Anda di halaman 1dari 10

MEMBACA “TANAH SANG RAKSASA” KARYA DWIANTO SETYAWAN:

SEBUAH DEKONSTRUKSI TERHADAP WACANA DOMINAN

Reading Dwianto Setyawan’s “Tanah Sang Raksasa”: A Deconstruction


Toward Dominant Discourse

M. Yuseano Kardiansyah

Fakultas Sastra dan Ilmu Pendidikan, Universitas Teknokrat Indonesia


Jl. Z.A. Pagar Alam No. 9-11 Labuhan Ratu, Kec. Kedaton, Bandar Lampung
Hp: 085758930614
yuseano@teknokrat.ac.id
Diajukan: 19 Mei 2018, direvisi: 9 Juni 2018

Abstract

This research deconstructs dominant discourse in a short story entitled “Tanah Sang Raksasa” or
“The Giant’s Land” by Dwianto Setyawan that tells an ironical friendhip between a man and a giant.
The objective of this research is to reveal the existence of paradoxical text construction from the
dominant discourse inside the short story. By applying deconstructive theory and method that
supports the analysis, it is found that hierarchical oposition that portrays goodness (that slightly
positioned higher) and evil is automatically broken, make them stand in equal position.

Key words: deconstruction, paradoxical, text construction, hierarchical oposition.

Abstrak

Penelitian ini mendekonstruksi wacana dominan yang ada pada sebuah cerpen yang berjudul “Tanah
Sang Raksasa” karya Dwianto Setyawan yang menceritakan suatu ironi dalam persahabatan seorang
manusia dan seorang raksasa. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan keberadaan
konstruksi teks yang dinilai paradoksikal dari wacana cerita yang dominan di dalamnya. Dengan
mengaplikasikan teori dan metode yang mendukung analisis secara dekonstruktif, ditemukan fakta
bahwa oposisi hierarkis berupa kebaikan (yang sekilas berposisi lebih tinggi) dan kejahatan dalam
cerpen ini terpatahkan dengan sendirinya serta menjadikan keduanya berdiri di posisi yang setara.

Kata kunci: dekonstruksi, paradoksikal, konstruksi teks, oposisi hierarkis.


Kelasa Vol. 10 No. 2, Desember 2015: 63--72

Berdasarkan penjelasan tersebut,


1. Pendahuluan dalam kajian ini peneliti menyoroti
Dewasa ini, tema cerita dalam sebuah cerita pendek (cerpen) yang
genre prosa fiksi pada ranah berjudul “Tanah Sang Raksasa” karya
kesusastraan sangatlah beragam dan Dwianto Setyawan yang ditemukan
kreatif. Mulai dari cerita-cerita dalam lampiran sebuah buku berjudul
romantis, komedi, horor, kriminal, “Membaca Sastra” (2008). Cerpen ini
hingga yang bernuansa sejarah dan menceritakan kisah raksasa yang
kepahlawanan pun turut meramaikan dipaksa untuk mempertahankan tanah
ragam tema cerita dalam jenis sastra ini. miliknya yang akan direbut oleh sang
Menurut Klarer (2004: 10-14), raja, di mana pada akhirnya sang
secara umum karya sastra prosa fiksi, raksasa harus terpaksa melawan sang
meliputi novel, novela, dan cerita raja demi mempertahankan tanahnya
pendek (cerpen). Terkait dengan hal tersebut.
tersebut, prosa fiksi kategori cerita Sementara itu, dalam menganalisis
pendek mampu menarik perhatian karya ini penulis akan menggunakan
banyak kalangan masyarakat. Bukan teori Dekonstruksi milik Derrida,
hanya karena tak butuh waktu lama digunakan untuk mengkaji aspek
untuk menghabiskan pembacaannya, kebahasaan dan paradoks yang ada
akan tetapi cerpen juga mampu dalam cerpen ini. Teori itu digunakan
memiliki konten cerita yang menarik karena di dalam cerita tersebut
dan sarat akan makna. dicurigai dalam teks didapat
Dalam metode pembacaan suatu paradoksikal dari konten cerita.
karya sastra, banyak teori yang Oleh karena itu, berdasarkan
ditawarkan oleh para ahli kesusastraan kecurigaan tersebut peneliti
dunia. Di antara banyak teori yang memutuskan penggunaan teori
ditawarkan, terdapat teori yang sangat Dekonstruksi dalam menganalisis
terkenal dan kontroversial, yaitu teori cerpen Tanah Sang Raksasa milik
Dekonstruksi. Dekonstruksi adalah Dwianto Setyawan ini.
sebuah metode pembacaan teks yang Berdasarkan hal-hal yang telah
digagas oleh ahli dari Perancis yang dijelaskan, beberapa pertanyaan
bernama Jacques Derrida (Sarup, 2011: akhirnya muncul sebagai rumusan
45). masalah dalam penelitian ini.
Menurut Faruk (2012: 210), Pertanyaan-pertanyaan tersebut
dekonstruksi merupakan sebuah dirumuskan sebagai berikut.
metode pembacaan teks yang dilakukan
dengan begitu cermatnya sehingga 1. Oposisi seperti apa yang
perbedaan-perbedaan konseptual yang dihadirkan dalam cerpen “Tanah
dijadikan pengarang sebagai sandaran Sang Raksasa”?
teks menjadi terbukti gagal atas dasar 2. Bagaimana inkonsistensi dan
penggunaannya yang inkonsisten dan paradoksikalitas pada oposisi
paradoksikal dalam teks secara yang menjadi sandaran teks
keseluruhan. Dalam hal ini, teks yang dalam cerpen “Tanah Sang
dibaca akan terlihat gagal atas dasar Raksasa”?
kriteria yang dibuat teks itu sendiri.
Metode ini biasanya dilakukan untuk
menggoyah oposisi-oposisi yang ada di
dalam teks.

64
Membaca “Tanah Sang Raksasa… (M. Yuseano Kardiansyah)

3. Metode makna sebagai sesuatu yang kurang


Dalam bukunya yang berjudul stabil. Selain itu, menurut Spivak (dalam
“Panduan Pengantar untuk Memahami Morton, 2008: 74), argumen Derrida
Pos-Strukturalisme & Posmodernisme” bersandar pada tesis Saussure bahwa
(An Introductory Guide to Post- proses pemaknaan yang
Structuralisme and Postmodernism), dikonstruksikan melalui bahasa
Madan Sarup menyatakan bahwa dalam didasarkan pada sistem perbedaan, atau
sejarah dekonstruksi kontemporer, oposisi biner, di mana makna suatu kata
pemikir yang paling berpengaruh didefinisikan dalam relasinya dengan
adalah Jacques Derrida (2011: 45). yang bukan kata itu sendiri.
Di sini, sarup menggambarkan Di dalam merespon teori
teori Dekonstruksi Derrida ini dengan Saussure, Derrida berasumsi (dalam
membahas konsepnya mengenai bahasa Faruk, 2012: 211) mengenai
dan mengaitkannya dengan konsep keberadaan itu dinyatakan pada
fonosentrisme dan logosentrisme. prioritasnya akan tutur dibandingkan
Dalam pandangannya mengenai bahasa, dengan tulisan. Hal itulah yang ia sebut
Derrida memandang (dalam Faruk, dengan fonosentrisme.
2012: 209) bahasa sebagai sesuatu yang Pada dasarnya fonosentrisme ini
tidak stabil. Di sini, Derrida memandang didasarkan pada cara berpikir yang
bahwa tidak ada perbedaan yang pasti logosentrik, yaitu kepercayaan bahwa
antara penanda dan petanda. hal yang pertama dan terakhir adalah
Menurutnya petanda adalah sang logos, sang sabda, sang pikiran
penanda lain sehingga yang terbangun suci, keberadaan diri dari kesadaran
adalah bukan saja rantai penanda yang yang penuh. Seperti Tuhan, di mana
tak terbatas, melainkan melingkar. manusia hanya turunan atau tiruan dari
Dalam hal ini penanda tetap yang ada itu.
bertransformasi menjadi petanda dan Manusia tidak ada, yang ada
juga sebaliknya. hanya Tuhan, sang Logos. Sama halnya
Selanjutnya, Derrida juga dengan tutur dan bunyi dalam bahasa,
mengemukakan suatu fakta bahwa di mana yang awal adalah bunyi, baru
bahasa itu merupakan suatu proses kemudian tulisan. Tulisan dipandang
temporal, di mana maknanya selalu hanya sebagai alat bagi bunyi untuk
tertunda (Faruk, 2012: 209). Maknanya, memperlihatkan keberadaannya.
penanda dipandang selalu membawa Di sini, bunyi dianggap sebagai
kepada penanda yang lain, di mana ada, sementara tulisan hanya dianggap
makna yang terdahulu dimodifikasi oleh turunannya, atau dianggap tidak ada.
makna yang kemudian. Dalam filsafat Barat begitu fonosentrik,
Dalam setiap tanda terdapat berpusat pada suara, Derrida menjadi
jejak-jejak dari kata-kata lain yang sangat curiga terhadap tulisan. Karena
dieksekusi oleh tanda itu agar ia dapat sangat logosentrik, filsafat itu juga
menjadi dirinya, dan kata-kata tersebut mengikatkan diri pada kepercayaan
mengandung jejak dari kata-kata yang tentang kata-kata yang utama seperti
sudah berlalu sebelumnya. Selain itu, keberadaan, esensi, dan lain sebagainya.
makna juga tak pernah identik dengan Derrida menyebut metafisika
dirinya sendiri karena sebuah tanda setiap cara berpikir yang tergantung
yang muncul dalam konteks-konteks pada sebuah dasar yang tidak bisa
yang berbeda, tidak sepenuhnya sama dibantah, sebuah prinsip utama atau
Oleh karena itu, berdasarkan dasar yang di atasnya seluruh hierarki
penjelasan di atas Derrida memandang makna dapat didekonstruksi.

65
Kelasa Vol. 10 No. 2, Desember 2015: 63--72

Menurutnya, jika diteliti dengan cermat Selain itu, mengelaborasikan


akan terbukti bahwa prinsip pertama sebuah strategi pembacaan yang
yang demikian dapat didekonstruksi. melacak penjungkirbalikan simultan
Dalam istilah filosofis argumen dari suatu oposisi biner, yang
Derrida, konsep-konsep seperti merendahkan apa yang sebenarnya
kebenaran, kehadiran, pengetahuan, tinggi, dan pada saat yang sama juga
dan makna didefinisikan secara sepadan menandai interval antara
dengan apa yang bukan mereka, seperti pemutarbalikan ini dan kemunculan
kebenaran didefinisikan oleh kepalsuan, eruptif sebuah konsep baru. Menurut
kehadiran oleh ketidakhadiran, Derrida, interval ini tidak dapat
pengetahuan dengan yang bukan diputuskan, dan karenanya ia menolak
pengetahuan, dan makna dengan resolusi sebuah kontradiksi antara dua
bualan. konsep dalam oposisi biner.
Lebih jauh lagi, koherensi Menurut Faruk (2012: 210),
konsep-konsep seperti kebenaran, metode dekonstruksi itu dikorelasikan
kehadiran, pengetahuan, dan makna dengan apa yang disebut Derrida
ditata dengan pengeksklusian istilah dengan “metafisika keberadaan”.
yang berlawanan (Morton, 2008: 74). Menurut Derrida, dasar dari
Dalam hal ini, pengeksklusian kebanyakan teori filosofis adalah
itulah yang membuat konsep-konsep keberadaan yang nyata, yang secara
yang diberikan seperti kebenaran, langsung tampak dalam kekinian
kehadiran, pengetahuan, dan makna (presence). Keberadaan itulah yang
tampak identik. memberikan kepastian yang tak
Oleh karena itu, menurut Derrida tersangkal, dan keberadaan dan
fungsi dekonstruksi adalah untuk kepastian itulah yang disangkal oleh
menyingkap bahwa koherensi konsep Derrida.
khusus didasarkan pada pengeksklusian Mempertimbangkan karak-
istilah yang berlawanan dengannya teristik penelitian yang dikembangkan,
melalui proses timbal-balik dan secara umum penelitian ini dilakukan
pertukaran tempat yang terus menerus. secara kualitatif dikarenakan data yang
Selain itu, Derrida juga dianalisis dideskripsikan dalam bentuk
menyarankan agar kritikus berusaha teks (Moleong, 2013:6). Adapun data
meruntuhkan oposisi-oposisi yang yang diambil dari cerpen Tanah Sang
dengannya orang sudah terbiasa untuk Raksasa oleh Dwianto Setyawan yang
berpikir dan yang menjamin bertahan berupa segenap narasi dan dialog yang
hidupnya metafisika dalam pikiran disaring berdasarkan kebutuhan
orang (Faruk, 2012: 215). Oleh karena penelitian.
itu, melalui dekonstruksi, kritikus dapat Namun , terkait dengan kerangka
mengurai atau membongkar oposisi- teori yang telah dijabarkan sebelumnya,
oposisi itu menunjukkan bagaimana secara spesifik penelitian ini
satu konsep sebenarnya terimplikasikan menerapkan metode pembacaan
atau inheren di dalam konsep lain. dekonstruktif yang dilakukan dengan
Menurut Derrida (dalam Morton, cermat, sehingga perbedaan-perbedaan
2008: 75), sebuah oposisi biner tidak konseptual yang diciptakan oleh
bisa begitu saja diselesaikan melalui pengarang cerpen tersebut dapat
pemutarbalikan kedua istilah yang terbukti tidak konsisten dan
menstrukturi oposisi tersebut karena paradoksikal dalam membangunwacana
nantinya akan tetap terperangkap di di dalamnya.
dalam istilah-istilah oposisi tersebut.

66
Membaca “Tanah Sang Raksasa… (M. Yuseano Kardiansyah)

Di sini, teks akan cenderung hidup dengan tenang. Kami


dibuktikan gagal dalam memenuhi berhubungan baik dengan
kriterianya sendiri, di mana standar manusia dan tidak pernah
atau definisi yang dibangun teks mengganggu mereka. Apalagi
tersebut digunakan secara reflektif aku! Kau tahu sifatku, bukan?
untuk menggoyahkan dan meruntuhkan Aku selalu baik hati kepada
pembedaan konseptual awal teks itu. manusia yang membutuhkan
bantuanku. (Setyawan dalam
4.Hasil dan Pembahasan Budianta dkk, 2008: 222)
Berdasarkan pembacaan yang
telah dilakukan peneliti, cerpen ini Lebih lanjut, gambaran itu
mengandung beberapa pasangan diperkuat oleh respon Arya terhadap
oposisional yang kontras satu sama lain. apa yang diucapkan oleh sang raksasa
Oposisi-oposisi tersebut, meliputi itu.
‘raksasa dan kesatria’, ‘persahabatan
dan permusuhan’, dan juga oposisi yang Arya mengangguk. “Kau
bersifat hierarkis, yaitu ‘kejahatan dan memang raksasa yang baik.”
kebaikan’. (Setyawan dalam Budianta dkk,
Akan tetapi, sejak awal oposisi- 2008: 222).
oposisi tersebut tampak problematik.
Ditinjau dari tema cerita yang ada di Sementara itu, sebaliknya tokoh
dalam cerpen ini, peneliti melihat satria yang direpresentasikan oleh sang
banyak ilusi yang merujuk kepada cerita Raja digambarkan sebagai sosok yang
perwayangan. tamak dan keras hati. Hal itu
Secara garis besar tentu saja dicerminkan oleh dialog yang dikutip
cerita pada cerpen ini memiliki unsur berikut ini.
seperti itu, karena pada dasarnya
cerpen ini menceritakan peperangan Tidak Arya! Raja tidak sebaik
antara raksasa dan manusia, seperti itu! Hatinya terlalu tamak
layaknya cerita pertarungan antara untuk memikirkan nasib
raksasa Cakil yang jahat dan satria seseorang, apalagi raksasa
Arjuna. Namun, sejak awal karakter- seperti aku! (Setyawan dalam
karakter tersebut di sini digambarkan Budianta dkk, 2008: 223)
secara berbanding terbalik dengan apa
yang digambarkan pada cerita Dengan sedih ia menyampaikan
perwayangan tersebut. kabar bahwa Raja tidak
Dalam cerita ini, karakter sang menghiraukan nasihatnya. Raja
raksasa digambarkan sebagai sosok tetap berkeras merebut tanah
yang baik hati dan tidak pernah milik Raksasa Bargawa.
mengganggu manusia. Hal itu (Setyawan dalam Budianta dkk,
dicerminkan pada kutipan dialog yang 2008: 233).
dilakukan oleh sang raksasa bersama
sahabatnya, yaitu tokoh manusia Berdasarkan gambaran-gambar-
bernama Arya berikut ini. an yang telah dibahas tersebut, dapat
sangat jelas terlihat bahwa cerita ini
Beratus-ratus tahun nenek menolak tema-tema perwayangan yang
moyangku menghuni tanah ini. secara umum menceritakan sosok
Turun temurun sampai raksasa yang jahat dan satria yang baik
kepadaku. Selama itu kami hati.

67
Kelasa Vol. 10 No. 2, Desember 2015: 63--72

Di sini tema tersebut cerita ini. Hal itu digambarkan melalui


dijungkirbalikan dan menghadirkan kesediaan Arya membantu sang raksasa
suatu tema yang berbeda, yang secara untuk menghadap raja guna
umum menghadirkan suatu oposisi membujuknya agar tidak merebut tanah
berpasangan antara kesatria dan milik sang raksasa.
raksasa yang dinaungi oleh oposisi Selain itu, kesetiaan Arya kepada
hierarkis antara kejahatan dan sahabatnya itu pun juga dibuktikan
kebaikan. dengan kesediaannya untuk bermalam
Selain itu, cerita dalam cerpen ini di gua sang raksasa untuk mencari jalan
juga menghadirkan oposisi berpasangan keluar guna mencegah peperangan
yaitu antara persahabatan dan antara sang raksasa dan sang Raja. Hal
permusuhan. Seperti yang telah sedikit tersebut digambarkan di dalam cerpen
digambarkan, bahwa cerita di dalam ini melalui deskripsi yang telah dikutip
cerpen Tanah Sang Raksasa ini berikut ini.
menceritakan persahabatan antara
Raksasa Bargawa dan seorang pemuda “Aku akan mencoba
bernama Arya, juga permusuhan antara menolongmu. Moga-moga Raja
sang raksasa dan sang Raja yang ingin mendengarkan saranku,”
merebut tanahnya. Persahabatan antara katanya. Arya kemudian
sang raksasa dan Arya digambarkan meninggalkan gua Raksasa
dengan rasa cinta dan kepercayaan sang Bargawa.
raksasa kepada Arya, sahabatnya. Hal
tersebut terlihat dalam cerpen ini …….Malam itu Arya bermalam
melalui dialog yang telah dikutip berikut di gua Raksasa Bargawa.
ini. Mereka berbicara dalam
suasana diliputi kesedihan,
“Raja tidak menyadari memikirkan pertempuran yang
kekuatanku, Arya. Itu sebabnya akan terjadi besok antara
ia berani menghina aku. Kau Raksasa Bargawa dan Raja
tahu, aku kebal terhadap beserta tentaranya. Mereka
senjata, tombak, atau anak berusaha mencari jalan keluar
panah. Hampir tidak ada untuk menghindarkan
tubuhku yang dapat ditembus pertempuran, tetapi tidak
senjata, kecuali dada kiriku. menemukannya. (Setyawan
dalam Budianta dkk, 2008:
Di situlah kelemahanku. Bagian 223-224).
itu akan kulindungi sebaik
mungkin nanti!” Raksasa Di sisi lain, seperti yang telah
Bargawa menoleh kepada Arya diungkapkan sebelumnya bahwa
yang berdiri di sampingnya di nuansa permusuhan sebagai oposisi
pinggang bukit. “Kukatakan itu dari persahabatan yang telah dijelaskan
kepadamu karena kau di atas juga dihadirkan dalam cerpen ini.
sahabatku yang kucintai.” Cerminan permusuhan ini terjadi antara
(Setyawan dalam Budianta dkk, sang Raja yang ingin menguasai tanah
2008: 224) raksasa dan sang Raksasa Bargawa yang
ingin mempertahankan tanah tersebut.
Di sini, rasa kesetiaan Arya Dalam cerpen ini, hal tersebut
kepada sang Raksasa Bargawa sebagai dideskripsikan melalui dialog yang telah
sahabatnya pun dibuktikan di dalam dikutip berikut ini.

68
Membaca “Tanah Sang Raksasa… (M. Yuseano Kardiansyah)

sampai di sini. Dalam hal ini peneliti


“Aku gagal meyakinkan Raja,” berusaha untuk mengungkap oposisi
Arya menjelaskan, “Katanya yang menjadi sandaran teks menjadi
sekarang bukan zaman raksasa terbukti gagal atas dasar penggunaanya
hidup di dunia, sekarang adalah yang inkonsisten dan paradoksikal
zaman manusia. Raja tetap dalam teks secara keseluruhan pada
berkeras merebut tanah ini. cerpen Tanah Sang Raksasa ini.
Besok Raja akan datang kemari Analisis yang pertama dilakukan
dengan bala tentaranya untuk terhadap oposisi berpasangan ‘Raksasa
mengusirmu….” dan Kesatria’. Sebelumnya telah
dijelaskan bahwasanya cerita dalam
“Dan bila perlu membunuhku?” cerpen ini seakan menolak konstruksi
tukas Raksasa Bargawa. Arya karakter perwayangan dengan
mengangguk. (Setyawan dalam memutarbalikan sifat jahat yang biasa
Budianta dkk, 2008: 223-224). dimiliki raksasa menjadi sifat baik dan
sifat baik yang biasa dimiliki kesatria
Oleh karena itu, berdasarkan menjadi sifat jahat melalui
analisis yang telah dilakukan di atas, penjungkirbalikan relasi oposisional
peneliti telah menemukan beberapa yang hierarkis yang sudah dikemukakan
oposisi yang ada di dalam cerpen Tanah sebelumnya. Namun, melalui analisis
Sang Raksasa karya Dwianto Setyawan yang lebih dalam lagi kondisi tersebut
ini. seakan menjadi berbeda ketika
Beberapa oposisi tersebut peperangan terjadi antara sang raksasa
meliputi oposisi berpasangan raksasa dan sang Raja seperti yang telah dikutip
dan kesatria, persahabatan dan berikut ini.
permusuhan, dan juga oposisi hierarki
kejahatan dan kebaikan di mana secara Raksasa menyambar tubuh
keseluruhan kebaikan berada di posisi Raja dari atas kudanya lalu
yang lebih tinggi dari kejahatan. karena melemparkannya. Raja
walaupun di dalam cerita posisi yang terbanting di atas tanah
lebih tinggi (priyai/mulia) adalah sang berbatu dan mati.
raja sebagai kesatria, akan tetapi sifat
tamaknya justru menjadikannya hina “Cukup, cukup! Cukup
layaknya pengemis yang tak memiliki Bargawa!” teriak Arya
apa-apa. mencegah amukan Raksasa
Sementara bagi sang raksasa, Bargawa. “Raja sudah mati.
walaupun ia digambarkan sebagai Jangan menjatuhkan korban
rakyat biasa (orang rendahan), akan lain, mereka tidak bersalah.”
tetapi sifat baiknya yang selalu
menolong orang yang membutuhkan Namun, Raksasa Bargawa
menempatkannya sebagai orang mulia terlanjur marah. Ia tidak
yang seakan memiliki sifat kesatria. menghiraukan peringatan
Oleh karenanya, walaupun kebaikan Arya. Ia terus mengamuk.
dimiliki oleh rakyat biasa seperti Tentara yang mati bertambah
raksasa, posisinya seakan lebih tinggi banyak. (Setyawan dalam
dari sang Raja yang hina dengan Budianta dkk, 2008: 225).
ketamakannya.
Akan tetapi, tentu saja analisis Sejak awal cerita, sang raksasa
pada penelitian ini tidak akan berhenti digambarkan sebagai sosok yang mulia

69
Kelasa Vol. 10 No. 2, Desember 2015: 63--72

karena kebaikan hatinya, sedangkan mengisahkan persahabatan antara


sang raja digambarkan sebagai sosok raksasa dan pemuda bernama Arya juga
yang hina karena ketamakannya. Akan permusuhan antara raksasa dan Raja.
tetapi, gambaran yang ada pada kutipan Seperti halnya oposisi berpasangan
di atas seakan dapat membuktikan sebelumnya, oposisi ini juga seakan
kondisi yang berbeda mengenai sosok dinaungi oleh oposisi hierarkis antara
sang raksasa. kebaikan dan kejahatan, di mana
Berdasarkan kutipan di atas, kebaikan berada pada posisi yang lebih
sosok sang raksasa digambarkan sangat tinggi karena kemuliaannya dari pada
berbanding terbalik dengan yang telah kejahatan dengan kehinaannya. Namun,
dicitrakan sejak awal. Di sini, sang melalui analisis yang lebih dalam lagi
raksasa seakan digambarkan menjadi kondisi tersebut seakan menjadi
sosok yang kejam dan bengis karena ia berbeda ketika peperangan terjadi
terus mengamuk dan menjatuhkan antara sang raksasa dan sang Raja
korban yang tidak bersalah karena seperti yang telah dikutip berikut ini.
amarahnya demi melindungi haknya.
Perilaku raksasa tersebut Arya tidak menemukan pilihan
seakan-akan menjelaskan bahwa dua lain. Ia harus melindungi orang
karakter yang dimainkan raksasa yang tidak bersalah dari
sebagai tokoh pembela dan baik hati amukan Bargawa. Dipungutnya
dan di sisi lain dia juga digambarkan sebatang tombak dan
sebagai tokoh yang kejam. Hal itu dilemparkannya kea rah dada
menunjukkan bahwa perilaku tokoh kiri Raksasa Bargawa. Crapp!
akan berubah ketika mengalami kondisi Raksasa Bargawa tersentak lalu
dan situasi yang berbeda atau tekanan rebah terkapar, mati!.
psikis tertentu. (Setyawan dalam Budianta dkk,
Dalam hal ini, cerita ini seakan 2008: 225).
memperlihatkan bagaimana cerpen ini
menghadirkan kembali sosok raksasa Sejak awal cerita, persahabatan
jahat seperti apa yang ada dalam cerita antara sang raksasa dan Arya
perwayangan. Apa yang ditolak oleh dihadirkan dengan mencerminkan rasa
cerpen ini seakan kembali direngkuh cinta dan kepercayaan, hal tersebut
dan direproduksi. Nilai-nilai kemuliaan dikontraskan dengan nuansa
dan kebaikan dari sang raksasa seakan permusuhan yang berikan oleh sang
lenyap sudah ditelan amarah dan Raja kepada sang raksasa untuk
kekerasan. merebut tanah sang raksasa. Akan
Di sini posisi kemuliaan dan tetapi, gambaran yang ada pada kutipan
kebaikan dari sang raksasa pun di atas seakan dapat membuktikan
direndahkan dan disamakan dengan kondisi yang berbeda mengenai
posisi sang Raja, tindakan dan amarah persahabatan antara Arya dan sang
dari sang raksasa untuk melindungi raksasa.
haknya pun membuat posisi kebaikan Berdasarkan kutipan tersebut,
yang lebih tinggi dari kejahatan sang cerita ini seakan memperlihatkan
raja menjadi sama rendahnya. bagaimana cerpen ini membalikan
Analisis yang kedua dilakukan konstruksi yang telah dibuatnya sejak
terhadap oposisi berpasangan awal mengenai kesetiaan dan
‘persahabatan dan permusuhan’. kepercayaan di dalam persahabatan.
sebelumnya telah dijelaskan Dalam hal ini, sang raksasa
bahwasanya cerita dalam cerpen ini memberitahukan titik lemahnya karena

70
Membaca “Tanah Sang Raksasa… (M. Yuseano Kardiansyah)

ia sangat mencintai dan mempercayai 5. Simpulan


Arya sebagai sahabatnya. Akan tetapi, Berdasarkan analisis yang telah
sang sahabatnya membunuhnya demi dilakukan,dapat disimpulkan bahwa
melakukan kebaikan untuk melindungi cerpen “Tanah Sang Raksasa”
orang-orang tak bersalah. Sekilas mengandung beberapa pasangan
mungkin apa yang dilakukan Arya oposisional yang kontras satu sama lain.
adalah suatu kemuliaan, akan tetapi ada Oposisi-oposisi tersebut meliputi:
hal yang telah dieksklusi disini, yaitu ‘Raksasa dan Kesatria’, ‘Persahabatan
‘penghianatan’ yang merupakan suatu dan Permusuhan’, dan juga oposisi yang
kejahatan. bersifat hierarkis yaitu ‘Kejahatan dan
Di sini, paradoks terjadi dalam Kebaikan’. Sejauh ini peneliti telah
situasi yang digambarkan, di mana mengungkap oposisi-oposisi yang
sebuah kebaikan yang dilakukan oleh menjadi pondasi bagi cerpen tersebut
Arya ternyata juga mengandung terbukti gagal karena dinilai inkonsisten
kejahatan secara inheren di dalamnya. dan paradoksikal.
Dalam hal ini, nilai-nilai kesetiaan dan Berdasarkan hasil analisis yang
kebaikan dari persahabatan antara Arya telah dilakukan, posisi antara
dan sang raksasa pun seakan lenyap konstruksi wacana kebaikan dan
sudah dikarenakan penghianatan Arya. kejahatan menjadi tidak ada bedanya,
Bahkan, posisi kebaikan dari tidak ada yang lebih tinggi atau lebih
persahabatan tersebut juga akhirnya rendah antara keduanya.
harus di sama rendahkan dengan Oleh karena itu, analisis melalui
permusuhan yang diberikan oleh sang metode dekonstruksi ini berhasil
Raja karena penghianatan Arya, bahkan mendukung peneliti untuk menemukan
kebaikan yang dilakukan oleh Arya demi fakta bahwa oposisi-oposisi
melindungi orang-orang tak bersalah berpasangan yang dinaungi oleh suatu
pun harus disejajarkan dengan oposisi hierarkis berupa kebaikan dan
kejahatan yang terkandung di dalamnya kejahatan dalam cerpen ini menjadi
karena penghianatan yang sebuah kesetaraan yang menjadikan
dilakukannya. keduanya sama atau tak berbeda.
Dalam hal ini, posisi antara Hal ini membatalkan konstruksi
kebaikan dan kejahatan menjadi tidak wacana dominan yang menggambarkan
ada bedanya, tidak ada yang lebih tinggi bahwa kebaikan lebih tinggi derajatnya
atau lebih rendah antara keduanya. Oleh dibandingkan kejahatan.
karena itu, berdasarkan analisis
menggunakan metode dekonstruksi
yang dilakukan terhadap cerpen Tanah Daftar Acuan
Sang Raksasa karya Dwianto Setyawan
ini, peneliti menemukan fakta bahwa Budianta, Melani, dkk. 2008. Membaca
oposisi-oposisi berpasangan yang Sastra. Magelang: IndonesiaTera.
dinaungi oleh suatu oposisi hierarkis
berupa kebaikan (yang sekilas berposisi Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra:
lebih tinggi) dan kejahatan dalam Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta:
cerpen ini menjadi sebuah kesetaraan Pustaka Pelajar.
yang menjadikan keduanya sama atau
Klarer, Mario. 2004. An Introduction to
tak berbeda.
Literary Study. London: Routledge.

71
Kelasa Vol. 10 No. 2, Desember 2015: 63--72

Moleong, Lexy J. 2013. Metodologi Penelitian


Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.

Morton, Stephen. 2008. Gayatri Spivak:


Subaltern dan Kritik Penalaran
Poskolonial (Versi Terjemahan).
Yogyakarta: Pararaton.

Sarup, Madan. 2011. Panduan Pengantar


Untuk Memahami Postrukturalisme &
Posmodernisme (Versi Terjemahan).
Yogyakarta.

72

Anda mungkin juga menyukai