Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN ISLAM


“PERKEMBANGAN FIQH”

OLEH KELOPOMPOK V :

NURFIDA

NIRWANA

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2018
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN FIQH

Didalam Al-Qur’an tidak kurang dari 19 ayat yang berkaitan dengan kata fiqh
dan semuannya dalam bentuk kata kerja,seperti didalam surat at-Taubah ayat 122.

Didalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan :

“Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang yang baik di sisi-Nya niscaya
diberikan kepadanya pemahaman ( yang mendalam ) dalam pengetahuan agama”

Dari ayat dan Hadits ini, dapat ditarik satu pengertian bahwa fiqh itu berarti
mengetahui,memahami, dan mendalami ajaran-ajaran agama secara keseluruhan. Jadi
pengertian fiqh dalam arti yang sangat luas sama dengan pengertian syari’ah dalam
arti yang sangat luas. Inilah pengertian fiqh pada masa sahabat atau pada abad
pertama Islam1.

 Secara istilah fiqh berasal dari kata faqaha yang berarti “memahami”
dan “mengerti”. Sedangkan menurut istilah syar’I,ilmu fiqh
dimaksudkan sebagai ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum
syar’I amali (praktis) yang penepatannya diupayakan memulai
pemahaman yang mendalam terhadap dalil-dalil yang terperinci.
 Secara definitif, fiqh berarti ilmu tentang hukum-hukum syar’I yang
bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili.
Dalam definisi ini fiqh diibaratkan dengan ilmu karena fiqh itu tidak
sama dengan ilmu seperti disebutkan diatas, fiqh itu bersifat dzanni.
Fiqh adalah apa yang dapat dicapai oleh mujtahid dengan dzannya,
sedangkan ilmu tidak bersifat dzanni seperti fiqh. Namun karena
dzanni ini kuat, maka ia mendekati kepada ilmu. Karenanya ilmu
definisi ini ilmu digunakan juga untuk fiqh.2

Dalam perkembangan selanjutnya, yakni setelah daerah islam meluas dan


setelah cara istinbath menjadi mapan serta fiqh menjadi satu ilmu yang tersendiri,
maka fiqh diartikan denagn; “sekumpulan hukum syara’ yang berhubungan dengan

1
A. Djazuli, edisi revisi ilmu fiqh penggalian,perkembangan dan penerapan hukum islam,
Prenadamedia Group, 2005, hlm. 4
2
Andi Achruh AB.Pasinringi, ilmu fiqh, Syahada, 2017, hlm. 13 dan 14.
perbuatan yang diketahui melalui dalil-dalinya yang terperinci dan dihasilakan
dengan jalan ijtihad’’. Atau lebih jelas lagi seperti yang dikemukakan oleh al-Jurjani
berikut ini:

“Fiqh menurut bahasa berarti paham terhadap tujuan seseorng pembicara. Menurut
istilah: fiqh ialah mengetahui hukum-hukum syara yang amaliah (mengenai
perbuatan, perilaku) dengan melalui dalil-dalilnya yang terperinci. Fiqh adalah ilmu
yng dihasilkan oleh pikiran serta ijtihad (penelitian) dan memerlukan wawasan serta
perenungan. Oleh sebab itu Allah tidak bisa disebut sebagai “Faqih” (ahli dalam
fiqh), karena bagi-Nya tidak ada sesuatu yang tidak jelas”

Pada masa ini orang yang ahli di dalam fiqh disebut dengan Faqih atau
dengan menggunakan bentuk jama’ yaitu Fuqaha. Fuqaha ini termasuk dalam
kategori ulama,meskipun tidak setiap ulama adalah fuqaha, ilmu fiqh disebut pula
dengan ilmu furu, ilmu alhal, ilmu halal wa al-haram, syara’I wa al-ahkam.

Seperti halnya dalam ilmu-ilmu yang lain, dalam disiplin ilmu fiqh pun,
Fuqaha sering berada di dalam menakrifkan (mendefinisikan) ilmu fiqh. Di samping
definisi dari al-Jurjani penulis sebutkan di atas. Seperti diketahui al-Jurjani menganut
mazhab Hanafi masih ada definisi lain dari mazhabi Hanafi, di mana fiqh diartikan
dengan “Ilmu yang menerangkan segala hak dan kewajiban” Definisi ini
menunjukkan definisi fiqh dalam arti yang sangat luas,termasuk di dalamnya
masalah-masalah yang berkaitan dengan akidah yang dikalangan mazhabi Hanafi
disebut dengan fiqh Akbar.

Al- Ghazali dari mazhab Syafi’I mendefinisikan fiqh dengan “faqih itu berarti
mengetahui dan memahami, akan tetapi dalam tradisi para ulama, faqih diartikan
denagn suatu ilmu tentaang hukum-hukum syara’ yang tertentu bagi perbuatan para
mukalaf, seperti wajib,haram,mudah (kebolehan), sunnah, makruh, sah, fasid, batal,
qodla, ada’an dan yang sejenisnya.”

Jelas bahwa pengertian fiqh itu berkembang. Mula-mula faqih meliputi


keseluruhan ajaran agama,kemudian faqih diartikan dengan ilmu tentang perbuatan
mukalaf,sehingga tidak termasu k ilmu kalam dan ilmu tasawuf,dan terakhir faqih
dipersempit lagi yaitu khusus hasil ijtihad para mujtahid.

Definisi fiqh yang dikemukakan di atas, hanya sekedar contoh. Sudah tentu
masih banyak definisi-definisi yang lain. Para ulama berbeda didalm menakrifkan
fiqh karena berbeda didalam memahami ruang lingkup fiqh dan dari sisi mana
mereka melihat fiqh. Walaupun demikian,tampaknya ada kencederungan bersama
bahwa fiqh adalah satu system hukum yang sangat erat kaitannya dengan agama
Islam.3

SEJARAH SINGKAT FIQH

Sebagaimana kami sebutkan dalam bahasa terdahulu , salah satu persiapan


untuk mempelajari bidang ilmu apapun adalah dengan memberi perhatian kepada
tokoh-tokoh terkemuka di bidang itu, berbagai pendapat dan gagasan serta kitab-
kitabnya yang penting.

Fiqh, seperti yang tersusun dalam kitab-kitab yang masih dipelajari hingga
kini, memiliki sejarah sebelas ratus tahun, artinya selama sebelas abad, tanpa putus,
sudah ada pusat-pusat penelaahan fiqh dan studi-studi yang berkaitan. Para guru
mendidik murid-murid dan mereka pada gilirannya, mendidik murid-murid lainnya,
dan ini berlangsung turun-temurun hingga sekarang. Lebih dari itu, hubungan antara
guru dan murid ini tidak pernah terputus.4

B. SUMBER-SUMBER FIQH

a. Sumber-sumber fiqh yang diwahyukan

1. Al-qur’an

Al-quran adalah sinar ilahi yang abadi, berkembang sinar cahayanya selama
masih berkembang layar alami ini. Didalam surah Al-Furqan ayat 32, Tuhan
menamakannya Al-Qur’an. Di permulaan surat Al-Furqan Tuhan menamaknnya Al-
Furqan.

Al-Qur’an diturunkan bertabyin (bersuku-suku), Allah menurunkan Al-


Qur’an bersuku-suku,berangsur-angsur, adalah untuk menerangkan suatu hukum atau
untuk menjawab suatu soal atau fatwa, dalm tempo 23 tahun. Hikmanya dilakukan
demikian, ialah supaya mudah dihafal oleh Rasul dan dipahami, dan supaya menarik
untuk mempelajari pengertian ibadat atau urusa-urusan akhirat juga mengandung
urusan-urusan rahasia dan tujuannya, bahkan merupakan rahmat bagi para ummat.
Dengan demikian pula hukum yang ditaklifkan datang berangsur-angsur. Dan Al-

3
A. Djazuli, edisi revisi ilmu fiqh penggalian,perkembangan dan penerapan hukum islam,
Prenadamedia Group, 2005, Hlm. 5- 6
4
M. Baqir Ash-Shadr, Murtadha Muthahhari, Pengantar ushul fiqh dan ushul fiqh perbandingan,
Pustaka Hidayah, 1993, Hlm. 179-180
Qur’an ini, selain mengandung urusan-urusan ibadat atau urusan-urusan akhirat, juga
mengandung urusan-urusan dunia.

Al-Qur’an terdiri dari 114 surah. Kumpulan ayatnya 6342 ayat. Kira-kira 500
ayat mengenai hukum, yang lain mengenai aqidah akhlak dan sebagainya.

Seluruh Al-Qur’an dinukilkan kepada kita secara mutawatirah, baik yang


demikian dengan tulisan ataupun dengan dinukilkan dengan hafalan. Deia
memfaedahkan yakni, yang wajib kita amalkan. Orang yang mengingkarinya
dihukum kafir.

Inilah sumber tasyri’ yang pertama, sumber asli yang memberi hak hidup
kepada yang lain. Dalam pada itu, dalam kaitannya dengan hukum, maka adakala
qath’I, adakala dhanni yaitu dikala lafadnya menerima dua makna.

Hukum yang dicakupi Al-Qur’an. Al-Qur’an mengemukakan kaidah-kaidah


kulliyah. Tidak menerangkan segala hukum secara terperinci. Dan karenanyalah
mempunyai daya tahan sepanjang masa dan dapat sesuai dengan suasana dan suasana,
kondisi tiap masyarakat. Yang demikian inimpula merupakan segi kemu’jizatannya.
Kebanyakan hukumnya mujmal, perinciannya diserahkan kepada ahli ijtihad. Yang
menjiwai hukum-hukumnya, adalah menolak kemelarantan dan menghilangkan
kepicikan.

2. As-Sunnah

Dikehendaki dengan As-Sunnah disini, ialah “seagala yang dinukilkan dari


Rasul SAW”.

Dan As-Sunnah adakala Qauliyah yaitu hadits-hadits yang Nabi SAW.


Lafadhkan atau sabdakan, adakala Fi’liyah yaitu sesuatu yang Nabi SAW. Kerjakan
untuk disyari’atkan dan adakala Taqririyah, yaitu suatu perbuatan yang dikerjakan
sahabat dihadapan Nabi SAW. Atau Nabi SAW mengetahui orang mengerjakan dan
Nabi SAW. berdiam diri. Perbuatan-perbuatan Nabi SAW. Yang merupakan
kebiasaan, seperti makan dan minum, tidur dan lain-lain tidak dihukum sunnah.

Sebagaiman ulama membatasi sunnah dengan perbuatan-perbuatan yang


berdasarkan wahyu, merupakan penjelasan bagi Al-Qur’an menampakkan hukum Al-
Qur’an itu.
Kedudukan As-Sunnah

Sunnah ialah sumber yang kedua tasyr’I yang wajib kita ikuti. Demikianlah
pertanyaan seluruh ulama islam (hanya ada satu firqah saja yang menolak daya hujjah
yang ditetapkan oleh As-Sunnah).

Seabagaimana bukti yang nyata bahwa sunnah mempunyai daya hujjah dan
menduduki tempat kedua sesudah Al-Qur’an ialah sabda Nabi SAW. didalam haji
wada : “ Aku tinggalkan padamu dua urusan, sekali-kali kamu tidak akan sesat
sesudah keduannya : Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya”.

Sebabnya martabat hadits dibawah martabat Al-Qur’an, adalah karena Al-


Qur’an baik secara jumlah, maupun secara tafshil, kita terima secara qath’i.
karenannya apabila berlawanan kitab dengan sunnah, digabungkan antara keduannya
jika mungkin . jika tidak mungkin maka Al-hadits itu ditinggalkan. Berpegangan
hadits sebenarnya sama dengan berpegang kepada Al-Qur’an, karena hadits itu
pensyarah, penafsir dan pentabyin Al-Qur’an. Oleh karenanya kita dapat memperoleh
hadits yang membahas segala bab fiqh dan karenanyalahh kitab-kitab hadits dapat
dibagi menurut pembagian kitab fiqh.

Dalam pada itu, menurut kenyataan ada beberapa hukum yang tidak terdapat
dalam Al-Qur’an, namun terdapat didalm hadits saja, seperti syuf’ah, khiyar syarath
sesuai kaidah : “ tak boleh memelaratkan seseorang dan tak boleh dimelaratkan
orang”

3. Sumber- sumber yang tidak diwahyukan

a. IJMA’

Ijma ialah kebulatan pendapat para mujtahidin dari ummat islam di sesuatu
masa, sesudah berakhir zaman risalah terhadap sesuatu hukum syara’

Untuk menempatkan adanya ijma’ yaitu:

1. Berwujud ijma’ seagala mujtahid terhadap sesuatu pendapat walaupaun


mereka berjumlah kecil asalkan taka da lagi mujtahid yang dapat turut serta
memberikan pendapat.
2. Berwujud kesepakatan seluruh para mujtahid. Inilah sebab Umar melarang
para sahabat ahlli ilmu pergi dari Madinah.kalau ada dua pendapat, maka ada
kemungkinan pada suatu ketika pendapat golongan yang kecil yang benar.
Ada ulama yang menyatakan,bahwa apabila telah disetujui oleh orang banyak,
sudah menjadi ijma’.
3. Yang mereka ijma’I masuk hukum syar’i yang dapat diwujudkan denag
ijtihad, seperti hal-hal yang bersangkutan paut dengan halal, haram, sah dan
batal.
4. Ijma’ itu berlaku sesudah Rasul wafat.

Ijma’ memerlukan dalil. Sebagai fuqaha berpendapat, bahwa sahnya sesutau ijma’
apabila ada dalil yang menjadi sandarannya. Sebagian mereka berpendapat, tak perlu
kepada adanya dalil, karena jika ada dalil, maka dalil itu sajalah yang menjadi
hujjah,taka da faedah ijma’. Kata mereka : “ Telah pernah terjadi ijma’ atas sesuatu
yang tak berdalil, yaitu sahnya penjualan dan pembelian secara mu’athah”.

b. Pendapat sahabat (Qaulush Shahabi)

Pendapat sahabat yang kita maksudkan yang kita pandang pendaptnya hujjah,
ialah sahabat yang telah beriman sebelum Hudaibiyah, turut berperang bersama Nabi
SAW. dalam suatu peperangan atau terkenal dan masyhur dalam bidang fatwa dan
fiqh serta bergaul lama dengan Nabi SAW. demikianlah menurut pendapat seluruh
ulama ushul.

Perkataan shahabi “kunna naf’alu = kami berbuat, wanaqulu = dan kami


berkata”…….. di zaman Nabi SAW. atau : kami”, memberi peringatan, bahwa
shahabi itu menerangkan sesuaru sunnah. Pendapat seseorang shahabi tidak lazim
(harus) diikuti oleh shahabi lain.

Mengenai pendapat shahabi yang merupakan sesutau yang tidak mungkin


dicapai dengan akal, tentulah yang demikian itu dijadikan hujjah, mengingat bahwa
shahabi itu tentu mengatakan pendapatnya berdasar sesutau keterangan yang
diperoleh dari Nabi Saw. seperti membatasi masa minimal berlangsungnya haidl,
menurut ibnu Mas’ud tiga hari, menurut Aisyah, tak ada kehamilan melampaui dua
tahun.

Pendapat shahabi yang kita tidak ketahui ada shahabi yang meneragkang
menentangnnya, dapat dijadikan hujjah karena diamnya shahabi-shahabi itu sesuai
dengan kehendak syara’.
c. Uruf

Uruf ialah sesuatu yang telah dibiasakan dan diterima oleh tabiat yang
sejahtera dan telah dibiasakan oleh penduduk suatu daerah, dengan syarat tiada
menyalahi semua syara’

 Adat dan uruf searti


Menurut Amirul Haj bahwa adat lebih lengkap daripada uruf jika ada
itu bersumber urusan tabi’at atau akal dan diterima oleh tabi’at yang
sejahtera, maka dia dinamai uruf. Jika sumberrnya hawa nafsu maka
dia dinamai adat yang merusakkan.
 Uruf itu terbagi dua :
1. Uruf qauli, yaitu mempergunakan sesuatu kata untuk sesuatu arti
yang terbatas,seperti memperbatas kata “daabbah” untuk binatang
yang empat kaki dan mempergunakan kata “walad” untuk anak
lelaki.
2. Uruf amali,yaitu suatu yang telahdibiasakan,seperti jual beli secara
mu’athah dan seperti uruf-uruf yang biasa berlaku antara tukng-
tukang dan para pekerja.

Uruf merupakan suatu dalil hukum. Ahli fiqh sependapat menetapkan


bahwa uruf secara umum merupakan suatu dalil untuk mengetahui hukum
fiqh apabila tidak diperboleh nash, baik dari Kitabullah maupun dari Sunnah
Rasul.

d. Al-Qiyas

Qiyas adalah menghubungkan sesuatu urusan yang tak ada nashnya baik dari
Al-Qur’an maupun Sunnah dengan nash-kan hukumnya karena bersekutu tentanng
illat yang karenanya diisyaratkan hukum.

Qiyas mempunyai 4 rukun:

1. Maqis ‘alaihi (asal= pokok)


2. Maqis (furu’= cabang)
3. Illat,
4. Hukum pokok
e. al-Istihsan

Istihsan ialah bepaling pada sesuatu masalah dari seperti hukum yanngn telah
diberikan padanya yang dikecualikan karena ada sesuatu dalil yang dipandanng kuat.

Golongan Hanafiyah adalah golongan yang paling banyak berhujjah denag


istihsan. Sedangkan golongan Malikiyah dan Ibnu Hanbal juga mempergunakan
istihsan. Tetapi Asy Syafi’I membantah dasar menetapkan hukum dengn istihsan ini.

Macam-macam istihsan:

1. Istihsan dengan nash seperti akad salam.


2. Istihsan dengan ijam’ seperti akad istihsan.
3. Istihsan denagn uruf, seperti berjual beli terhadap sesuatu dengan tidak
diketahui, seperti membelinnasa rantang.
4. Istihsan yang sabit dengan darurat, seperti mengatkan suci sisa minum
binatang baus lantaran sukur menghindarinya.
5. Istihsan yang sabit dengan mashlahah (karena ada mashlahah) seperti
mengharuskan perusahaan cucian umpamanya mengganti harga baju
cuian, apabila hilang ditangnnya.

f. Al- Mashlahah Al-Mursalah

Al- Mashlahah al- mursalah ialah tiap-tap masalah yang tidak dikaitkan
dengan syara’ yang menyebabkan kita menghargai atau tidak menghargainya,
padahal dalam menghargainya ada manfaat atau tertolak madlarat.

Mashlahah-mashlahah itu ada yang diiktibarkan ada yang tidak diiktibarkan,


dan ada mashlahah-mashlahah yang tidak berkait dengan sesuatu nash yang
menyuruh kita mengiktibarkannya dan dia tidak mempunyai sesuatu dasar yang
tertentu. Inilah yang dinamai : mashlahah marsalah

Mashlahah marsalah ini, telah dieprgunakan oleh para sahabat tabi’in dan
mujtahid-mujtahid masa pertama. Diantara yang mengakui dasar ini, ialah golongan
Malikiyah, jumhur fuqaha dari ketiga madzhab dan segolongan Khawarij. Yang
sangat menonjol dalam mempergunakan mashlahah ini ialah Ath Thurfi (wafat pada
tahun 716 H) Golongan yang membantah dasar ini, ialah golongan Dhahiriyah,Syi’ah
Imamiyah,Al Amidi dari golongan Syafi’iyah dan Ibnu Hajib dari golongan
Malikiyah.
g. Istishab

Istishab ialah hukum yang telah ada tetap berlaku baik dimasa yang telah lalu
dan terhadaap apa yang ada.

Macam-macam istishab:

1. Istishab adam ashli (baraah asliyah), yakni terlepas dari tanggung jawab
(terlepas dari sesuatu hukum) sehingga ada dalil yang menunjukkan
kepadanya. Hukum istishab ini dipandang hujjah.
2. Istishab atsar yang telah ditunjuki oleh akal dan oleh syara’ sehingga ada
dalil yang menantang dalil telah dipandang ada yang ditunjuk itu, seperti
si istri tetap dihukum halal sesudah ada akad perkawinan.
3. Istishab dalil padahal ada kemungkinan adanya sesuatu yang menantang,
baik yang menantang itu bersifat mukhassish, ataupun bersifat nasikh.
Istishab ini diamalkan. Maka dalil yang umum tetap dipandang umum.
4. Istishab hukum yang telah diijma’i ditempat yang diperselisihkan.

h. Dzari’ah

Dzari’ah adalah sesuatu yang menyampaikan kita kepada sesuatu yang


dilarang yang mengandung kerusakan.

Menurut ibnul Qayyim, Dzari’ah ialah apa yang menjadi wasilah dan jaln kepada
sesuatu. Jelasnya suatu wasilah yang membawa kepada hasil sesuatu yang dilarang.
Dalam pada itu dia tidak merupakan satu-satunya jalan yang menyampaikan kepada
yang dilarang itu.

Hukum Dzari’ah
Hukum disyari’atkan ada dua macam:

1. Hukum yang dimaksudkan (muqashid) yang merupakan suatu maslahah


atau merupakan suatu mafsadat
2. Hukum yang menyampaikan kepada hukum yang dimaksud (wasail) maka
apabila wasilah itu menyampaikan kepada sesuatu mushalahh, niscaya
wasilah itu memperoleh hukum yang diamksud itu wajib atau mubah. Dan
apabila dia menyampaikan kepada mafsadat, niscaya dai memperoleh
3. hukum yang dimaksudkan itu, haram atau makruh.5

5
Teungku Muhammad Hasbi, pengantar ilmu fiqh,penerbit PT. Pustaka Rizki Putra, 1997, Hlm. 177-
196
C. SEJARAH PERKEMBANGAN FIQH
Al-Ustadz Abdul Wahab Khalaf membaginya empat periode yaitu: (1) Masa
Rasulullah,(2)Masa sahabat,(3)Masa pembukaan fiqh dan imam-imam
mujtahid,dan(4)Masa taklid.

Di Indonesia, A. Hanafi M.A.,membaginya menjadi lima fase: (1) fase


permulaan hukum islam,(2) fase persiapan hukum islam,(3)fase pembinaan dan
pembukuaan hukum islam,(4)fese kemunduran hukum islam,dan (5) fase
kebangunan.

Sejalan dengan perkembangan ilmu fiqh,sistematiknya dibagi kepada lima


periode yaitu: (1)periode Rasulullah,(2)periode sahabat,(3)periode imam-imam
mujtahid,(4)periode kemunduran,(5)periode kebangunan kembali.

A). periode rasulullah


1. Masa Mekkah dan Madinah.
Periode ini dimulai sejak diangkatanya Muhammad Saw.menjadi Nabi dan

Rasul sampai wafatnya. Periode ini singkat. Hanya sekitar 22 tahun dan
beberapa bulan saja. Akan tetapi,sangat menentukan. Pengaruhnya terhadap
perkembangan ilmu fiqh selanjutnya besar sekali. Masa rasulullah inilah yang
mewariskan sejumlah nash-nash hukum baik dari Al-Qur’an maupun Al-Sunnah,
mewariskan prinsip-prinsip hukum islam baik yang tersurat dalam dalil-dalil kulli
maupun yang terserit dari semangat al-Qur’an dan Al-Sunnah.

Periode Rasulullah ini dibagi dua masa yaitu: masa Mekkah dan masa
Madinah. Pada masa Mekkah,diarahkan untuk memperbaiki akidah,karena akidah
yang benar inilah yang menjadi pondasi dalam hidup.Oleh karena itu,dapat kita
pahami apabila Rasulullah pada masa itu memulai dakwahnya dengan mengubah
keyakinan masyrakat yang musyrik menuju masyarakat yang berakidah tauhid. Di
Madinah,tanah air baru bagi kaum Muslimin-kaum Muslimin bertambah banyak dan
terbentuklah masyarakat muslimin yang menghadapi persoalan-persoalan baru yang
membutuhkan cara pengaturan-pengaturan baik dalam hubungan antara individu
muslimin maupun dalam hubungannya dengan kelompok lain di lingkungan
masyrakat Madinah,seperti kelompok Yahudi dan Nasrani. Oleh karena
itu,diMadinah disyariatkan hukum yang meliputi keseluruhan bidang ilmu fiqh.

2. Sumber Hukum Masa Rasulullah


a. Al-qur’an
Al-qura’an diturunkan kepada rasulullah tidaklah sekaligus,berbeda
dengan turunnya Taurat kepada Nabi Musa. Al-qur’an turun sesuai dengan
kejadian/peristiwa dan kasus-kasus tertentu serta menjelaskan hukum-
hukumnya, memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan atau jawaban
terhadap permintaan fatwa.
b. Al-Sunnah
Seperti telah diuraikan dalam bab-bab terdahulu bahwa Al-sunnah
berfungsi menjelaskan hukum-hukum yang telah ditegaskan dalam Al-
Qur;an. Seperti shalat dijelsakan cara-caranya dalam Al-Sunnah.
Diamping itu juga menjadi penguat bagi hukum-hukum yang telah
ditetapkan dalam Al-Qur’an. Ada pula Hadits yang memberi hukum
tertentu, sedangkan prinsip-prinsipnya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an.6
c. Ijtihad pada masa Rasulullah
Secara bahasa, ijtihad adalah mengerahkan segenap tenaga dan
kemampuan untuk memperoleh sesuatu yang diinginkan. Didalam hadits
Mu’adz yang terkenal, ada kata-kata, “Ajtahidu ra’y”, dalam penegertian,
“Aku akan mengerahkan segenap kemampuan untuk memperoleh
kebenaran”.

Sedangkan secara terminologis, para ulama ushul memandang bahwa


ijtihad adalah, “Pengerahan segenap kesungguhan dan kemampuan yang
dimiliki seorang ahli fiqh untuk menghasilkan keyakinan atau ilmu
tentang suatu hukum”-sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam al-
Ghazali.7

Pada zaman Rasulullah pun ternyata Ijtihad dan dilakukan oleh


Rasulullah dan juga dilakukan oleh para sahabat, bahakan ada kesan
Rasulullah mendorong para sahabtnya untuk berijitihad seperti terbukti
dari cara Rasulullah sering bermusywarah dengan para sahabatnya dan
juga dari kasus Muadzin bin Jabal yang diutus ke Yunan. Hanya saja
Ijtihad pada zaman Rasulullah ini tidak seluas pada zaman sesudah
Rasulullah, karena banyak maaslah-masalah yang ditanyakan kepada
Rasulullah kemudian langsung dijawab dan diselsaikan oleh Rasulullah
sendiri. Disamping itu ijtihad para sahabat pun apabila salah, Rasulullah

6
A. Djazuli, edisi revisi Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum islam,
Prenadamedia Group, 2005, hlm. 139-161
7
Abdul Halim ‘Uways, Fiqih Statis Dinamis, Pustaka Hidayah, 1998, Hlm. 177
mengembaliknnya kepada yang benar. Seperti dalam ijtihad Amar bin
Yasir yang berjunub (hadats besar) yang kemudian berguling-guling
dipasir untuk menghilangkan hadats besarnya. Cara ini salah, kemudian
Rasulullah menjelaskan bahwa orang yang berjunub tidak menemukan air
cukup dengan tayamum.

B). Periode Sahabat


Pada masa ini dunia Islam sudah meluas, yang mengakibatkan adanya
masalah-masalah baru yang timbul, oleh karena itu tidaklah mengherankan
apabila para periode sahabat ini dibidang hukum ditandai dengan penafsiran
para sahabat dan ijtihadnya dalam kasus yang tidak ada nash-nya. Disamping
itu juga terjadi hal-hal yang tidak menguntungkan yaitu pecahnya masyarakat
Islam menjadi beberapa kelompok yang bertentangan secara tajam.
Perselisihan suku ini memang ada pada zaman jahiliyah, kemudia pada zaman
Rasulullah dinetralisasi dengan konsep dan pelaksanaan ukhuwah islamiyah;
periode sahabat ini dimulai dari wafatnya Rasulullah SAW., sampai akhir
abad pertama hijrah.
1. Sumber hukum
Pada periode sahabat ini ada usaha yang positif yaitu
terkumpulnya ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf. Ide untuk
mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf datang dari
Umar bin Khattab, atas dasar karena banyak para sahabat yang hafal
Al-Qur’an gugur dalam peperangan.
Adapun Hadits pada masa ini belum terkumpul dalam satu kitab
memang pekerjaannya lebih sulit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al-
Qur’an karena: ayat-ayat Al-Qur’an waktu Nabi meninggal telah
tertulis, hanya masih berpencar-pencar belum disatukan. Nabi selalu
minta untuk menbuliskan Al-Qur’an dan melarang menuliskan Hadits.
Dengan demikian tidak bercampur antara ayat Al-Qur’an dan Hadits.

2. Ijtihad sahabat
Adapun cara berijtihad para sahabat adalah pertama-tama
dicari nash-nya dalam Al-Qur’an, apabila tidak ada, dicari dalam
Hadits, apabila tidak ditemukan baru berijtihad dengan
bermusyawarah diantara para sahabat. Inilah bentuk ijtihad Jama’i.
apabila mereka bersepakat terjadilah ijma sahabat. Keputusan
musyawarah ini kemudian menjadi pegangan seluruh umat secara
formal. Khalifah Umar bn Khattab misalnya mempunyai dua cara
musywarah, yaitu: “musyawarah yang bersifat khusu dan musyawarah
yang bersifat umum”. Musyawarah yang bersifat khusus
beranggotakan para sahabat Muhajirin dan Anshor, yang bertugas
memusyawarahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan
kebijaksanaan pemerintah. Adapun mustawarah yang bersifat umum
dihadiri oleh seluruh penduduk Madinah yang dikumpulkan di Masjid,
yaitu apabila ada masalah yang sangant penting, seperti kasus tanah di
Irak yang dijadikan tanah Khardj.

C). Periode Imam Mujtahid dan Pembukuan Ilmu Fiqh


Periode ini berlangsung selama kurang lebih 250 tahun, dimulai dari
awal abad kedua hijrah sampai pertengahan abad keempat hijrah.
1. Sumber Hukum
Ada dua hal yang penting tentang Al-Qur’an pada masa ini
yaitu: pertama: (adanya kegiatan) menghafal Al-Qur’an dan kedua:
memperbaiki tulisan Al-Qur’an dan memberi syakal terhadap Al-
Qur’an.
2. Yang diwariskan oleh periode ini kepada periode selanjutnya
Hal-hal yang terpenting yang diwariskan oleh periode ini kepada
periode berikutnya antara lain:
a. Al-Sunnah yang telah dibukukan
b. Fiqh yang telah dibukukan lengkap dengan dalil dan alasannya
c. Dibukukannya ilmu ushul fiqh
d. Adanya dua aliran yang menonjol pada periode ini yaitu yang
terkenal dengan nama Madrasah Al-Hadits dan Madrasah Ar-
Ra’yi.

D). Periode Kemunduran


Periode ini dimulai dari pertengahan abad keempat Hijriah sampai
kurang lebih akhir abad ke 13 H yaitu waktu pemerintah Turki Utsmani
memakai kitab Undang-undang yang dinamai Majalah Al-Hakam Al-Adliyah.
Dalam Undang-undang tersebut materi-materi fiqh disususn dengan sistematis
dalam satu kitab Undang-undang hukum perdata.
1. Faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran
Pada periode ini umat Islam mengalami kemunduran dibidang
politik, pemikiran, mental, dan kemasyarakatan yang
mengakibatkan pula kemunduran dalam bidang fiqh:
1). Kemunduran dibidang politik
Misalnya terpecahnya dunia Islam menjadi beberapa wilayah
kecil yang masing-masing keamiran hanya sibuk saling berebut
kekuasaan, saling memfitnah, dan berperang sesama Muslim yang
mengakibatkan ketidakamanan dan ketidaktentraman masyarakat
Muslim. Kondisi ini menyebabkan kurangnya perhatian terhadap
ilmu dan pemikiran tentang fiqh
2). Dengan dianutnya pendapat mazhab tanpa pikiran yang kritis
serta dianggapnya sebagai sesuatu yang mutlak benar, menyebkan
orang tidak mau meneliti kembali pendapat-pendapat tersebut
3). Dengan banyaknya kitab-kitab fiqh, para ulama dengan mudah
bisa menemukan jawaban-jawaban terhadap masalah-msalah yang
dihadapi.
4). Dengan jatuhnya Cordoba sebagai pusat kebudayaan Islam di
Barat tahun 1213 M dan kemudian jatuhnya Baghdad sebagai
pusat kebudayaan Islam di Timur tahun 1258 M, maka
berhentilah denyut jantung kebudayaan Islam baik di Barat
maupun di Timur.

2. Klasifikasi Mujtahid
Kerja para ulama pada masa ini sekitar hasil ijtihad para imam-
imam mujtahid yang sebelunmya. Misalnya membuat ikhtisar-
ikhtisar yang disebut matan. Kemudian matan ini diberi
penjelasan-penjelasan yang disebut syarah dan syarah-syarah ini
diberi penjelasan-penjelasan lagi yang disebut hasyiah. Kadang-
kadang juga mengumpulkan pendapat-pendapat yang ada dalam
satu mazhab tertentu kemudian memisah-misahkannya antara
pendapat yang kuat dari pendapat yang kurang kuat. Hal ini tidak
mengandung arti tidak ada sama sekali ulama yang memiliki
kemampuan berijtihad, hanya saja mereka dalam ijtihadnya selalu
mengikat diri dengan mazhab yang ada. Atas dasar ini kemudian
timbul istilah-istilah yaitu:

1). Mujtahid mutlak atau mujtahid mustaqil atau mujtahid fi syar’I,


yaitu mujtahid yang mempunyai metodologi yang mandiri dalam
istinbat hukum, mereka inilah imam-imam mazhab seperti Abu
Hanifah, Maliki, Al-Syafi’I dan Ahmad Ibn Hanbal.

2). Mujtahid Muntasib, yaitu para mujtahid yang mengikuti


pendapat imam mazhab dalam usul atau metode berijtihad.

3). Mujtahid fi Al-Mazhab, yaitu mujtahid yang mengikuti imam


mazhab baik dalam usul maupun furu’ hanya berbeda dalam
penerapannya.

4). Mujtahid fi Al-Masail, yaitu mujtahid yang membatasi diri


hanya berijtihad dalam hal-hal yang belum diijtihadi oleh imam-
imam mereka, dengan menggunakan metode imam-imam mereka.

5). Ahlul Takhrij, yaitu fuqaha yang kegiatannya terbatas


menguraikan dan memperjelas pendapat-pendapat yang samar dan
janggal yang ada dalam mazhabnya.

6). Ahli Tarjih, yaitu fuqaha yang kegiatannya hanya menarjih atau
menguatkan pendapat-pendapat yang berbeda yang ada dalam
mazhabnya.

E). Periode Kebangunan kembali

1. Tanda-tanda Kemajuan

a. Dibidang perundang-undangan

Periode ini dimulai dengan masa berlakunya majalah Al-Hakam Al-


Adliyah yaitu kitab undang-undang hukum perdata Islam pemerintah Turki
Utsmani pada tahun 1292 H atau tahun 1876 M. Baik bentuk maupun isi dari
kitab undang-undang tersebut berbeda dengan bentuk dan isi kitab fiqh dari
satu mazhab tertentu. Bentuknya adalah bentuk da nisi mazhab tertentu saja.
Meskipun warna Hanafi sangat kuat.
b. Dibidang Pendidikan

Diperguruan-perguruan tinggi agama di Mesir, Pakistan maupun di


Indonesia dalam cara mempelajari fiqh tidak hanya dipelajari satu mazhab
tertentu, tetapi juga dipelajari mazhab-mazhab yang lain secara muqoronah
atau perbandingan, bahkan juga dipelajari system hukum adat dan system
hukum Romawi.

c. Dibidang penulisan buku-buku dalam bahasa Indonesia dan penerjemahan

seperti kita ketahui ajaran Islam pada umumnya dan fiqh pada
khususnya tertulis dalam puluhan ribu kitab yang berbahasa Arab. Sudah
tentu ilmu-ilmu tertulis dalam bahasa Arab itu hanya sedikit orang-orang
Indonesia yang mampu membaca dan memahaminya. Kegiatan penulisan
tentang ushul fiqh dan fiqh dalam bahasa Indonesia. Baik yang sudah dicetak
dan tersebar luas dimasyarakat maupun yang masih diktat-diktat yang
stensilan. Demikian pula halya dengan penerjemahan menampakkan kegiatan
yang meningkat meskipun masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan
jumlah kitab-kitab yang baik untuk diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.
Oleh karena itu, untuk jadi seorang ahli dalam fiqh tetap harus kembali
membaca dan meneliti kitab-kitab fiqh aslinya dalam bahasa Arab.

2.Penilaian Dunia Internasional Terhadap Syari’ah Islam

Pada bulan Agustus1932 berlangsung konferensi perbandinagn hukum


Internasional di Den Haag, negeri Belanda. Dalam konferensi itu Prof. Dr. Ali
Badawi berbiara tentan; hubungan antara agama dan hukum, sebagai jalan
untuk sampai kepada pembicaraan tentang syariah Islam. Akhirnya konferensi
memutuskan agar dalam konferensi selanjutnya diadakan bagian khusus bagi
syariah Islam sebagai alah satu sumber dalam perbandingan hukum.

Pada akhirnya konferensi memutuskan antara lain:

1. Hukum Islam sebagai salah satu sumber perundang-undangan


umum
2. Hukum Islam berdiri sendiri, tidak mengambil dari hukum
Romawi
3. Hukum Islam adalah hukum yang hidup dan dapat berkembang.8
8
A. Djazuli, edisi revisi Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum islam,
Prenadamedia Group, 2005, hlm. 139-161
D. SEBAB-SEBAB PERKEMBANGAN FIQH
a. Diantara sebab-sebab perkembangan fiqh ialah
Bertambah luasnya daerah wilayah pemerintahan Islam dan bertambah
banyaknya suku-suku dan bangsa-bangsa yang memeluk agama Islam yang
berbeda-beda adat istiadatnya. Masing-masing mereka mempunyai
kebudayaan sendiri, antara satu dengan yang lainnya terjadi akulturasi,
pertukaran kebudayaan, perhbungan perjanjian dan timbulnya masalah-
masalah baru, dan transaksi yang membutuhkan penyelesaian hukum.
b. Tersebarnya para fuqaha ke berbagai kota besar.
Para fuqaha pindah ke berbagai kota yang tunduk di bawah
pemerintahan Islam. Mereka datang kesana adakala bersama-sama dengan
tentara yang memperoleh daerah itu, dan adakalanya mereka dikirim untuk
menjadi hakim pemberi fatwa atau untuk mengumpulkan kekayaan Negara
atau pula mereka datang untuk mempelajari hadits, untuk memperoleh
penghidupan.
c. Diantaranya pula banyaknya fatwa-fatwa dan peristiwa-peristiwa.
Kaum Muslimin ingin supaya segala rupa tindak tanduk mereka sesuai
benar dengan hukum syariat. Oleh karenanya mereka banyak minta fatwa
kepada para ulama. Karena itu pula fuqaha perlu menginstinbathkan hukum-
hukum dari dasar-dasarnya dan dari kaidah-kaidahnya untuk menetapkan
hukum yang diperluakn karena peristiwa-peristiwa itu, bahkan mereka
menetapkan juga hukum-hukum terhadap hal-hal yang belum terjadi.
Hal-hal ini menyebabkan berkembangnya fiqh dan bertambah luaslah
gelanggang pembahasannya.9

E. ALIRAN-ALIRAN DI DALAM FIQH


a. Macam-macam Mazhab
Adanya aliran-aliran dalam fiqh ini karena adanya perbedaan di sekitar
metode berijtihad yang menimbulkan perbedaan pendapat. Dari perbedaan
9
Tengku Muhammad Hasbi ASH Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, PT. Pustaka Rizki Putra, 1997,
hlm. 74-76
pendapat ini terbentuklah kelompok-kelompok fiqh yang pada mulanya terdiri
dari murid-murid para Imam Mujtahid. Kelompok-kelompok ini berkembang
dan tersebar. Selain itu, kelompok-kelompok ini pun mempertahankan
pendapat Imamnya, kemudian akhirnya terbentuklah Mazhab-mazhab seperti
yang kita lihat sekarang. Sebenarnya para Imam mujtahid sendiri tidaklah
menganjurkan untuk mengikuti mereka. Yang dianjurkan oleh para imam
mazhab justru kembali kepada dalil-dalil dalam berijtihad, meskipun dengan
cara itu ada kemungkinan hukum yang dihasilkan berbeda dengan pendapat
mereka. Hal ini dibuktikan oleh ucapan Imam mazhab itu sendiri. Misalnya
Imam Abu Hanifah berkata tentang hasil ijtihadnya: “inilah hasil ijtihadku,
tetapi barang siapa yang mempunyai pendapat yang lebih baik dari hasil
ijtihadku ini, maka itulah yang harus dipegang”. Imam al-Syafi’I juga berkata:
“Apabila Hadits itu sahih itulah pendapatku”. Maksudnya Imam al-Syafi’I
akan selalu berpegang kepada Hadits yang shahih.
b. Riwayat singkat Imam Madzhab
 Imam Abu Hanifah (80-150 H/696-767)
Beliau dilahirkan diKufah tahun 80 H. Nama beliau adalah Nu’man bin
Tsabit. Beliau lebih terkenal dengan sebutan Abu Hanifah. Beliau bukan
orang Arab tetapi keturunan orang Persia yang menetap di Kufah.
Dilahirkan pada masa Khalifah Ali. Pada waktu kecil beliau menghafal
Al-Qur’an,kemudian berguru kepada Imam Ashim salah satu Imam
Qiro’ah Sab’ha. Keluarganya adalah keluarga pedagang.
Guru-guru Abu Hanifah yang tekenal diantaranya adalah al-Sya’bi dan
Hammad bin Abi Sulayman di Kufah, Hasan Basri di Basrah, Atha’ bin
Rabbah di Mekkah, Sulayman dan salim di Madinah.Dalam kunjungannya
yang kedua kalinya ke Madinah Abu Hanifah bertemu dengan Muhammad
Bagir dari Syi’ah dan putra Imam Bagir yaitu Ja’far al-Shiddiq, beliau
mendapat banyak ilmu dari ulama ini. Dengan demikian Imam Abu
Hanifah mempunyai banyak guru di Kufah, Basrah, Mekkah dan
Madinah. Beliau berkeliling ke kota-kota yang menjadi pusat ilmu masa
itu dan banyak mengetahui Hadits-hadits. Abu Hanifah berpegang kepada
Al-Qur’an,As-sunnah, dan pendapat sahabat. Kemudian dalam ijtihadnya
beliau menggunakan Qiyas, Al-istihsan, Ijma sahabat dan Urf’. Mazhab
Hanafi banyak terdapat di Turki, Afganistan, Asia Tengah, Pakistan, India
dan Mesir.10

10
A. Djazuli, edisi revisi Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum islam,
Prenadamedia Group, 2005, hlm.124 dan 125.
Para sahabat-sahabtnya meriwayatkan beragam kata darinya, namaun
semuanya satu makna, yaitu wajib berpegang teguh pada Hadits dan
meninggalkan segala macam taqlid pada seluruh pendapat para Imam
yang menyelisihi Hadits Rasulullah.
a. Apabila ada Hadits yang shahih, maka itu adalah mazhabku.
b. Tidak halal seseorang yang mengambil pendpat kami, selagi dia tidak
mengetahui dari mana kami mengambilnya.
c. Bila aku mengatakan sebuah pendpat yang menyelisih Kitab Allah
Ta’ala dan berita dari Rasulullah SAW, maka tinggalkan pendapatku.11

Yang menonjol dari Fiqh Imam Abu Hanifah ini antara lain:
1. Sangat rasional,mementingkan maslahat, dan manfaat.
2. Lebih mudah dipahami dari pada mazhab yang lain.
3. Lebih liberal sikapnya terhadap dzimis (warga Negara yang non
muslim)

Hal ini bisa dipahami karena cara beristinbat Abu Hanafi selalu:
memikirkan dan memperhatikan apa yang ada di belakang nash yang
tersurat yaitu illat-illat dan maksud-maksud hukum.

 Imam Malik (94-179 H/711-795 M)

Imam Malik dilahirkan di Madinah. Nama lengkapnya, Malik bin


Anas bin ‘Amar. Kelurganya bukan orang yang kaya, tetapi hal ini
tidaklah menghalanginya untuk menuntut ilmu. Beliau pernah bertemu
dengan Abu Hanifah waktu Abu Hanifah ke Madinah dan sangat
menghargainnya. Abu Hanifah 13 tahun lebih tua dari Malik bin Anas.

Malik bin Anas adalah orang saleh, sangat sabar, ikhlas dalam berbuat,
mempunyai daya ingat dan hafalan yang kuat, serta diterima dari guru-
gurunya di Madinah. Setelah menjadi ulama besar, Imam Malik
mempunyai dua tempat pengajian yaitu Masjid dan rumahnya sendiri.
Yang disampaikannya pertama Hadits dan kedua masalah-masalah fiqh.
Dalam hal mengajar, Imam Malik sangat menjaga diri agar tidak salah
dalam memberi fatwa. Oleh kareana itu, untuk masalah-masalah yang
ditanyakan sedang beliau belum yakin betul akan kebenaran jawabnnya,
sering menjawab la adri (saya tidak tahu).
11
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqh Sunnah lengkap, Pustaka Azzam, 2010,
hlm.61-62
Imam Malik, meskipundikelompokkan kepada Ahlu Al-Hadits, tetapi
tidak berarti hanya menggunakan Hadits saja dalam menetapkan hukum.
Sebab beliau juga menggunakan Mahfum Mukhalafah, Dzri’ah, dan
terutama al-maslahah. Imam Malik meninggal di Madinah tahun 173 H.

Kitab yang dinisbahkan kepada Imam Malik adalah al-Muwatho yang


merupakan kitab hadits tapi juga sekaligus kitab fiqh. Disamping itu juga
fatwa-fatwa Imam Malik yang dikumpulkan oelh murid-muridnya, seperti
Ibn Qosim dan Sahmun, telah tersusun menjadi sebuah kitab al-
Mudawanah al-Kubra yang merupakan kitab standar dalam Mazhab
Maliki.

 Imam al-Syafi’I (150-204 H/767-822 M)

Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi’I
bin As-Sa’bi bin Ubaid binAbdul Yazin bin Hasyim bin Murhalib bin
Abdu Manaf. Al-Imam Asy-Syafi’I adalah imam yang nasihat-nasihatnya
dalam masalah taqlid ini, paling banyak dinukil dan paling bagus. Para
pengikutnya juga tergolong paling banyak mengambil dan merasa senang
dengannya, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Setiap orang yang bermazhab dengan Rasulullah SAW. dan


mengikutinnya, apabila aku berpendapat atau membuat satu pokok,
kemudian ditemukan hadits Rasulullah yang menyelisihinya, maka
pendapat yang benar adalah apa yang disampaikan Rasulullah
SAW, dan itu pun akan menjadi pendapatku juga.
b. Kaum muslimin berijma’ bahwa seorang yang telah mengeetahui
Sunnah Rasulullah, maka tidak halal baginya untuk
meninggalkannya karena pendapat sesorang.
c. Bila kalian dapatkan dalam tulisanku sesuatu yang bertentangan
dengan sunnah Rasulullah SAW, maka ambillah Sunnah Rasulullah
SAW dan tinggalkan apa yang telah aku katakan.

Dalam riwayat lainnya disebutkan, “maka ikutilah dan jangan menoleh


pada pendapat siapapun”

d. Apabila ada Hadits yang shahih, maka itulah Madzhabku.


e. Kalian lebih mengetahui hadits dan rijal daripada aku, maka apabila
didaptkan hadits yang shahih, beritakanlah kepadaku, dari manapun
asalnya, orang Kufah, Basrah atau Syam, aku anakn mengikutinya
apabila hadits itu shahih.
f. Setiap masalah dalam pendapatku yang menyelisihi berita
Rasulullah yang shahih menurut ahli riwayat, maka aku akan
mencabutnya, baik semamsa hidupku maupun sepeninggalanku.
g. Jika kalian mendapatkanku berpendapat dengan sebuah pendapat.
Kemudian ada hadits Rasulullah yang shahih, maka ketahuilah
bahwa akalku telah hilang.
h. Apapun perkataanku, apabila ternyata menyelisihi hadits yang
shahih dari Rasulullah SAW, maka hadits Nabi lebih berhak untuk
di ikuti dan janganlah bertaqlid kepadaku.
i. Setiap Hadits dari Nabi SAW adalah pendapatku juga, meskipun
kalian tidak mendengarnnya dariku.

 Imam Ahmad Ibn Hanbali (164-241 H)

Imam Ahmad Hanbali dilahirkan pada bulan Rabi’ul


awal tahun 164 H,Baghdad, bapak dan ibunya berasal dari kabilah
Asya-bani bagian dari kabilah di Arab.

Dialah imam yang paling banyak mengumpulakan banyak Sunnah


Rasulullah dan terkenal sebagai orang yang sangat kuat dalam
berpegang teguh padanya, sehingga dia tidak suka menulis kitab
yang memuat cabang-cabang masalah dan pendapat orang.
Beberapa sikapnya nampak dalam sekumpulan kata-katanya
berikut ini:

a. Janganlah bertaqlid kepadaku, jangan bertaqlid kepada Malik,


Asy-Syafi’I,Al Auza’I atau ats-tsauri, teatapi ambillah
sebagaimana mereka mengambilnnya.

Dalam riwayat lainnya, “ jangan bertaqlid pada seseorang pun dari


mereka dalam agama, ambillah apa yang datang dari Rasulullah
dan para sahabatnya . adapun dari tabi’in,maka setiap orang berhak
memilih untuk menerima atau menolak.

Dalam satu kesempatan, dia mengatakan , “ittiba’ adalah


seoranng yang mengikuti apa yang datang dari Rasulullahdan para
sahabatnnya, kemudian setelah Tabi’in, maka dia memilih.”
b. Pendapat Al Auza’I, pendapat Malik dan pendapat Abu
Hanifah, semuanya hanyalah pendapat dari menurutku semua
kedudukannya sama, sedangkan hujjah-yang sesungguhnya
adalah atsar.
c. Barang siapa menolak hadits Rasulullah, maka dia berada di
tepi jurang kehancuran

Itulah sejumlah kata-kata dari para Imam Madzhab yang


memerintahkan untuk berpegang teguh pada hadits dan melarang
bertaqlid kepada mereka tanpa adanya ilmu pengetahuan. Apa
yang mereka ungkapkan cukup jelas dan tidak perlu didebat atau
dita’wilkan.12

KESIMPULAN

Secara istilah fiqh berasal dari kata faqaha yang berarti “memahami” dan
“mengerti”. Sedangkan menurut istilah syar’I,ilmu fiqh dimaksudkan sebagai ilmu
yang berbicara tentang hukum-hukum syar’I amali (praktis) yang penepatannya
diupayakan memulai pemahaman yang mendalam terhadap dalil-dalil yang terperinci.

12
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqh Sunnah lengkap, Pustaka Azzam, 2010,
hlm.63-64
Secara definitif, fiqh berarti ilmu tentang hukum-hukum syar’I yang bersifat
amaliah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili. Dalam definisi ini fiqh
diibaratkan dengan ilmu karena fiqh itu tidak sama dengan ilmu seperti disebutkan
diatas, fiqh itu bersifat dzanni. Fiqh adalah apa yang dapat dicapai oleh mujtahid
dengan dzannya, sedangkan ilmu tidak bersifat dzanni seperti fiqh. Namun karena
dzanni ini kuat, maka ia mendekati kepada ilmu. Karenanya ilmu definisi ini ilmu
digunakan juga untuk fiqh.

DAFTAR PUSTAKA

Teungku Muh Ahmad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh,


PT.Pustaka Rizki Putra, 1997.
M. Baqir Ash-Shadr, Murtadha Muthahhari, Pengantar Ushul Fiqh dan Ushl
Fiqh Perbandingan, Pustaka Hidayah, 1993.
Abdul Halim ‘Uways, Fiqih Statis Dinamis, Pustaka Hidayah, 1998.
Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah Lengkap,
Penerbit Buku Islam Rahmatan, 2010.
A.Djazuli, Edisi Revisi Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan, Penerapan
Hukum Islam, 2005.
Abdul Mughits, Kritik Nalar Fiqh Pesantren, Prenada Media Group, 2008.
Andi Achruh AB. Pasinringi, Ilmu Fiqh, Penerbit Syahadah, 2017.

Anda mungkin juga menyukai