbentuknya kristal kalsium fosfat
di tubulus renal . Kristal ini dapat menimbulkan nefropati obstruktif. 3,13
Sindrom lisis tumor klinis dapat timbul spontan, tapi umumnya sering terlihat pada 48-72
jam sesudah pemberian terapi kanker. Beberapa kasus timbul lebih lambat, lebih jarang lagi timbul
saat siklus kedua terapi. 13
Ginjal merupakan organ yang bertanggungjawab dalam proses clearance asam urat,
kalium, dan fosfat. Kekurangan cairan sebelumnya ataupun gangguan fungsi ginjal yang sudah ada
sebelum terapi kanker dapat mempercepat dan memperburuk gangguan metabolik dan gagal ginjal
akut. Gagal ginjal akut dapat disebabkan berbagai hal.Yang paling sering disebabkan oleh
nefropati asam urat. Kristal asam urat menimbulkan obstruksi mekanis pada tubulus renal. Kondisi
hemokonsentrasi dan penurunan laju filtrasi glomerulus memudahkan terbentuknya kristal asam
urat. 3,12,13
Penyebab lain dari gagal ginjal akut adalah akut nefrocalcinosis dari endapan kristal
kalsium fosfat yang dapat terbentuk di jaringan lain Kristal ini dapat terjadi pada kondisi
hiperfosfatemia dan dicetuskan oleh alkalinisasi iatrogenik yang berlebihan, karena kalsium fosfat
sulit terlarut pada pH alkali.
Kematian karena sindrom lisis tumor ini biasa disebabkan oleh : 3,12,13
• Gagal ginjal akut : Endapan asam urat, kalsium fosfat atau hipoxanthine menyebabkan
gagal ginjal akut. Gagal ginjal ini sering oliguri ( < 400 ml/hari), menyebabkan overload
volume, menimbulkan komplikasi hipertensi dan edema pulmoner.Disfungsi renal bisa
sedemikian parah sehingga memerlukan dialisis.
• Aritmia Jantung : Hiperkalemi dapat merubah ECG dan menimbulkan aritmia jantung
yang membahayakan, termasuk asistole. Hiperkalemi berat merubah gambaran ECG
seperti Gelombang T tinggi, pendataran gelombang P, pemanjangan PR interval, pelebaran

22
QRS kompleks, gelombang S dalam, dan gelombang sinus. Hipokalsemia menyebabkan
pemanjangan QT interval yang bisa mempengaruhi terjadinya aritmia ventrikel.
• Asidosis metabolik :Gagal ginjal akut dan pelepasan sejumlah besar asam endogen
intraseluler dari katabolisme seluler menghasilkan asidemia. Kondisi asidemia ini
menyebabkan turunnya konsentrasi bikarbonat serum. Kondisi asidemia dapat
memperburuk ketidakseimbangan elektrolit yang sebelumnya sudah terjadi pada sindrom
lisis tumor. Uptake potasium intraselular terganggu , kelarutan asam urat menurun , terjadi
pergeseran fosfat ekstraseluler meningkat. Banyak sekali gangguan metabolik yang harus
dinilai dan diterapi dengan cepat.
FAKTOR RESIKO
Tidak semua terapi kanker menimbulkan sindrom lisis tumor. Kecenderungan terjadinya
sindrom lisis tumor meningkat pada keganasan hematologi dibandingkan tumor padat. Resiko
paling tinggi didapatkan pada pasien kanker akut limfoproliferatif dengan proliferasi yang cepat
dan memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap kemoterapi , seperti limfoma Burrkit dan B cell ALL.
Faktor resiko sindrom lisis tumor sebaiknya diidentifikasi terlebih dahulu sebelum memulai terapi
kanker. 14,15
Pasien dikatakan mempunyai resiko tinggi bila mempunyai satu atau lebih faktor :
A. Faktor terkait Host : 4,6
• Dehidrasi
• Penurunan fungsi ginjal yang sudah ada sebelumnya
• Infiltrasi renal oleh keganasan
• Uropati obstruktif
• Kadar asam urat yang sudah tinggi sebelumnya( > 8 mg/dL: pada anak atau > 10 mg/dL
pada dewasa) Umur tua ( lebih dari 60 tahun)
B. Faktor terkait penyakit : 4,7,16
1. Massa / ukuran tumor yang besar
2. Proliferasi tumor cepat dan progresif
3. Jenis tumor high radiosensitif atau high kemosensitif ( sensitif terhadap terapi kanker)
misalnya : tumor germ cell metastasis , baik yang gonadal atau ekstra gonadal, high
grade limfoma, leukemia limfositik akut pada dewasa, Advanced T cell ALL pada anak-
anak.

23
4. Peningkatan laktat dehidrogenase (LDH) lebih dari dua kali batas atas nilai normal
5. Hitung sel lekosit > 50.000/mm3
6. Keterlibatan sumsum tulang
Tabel 1. RESIKO SINDROM LISIS TUMOR BERDASARKAN JENIS TUMOR(4)
Derajat resiko Jenis Tumor
Resiko tinggi Limphoma Burkitt
High Grade non Hodgkin Limphoma
Lymphoblastic limphoma
Leukemia akut
Resiko sedangLimphoma jenis low grade yang bisa diterapi dengan kemoterapi/radiasi/steroid
Multipel mieloma
Ca mammae yang bisa diterapi dengan kemoterapi / terapi hormon
Ca paru small cell
Tumor Germ cell ( seminoma, ovarian)
Resiko rendahLimphoma jenis low grade yang bisa diterapi dengan interferon
Ca Merkell cell
Medulloblastoma
Adeno Carsinoma Gastrointestinal
C. Faktor terkait terapi : 3,17
• Polikemoterapi intensif misalnya: paclitaxel, fludarabine, etoposide, thalidomide,
hydroxyurea, cisplatin, cytosine arabinose
• Radioterapi
• Kortikosteroid
• Agen hormonal
• Antibodi monoklonal
Obat-obat yang saat ini sedang dikonsumsi oleh pasien kanker juga dapat mempengaruhi
timbulnya sindrom ini, diantaranya pemakaian suplemen yang mengandung potasium dan fosfor,
komponen nutrisi enteral maupun parenteral, obat-obat yang nefrotoksik, dan diuretik hemat
kalium.
Sebuah studi meneliti angka kejadian sindrom lisis tumor ini pada 194 pasien AML yang
sedang mendapatkan kemoterapi induksi. Studi ini menggunakan Penn Predictive scoring system

24
untuk memprediksi kejadian SLT melalui 3 variabel yaitu kadar LDH, kadar asam urat sebelum
memulai terapi induksi.dan jenis kelamin Semakin tinggi skor yang didapat semakin tinggi resiko
SLT.18
Tabel 2. PENN PREDICTIVE SCORE SYSTEM (26)

Penn predictive score system ini pada kelanjutannya direvisi pada tahun 2006 sesudah
dilakukan studi lanjutan pada 160 pasien AML . Dari analisis univariat pada penelitian tersebut
ditambahkan satu variabel lagi yaitu kadar kreatinin sebagai faktor prediktor SLT. Namun dari
analisis multivariat, hanya kadar kreatinin serum dan kadar asam urat yang bermakna signifikan.
19

Pasien dengan resiko tinggi SLT harus diperiksa ureum , kreatinin, asam urat, kalium,
fosfat, kalsium dan LDH sebelum terapi dan setiap 4-6 jam dalam 48-72 jam sesudah terapi.
Pengukuran selanjutnya minimal sehari dua kali atau lebih sering bila muncul tanda-tanda ke arah
SLT. Pemeriksaan Elektrokardiografi dilakukan sebelum terapi dan evaluasi berkala bila muncul
tanda-tanda aritmia jantung. Profilaksis dan penanganan sidroma lisis tumor harus disesuaikan
dengan faktor resiko pasien, dan ada tidaknya hiperurisemia saat pasien mengalami sindroma lisis
tumor. 20
DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI SINDROMA LISIS TUMOR
I GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis pada sindroma lisis tumor adalah manifestasi dari empat gangguan utama
abnormalitas metabolik yaitu hiperkalemi, hiperfosfatemi, hipokalsemia, dan hiperurisemia.

25
Gejala yang muncul menggambarkan keparahan dari abnormalitas tersebut. Sindroma lisis tumor
bisa bermanifestasi secara klinis bila kadar kreatinin serum meningkat 5 sampai 10 kali lipat diatas
batas atas nilai normal. Sindroma lisis tumor klinis ( Clinically tumor lysis sindrome) dapat
menyebabkan aritmia jantung, kejangkejang dan kematian mendadak . 6,12,21
Hiperkalemi dapat menyebabkan timbulnya gejala neuromuskuler seperti kram otot,
kelemahan dan parestesi. Gejala konstitusional dapat pula nampak seperti mual muntah dan diare.
Hipokalsemi dapat menimbulkan kejang otot, kram, spasme karpopedal, parestesi atau tetani. Bisa
didapatkan tanda Chvostek dan tanda Trosseau positif. Hipokalsemi yang berat menimbulkan
perubahan status mental misalnya konfusi, delirium, halusinasi dan kadang timbul kejang.
Hipokalsemi berat juga merubah gambaran EKG, yang sudah berubah karena hiperkalemi,
sehingga makin parah dan dapat menyebabkan hipotensi. 6,12,21,22
Uremia dapat menimbulkan fatique, kelelahan, malaise, mual , muntah, anoreksia, rasa
kecap seperti logam, cegukan (Hiccup) , iritabilitas neuromuskular, sulit berkonsentrasi, gatal-
gatal, betis pegal dan ecchimosis. Semakin bertambah berat uremia, manifestasi kelebihan cairan
bisa nampak sebagai dispneu, ronkhi basah dibasal paru, edema dan hipertensi, Peningkatan asam
urat yang cepat bisa menimbulkan atralgia dan kolik renal. 6,12,21
II. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Kimia Darah
Pada kebanyakan pasien ditemukan peningkatan kadar kalium, peningkatan kadar fosfat,
peningkatan kadar asam urat dan penurunan kadar kalsium serum. Sering didapatkan
peningkatan kadar creatinin dan laktat dehidrogenase yang tinggi.
Biasanya terjadi dalam 1-3 hari sesudah pemberian terapi antikanker.
B. Pemeriksaan Urin
Yang harus dilihat pertama kali pada pemeriksaan urin adalah jumlah produksi urin ( urine
output ). Gagal ginjal akut yang muncul pada SLT ditandai dengan penurunan urin output
(oliguri). Biasanya didapatkan pH urin menurun dan peningkatan berat jenis urin.
Urinalisis mungkin ditemukan kristal asam urat atau kristal amorph. Kadar asam urat
dalam urin meningkat. Hipersekresi asam urat dapat dideteksi dengan tingginya rasio
kadar asam urat dalam urin dibagi creatinin yang meningkat sampai > 1.0 ( dibandingkan
dengan angka rasio 0,6-
0.9 pada kasus gagal ginjal akut karena sebab lain) 3

26
C. Elektrokardiografi
Pemeriksaan EKG dapat dipakai untuk menilai ada tidaknya gangguan jantung yang
disebabkan hiperkalemi dan hipokalsemi. Hiperkalemi berat merubah gambaran ECG
seperti Gelombang T tinggi, pendataran gelombang P, pemanjangan PR interval,
pelebaran QRS kompleks, gelombang S dalam. Hipokalsemia menyebabkan pemanjangan
QT interval yang bisa mempengaruhi terjadinya aritmia ventrikel.
6
III. KLASIFIKASI SINDROM LISIS TUMOR
Sindroma lisis tumor diklasifikasikan menjadi dua yaitu laboratory tumor lysis syndrome ( LTLS
) dan clinically tumor lysis syndrome ( CTLS ) . Pembagian ini diperlukan karena hanya sebagian
kecil LTLS yang berkembang menjadi CTLS.
A. Laboratory Tumor Lysis Syndrome (LTLS)
LTLS didefinisikan sebagai kondisi dimana didapatkan 2 atau lebih peningkatan kadar
serum seperti tersebut dibawah ini dalam 3 hari sebelum atau dalam 7 hari sesudah
pemberian terapi anti kanker , meliputi :
• Kadar asam urat : meningkat lebih dari 25 % dari data dasar ( jika data dasar sudah
diketahui sebelumnya ) atau ≥ 476 mmol/L ( 8 mg/dL )
• Kadar kalium: meningkat lebih dari 25 % dari data dasar ( jika data dasar sudah
diketahui sebelumnya ) atau ≥ 6.0 mmol/L ( 6 meq/L )
• Kadar fosfat : meningkat lebih dari 25 % dari data dasar ( jika data dasar sudah
diketahui sebelumnya ) atau ≥ 1.45 mmol/L ( 4.5 mg/dL ) pada orang dewasa dan ≥
2.1 mmol/L ( 6.5 mg/dL) pada anak-anak
• Kadar kalsium : menurun lebih dari 25 % dari data dasar ( jika data dasar sudah
diketahui sebelumnya ) atau ≤ 1.75 mmol/L ( 7 mg/dL )
B. Clinically Tumor Lysis Syndrome (CTLS)
CTLS didefinisikan sebagai kondisi dimana didapatkan bukti adanya
laboratory tumor lysis sindrome (LTLS) serta didapatkan paling tidak satu perubahan
klinis sebagai berikut:
• Adanya bukti insufisiensi ginjal ( kadar kreatinin meningkat minimal 1.5 kali batas atas
nilai normal atau perkiraan GFR ≤ 60 mL /mnt)
• Aritmia jantung yang fatal atau potensial mengancam jiwa
• Kejang

27
Para ahli merekomendasikan metode penghitungan fungsi eksresi ginjal yang akurat , tetapi pada
kenyataannya sulit untuk menentukan secara pasti fungsi ginjal sebenarnya, sehingga bisa dipakai
penghitungan clearance creatinin yang memakai penghitengan kreatinin serum dan kreatinin urin
dari urin tampung 24 jam. Sedangkan penghitungan laju filtrasi glomerulus dapat menggunakan
formula Cockroft dan Gault. Sedangkan untuk pediatrik dikenal rumus Schwartz untuk
menghitung perkiraan Laju Filtrasi Glomerulus. Peningkatan kadar kreatinin serum sudah lama
dikenal luas untuk mendiagnosis Adanya kidney injury. 17
Cairo dan Bishop menyempurnakan klasifikasi SLT untuk membuat diagnosis yang lebih
akurat dan membuat tingkatan SLT sesuai gejala klinis. Tingkatan tersebut adalah tanpa sindrom
lisis tumor, sindrom lisis tumor laboratorium dan sindrom lisis tumor klinis.
Tabel 3. KLASIFIKASI SINDROM LISIS TUMOR (CAIRO- BISHOP)(6)
Derajat Derajat 1 Derajat II Derajat III Derajat IV Derajat
0 V
LTLS - + + + + +
Kreatinin ≤ 1.5 x 1,5x BANN >1.5-3,0 x BANN >3.0-6.0 x BANN > 6.0 x Mati
BANN BANN
Aritmia Tidak Tidak Membutuhkan Simtomatik dan Mengancam jiwa Mati
Jantung ada membutuhkan intervensi medis terkontrol tidak mis:Aritmia terkait
Intervensi tidak segera sempurna dengan dengan CHF,
obat atau terkontrol hipotensi, sinkop,
dengan alat bantu syok.
( mis: defibrilator)
Kejang Tidak - Satu kejang umum Kejang dengan Semua jenis
Mati ada singkat , kejang penurunan kejang yang yang
terkontrol kesadaran, kejang prolonged, dengan obat, atau yang sulit
dikontrol berulang atau sulit kejang fokal dengan obat,
dikontrol dengan motorik yang dengan kejang obat hilang
timbul tidak menyeluruh (Misalnya: status mempengaruhi walaupun
sudah epileptikus,
aktivitas sehari- mendapat intractabel hari intervensi medis
epilepsi)

28
PENATALAKSANAAN SINDROMA LISIS TUMOR
Manajemen Penatalaksanaan sindroma lisis tumor yang berhasil memerlukan empat hal utama
yang harus dipenuhi yaitu : 3,17,23
1. Identifikasi faktor resiko sebelum memulai terapi anti kanker
2. Strategi pencegahan ( profilaksis treatment) yang agresif
3. Monitoring elektrolit selama terapi anti kanker
4. Penanganan SLT yang cepat dan tepat oleh tenaga profesional yang terlatih
I. PENCEGAHAN SINDROM LISIS TUMOR
Monitoring
Dengan memahami pengaruh faktor resiko terhadap perkembangan sindroma lisis tumor dan
mengenali tanda-tanda awal sindrom lisis tumor dari waktu ke waktu, konsekuensi sindrom lisis
tumor yang mengancam nyawa dapat dicegah. Pasien dengan jumlah lekosit sangat tinggi ( misal
> 50.000/mm3) sebaiknya dirawat inap untuk memastikan hidrasi yang cukup dan pengawasan
yang ketat. Pasien dengan riwayat pernah mengalami sindrom lisis tumor pada episode kemoterapi
sebelumnya sebaiknya dilakukan kajian nefrologi sebelum melanjutkan terapi. Pada keadaan
dimana gejala sindrom uremik tampak nyata , sebaiknya dilakukan dialisis untuk mencegah gagal
ginjal akut. Pada pasien kanker rawat jalan, monitoring elektrolit serum dan asam urat
direkomendasikan seminggu 3 kali selama 2 minggu pertama dan satu kali seminggu sesudahnya.
Sedangkan pada pasien yang mempunyai resiko tinggi SLT, perlu diperiksa kadar LDH, asam urat,
natrium, kalium, kreatinin, fosfat, dan kalsium setiap 4-6 jam selama 1-2 hari pertama sesudah
dimulainya terapi antikanker dan setiap 24 jam pada hari berikutnya. 17
Penundaan terapi
Pada pasien dengan malignansi hematologi misalnya Chronic Limphocytic Leukemia (CLL) yang
mempunyai resiko tinggi timbul sindrom lisis tumor, maka penundaan terapi dapat
dipertimbangkan, tetapi dengan tetap memperhatikan mana yang lebih menguntungkan bagi
pasien. Menunda terapi dapat dipilih bila pasien tersebut beresiko besar sambil menunggu kondisi
klinis pasien menjadi lebih baik dan lebih siap untuk diberikan terapi anti kanker. 2
Hidrasi
Memastikan kecukupan cairan dan diuresis merupakan langkah pertama dan terpenting dalam
pencegahan sindrom lisis tumor. Volume cairan harus dipenuhi ( kecuali pada pasien yang

29
menunjukkan tanda gangguan ginjal akut dan oliguri ) dengan pemberian secara intravena
sebanyak lebih dari atau sama dengan 3000 ml/m2/24 jam selama 2 hari sebelum terapi antikanker
dan 2-3 hari sesudahnya, untuk mencapai urine output > 100 cc /m 2/jam dan berat jenis urin kurang
dari sama dengan 1.010 . Kalium, kalsium dan fosfat tidak boleh ditambahkan pada cairan hidrasi
( walaupun kadar pada pasien tersebut normal ) untuk mencegah hiperkalemi, hiperkalsemi dan
pengendapan kalsium fosfat. Jika diuresis diperlukan karena ada overhidrasi dan overload cairan,
dan tidak didapatkan bukti adanya hipovolemia dan obstruksi uropati akut, maka manitol ( 0.5
mg/kg) atau furosemid ( 0.5-1.0 mg/kg) dapat diberikan. 6,23
Alkalinisasi
Alkalinisasi urin (pH >7.0) dengan sodium bicarbonat untuk hiperurisemia biasa digunakan
bersamaan dengan hidrasi. Namun hal ini masih kontroversial karena faktanya pada keadaan pH
lebih tinggi , walaupun asam urat mudah terlarut, tapi xanthine dan hipoxanthine lebih sulit
terlarut. Alkalinisasi bersamaan dengan penggunaan allopurinol dapat menyebabakan
pembentukan uropati obstruksi karena pengendapan xanthine. Selain itu , pH urin yang lebih tinggi
juga meningkatkan pembentukan kristal kalsium fosfat dan dapat memperparah hipokalsemi.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, saat ini alkalinisasi urin sudah tidak direkomendasikan lagi.
6,23

Allopurinol
Allopurinol mencegah pembentukan asam urat dengan cara menghambat enzim xanthine oksidase.
Allopurinol juga efektif sebagai profilaksis untuk mencegah nefropati asam urat. Tetapi perlu
diingat, allopurinol hanya menghambat pembentukan asam urat baru dan tidak dapat merubah
asam urat yang sudah terlanjur terbentuk . Selain itu allopurinol menyebabkan terbentuknya
produk metabolik seperti xanthine dan hipoxanthine yang bahkan lebih sulit terlarut daripada asam
urat. Pada kondisi gagal ginjal, dosis pemberian allopurinol harus disesuaikan untuk menurunkan
pembentukan produk metabolik tersebut dan mengurangi ekresi renal dari allopurinol itu sendiri.
Umumnya, hanya pasien tanpa sindroma lisis tumor atau yang mempunyai resiko rendah yang
bisa diberikan profilaksis allopurinol. Baru-baru ini para ahli mengadakan konferensi
mengembangkan medical decision model untuk identifikasi kelompok resiko dan
merekomendasikan pendekatan preventif maupun terapetik untuk masing-masing kelompok
resiko. 15

30
TLS : Tumor Lysis Syndrome
LDH : Lactat Dehidrogenase
WBC : White Blood Cell

Gambar 2. Rekomendasi penggunaan obat hiperurisemia berdasarkan resiko 15


Rasburicase
Rasburicase adalah bentuk recombinan dari urate oxidase, suatu enzim yang tidak bisa diproduksi
oleh tubuh manusia. Rasburicase mengkatalisasi perubahan asam urat yang sulit larut menjadi
allantoin yang lebih mudah terlarut dan secara cepat mudah diekresi oleh ginjal. Rasburicase
diindikasikan sebagai terapi profilaksis pertama terhadap hiperurisemia pada pasien anak
leukemia, limfoma dan tumor padat yang mendapatkan terapi anti kanker dan dikhawatirkan akan
timbul sindroma lisis tumor dan peningkatan asam urat lebih lanjut. 24
Berlawanan dengan allopurinol, rasburicase dapat menurunkan asam urat yang sudah ada.
Sebuah penelitian randomized trial membandingkan khasiat rasburicase dengan allopurinol pada
anak yang menderita leukemia atau limfoma yang beresiko tinggi terjadi sindroma lisis tumor.
Rasburicase terbukti mempunyai keuntungan yang lebih jelas pada penelitian tersebut .Hasil
penelitian menunjukkan kadar asam urat plasma menurun 86% dibandingkan kadar awal pada
pasien yang mendapatkan rasburicase. Sedangkan allopurinol hanya menurunkan kadar asam urat
plasma sebesar 12 % dibandingkan kadar awal. Pasien yang sudah menderita hiperuricemia dari
saat awal ( baseline) mengalami penurunan asam urat sebesar > 8 mg/dL dalam 4 jam sesudah

31
mendapatkan rasburicase. Keuntungan penggunaan profilaksis rasburicase juga terbukti pada
penderita kanker yang lain . Secara umum, respon terapi rasburicase sangat cepat dan bisa
ditoleransi dengan baik oleh pasien kanker.25,26
Rasburicase lebih direkomendasikan sebagai terapi profilaksis pada pasien kanker yang
mempunyai resiko tinggi sindrom lisis tumor, ( Gambar 2 ) . Rasburicase diberikan melalui infus
30 menit pada pasien kanker rawat inap. Rasburicase dikontraindikasikan pada pasien yang
mempunyai defisiensi glucosa-6-phosphate dehydrogenase ( G6PD), karena dapat menyebabkan
anemia hemolitik. Sebelum pemberian rasburicase pasien harus diperiksa kadar G6PD,terutama
bila pasien termasuk ras Afrika atau Mediterania. 17
Pengenalan terhadap faktor resiko TLS , pengukuran laboratorium sebelum terapi anti
kanker serta terapi profilaksis seharusnya sudah bisa meminimalkan kejadian SLT, sehingga
pasien kanker dapat menjalani terapi antikankernya dengan baik dan menghasilkan outcome yang
baik pula. Tetapi bila sindroma lisis tumor tetap terjadi, penatalaksanaan selanjutnya harus cepat
dan tepat untuk menghindari konsekuensi yang mengancam nyawa dan menghindari terputusnya
terapi antikanker yang sedang
dijalankan. 2
II. TERAPI SINDROM LISIS TUMOR
Terapi sindrom lisis tumor terutama ditujukan untuk mengatasi keempat kelainan elektrolit
yang biasa terjadi, harus dilakukan secepatnya dan harus tepat karena sindrom lisis tumor dapat
berakhir dengan kematian mendadak.
Hiperkalemia
Hiperkalemi merupakan komplikasi serius yang dapat mencetuskan aritmia jantung dan berujung
pada kematian. Pada kondisi hiperkalemi dianjurkan untuk memberikan hidrasi yang cukup.
Segala bentuk penambahan kalium dihindari baik berupa cairan infus maupun oral. Cation
exchange resin dapat dipakai untuk mengikat kalium dan merangsang eliminasi lewat usus.
Calsium gluconas ( 10 %, 10-30 ml ) atau calsium carbonat 100-200 mg/kg/dosis dapat diberikan
untuk menstabilkan membran sel miokard jantung, terutama lebih bermanfaat pada pasien yang
juga menderita hipokalsemia. Calsium Gluconas intra vena memberikan efek yang cepat tapi
sifatnya hanya sementara. Hiperkalemi tanpa perubahan gambaran EKG dapat diberikan glukosa
hipertonik ( Dextrose 25 % 2 mL/kg ) dan insulin intravena ( 0.1 unit/kgBB). Aktivitas jantung
harus dimonitor ketat terus-menerus dan elektrolit harus dievaluasi berkala. Sodium bicarbonat

32
dapat mengoreksi asidemia, sehingga ion kalium dapat bergeser kembali ke intraseluler. Loop
diuretik dapat dipakai pada hiperkalemi ringan ( < 6 meq/l ) untuk mengeliminasi kelebihan kalium
melalui ginjal , tapi hanya untuk pasien tanpa gagal ginjal. Dialisis direkomendasikan pada pasien
hiperkalemia berat atau pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.3,12,22
Hiperfosfatemia
Untuk mengontrol hiperfosfatemia, tidak boleh menggunakan cairan intravena yang mengandung
fosfat. Aluminium hidroksida dan aluminium carbonat ( antasid ) mengikat fosfat dan dapat
mengurangi masuknya fosfat dari saluran gastrointestinal menuju sirkulasi. Pemberian antasida
bisa secara oral atau melalui pipa nasogastrik ( 15 ml: 50150 mg/kg/24 jam ) . Bila hiperfosfatemi
dapat dikontrol, maka secara otomatis juga mengontrol hipokalsemia. Pada pasien hiperfosfatemi
yang parah, dimana pasien mengalami gagal ginjal , atau pasien mengalami SLT klinis, maka
hemodialisis, continous venovenous hemofiltration, continous arteriovenous hemofiltration, dan
continous peritoneal dialisis semuanya sama efektif, tetapi yang paling direkomendasikan adalah
hemodialisis. 3,12,22
Hipokalsemi
Seperti disebutkan diatas, pasien hipokalsemi yang asimptomatik biasanya dapat diatasi dengan
mengontrol hiperfosfatemia sehingga tidak perlu diberikan infus calcium gluconas, karena
pemberian calsium dapat menyebabkan kalsifikasi. Pada pasien hipokalsemi yang
simptomatik,seperti tetani atau kejang, penggunaan calsium gluconas intravena tetap bisa
diberikan ( 50-100 mg/kg )secara infus dan boleh diulang bila perlu.
3,6,12,21
Hiperurisemia
Penanganan hiperurisemia harus agresif karena hiperurisemia yang tidak terkontrol
berperan utama dalam timbulnya gagal ginja akut. Allopurinol menurunkan asam urat dengan
cara menghambat xanthine oksidase, enzim yang bertanggungjawab mengubah hipoxanthine
menjadi xanthine, dan kemudian xanthine menjadi asam urat. Metabolit aktif dari allopurinol, yaitu
oxypurinol, juga menghambat xanthine oksidase. Karena allopurinol dan oxypurinol menghambat
sintesis asam urat , tetapi tidak mempunyai efek terhadap asam urat yang sudah terbentuk
sebelumnya, maka biasanya kadar asam urat baru turun sesudah 48-72 jam sesudah pemberian
allopurinol. Selain itu, penghambatan xanthine oksidase menyebabkan peningkatan kadar xanthin
dan hipoxanthine serum, sehingga meningkatkan ekresi renal kedua produk metabolit

33
tersebut.seperti halnya asam urat, hipoxanthine dan terutama xanthine bisa mengendap,
menyebabkan terbentuknya batu dan berkontribusi terhadap timbulnya gagal ginjal akut.
Allopurinol tersedia dalam bentuk tablet oral dan sediaan cairan intravena. Tablet
allopurinol mempunyai bioavailabilitas 50 % dan biasa diberikan dengan dosis 300 mg/hari baik
diminum 300 mg sekaligus maupun diberikan 3 kali sehari 100 mg. Pada penatalaksanaan pasien
dengan sindroma lisis tumor, dapat digunakan dosis sampai sebesar 400 mg/m2/hari. Allopurinol
bisa diberikan intravena dengan dosis 200-400 mg/m2/hari untuk pasien dewasa dan untuk anak
dimulai dengan dosis 200 mg/m2/hari, dititrasi sampai tercapai kadar asam urat yang diharapkan.
Pemberian allopurinol intravena harus dirubah ke oral secepat mungkin begitu kadar asam
urat yang diharapkan tercapai. Allopurinol dihentikan bila timbul reaksi alergi seperti urtikaria atau
ruam merah. Insidensi reaksi alergi meningkat pada pasien yang menerima terapi amoxicillin,
ampicilin atau diuretik thiazide. Dosis allopurinol harus disesuaikan sesuai dengan clearance
creatinin sebagai berikut: 300 mg/hari bila clearance creatinin > 20 ml/mnt , 200 mg/hari bila
clearance creatinin > 10-20 ml/mnt , 100 mg/hari bila clearance creatinin 3-10 ml/mnt , dan100
mg tiap 36-48 jam bila clearance creatinin < 3 mL/min.
Kerugian menggunakan allopurinol diantaranya allopurinol tidak berefek terhadap asam
urat yang sudah ada sebelumnya, mempunyai onset yang lambat, tidak efektif pada 43 % pasien,
dapat memicu reaksi alergi, bisa terjadi interaksi dengan metabolisme beberapa obat kemoterapi .
Keuntungannya bahwa allopurinol terbukti telah banyak digunakan pada berjuta-juta pasien
kanker dengan hanya sedikit menimbulkan efek samping, angka insidensi reaksi alergi tidak begitu
tinggi dibandingkan obat lain, mudah digunakan dan murah.
Urate oxidase mengkatalisis oksidasi asam urat menjadi allantoin, sebuah katabolit yang
5- 10 kali lipat lebih mudah larut dibandingkan asam urat didalam urin dan secara cepat diekresi
oleh ginjal. Urate oxidase ditemukan pada sebagian besar mamalia, tapi tidak ditemukan pada
tubuh manusia, sebagai hasil mutasi genetik pada proses evolusi manusia. Sedangkan allantoin
adalah metabolit akhir pada jenis mamalia yang lain. Uricozym, suatu urate oxidase recombinant
yang diekstraksi dari aspergilus flavus sudah tersedia di Paris dan Italia selama lebih dari 2 dekade
untuk terapi hiperuricemia. Uricozym menunjukkan hasil yang memuaskan tapi kemudian timbul
reaksi hipersensitivitas sebesar 4,5 %, maka kemudian dikembangkan recombinan urate oxidase
yang disebut rasburicase ( Fasturtec / Elitek). rasburicase diproduksi dari Saccharomyces
cereviceae dengan menggunakan DNA pelengkap dari A flavus. 3,25,26

34
Dosis rasburicase untuk mengatasi hiperuricemia direkomendasikan sebesar 0.150.20
mg/kg dengan interval 12 jam pada hari pertama dan tiap 24 jam sesudahnya sampai total hari ke
5. Waktu paruhnya 16 sampai 21 jam .Efek samping yang mungkin timbul diantaranya ruam kulit,
mual muntah ringan, dan jarang menimbulkan reaksi hipersensitif. Antibodi terhadap rasburicase
atau epitopnya timbul pada 10-20 % pasien dan pemakaian ulangan rasburicase berkaitan dengan
meningkatnya insiden reaksi alergi, tanpa mempengaruhi khasiat , karena antibodi terhadap
rasburicase tersebut tidak mempunyai aktivitas blocking. Keunggulan rasburicase dibandingkan
alopurinol adalah onsetnya yang cepat, mempunyai kemampuan menurunkan asam urat yang
sudah ada sebelumnya sehingga lebih mampu mencegah timbulnya gagal ginjal akut dan
mencegah tertundanya kemoterapi. Kelemahannya adalah harganya yang sangat mahal. Biaya 5
hari terapi dengan rasburicase 2000-3000 kali lebih mahal dibandingkan 5 hari biaya terapi dengan
allopurinol. Diperkirakan walaupun harga rasburicase akan turun, tapi tetap jauh lebih mahal
dibandingkan allopurinol sehingga benar-benar harus dipertimbangkan penggunaannya
berdasarkan cost effective3,6,12,26,27
Tabel 4. PERBANDINGAN ALLOPURINOL DENGAN RASBURICASE (26)
Pembanding Allopurinol Rasburicase
Efek terhadap Menghambat pembentukan asam urat Menurunkan kadar
asam urat asam urat
Onset of Action Beberapa hari Beberapa jam
Khasiat relatif Lemah Kuat
Interaksi Obat yang Merkaptopurin, Azatioprin Tidak ada
pernah dipublikasikan yang teridentifikasi
Penyesuaian dosis Diperlukan bila ada disfungsi ginjal Tidak ada
Peringatan Tidak ada Anafilaksis,
Efek samping hemolisis,
methemoglobinemia
Kontra Indikasi Tidak ada Defisiensi Enzim
G6PD Sediaan IV dan oral (
tablet dan suspensi ) IV
Harga relatif Murah Mahal

35
Gambar 3. Alur Penatalaksanaan Sindrom Lisis Tumor

36
2.2 LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT
DEFINISI
Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah keganasan klonal dari sel-sel prekursor limfoid.
Lebih dari 80% kasus, sel-sel ganas berasal dari limfosit B, dan sisanya merupakan leukemia sel
T. Pendapat lain mengatakan leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah sebuah neoplasma yang
progresif yang ditegaskan oleh adanya >30% limfoblast pada sumsum tulang atau darah.5,6
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika, setiap tahunnya sekitar 2000-3000 anak dan orang dewasa didiagnosis LLA. Lebih
dari 80% pasien berusia kurang dari 10 tahun. Insidens LLA di negara berkembang 83%. Di RSU
Sardjito kasus LLA mencapai 79%. Di RS Dr. Soetomo pada tahun 2002 dijumpai kasus LLA
mencapai 88%. Paling sering menyerang anak-anak di bawah umur 15 tahun. Puncak insidensi
usia 2-5 tahun dan lebih sering pada anak laki-laki daripada perempuan. Namun, 20% insiden
terjadi pada orang dewasa.1,2,3,4
ETIOLOGI
Penyebab LLA masih belum diketahui, namun anak-anak dengan cacat genetik (Trisomi 21),
sindrom “Bloom’s”, anemia “Fanconi’s” dan ataksia telangiektasia) mempunyai angka kejadian
lebih tinggi untuk menderita LLA dan kembar monozigot.
Studi faktor lingkungan difokuskan pada paparan in utero dan pasca natal. Moskow melakukan
studi kasus kelola pada 204 pasien dengan paparan paternal/maternal terhadap pestisida dan
produk minyak bumi. Terdapat peningkatan resiko leukemia pada keturunannya.
Radiasi dosis tinggi merupakan leukemogenik, seperti dilaporkan di Hiroshima dan Nagasaki
sesudah ledakan bom atom. Meskipun demikian paparan radiasi dosis tinggi in utero secara
signifikan tidak mengarah pada peningkatan insidens leukemia, demikian juga halnya dengan
radiasi dosis rendah. Namun hal ini merupakan perdebatan. Pemeriksaan Xray abdomen selama
trimester I kehamilan menunjukkan peningkatan kasus LLA sebanyak 5 kali.2,3
PATOFISIOLOGI
LLA disebabkan oleh hambatan pada diferensiasi sel. Sel leukemia terakumulasi tanpa henti di
sumsum tulang menyebabkan kepadatan pada sumsum tulang, dan mereka bersaing dengan
proliferasi sel dan fungsi normal dari sel hematopoetik. Jadi LLA telah disebut gangguan
akumulasi serta gangguan proliferasi. Pada sebagian besar kasus, sel leukemia dikeluarkan ke
darah dimana mereka terakumulasi. Sel-sel tersebut juga mungkin menginfiltrasi dan terakumulasi

37
di hepar, lien, KGB, dan organ-organ lain diseluruh tubuh. Adanya jumlah yang banyak dari sel
leukemia di darah mungkin salah satu dari indikator yang paling dramatis; bagaimanapun,
leukemia masih merupakan penyebab utama kekacauan pada sumsum tulang. 6
Penelitian yang dilakukan pada leukemia limfoblastik akut menunjukkan bahwa sebagian besar
LLA mempunyai homogenitas pada fenotip permukaan sel blas dari setiap pasien. Hal ini memberi
dugaan bahwa populasi sel leukemia itu berasal dari sel tunggal. Oleh karena homogenotas itu
maka dibuat klasifikasi LLA secara morfologik menurut the French American British (FAB) untuk
lebih memudahkan pemakaiannya dalam klinik, sebagai berikut:
• L-1 terdiri dari sel-sel limfoblas kecil serupa, dengan kromatin homogeny, anak inti
umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit

• L-2 pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya bervariasi, kromatin lebih
kasar dengan satu atau lebih anak inti.

38
• L-3 terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin berbercak, banyak
ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan bervakuolisasi.

Akibat terbentuknya populasi sel leukemia yang makin lama makin banyak ditemukan
menimbulkan dampak yang buruk bagi produksi sel normal, dan bagi faal tubuh maupun dampak
karena infiltrasi sel leukemia ke dalam organ tubuh.
Kegagalan hematopoesis normal merupakan akibat yang besar pada patofisiologi leukemia
akut, walaupun demikian patogenesisnya masih sangat sedikit diketahui. Bahwa tidak selamanya

39
pansitopenia yang terjadi disebabkan desakan populasi sel leukemia, terlihat pada keadaan yang
sama (pansitopenia) tetapi dengan gambaran sumsum tulang yang justru hiposeluler.
Kematian pada pasien leukemia akut pada umumnya diakibatkan penekanan sumsum tulang
yang cepat dan hebat, akan tetapi dapat pula disebabkan oleh infiltrasi sel leukemia tersebut ke
organ tubuh pasien.3
MANIFESTASI KLINIS
Manfestasi klinis LLA sangat bervariasi. Pada umumnya gejala klinis menggambarkan
kegagalan sumsum tulang atau keterlibatan ekstramedular oleh sel leukemia. Akumulasi sel-sel
limfoblas ganas di sumsum tulang menyebabkan kurangnya sel-sel normal di darah perifer dan
gejala klinis dapat berhubungan dengan anemia, infeksi, dan perdarahan. Demam atau infeksi yang
jelas dapat ditemukan pada separuh pasien LLA, sedangkan gejala perdarahan pada sepertiga
pasien yang baru didiagnosis LLA. Perdarahan yang berat jarang terjadi.
Gejala-gejala dan tanda-tanda klinis yang dapat ditemukan: anemia (mudah lelah, letargi
pusing, sesak, nyeri dada), anoreksia, nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang oleh
sel-sel leukemia), demam, banyak berkeringat, infeksi mulut, saluran napas atas dan bawah,
selulitis, atau sepsis, perdarahan kulit (petechiae, atraumatic ecchymosis), perdarahan gusi,
hematuria, perdarahan saluran cerna, perdarahan otak, leukemia system saraf pusat (nyeri kepala,
muntah, perubahan dalam status mental, kelumpuhan saraf otak terutama saraf VI dan VII .
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hepatomegali, splenomegali, limfadenopati, massa di
mediastinum (sering pada LLA sel T).5
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
a. Hitung darah lengkap dan apusan darah tepi
Jumlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada saat diagnosis. Hiperleukositosis
(>100.000/mm3) terjadi pada kira-kira 15% pasien dan dapat melebihi 200.000/mm 3. Pada
umumnya terjadi anemia dan trombositopenia. Proporsi sel blas pada hitungan leukosit bervariasi
dari 0 sampai 100%. Kirakira sepertiga pasien mempunyai hitung trombosit kurang dari
25.000/mm3.
Pada apusan darah tepi dapat ditemukan sel blast.
b. Aspirasi dan biopsi sumsum tulang

40
Pemeriksaan ini sangat penting untuk konfirmasi diagnosis dan klarifikasi, sehingga semua
pasien LLA arus menjalani prosedur ini. Spesimen yang didapat harus diperiksa untuk analisis
histologi, sitogenetik dan immunophenotyping. Pada LLA, sumsum tulang biasanya hiperselular
dan diinfiltrasi oleh limfoblas. Jika sumsum tulang seluruhnya digantikan oleh selsel leukemia,
maka aspirasi sumsum tulang dapat tidak berhasil, sehingga touch imprint dari jaringan biopsi
penting untuk evaluasi gambaran sitologi. c. Sitokimia
Gambaran morfologi sel blas pada apus darah tepi atau sumsum tulang kadang-kadang tidak
dapat membedakan LLA dari leukemi mieloblastik akut (LMA). Pada LLA, pewarnaan Sudan
black dan mieloperoksidase akan memberikan hasil yang negatif. Mieloperoksidase adalah enzim
sitoplasmik yang ditemukan pada granula primer dari precursor granulositik, yang dapat dideteksi
pada sel blas LMA. Sitokimia juga berguna untuk membedakan precursor B dan B ALL dari T
ALL. Pewarnaan fosfatase asam akan positif pada limfosit T yang ganas,sedangkan sel B dapat
memberikan hasil yang positif pada pewarnaan periodic acid Schiff (PAS).
d. Imunofenotip (dengan sitometri arus / Flow cytometri)
Klasifikasi imunofenotip sangat berguna pada tahap perkembangan awal hemopoetik.
Klasifikasi imunofenotip sangat berguna dalam mengklasifikasikan leukemia sesuai tahap-tahap
maturasi normal yang dikenal. Kebanyakan kelompok saat ini mengklasifikasikan LLA dalam
precursor sel B atau leukemia sel T. Prekursor sel B termasuk CD 19, CD 20, CD 22, CD 79.
Karakteristik sel B matur adalah imunoglobulin pada permukaan, sementara sel T membawa
imunofenotip CD 3, CD 7, CD 5, CD 2. Petanda sel B dan atau petanda sel T kadang-kadang dapat
dideteksi pada konsentrasi rendah. Sel leukemia dapat menunjukkan antigen myeloid dan limfoid
pada saat yang bersamaan, leukemia tersebut dianggap bifenotip.
e. Sitogenetik
Dengan metode yang mutakhir, lebih dari 90% kasus LLA pada anak menunjukkan
abnormalitas sitogenetik baik dalam jumlah atau struktur. Analisis sitogenetik sangat berguna
karena beberapa kelainan sitogenetik berhubungan dengan subtype LLA tertentu, dan dapat
memberikan informasi prognosik.
f. Biologi molekular
Teknik molekular dikerjakan bila analisis sitogenetik rutin gagal, dan untuk mendeteksi
t(12;21) yang tidak terdeteksi dengan sitogenetik standar. Teknik ini juga harus dilakukan untuk
mendeteksi gen BCR-ABL yang mempunyai prognosis buruk.

41
2. Radiologi
Radiografi dada dilakukan untuk melihat apakah terdapat massa pada mediastinum.1,5
DIAGNOSIS
Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis.
Namun untuk memastikannya harus dilakukan pemeriksaan aspirasi sumsum tulang, dan
dilengkapi dengan pemeriksaan radiografi dada, cairan serebrospinal, dan beberapa pemeriksaan
penunjang yang lain. Cara ini dapat mendiagnosis sekitar 90% kasus, sedangkan sisanya
memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu sitokimia, imunologi, sitogenetika, dan biologi
molekuler.
Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan anemia, kelainan jumlah hitung jenis leukosit dan
trombositopenia. Bias terdapat eosinofilia reaktif. Pada pemeriksaan preparat apus darah tepi
didapatkan sel-sel blas. Berdasarkan protokol WK-ALL dan protokol Nasional (protokol Jakarta)
pasien LLA dimasukkan dalam kategori risiko tinggi bila jumlah leukosit >50.000, ada massa
mediastinum, ditemukan leukemia susunan saraf pusat (SSP) serta jumlah sel blas total setelah 1
minggu diterapi dengan deksametason lebih dari 1000/mm 3. Massa mediastinum tampak pada
radiografi dada. Untuk menentukan adanya leukemia SSP harus dilakukan aspirasi cairan
serebrospinal (pungsi lumbal) dan dilakukan pemeriksaan sitologi.3
DIAGNOSIS BANDING
LLA harus dibedakan dengan leukemia mieloblastik akut (LMA), anemia aplastik, penyakit
keganasan lain yang menyerang sumsum tulang dan kerusakan pada sumsum tulang, termasuk
neuroblastoma, rhabdomyosarcoma, dan rheumatoid arthritis.2,3
TERAPI
Pasien diterapi sesuai dengan risiko mereka. Pasien dengan risiko tinggi diterapi dengan lebih
intensif, dan biasanya lebih toxic. Mereka dengan risiko yang lebih rendah diterapi dengan lebih
efektif dan lebih sedikit dalam upaya untuk meminimalkan mortalitas dan morbiditas terkait
dengan terapi tanpa mengurangi harapan untuk hasil.
Untuk anak dan orang dewasa dengan ALL, protokol pengobatan dibagi menjadi 4 elemen
utama: terapi induksi remisi, terapi intensifikasi atau konsolidasi, terapi profilaksis sistim saraf
pusat dan terapi lanjutan rumatan. Dengan pengecualian 1-2 % dari pasien ALL dengan ALL sel
B, durasi terapi untuk anak dan dewasa dengan ALL sekitar 24-36 bulan. Rekomendasi durasi
pengobatan pasien dengan resiko standar mungkin lenih pendek daripada pasien dengan resiko

42
yang lebih tinggi. Anak perempuan dengan ALL mungkin membutuhkan pengobatan yang lebih
sedikit. Pasien dengan ALL sel B diterapi untuk jangka waktu yang lebih pendek, biasanya 6-8
bulan.
Klasifikasi risiko normal atau risiko tinggi, menentukan protokol kemoterapi. Saat ini di
Indonesia sudah ada 2 protokol pengobatan yang lazim digunakan untuk pasien LLA yaitu
protokol Nasional (Jakarta) dan protokol WK-ALL 2000.1,3
Terapi Induksi Remisi
Tujuan dari terapi induksi remisi adalah mencapai remisi komplit hematologik (hematologic
complete remission / CR), yaitu eradikasi sel-sel leukemia yang dapat dideteksi secara morfologi
dalam darah dan sumsum tulang dan kembalinya hematopoiesis normal.
Terapi induksi berlangsung 4-6 minggu dengan dasar 3-4 obat yang berbeda (deksametason,
vinkristin, L-asparaginase dan atau antrasiklin). Kemungkinan hasil yang dapat dicapai adalah
remisi komplit, remisi parsial, atau gagal.
Terapi Intensifikasi atau Konsolidasi
Setelah tercapainya remisi komplit, segera dilakukan terapi intensifikasi (early intensification)
yang bertujuan untuk mengeliminasi sel leukemia residual untuk mencegah relaps dan juga
timbulnya sel yang resisten obat.
Terapi Profilaksis SSP
Profilaksis SSP sangat penting dalam terapi LLA. Sekitar 50-70% pasien LLA yang tidak
mendapat terapi profilaksis ini akan mengalami relaps pada SSP. Terapi SSP yaitu secara langsung
diberikan melalui injeksi intratekal dengan obat metotreksat, sering dikombinasi dengan infuse
berulang metotreksat dosis sedang (500 mg/m2) atau dosis tinggi pusat pengobatan (3-5 gr/m2).
Di beberapa pasien risiko tinggi dengan umur >5 tahun mungkin lebih efektif dengan memberikan
radiasi cranial (18-24 Gy) disamping pemakaian kemoterapi sistemik dosis tinggi.
Terapi Lanjutan Rumatan
Terapi lanjutan rumatan dengan menggunakan obat merkaptopurin tiap hari dan metotreksat
sekali seminggu, secara oral dengan sitostatika lain selama perawatan tahun pertama. Lamanya
terapi rumatan ini pada kebanyakan studi adalah 2-2 1/2 tahun dan tidak ada keuntungan jika
perawatan sampai 3 tahun. Dosis sitostatika secara individual dipantau dengan melihat leukosit
dan atau monitor konsentrasi obat selama terapi rumatan. Pada LLA anak terapi ini
memperpanjang disease-free survival, sedangkan pada dewasa angka relaps tetap tinggi.

43
Pasien dinyatakan remisi komplit apabila tidak ada keluhan dan bebas gejala klinis leukemia,
pada aspirasi sumsum tulang didapatkan jumlah sel blas <5% dari sel berinti, hemoglobin >12g/dl
tanpa transfuse, jumlah leukosit >3000/ulbdengan hitung jenis leukosit normal, jumlah granulosit
>2000/ul, jumlah trombosit >100.000/ul, dan pemeriksaan cairan serebrospinal normal.
Transplantasi sumsum tulang mungkin memberikan kesempatan untuk sembuh, khususnya bagi
anak-anak dengan leukemia sel T yang setelah relaps mempunyai prognosis yang buruk dengan
terapi sitostatika konvensional. Anak-anak dengan remisi kurang dari 18 bulan harus dipikirkan
untuk transplantasi sumsum tulang.3,4,5
PROGNOSIS
Berdasarkan faktor prognostik maka pasien dapat digolongkan ke dalam kelompok risiko biasa
dan risiko tinggi. Para ahli telah melakukan penelitian dan membuktikan faktor prognostik itu ada
hubungannya dengan in vitro drug resistance Faktor prognostik LLA :
1. Jumlah leukosit awal, yaitu pada saat diagnosis ALL pertama ditegakkan,mungkin
merupakan faktor prognostik bermakna tinggi. Ditemukan adanya hubungan linier antara jumlah
leukosit awal dan perjalanan pasien LLA pada anak, yaitu bahwa pasien dengan jumlah leukosit >
50.000 ul mempunyai prognosis buruk.
2. Pasien dengan umur dibawah 18 bulan atau diatas 10 tahun mempunyai prognosis lebih
buruk dibandingkan dengan pasien yang berusia diantara itu.Khusus untuk pasien dengan umur 1
tahun atau bayi terutama dibawah 6 bulan mempunyai prognosis paling buruk.
3. Leukimia sel B (L3 pada klasifikasi FAB) dengan antibodi ”kappa” dan”lambda” pada
permukaan blas diketahui mempunyai prognosis buruk.Dengan adanya protokol spesifik untuk sel
- B, prognosisnya semakin membaik. Sel - T leukimia juga mempunyai prognosis yang jelek dan
diperlakukan sebagai resiko tinggi. Dengan terapi intensif, sel - T leukemia murni tanpa faktor
prognostik buruk yang lain, mempunyai prognosis yang sama dengan leukimia sel pre - B. LLA
sel - T diatasi dengan protokol risiko tinggi.
4. Beberapa penelitian menunjukan bahwa anak perempuan mempunyai prognostik lebih
baik daripada anak laki - laki.
5. Respon terhadap terapi dapat diukur dari jumlah sel blas di darah tepi sesudah 1 minggu
terapi prednison dimulai. Adanya sisa sel blas pada sum -sum tulang pada induksi hari ke 7 atau
14 menunjukan prognosis buruk.

44
6. Kelainan jumlah kromosom juga mempengaruhi prognosis. LLA hiperploid (>50
kromosom) yang biasa ditemukan pada 25 % kasus mempunyai prognosis yang baik. LLA
hipoploid (3 – 5 %) mempunyai prognosis intermediet seperti t(1;19). Translokasi t (9;22) pada 5
% anak atau t (4;11) pada bayi berhubungan dengan prognosis buruk.
Dengan terapi intensif modern, remisi akan tercapai pada 98% pasien. 2-3% dari pasien anak
akan meninggal dalam CCR (Continous Complete Remission) dan 25-30% akan kambuh. Sebab
utama kegagalan terapi adalah kambuhnya penyakit. Relaps sumsum tulang yang terjadi (dalam
18 bulan sesudah diagnosis) memperburuk prognosis (10-20% long-term survival) sementara
relaps yang terjadi kemudian setelah penghentian terapi mempunyai prognosis lebih baik,
khususnya relaps testis dimana long-term survival 50-60%. Terapi relaps harus lebih agresif untuk
mengurangi resistensi obat.
Secara keseluruhan survival setelah relaps adalah 20-40% pada seri yang berbeda. Survival
meningkat dari 53% (1981-1985), sampai 68% (1986-1991) sampai dengan saat ini 81% (1992-
1995). Alasan utama dibalik perbaikan ini adalah lebih intensifnya terapi untuk semua kelompok
risiko.3

45
BAB IV

ANALISA KASUS

Pasien An. A.S, Usia 4 tahun 2 bulan datang ke RSUD Raden Mattaher didiagnosis dengan
Tumor lisis sindrom ec. Susp leukemia limfoblastik akut.
Diagnosis leukemia didasarkan pada gambaran klinis dan pemeriksaan darah lengkap. Namun
untuk memastikannya harus dilakukan pemeriksaan aspirasi sumsum tulang, dan dilengkapi
dengan pemeriksaan radiografi dada, cairan serebrospinal, dan beberapa pemeriksaan penunjang
lainnya.
Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan anemia, kelainan jumlah hitung jenis leukosit, dan
trombositopenia. Bisa terdapat eosinofilia aktif. Pada pemeriksaan preparat apus darah tepi
ditemukan sel sel blas.6 Pada pasien ini, tidak diketahui apakah sudah menjalani pemeriksaan
aspirasi sumsum tulang untuk memastikan diagnosis leukemia sekaligus untuk mengetahui
morfologi leukositnya. Oleh karena itu, pasien ini masih didiagnosis banding dengan leukemia
limfoblastik akut, leukemia mieloblastik akut, serta anemia aplastik.
Pada pemeriksaan aspirasi sumsum tulang akan ditemukan morfologi sel blast. Pada leukemia
limfoblastik akut, infiltrat homogen dari limfoblas yang menggantikan komponen normal dari
sumsum tulang. Limfoblas biasanya kecil dengan diameter sekitar 14 μm. Limfoblas ini
mempunyai sitoplasma yang sedikit tanpa granul. Nukelus tidak mempunyai nukleoli atau hanya
mempunyai satu nukleoli yang tidak jelas. Pada leukemia mieloblastik akut, 30% sel bernukleus
merupakan sel blas yang berasal dari mieloid. Nukleoli yang berukuran besar dan multipel,
kromatin yang pudar, sitoplasma berwarna abu-abu kebiruan, dan batang Auer yang mencirikan
mieloblas. Pada leukemia limfoblastik kronik, sumsum tulang diinfiltrasi oleh 30% limfosit.
Limfositnya matur dengan bentuk blas atau bentuk limfoblas yang atipikal. Nukleusnya bulat,
sitoplasma pudar, kromatin padat, nukleoli tidak jelas, dan jarang terlihat gambaran mitosis.
Oleh sebab itu, pemeriksaan aspirasi sumsum tulang harus dilakukan untuk memastikan
diagnosis leukemia serta morfologi leukositnya. Berdasarkan anamnesia, pasien datang dengan
keluhan kencing berdarah sejak 1 minggu SMRS. Darah yang keluar saat pasien BAK terkadang
juga disertai lendir dan gumpalan darah , saat BAK tidak terasa nyeri. Frekuensi berkemih sekitar
5 kali dalam sehari. Selain itu ibu juga mengelukan demam tinggi , demam kadang timbul
secara perlahan, demam terjadi kadang saat istirahat kadang bisa juga saat berkativitas, demam
hilang timbul turun bila diberikan obat penurun panas kemudian beberapa jam kemudian panas

46
lagi, hal ini terjadi. demam tidak disertai menggigil (-), berkeringat (+) pusing (-), kejang (-), batuk
(-) diare (-) riwayat trauma (-), berpergian keluar kota dalam 2 minggu (-), pilek (+), mual (-),
muntah (+), muntah hingga 3x sehari sebanyak 1/3 gelas aqua (220 cc) yaitu ± 70 cc berwarna
bening dan bercampur sedikit bercak kemerahan.
Setelah dilakukan pemeriksaan penunjang seperti darah rutin ditemukan pansitopenia. Pada
leukemia harusnya ditemukan adanya anemia, kelainan jumlah hitung jenis leukosit dan
trombositopenia. Pada pasien ini, ditemukan pula leukositosis dengan jumlah leukosit 106 x
103/mm3. Pada pasien dengan leukemia yang berkomplikasi pada terjadinya sindrom tumor lisis
biasanya diawali dengan kejadian hiperleukositosis. Penghancuran sel abnormal berlebihan pada
keadaan hiperleukositosis bisa berlangsung secara spontan atau setelah terapi sitostatika. Pada
keadaan ini harus dipantau terjadinya sindrom lisis tumor yang dapat mengakibatkan gangguan
metabolik dan gagal ginjal akut.
Pemeriksaan penunjang lain yang dilakukan adalah pemeriksaan ureum dan kreatinin.
Ditemukan peningkatan kadar ureum yaitu 21 mg/dl dan kreatinin 0,27 mg/dl yang artinya tidak
terdapat gangguan pada fungsi ginjal.
Penatalaksanaan pasien ini antara lain pemberian O2 1 liter per menit untuk mengatasi sesak
napas pada pasien. Pasien juga diberikan IVFD dextrose 5% (250ml):NaCl 0,9% (250ml) 3 gtt per
menit, injeksi Lasix 10 mg/12 jam/IV (furosemid), Allupurinol 2 x 90mg, dan bicarbonat natrium
40 meq/hari. Pencegahan dan terapi nefropati asam urat akibat sindrom lisis tumor terdiri dari tiga
prinsip fisika kimia, yaitu (1) hidrasi, mengalirkan cairan yang adekuat ke tubulus, (2) alkalinisasi
urin, untuk meningkatkan kelarutan asam urat, dan (3) pemberian allopurinol, untuk menurunkan
pembentukan asam urat.2 Pasien juga mendapatkan paracetamol drips 25ml/8 jam/IV serta karena
pasien mengalami demam dengan suhu 39°C.
Selain itu pasien juga diberikan injeksi antibiotik ceftriaxone 1 gram/12 jam/IV. Antibiotik
berfungsi sebagai terapi suportif. pada pasien LLA untuk profilaksis terhadap infeksi. Ketorolac .
ampul (5 mg)/8 jam/IV berfungsi sebagai analgesik poten dan mempunyai efek antiinflamasi
sedang. Pasien juga dianjurkan untuk transfusi packed red cell (PRC) sebanyak 250 ml. PRC
diberikan jika kadar hemoglobin kurang dari 7-8 g/gl atau lebih jika pasien mempunyai masalah
kardiovaskular dan pulmonari yang bermakna. Transfusi trombosit dilakukan jika jumlah
trombosit kurang dari 10.000-20.000/μL. Pasien dengan perdarahan pulmonari atau
gastrointestinal mendapatkan transfusi trombosit untuk mempertahankan nilai trombosit lebih dari

47
50.000/μL. Pasien dengan perdarahan sistem saraf pusat diberikan transfusi trombosit hingga
mencapai kadar trombosit 100.000/μL.

48
BAB V
KESIMPULAN

Sindrom tumor lisis merupakan triad kelainan metabolik (hiperurisemia, hiperfosfatemia,


hiperkalemia) yang sering terjadi pada pasien keganasan akibat lisisnya sel-sel tumor secara cepat
baik yang terjadi secara spontan ataupun karena pengobatan anti kanker.

Telah dilaporkan sebuah kasus pasien anak perempuan usia 4 tahun 2 bulan didiagnosa tumor
lisis sindorm ec susp ALL berdasarkan anamnesia, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
tatalakasana yang diberikan adalah IVFD dextrose 5% (250ml):NaCl 0,9% (250ml) 3 gtt per menit,
injeksi Lasix 10 mg/12 jam/IV (furosemid), Allupurinol 2 x 90mg, dan bicarbonat natrium 40
meq/hari.

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Permono B, Windiastuti E, Abdulsalam M. Buku Ajar Hematologi-Onkologi


2. Anak Cetakan Keempat. Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta, 2012.
3. Pudjiadi, A et al., ‘Pedoman Pelayanan Medis IDAI Edisi II’. Jakarta: Badan
4. Penerbit Ikatan Kedokteran Anak Indonesia; 2011
5. Mika D, Ahmad S, Guruvayoorappan C. Tumour Lysis Syndrome: Implications
6. for Cancer Therapy. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention. 2016; 13: 3555-
7. 3560.
8. Howard S, Jones D P, dan Pui C-H. The Tumor Lysis Syndrome. The England
9. Journal Medicine. 2017; 364: 1844-54.
10. Steuber CP, DG Poplack. ALL in Nelson Textbook of Pediatrics 18th Edition, 2007: 1594
– 1599.
11. Tubergen DG, A Bleyer. ALL in Rudolph’s Pediatrics 21st Edition, 2001: 2116 – 2120.
12. Permono B, IDG Ugrasena. Leukemia Akut in Buku Ajar Hematologionkologi Anak
IDAI, 2006: 236 – 245.
13. Baldy CM. ALL in Patofisiologi Konsep Klinis Dasar Proses-Proses Penyakit Volume 1,
2006: 277.
14. Panji, Iriani, Fianza. Leukemia Limfoblastik Akut in Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
2, 2006: 728 – 733.
15. Mansen TJ, KL McCance. ALL in Patophysiology the Biologic Basis for Diseasefor Adult
and Children, 2006: 960 – 963.

50

Anda mungkin juga menyukai