SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
ii
RINGKASAN
Kata kunci: ayam petelur, Hermetia illucens, kualitas telur, performa, status
kesehatan
iv
SUMMARY
ANDRI CAHYA IRAWAN. Effect of Black Soldier Fly (Hermetia illucens) in
the Ration on Performance, Egg Quality and Immune Response in Laying Hens.
Supervised by DEWI APRI ASTUTI, I WAYAN TEGUH WIBAWAN and
WIDYA HERMANA.
The poultry industry still faces various obstacles, including the problem of
feed raw materials which are still dependent on imports as well as problem of
prohibiting growth-promoting antibiotics. Therefore, efforts are needed to utilize
alternative protein sources that also have antibacterial and immunomodulatory
activities. Black Soldier Fly (Hermetia illucens) larvae has an antimicrobial
peptide (AMP) and has a high content of lauric acid is 49.18% which functions as
an antibacterial.
This study aims to evaluate the effect of fish meal substitution with BSF
larvae flour on production performance, egg quality, health status, increasing
immunity of laying hens as well as looking at the antibacterial activity of BSF
larvae extract in vitro. Antibacterial activity test was carried out on Escherichia
coli and Salmonella enteritidis with six levels of dilution (10 mg ml-1, 20 mg ml-1,
40 mg ml-1, 80 mg ml-1, 160 mg ml-1 and 320 mg ml-1). The feeding trial used
three feed treatments namely P0 (8% fish meal), P1 (5% fish meal + 6.03% fresh
BSF), P2 (5% fish meal + 5.85% dried BSF) and P3 (5% fish meal + 5.63% BSF
extract). The experimental design used was a completely randomized design
(CRD) with four treatments, five replications and each repetition consisted of 10
laying hens, while for antibacterial activity using 6 levels of dilution and 3
replications.
The results showed that the BSF extract has antibacterial activity from a
concentration of 320 mg/ml and increased with increasing doses (P <0.05). Using
5.63% BSF larvae from methanol extract as a protein source for 50% fish meal
protein in laying hen rations can ensure good egg performance and quality without
affecting the health of laying hens. Using live BSF larvae in rations can reduce the
cost of consuming and processing feed so that the benefits can be maximized. It
has been proven that BSF larvae from methanol extract have an antibacterial
effect in order to increase the optimal immune response of laying hens.
Key words: Hermetia illucens, laying hens, production performances, egg quality,
health status
v
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vi
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2020
vii
PRAKATA
Teriring salam dan do’a semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah sumber protein
alternatif dengan judul Pengaruh Black Soldier Fly (Hermetia illucens) dalam
Ransum Terhadap Performa, Kualitas Telur dan Respon Imun pada Ayam Petelur.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti,
MS, Prof. Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS, dan Dr. Ir. Widya Hermana,
M.Si selaku komisi pembimbing yang telah memberikan banyak saran dan
masukan dalam proses penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis
haturkan kepada Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc sebagai dosen pembahas
seminar pada tanggal 16 September 2019, Prof. Dr. Ir. Sumiati, M.Sc selaku
dosen penguji luar dalam ujian tesis, serta Dr. rer. nat. Nur Rochmah Kumalasari,
S.Pt, M.Si selaku dosen moderator dalam ujian tesis. Tak lupa penulis sampaikan
terima kasih pula pada seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan atas arahan dan bantuannya selama penulis menyelesaikan
pendidikannya.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Nurina Rahmawati, M.Pt
(istri) atas bantuan pemeliharaan ayam petelur selama penelitian, Bapak Wahyu
dari PT. Biocycle Indo Bogor, Ibu Lanjarsih dan Bapak Ucup dari Laboratorium
Nutrisi Unggas, Bapak Darmawan dan Ibu Kokom dari Laboratorium Nutrisi
Ternak Daging dan Kerja (NTDK), Bapak Agus Soemantri dari Laboratorium
Mikrobiologi FKH IPB, Ibu Endang dari Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan
Bioteknologi, Gedung PAU IPB dan Laboratorium Terpadu IPB yang telah
banyak membantu analisis laboratorium selama proses pengumpulan data. Tak
lupa, penulis juga menghaturkan terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua
orang tua, mertua serta seluruh keluarga atas dukungan, doa dan kasih sayangnya.
Terakhir, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para sahabat INP 2017.
Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam (HmI) dan keluarga besar Korps
Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) atas persahabatan dan
kebersamaannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR ISI
PRAKATA i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR iv
DAFTAR LAMPIRAN iv
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
2 METODE 4
Tempat dan Waktu Penelitian 4
Materi 4
Peubah yang Diamati 6
Prosedur Penelitian 14
Rancangan Percobaan dan Analisis Data 15
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 16
Kandungan Nutrien Jenis Larva Black Soldier Fly 16
Komposisi dan Kualitas Asam Amino Esensial Jenis Larva 17
Black Soldier Fly
Pengaruh Perlakuan terhadap Performa Produksi Ayam Petelur 19
Umur 18-26 Minggu
Pengaruh Perlakuan terhadap Hematologi Darah Ayam Petelur 24
Umur 26 Minggu
Aktivitas Antibakteri In Vitro Jenis Larva Black Soldier Fly 32
terhadap Bakteri Gram Negatif
Pengaruh Perlakuan terhadap Kualitas Fisik Telur Ayam Petelur 35
Umur 18-26 Minggu
Pengaruh Perlakuan terhadap Kualitas Kimia Telur Ayam 38
Petelur Umur 26 Minggu
Pengaruh Perlakuan terhadap Income Over Feed Cost (IOFC) 39
Pengaruh Perlakuan terhadap Metabolit Darah Ayam Petelur 40
Umur 26 Minggu
Pengaruh Perlakuan terhadap Aktivitas dan Kapasitas 46
Fagositosis Makrofag Peritoneum Ayam Petelur Umur 26
Minggu
Pengaruh Perlakuan terhadap Imunoglobulin (IgY) Ayam 47
Petelur Umur 26 Minggu
xi
DAFTAR TABEL
1. Susunan formulasi isoprotein dan kandungan nutrien ransum 5
perlakuan
2. Hasil analisis ransum perlakuan 6
3. Perbandingan komposisi nutrien jenis larva BSF umur 15 hari 16
dibandingkan dengan tepung ikan
4. Perbandingan kandungan asam amino jenis larva BSF 19
dibandingkan dengan tepung ikan dan telur
5. Rata - rata performa ayam petelur umur 18-26 minggu 21
6. Rata - rata hematologi darah ayam petelur umur 26 minggu 26
7. Aktivitas antibakteri in vitro jenis BSF yang berbeda terhadap 33
bakteri Escherichia coli dan Salmonella enteritidis setelah
inkubasi selama 24 jam pada suhu 35±1°C
8. Rata - rata kualitas fisik telur ayam petelur umur 18-26 minggu 36
9. Rata - rata kualitas kimia pada kuning telur ayam petelur umur 38
26 minggu
10. Perhitungan Income Over Feed Cost (IOFC) ayam petelur 40
selama 8 minggu
11. Rata - rata metabolit darah ayam petelur umur 26 minggu 43
12. Rata - rata aktivitas dan kapasitas fagositosis makrofag 46
peritoneum terhadap bakteri Staphyllococcus aureus non
protein A ayam petelur umur 26 minggu
13. Rata - rata clearance test pada ayam petelur umur 26 minggu 50
terhadap Salmonella enteritidis
DAFTAR GAMBAR
1. Larva Black Soldier Fly umur 15 hari 4
2. Rata - rata produksi telur harian setiap minggu selama umur 18- 23
26 minggu
3. Hasil uji AGPT antibodi spesifik terhadap antigen Newcastle 48
disease virus (NDV) dalam kuning telur
DAFTAR LAMPIRAN
1. Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF 68
yang berbeda terhadap konsumsi ransum ayam petelur umur 18-
26 minggu
2. Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF 68
yang berbeda terhadap berat telur ayam petelur umur 18-26
minggu
3. Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF 68
yang berbeda terhadap produksi telur harian ayam petelur umur
18-26 minggu
xiii
4. Hasil uji Tukey subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang 68
berbeda terhadap produksi telur harian ayam petelur umur 18-
26 minggu
5. Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF 68
yang berbeda terhadap massa telur ayam petelur umur 18-26
minggu
6. Hasil uji Tukey subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang 69
berbeda terhadap massa telur ayam petelur umur 18-26 minggu
7. Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF 69
yang berbeda terhadap konversi ransum ayam petelur umur 18-
26 minggu
8. Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF 69
yang berbeda terhadap eritrosit ayam petelur umur 26 minggu
9. Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF 69
yang berbeda terhadap leukosit ayam petelur umur 26 minggu
10. Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF 69
yang berbeda terhadap hematokrit ayam petelur umur 26
minggu
11. Hasil uji Tukey subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang 70
berbeda terhadap hematokrit ayam petelur umur 26 minggu
12. Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF 70
yang berbeda terhadap hemoglobin ayam petelur umur 26
minggu
13. Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF 70
yang berbeda terhadap MCV ayam petelur umur 26 minggu
14. Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF 70
yang berbeda terhadap MCHC ayam petelur umur 26 minggu
15. Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF 70
yang berbeda terhadap MCH ayam petelur umur 26 minggu
16. Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF 71
yang berbeda terhadap limfosit ayam petelur umur 26 minggu
17. Hasil uji Tukey subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang 71
berbeda terhadap limfosit ayam petelur umur 26 minggu
18. Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF 71
yang berbeda terhadap heterofil ayam petelur umur 26 minggu
19. Hasil uji Tukey subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang 71
berbeda terhadap heterofil ayam petelur umur 26 minggu
20. Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF 71
yang berbeda terhadap monosit ayam petelur umur 26 minggu
21. Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF 72
yang berbeda terhadap rasio (H/L) ayam petelur umur 26
minggu
22. Hasil uji T-test aktivitas antibakteri in vitro BSF hidup terhadap 72
bakteri Escherichia coli
23. Hasil uji T-test aktivitas antibakteri in vitro BSF hidup terhadap 72
bakteri Salmonella enteritidis
24. Hasil uji T-test aktivitas antibakteri in vitro BSF kering 72
terhadap bakteri Escherichia coli
xiv
42. Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF 76
yang berbeda terhadap lemak kuning telur ayam petelur umur
26 minggu
43. Hasil uji Tukey subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang 76
berbeda terhadap lemak kuning telur ayam petelur umur 26
minggu
44. Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF 77
yang berbeda terhadap trigliserida serum ayam petelur umur 26
minggu
45. Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF 77
yang berbeda terhadap kolesterol serum ayam petelur umur 26
minggu
46. Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF 77
yang berbeda terhadap HDL serum ayam petelur umur 26
minggu
47. Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF 77
yang berbeda terhadap LDL serum ayam petelur umur 26
minggu
48. Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF 77
yang berbeda terhadap total protein serum ayam petelur umur
26 minggu
49. Hasil uji Tukey subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang 78
berbeda terhadap total protein serum ayam petelur umur 26
minggu
50. Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF 78
yang berbeda terhadap albumin serum ayam petelur umur 26
minggu
51. Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF 78
yang berbeda terhadap glukosa serum ayam petelur umur 26
minggu
52. Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF 78
yang berbeda terhadap aktivitas fagositosis makrofag
peritoneum ayam petelur umur 26 minggu
53. Hasil uji Tukey subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang 78
berbeda terhadap aktivitas fagositosis makrofag peritoneum
ayam petelur umur 26 minggu
54. Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF 79
yang berbeda terhadap kapasitas fagositosis makrofag
peritoneum ayam petelur umur 26 minggu
55. Hasil analisis ragam clearance test darah ayam petelur umur 26 79
terhadap konsentrasi akhir dengan bakteri Salmonella
enteritidis
56. Hasil uji Tukey clearance test darah ayam petelur umur 26 79
terhadap konsentrasi akhir dengan bakteri Salmonella
enteritidis
57. Hasil analisis ragam clearance test darah ayam petelur umur 26 79
terhadap tingkat kematian bakteri dengan bakteri Salmonella
enteritidis
xvi
58. Hasil uji Tukey clearance test darah ayam petelur umur 26 79
terhadap tingkat kematian bakteri dengan bakteri Salmonella
enteritidis
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
meskipun hasil terbaik didapatkan dari penggantian tepung ikan hingga 25% atau
11.25% dalam ransum pakan. Menurut Awoniyi et al. (2003), bahwa penggunaan
tepung ikan pada ayam broiler berumur 3-9 minggu dengan substitusi tepung BSF
sebanyak (0%; 25%; 50%; 75% dan 100%) didapatkan hasil bahwa substitusi
tepung ikan oleh tepung BSF sebesar 25% menunjukkan performa yang optimal
pada ayam broiler. Larva BSF memiliki kecernaan protein in vitro tinggi, 82-90%
(Arango Gutiérrez et al. 2004; Bosch et al. 2014) diduga disebabkan oleh
kandungan kitin yang tinggi.
Maggot merupakan larva lalat black soldier atau serangga bunga, memiliki
tekstur yang kenyal, di dalam saluran pencernaannya terdapat enzim pencernaan
(amilase, lipase, dan protease) yang berfungsi untuk mengkonversi sampah
organik menjadi protein dan lemak tubuh. Larva Hermetia illucens juga memiliki
enzim protease, amilase, dan lipase, protease berfungsi untuk mengubah protein
menjadi asam amino, amilase mengubah pati menjadi maltosa, dan lipase
mengubah lemak menjadi asam lemak dan gliserol (Kim et al. 2011). Enzim
merupakan sekelompok protein yang mengatur dan menjalankan perubahan -
perubahan kimia dalam sistem biologi. Enzim dihasilkan oleh organ pada hewan
dan tanaman yang secara katalitik menjalankan berbagai reaksi, seperti hidrolisis,
oksidasi, reduksi, isomerasi, adisi, transfer radikal, pemutusan rantai karbon
(Sumardjo 2009). Kandungan nutrien maggot (Hermetia illucens), antara lain:
Energi 5.282 kkal, protein kasar 42.1%, lemak 26%, kalsium 7.56% dan fosfor
0.9% (Arango Gutierrez et al. 2004; Makkar et al. 2014; Newton et al. 1977 dan
St-Hillaire et al. 2007). Dilaporkan, bahwa mineral kalsium yang terkandung
dalam tepung BSF sebesar 88% (Finke 2013).
Larva BSF bersifat sebagai antibiotik alami, dilaporkan bahwa larva BSF
yang diekstrak dengan pelarut metanol memiliki sifat sebagai antibiotik pada
bakteri gram negatif, seperti Klebsiella pneumonia, Neisseria gonorrhoeae dan
Shigella sonnei. Sebaliknya, hasil analisis tersebut juga menunjukkan bahwa
ekstrak larva ini tidak efektif untuk bakteri gram positif, seperti Bacillus subtilis,
Streptococcus mutans dan Sarcina lutea (Choi et al. 2012). Ekstrak metanol larva
BSF mampu menghambat proliferasi bakteri gram negatif, sehingga
pemanfaatannya sebagai sumber pakan ternak akan berfungsi ganda, yaitu
kandungan protein tinggi dan kandungan antibiotik untuk membunuh bakteri
gram negatif yang merugikan. Pelarut kimia yang lain juga diuji untuk
mengekstraksi larva antara lain pelarut air, etanol, heksan dan kloroform, namun
tidak memberikan efek antibiotik. Larva BSF mampu menurunkan populasi
Salmonella sp hingga 106 cfu/ml pada feses manusia selama 8 hari, tetapi tidak
efektif untuk bakteri Enterococcus sp dan bakteriofag X174 (Lalander et al.
2013). Larva BSF ini mampu menurunkan populasi Escherichia coli O157 : H7
dan Salmonella enterica serovar Enteritidis pada kotoran unggas (Erickson et al.
2004) dan E. coli pada kotoran sapi perah (Liu et al. 2008).
Menurut Choi et al. (2012) bahwa terdapat aktivitas antimikrobia dari cairan
hemofilia maupun ekstrak larva BSF. Sistem kekebalan bawaan (innate immune
system) dimiliki oleh semua kelas insekta telah berkembang dengan baik secara
adaptif pada lingkungan ekstrim, misalnya di manur, feses, kompos dan limbah
organik yang terdapat bakteri, virus dan fungi. Stuktur biologis larva BSF
memiliki antimicrobial peptide (AMP) yang berfungsi sebagai daya hambat
aktivitas mikroorganisme patogen (Park et al. 2014). Menurut Kim dan Rhee
3
(2016) bahwa larva BSF memiliki kandungan asam laurat tinggi merupakan salah
satu jenis asam lemak yang berfungsi sebagai agen antimikroba alami serta kitin,
polisakarida berperan dalam meningkatkan respon kekebalan hewan (Bovera et al.
2015). Kemampuan larva dalam mengurai senyawa organik terkait dengan
terdapatnya beberapa bakteri di dalam sistem pencernaannya (Dong et al. 2009;
Yu et al. 2011). Menurut Myers et al. (2008) dan Tomberlin et al. (2009) bahwa
larva BSF mampu mengurangi limbah dan menurunkan konsentrasi populasi
nitrogen di kandang hingga 58%. Kotoran ayam petelur dapat menghasilkan 58
tons prepupa dengan kapasitas 100.000 ekor dalam waktu 5 bulan sebagai agen
biokonversi dan sumber protein alternatif (Tomberlin dan Sheppard, 2002).
Penelitian Ogunji et al. (2007) pada Carp (Cyprinus carpio L.) dengan tujuh
perlakuan yaitu substitusi tepung ikan oleh tepung maggot sebesar 0, 15, 25, 35,
45, 55, dan 68%, diperoleh hasil bahwa pada tingkat substitusi tepung maggot
sebesar 55% dalam ransum memberikan pertambahan bobot dan tingkat
kelangsungan hidup yang optimal. Menurut Elwert et al. (2010) menguji
efektivitas tepung BSF dalam meningkatkan bobot badan ayam pedaging
dibandingkan dengan pakan yang mengandung tepung ikan. Bobot badan ayam
pada fase starter dan grower tidak berbeda nyata antara kelompok yang diberi
pakan yang mengandung tepung BSF dengan kelompok yang diberi tepung ikan.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa substitusi tepung ikan dengan tepung BSF akan
memberikan hasil yang sama, tetapi secara operasional lebih ekonomis.
Penyebabnya karena tepung BSF memiliki protein dengan karakteristik asam
amino yang relatif sama dengan tepung ikan (Newton et al. 2005).
Beberapa penelitian membuktikan bahwa apabila larva BSF memakan
kotoran unggas atau limbah yang mengandung bakteri patogen maka di dalam
tubuh sebagian prepupa akan ditemukan bakteri yang sama, meskipun dalam
jumlah yang sangat rendah. Menurut Lalander et al. (2013) merekomendasikan
untuk mengeringkan prepupa terlebih dahulu sebelum diberikan sebagai pakan
ternak. Pengolahan dalam bentuk kering yang melalui proses pengeringan dapat
mengeliminasi potensi terjadinya penularan bakteri patogen, seperti Salmonella
sp.
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
METODE
Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Mei 2019. Analisis
proksimat dilakukan di Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi,
Gedung PAU IPB. Analisis kandungan asam amino BSF dilakukan di PT.
Saraswanti Indo Genetech. Pemeliharaan ayam petelur dilaksanakan di Desa
Tanjung Sepreh Kec. Maospati Kab. Magetan Provinsi Jawa Timur. Analisis
kualitas kimia telur dilakukan di Laboratorium Terpadu IPB. Analisis hematologi
dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak Daging dan Kerja Fakultas Peternakan
IPB. Analisis Imunoglobulin (IgY), aktivitas antibakteri in vitro, Clearance Test
serta aktivitas dan kapasitas fagositosis makrofag dilakukan di Laboratorium
Bakteriologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Materi
Larva BSF
Larva BSF yang digunakan diperoleh dari PT. Biocycle Indo Bogor. Larva
yang digunakan diberi ransum berupa limbah bungkil sawit dan dipanen pada
umur 15 hari. Setelah dipanen, larva diperlakukan dengan 3 bentuk yaitu BSF
hidup, BSF kering dan BSF ekstrak.
Perlakuan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), yang terdiri
dari 4 perlakuan 5 ulangan dan setiap ulangan terdiri dari 10 ekor. Adapun
perlakuan sebagai berikut:
P0 : Ransum mengandung 8% protein tepung ikan, 0% protein BSF
P1 : Ransum mengandung 4% protein tepung ikan + 6.03% protein BSF hidup
(BSF hidup menggantikan 50% protein tepung ikan)
P2 : Ransum mengandung 4% protein tepung ikan + 5.85% protein BSF kering
(BSF kering menggantikan 50% protein tepung ikan)
P3 : Ransum mengandung 4% protein tepung ikan + 5.63% protein BSF ekstrak
(BSF ekstrak menggantikan 50% protein tepung ikan)
5
Ransum
Ransum perlakuan disusun berdasarkan Leeson dan Summers (2005).
Kebutuhan nutrien ransum berdasarkan pada kebutuhan ayam petelur fase layer
(petelur), membutuhkan protein 20% dan energi metabolis 2900 kkal kg-1.
Perlakuan (%)
Komposisi Bahan
P0 P1 P2 P3
Jagung 56.52 54.67 54.99 54.50
Bekatul 6.69 5.43 3.69 6.21
Minyak Kelapa 2.00 1.63 1.42 1.74
Bungkil Kedelai 22.29 19.70 21.40 19.10
Tepung Ikan 8.00 4.00 4.00 4.00
BSF Hidup - 6.03 - -
BSF Kering - - 5.85 -
BSF Ekstrak - - - 5.63
CaCO3 3.54 3.55 3.67 3.58
Garam 0.24 0.21 0.26 0.41
Premix 0.42 0.42 0.42 0.42
DL-Metionin 0.20 0.16 0.12 0.21
L-Lysin 0.10 0.20 0.18 0.21
Total 100 100 100 100
Kandungan nutrien 1)
Protein kasar (%) 20.09 20.01 20.45 20.32
Lemak kasar (%) 5.43 6.80 5.88 5.88
Serat kasar (%) 2.75 2.82 3.02 2.99
Energi metabolis (kkal kg-1) 2902.83 2907.59 2901.81 2901.21
Metionin (%) 0.54 0.54 0.52 0.63
Lisin (%) 0.86 0.95 0.93 1.02
1)
Hasil perhitungan berdasarkan Leeson dan Summers (2005).
Ternak
Penelitian ini menggunakan ayam petelur strain (Isa Brown-merek dagang)
berumur 18-26 minggu berjumlah 200 ekor dan ditempatkan pada kandang
battery yang terbagi dalam 4 perlakuan dengan 5 ulangan dan setiap ulangan
terdiri dari 10 ekor ayam petelur.
Perlakuan (%)
Kandungan Nutrien1)
P0 P1 P2 P3
Bahan kering (%) 89.68 83.04 86.14 88.28
Abu (%) 12.31 12.22 12.37 12.42
Protein kasar (%) 19.35 19.21 19.62 19.86
Lemak kasar (%) 5.11 7.52 6.73 6.43
Serat kasar (%) 2.67 4.33 3.01 3.14
2)
BETN (%) 50.24 39.76 44.61 46.73
1)
Hasil analisis Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB (2019);
2)
Hasil perhitungan berdasarkan NRC (1994).
Ae, Be, Ce, .….. Je : konsentrasi (g kg-1) asam amino esensial sejenis yang
terdapat dalam telur
n : jumlah asam amino esensial yang dihitung
5. Haugh Unit (HU). Telur dipecahkan di atas meja kaca, kemudian diukur
tinggi putih telur dengan jangka sorong, kurang lebih 1 cm dari kuning
telur. Untuk mendapatkan nilai HU, tinggi putih telur (mm)
ditransformasikan ke dalam nilai koreksi dari fungsi bobot telur (Yuwanta
2010), yaitu:
Keterangan:
H = tinggi putih telur (mm), W = bobot telur (g butir-1)
Hasil nilai HU: >72 = kualitas AA, 60-72 = kualitas A, 31-60 = kualitas B,
<31 = kualitas C
Keterangan:
Asumsi jumlah telur: 16 butir kg-1
6. Clearance Test
Metode clearance test bertujuan untuk melihat pertumbuhan populasi
bakteri secara normal dibandingkan dengan pertumbuhan populasi bakteri
dengan diberikan perlakuaan tertentu. Clearance test dilakukan dengan
menggunakan metode George (1998). Prosedur pengujian terdiri dari 3 tahap
yaitu meliputi persiapan kultur bakteri, pemeriksaan dan interpretasi hasil.
Keseluruhan metode ini dilakukan selama selama 24-48 jam pada suhu 35 ±
1°C. Tahap pertama adalah persiapan kultur bakteri, dimulai dengan
peremajaan kultur bakteri pada medium clearence medium pada suhu 36 ± 1ºC
selama 18-24 jam. Subkultur dilakukan kembali pada medium Brain Heart
Broth pada 36 ± 1ºC, selama 18-24 jam, kemudian disiapkan bahan uji
pembersihan untuk diuji.
Tahap kedua yaitu pemeriksaan darah ayam sebanyak 4.50 mL yang
ditambah dengan 0.50 suspense bakteri (6.8 x 1010 cfu mL-1). campuran
tersebut dihomogenkan dengan cara di vorteks dan kemudian diinkubasi pada
suhu ruang, selama 30 menit. Selanjutnya campuran diencerkan dengan
pengenceran 10 (101 - 107). Masing - masing pengencer diambil 1.0 mL dan
dimasukkan ke dalam cawan yang dilakukan secara duplo. Medium plate count
agar dituangkan sebanyak 20 mL kemudian dihomogenkan dengan cara
memutar membentuk angka 8. Selanjutnya didiamkan sampai padat dan
diinkubasi selama 1 sampai 2 x 24 jam pada suhu 35oC. Selanjutnya dilakukan
perhitungan konsentrasi bakteri. Tahap ketiga yaitu interpretasi hasil dilakukan
dengan melihat adanya penurunan jumlah populasi antara yang tidak diberikan
perlakuaan dengan yang diberikan perlakuan, menunjukan bahwa bahan yang
diuji dapat menurunkan atau menekan jumlah pertumbuhan bakteri.
Kemampuan clearance (eliminasi bakteri) dihitung menurut metode
Anderson et al. (1984). Bakteri yang digunakan adalah Salmonella enteridis
dan dilakukan pengenceran sampel darah yaitu 10-1 hingga 10-11 dengan NaCl
14
7. Imunoglobulin (IgY)
1. Sebanyak 8 ayam diimunisasi dengan 0.5 ml (109 CFU) suspensi ND
secara intramuskular pada minggu pertama selama tiga hari, yaitu hari ke
1, 2, dan 3. Dilanjutkan dengan imunisasi minggu ke-2 dengan 1 ml (109
CFU) suspense ND dalam Complete Freund's Adjuvant (CFA) secara
intraperitoneal, serta imunisasi minggu ke-3, ke-8 dan ke-16 dengan 0.5 ml
suspensi ND (109 CFU) dalam Freund Adjuvant Incomplete secara
intraperitoneal. Satu minggu setelah imunisasi terakhir, dilakukan koleksi
telur untuk diperiksa keberadaan antibodi telur.
2. Ekstraksi Imunoglobulin Y (IgY) dari Kuning Telur dengan Teknik
Purifikasi Sederhana. Kuning telur dipisahkan dari putih telur, kemudian
diletakkan di atas kertas saring. Sebanyak satu bagian kuning telur
ditampung ke dalam microtube, kemudian ditambahkan 2 bagian PBS pH
7.5-7.6. Campuran dalam microtube tersebut disentrifus dengan kecepatan
2.000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang dihasilkan disimpan pada
suhu -20oC. Identifikasi keberadaan IgY spesifik Newcastle Disease dalam
kuning telur, digunakan uji agar gel presipitation test (AGPT)
(Soejoedono et al. 2005).
Prosedur Penelitian
Pengambilan Darah
Pengambilan sampel darah dilakukan sebanyak dua kali, pertama diambil
pada minggu ke-20 saat ayam petelur bertelur untuk pertama kalinya, sampel
darah ini digunakan untuk analisis clerence test. Kedua diambil pada terakhir
penelitian, yaitu minggu ke-26, sampel darah ini digunakan untuk analisis
hematologi dan metabolit (serum). Waktu pengambilan darah dilakukan pada pagi
hari. Pengambilan darah dari vena jugularis sebanyak 3 ml dan dimasukkan dalam
tabung yang mengandung antikoagulan (EDTA/ Ethylenediaminetetraacetic Acid)
dan disimpan pada kotak pendingin.
Keterangan:
Y ij = nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ = nilai tengah umum
τi = pengaruh perlakuan ke-i (i = 1, 2, 3, 4)
€ ij = pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j (j = 1, 2, 3, 4, 5)
16
Komposisi dan Kualitas Asam Amino Esensial Jenis Larva Black Soldier Fly
Hasil analisis komposisi asam amino pada jenis larva Black Soldier Fly
dibandingkan dengan tepung ikan dan telur disajikan pada Tabel 4. Asam amino
berperan penting dalam mengontrol ukuran telur (Leeson dan Summers 2005).
Serangga memiliki kandungan protein kasar tinggi yang tersusun dari berbagai
macam asam amino. Menurut Taruan (2012), bahwa glutamin berasal dari hasil
sintesis asam amino glutamat yang berperan untuk sel - sel kekebalan tubuh.
18
Kualitas pakan ditentukan dari jumlah komposisi asam amino pada nutrien
pakan. Asam amino terbagi dua kelompok yaitu asam amino esensial dan asam
amino non esensial. Asam amino esensial bersifat mudah diadsorbsi oleh tubuh
sehingga dapat membantu proses metabolisme tetapi tidak dapat diproduksi dalam
tubuh maka harus ditambahkan dalam bentuk pakan untuk pemenuhan kebutuhan
nutriennya. Jumlah komposisi asam amino dalam pakan secara langsung dapat
berpengaruh terhadap kandungan protein yang diperlukan untuk menyusun
ransum.
Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa jenis larva BSF memiliki komposisi
asam amino yang beragam. Berdasarkan kandungan protein yang cukup tinggi,
larva BSF juga mengandung semua asam amino esensial terutama
metionin sebagai faktor pembatas protein nabati. Terdapat persamaan kandungan
asam amino yang tinggi pada BSF hidup, BSF kering dan BSF ekstrak adalah
asam glutamat, termasuk jenis asam amino non esensial, yaitu sebesar 2.27%;
4.68% dan 5.36%. Persamaan juga terlihat pada kandungan asam amino esensial
terendah (defisien) untuk BSF hidup, BSF kering dan BSF ekstrak adalah
metionin, yaitu 1.21%; 1.60% dan 1.75%. Protein dan asam amino (terutama
metionin) memiliki peran utama dalam mengontrol ukuran telur, ukuran tubuh
unggas dan genetik (Leeson dan Summers 2005), maka strategi pemberian protein
BSF ekstrak dapat memaksimalkan fungsi fisiologis pada ayam petelur.
Secara umum, perbandingan kandungan asam amino BSF ekstrak lebih
tinggi dibandingkan dengan tepung ikan, kecuali kandungan leusin, lisin, asam
glutamat dan asam aspartat. Metode pengungkuran nilai kualitas protein pada
bahan pakan dapat dilakukan dengan cara menghitung skor kimia dan IAAE. Nilai
skor kimia pada jenis BSF lebih rendah dibandingkan dengan skor kimia tepung
ikan sebesar 55.24%. Semakin tinggi skor kimia menunjukkan kualitas protein
yang tinggi, sebaliknya semakin rendah skor kimia menunjukkan kualitas protein
yang rendah. Nilai skor kimia ditentukan oleh hasil perhitungan asam amino yang
dibandingkan antara kandungan asam amino pada bahan pakan paling defisien
(skor terendah) dari asam amino sejenis dengan telur karena memiliki protein
lengkap / standar. Asam amino esensial yang terdapat dalam protein telur
memiliki skor kimia 100, maka digunakan sebagai standar / pembanding suatu
bahan pakan (Leeson dan Summers 2005). Kondisi asam amino yang tidak
seimbang dalam tubuh menyebabkan terjadinya kelebihan energi sehingga diubah
menjadi lemak tubuh dan dapat menurunkan laju pertumbuhan (Lubis 1992).
Komposisi asam amino dalam ransum dapat mempengaruhi palatabilitas pakan.
Solusi untuk menurunkan derajat lemak dalam tubuh, dengan cara penambahan
asam amino lisin dan metionin (Leeson dan Summers 2005).
Nilai IAAE pada BSF hidup lebih rendah dibandingkan dengan tepung ikan,
48.46%. Nilai IAAE ditentukan oleh hasil perhitungan kandungan semua asam
amino esensial dalam bahan pakan dibandingkan dengan telur, karena kandungan
asam amino esensialnya lengkap / standar. Berdasarkan Tabel 4, menunjukkan
nilai skor kimia dan IAAE berbanding lurus dengan nilai kualitas protein pada
bahan pakan. Hasil penelitian ini didapatkan nilai skor kimia dan nilai IAAE pada
BSF ekstrak lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Harlystiarini
(2017), masing - masing (42.68% vs 19.02%) dan (68.11% vs 31.35%).
19
Kandungan (% b/b)*
Jenis Asam Amino BSF BSF BSF Tepung
Telur3)
Hidup1) Kering1) Ekstrak1) Ikan2)
Histidin 1.58 1.99 2.37 1.16 2.10
Treonin 1.78 2.55 2.53 1.95 4.90
Tirosin 2.03 4.34 3.88 1.56 4.50
Metionin 1.21 1.60 1.75 1.26 4.10
Valin 1.92 2.99 3.74 2.52 7.30
Fenilalanin 1.85 2.85 3.01 1.95 6.30
Isoleusin 1.71 2.23 4.42 1.99 8.00
Leusin 1.99 3.64 2.98 3.65 9.20
Lisin 1.70 2.44 2.47 3.41 7.20
Arginin 1.93 3.02 4.26 2.52 6.40
Serin 1.81 2.49 4.33 1.69 8.50
Asam Glutamat 2.27 4.68 5.36 6.13 14.30
Alanin 2.06 2.92 3.67 3.02 6.20
Glisin 1.97 3.40 3.74 3.41 3.60
Asam Aspartat 1.97 3.64 4.32 4.67 9.40
Prolin 1.91 2.81 3.64 2.34 4.40
skor kimia4) 29.51 39.02 42.68 55.24 100
indeks asam
48.46 62.94 68.11 53.57 -
amino esensial5)
*Kandungan berdasarkan total asam amino; 1)Hasil analisis PT. Saraswanti Indo
Genetech (2019); 2)Heuźe et al. (2015); 3)Leeson dan Summers (2005); 4,5)Hasil
perhitungan berdasarkan kandungan asam amino esensial (McDonald et al. 2010).
Rata - rata data performa ayam petelur umur 18-26 minggu selama
penelitian disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan hasil analisis, didapatkan data
bahwa penggunaan jenis larva BSF sebagai substitusi tepung ikan dalam ransum
berpengaruh tidak beda nyata (P>0.05) pada bobot telur, konsumsi ransum dan
konversi ransum, tetapi berpengaruh nyata terhadap produksi telur harian dan
massa telur (P<0.05).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi performa ayam diberi ransum
mengandung larva BSF. Pertama, BSF mengandung protein dan lemak tinggi
yang dapat mempengaruhi daya cerna dan palatabilitas pada tepung larva BSF
(Kroeckel et al. 2012). Kedua, penyebab utama konsumsi ransum berkurang pada
ayam adalah kandungan abu yang tinggi pada larva BSF dan tingkat inklusi lebih
tinggi dalam bahan pakan (Makkar et al. 2014). Ketiga, metode pengolahan BSF
yang berbeda atau tidak diproses (hidup) dapat memengaruhi kecernaan nutrien
sehingga keseluruhan bagian tubuh dari larva BSF tidak tercena dengan optimal
dalam tubuh ayam (Dierenfeld dan King, 2009). Keempat, banyak penelitian
bahwa tepung larva BSF mengandung protein tinggi, namun penting dilakukan
20
Konsumsi Ransum
Data konsumsi ransum pada ayam petelur dengan perlakuan penambahan
jenis BSF yang berbeda dalam ransum (P1, P2 dan P3) tidak berbeda nyata
dengan konsumsi ransum kontrol (P0). Data ini menunjukkan bahwa penambahan
jenis larva BSF berbeda yang dicampur dengan ransum tidak berpengaruh pada
palatabilitas ayam petelur. Menurut Damayanti et al. (2017), ukuran partikel
pakan berpengaruh terhadap homogenitas penyebaran bahan pakan yang
berkorelasi terhadap daya rekat saat dicampur dan diolah menjadi ransum.
Perlakuan P1 dalam penelitian ini menggunakan larva BSF hidup, dilakukan
setelah penyusunan ransum dengan cara ditaburi diatasnya (topping), namun
berdasarkan data Tabel 5, bahwa perlakuan P1 tidak berpengaruh terhadap
konsumsi ransum dibandingkan dengan perlakuan P0, P2 dan P3.
Nilai konsumsi ransum ayam petelur dalam penelitian ini lebih rendah
dibandingkan dengan nilai konsumsi standar untuk ayam petelur Isa Brown umur
18-26 minggu yaitu sebesar 115 g ekor-1 hari-1 (Hendrix Genetic Company 2015).
Menurut Leeson dan Summers (2005), bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh
bangsa ayam, temperatur lingkungan, banyaknya massa telur yang dihasilkan dan
kandungan energi ransum. Konsumsi ransum berhubungan erat dengan tingkat
penilaian sensori ternak pada ransum. Tingkat palatabilitas ransum dipengaruhi
oleh bentuk ransum, warna, rasa, bau (McDonald et al. 2010). Hasil penelitian
Komalasari (2014), bahwa ayam petelur memiliki performa lebih tinggi
dibandingkan ayam kampung, meskipun perbandingan perfoma keduanya
(konsumsi ransum, bobot telur, produksi telur, konversi ransum dan mortalitas)
tidak berpengaruh pada suhu kandang yang berbeda (22oC, 28oC dan 34oC), tetapi
dipengaruhi oleh bangsa ayam. Berbeda dengan performa ayam broiler dapat
dipengaruhi oleh suhu kandang yang berbeda.
21
Perlakuan
Peubah
P0 P1 P2 P3
-1 -1
Konsumsi Ransum (g ekor hari ) 112.15 ± 7.40 112.10 ± 7.30 112.16 ± 7.28 112.12 ± 7.16
-1
Bobot telur (g butir ) 54.82 ± 3.78 53.56 ± 4.34 54.76 ± 4.00 57.17 ± 3.46
Produksi telur harian (%) 81.71 ± 1.85b 86.93 ± 4.09ab 81.95 ± 1.80b 90.71 ± 3.79a
-1
Massa telur (g ekor ) 2237.95 ± 191.36b 2541.83 ± 312.26ab 2205.39 ± 196.30b 2884.33 ± 301.01a
Konversi ransum 2.81 ± 0.23 2.47 ± 0.29 2.85 ± 0.30 2.18 ± 0.30
Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05). P0: Ransum mengandung tepung ikan
8%; P1: Ransum mengandung tepung ikan 4% + BSF hidup 6.03%; P2: Ransum mengandung tepung ikan 4% + BSF kering
5.85%; P3: Ransum mengandung tepung ikan 4% + BSF ekstrak 5.63%.
22
Bobot Telur
Berdasarkan Tabel 5, penggunaan jenis larva BSF dalam ransum
berpengaruh tidak beda nyata (P>0.05) terhadap bobot telur. Perlakuan P3
memiliki protein lebih tinggi karena mengandung BSF ekstrak karena
ketersediaan asam amino esensial lebih seimbang sehingga mampu
mengkonversikan menjadi bobot telur lebih efisien (Leeson dan Summers 2005).
Nilai bobot telur ayam petelur dalam penelitian ini lebih rendah dibandingkan
standar bobot telur ayam petelur Isa Brown umur 18-26 minggu yaitu sebesar 60.8
g butir-1 (Hendrix Genetic Company 2015). Rata - rata bobot telur perlakuan P3
yaitu pemberian ransum mengandung BSF ekstrak memiliki nilai yang terbesar
jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya, yaitu 57.17 g butir-1. Hasil penelitian
ini lebih rendah dibandingkan dengan penelitian Cayan dan Erener (2015) bahwa
pengaruh ekstrak daun zaitun terhadap bobot telur ayam Lohmann Brown yang
dipelihara selama 8 minggu adalah 59.62 g. Beberapa faktor yang mempengaruhi
bobot telur adalah genetik, umur, pakan, ukuran tubuh unggas, iklim, produksi
telur, protein dan asam amino (terutama metionin) berperan penting untuk
mengontrol ukuran telur (Leeson dan Summers 2005).
Gambar 2 Rata - rata produksi telur harian setiap minggu selama umur 18-26
minggu. P0: Ransum mengandung tepung ikan 8%, P1:
Ransum mengandung tepung ikan 6.03% + BSF hidup 8%, P2:
Ransum mengandung tepung ikan 5.85% + BSF kering 8%, P3:
Ransum mengandung tepung ikan 5.63% + BSF ekstrak 8%.
Produksi telur pada ayam petelur umur 18-26 minggu disajikan pada
Gambar 2. Produksi telur mengalami peningkatan setiap minggunya. Rata - rata
peningkatan produksi telur lebih tinggi untuk semua perlakuan terjadi pada
minggu ke-26, masing - masing: P0 sebesar 84%, P1 sebesar 88%, P2 sebesar
84% dan P3 sebesar 92%. Puncak produksi telur ayam petelur Isa Brown pada
umur 26-28 minggu (Hendrix Genetic Company 2015). Peningkatan produksi
telur disebabkan ayam yang mendapat ransum dengan intake protein dan asam
amino lebih tinggi. Ketersediaan nutrisi ini mampu mendukung ayam
menghasilkan produksi telur yang lebih baik dibandingkan dengan ayam yang
mengkonsumsi ransum dengan protein lebih rendah. Menurut Leeson dan
Summers (2005), keseimbangan asam amino dan intake nutrisi berperan penting
untuk mempertahankan produksi telur tetap tinggi.
Massa Telur
Berdasarkan Tabel 5, penggunaan jenis larva BSF dalam ransum
berpengaruh nyata terhadap massa telur (P<0.05). Rata - rata produksi massa telur
selama penelitian ini berkisar antara 2205.39-2884.33 g ekor-1 (Tabel 5).
Perlakuan P3 memiliki nilai massa telur (egg mash) lebih tinggi dibandingkan
standar massa telur ayam petelur Isa Brown umur 26 minggu adalah 2.300 g ekor-
1
(Hendrix Genetic Company 2015), sedangkan perlakuan P0 dan P2 memiliki
nilai massa telur dibawah standar, masing - masing 2237.95 g ekor-1 dan 2205.39
g ekor-1. Kualitas protein dalam ransum berperan penting untuk produksi massa
telur (egg mash) yang berkorelasi erat dengan bobot telur dan produksi telur.
Menurut Mousavi et al. (2013) bahwa keseimbangan kandungan protein dan asam
amino dalam ransum dapat meningkatkan produktivitas yang optimal. Nilai massa
telur dipengaruhi oleh heat stress, produksi telur dan bobot telur (Vercese et al.
24
2012). Hasil penelitian Sh et al. (2012) bahwa nilai produksi massa telur yang
rendah berkorelasi positif dengan nilai produksi telur rendah sedangkan produksi
massa telur merupakan hasil kali produksi telur harian (hen day production)
dengan bobot telur.
Konversi Ransum
Berdasarkan Tabel 5, penggunaan jenis larva BSF dalam ransum
berpengaruh tidak beda nyata (P>0.05) terhadap konversi ransum. Rata - rata
konversi ransum dalam penelitian ini berkisar antara 2.18-2.85 (Tabel 5). Rasio
konsumsi ransum antar perlakuan tidak berbeda jauh, namun perlakuan P3
memiliki nilai bobot telur, produksi telur harian dan massa telur lebih tinggi dari
perlakuan lainnya. Perlakuan P3 memiliki nilai konversi ransum lebih rendah
dibandingkan standar konversi ransum ayam petelur Isa Brown umur 26 minggu
adalah 1.95 (Hendrix Genetic Company 2015).
Perlakuan P1 memiliki nilai konversi ransum yaitu 2.47, pemberian ransum
mengandung BSF hidup juga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
konversi ransum pada ayam petelur, hal ini menunjukkan bahwa metode
penaburan BSF hidup setelah penyusunan ransum (topping) berpengaruh tidak
beda nyata (P>0.05) terhadap konversi ransum. Menurut Ensminger et al. (2004),
tingkat palatabilitas ayam lebih menyukai ransum bentuk crumble dibandingkan
bentuk mash. Nilai konversi ransum berkorelasi positif dengan nilai konsumsi
ransum sehingga dapat mengukur kemampuan ayam petelur dalam merubah
ransum menjadi telur.
Salah satu parameter tingkat efisiensi ternak dalam mengkonversikan
ransum yang dikonsumsi adalah nilai konversi ransum semakin rendah
dibandingkan dengan antar perlakuan, apabila nilai konversi ransum semakin
tinggi mengakibatkan biaya produksi semakin tinggi (mahal). Beberapa faktor
yang mempengaruhi konversi ransum adalah produksi telur, nutrien ransum dan
bobot telur (Leeson dan Summer 2005) suhu dan kelembaban lingkungan,
genetik, jenis pakan, penggunaan zat aditif dan sistem pemeliharaan (Gillespie
dan Flanders 2010). Penelitian Cayan dan Erener (2015), bahwa konversi ransum
ayam Lohmann Brown umur 22 minggu yang diberi tepung daun zaitun adalah
2.05-2.07.
Data rata - rata hematologi darah ayam petelur umur 26 minggu disajikan
pada Tabel 6. Berdasarkan hasil analisis, didapatkan data bahwa penggunaan jenis
larva BSF sebagai substitusi tepung ikan dalam ransum tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap eritrosit, leukosit, hemoglobin, MCV, MCHC,
MCH, monosit dan rasio heterofil/limfosit (H/L) tetapi memiliki pengaruh yang
nyata terhadap hematokrit, limfosit dan heterofil (P<0.05).
Menurut Guyton dan Hall (2010) bahwa ternak dalam kondisi sehat
memiliki hematologi yang normal, setiap komponen sel darah berfungsi untuk
melakukan sirkulasi dalam pembuluh darah. Gambaran hematologi darah
bertujuan untuk mendeteksi awal penyakit, memberikan informasi terkait
perubahan fisiologis dan keadaan patologis. Penyebab terjadinya perubahan
25
Eritrosit
Pemberiaan ransum mengandung tepung ikan dengan jenis larva BSF yang
berbeda, tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah eritrosit (Tabel
6). Rata - rata jumlah eritrosit ayam petelur dalam penelitian ini berkisar antara
2.61-2.91 x 106 mm-3 berada diatas penelitian Habiyah (2015), ayam petelur
Lohmann Brown umur 48 minggu dengan pemberian level ketumbar sebesar
2.261-2.535 x 106 mm-3. Ayam petelur Lohmann umur 24 minggu dengan
pemberian tepung kulit manggis dan vitamin E, berada diatas penelitian Rusli
(2016) sebesar 2.33-2.42 x 106 mm-3. Perbandingan pemeliharaan sistem open
house antara ayam kampung dengan ayam petelur komersial umur 32 minggu,
berada diatas penelitian penelitian Ihwantoro (2014), masing - masing sebesar
2.65 dan 2.61. Nilai rata - rata eritrosit ayam petelur pada penelitian ini berada
dalam kisaran normal eritrosit yaitu 1.3-4.5 x 106 mm-3 (Campbell et al. 2012).
Kualitas sel darah merah dipengaruhi oleh nutrien pakan, kadar hemoglobin
dan hematokrit. Tubuh ayam dalam keadaan sehat akan berlangsung proses
metabolisme normal sehingga absorpsi nutrisi untuk pembentukan sel darah
merah dapat optimal, terutama protein dan vitamin sudah mencukupi kebutuhan
ayam. Darah selalu mempertahankan kondisi yang stabil guna menjaga
keseimbangan perubahan fisilogi secara internal sehingga tubuh berfungsi normal.
Darah membutuhkan protein yang cukup guna pembentukan eritrosit sehingga
mampu mempertahankan homeostatis tubuh (Dellmann dan Brown 1992). Warna
merah pada sel darah disebabkan adanya kandungan hemoglobin yang terdiri dari
protein didalamnya serta serapan O2 oleh paru - paru pada saat darah mengalir ke
seluruh tubuh, hemoglobin melepaskan O2 dan mengikat CO2 (Khan 2005).
Menurut Zhu et al. (2005), kandungan asam lemak jenuh ganda dengan
konsentrasi yang tinggi dalam eritrosit menyebabkan terjadinya stress oksidatif
pada sel eritosit. Beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah eritrosit antara lain
status fisiologis, umur ayam, jenis kelamin, aktivitas ayam, kandungan nutrien
dalam ransum dan kondisi lingkungan (suhu dan kelembaban) (Campbell 2015;
Guyton dan Hall 2010). Menurut Scanes (2015), unggas memiliki suhu tubuh dan
laju metabolisme lebih tinggi dibandingkan dengan mamalia disebabkan oleh
periode hidup (life span) pendek dan unggas resisten secara fisilogis sehingga
mudah mengalami penurunan jumlah eritrosit dibandingkan dengan mamalia
(Campbell 2015).
26
Perlakuan Standar
Peubah
P0 P1 P2 P3
Eritrosit (106 mm-3) 2.61 ± 0.16 2.90 ± 0.21 2.82 ± 0.39 2.91 ± 0.13 1.30 - 4.501
Hematokrit (%) 24.80 ± 1.44b 27.60 ± 1.33a 26.60 ± 1.33ab 27.80 ± 1.14a 22 - 551
Hemoglobin (%) 8.56 ± 0.66 9.64 ± 0.63 9.20 ± 0.68 9.96 ± 1.12 7 - 181
MCV (fl) 95.17 ± 3.25 95.24 ± 3.43 95.63 ± 9.53 95.77 ± 4.41 90 - 1402
MCHC (%) 34.73 ± 4.14 35.00 ± 2.70 34.64 ± 2.76 35.99 ± 5.21 26 - 362
MCH (pg) 33.04 ± 4.06 33.35 ± 3.12 33.37 ± 5.84 34.38 ± 4.53 33 - 472
3 -3
Leukosit (10 mm ) 15.71 ± 3.47 16.17 ± 2.20 15.40 ± 2.61 17.69 ± 3.68 12 - 301
Limfosit (%) 50.80 ± 5.06b 58.60 ± 3.37ab 52.80 ± 2.8ab 61.20 ± 4.86a 29 - 841
Heterofil (%) 25.20 ± 1.14b 28.40 ± 3.19ab 25.20 ± 1.69b 31.20 ± 2.00a 15 - 501
Monosit (%) 3.64 ± 1.80 5.09 ± 3.73 4.24 ± 2.36 4.69 ± 3.52 0 - 71
Rasio (H/L) 0.50 ± 0.04 0.49 ± 0.06 0.48 ± 0.03 0.51 ± 0.04 0.45 - 0.501
Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05). P0: Ransum mengandung tepung ikan
8%; P1: Ransum mengandung tepung ikan 4% + BSF hidup 6.03%; P2: Ransum mengandung tepung ikan 4% + BSF kering
5.85%; P3: Ransum mengandung tepung ikan 4% + BSF ekstrak 5.63%; 1Campbell et al. (2012); 2Schalms et al. (2010).
27
Hematokrit
Hematokrit merupakan nilai persentase sel darah merah dari keseluruhan
total darah (whole blood). Nilai hematokrit pada penggunaan BSF hidup, BSF
kering dan BSF ekstrak dalam ransum, masing - masing 8% berpengaruh nyata
(P<0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Nilai hematokrit lebih tinggi
pada P3 sebesar 27.80% (Tabel 6). Rata - rata jumlah hematokrit ayam petelur
pada penelitian ini berkisar antara 24.80-27.80% berada diatas dengan penelitian
Habiyah (2015), sebesar 22.18-25.60%, berada diatas penelitian Rusli (2016),
sebesar 21.74-22.50% dan berada diatas penelitian penelitian Ihwantoro (2014),
sebesar 23.33%. Nilai rata - rata hematokrit ayam petelur pada penelitian ini
berada dalam kisaran normal hematokrit yaitu 22-55% (Campbell et al. 2012).
Nilai hematokrit pada penelitian ini meningkat seiring dengan peningkatan
konsumsi protein kasar khususnya asam amino glisin dan metionin sebagai
prekusor pembentuk sel darah merah. Nilai hematokrit yang lebih tinggi pada P3
disebabkan karena nilai eritrosit dan hemoglobin memiliki kecenderungan lebih
tinggi dibandingkan kontrol. Beberapa faktor yang mempengaruhi nilai
hematokrit adalah bangsa dan jenis ternak, umur dan fase produksi, jenis kelamin,
penyakit, iklim, jumlah dan ukuran sel darah merah (Wardiny et al. 2012).
Menurut Guyton dan Hall (2010), indikator penyebab ayam terkena anemia saat
diuji indeks eritrosit adalah nilai hematrokit yang rendah dibawah normal karena
nilai hematokrit berkorelasi positif dengan jumlah eritrosit (Scanes 2015). Jumlah
eritrosit melebihi batas normal menyebabkan nilai hematokrit semakin tinggi
(Guyton dan Hall 2010) karena eritrosit memiliki massa sel terbesar dalam darah
(Virden et al. 2007).
Uji hematokrit bertujuan untuk menganalisa kondisi kenormalan darah,
anemia dan polisetamia, juga indikator uji Oxygen Carrying Capacity, yaitu
kemampuan darah untuk mentransportasikan O2 ke seluruh tubuh. Dampak
terjadinya penurunan Oxygen Carrying Capacity disebabkan oleh volume plasma
yang meningkat dalam darah, meskipun jumlah eritrosit tidak berkurang (Wagner
et al. 2008). Ayam petelur resisten terhadap perubahan fisiologis secara internal,
untuk menjaga keseimbangan lingkungan internal tubuh (homeostatis), sehingga
nilai hematokrit cenderung mengalami penurunan saat bertelur disebabkan
terjadinya proses haemodilusi, yaitu peningkatan volume plasma dan peningkatan
massa eritrosit. Konsentrasi plasma kembali normal ketika folikel terakhir telah
mengalami ovulasi (Challenger et al. 2001; Vézina et al. 2003).
Hemoglobin
Nilai hemoglobin pada penggunaan jenis BSF yang berbeda dalam ransum,
masing - masing 8% berpengaruh tidak beda nyata (P>0.05) terhadap hemoglobin.
Rata - rata jumlah hemoglobin ayam petelur pada penelitian ini berkisar antara
8.56-9.96% berada dibawah dengan penelitian Habiyah (2015), sebesar 13.98-
16.90%, berada diatas penelitian Rusli (2016), sebesar 10.75-12.47% dan berada
diatas penelitian Ihwantoro (2014), sebesar 7.26%. Nilai rata - rata hemoglobin
ayam petelur pada penelitian ini berada dalam kisaran normal hemoglobin yaitu
7.0-18.0% (Campbell et al. 2012).
Menurut Weiss dan Wardrop (2010), kadar O2 dan jumlah eritrosit dapat
mempengaruhi nilai hemoglobin, bila jumlah eritrosit rendah maka nilai
hemoglobin pun ikut menurun. Hemoglobin memiliki afinitas yang tinggi
28
terhadap O2, mengandung protein yang kaya zat besi, memiliki pigmen merah
dalam eritrosit dan indikator ketersediaan O2 dalam darah. Kandungan asam
amino (terutama glisin) dalam ransum akan bersenyawa dengan zat besi untuk
proses pembentukan hemoglobin, senyawa organik yang komplek memiliki empat
pigmen porfirin merah (heme) sebagai penyusun hemoglobin, senyawa tersebut
mengandung atom besi ditambah globin sebagai penyusun protein globular
Frandson (1992), heme bergabung dengan protein globin membentuk rantai
hemoglobin yang berperan untuk distributor O2 membawa CO2 dari jaringan ke
paru - paru (Guyton dan Hall 2010).
MCV
Berdasarkan analisis ragam bahwa pemberiaan ransum mengandung tepung
ikan dengan jenis larva BSF yang berbeda berpengaruh tidak beda nyata (P>0.05)
terhadap MCV. Rata - rata MCV ayam petelur pada penelitian ini berkisar antara
95.17 - 95.77 fl berada dalam rentang sama dengan penelitian Ihwantoro (2014),
perbandingan pemeliharaan sistem open house antara ayam kampung dengan
ayam petelur komersial umur 32 minggu, masing - masing sebesar 97.90 fl dan
88.04 fl. Nilai rata - rata MCV ayam petelur pada penelitian ini berada dalam
kisaran normal MCV yaitu 90.0-140.0 femtoliter (Schalms et al. 2010). Data
penelitian (Tabel 6) menunjukkan bahwa pemberian ransum mengandung tepung
ikan dengan jenis larva BSF yang berbeda tidak mengganggu ukuran sel darah
merah pada ayam petelur selama perlakuan, artinya ayam petelur tidak mengalami
anemia. Mean corpuscular volume merupakan analisis indeks eritrosit bertujuan
untuk mengetahui kondisi anemia pada ternak berdasarkan ukuran eritrosit
(Guyton dan Hall 2010), nilai MCV berfungsi untuk mengklasifikasikan tipe
anemia (Schalms et al. 2010).
MCHC
Berdasarkan analisis ragam bahwa pemberiaan ransum mengandung tepung
ikan dengan jenis larva BSF yang berbeda berpengaruh tidak beda nyata (P>0.05)
terhadap MCHC. Rata - rata MCHC ayam petelur pada penelitian ini berkisar
antara 34.64-35.99% berada dalam rentang sama dengan penelitian Ihwantoro
(2014), perbandingan pemeliharaan sistem open house antara ayam kampung
dengan ayam petelur komersial umur 32 minggu, masing - masing sebesar
30.20% dan 27.80%. Nilai rata - rata MCHC ayam petelur pada penelitian ini
berada dalam kisaran normal MCHC yaitu 26.0-36.0% (Schalms et al. 2010).
Data penelitian (Tabel 6) menunjukkan bahwa pemberian ransum mengandung
tepung ikan dengan jenis larva BSF yang berbeda tidak mengganggu konsentrasi
hemoglobin di dalam sel darah merah pada ayam petelur selama masa perlakuan.
Mean corpuscular hemoglobin concentration merupakan analisis indeks eritrosit
bertujuan untuk mengetahui kondisi anemia pada ternak berdasarkan konsentrasi
hemoglobin (Guyton dan Hall 2010), cara menentukan nilai MCHC, yaitu
menghitung jumlah hemoglobin dan hematokrit (Fischbach dan Marshall 2009).
MCH
Mean corpuscular hemoglobin merupakan indikator mengukur kuantitas
hemoglobin (Hb) per rata-rata eritrosit dalam satuan picogram (pg) (Stockham
dan Scott 2008). Berdasarkan analisis ragam bahwa pemberiaan ransum
29
mengandung tepung ikan dengan jenis larva BSF yang berbeda berpengaruh tidak
beda nyata (P>0.05) terhadap MCH. Rata - rata MCH ayam petelur pada
penelitian ini berkisar antara 33.04-34.38 pg berada dalam rentang sama dengan
penelitian Ihwantoro (2014), perbandingan pemeliharaan sistem open house
antara ayam kampung dengan ayam petelur komersial umur 32 minggu, masing -
masing sebesar 34.00 pg dan 27.50 pg. Nilai rata - rata MCH ayam petelur pada
penelitian ini berada dalam kisaran normal MCH yaitu 33.0-47.0 pg (Schalms et
al. 2010). Data penelitian (Tabel 6) menunjukkan bahwa pemberian ransum
mengandung tepung ikan dengan jenis larva BSF yang berbeda tidak mengganggu
berat hemoglobin di dalam sel darah merah pada ayam petelur selama masa
perlakuan. Mean corpuscular hemoglobin merupakan analisis indeks eritrosit
bertujuan untuk mengetahui kondisi anemia pada ternak berdasarkan berat
hemoglobin (Guyton dan Hall 2010).
Leukosit
Berdasarkan analisis ragam bahwa pemberiaan ransum mengandung tepung
ikan dengan jenis larva BSF yang berbeda berpengaruh tidak beda nyata (P>0.05)
terhadap leukosit. Rata - rata jumlah leukosit ayam petelur pada penelitian ini
berkisar antara 15.40-17.69 x 103 mm-3 berada dalam rentang sama dengan
penelitian Habiyah (2015), sebesar 8.40 - 18.85 x 103 mm-3, berada diatas
penelitian Rusli (2016), sebesar 7.90-12.93 x 103 mm-3 tetapi berada dibawah
penelitian penelitian Ihwantoro (2014), sebesar 22.24 dan 27.34. Nilai rata - rata
leukosit ayam petelur pada penelitian ini berada dalam kisaran normal leukosit
yaitu 12.0-30.0 x 103 mm-3 (Campbell et al. 2012). Hal ini menunjukkan seluruh
perlakuan penelitian ini tidak terindikasi terinfeksi agen penyakit tertentu.
Menurut Moyes dan Schutle (2008) bahwa, nilai leukosit yang tinggi tidak dapat
diasumsikan ternak mengalami sakit / stress, karena jumlah leukosit yang
meningkat bertujuan untuk merespon cepat melawan agen patogen penyebab
penyakit dalam tubuh secara humoral dan seluler.
Leukosit berperan aktif dalam merespon kekebalan tubuh. Sistem
pertahanan leukosit ada dua cara yaitu membentuk mekanisme pertahanan tubuh
(antibodi) ketika zat asing masuk tubuh dan secara langsung menghancurkan
bakteri, virus serta zat asing lainnya. Frandson (1992) bahwa sifat leukosit dalam
aliran darah adalah non fungsional, bekerja disaat terdeteksi jaringan yang
terinfeksi dan leukosit siaga terhadap gangguan non spesifik seperti infeksi virus
dan bakteri sehingga membentuk sistem kekebalan tubuh yang aktif. Infeksi
maupun peradangan pada tubuh dapat menyebabkan leukositosis (Weiss dan
Wardrop 2010). Benda asing penyebab infeksi akan direspon cepat karena
leukosit adalah unit yang aktif dan kuat untuk membentuk antibodi (Guyton dan
Hall 2010), kemampuan inti sel leukosit dapat bergerak independen dan aktif
merespon patogen masuk ke dalam tubuh (Campbell 2015).
Limfosit
Limfosit merupakan diferensiasi leukosit yang tidak memiliki granula. Nilai
limfosit pada penggunaan jenis BSF yang berbeda dalam ransum, masing -
masing 8% berpengaruh nyata (P<0.05) lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol.
Nilai limfosit lebih tinggi pada P3 sebesar 61.20% (Tabel 6), mungkin disebabkan
oleh sumbangan asam laurat dari minyak kelapa dalam ransum sebesar 1.74%.
30
Minyak kelapa memiliki asam lemak jenuh rantai sedang yaitu asam laurat yang
dapat menurunkan kadar kolesterol darah dan mudah dicerna oleh tubuh menjadi
energi. Energi inilah yang digunakan oleh tubuh untuk meningkatkan atau
menstimulasi sistem kekebalan tubuh (Dewi dan Tulus 2010), sehingga
diasumsikan semakin banyak pemberian minyak kelapa dalam ransum dapat
menstimulasi sistem kekebalan tubuh ayam petelur. Rata - rata jumlah limfosit
ayam petelur pada penelitian ini berkisar antara 50.80-61.20%, berada dibawah
dengan penelitian Habiyah (2015), sebesar 52.00-65.25%, berada dibawah
penelitian Rusli (2016), sebesar 58.75-62.50% dan berada diatas penelitian
penelitian Ihwantoro (2014), sebesar 21.06%. Nilai rata - rata limfosit ayam
petelur pada penelitian ini berada dalam kisaran normal limfosit yaitu 29.0-84.0%
(Campbell et al. 2012).
Nilai limfosit berkorelasi positif dengan kemampuan beradaptasi ayam
petelur terhadap suhu lingkungan. Menurut Davis et al. (2008), produksi hormon
kortikosteroid yang tinggi disebabkan oleh lingkungan panas sehingga di dalam
darah kadar tinggi hormon kortikosteroid dapat menghambat pembentukan
limfosit. Menurut Ganong (2008), penyebab nilai limfosit di atas normal adalah
faktor patologis, limfosit bekerja lebih keras untuk mengeliminasi benda asing
yang masuk ke dalam tubuh, sedangkan penyebab nilai limfosit di bawah normal
adalah tidak adanya tantangan (virus atau bakteri) yang masuk ke dalam tubuh
(Odetola et al. 2012). Menurut Wibawan dan Soejoedono (2013), sel limfosit
membentuk antibodi dalam serum darah menyebabkan kematian bakteri,
fagositosis yang diperantarai sel heterofil juga dapat menyebabkan kematian
bakteri. Sel fagosit terbagi tiga jenis yaitu sel granulosit (heterofil, eosinofil dan
basofil), makrofag dan sel dentritik (Devereux 2002). Sel fagosit terdapat pada sel
yang bersikulasi dalam tubuh seperti neutrofil dan eosinofil (polimorfonuklear /
PMN), monosit dan terdapat pada jaringan seperti makrofag, kupffer cell,
histocytes, microgial cell, alveolar macrophages (Iswara 2012).
Menurut Tizard (2009), limfosit terbagi menjadi dua, yaitu limfosit T (sel T)
berasal dari timus yang berperan sebagai sel tanggap kebal seluler dan limfosit B
(sel B) berasal dari bursa fabrisius yang berperan membentuk antibodi dari sel
plasma hasil reaksi kekebalan humoral. Limfosit memiliki kemampuan untuk
merespon antigen yang terikat pada makrofag dengan cara memproduksi antibodi
sebagai sel efektor khusus (Tizard 2009). Menurut Nicholas (2004), limfosit B
(sel B) berperan untuk produksi antibodi (imunoglobulin) dengan cara
membentuk kekebalan spesifik humoral (Humoral Mediated Immunity / HMI),
sedangkan limfosit T (sel T) berperan untuk produksi sitotoksik guna
menghancurkan sel yang terinfeksi agen penyakit dengan cara sel T cytoytoxic
(Tc) membentuk kekebalan spesifik seluler (Cellular Mediated Immunity / CMI).
Heterofil
Nilai heterofil pada penggunaan jenis BSF yang berbeda dalam ransum,
masing - masing 8% berpengaruh nyata (P<0.05) lebih tinggi dibandingkan
dengan kontrol. Rata - rata jumlah heterofil ayam petelur pada penelitian ini
berkisar antara 25.20-31.20%, berada dibawah dengan penelitian Habiyah (2015),
sebesar 25.25-42.75%, berada dibawah penelitian Rusli (2016), sebesar 31.00-
34.00% dan berada diatas penelitian penelitian Ihwantoro (2014), sebesar 71.55%.
Nilai rata - rata heterofil ayam petelur pada penelitian ini berada dalam kisaran
31
Monosit
Monosit merupakan diferensiasi leukosit yang tidak memiliki granula dan
sebagai prekursor makrofag dalam darah sirkulasi. Nilai monosit pada
penggunaan jenis BSF yang berbeda dalam ransum, masing - masing 8%
berpengaruh tidak beda nyata (P>0.05). Hasil tidak berbeda nyata disebabkan oleh
masa edar monosit yang singkat di dalam sirkulasi darah yaitu 24 jam atau
kurang, kemudian monosit masuk ke dalam jaringan menjadi makrofag, akibat
adanya respons untuk melakukan fagositosis benda asing, seperti bakteri dan
jaringan yang mati (sel debris), sel rusak, atau sel yang tidak berfungsi (Guyton
dan Hall 2010).
Rata - rata jumlah monosit ayam petelur pada penelitian ini berkisar antara
3.00-5.00%, berada dibawah dengan penelitian Habiyah (2015), sebesar 4.25-
6.75%, berada dibawah penelitian Rusli (2016), sebesar 4.25-6.00% dan berada
dibawah penelitian penelitian Ihwantoro (2014), sebesar 6.17%. Nilai rata - rata
monosit ayam petelur pada penelitian ini berada dalam kisaran normal monosit
yaitu 0-7.0% (Campbell et al. 2012). Nilai rata - rata monosit yang normal
menunjukkan bahwa status ayam petelur dalam keadaan sehat, tidak mengalami
gangguan fisiologis atau infeksi akut.
Menurut Mitchell dan John (2008), monosit adalah sistem pertahanan kedua
setelah heterofil, monosit berubah menjadi makrofag ketika terjadi peradangan
pada jaringan tubuh. Monosit berfungsi membentuk kekebalan non spesifik
melalui fagositosis dengan membentuk makrofag (Wibawan dan Soejoedono
2013). Persaman monosit dan heterofil adalah memiliki kemampuan fagositik
yaitu, memakan benda asing, sedangkan perbedaannya adalah monosit bekerja
mengatasi infeksi yang belum akut, heterofil bekerja mengatasi infeksi akut dan
mengalami kematian setelah melakukan tugasnya. Cara kerja monosit yaitu segera
32
yang berbeda memiliki aktivitas hambat terhadap bakteri gram negatif, yaitu
Escherichia coli dan Salmonella enteritidis. Nilai lebih tinggi zona hambat
aktivitas antibakteri pada BSF ekstrak terhadap bakteri Escherichia coli sebesar
6.44 ± 0.19 dan Salmonella enteritidis sebesar 6.22 ± 0.06 pada peubah 320 mg
ml-1. Hasil penelitian dari Harlystiarini (2019), bahwa nilai zona hambat
Escherichia coli dan Salmonella sp., masing - masing sebesar 6.00 ± 1.00 dan
6.33 ± 2.08. Perbandingan data nilai zona hambat menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan signifikan, artinya BSF ekstrak memiliki zona hambat kuat karena
berdiameter > 6 mm.
Defensin adalah protein kationik berukuran kecil kaya kandungan sistin,
dimana serangga juga memiliki jenis peptida ini di dalam selnya untuk
meningkatkan kekebalan tubuh (Mingyue et al. 2016). Defensin termasuk
antimicrobial peptides (AMP) kecil yang memiliki aktivitas melawan bakteri,
jamur dan virus. Secara umum serangga dapat dimanfaatkan sebagai antibakteri
karena memiliki kandungan asam amino yang berasal dari AMP (Ravi et al.
2011). Cara serangga guna meningkatkan antibodi dan mengaktifkan sel
fagositosis adalah lemak membantu AMP untuk mengaktifkan kerja enzim
lisozim (Villarroel et al. 2010). Serangga memiliki peptida antimikroba termasuk
golongan antibakteri, terdiri dari: cecropins, defensins, attacin, lysozymes, dan
dipteracins (Ravi et al. 2011).
Menurut Choi et al. (2012), larva BSF yang dilarutkan dengan ekstrak
metanol memiliki nilai kepekaan tinggi terhadap bakteri gram negatif
dibandingkan dengan bakteri gram positif, disebabkan oleh senyawa aktif pada
larva BSF dan dinding sel atau ribosom bakteri karena terjadi perbedaan interaksi.
Kandungan asam laurat yang tinggi juga ditemukan pada larva BSF, termasuk
salah satu jenis asam lemak jenuh (medium chain fatty acid/MCFA), yaitu larva
BSF steam sebesar 49.18% dan BSF hidup 40.28% (Harlystiarini 2019). Metode
ekstrak metanol digunakan untuk ekstraksi zat antimikroba dari larva, karena
kemampuan metanol dapat merubah sifat, lebih efisien mengekstraksi molekul
kecil, mengendapkan protein besar dan polipeptida.
Larva BSF memiliki komposisi asam lemak jenuh (648-828 g kg-1 Fatty
Acid Methyl Esters (FAME) dalam bentuk prepupa (larva) dalam MCFA berupa
asam laurat (Spranghers et al. 2017). Menurut Barroso et al. (2014), larva BSF
memiliki asam laurat yang berfungsi sebagai antimikroba alami. Senyawa
monolaurin adalah hasil konversi asam laurat dari hewan dan manusia yang
berfungsi sebagai antivirus, antibakteria dan antiprotozoal (Ushakova et al. 2016).
Hasil penelitian Skrivanova et al. (2006), Staphylococcus aureus dan Escherechia
coli adalah bakteri gram positif dan bakteri gram negatif, dapat dihambat
pertumbuhannya oleh asam laurat yang berasal dari senyawa monolaurin karena
memiliki sifat antibakteri. Hasil penelitian sebelumnya melaporkan bahwa BSF
mengandung asam laurat sebesar 49.34% (St. Hilaire et al. 2007), defatted larva
BSF sebesar 54.59 g 100 g-1 (Renna et al. 2017). Asam laurat dapat menghambat
pertumbuhan bakteri patogen dengan konsentrasi 3.13%, misalnya Salmonella sp.,
E. coli, dan Staphylococcus Aureus (Su’i dan Sumaryati 2014).
MCFA berfungsi sebagai agen antimikroba alami yang bekerja dengan cara
merusak membran sel, kemudian mendorong senyawa antimikroba masuk ke
dalam sitoplasma sehingga menyebabkan kematian bakteri. Menurut Kim dan
Rhee (2016), MCFA memiliki daya rusak kuat terhadap membran sel bakteri
karena mendorong cairan ekstraseluler sehingga terjadi percepatan ion hidrogen
masuk ke dalam sel. Larva BSF teridentifikasi memiliki tujuh gen yang mengkode
AMP di dalam genom dan terdapat empat jenis AMP yaitu DLP 1-4 (Elhag et al.
2017). Semua bangsa serangga memiliki mekanisme kerja insect defensin yang
berinteraksi dengan fosfolipid dengan membentuk saluran aktivitas biologis
defensin yang menghasilkan permeabilisasi membran dan menargetkan membran
sitoplasma mikroorganisme sehingga mengakibatkan sel mikroba mati (Yi et al.
2014). Defensin-like peptide (DLP) memiliki berat molekul antara 3-4 kDa,
tersusun dari 34-43 asam amino, dan termasuk peptida kationik yang memiliki
jembatan sulfida sebanyak 3 pasang. Terdapat perbandingan signifikan pada DLP
1-3 dengan DLP 4 yaitu perbedaan ORF (open reading frame) dan jumlah asam
amino yang berbeda bersifat basa adalah kunci aktivitas antibakterial AMP (Ganz
2003; Hazlett dan Wu 2011).
Perbedaan jenis defensin dapat diasumsikan memberikan daya rusak
terhadap dinding sel atau membran sel bakteri (Ganz 2003). DLP 1-4 memberikan
aktivitas antibakteri dan luasan sprektum kerja yang berbeda tergantung sistem
kekebalan bawaan (innate immune system) pada lingkungan larva BSF (Park et al.
2015). Hasil penelitian lainnya, protein antimikroba terlibat aktif dalam sistem
kekebalan humoral pada serangga diinduksi dari infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme eksternal (Vallet-Gely et al. 2008) atau stimulasi eksternal
35
lainnya (Wojda et al. 2009). Larva BSF yang diekstraksi dengan metanol asam
memiliki aktivitas antibakteri lebih luas, yaitu bakteri gram positif, bakteri gram
negatif dan yeast, kecuali Staphylococcus aureus (Park et al. 2014). Menurut
Bulet (2018) imunitas bawaan dengan peptida antimikroba dan sekresi racunnya
merupakan bagian dari mekanisme pertahanan dan cadangan molekul bioaktif
yang kaya. Defensin adalah salah satu kelompok AMP pertahanan inang yang
paling banyak dideskripsikan, memiliki rantai pendek (<10 kDa), kaya sistein
dengan jembatan disulfida internal (3-6), dan kationik (muatan bersih antar
kuartil, +1 hingga +5).
Tabel 8 Rata - rata kualitas fisik telur ayam petelur umur 18-26 minggu
Perlakuan
Peubah
P0 P1 P2 P3
bobot telur (g) 55.03 ± 4.15 53.83 ± 4.76 54.93 ± 4.41 57.47 ± 3.76
bobot kuning telur (g) 17.60 ± 0.13a 17.67 ± 0.15a 17.48 ± 0.07b 17.27 ± 0.08b
bobot kuning telur (%) 32.24 ± 0.02 33.17 ± 0.03 32.12 ± 0.03 30.23 ± 0.02
bobot putih telur (g) 29.60 ± 0.09 28.53 ± 0.13 29.75 ± 0.07 32.42 ± 0.10
bobot putih telur (%) 53.43 ± 0.05 52.48 ± 0.06 53.73 ± 0.05 56.15 ± 0.04
bobot kerabang telur (g) 7.83 ± 0.05a 7.64 ± 0.05c 7.71 ± 0.05bc 7.78 ± 0.03ab
bobot kerabang telur (%) 14.33 ± 0.01 14.35 ± 0.01 14.15 ± 0.01 13.62 ± 0.01
Haugh Unit (HU) 80.20 ± 1.75 80.07 ± 1.55 80.42 ± 0.65 79.15 ± 1.09
Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05); P0: Ransum mengandung tepung ikan
8%; P1: Ransum mengandung tepung ikan 4% + BSF hidup 6.03%; P2: Ransum mengandung tepung ikan 4% + BSF kering
5.85%; P3: Ransum mengandung tepung ikan 4% + BSF ekstrak 5.63%.
37
HU
Berdasarkan Tabel 8, data menunjukkan bahwa pemberiaan ransum
mengandung tepung ikan dengan jenis larva BSF yang berbeda berpengaruh tidak
beda nyata (P>0.05) terhadap HU. Nilai HU lebih tinggi pada P2 sebesar 80.42
(Tabel 8). Nilai rata - rata HU pada penelitian ini berkisar antara 79.15-80.42,
berada dibawah dengan penelitian Selim et al. (2018) sebesar 88.3-90.8, berada
kisaran sama dengan penelitian Choi et al. (2018) sebesar 79.3-80.8, berada diatas
dengan penelitian Mahmoud et al. (2010) sebesar 75.41, berada dibawah dengan
penelitian Ahammed et al. (2014) sebesar 94.80, berada dibawah dengan
penelitian Park et al. (2015) sebesar 91.40 dan berada dibawah dengan penelitian
Olobatoke dan Mulugeta (2011) sebesar 95.5. Nilai HU pada penelitian ini berada
pada kisaran normal menurut Standar United States Department of Agriculture
(USDA 2000), yaitu kategori telur berkualitas AA nilai HU: >72, telur berkualitas
38
A nilai HU: 60-72, telur berkualitas B nilai HU: 31-60 dan telur berkualitas C
nilai HU: <31.
Nilai HU adalah indikator kualitas telur, semakin tinggi nilai albumen maka
kualitas telur semakin baik, tingginya nilai HU menunjukkan tingkat kesegaran
telur (Selim et al. 2018). Beberapa faktor yang mempengaruhi nilai HU ayam
petelur adalah lama penyimpanan, tempat penyimpanan telur, umur, strain,
nutrien ransum, penyakit suplementasi vitamin C dan atau E (Ahmadi dan
Rahmini 2011; Roberts 2010), molting, lama penyimpanan (Robert 2004), bobot
telur dan tinggi albumen (Stadelman dan Cotterill 1995).
Tabel 9 Rata - rata kualitas kimia pada kuning telur ayam petelur umur 26
minggu
Perlakuan
Peubah
P0 P1 P2 P3
Malondehid (µg g-1) 7.10 ± 0.02a 6.71 ± 0.05b 5.61 ± 0.07c 6.43 ± 0.18b
Kolesterol (mg g-1) 5.20 ± 0.14c 5.90 ± 0.07a 5.59 ± 0.05ab 5.40 ± 0.16bc
Lemak (%) 22.67 ± 0.04b 23.71 ± 0.05a 22.49 ± 0.06c 22.38 ± 0.07c
Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05);
P0: Ransum mengandung tepung ikan 8%; P1: Ransum mengandung tepung ikan
4% + BSF hidup 6.03%; P2: Ransum mengandung tepung ikan 4% + BSF kering
5.85%; P3: Ransum mengandung tepung ikan 4% + BSF ekstrak 5.63%.
Malondehid (MDA)
Kandungan malondehid pada pemberian jenis BSF berbeda dalam ransum
penelitian ini menunjukan pengaruh yang nyata (P<0.05). Nilai malondehid lebih
tinggi pada P0 sebesar 7.10 µg g-1. Nilai rata - rata malondehid penelitian ini
berkisar 5.61-7.10 µg g-1 (Tabel 9). Pemberian jenis BSF berbeda dalam ransum
berpengaruh nyata terhadap kandungan malondehid disebabkan oleh nutrien BSF
tidak memiliki kandungan antioksidan primer: enzim superoksida
dimustase (SOD), katalase, glutation dimustase dan antioksidan sekunder: vitamin
E, vitamin C, dan β-karoten sehingga kandungan malondehid lebih rendah
dibandingkan dengan tepung ikan (P0). Tujuan uji analisis kandungan malondehid
terhadap kuning telur adalah untuk melihat aktifitas antioksidan (Chen et al.
2009). Uji kandungan malondehid mengukur proses peroksidasi lipid akibat
peningkatan radikal bebas sehingga mengakibatkan stress oksidatif (Valko et al.
2006). Malondehid adalah produk radikal bebas dari hasil peroksidasi lipid
(Clarkson dan Thomson 2000).
kolesterol kuning telur lebih tinggi pada P1 sebesar 5.90 mg g-1 disebabkan oleh
sumbangan nutrien lemak kasar BSF hidup sebesar 8.46% dan kandungan LDL
darah sebesar 35.11 mg/dl. Nilai rata - rata kolesterol penelitian ini berkisar 5.20-
5.90 mg g-1 (Tabel 9). Rata - rata kolesterol kuning telur dalam penelitian ini lebih
rendah dari hasil penelitian Cayan dan Erener (2015) bahwa kolesterol kuning
telur adalah 8.34-9.24 mg g-1, Hu et al. (2011) sebesar 12.05-14.54 mg g-1 dan
Uuganbayar et al. (2005) sebesar 10.25-12.86 mg g-1. Hasil penelitian ini lebih
tinggi dibandingkan dengan standar USDA (2015) yaitu 3.72-4.23 mg g-1.
Kandungan ester kolesterol dalam ransum berkorelasi positif dengan kandungan
kolesterol kuning telur dan konsentrasi VLDL (very low density lipoprotein)
dalam plasma darah ayam petelur. Kandungan kolesterol dan LDL dalam darah
dapat mempengaruhi kadar kolesterol pada kuning telur (Nys dan Guyot 2011).
Kuning telur yang disentesis dalam hati unggas ditemukan kandungan
kolesterol yang tinggi, melalui darah ditransfer dalam bentuk lipoprotein dan
dideposisikan ke follikel kuning telur. Terdapat dua sumber penyusun kolesterol
tubuh, yaitu kolesterol endogen hasil sintesis di dalam sel tubuh sendiri dan
kolesterol eksogen hasil dari konsumsi pakan kemudian diabsorbsi oleh saluran
pencernaan ke dalam saluran limfe usus (Piliang dan Djojosoebagio 2006).
Unggas dalam kondisi normal tidak dapat membedakan kedua kolesterol tersebut,
apabila asupan kolesterol berlebih dalam ransum, maka hati akan mensintesa
kolesterol sehingga memicu peningkatan produksi asetat dalam saluran limfe
usus, demikian sebaliknya.
Perhitungan nilai IOFC berdasarkan besarnya biaya konsumsi dan harga jual
dari setiap butir telur. Nilai konversi pakan berdampak pada penambahan biaya
produksi, maka dapat mempengaruhi nilai IOFC. Indikator penilaian IOFC
dipengaruhi oleh harga telur di pasaran pada waktu tertentu. Pengaruh ransum
perlakuan terhadap nilai IOFC usaha ayam petelur strain Isa Brown selama 8
minggu penelitian disajikan pada Tabel 10.
40
Perlakuan
Peubah
P0 P1 P2 P3
Harga pakan (Rp kg-1) 5940 7380 5925 10570
Konsumsi pakan (kg hari-1 ekor-1) 0.11215 0.11210 0.11216 0.11212
-1 -1
Biaya pakan (Rp hari ekor ) 666 827 665 1185
Produksi telur (kg hari-1 ekor-1) 2.56 2.72 2.56 2.84
-1
Harga telur (Rp kg ) 18000 18000 18000 18000
Pendapatan (Rp ekor-1 hari-1) 14760 15660 14760 16380
Selisih pendapatan (Rp ekor-1 hari-1) - 900 0 1620
-1 -1
IOFC (Rp ekor hari ) 14095 14833 14094 15195
-1
Keterangan: Harga larva BSF Hidup Rp. 6.000 kg ; Harga larva BSF kering
Rp. 25.000 kg-1; Harga larva BSF ekstrak Rp. 65.000 kg-1; P0:
Ransum mengandung tepung ikan 8%; P1: Ransum mengandung
tepung ikan 4% + BSF hidup 6.03%; P2: Ransum mengandung
tepung ikan 4% + BSF kering 5.85%; P3: Ransum mengandung
tepung ikan 4% + BSF ekstrak 5.63%.
Trigliserida
Trigliserida berfungsi sebagai cadangan energi, terdiri dari gliserol dan
asam lemak yang terdapat dalam darah dan berbagai organ dalam tubuh yang
berpengaruh terhadap nilai kandungan kolesterol. Kandungan trigliserida pada
pemberian jenis BSF berbeda dalam ransum penelitian ini menunjukan pengaruh
tidak beda nyata (P>0.05). Nilai trigliserida lebih tinggi pada P0 sebesar 424.44
41
mg/dl. Nilai rata - rata trigliserida penelitian ini berkisar 409.73-424.44 mg/dl,
lebih rendah daripada Rusli et al. (2015) sebesar 522.63-753.09 mg/dl. Standar
normal nilai trigliserida ayam petelur yaitu <150 mg/dl (Basmacioglu dan Ergul
2005). Penyebab nilai trigliserida yang tinggi adalah jumlah asam lemak yang
berlebih kemudian diubah menjadi trigliserida untuk ditranspor dan disimpan.
Sumber asam lemak berasal dari pemecahan nutrien ransum dimana konversi dari
karbohidrat, lemak dan protein (Güçlü et al. 2008, Murray et al. 2012), asam
lemak bebas yang tinggi, kadar insulin yang tinggi, dan kadar glukagon yang
rendah (Murray et al. 2012).
Tubuh menyimpan jumlah trigliserida yang berlebihan, trigliserida berasal
dari karbohidrat, protein dan lemak yang membentuk kalori. Setiap saat ketika sel
- sel tubuh membutuhkan maka trigliserida akan dirubah menjadi energi dengan
bantuan hormon. Lipoprotein kilomikron terbentuk dari trigliserida, kolesterol,
fosfolipid dan protein merupakan partikel kaya lemak dan bentuk utama transpor
lemak yang terdapat dalam makanan (Piliang dan Djojosoebagio 2006). Hormon
meningkat mengakibatkan nilai trigliserida juga meningkat, dimana hormon
berperan untuk membantu ayam petelur beradaptasi saat suhu lingkungan tinggi
dengan melakukan homeostasis dengan tujuan memobilisasi energi yang disimpan
(Piliang dan Djojosoebagio 2006). Metabolisme lipid endogen terbentuk dari
mekanisme lipogenesis, ekspor lipid, sintesis dan oksidasi asam lemak yang
terjadi di dalam hati (Kersten 2011), merupakan mekanisme penting untuk
mengendalikan akumulasi trigliserida dalam hati (Yang et al. 2010).
Kolesterol
Kandungan kolesterol pada pemberian jenis BSF berbeda dalam ransum
penelitian ini menunjukan pengaruh tidak beda nyata (P>0.05). Nilai kolesterol
lebih tinggi pada P2 sebesar 135.05 mg/dl. Nilai rata - rata kolesterol penelitian
ini berkisar 133.02-135.05 mg/dl, lebih rendah daripada penelitian Sohail et al.
(2012) sebesar 152.00 mg/dl dengan perlakuan ayam petelur pada suhu heat stress
dan lebih tinggi terhadap perlakuan ayam petelur pada suhu thermoneutral zone
sebesar 104.20 mg/dl. Standar normal nilai kolesterol ayam petelur sebesar 52-
148 mg/dl (Basmacioglu dan Ergul 2005). Data dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa penyebab nilai kolesterol tinggi adalah nilai HDL rendah dan nilai
trigliserida tinggi dalam darah ayam petelur (Khoirul dan Lubis 2017).
Homeostasis bertujuan untuk mengatur dan mencegah peningkatan
konsentrasi kolesterol di dalam sel, sehingga kandungan kolesterol didalam darah
tetap normal. Kolesterol dibutuhkan pada sintesis hormon steroid yang merupakan
unsur sangat penting di dinding sel. Kolesterol dengan fosfolipida di dalam
plasma terikat dengan protein dan beredar bersama darah sebagai senyawa
lipoprotein. Hormon steroid merupakan salah satu unsur senyawa penyusun
lipoprotein yang tergabung dalam ikatan non kovalen, lipoprotein berperan dalam
proses metabolisme lemak di dalam sel sebagai alat transpor lipida (Schumm
1993). Kolesterol dalam tubuh membentuk asam empedu yang berfungsi untuk
menjaga sistem metabolisme lemak tidak terganggu (Liu et al. 2010). Kolesterol
dikonversi menjadi hormon glukokortikoid bertujuan untuk membantu ayam
beradaptasi pada suhu lingkungan yang tinggi, yaitu proses homeostasis (Piliang
dan Djojosoebagio 2006). HDL membawa kolesterol dala LDL ke hati, kolesterol
diubah menjadi 7 α-hidrokolesterol kemudian terjadi reduksi ikatan rangkap dan
42
hidroksilasi menjadi asam kenodeoksikolat dan asam kolat yang kemudian masuk
kedalam usus halus sebagai emulsifier untuk membantu pencernaan lemak dan
kemudian dikeluarkan melalui feses (Tocher 2003). Usus memiliki kapasitas
untuk menyerap kolesterol yang berasal dari nutrien makanan, tetapi usus tidak
memiliki kemampuan untuk menyerap total jumlah kolesterol dalam lumen
(Leance et al. 2013).
HDL
Kandungan HDL pada pemberian jenis BSF berbeda dalam ransum
penelitian ini menunjukan pengaruh tidak beda nyata (P>0.05). Nilai HDL lebih
tinggi pada P2 sebesar 16.30 mg/dl. Nilai rata - rata HDL penelitian ini berkisar
13.84-16.30 mg/dl, berada selang yang sama dengan penelitian Rusli et al. (2015)
sebesar 14.00-17.58 mg/dl. Standar normal nilai HDL ayam petelur yaitu >22
mg/dl (Basmacioglu dan Ergul 2005). Nilai kandungan HDL yang rendah
disebabkan oleh penggunaan HDL untuk sintesis senyawa steroid seperti hormon
atau garam empedu di hati dan kolesterol masuk ke HDL menuju membran sel
(Murray et al. 2012). Kondisi saat ayam petelur nyaman, HDL mengangkut
kembali kolesterol ke hati kemudian diuraikan ke dalam kantong empedu sebagai
asam empedu. HDL memiliki fungsi utama yaitu mengangkut kolesterol bebas
dalam pembuluh darah ke reseptor HDL di hati kemudian dikeluarkan melalui
empedu dan HDL sering disebut kolesterol baik karena lipoprotein yang
mengangkut lipid dari perifer menuju ke hati (Akoh dan Min 2008). HDL adalah
lipoprotein yang berfungsi menjaga dan mengelola keseimbangan kolesterol agar
tidak menumpuk di dalam sel, dengan cara mengangkut sterol dari membran pada
tingkat yang sama dengan jumlah kolesterol yang disintesis menuju hati (Thrall et
al. 2012).
43
Perlakuan
Peubah
P0 P1 P2 P3
Trigliserida (mg/dl) 424.44 ± 48.22 409.73 ± 67.62 421.40 ± 103.88 412.04 ± 34.69
Kolesterol (mg/dl) 134.78 ± 11.09 133.02 ± 7.55 135.05 ± 19.32 133.56 ± 5.68
HDL (mg/dl) 13.84 ± 6.27 15.96 ± 3.92 16.30 ± 7.11 16.03 ± 2.37
LDL (mg/dl) 36.06 ± 11.13 35.11 ± 12.54 34.47 ± 12.11 35.12 ± 11.45
Total protein (g/dl) 4.71 ± 0.68c 5.63 ± 0.16bc 6.11 ± 0.13ab 6.95 ± 0.56a
Albumin (g/dl) 1.82 ± 0.29 1.98 ± 0.14 1.91 ± 0.34 2.07 ± 0.29
Glukosa (mg/dl) 145.65 ± 16.48 132.10 ± 20.58 123.40 ± 28.62 143.80 ± 19.99
Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05). P0: Ransum mengandung tepung
ikan 8%; P1: Ransum mengandung tepung ikan 4% + BSF hidup 6.03%; P2: Ransum mengandung tepung ikan 4% +
BSF kering 5.85%; P3: Ransum mengandung tepung ikan 4% + BSF ekstrak 5.63%.
44
LDL
Kandungan LDL pada pemberian jenis BSF berbeda dalam ransum
penelitian ini menunjukan pengaruh tidak beda nyata (P>0.05). Nilai LDL lebih
tinggi pada P0 sebesar 36.06 mg/dl. Nilai rata - rata LDL penelitian ini berkisar
34.47-36.06 mg/dl. Nilai LDL yang rendah berkorelasi positif dengan rendahnya
nilai trigliserida dalam plasma, disebabkan oleh sisa hidrolisis dari trigliserida
akan dimetabolisme di hati yang akan menjadi LDL Yang et al. (2010).
Penurunan sekresi LDL dalam hati disebakan oleh asam lemak omega 3 (EPA dan
DHA) menghambat enzim Diacyl Gliserol Transferase (DGAT) dan enzim
Phosphatidic Acid Phosphohydrolase (PAP) sehingga dapat menurunkan sekresi
VLDL (Yang et al. 2010). Penurunan sintesis kolesterol disebabkan oleh
penghambatan terhadap HMG-CoA reduktase dan meningkatkan jumlah reseptor
LDL yang terdapat dalam membran sel hati dan jaringan ekstra hepatik, sehingga
kadar LDL dan kolesterol total dalam plasma turun (Bruss 2008). LDL merupakan
lipoprotein yang kaya akan kolesterol sebanyak 70% dalam darah, berperan utama
sebagai pengatur kadar kolesterol dalam hati (Rader et al. 2003). Membran sel
terdapat glikoprotein yang berfungsi untuk mengikat dan menyerap LDL-C
sehingga tercapai keseimbangan antara kadar kolesterol intraseluler maupun
ekstraseluler. Kolesterol di dalam darah diangkut oleh LDL, dampak kenaikan
LDL dalam darah disebut hiperkolesteremia yang merupakan awal terjadinya
penyakit penyempitan pembuluh darah (Murray et al. 2012). Menurut Wakenell
(2010), LDL dan kilomikron diangkut dalam aliran darah, bertujuan untuk
melakukan metabolisme lipid dan hidrolisis trigliserida dengan bantuan
lipoprotein lipase serta menyediakan asam lemak bebas untuk penyerapan oleh
jaringan untuk penyimpanan atau oksidasi.
Total Protein
Kandungan total protein pada pemberian jenis BSF berbeda dalam ransum
penelitian ini menunjukan pengaruh nyata (P<0.05). Nilai total protein lebih tinggi
pada P3 sebesar 6.95 g/dl. Nilai rata - rata total protein penelitian ini berkisar
4.71-6.95 g/dl. Total protein penting untuk mengetahui fraksi protein di dalam
tubuh meningkat atau menurun karena hubungan dengan status kesehatan tubuh
tersebut sehat atau sedang mengalami suatu penyakit (Kaslow 2010). Nilai total
protein pada penelitian ini berkisar 5.54-6.19 g/dl. Nilai tersebut berada pada
kisaran normal sebesar 4-7 g/dl (Esfandiari et al. 2014). Protein menentukan
ukuran dan struktur sel, komponen utama dari sistem komunikasi antar sel serta
sebagai katalis berbagai reaksi biokimia di dalam sel. Karena itulah sebagian
besar aktivitas penelitian biokimia tertuju pada protein khususnya hormon,
antibodi, dan enzim (Fatchiyah et al. 2011). Pembentuk sistem imun atau antibodi
tersebut terkait dengan kandungan asam amino. Adapun asam amino yang
45
Albumin
Kandungan albumin pada pemberian jenis BSF berbeda dalam ransum
penelitian ini menunjukan pengaruh tidak beda nyata (P>0.05) terhadap albumin.
Nilai albumin lebih tinggi pada P3 sebesar 2.07 g/dl. Nilai rata - rata albumin
penelitian ini berkisar 1.82-2.07 g/dl. Kadar albumin normal pada ayam sebesar
1.6-2.0 g/dl (Swenson 1984). Protein pada plasma terdiri dari dua jenis utama,
yaitu albumin dan globulin, sedangkan protein pada sel darah merah adalah
hemoglobin. Albumin memiliki kemampuan untuk mengikat berbagai ligand.
Ligand ini mencakup asam lemak bebas, kalsium, tembaga, zink, metheme,
hormon, steroid, bilirubin, dan sebagian triptofan plasma (Murray et al. 2012).
Faktor utama yang mempengaruhi sintesis albumin adalah asupan pakan yang
mengandung protein, tekanan osmotik koloid, aksi hormon tertentu (misalnya:
hormon tiroid dan hormon glukokortikoid) dan kejadian penyakit (Busher 1990).
Peningkatan konsentrasi albumin di dalam darah umumnya disebabkan oleh naik
turunnya volume darah (Jackson 2007). Menurut Busher (1990) hati
meningkatkan sintesis albumin sebagai respon terhadap adanya peningkatan
ketersediaan asam amino dari pakan yang mengandung protein.
Glukosa
Kandungan glukosa pada pemberian jenis BSF berbeda dalam ransum
penelitian ini menunjukan pengaruh tidak beda nyata (P>0.05) terhadap glukosa.
Nilai glukosa lebih tinggi pada P0 sebesar 145.65 mg/dl. Nilai rata - rata glukosa
penelitian ini berkisar 123.40-145.65 mg/dl. Rata - rata glukosa penelitian ini
lebih rendah dibandingkan dengan temuan Kaya et al. (2001) sebesar 155.43-
161.42 mg/dl. Nilai rata - rata glukosa darah ayam petelur pada penelitian ini
berada dalam kisaran normal yaitu 230-370 mg/dl (Basmacioglu dan Ergul 2005).
Hormon metabolisme seperti insulin, glukagon, polipeptida pankreas,
kortikosteron dan tiroksin berperan mengontrol mekanisme glukoregulasi untuk
mengatur glukosa darah dalam kadar yang relatif tetap (Hazelwood 2000).
Glukosa di dalam darah akan direspon untuk melepas hormon insulin yang
berperan penting dalam transpot glukosa dan deposisi protein ke dalam otot
selama pertumbuhan (Fox 1996). Tersedianya glukosa yang cukup sampai ke
bagian posterior usus halus, bisa mencegah penggunaan asam amino sebagai
sumber energi untuk dinding usus (Weurding et al. 2003). Kelebihan asam amino
dari suplementasi asam amino akan didegradasi menghasilkan asetil KoA dari
proses glukoneogenesis sehingga meningkatkan glukosa darah dan akan
membebaskan amonia kemudian meningkatkan uric acid darah (Bouyeh dan
Gevorgyan 2011). Glukosa diserap melalui dinding usus, melalui mekanisme
pompa sodium dan potasium. Oksidasi glukosa menghasilkan energi yang
diperlukan untuk sintesis glikogen, asam amino, asam lemak dan metabolit
lainnya (Harper et al. 1987).
46
Perlakuan
Peubah
P0 P1 P2 P3
Aktivitas fagositosis (%) 72.02 ± 1.38d 88.55 ± 0.36b 83.44 ± 0.32c 91.34 ± 0.38a
Kapasitas fagositosis
20.77 ± 1.98 22.25 ± 0.72 22.44 ± 0.14 22.84 ± 0.55
(bakteri makrofag-1)
Keterangan: Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0.05);
P0: Ransum mengandung tepung ikan 8%; P1: Ransum mengandung tepung ikan
4% + BSF hidup 6.03%; P2: Ransum mengandung tepung ikan 4% + BSF kering
5.85%; P3: Ransum mengandung tepung ikan 4% + BSF ekstrak 5.63%.
Makrofag adalah sel yang berasal dari sel darah putih dan terdapat pada
jaringan, disebut monosit (Abbas et al. 2017). Monosit dan makrofag merupakan
sel fagosit, berfungsi terutama pada sistem imun non spesifik atau imun bawaan
atau innate immunity, selanjutnya akan menginduksi terjadinya respons imun
spesifik yang diperantarai oleh sel T helper dan sel B untuk memproduksi
antibodi spesifik. Makrofag merupakan salah satu sel yang berperan penting
dalam respon imun dengan fagositosis dan sebagai antigen presenting cells
(APC). Makrofag peritoneal dari sistem fagositik mononuklear memiliki aktivitas
fagositosis yang tahan lama, sehingga akan terbentuk tanggap kebal (Tizard
2009).
Pengujian aktifitas dan kapasitas makrofag dalam penelitian ini dilakukan
secara in vitro. Hasil pengujian kemungkinan akan lebih tinggi dibandingkan
dengan pengujian secara in vivo, karena singnal kemotaksis diproduksi oleh
bakteri dalam tubuh dan diterima oleh makrofag sehingga menjadi lebih aktif
(Wibawan dan Soejoedono 2013). Nilai rata - rata aktivitas fagositosis makrofag
penelitian ini berkisar 72.03-91.35%, dalam rentang sama dengan penelitian
Muhsinin (2018) sebesar 76.00-90.78% pada ayam sentul genotipe gen NRAMP-
1 ditantang Staphylococcus aureus. Nilai rata - rata kapasitas fagositosis makrofag
sebesar 20.77-22.84 bakteri makrofag-1, sangat tinggi daripada penelitian Okti et
al. (2008) sebesar 1.60 bakteri makrofag-1 pada ayam petelur komersial (Single
Comb Brown Leghorn) berumur 24 minggu dan dalam rentang sama dengan
penelitian Muhsinin (2018) sebesar 21.76-22.49 bakteri makrofag-1 pada ayam
sentul genotipe gen NRAMP-1. Tujuan uji kapasitas fagositosis makrofag adalah
melihat kemampuan satu sel makrofag untuk memfagosit partikel asing atau sel
bakteri yang masuk ke dalam tubuh ternak. Perlakuan P3 memiliki nilai kapasitas
fagositosis lebih tinggi, hal ini menunjukkan BSF ekstrak memicu sel makrofag
47
bekerja maksimal memfagosit sel bakteri atau partikel asing, karena kandungan
arginin lebih tinggi sebesar 4.26% (Tabel 4).
Arginin dalam sistem imun berfungsi dalam stimulasi fungsi limfosit T,
meningkatkan volume timus, memperkuat fungsi makrofag dan sel natural killer
(NK), mempercepat penyembuhan luka, serta pembentuk nitrit oksida yang
berperan penting dalam mekanisme bacterial killing (Briassouli dan Briassoulis
2012). Arginin juga memiliki efek sekretagog yaitu dapat menstimulasi sekresi
insulin, growth hormone, prolaktin, glukagon, somatostatin dan norepinefrin
(Levy 1998). Arginin dapat meningkatkan proliferasi dan fungsi makrofag dalam
sumsum tulang. Asam amino ini mempunyai peran penting terhadap metabolisme
sel makrofag yang terlibat dalam proses innate immunity. Sel imunokompeten
tersebut mampu memfagositosis patogen, membunuh fungi, dan menghasilkan
nitrit oksida, interleukin, tumor necrosis factor α (TNFα) dan reactive oxygen
species (ROS) (Christian dan William 2009).
Menurut Henry et al. (2015), kitin adalah senyawa polisakarida yang
terdapat pada bagian eksoskeleton arthropoda, tidak memiliki enzim kitinase
sehingga menyebabkan tidak dapat dicerna oleh sebagian besar ternak
monogastrik termasuk unggas (Sánchez-Muros et al. 2013). Peningkatan populasi
bakteri Lactobacillus sp. dalam usus ayam disebabkan oleh kandungan kitin >3%
dalam ransum dapat menurunkan populasi bakteri Escherichia coli dan
Salmonella sp. sehingga status kesehatan pada saluran pencernaan ayam terjaga.
Menurut Perdigon et al. (2001), populasi bakteri Lactobacillus sp. meningkat
ketika pelepasan enzim lisosom seperti β-glukoronidase dan β-galaktosidase juga
ditingkatkan dalam saluran pencernaan sehingga menyebabkan terjadinya
peningkatan nilai aktivitas dan kapasitas fagositosis makrofag. Fagositosis
merupakan tahapan terakhir dari rangkaian proses dalam sistem kekebalan non
spesifik yaitu sel - sel kekebalan (sel limfoid) akan menelan partikel asing atau sel
bakteri yang masuk ke dalam tubuh (Wibawan dan Soejoedono 2013). Proses
terbentuknya makrofag adalah saat terjadinya infeksi, sistem kekebalan
mengaktivasi monosit yang masuk ke jaringan dari darah. Kemampuan monosit
dalam bentuk makrofag lebih besar dari heterofil, yaitu satu sel makrofag dapat
menfagosit kurang lebih 100 sel bakteri (Guyton dan Hall 2010).
Ayam bertelur adalah merupakan hal yang bersifat fisiologis dan tidak perlu
melakukan tindakan intervensi yang berlebihan pada ayam. Penggunaan telur
(IgY) diharapkan dapat mengurangi resiko itu dan digunakan sebagai sumber
antitetanus. Hal ini sangat mungkin dilakukan karena antibodi di dalam darah
induk ayam dapat ditransfer secara baik ke dalam telur dalam jumlah yang cukup
banyak. Titer Ig Y dalam darah dan dalam telur tidak berbeda secara signifikan
(Larsson et al. 1993; Schade et al. 2005). Konsentrasi Ig Y pada kuning telur
konstan sampai oosit matang (maturasi), dengan kandungan 10-20 mg/mL
(Carlander, 2002). Sehingga telur dapat digunakan sebagai sumber protein hewani
dan sebagai pabrik produksi antibodi. Biaya produksi imunoglobulin pada telur
unggas sangat murah (Warr et al. 1995).
48
2
1 3 2
1 3
8 Ag 4 8
4
Ag
7 5 7
6 6 5
Gambar 3 Hasil uji AGPT antibodi spesifik terhadap antigen Newcastle disease
virus (NDV) dalam kuning telur
Ag = antigen Newcastle disease virus; 1,2,3,4,5,6,7,8 = kuning telur
Tabel 13 Rata - rata clearance test pada ayam petelur umur 26 minggu terhadap
Salmonella enteritidis
Perlakuan
Peubah
P0 P1 P2 P3
-1 7 7 7
Konsentrasi Awal (cfu ml ) 8.42 x 10 8.42 x 10 8.42 x 10 8.42 x 107
-1 5 4 5
Konsentrasi Akhir (cfu ml ) 6.42 x 10 6.13 x 10 6.36 x 10 5.91 x 104
Tingkat Kematian Bakteri (%) 23.75 27.20 24.44 29.85
Keterangan: P0: Ransum mengandung tepung ikan 8%; P1: Ransum mengandung tepung ikan
4% + BSF hidup 6.03%; P2: Ransum mengandung tepung ikan 4% + BSF kering
5.85%; P3: Ransum mengandung tepung ikan 4% + BSF ekstrak 5.63%.
Simpulan
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut penggunaan larva BSF ekstrak dalam
ransum secara in vivo untuk mengetahui tingkat ketahanan ayam petelur dengan
injeksi bakteri patogen dosis tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas AK, Lichtman AH, Pilai S. 2017. Molecular and cellular immunology. Ed
ke-9. Philadelphia (US): Elsevier.
Ahammed M, Chae BJ, Lohakare B, Keohavong, Lee MH, Lee SJ, Kim DM, Lee
JY, Ohh SJ. 2014. Comparison of Aviary, Barn and Conventional Cage
Raising of Chickens on Laying Performance and Egg Quality. Asian-
Australas J Anim Sci. 27(8):1196-1203. doi: 10.5713/ajas.2013.13394.
Ahmadi F, Rahmini F. 2011. Factors affecting quality and quantity of egg
production in laying hens: a review. World Appl Sci J. 12(3):327-384.
Akoh CC, Min DB. 2008. Food lipids: chemistry Nutrition and biotechnology:
CRC Pr.
Altan O, Altan A, Cabuk M, Bayraktar H. 2000. Effect of heat stress on some
blood parameters in broiler. Faculty of Agricultur, Ege University,
Turkey.
Amrullah IK. 2004. Nutrisi Ayam Petelur. Bogor (ID): Lembaga Satu
Gunungbudi.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 2005. Official Methods of
Analysis of AOAC International. Ed ke-18. Arlington, VA (US):
Association of Offical Analytical Chemists.
Arango Gutierrez, GP, RA Vergara Ruiz, H Mejia Velez. 2004. Compositional,
microbiological and protein digestibility analysis of larval meal of
Hermetia illucens (Diptera: Stratiomyidae) at Angelopolis-Antioquia,
Colombia. Rev Fac Nac Agron Medellin. 57(2):2491-2499.
Aulanni’am. 2004. Prinsip dan Teknik Analisis Biomolekul. Cetakan pertama.
Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Press. hlm 16-22.
52
Chen P, Wang AQ, Shan AS. 2009. Effects of Ligustrum lucidum Fruits on
Growth Performance, Antioxidation and Meat Quality in Arbor Acres
Broilers. Asian-Australas J Anim Sci. 22(5):700-705. doi:
10.5713/ajas.2009.80537.
Choi WH, Yun JH, Chu JP, Chu KB. 2012. Antibacterial effects of extract of
Hermetia illucens (Diptera: Stratiomyidae) larvae against Gram-negative
bacteria. Entomol Res. 42(5):219-226. doi: 10.1111/j.1748-
5967.2012.00465.x.
Choi Y, Lee EC, Na Y, Lee SR. 2018. Effects of dietary supplementation with
fermented and non-fermented brown algae by-products on laying
performance, egg quality, and blood profile in laying hens. Asian-
Australas J Anim Sci. 31(10):1654-1659. doi: 10.5713/ajas.17.0921.
Christian, William L. 2009. Staphylococcus aureus: new evidence for intracellular
persistence. Trends in Microbiology. 17(2):59-65. doi:
10.1016/j.tim.2008.11.005.
Chukwuka OK, OkoliI C, Okeudo NJ, Udedibie ABI, Ogbuewu IP, Aladi NO,
Iheshiulor OOM, Omede AA. 2011. Egg quality defects in poultry
management and food safety. J Agric Biol Sci. 5(1):1-16. doi:
10.3923/ajar.2011.1.16.
Clarkson PM, Thomson HS. 2000. Antioxidants: What role do they play in
physical activity and health?. Am J Clin Nutr. 72(2):637S-46S. doi:
10.1093/ajcn/72.2.637S.
Darmana W, Sitanggang, M. 2002. Meningkatkan Produktifitas Ayam Arab
Petelur. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Damayanti R, Lusiana N, Prasetyo J. 2017. Studi pengaruh ukuran partikel dan
penambahan perekat tapioka terhadap karakteristik biopelet dari kulit
coklat (Theobroma cacao L.) sebagai bahan bakar alternatif terbarukan.
Jurnal Teknotan. 11(1):51-60. doi: 10.24198/jt.vol11n1.6.
Davis AK, DL Maney, JC Maerz. 2008. The use of leukocyte profiles to measure
stress in vertebrates: a review for ecologists. Funct Ecol. 22(5):760-772.
doi: 10.1111/j.1365-2435.2008.01467.x.
De Marco, M, Martínez S, Hernandez F, Madrid J, Gai F, Rotolo L, Belforti M,
Bergero D, Katz H, Dabbou S. 2015. Nutritional value of two insect larval
meals (Tenebrio molitor and Hermetia illucens) for broiler chickens:
apparent nutrient digestibility, apparent ileal amino acid digestibility and
apparent metabolizable energy. Anim Feed Sci Technol. 209:211-218. doi:
10.1016/j.anifeedsci.2015.08.006.
Dellman HD, EM Brown. 1992. Histologi Veteriner. R Hartono penerjemah.
Universitas Indonesia, Jakarta.
Devereux G. 2002. The Immune System: An Overview. Calder PC, Field CJ, Gill
HS, editor. Oxon (UK): CABI Pub.
Dewi SS, Tulus A. 2010. Efektifitas virgin coconut oil (VCO) terhadap
kandidiasis secara in vitro. Semarang (ID): Fakultas Ilmu Keperawatan
dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang.
Dierenfeld ES, King J. 2009. Digestibility and mineral availability
of phoenix worms (Hermetia illucens) ingested by mountain chicken
frogs (Leptodactylus fallax). J Herpetol Med Surg. 18(3):100-105. doi:
10.5818/1529-9651.18.3-4.100.
55
Djulardi A, Muis H, dan Latif SA. 2006. Nutrisi Aneka Ternak dan Satwa
Harapan. Padang: Universitas Andalas.
Dong SZ, Chen YF, Huang YH, Feng DY. 2009. Research on feed characteristics
of Bacillus natto. Chin J Anim Nutr. 21(3):371-378. ISSN 1006-267X.
Elhag O, Zhou D, Song Q, Soomro AA, Cai M, Zheng L. 2017. Screening,
expression, purification and functional characterization of novel
antimicrobial peptide genes from Hermetia illucens. PLoS One.
12:e0169582. doi: 10.1371/journal.pone.0169582.
Elwert C, Knips I, Katz P. 2010. A novel protein source: Maggot meal of the
Black Soldier Fly (Hermetia illucens) in broiler feed. In: Tagung Schweine
und Gefugelernahrung (Lutherstadt Witterberg, 23-25 Novemb 2010).
Halle (Germany): Institut fur Agrarund Ernahrungweissenschafte.
Universitas Halle Wittenberg.
Ensminger ME, Brant G, Scanes CG. 2004. Poultry Science. Ed ke-4. New York
(US): Pearson Prentice Hall.
Erickson MC, Islam M, Sheppard C, Liao J, Doyle MP. 2004. Reduction of
Escherichia coli O157:H7 and Salmonella enterica serovar Enteritidis in
chicken manure by larvae of the Black Soldier Fly. J Food Prot.
67(4):685-690. doi: 10.4315/0362-028x-67.4.685.
Erkan N, Ozden O. 2011. A preliminary study of amino acid and mineral profiles
of important and estimable 21 seafood species. Br Food J. 113(4):457-
469. doi: 10.1108/00070701111123943.
Esfandiari A, Widhyari SD, Widodo S, Wibawan IWT, Sajuthi D, Sutama IK.
2014. Konsentrasi protein total, albumin, dan globulin anak kambing
peranakan etawah setelah pemberian berbagai sediaan kolostrum. Veteriner.
15(03): 380-386.
Estiasih T, Ahmadi K. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. Jakarta (ID): PT.
Bumi Aksara.
Fatchiyah EL, Arumingtyas S, Widyarti, Rahayu S. 2011. Biologi Molekuler
Prinsip Dasar Analisis. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga.
Farooq M, Mian MA, Durrani FR, Syed M. 2002. Egg production performance of
commercial laying hens in Chakwal district, Pakistan. Livestock Research
for Rural Development. 14(2):2002.
Finke MD. 2013. Complete nutrient content of four species of feeder insects. Zoo
Biology. 32(1): 27-36. doi: 10.1002/zoo.21012.
Fischbach F, BD Marshall. 2009. A Manual of Laboratory and Diagnostic. Ed ke-
8. Williams & Wilkins, Philadelphia.
Fox SI. 1996. Human Physiology. Wm.C. Brown Pub, Dubugue, IA. hlm. 588.
Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiolgi Ternak. Ed ke-4. B Srigandono, Koen
P. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada Univ Pr.
Ganong EF. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokternan (Review of Medical
Physiology). Edisi ke-22. Terjemahan: dr. Brahm UP. Jakarta (ID):
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Ganz T. 2003. Defensins: antimicrobial peptides of innate immunity. Nat Rev
Immunol. 3(9):710–720. doi: 10.1038/nri1180.
Gassman M, Thommes P, Weiser T, Hubser U. 1990. Efficient production of
chickens egg yolk antibodies against a conserved mammalian protein.
FASEB J. 4:2528-2532.
56
Gillespie JR, Flanders FB. 2010. Modern Livestock and Poultry Production. 8th
Ed. New York (US): Delmar Cengage Learning.
Grau T, Vilcinskas A, Joop G. 2017. Sustainable farming of the mealworm
Tenebrio 290 molitor for the production of food and feed. Z Naturforsch C
J Biosci. 72(9-10):337-349. doi: 10.1515/znc-2017-0033.
Güçlü B, Uyanık F, İşcan K. 2008. Effects of dietary oil sources on egg quality,
fatty acid composition of eggs and blood lipids in laying quail. S Afr J
Anim Sci. 38(2):91-100.
Guyton AC, Hall JE. 2010. Textbook of Medical Physiology. Ed ke-8. Missisipi
(US): Elsevier Inc.
Habiyah, Umul. 2015. Suplementasi biji ketumbar (Coriandrum sativum Linn)
terhadap produktivitas, hematologi darah dan organ dalam ayam petelur
[tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Harper AE, Miller RH, Block KP. 1984. Branched-chain amino acid metabolism.
Annul Rev Nutr. 4:409-454.
Hargitai R, Mateo R, Torok J. 2011. Shell thickness and pore density in relation to
shell colouration female characteristic, and enviromental factors in the
collared flycatcher Ficedula albicollis. J Ornithol. 152(3):579-588. doi:
10.1007/s10336-011-0665-6.
Harlystiarini. 2017. Pemanfaatan tepung larva black soldier fly (Hermetia
illucens) sebagai sumber protein Pengganti tepung ikan pada ransum
Puyuh petelur (Cortunix cortunix japonica) [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Harlystiarini, Rita M, IWT Wibawan, dan DA Astuti. 2019. In Vitro Antibacterial
Activity of Black Soldier Fly (Hermetia Illucens) Larva Extracts Against
Gram Negative Bacteria. Buletin Peternakan. 43(2):125-129. doi:
10.21059/buletinpeternak.v43i2.42833.
Hartini M, Okid PA. 2009. Kadar kolesterol darah tikus putih (Rattus norvegicus)
hiperkolesterolemia setelah perlakuan VCO. Bioteknologi. 6(2):55-62. doi:
10.13057/biotek/c060204.
Hazelwood RL. 2000. Pancreatic hormones, insulin, glicagon molar ratios and
somatostatin as determinants of avian carbohydrate metabolism. J Exp
Zool. 232:647-652.
Hazlett L, Wu M. 2011. Defensins in innate immunity. Cell and Tissue Research.
343(1):175-188. doi: 10.1007/s00441-010-1022-4.
Hendrix Genetic Company. 2015. Isa Brown Management Guide. Peterborough
(UK): A Hendrix Genetic Company.
Henry M, Gasco L, Piccolo G, Fountoulaki E. 2015. Review on the use of insects
in the diet of farmed fish: Past and future. Anim Feed Sci Technol. 203:1–
22. doi: 10.1016/j.anifeedsci.2015.03.001.
Heuzé V, Tran G, Kaushik S. 2015. Fish meal. Feedipedia, program dari INRA,
CIRAD, AFZ and FAO [internet]. [diunduh 2019 Juli 20]. Tersedia dari:
http://www.feedipedia.org/node/208.
Hincke MT, Wellman-Labadie O, McKee MD, Gautron J, Nys Y, Mann K. 2008.
Biosynthesis and Structural Assembly of Eggshell Components. In: Mine
Y, editor. Egg Bioscience and Biotechnology. New Jersey (US): John
Wiley and Sons.
57
King’ori AM. 2011. A review of the uses of poultry eggshells and shell
membranes. Int J Poult Sci. 10(1):908-912. doi:
10.3923/ijps.2011.908.912.
Kirunda DFK, Scheideler SE, McKee SR. 2001. The efficacy of vitamin E (dl-α
tocopheryl acetate) supplementation in hen diet to alleviate egg quality
deterioration associated with high temperature exposure. Poult Sci.
80(9):1378-1383. doi: 10.1093/ps/80.9.1378.
Komalasari L. 2014. Dampak suhu tinggi terhadap respon fisiologi profil darah
dan performa produksi dua bangsa ayam berbeda. [thesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Kovacs-Nolan J, Phillips M, Mine Y. 2005. Advances in the value of eggs and
egg component for human health. J Agric Food Chem. 53:8421-8431. doi:
10.1021/jf050964f.
Kroeckel S, Harjes AGE, Roth I, Katz H, Wuertz S, Susenbeth A, Schulz C. 2012.
When a turbot catches a fly: evaluation of a pre-pupae meal of the black
soldier fly (Hermetia illucens) as fish meal substitute Growth performance
and chitin degradation in juvenile turbot (Psetta maxima). Aquaculture.
364-365: 345-352. doi: 10.1016/j.aquaculture.2012.08.041.
Lalander C, Diener S, Magri ME, Zurbrugg C, Lindstrom A, Vinneras B. 2013.
Faecal sludge management with the larvae of the Black Soldier Fly
(Hermetia illucens) from a hygiene aspect. Science of The Total
Environment. 458-460:312-318. doi: 10.1016/j.scitotenv.2013.04.033.
Larsson A, RM Balow, TI Lindahl, PO Forsberg, 1993. Chicken Antibodies:
Taking Advantage of Evolution a Review. Poult Sci. 72:1807-1812. doi:
10.3382/ps.0721807.
Larsson A, Sjoquist J. 1998. Chicken antibodies: A tool to avoid false positive
results by rheumatoid factor in latex fixation test. J Immunol Methods.
108(1-2): 205-208. doi: 10.1016/0022-1759(88)90420-6.
Leance CC, Nunes VS, Nakandakare ER, de Faria EC, Quintao ECR. 2013.
Does plasma HDL-C concentration interact with whole-body cholesterol
metabolism? Nutr Metab Cardiovasc Dis. 23(4): 279-284. doi:
10.1016/j.numecd.2012.12.003.
Lee EN, HH Sunwoo, K Menninen, JS Sim. 2002. In Vitro Studies of Chicken
Egg Yolk Antibody (IgY) Against Salmonella enteritidis and Salmonella
typhimurium. Poult Sci. 81(5):632-41. doi: 10.1093/ps/81.5.632.
Leeson S, JD Summer. 2005. Comercial Poultry Nutrition. Ed ke-3. University
Book. University Guelph. Guelph, Ontario, Canada.
Levy J. 1998. Immunonutrition: the pediatric experience. Nutrition. 14(7-8):641-
7. doi: 10.1016/s0899-9007(98)00007-0.
Li-Chan ECY, Kim HO. 2008. Structure and Chemical Compositions of Eggs. In:
Mine Y, editor. Egg Bioscience and Biotechnology. New Jersey (US):
John Wiley and Sons.
Liew PK, I Zulkifli, M Hair-Bejo, AR Omar, DA Israf. 2003. Effects of early age
feed restriction and thermal conditioning on heat shock protein 70
expression, resistance to infectious bursal disease and growth in male
broiler chickens subjected to chronic heat stress. Poult Sci. 82(12):1879-
1885. doi: 10.1093/ps/82.12.1879.
59
Liu Q, Tomberlin JK, Brady JA, Sanford MR, Yu Z. 2008. Black Soldier Fly
(Diptera: Stratiomyidae) larvae reduce Escherichia coli in dairy manure.
Environ Entomol. 37(6):1525-1530. doi: 10.1603/0046-225x-37.6.1525.
Liu X, Zhao HL, Thiessen S, House JD, Jones PJH. 2010. Effect of plant sterol
enriched diets on plasma and egg yolk cholesterol concentrations and
cholesterol metabolism in laying hens. Poult Sci. 89(2):270-275. doi:
10.3382/ps.2009-00249.
Lohner K. 2009. New strategies for novel antibiotics: peptides targeting bacterial
cell membranes. Gen Physiol Biophys. 28(2):105-116. doi:
10.4149/gpb_2009_02_105.
Lubis AH. 1992. Respon ayam broiler terhadap penurunan tingkat protein dalam
ransum berdasarkan efisiensi penggunaan protein dan suplementasi asam
amino metionin dan lisin. [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Mahmoud KZ, Saad M, Gharaibeh, Hana A, Zakaria, Qatramiz AM. 2010.
Garlic (Allium sativum) Supplementation: Influence on Egg Production,
Quality, and Yolk Cholesterol Level in Layer Hens. Asian-Australas J
Anim Sci. 23(11):1503-1509. doi: 10.5713/ajas.2010.10124.
Makkar HPS, Tran G, Heuzé V, Ankers P. 2014. State of the art on use of insects
in animal feed. Anim Feed Sci Technol. 197:1-33. doi:
10.1016/j.anifeedsci.2014.07.008.
Mashaly MM, Hendricks GL, Kalama MA, Gehad AE, Abbas AO, Patterson PH.
2004. Effect of heat stress on production parameters and immune
responses of commercial laying hens. Poult Sci. 83(6):889-894. doi:
10.1093/ps/83.6.889.
Mattjik AA, M Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS
dan Minitab. Ed ke-2. IPB Press, Bogor.
McBeath WH. 1992. Compendium for the Microbiological Examinations of
Foods. Ed ke-3. (US): American Public Health Association.
McDonald P, Edwards RA, Greenhalgh JFD, Morgan CA, Sinclair LA, Wilkinson
RG. 2010. Animal Nutrition. Ed ke-7. Pearson Education Limited.
Meylaers K, Cerstiaens A, Vierstraete E. 2002. Antimicrobial compounds of low
molecular mass are constitutively present in insects: characterisation of β-
alanyl-tyrosine. Curr Pharm Des. 9(2):159-174. doi:
10.2174/1381612033392279.
Mine Y, D’Silva I. 2008. Bioactive Components in Egg White. In: Mine Y, editor.
Egg Bioscience and Biotechnology. New Jersey (US): John Wiley and
Sons.
Mingyue L, Mohamedd AA, Zhang L, Zhang P, Zhang L. 2016. A family of
CSαβ defensins and defensin-like peptides from the migratory locust,
Locusta migratoria, and their expression dynamics during mycosis and
nosemosis. PLos One. 11(8): e0161585. doi: 10.1371/journal.pone.
0161585.
Mitchell EB, Johns J. 2008. Avian hematology and related disorders. Vet
Clin North Am Exot Anim Pract. 11(3):501-522. doi:
10.1016/j.cvex.2008.03.004.
Mostl E, Palme R. 2002. Hormones as indicators of stress. Domest Anim
Endocrinol. 23(1-2):67-74. doi: 10.1016/S0739-7240(02)00146-7.
60
Roberts JR. 2004. Factors affecting eggs internal quality and egg shell quality in
laying hens. J Poult Sci. 41(3):161-177. doi: 10.2141/jpsa.41.161.
Roberts, JR. 2010. Factors affecting egg shell and internal egg quality. Annual
ASAIM SE Asian Feed Technology and Nutrition Workshop ke-18; 2010
Mei 24-27; Cambodia. hlm 1-9.
Rusli RK, Wiryawan KG, Toharmat T, Jakaria, Mutia R. 2015. Supplementation
of mangosteen pericarp meal and vitamin E on egg quality and blood
profile of laying hens. Trop Anim Sci J. 38(3):198-203. doi:
10.5398/medpet.2015.38.3.198.
Rusli, RK. 2016. Suplementasi tepung kulit manggis dan vitamin E terhadap
produktivitas dan ekspresi Gen Heat Shock Protein 70 (HSP 70) pada
ayam petelur di lingkungan tropis [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Sánchez-Muros MJ, Barroso FG, Manzano-Agugliaro F. 2013. Insect meal as
renewable source of food for animal feeding: A review. J Clean Prod.
65:16–27. doi: 10.1016/j.jclepro.2013.11.068.
Sastradipradja D, SHS Sikar, R Widjayakusuma, A Maad, T Unandar, H
Nasution, R Suriawinata, K Hamzah. 1989. Penuntun Praktikum Fisiologi
Veteriner. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. Bogor.
Szabo CS, Bardos L Losonczy S, Karchesz K. 1998. Isolation of Antibody from
Chicken and Quail Eggs [internet]. [diunduh 2019 Agustus 25].
Tersedia dari: http://www.mcmaster.ca/inabis98/immunology/szabo0509/
index html.
Schade R, Esteban GC, Rodolfo S, Pablo AC, Joanna PA, Horacio RT. 2005.
Chicken Egg Yolk Antibodies (IgY-technology): A Review of Progress in
Production and Use in Research and Human and Veterinary Medicine.
Altern Lab Anim. 33(2):129-154. doi: 10.1177/026119290503300208.
Scanes CG. 2015. Sturkie’s Avian Physiology. Ed ke-6. London (UK): Elsevier
Inc.
Scott ML, M Nesheim, RJ Young. 1992. Nutrition of The Chicken. Ed ke-15.
Scott, ML dan Associaties. Ithaca. New York.
Schalms OW, Jain NC, Carol EJ. 2010. Veterinary Haematology. Ed ke-6. Weiss
DJ, Wardrop KJ, editor. Ames (USA): Blackwell Publishing Ltd.
Schiavone A, Cullere M, De Marco M, Meneguz M, Biasato I, Bergagna S, Gai F,
Dabbou S, Gasco L, Zotte AD. 2017. Partial or total replacement of
soybean oil by black soldier fly larvae (Hermetia illucens) fat in broiler
diets: effect on growth performances, feed-choice, blood traits, carcass
characteristics and meat quality. Ital J Anim Sci. 16(1): 93-100. doi:
10.1080/1828051X.2016.1249968.
Schumm DE. 1993. Intisari Biokimia. Ed ke-1. Jakarta: Binarupa Aksara.
Selim S, Hussein E, Abou-Elkhair R. 2018. Effect of spirulina platensis as a feed
additive on laying performance, egg quality and hepatoprotective activity
of laying hens. Europ Poult Sci. 82:1-13. doi: 10.1399/eps.2018.227.
Sell JL, Angel CR, Escribano F. 2002. Influence of supplemental fat on weights
of eggs and yolks during early egg production. Poult Sci. 66(11):1807-
1812. doi: 10.3382/ps.0661807.
63
Vercese F, Garcia EA, Sartori J, Silva ADP, Faitarone A, Berto D, Molino ADB,
Pelícia K. 2012. Performance and egg quality of Japanese quails submitted
to cyclic heat stress. Rev Bras Cienc Avic. 14(1):37-41. doi:
10.1590/S1516-635X2012000100007.
Vézina F, Salvante KG, Williams TD. 2003. The metabolic cost of avian egg
formation: Possible impact of yolk precursor production. J Exp Biol.
206:4443-4451. doi: 10.1242/jeb.00702.
Villarroel AYR, Fortuny RS, Belloso OM. 2010. Natural antimicrobials for
food processing. Animal Science Reviews 2010. CAB International (USA).
hlm 211-217.
Virden WS, Lilburn MS, Thaxton JP, Corzo A, Hoehler D, Kidd MT. 2007. The
effect of corticosterone-induced stress on amino acid digestibility in ross
broilers. Poult Sci. 86(2):338-342. doi: 10.1093/ps/86.2.338.
Wagner CE, Prevolsek JS, Wynne KE, Williams TD. 2008. Hematological
changes associated with egg production: estrogen dependence and
repeatibility. J Exp Biol. 211:400-408. doi: 10.1242/jeb.011205.
Wakenell PS. 2010. Hematology of Chickens and Turkeys. Di dalam: DJ Weiss,
KJ Wardrop, editor. Schalm’s veterinary hematology. Ed ke-6. Lowa
(USA): Blackwell Publishing Ltd.
Wan X, Luyi J, Haoran Z, Yufang L, Lili Z, Tian W. 2017. Effects of
enzymatically treated Artemisia annua L. on growth performance and
some blood parameters of broilers exposed to heat stress. Anim Sci J.
88(8):1344-3941. doi: 10.1111/asj.12766.
Wang XT, Deng XM, Zhao CJ, Li JY, Xu GY, Lian LS, Wu CX. 2007. Study of
the deposition process of eggshell pigments using an improved dissolution
method. Poult Sci. 86(10):2236-2238. doi: 10.1093/ps/86.10.2236.
Wang XT, Zhao CJ, Li JY, Xu GY, Lian LS, Wu CX, Deng XM. 2009.
Comparison of the total amount of eggshell pigments in Dongxiang
brown-shelled eggs and Dongxiang blue-shelled eggs. Poult Sci.
88(8):1735-1739. doi: 10.3382/ps.2008-00434.
Wardiny TM, Retnani Y, Taryati. 2012. Pengaruh ekstrak daun mengkudu
terhadap profil darah puyuh starter. JITP. 2(2):110-120.
Warr GW, Magor KE, Higgins DA, 1995. IgY: Clues to the Origins of Modern
Antibodies. Immunology Today. 16(8):392-398. doi: 10.1016/0167-5699
(95)80008-5.
Weiss DJ, Wardrop KJ. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology. Ed ke-6. New
York (US): Blackwell Publishing Ltd.
Weurding RE, Veldman A, Veen WAG, Van der Aar PJ, Verstegen MWA. 2001.
In vitro starch digestion correlates well with rate and extent of starch
digestion in broiler chickens. J Nutr. 131:2336-2342.
Wibawan IWT, Soejoedono RD. 2013. Intisari Imunologi Medis. Bogor (ID):
Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Widjastuti T, Wiradimadja R, Rusmana D. 2014. The effect of substitution of fish
meal by Black Soldier Fly (Hermetia illucens) maggot meal in the diet on
production performance of quail (Coturnix coturnix japonica). Scientific
Papers Series D. Animal Science. 42(5):125-129.
66
LAMPIRAN
68
Lampiran 1 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap konsumsi ransum ayam petelur umur 18-26
minggu
Lampiran 2 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap berat telur ayam petelur umur 18-26 minggu
Lampiran 3 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap produksi telur harian ayam petelur umur 18-26
minggu
Lampiran 4 Hasil uji Tukey subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang berbeda
terhadap produksi telur harian ayam petelur umur 18-26 minggu
Lampiran 5 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap massa telur ayam petelur umur 18-26 minggu
Lampiran 6 Hasil uji Tukey subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang berbeda
terhadap massa telur ayam petelur umur 18-26 minggu
Lampiran 7 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap konversi ransum ayam petelur umur 18-26 minggu
Lampiran 8 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap eritrosit ayam petelur umur 26 minggu
Lampiran 9 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap leukosit ayam petelur umur 26 minggu
Lampiran 10 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap hematokrit ayam petelur umur 26 minggu
Lampiran 11 Hasil uji Tukey subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap hematokrit ayam petelur umur 26 minggu
Lampiran 12 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap hemoglobin ayam petelur umur 26 minggu
Lampiran 13 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap MCV ayam petelur umur 26 minggu
Lampiran 14 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap MCHC ayam petelur umur 26 minggu
Lampiran 15 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap MCH ayam petelur umur 26 minggu
Lampiran 16 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap limfosit ayam petelur umur 26 minggu
Lampiran 17 Hasil uji Tukey subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap limfosit ayam petelur umur 26 minggu
Lampiran 18 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap heterofil ayam petelur umur 26 minggu
Lampiran 19 Hasil uji Tukey subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap heterofil ayam petelur umur 26 minggu
Lampiran 20 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap monosit ayam petelur umur 26 minggu
Lampiran 21 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap rasio (H/L) ayam petelur umur 26 minggu
Lampiran 22 Hasil uji T-test aktivitas antibakteri in vitro BSF hidup terhadap
bakteri Escherichia coli
Lampiran 23 Hasil uji T-test aktivitas antibakteri in vitro BSF hidup terhadap
bakteri Salmonella enteritidis
Ulangan N Rata - rata St. Deviasi SEM
-1
160 mg ml 2 2.455 0.035 0.025
-1
320 mg ml 2 4.355 0.106 0.075
Lampiran 24 Hasil uji T-test aktivitas antibakteri in vitro BSF kering terhadap
bakteri Escherichia coli
Lampiran 25 Hasil uji T-test aktivitas antibakteri in vitro BSF kering terhadap
bakteri Salmonella enteritidis
Ulangan N Rata - rata St. Deviasi SEM
160 mg ml-1 2 2.350 0.170 0.12
-1
320 mg ml 2 4.245 0.120 0.08
Lampiran 26 Hasil uji T-test aktivitas antibakteri in vitro BSF ekstrak terhadap
bakteri Escherichia coli
Lampiran 27 Hasil uji T-test aktivitas antibakteri in vitro BSF ekstrak terhadap
bakteri Salmonella enteritidis
Lampiran 28 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap berat telur (gram) ayam petelur umur 18-26
minggu
Lampiran 29 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap berat kuning telur (gram) ayam petelur umur 18-
26 minggu
Lampiran 30 Hasil uji Tukey subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap berat kuning telur (gram) ayam petelur umur 18-
26 minggu
Lampiran 31 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap berat kuning telur (%) ayam petelur umur 18-26
minggu
Lampiran 32 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap berat putih telur (gram) ayam petelur umur 18-26
minggu
Lampiran 33 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap berat putih telur (%) ayam petelur umur 18-26
minggu
Lampiran 34 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap berat kerabang telur (gram) ayam petelur umur
18-26 minggu
Lampiran 35 Hasil uji Tukey subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap berat berat kerabang telur (gram) ayam petelur
umur 18-26 minggu
Lampiran 36 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap berat kerabang telur (%) ayam petelur umur 18-
26 minggu
Lampiran 37 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap haugh unit ayam petelur umur 18-26 minggu
Lampiran 38 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap malondehid kuning telur ayam petelur umur 26
minggu
Lampiran 39 Hasil uji Tukey subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap malondehid kuning telur ayam petelur umur 26
minggu
Lampiran 40 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap kolesterol kuning telur ayam petelur umur 26
minggu
Lampiran 41 Hasil uji Tukey subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap kolesterol kuning telur ayam petelur umur 26
minggu
Lampiran 42 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap lemak kuning telur ayam petelur umur 26 minggu
Lampiran 43 Hasil uji Tukey subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap lemak kuning telur ayam petelur umur 26 minggu
Lampiran 44 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap trigliserida serum ayam petelur umur 26 minggu
Lampiran 45 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap kolesterol serum ayam petelur umur 26 minggu
Lampiran 46 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap HDL serum ayam petelur umur 26 minggu
Lampiran 47 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap LDL serum ayam petelur umur 26 minggu
Lampiran 48 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap total protein serum ayam petelur umur 26 minggu
Lampiran 49 Hasil uji Tukey subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap total protein serum ayam petelur umur 26 minggu
Lampiran 50 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap albumin serum ayam petelur umur 26 minggu
Lampiran 51 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap glukosa serum ayam petelur umur 26 minggu
Lampiran 52 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap aktivitas fagositosis makrofag peritoneum ayam
petelur umur 26 minggu
Lampiran 53 Hasil uji Tukey subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap aktivitas fagositosis makrofag peritoneum ayam
petelur umur 26 minggu
Lampiran 54 Hasil analisis ragam subtitusi tepung ikan dengan jenis BSF yang
berbeda terhadap kapasitas fagositosis makrofag peritoneum ayam
petelur umur 26 minggu
Lampiran 55 Hasil analisis ragam clearance test darah ayam petelur umur 26
terhadap konsentrasi akhir dengan bakteri Salmonella enteritidis
Lampiran 56 Hasil uji Tukey clearance test darah ayam petelur umur 26
terhadap konsentrasi akhir dengan bakteri Salmonella enteritidis
Lampiran 57 Hasil analisis ragam clearance test darah ayam petelur umur 26
terhadap tingkat kematian bakteri dengan bakteri Salmonella
enteritidis
Lampiran 58 Hasil uji Tukey clearance test darah ayam petelur umur 26
terhadap tingkat kematian bakteri dengan bakteri Salmonella
enteritidis
RIWAYAT HIDUP