Anda di halaman 1dari 13

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Determinasi Tanaman


Determinasi adalah membandingkan suatu tumbuhan dengan satu tumbuhan
lain yang sudah dikenal sebelumnya (dicocokkan atau dipersamakan), sehingga
dapat menghindari kesalahan dalam pengumpulan bahan yang akan diteliti. Daun
sorgum (Sorghum bicolor L.) yang digunakan dalam penelitian ini dideterminasi di
Laboratorium Biologi Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Hasil dari
determinasi menunjukkan apabila tanaman sorgum yang digunakan dalam
penelitian dapat dipastikan merupakan dari jenis Sorghum bicolor L. Moench. dan
suku Poaceae. Hasil identifikasi daun sorgum dapat dilihat pada Lampiran 2.

4.2 Hasil Ekstraksi Sampel


Daun sorgum yang digunakan dalam penelitian kali ini dikumpulkan dari
ladang yang terdapat di Jalan Magelang, KM 10, Yogyakarta. Daun diambil dalam
satu kali waktu saja untuk menghindari adanya perbedaan kualitas kandungan kimia
dalam daun yaitu pada bulan Februari. Daun yang dipilih berumur tidak terlalu tua
dan muda dan diharapkan mempunyai kandungan senyawa kimia yang optimal.
Daun yang dikumpulkan dicuci hingga bersih dan disortir agar sampel yang
digunakan dalam kondisi yang baik. Sampel dikeringkan dalam cabinet dryer
dengan suhu 50°C selama 2 hari, sehingga pengeringan sampel tidak di udara
terbuka, tidak tergantung terik matahari, dan sampel menjadi bersih dari debu dan
kotoran lain yang ada di udara. Simplisia yang telah kering kemudian diserbukkan
sebelum diekstraksi. Proses penyerbukkan bertujuan untuk memperkecil ukuran
simplisia agar pada proses ekstraksi luas permukaan semakin besar sehingga kontak
dengan pelarut juga semakin besar dan memudahkan penyarian kandungan kimia
di dalam simplisia.
Sampel 100 g serbuk daun sorgum dimaserasi dengan bantuan sonikator selama
30 menit. Ekstraksi ultrasonik dapat mengekstrak lebih banyak komponen

18
19

dibanding dengan maserasi tanpa bantuan sonikator, selain itu juga tidak
memberikan pengaruh terhadap terhadap perubahan komponen utama suatu bahan.
Ekstraksi dilakukan bertingkat menggunakan pelarut n-heksan dan etil asetat, yang
bertujuan untuk mendapatkan senyawa aktif dengan tingkat kepolaran yang
berbeda. Hasil maserasi yang diperoleh disaring dan diperas dengan mengunakan
corong buchner. Penelitian ini menggunakan pelarut etil asetat, dimana sifat
kelarutan etil asetat dapat melarutkan senyawa metabolit sekunder yang semipolar.
Filtrat dipisakan dengan residunya, kemudian filtrat di evaporasi menggunakan
rotary evaporator, secara organoleptis menghasilkan ekstrak kental berwarna hijau
pekat, kental, dan memiliki bau khas (Gambar 4.1) seberat 0,97 g, dan rendemen
yang dihasilkan sebesar 0,88 % dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Gambar 4.1 Hasil Ekstrak Kental Etil Asetat Daun Sorgum


(Keterangan : warna hijau pekat, kental, dan berbau khas)
Ekstrak yang dihasilkan dapat dipengaruhi oleh kepolaran pelarut yang
digunakan, dimana rendemen dari ekstrak pada pelarut polar menghasilkan nilai
rendemen yang tinggi. Rendemen pada pelarut etil asetat pada daun sorgum lebih
kecil dibandingkan dengan pelarut yang polar (etanol), yaitu sebesar 8,53% (Safitri,
et al., 2019), hal ini dapat disebabkan karena adanya gugus metoksi pada struktur
kimia pelarut etil asetat. Gugus metoksi pada etil asetat menyebabkan terbentuknya
ikatan hidrogen dengan senyawa pada ekstrak. Hasil rendemen dari etil asetat lebih
sedikit dipengaruhi oleh ikatan hidrogen yang terbentuk lebih lemah dibanding
ikatan hidrogen pada pelarut etanol yang merupakan pelarut polar (Ukhty, 2011).
20

Tabel 4.1.Nilai Rendemen Ekstrak


Ekstrak Bobot Serbuk Daun Bobot Nilai Rendemen
Sorgum (g) Ekstrak (g) (%)
Etanol 108,92 9,29 8,53
Etil Asetat 110,09 0,97 0,88%

4.3 Hasil Uji Identifikasi Fitokimia Ekstrak Etil Asetat Daun Sorgum
Skrining fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam suatu penelitian
fitokimia yang bertujuan memberi gambaran tentang golongan senyawa yang
terkandung dalam tanaman yang diteliti. Metode skrining fitokimia yang dilakukan
dengan melihat reaksi pengujian warna dengan menggunakan suatu pereaksi warna
(Kristianti, et al., 2008). Hasil skrining senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak
etil asetat daun sorgum dengan uji fitokimia ditunjukkan dalam Tabel 4.2.
Uji alkaloid dilakukan dengan menggunakan pereaksi mayer dan dragendorff
yang akan menghasilkan endapan. Hasil pengujian dengan pereaksi mayer
(Gambar 4.2) membentuk endapan yang menunjukkan bahwa ekstrak
mengandung senyawa alkaloid. Alkaloid mengandung atom nitrogen yang
mempunyai pasangan elektron bebas sehingga dapat digunakan untuk membentuk
ikatan kovalen koordinasi dengan ion logam. Pada uji alkaloid dengan pereaksi
Mayer, diperkirakan nitrogen pada alkaloid akan bereaksi dengan ion logam K+
dari kalium tetraiodomerkurat (II) membentuk kompleks kalium-alkaloid yang
mengendap (Marliana, et al., 2005).

Gambar 4.2 Hasil Uji Tabung Kandungan Alkaloid Dengan Pereaksi Mayer
(Keterangan : terbentuk endapan coklat)
Pada reaksi menggunakan reagen Dragendorf, ion logam K+ membentuk
ikatan kovalen koordinasi dengan alkaloid sehingga membentuk kompleks kalium-
alkaloid yang mengendap. Namun, pada pengujian menggunakan pereaksi
21

dragendorff (Gambar 4.3) menunjukkan hasil negatif. Hasil yang berbeda pada
tiap penggunaan pereaksi dapat disebabkan senyawa alkaloid yang terkandung pada
daun sorgum tidak terlalu reaktif terhadap pereaksi dragendorff dibanding mayer.
Alkaloid dikenal efektif terhadap pelarut nonpolar (n-heksan) dan dapat larut dalam
pelarut semi polar (etil asetat) (Harborne, 1987).

Gambar 4.3 Hasil Uji Tabung Kandungan Alkaloid Dengan Pereaksi Dragendorff
Flavonoid diuji keberadaannya dengan metode shinoda, alkaline test, dan
lead acetate test. Pada pengujian dengan metode Shinoda pada Gambar 4.4, hasil
menunjukkan ekstrak tidak berubah warna menjadi merah kecoklatan dan negatif
terdapat flavonoid. Kompleks berwarna merah kecoklatan dihasilkan dari ikatan
kovalen koordinasi antara ion magnesium dengan gugus -OH fenolik senyawa
flavonoid (Risky & Suyatno, 2014).

Gambar 4.4 Hasil Uji Tabung Kandungan Flavonoid Dengan Metode Shinoda
Pada pengujian untuk identifikasi keberadaan flavonoid
dengan metode alkaline test digunakan pereaksi NaOH 5% sebagai pereaksi
penunjuk flavonoid dalam sampel yang digunakan. Hasil yang ditujukkan pada
Gambar 4.5 tidak menghasilkan perubahan warna menjadi merah, sehingga
ekstrak negatif mengandung senyawa flavonoid. Hal ini dapat disebabkan karena
kepolaran pelarut yang digunakan pada ekstrak daun sorgum. Menurut Harborne
22

(1987) senyawa flavonoid merupakan senyawa polar yang memiliki beberapa


gugus hidroksil yang tidak tersulih (gula), dan akan larut pada pelarut yang bersifat
polar seperti aseton, butanol, etanol, dimetilsulfoksida, dan etanol.

Gambar 4.5 Hasil Uji Tabung Kandungan Flavonoid Dengan Alkaline Test
Uji kandungan triterpenoid dilakukan dengan kloroform dan asam sulfat
pekat. Hasil yang teramati pada Gambar 4.6 tidak terbentuk warna cokelat
kemerahan pada antarmuka. Hal ini menunjukan bahwa ekstrak tidak mengandung
senyawa triterpenoid. Triterpenoid tersusun dari rantai panjang hidrokarbon C30
yang menyebabkan sifatnya non-polar sehingga mudah terekstrak dalam pelarut
yang bersifat non polar. Ada beberapa senyawa triterpenoid berstruktur siklik yang
berupa alkohol, aldehid atau asam karboksilat. Senyawa yang berstruktur alkohol
yang memiliki gugus –OH menyebabkan sifatnya menjadi semi polar, sehingga
dapat terekstrak dalam pelarut etil asetat (semi polar) (Harborne, 1987).

Gambar 4.6 Hasil Uji Tabung Kandungan Triterpenoid Dengan Metode Salkowski
Pengujian steroid menggunakan reagen Liebermann-Burcard, pengujian
didasarkan pada kemampuan senyawa steroid berubah warna menjadi biru. Hasil
uji (Gambar 4.7) menunjukkan ekstrak berubah menjadi warna biru, menandakan
bahwa terdapat kandungan steroid yaitu phytosterol. Pada pereaksi Liebermann
Burchard, asam asetat anhidrida dan asam sulfat pekat bereaksi dan menghasilkan
23

warna hijau biru. Reaksi yang terjadi antara steroid dengan asam asetat anhidrat
adalah reaksi asetilasi gugus –OH pada steroid yang akan menghasilkan kompleks
asetil steroid (Ilyas, et al., 2015).

Gambar 4.7 Hasil Uji Tabung Kandungan Steroid Dengan Liebermann-Bauchardat


(Keterangan : terbentuk perubahan warna menjadi hijau kebiruan)
Hasil pengujian tanin (Gambar 4.8) menunjukkan tidak diperoleh
perubahan warna dan terbentuk endapan biru kehitaman yang menandakan tidak
positif terkandung senyawa tanin/polifenol. Terbentuknya warna hijau kehitaman
atau biru tinta pada ekstrak setelah ditambahkan dengan FeCl3 karena tanin akan
membentuk senyawa kompleks dengan ion Fe3+ (Harborne, 1987). Sifat polar pada
tanin dikarenakan adanya beberapa gugus OH dan larut pada pelarut polar
(Sriwahyuni, 2010).

Gambar 4.8 Hasil Uji Tabung Kandungan Tanin


Keberadaan senyawa saponin dapat diidentifkasi dengan menambahkan
aquades dan dikocok selama 10 detik, kemudian ditunggu beberapa menit dan akan
menghasilkan buih yang stabil. Hasil uji saponin pada Gambar 4.9 menunjukkan
tidak terbentuk buih sehingga menunjukkan ekstrak negatif terkandung saponin.
Saponin banyak ditemukan pada tumbuhan dan memiliki karakteristik berupa buih,
mudah larut dalam pelarut polar. Saponin memiliki glikosil sebagai gugus polar
serta gugus steroid atau triterpenoid sebagai gugus nonpolar sehingga bersifat aktif
permukaan dan membentuk misel saat dikocok dengan air (Sangi, et al., 2008).
24

Gambar 4.9 Hasil Uji Tabung Kandungan Saponin


Tabel 4.2.Data Hasil Skrining Fitokimia Ekstrak Etil Asetat Daun Sorgum
No. Kandungan Metode Pereaksi Hasil Pengamatan
kimia kimia
1. Alkaloid Mayer Pereaksi + Terbentuk
mayer endapan
warna coklat
Dragendorff Pereaksi - Tidak
dragendorff terbentuk
endapan
2. Flavonoid Shinoda Logam Mg + - Tidak
HClp terbentuk
kompleks
warna merah
kecoklatan
Alkaline test NaOH + HCl - Tidak terjadi
perubahan
warna merah
3. Triterpenoid Salkowski Kloroform + - Tidak
H2SO4 terbentuk 3
lapisan
(kuning, hijau
dan bening)
4. Steroid Liebermann- Asam asetat + Terjadi
burchard anhidrat + perubahan
H2SO4 warna
menjadi biru
kehijauan
5. Tanin Ferric FeCl3 - Tidak terjadi
chloride perubahan
warna
kompleks biru
6. Saponin Uji busa Air - Tidak ada
busa
Keterangan : (+) = positif mengandung senyawa, (-) = negatif mengandung senyawa
25

Berdasarkan penelitian dari Suganyadevi, et al., pada tahun 2013


menyatakan bahwa terdapat kandungan fenolik yaitu 3-deoxyanthocyanin yang di
ekstraksi dari biji sorgum merah dengan pelarut berupa metanol dan memiliki
aktivitas antiproliferatif dengan menginduksi mekanisme apoptosis pada sel kanker
payudara (MCF-7) serta memiliki IC50 sebesar 300 μg/ml. Apoptosis merupakan
kematian sel yang terprogram, dimana apabila terjadi disregulasi dalam signal
molekuler apoptosis menyebabkan kesalahan dalam proliferasi. Sehingga
mekanisme apoptosis berperan sangat penting dalam terapi kanker (Wong, 2011).
Menurut Suganyadevi, et al., pada simplisia biji sorgum terdapat kandungan
zat aktif yaitu senyawa fenolik, sedangkan pada penelitian ini daun sorgum hanya
mengandung alkaloid dan steroid. Perbedaan kandungan fitokimia dalam daun
sorgum diduga karena perbedaan pelarut, bagian tanaman yang digunakan, jenis
tanaman sorgum, tempat tumbuh maupun lingkungan.
4.5 Hasil Uji Aktivitas Sitotoksik Ekstrak Etil Asetat Daun Sorgum
Uji dilakukan menggunakan sel kanker payudara T47D dan sel vero sebagai
sel normal. Sel tersebut dikultur dalam media yang sesuai dan diinkubasi di dalam
inkubator CO2 pada suhu 37°C. Panen sel adalah tahapan penumbuhan dan
pengembangbiakkan sel dengan penambahan media kultur. Media kultur berfungsi
sebagai sumber nutrisi dan respirasi, serta memberi dukungan pada kehidupan sel
yang dibiakkan agar dapat tumbuh. Kultur sel yang telah konfluen kemudian
dipanen. Sel memiliki sifat adhesif yaitu mampu melekat pada substrat sehingga sel
menempel pada dasar wadah kultur (culture dish). Sel kemudian dicuci
menggunakan FBS dan dipanen dari culture dish menggunakan tripsin-EDTA
untuk membantu melepaskan sel. Sel yang telah dipanen diambil 10 μl dan
diletakkan di hemacytometer untuk selanjutnya dihitung jumlah selnya
menggunakan mikroskop inverted.
Metode yang paling umum dilakukan untuk perhitungan sel yang akurat dan
efisien adalah dengan menggunakan hemacytometer. Perhitungan sel ini dilakukan
dengan tujuan memastikan tiap sel didalam well memiliki jumlah yang sama.
Dalam metode ini digunakan satu bilik hitung dengan kedalaman 0,1 mm dan
persegi untuk mempermudah perhitungan. Perhitungan dapat berdasarkan dari sel
26

yang berada dibatas luar disebelah atas dan disebelah kanan atau berdasarkan sel
yang terdapat dibatas luar bagian kiri dan bawah. Suspensi sel didistribuskan
kedalam sumuran-sumuran 96 well plate sebanyak 100 μl dan diinkubasi selama 24
jam pada inkubator suhu 37 °C dengan aliran CO2 5%. Kontrol sel kemudian
ditambahkan 100 μl suspensi sel kedalam sumuran yang telah berisi media kultur.
Konsentrasi yang digunakan pada pengujian dengan metode MTT pada sel
T47D adalah (350; 300; 250; dan 200) ppm sedangkan pada pengujian dengan sel
vero digunakan konsentrasi (1000; 500; 250; dan 125) ppm. Perubahan morfologi
sel merupakan salah satu tanda terjadinya aktivitas sitotoksik yang dihasilkan dari
suatu senyawa setelah dilakukan perlakuan terhadap sel apabila dibandingkan
dengan kontrol sel (Putram, et al., 2017). Morfologi sel seperti Gambar 4.10 dan
Gambar 4.11 pada masing-masing konsentrasi diamati dengan menggunakan
mikroskop inverted setelah diberikan treatment. Adanya perlakuan dengan
penambahan ekstrak dapat menyebabkan perubahan morfologi sel. Konsentrasi 350
ppm yang merupakan konsentrasi tertinggi memiliki jumlah kematian sel kanker
yang lebih banyak teramati dibanding kontrol sel. Sel mati ditandai dengan bentuk
jernih, terlihat keruh, dan mengapung. Sedangkan sel hidup terlihat lonjong.

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 4.10 Morfologi Sel Kanker T47D Setelah Treatment pada Konsentrasi 350 ppm
(Keterangan : a : konrol sel , b : replikasi 1 , c : replikasi 2 , d : replikasi 3)
27

MTT ditambahkan secara langsung pada plate yang berisi medium kultur
sebanyak 100 μl dan diinkubasi selama kurang lebih 4 jam pada suhu 37 °C, CO2
5%. Sel diinkubasi dengan MTT dalam lingkungan yang sesuai bertujuan agar
jumlah sel hidup dapat terkuantifikasi sesuai dengan formazan yang terbentuk.
Kristal formazan berwarna ungu yang terbentuk terlarut dengan adanya
penambahan stopper yang mengandung SDS 10% dalam HCl 0,01 N sebanyak 100
μl. bertujuan untuk meghentikan reaksi yang terjadi. SDS berfungsi sebagai
deterjen yang dapat melisiskan membran sel dan mendenaturasi sel. Plate yang
sudah diberi stopper kemudian dibungkus dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu
ruang. Hasil secara kuantitatif didapatkan berdasarkan niali absorbansi yang telah
dibaca menggunakan ELISA reader dengan panjang gelombang 595 nm. Panjang
595 nm dikarenakan warna pada larutan uji berupa ungu akan menyerap warna
kuning dari spectra sinar tampak. Sel hidup yang aktif bermetabolisme berbanding
lurus dengan warna ungu yang terbentuk (CCRC, 2019).

a b

c d
Gambar 4.11 Morfologi Sel Vero Tiap Setelah Treatment pada Konsentrasi 1000 ppm
(Keterangan : a : kontrol sel , b : replikasi 1 ; c : replikasi 2, d : replikasi 3)
MTT diabsorbsi oleh sel hidup dan dipecah oleh sistem reduktase suksinat
tetrazolium yang termasuk dalam rantai respirasi di mitokondria, sehingga aktif
28

menjadi formazan. Viabilitas sel berbanding lurus dengan formazan yang terbentuk.
Istilah viabilitas sel ini lebih sesuai daripada kematian sel karena penurunan
aktivitas enzim belum tentu menunjukkan adanya kematian sel (Setiawati, et al.,
2011). Nilai absorbansi dari hasil uji sitotoksik dengan metode MTT setelah
diinkubasi selama 24 jam pada suhu ruang adalah sebagai berikut :
Tabel 4.3.Nilai Absorbansi Ekstrak Etil Asetat Daun Sorgum pada Sel T47D dari Berbagai
Konsentrasi
Konsentrasi Rata-Rata Absorbansi
(ppm) Replikasi 1 Replikasi 2 Replikasi 3
350 0,989 0,819 0,888
300 1,014 0,836 0,914
250 1,084 0,856 0,924
200 1,068 0,868 0,959
KS 0,954 0,772 1,028
KM 0,117 0,103 0,095
Keterangan : KS : Kontrol Sel, KM : Kontrol Media
Tabel 4.4.Nilai Absorbansi Ekstrak Etil Asetat Daun Sorgum pada Sel Vero dari Berbagai
Konsentrasi
Konsentrasi Rata-Rata Absorbansi
(ppm) Replikasi 1 Replikasi 2 Replikasi 3
1000 0,422 0,819 0,554
500 0,449 0,836 0,606
250 0,464 0,856 0,646
125 0,467 0,868 0,667
KS 0,456 0,772 0,562
KM 0,087 0,103 0.163
Keterangan : KS : Kontrol Sel, KM : Kontrol Media
Metode dikatakan memiliki linearitas yang tinggi apabila memiliki nilai r >
0,99 dan nilai r2 ≥ 0,997 (Harmita, 2004). Berdasarkan Gambar 4.12 dan 4.13
terlihat hubungan antara nilai dari konsentrasi dengan nilai persentase sel hidup
yang linear, dimana korelasi antara jumlah ekstrak yang ditambahkan dengan
absorbansi sel ditemukan kuat pada kedua sel yaitu sebesar 0,9732 pada sel T47D
dan 0,9827 pada sel Vero. Sehingga menunjukkan bahwa semakin tinggi pemberian
perlakuan maka kematian sel akan semakin meningkat (Attamimi, et al., 2017).
Aktivitas sitotoksik dibagi menjadi tiga berdasarkan nilai IC50 yaitu IC50
<100 µg/mL merupakan sitotoksik potensial, 100 µg/ml < IC50 <1000 µg/ml adalah
sitotoksik moderat dan tidak memiliki aktivitas sitotoksik jika IC50 >1000 µg/ml
(Prayong, et al., 2008). Nilai IC50 dari ekstrak etil asetat daun sorgum terhadap sel
29

T47D adalah 1234,612 ± 212,862 µg/mL dan pada sel Vero sebesar 2104,076 ±
735,909 µg/mL. Hasil pada ekstrak etanol daun sorgum sebesar 1601,406 ± 272,788
µg/mL pada sel T47D dan pada sel Vero sebesar 1799,294 ± 324,066 µg/mL
(Safitri, et al., 2019). Sedangkan ekstrak n-heksan daun sorgum memiliki nilai IC50
terhadap sel T47D yaitu 1374,437 ± 121,299 µg/mL serta 1748,937 ± 300,942
µg/mL terhadap sel Vero (Izzah, 2019). Berdasarkan nilai IC50 tersebut ketiga
ekstrak daun sorgum (Sorghum bicolor L.) dikategorikan tidak memiliki aktivitas
sitotoksik karena memiliki nilai IC50 >1000 µg/mL. Hal ini dapat disebabkan karena
ketiga ekstrak masih berbentuk crude extract (ekstrak kasar), dimana kandungan
senyawa yang terkandung didalam ekstrak masih dalam jumlah sedikit (Annisa,
2015). Oleh sebab itu, pada penelitian selanjutnya perlu dilakukan proses fraksinasi
ataupun isolasi senyawa aktif untuk meningkatkan aktivitasnya.

140
120
100
% SEL HIDUP

80 y = -0,026x + 114,08
R² = 0,9732
60
40
20
0
0 100 200 300 400
KONSENTRASI (PPM)

Gambar 4.12 Grafik Hubungan Konsentrasi Ekstrak dan Rerata Viabilitas Sel T47D dari
3 Kali Replikasi
Penelitian terhadap sel kanker yang berbeda juga sudah melaporkan
aktivitas sitotoksik dari ekstrak Sorghum bicolor L. Suganyadevi, et al., (2013)
melaporkan isolat dari ekstrak metanol daun sorgum merah memiliki nilai IC50
sebesar 300 μg/ml, dengan menunjukkan sifat antiproliferatif yaitu dengan
menginduksi apoptosis. Perbedaan nilai IC50 pemberian ekstrak daun sorgum dari
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah disebabkan oleh masing-masing
sel kanker yang memiliki karakteristik molekuler yang berbeda, oleh karena itu
sangat mungkin apabila respon yang timbul akibat permberian perlakuan juga
berbeda (Jenie & Meiyanto, 2009).
30

140
120

% SEL HIDUP
100
80 y = -0,0232x + 117,13
R² = 0,9827
60
40
20
0
0 200 400 600 800 1000 1200
KONSENTRASI (PPM)

Gambar 4.13 Grafik Hubungan Konsentrasi Ekstrak dan Rerata Viabilitas Sel Vero dari 3 Kali
Replikasi
Selain itu juga, penelitian Suganyadevi, et al., (2013) merupakan fraksi
metanol yang menggunakan biji sorgum merah, dimana tempat pengumpulan
sampel terdapat di Tamil Nadu, India. Sedangkan pada penelitian ini, sampel
dikumpulkan di Jalan Magelang, Yogyakarta. Kadar senyawa aktif yang
terkandung pada tanaman selain dipengaruhi oleh faktor genetik juga dipengaruhi
oleh faktor lingkungan tumbuhnya. Adanya variasi pada waktu pengambilan
sampel, tempat penanaman, metode pengolahan dan lain sebagainya berakibat pada
perbedaan dalam kandungan senyawa aktif pada tanaman yang sama (Cui, et al.,
2009). Sehingga terdapat perbedaan aktivitas ekstrak etil asetat daun sorgum dalam
menghambat sel kanker dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan
Suganyadevi, et al., (2013).

Sel T47D Sel Vero


5000 3892,958

4000 2852,34
2471,25
Nilai IC50

3000
2000 1094,959 1479,604
1129,273
1000
0
Rep 1 Rep 2 Rep 3
Replikasi

Gambar 4.14 Grafik Nilai IC50 pada Sel T47D dan Sel Vero Tiap Replikasi

Anda mungkin juga menyukai