KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr wb
Puji dan syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya maka tersusunlah makalah ini. Makalah ini disusun guna melengkapi
tugas mata kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan. Tidak lupa kami juga mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya bagi pihak-pihak yang mendukung tersusunnya makalah
ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih sangat jauh dari sempurna, oleh karena itu
kami sangat mengharapkan dan berterimakasih apabila anda memberikan kritik dan saran
atas makalah ini, sehingga hal tersebut dapat memotivasi kami agar dapat berkarya dengan
lebih baik lagi.
Wassalamualaikum wr wb
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
PENDAHULUAN
Saat ini tidak mudah untuk memaparkan kondisi hukum di Indonesia tanpa adanya
keprihatinan yang mendalam mendengar ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, dan
kemarahan masyarakat pada mereka yang memanfaatkan hukum untuk mencapai tujuan
mereka tanpa menggunakan hati nurani. Dunia hukum di Indonesia tengah mendapat sorotan
yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Dari sekian banyak bidang hukum, dapat dikatakan bahwa hukum pidana menempati
peringkat pertama yang bukan saja mendapat sorotan tetapi juga celaan yang luar biasa
dibandingkan dengan bidang hukum lainnya. Bidang hukum pidana merupakan bidang
hukum yang paling mudah untuk dijadikan indikator apakah reformasi hukum yang
dijalankan di Indonesia sudah berjalan dengan baik atau belum. Hukum pidana bukan hanya
berbicara tentang putusan pengadilan atas penanganan perkara pidana, tetapi juga meliputi
semua proses dan sistem peradilan pidana. Proses peradilan berawal dari penyelidikan yang
dilakukan pihak kepolisian dan berpuncak pada penjatuhan pidana dan selanjutnya diakhiri
dengan pelaksanaan hukuman itu sendiri oleh lembaga pemasyarakatan. Semua proses pidana
itulah yang saat ini banyak mendapat sorotan dari masyarakat karena kinerjanya, atau
perilaku aparatnya yang jauh dari kebaikan di Indonesia carut marut. Banyak sekali kejadian
yang menggambarkannya, mulai dari tindak pidana yang diberikan oleh maling sandal hingga
maling uang rakyat. Sebenarnya permasalahan hukum di Indonesia dapat disebabkan oleh
beberapa hal diantaranya yaitu sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi
penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum.
Hukum Negara ialah aturan bagi negara itu sendiri, bagaimana suatu negara
menciptakan keadaan yang relevan, keadaan yang menentramkan kehidupan sosial
masyarakatnya, menghindarkan dari segala bentuk tindak pidana maupun perdata. Namun
tidak di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, pemberitaan di media masa sungguh
tragis. Bahkan dari Hasil survei terbaru dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebutkan
bahwa 56,0 persen publik menyatakan tidak puas dengan penegakan hukum di Indonesia,
hanya 29,8 persen menyatakan puas, sedangkan sisanya 14,2 persen tidak menjawab. Sebuah
fenomena yang menggambarkan betapa rendahnya wibawa hukum di mata publik.
Hukum di Indonesia yang bisa kita lihat saat ini bisa dikatakan sebagai hukum yang
carut marut, mengapa? Karena dengan adanya pemberitaan mengenai tindak pidana di
televisi, surat kabar, dan media elektronik lainnya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa
hukum di Indonesia carut marut. Banyak sekali kejadian yang menggambarkannya, mulai
dari tindak pidana yang diberikan oleh maling sandal hingga maling uang rakyat. Sebenarnya
permasalahan hukum di Indonesia dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya yaitu
sistem peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi
kekuasaan, maupun perlindungan hukum.
Hukum Negara ialah aturan bagi negara itu sendiri, bagaimana suatu negara
menciptakan keadaan yang relevan, keadaan yang menentramkan kehidupan sosial
masyarakatnya, menghindarkan dari segala bentuk tindak pidana maupun perdata. Namun
tidak di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini, pemberitaan di media masa sungguh
tragis. Bahkan dari Hasil survei terbaru dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) menyebutkan
bahwa 56,0 persen publik menyatakan tidak puas dengan penegakan hukum di Indonesia,
hanya 29,8 persen menyatakan puas, sedangkan sisanya 14,2 persen tidak menjawab. Sebuah
fenomena yang menggambarkan betapa rendahnya wibawa hukum di mata publik.
1.3 TUJUAN
Untuk mengetahui definisi kebijakan penegak hukum.
Untuk membahas mengenai faktor penyebab ketidakadilan hukum dan cara
mengatasai masalah yang terjadi pada Negara ini.
Bagaima terjadinya ketidakadilan hukum yang berkembang dalam masyarakat.
Bagaimana cara kita menyikapinya
Untuk mengetahui problematika penegakan hukum di Indonesia.
Untuk mengetahui dampak yang timbul dari penegakan hukum di Indonesia.
Untuk mengetahui solusi dan cara menghadapai permasalahan dalam penegakan
hukum di Indonesia.
1.4 MANFAAT
Adapun manfaat yang diharapkan dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut :
Dapat mengetahui dasar-dasar dalam pembentukan hukum Negara Indonesia.
Dapat mengetahui problematika penegakan hukum yang berlaku di Indonesia.
Dapat mengetahui dampak dalam penegakan hukum di Indonesia.
Dapat mengetahui kenapa masyarakat tidak puas dengan penegakan hukum di
Indonesia.
Dapat mengetahui dan menilai bagaimana solusi dalam pemecahan permasalahan
hukum di Indonesia.
Khusus bagi pemerintahan, memberikan gambaran mengenai sistem penegakan
hukum yang berlaku dalam masyarakat, serta diharapkan dapat menilai, menelaah dan
membuat suatu keputusan dalam pemecahan masalah penegakan hukum tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
Hukum adalah:
1. Peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh
penguasa atau pemerintah;
2. Undang-undang, peraturan, dsb untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat;
3. Patokan (kaidah,ketentuan) mengenai peristiwa (alam, dsb) yang tertentu;
4. Keputusan (pertimbangan) yang diterapkan oleh hakim (di pengadilan); vonis.
(Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, 2005: 410)
Jadi, kebijakan penegakan hukum adalah usaha-usaha yang diambil oleh pemerintah
atau suatu otoritas untuk menjamin tercapainya rasa keadilan dan ketertiban dalam
masyarakat dengan menggunakan beberapa perangkat atau alat kekuasaan negara baik dalam
bentuk undang-undang, sampai pada para penegak hukum antara lain polisi, hakim, jaksa,
serta pengacara.
Bangsa yang beradab adalah bangsa yang menjalankan fungsi hukumnya secara
merdeka dan bermartabat. Merdeka dan bermartabat berarti dalam penegakan hukum wajib
berpihak pada keadilan, yaitu keadilan untuk semua. Sebab apabila penegakan hukum dapat
mengaplikasikan nilai keadilan, tentulah penerapan fungsi hukum tersebut dilakukan dengan
cara-cara berpikir yang filosofis.
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Sebelum berangkat ke pertanyaan itu, satu hal yang harus dikemukakan adalah
pentingnya ada upaya dari pemerintah, di samping dari lembaga yudikatif sendiri, untuk
melakukan hal ini. Setidaknya ada tiga alasan perlunya ada kebijakan dari pemerintah dalam
penegakan hukum :
Kedua, tidak hanya tanggung jawab, pemerintah pun punya kepentingan langsung
untuk menciptakan kondisi yang kondusif dalam menjalankan pemerintahannya. Birokrasi
dan pelayanan masyarakat yang berjalan dengan baik, serta keamanan masyarakat. Dengan
adanya penegakan hukum yang baik, akan muncul pula stabilitas yang akan berdampak
pada sektor politik dan ekonomi. Menjadi sebuah penyederhanaan yang berlebihan bila
dikatakan penegakan hukum hanyalah tanggung jawab dan kepentingan lembaga yudikatif.
Ketiga, sama sekali tidak bisa dilupakan adanya dua institusi penegakan hukum
lainnya yang berada di bawah lembaga eksekutif, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Penegakan
hukum bukanlah wewenang Mahkamah Agung semata. Dalam konteks keamanan
masyarakat dan ketertiban umum, Kejaksaan dan Kepolisian justru menjadi ujung
tombak penegakan hukum yang penting karena ia langsung berhubungan dengan
masyarakat. Sementara itu, dalam konteks legal formal,sehingga saat ini pemerintah masih
mempunyai suara yang sigifikan dalam penegakan hukum. Sebab, sampai dengan
September 2004, urusan administratif peradilan masih dipegang oleh Departemen
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Karena itu, Pemerintah masih berperan penting
dalam mutasi dan promosi hakim, serta administrasi peradilan. Evolusi masyarakat hingga
menjadi organisasi negara melahirkan konsep tentang adanya hukum untuk mengatur institusi
masyarakat. Karenanya, ada asumsi dasar bahwa adanya kepastian dalam penegakan hukum
akan mengarah kepada stabilitas masyarakat. Dan memang, selama hukum masih punya
nafas keadilan, walau terdengar utopis, kepastian hukum jadi hal yang didambakan.
Sebab melalui kepastian inilah akan tercipta rasa aman bagi rakyat. Kepastian bahwa
kehidupan dijaga oleh negara, kepentingannya dihormati, dan kepemilikan yang diraihnya
dilindungi.
Tidak berhenti di situ. Bagi Indonesia sendiri, penegakan hukum bukan cuma soal
mendorong perbaikan politik dan pemulihan ekonomi. Harus disadari bahwa
penegakkan hukum justru merupakan ujung tombak proses demokratisasi. Sebabnya, melalui
penegakan hukum ini Indonesia dapat secara konsisten memberantas korupsi yang sudah
mengakar dengan kuat di berbagai sektor, menjalankan aturan-aturan main dalam bidang
politik dan ekonomi secara konsisten. Dengan penegakan hukum yang konsisten dan tegas,
pemulihan ekonomi dan tatanan politik juga bisa didorong percepatannya.
Penegak hukum antara lain mencakup hakim, polisi, jaksa, pembela, petugas
pemasyarakatan, dan seterusnya. Apabila peraturan perundang-undangan sudah baik, akan
tetapi jika mental penegak hukum kurang baik, maka akan terjadi pada sistem penegakkan
hukum.
Namun dipihak lain perlu juga disadari bahwa penegakan hukum bukan tujuan akhir
dari proses hukum karena keadilan belum tentu tercapai dengan penegakan hukum, padahal
tujuan akhirnya adalah keadilan. Pernyataan di atas merupakan isyarat bahwa keadilan yang
hidup di masyarakat tidak mungkin seragam. Hal ini disebabkan keadilan merupakan proses
yang bergerak di antara dua kutub citra keadilan.
Naminem Laedere semata bukanlah keadilan, demikian pula Suum Cuique Tribuere
yang berdiri sendiri tidak dapat dikatakan keadilan. Keadilan bergerak di antara dua kutub
tersebut. Pada suatu ketika keadilan lebih dekat pada satu kutub, dan pada saat yang lain,
keadilan lebih condong pada kutub lainnya. Keadilan yang mendekati kutub Naminem
Laedere adalah pada saat manusia berhadapan dengan bidang-bidang kehidupan yang bersifat
netral. Akan tetapi jika yang dipersoalkan adalah bidang kehidupan spiritual atau sensitif,
maka yang disebut adil berada lebih dekat dengan kutub Suum Cuique Tribuere. Pengertian
tersebut mengisyaratkan bahwa hanya melalui suatu tata hukum yang adil orang dapat hidup
dengan damai menuju suatu kesejahteraan jasmani maupun rohani (Abdul Ghofur, 2006: 55-
56).
Penegakan hukum yang acap kali menciderai rasa keadilan, baik keadilan menurut
pandangan yuridis maupun keadilan menurut masyarakat. Hal inilah salah satu pemicu
ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam menegakan
hukum di tengah masyarakat. Jika kita pandang dari kacamata sosiologi hukum, kita dapat
mengasumsisikan bahwa ada dua faktor yang paling menonjol yang mempengaruhi aparat
penegak hukum dalam menegakan hukum yaitu faktor internal dan eksternal. Adapun faktor
internal (yang berasal dari penegak hukum itu sendiri) salah satu contoh, adanya
kecenderungan dari aparat penegak hukum dalam menegakan hukum berpedoman pada
undang-undang semata sehingga mengesampingkan nilai-nilai yang berkembang dalam
masyarakat. Selanjutnya faktor eksternal (yang berasal dari luar penegak hukum itu sendiri)
misalnya ketika terjadi peristiwa hukum adanya kecenderungan masyarakat yang
menyelasaikan dengan caranya sendiri.
Lembaga hukum merupakan lembaga penegak keadilan dalam suatu masyarakat,
lembaga di mana masyarakat memerlukan dan mencari suatu keadilan. Idealnya, lembaga
hukum tidak boleh sedikitpun bergoyah dalam menerapkan keadilan yang didasarkan atas
ketentuan hukum dan syari’at yang telah disepakati bersama. Hukum menjamin agar keadilan
dapat dijalankan secara murni dan konsekuen untuk seluruh rakyat tanpa membedakan asal-
usul, warna kulit, kedudukan, keyakinan dan lain sebagainya. Jika keadilan sudah tidak ada
lagi maka masyarakat akan mengalami ketimpangan. Oleh karena itu, lembaga hukum dalam
masyarakat madani harus menjadi tempat mencari keadilan. Hal ini bisa diciptakan jika
lembaga hukum tersebut dihormati, dijaga dan dijamin integritasnya secara konsekuen
(Miftah, 2003: 218).
Jika kita berkaca kepada potret penegakan hukum di Indonesia setelah menilik dari
berbagai kasus (menurut penulis) belumlah berjalan dengan baik, bahkan bisa dikatakan
buruk. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia saat ini dapat tercermin dari berbagai
penyelesaian kasus besar yang belum tuntas salah satunya praktek korupsi yang menggurita,
namun ironisnya para pelakunya sangat sedikit yang terjerat oleh hukum. Kenyataan tersebut
justru berbanding terbalik dengan beberapa kasus yang melibatkan rakyat kecil, dalam hal ini
aparat penegakkan hukum cepat tanggap, karena sebagaimana kita ketahui yang terlibat kasus
korupsi merupakan kalangan berdasi alias para pejabat dan orang-orang berduit yang
memiliki kekuatan (power) untuk menginterfensi efektifitas dari penegakan hukum itu
sendiri.
Realita penegakan hukum yang demikian sudah pasti akan menciderai hati rakyat
kecil yang akan berujung pada ketidakpercayaan masyarakat pada hukum, khususnya aparat
penegak hukum itu sendiri. Sebagaimana sama-sama kita ketahui para pencari keadilan yang
note bene adalah masyarakat kecil sering dibuat frustasi oleh para penegak hukum yang
nyatanya lebih memihak pada golongan berduit. Sehingga orang sering menggambarkan
kalau hukum Indonesia seperti jaring laba-laba yang hanya mampu menangkap hewan-hewan
kecil, namun tidak mampu menahan hewan besar tetapi hewan besar tersebutlah yang
mungkin menghancurkan seluruh jaring laba-laba (Jimly, 2011: 156).
Problematika penegakan hukum yang mengandung unsur ketidakadilan
mengakibatkan adanya isu mafia peradilan, keadilan dapat dibeli, munculnya bahasa-bahasa
yang sarkastis dengan plesetan HAKIM (Hubungi Aku Kalau Ingin Menang), KUHAP
diplesetkan sebagai Kurang Uang Hukuman Penjara, UUD (Ujung-Ujungnya Duit) tidaklah
muncul begitu saja. Kesemuanya ini merupakan “produk sampingan” dari bekerjanya
lembaga-lembaga hukum itu sendiri. Ungkap-ungkapan ini merupakan reaksi dari rasa
keadilan masyarakat yang terkoyak karena bekerja lembaga-lembaga hukum yang tidak
profesional maupun putusan hakim/putusan pengadilan yang semata-mata hanya
berlandaskan pada aspek yuridis. Berlakunya hukum di tengah-tengah masyarakat,
mengemban tujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dan
pemberdayaan sosial bagi masyarakatnya.
JAKARTA (Suara Karya): Wakil Ketua Komisi III DPR RI Tjatur Sapto Edy
mengatakan bahwa penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) oleh KPK dalam kasus
dugaan gratifikasi merupakan "sejarah baru" yang sangat mencoreng proses perjalanan
penegakan hukum di Indonesia.
penegakan hukum kita karena selama ini publik percaya pada kredibilitas dari Mahkamah
Konstitusi," kata Tjatur saat ditemui di Gedung Nusantara III DPR RI di Jakarta, Kamis. Ia
mengaku terkejut mendengar kejadian penangkapan Ketua MK Akil Mochtar oleh KPK
sebab ia menilai Mahkamah Konstitusi selama ini dikenal sebagai lembaga yang cukup
kredibel.
"Kami menilai MK itu cukup kredibel maka kami kaget setengah mati dengan
kejadian ini, namun bagaimanapun kita harus fokus mendukung langkah KPK," ujarnya.
Menurut dia, dengan adanya kejadian pelanggaran oleh aparat penegak hukum, Komisi III
akan mendukung penuh langkah KPK untuk melakukan pemberantasan korupsi pada
lembaga-lembaga penegak hukum, baik di sektor peradilan umum maupun di sektor peradilan
konstitusi, seperti di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
"Selaku pimpinan Komisi III saya mendukung penuh langkah KPK yang kini sudah
ada di 'road map' KPK untuk melakukan pemberantasan korupsi di sektor penegakan
hukum," kata Tjatur. Terkait pengawasan terhadap hakim agung oleh Komisi III, ia
mengatakan pihaknya akan terus meningkatkan upaya pengawasan guna mencegah tindak
pelanggaran hukum oleh para hakim agung dan aparat penegak hukum lainnya.
"Kami setiap masa sidang pasti melakukan konsultasi dengan MA dan MK. Selama
ini, sebenarnya kinerja MK cukup maju dalam hal administrasinya. Oleh karena itu, kami
berharap kejadian buruk yang mencoreng lembaga penegak hukum ini jangan sampai
terulang," ujar Tjatur.
Menurut dia, kejadian penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar
dalam kasus dugaan gratifikasi merupakan suatu tamparan bagi "wajah" penegakan hukum di
Indonesia.
"Kejadian ini membalikkan citra bahwa para hakim MK itu adalah 'orang yang sudah
tidak bermasalah dengan dirinya'. Artinya, beberapa dari mereka (hakim MK) kemungkinan
masih bermasalah karena harus mendapatkan uang dari putusannya atau mendapatkan nama
baik dari putusannya," ujarnya. Menurut dia, para hakim MK yang bermasalah itu adalah
hakim yang masih lebih mengutamakan untuk mendapatkan keuntungan pribadi, seperti
uang, jabatan, "nama", dalam membuat putusan di MK.
"Kalau hakim yang sudah tidak bermasalah akan berpikir putusan yang saya buat ini
untuk kepentingan bangsa dan negara. Kalau tertangkap tangan sedang menerima uang, ini
kan bukan untuk kepentingan bangsa dan negara," ucap Martin. Sebelumnya, KPK
menangkap tangan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar di kediamannya di
kompleks perumahan menteri, Jalan Widya Chandra III No 7, Jakarta Selatan.
Penangkapan tersebut diduga terkait suap untuk kasus Pilkada di Kalimantan. "Ini
terkait Pilkada di sebuah kabupaten di Kalimantan," kata salah seorang penyidik KPK. Selain
Akil Mochtar dan seorang perempuan yang diperkirakan anggota DPR berinisial CN, KPK
juga menangkap seorang panitera pengganti berinisial KH dan dua orang lainnya. Sang
Panitera berinisial KH itu bertugas sebagai perantara penyerahan uang dari CN ke Akil
Mochtar. Lima orang itu ditangkap KPK di dua tempat, yaitu di rumah dinas di kompleks
menteri Jl. Widya Chandra dan sebuah tempat di Jakarta Barat. Hingga saat ini lima orang
yang ditangkap itu masih diperiksa di gedung KPK.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara Prof Dr Budiman Ginting,
SH, mengatakan terjaringnya sejumlah hakim dan panitera di Pengadilan Negeri Medan
dalam operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi dapat merusak citra penegak
hukum.
"Kasus tersebut memalukan dan juga telah merendahkan martabat hakim sebagai
penegak hukum yang selama ini dihormati masyarakat," kata Budiman di Medan, Rabu
(29/8/2018).
Kasus hakim yang diamankan oleh tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu,
menurut dia, membuktikan bahwa masih adanya oknum hakim "nakal" dan selalu
menunjukkan perilaku yang tidak terpuji.
"Hakim yang seperti itu, merupakan tugas dan tanggung jawab Mahkamah Agung
(MA) untuk melakukan pembinaan dan pengawasan yang melekat, sehingga tidak ada lagi
yang berperilaku kurang baik," ujar Budiman.
Ia mengatakan, seorang hakim harus menunjukkan sikap yang terhormat dan selalu
memberikan contoh yang baik kepada masyarakat, dan bukan sebaliknya justru tersangkut
dengan masalah hukum.
Hal tersebut, dapat menimbulkan hilangnya kepercayaan masyarakat dan para pencari
keadilan terhadap hakim.
"Hal itu jangan sampai terjadi dan hakim harus menunjukkan integritas dan tidak
melakukan pelanggaran hukum," ucap dia.
Budiman menambahkan, operasi tangkap tangan (OTT) yang terjadi di PN Medan itu,
ke depan diharapkan tidak terulang lagi, begitu juga di Pengadilan Negeri lainnnya di Tanah
Air.
Ia berharap pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung (MA) benar-
benar bersih dari hal-hal yang dapat menjatuhkan atau merugikan nama baik lembaga
penegak hukum yang dipercaya itu.
"Para hakim harus bisa menjaga marwah peradilan dari berbagai pengaruh negatif
yang dapat menghancurkan penegakan hukum," kata Dekan Fakultas Hukum USU itu.
Mereka adalah Ketua PN Medan Marsuddin Nainggolan, wakil Ketua Wahyu Prase
tyo Wibowo, hakim Sontan Merauke, Merry Purba (hakim adhoc), dan dua Panitera
Tipikor PN Medan, Elfandi dan Oloan Sirait.
OTT itu, menurut dia, bermula dari hasil temuan petugas KPK dari ruangan kerja
salah seorang hakim PN Medan Sontan Merauke.
Erintuah belum dapat menjelaskan mengenai kasus yang menimpa oknum hakim dan
panitera tersebut karena mereka dibawa langsung oleh KPK.
"Para hakim dan panitera itu dibawa petugas KPK untuk dimintai keterangan," kata
juru bicara PN Medan itu.
Dari beberapa contoh kasus diatas mungkin dapat mewakili perilaku menyimpang
yang ada di ranah hukum. Sehingga jangan salahkan rakyat jika ada banyak penyimpangan
yang melanggar hukum karena bagaimanapun masyarakat Indonesia masih menganut contoh
secara vertical. Apabila aparat saja tidak taat hukum maka jangan menuntut rakyat untuk taat.
Banyaknya kriminalitas dan main hakim sendiri itu bukan 100% kesalahan rakyat.Sesuai
yang dinyatakan oleh Hambali bahwa kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat
penegak hukum sebenarnya di dasari oleh prilaku para penegak hukum yang terjebak dalam
praktek KKN.Melihat kenyataan yang demikian itu masyarakat menjadi kecewa terhadap
aparat penegak hukum yang berujung pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap
hukum yang ada yang di tandai dengan makin banyaknya aksi main hakim sendiri.
Indonesia sebagai negara hukum ternyata menjadi sarang mafia berkedok pejabat.
Pada kasus yang dipaparkan dalam berita diatas, pidana yang dapat dikenakan terhadap orang
yang memberikan keterangan palsu sebagaimana diatur dalam Bab IX tentang Sumpah Palsu
dan Keterangan Palsu, Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hingga saat
ini belum banyak berubah sejak penjajahan Belanda sehingga hukum di Indonesia kurang
mampu memberi efek jera dan menyadarkan masyarakat. Begitu banyak peraturan hukum
yang dibuat oleh para penegak hukum untuk mengatur kehidupan masyarakat, tapi faktanya
walaupun hukum tersebut dibuat beserta sanksinya tapi tetap saja peraturan tersebut
dikarenakan pemerintah dan aparat hukum tidak sungguh-sungguh dalam menegakkannya,
setelah peraturan dibuat praktek dilapangan begitu banyak pelanggaran-pelanggaran yang
masih bisa ditolerir.
Pada kasus MK, jika ditelaah sudah jelas kewajiban dalam system peradilan, adanya
mahkamah konstitusi memiliki wewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutuskan sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus
pembubaran parpol, dan memutus perselisihan pemilu. Selain itu Mahkamah konstitusi
berkewajiban memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh
presiden/ atau wapres menurut UUD 1945.
Hukuman atau sanksi yang diberlakukan untuk menangani kasus pelanggaran antara
pejabat dan non pejabat seharusnya berbeda karena tidak hanya melanggar hukum tapi juga
mencoreng nama baik aparat dan menurunkan kewibawaan serta menurunkan kepercayaan
rakyat terhadap kredibilitas aparat.
Sesuai pendapat Anggota Komisi III DPR RI Martin Hutabarat bahwa dengan
maraknya pelanggaran hukum oleh aparat penegak hukum maka sanksi untuk kasus
pelanggaran oleh para aparat penegak hukum harus lebih berat.
"Saya kira hukuman bagi aparat penegak hukum yang melanggar hukum harus lebih
berat karena seharusnya aparat itu menjadi contoh yang baik bagi proses penegakan hukum,
bukan malah menjadi contoh yang buruk bagi masyarakat," katanya.
“Apa gunanya mendengar aparat sedangkan dia saja terjerat kasus pelanggaran
hukum.” Peryataan itulah yang muncul di masyarakat. Meski ada beberapa aparat yang taat
hukum namun karena adanya beberapa aparat yang tenar melanggar hukum sehingga hal
yang negative inilah yang men-generalisasi di benak masyarakat.
Padahal, kepercayaan publik merupakan modal utama dan penting bagi kelancaran
dan keberlanjutan roda pemerintahan. Kalau orang-orang yang duduk di pemerintahan sudah
kehilangan kepercayaan dari rakyat, mereka akan kehilangan optimisme dalam menjalankan
roda pemerintahan itu sendiri. Akhirnya, pemerintahan yang baik (good government) sangat
sulit terwujud.Di sinilah pemerintah sebagai wakil negara dituntut secara bergegas
mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Oleh karena itu, akibat-akibat yang ditimbulkan dari masalah penyelewengan hukum tersebut
diantaranya, yaitu:
Masyarakat berependapat hukum banyak merugikan mereka, terlebih lagi soal materi
sehingga mereka berusaha untuk menghindarinya. Karena mereka percaya bahwa uanglah
yang berbicara, dan dapat meringankan hukuman mereka, fakta-fakta yang ada diputar
balikan dengan materi yang siap diberikan untuk penegak hukum.
Penyelesaian konflik dengan kekerasan contohnya ialah pencuri ayam yang dipukuli
warga, pencuri sandal yang dihakimi warga. Konflik yang terjadi di sekelompok
masyarakat di Indonesia banyak yang diselesaikan dengan kekerasan, seperti kasus tawuran
antar pelajar, tawuran antar suku yang memperebutkan wilayah, atau ada salah satu suku
yang tersakiti sehingga dibalas degan kekerasan. Mereka tidak mengindahkan peraturan-
peraturan kepemerintahan, dengan masalah secara geografis, mereka. Ini membuktikan
masayarakat Indonesia yang tidak tertib hukum, seharusnya masalah seperti maling sandal
atau ayam dapat ditangani oleh pihak yang yang berwajib, bukan dihakimi secara
seenakanya, bahkan dapat menghilangkan nyawa seseorang.
3. Pemanfaatan Inkonsistensi Penegakan Hukum untuk Kepentingan Pribadi
Dalam hal ini kita dapat mengambil contoh pengrusakan lingkungan yang diakibatkan
oleh suatu perusahaan asing yang membuka usahanya di Indonesia, mereka akan minta
bantuan dari negaranya untuk melakukan upaya pendekatan kepada Indonesia, agar mereka
tidak mendapatkan hukuman yang berat, atau dicabut izin memproduksinya di Indonesia
(Supriadi, 2008: 312).
2.6 Solusi dan cara menghadapai permasalahan dalam penegakan hukum di Indonesia
Berbagai realita yang terjadi di era reformasi sampai sekarang terkait dengan
penegakan hukum yang terdapat di Indonesia sudah tidak relevan dengan apa yang tertuang
dalam kontitusi negara ini. Indonesia dengan berbagai macam problem tentang anarkisnya
para penegak hukum, hal ini sudah tidak sesuai dengan apa yang di cita-citakan oleh para
pendiri bangsa terdahulu. Berbagai hal sudah bergeser dari amanah konstitusi namun kita
tidak sepantasnya untuk menyalahkan sepenuhnya kegagalan tersebut kepada para penegak
hukum atau pihak-pihak yang menjalankan hukum karena bagaimana pun masyarakat adalah
pemegang hukum dan tempat hukum tersebut berpijak.
Semboyan “Bhineka Tunggal Ika” merupakan entri yang sangat menuju masyarakat
kewargaan. Masyarakat kewargaan pertama-tama akan mempersoalkan siapa-siapa yang
termasuk ke dalam kategori warga atau kewargaan dalam masyarakat. Reformasi hukum
hendaknya secara sungguh-sungguh menjadikan “eksistensi kebhinekaan” menjadi agenda
dan bagaimana mewujudkan ke dalam sekalian fundamental hukum. Kalau kita belajar dari
pengalaman, maka semboyan “Bhineka Tunggal Ika” lebih memberi tekanan pada aspek
”Tunggal”, sehingga memperkosa eksistensi pluralism. Demi ketunggalan atau kesatuan,
pluralism tidak dibiarkan ada.
Bertolak dari pengakuan terhadap eksistensi pluralism tersebut, maka konflik adalah
fungsional bagi berdirinya masyarakat. Konflik bukan sesuatu yang harus ditabukan, sebab
mengakui kebhinekaan adalah mengakui konflik, sebagai sesuatu yang potensial. Dengan
demikian, filsafat yang dipegang adalah menyalurkan konflik sedemikian rupa sehingga
menjadi produktif buat masyarakat.
Masalah tentang problematika penegakan hukum telah menjadi sebuah tema yang
sangat menarik untuk diangkat dalam berbagai seminar. Salah satu diantaranya tidak ada
kepuasaan yang dicapai subjek hukum yang tidak lain adalah manusia serta berbagai badan-
badan hukum.
Kami mencoba untuk memberikan beberapa pemecahan dari berbagai problematika
penegakan hukum di Indonesia. Yang pertama yakni bagaimana sikap serta tindakan para
sarjana hukum untuk lebih memperluas cakrawalanya dalam memahami atau menganalisis
masalah-masalah yang terjadi sekarang ini. Di sini dibutuhkan sebuah pandangan kritis akan
makna atau arti penting penegakan hukum yang sebenarnya. Selain itu dibutuhkan ilmu-ilmu
sosial lainnya seperti sosiologi dalam mengidentifikasi masalah-masalah sosial serta
penegakan hukum yang ada dalam masyarakat agar dalam pembuatan hukum ke depannya
dapat menjadikan kekurangan atau kegagalan di masa lalu sebagai bahan pembelajaran.
Namun yang perlu diingat bersama adalah adanya kesadaran dalam pelaksanaaan
hukum serta adanya keadilan tanpa memandang suku, agama, ras, serta budaya seperti yang
terkandung di dalam pasal 27 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut: “Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Kemudian yang kedua, cara untuk menyelesaikan berbagai masalah terkait hal
tersebut yakni bagaimana tindakan para aparat penegak hukum mulai dari polisi, hakim,
jaksa, serta pengacara dalam menangani setiap kasus hukum dengan dilandasi nilai-nilai
kejujuran, sadar akan namanya keadilan, serta melakukan proses-proses hukum sesuai dengan
aturan yang ada di dalam undang-undang negara kita. Bukan hanya itu filosofi Pancasila
sebagai asas kerohanian dan sebagai pandangan hidup dalam bertindak atau sebagai pusat
dimana pengamalannya sesuai dengan cita-cita dan tujuan negara kita sebagaimana telah
dijelaskan dalam pembukaan UUD 1945 yang terdapat pada alinea ke-IV. Hukum seharusnya
tidak ditegakkan dalam bentuknya yang paling kaku, arogan, hitam putih. Tapi harus
berdasarkan rasa keadilan yang tinggi, tidak hanya mengikuti hukum dalam konteks
perundang-undangan hitam putih semata. Karena hukum yang ditegakkan yang hanya
berdasarkan konteks hitam putih belaka hanya akan menghasilkan putusan-putusan yang
kontoversial dan tidak memenuhi rasa keadilan yang sebenarnya.
Cara yang ketiga yakni program jangka panjang yang perlu dilakukan yakni
penerapan pendidikan karakter dalam setiap tingkatan pendidikan. Untuk mengetahui tingkat
keefektifan program tersebut dalam membangun atau menguatkan mental anak bangsa
ditengah penurunan kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia tidak semudah
membalikkan telapak tangan. Namun perlu kita pupuk dulu agar nantinya generasi-generasi
penerus bangsa tidak salah langkah dalam mengambil setiap keputusan. Program ini juga
mempunyai implikasi positif terhadap penegakan hukum yang dijalankan di Indonesia karena
para penegak hukum telah dibekali pembangunan karakter yang akan melahirkan atau
menciptakan manusia Indonesia yang unggul.
Untuk cara keempat yakni adanya penghargaan bagi jaksa dan hakim berprestasi yang
memberikan terobosan-terobosan dalam penegakan hukum di Indonesia. Dengan adanya
penghargaan ini diharapkan setiap jaksa maupun hakim berlomba untuk memberikan
terobosan yang bermanfaat bagi penegakan hukum di Indonesia.
Meskipun saat ini kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum masih
sangat rendah. Keberanian lembaga-lembaga hukum bangsa ini akan menjadi titik cerah bagi
penegakan hukum. Namun selain itu kesadaran masyarakat dalam menaati hukum akan
menjadi hal yang mempengaruhi penegakkan hukum di Indonesia. Karena lemahnya
penegakan hukum selama ini juga akibat masyarakat yang kurang menaati hukum.