Anda di halaman 1dari 74

KARYA TULIS ILMIAH

LITERATURE REVIEW KONSEP DIRI PADA PENDERITA TB PARU

Karya Tulis Ilmiah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Menyelesaikan Pendidikan Diploma III Keperawatan

OLEH

RESTINI MAY LEO


NIM : PO. 5303203157355

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KUPANG
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN WAINGAPU
TAHUN 2020

i
LEMBAR PERSETUJUAN
KARYA TULIS ILMIAH
LITERATURE REVIEW KONSEP DIRI PENDERITA TB PARU

OLEH

RESTINI MAY LEO


NIM : PO 5303203157355

Telah di setujui oleh Dosen Pembimbing untuk di seminarkan


Pada tanggal 18 Juni 2020

DOSEN PEMBIMBING

Melkisedek Landi, S.Kep.,Ns.M.Med.Ed


NIP : 19761031 199603 1 003

Mengetahui
Ketua Program Studi Keperawatan Waingapu

Maria Kareri Hara, S.Kep. Ns, M.Kes


NIP : 19670210 198903 2 001

ii
LEMBAR PENGESAHAN
KARYA TULIS ILMIAH
LITERATURE REVIEW KONSEP DIRI PENDERITA TB PARU

Di susun Oleh

RESTINI MAY LEO


NIM : PO 530320317355

Telah diuji dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah
Polteknik Kesehatan Kemenkes Kupang
Program Studi Keperawatan Waingapu
Pada tanggal, 18 Juni 2020

Penguji I Penguji II

Oklan B. T. Liunokas, SKM.MSc Melkisedek Landi, S.Kep.,Ns.M.Med.Ed


NIP : 197221013 199803 1 002 NIP : 19761031 199603 1 003

Mengetahui
Ketua Program Studi Keperawatan Waingapu

Maria Kareri Hara, S.Kep. Ns, M.Kes


NIP : 19670210 198903 2 001

iii
PERNYATAAN ORISINALITAS

Karya Tulis Ilmiah ini adalah karya saya sendiri dan tidak terdapat karya yang

pernah di ajukan untuk memperoleh gelar keserjanaan di suatu Perguruan Tinggi.

Semua sumber dan referensi baik yang dikutip maupun yang di rujuk telah

dinyatakan dengan benar.

Waingapu, 18 Juni 2020

RESTINI MAY LEO


NIM : PO 5303203157355

iv
BIODATA PENULIS

Nama : Restini May Leo


Tempat Tanggal Lahir : Wangga Bewa, 21 April 1999
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : KM 5-Waingapu-Sumba Timur
Riwayat Pendidikan :
1. Tamat SD Inpres Okatana 2011
2. Tamat SMP Satap Okatana 2014
3. Tamat SMA PGRI Waingapu 2017
4. Mahasiswa DIII Keperawatan di Prodi Keperawatan
Waingapu Tahun 2017 sampai sekarang.

Motto

Bersukacitalah dalam pengahrapan, sabarlah dalam


kesesakan, dan bertekunlah dalam Doa
Roma 12 : 12

ABSTRAK

v
Politeknik Kesehatan Kemenkes Kupang
Program Studi Keperawatan Waingapu
Karya Tulis Ilmiah, 2020

Restini May Leo


Literature Review Konsep Diri Pada Penderita TB Paru
xii + halaman : tabel, lampiran
Latar belakang : Penyakit Tuberculosis ( TB ) paru merupakan penyakit
infeksi dan menular. Faktor yang mempengaruhi kepatuhan penderita dalam
minum obat anatar lain pemakaian kombinasi beberapa feel samping obat, harga
dan bentuk sediaan obat. Terapi sering tidak memperhitungkan kebiasaan tidak
disiplin, tidak mengerti cara dan lama pengobatan, tingkat pengetahuan, psikologi
penderita dan stigma sosial. Tujuan : Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui Konsep Diri Pada Penderita TB Paru. Metode : Metode penelitian
yang di gunakan adalah Literature Review terhadap hasil penelitian yang berkaitan
dengan Konsep Diri Pada Penderita TB Paru yang di publikasi pada pangkalan
data (data base) Google secholar, artikel yang di pilih adalah artikel bahasa
Indonesia yang di publikasikan pada tahun 2010 sampai dengan 2019 yang dapat
di akses full text dalam format pdf. Hasil : Hasil dari penelitian ini adalah ada
konsep diri positif dan negatif yang di pengaruhi oleh dukungan keluarga.
Gambaran harga diri terjadi penurunan daya tahan tubuh, kelemahan fisik,
merugikan secara ekonomis dan dapat mengakibatkan isolasi sosial sehingga
keadaan tersebut dapat mempengaruhi harga diri pada penderita TB Paru. 5
subvariabel konsep diri terdiri dari komponen-komponen yaitu citra tubuh, ideal
diri, peran diri, harga diri dan identitas diri sangat mempengaruhi konsep diri
dikarenakan pasien tidak bisa menerima perubahan bentuk tubuh yang mereka
miliki dan mereka merasa tidak memilki lagi tanggung jawab terhadap
keluarganya serta 4 subvariabel faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan
konsep diri sangat di pengaruhi oleh sosial budaya, kepribadian, pengetahuan dan
kehilangan kerabat. Kesimpulan : Pada kajian literatur ini didapatkan
kesimpulan bahwa konsep diri pada penderita TB Paru terbanyak positif dengan
jumlah 27 orang ( 55,1% ). Gambaran harga diri terbanyak tinggi dengan jumlah
23 orang ( 55,1% ). 5 subvariabel konsep diri rata-rata kurang dengan jumlah 28
orang ( 90,3% ) serta 4 subvariabel faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan
konsep diri sangat di pengaruhi oleh sosial budaya, kepribadian, pengetahuan dan
kehilangan kerabat.
Kata kunci : TB Paru, Konsep Diri Pada Penderita TB Paru
Kepustakaan : 10 buah ( 2006-2017 ).
Kata : 250 - 500

KATA PENGANTAR

vi
Puji dan dan syukur penulis panjatkan pada Tuhan Yang Maha Esa

karena atas berkat dan rahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan

Karya tulis Ilmiah Dengan judul “Literature Review Konsep Diri pada

Pasien TB Paru”. Tujuan penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah untuk

memenuhi persyaratan menyelesaikan Studi Diploma III di Program Studi

Keperawatan Waingapu.

Penulis juga menyadari bahwa dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini

banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu melalui

kesempatan ini penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada :

1) Ibu Dr. Ragu Harming Kristina,SKM,M.Kes Sebagai Direktur

Politeknik Kesehatan Kemenkes Kupang yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis untuk mengikuti perkuliahan di Program

Studi Keperawatan Waingapu.

2) Ibu MARIA KARERI HARA S.Kep,Ns,M.Kes Sebagai ketua

Program Studi Keperawatan Waingapu

3) Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Melkisedek Landi.

S.Kep.,Ns.M.Med.Ed sebagai dosen pembimbing dan sebagai penguji

II dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini yang telah membimbing

dengan sabar dan memberikan masukan kepada penulis dalam

penyusunan Karya tulis ilmiah Penelitian ini.

vii
4) Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Oklan

B.T.Liunokas. SKM.,Msc sebagai penguji I yang telah memberikan

masukan dan arahan dalam pembuatan Karya Tulis Ilmiah ini.

5) Bapak/ibu Dosen yang telah membekali penulis dengan pengetahuan

selama mengikuti perkuliahan di Program Studi Keperawatan

Waingapu.

6) Saya mengucapkan terima kasih banyak kepada kedua orang tua yang

sangat saya cintai, yang selalu memberikan saya dukungan dan

motivasi untuk terus maju tanpa mengenal lelah sehingga sampai saat

ini saya bisa menyelesaikan tugas akhir saya.

7) Saya juga mengucapkan terima kasih buat kakak Alvian masih

bertahan sampai detik ini, selalu berjuang sama-sama dari awal

hingga menyelesaikan tugas akhir ini.

Penulis menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh

dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan

saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan Karya

Tulis Ilmiah ini. Semoga Karya Tulis Ilmiah ini dapat bermanfaat

bagi pembaca dan bagi kita semua.

Waingapu, 18 Juni 2020

Penulis

viii
DAFTAR ISI

Halaman Judul……………………………………………………………………..i

Lembar Pernyataan Orsinalitas................................................................................ii

Lembar Persetujuan……………………………………………………………...iii

Lembar Pengesahan……………………………………………………………....iv

Kata Pengantar…………………………………………….....................................v

Absktrak……………………………………………..............................................vi

Daftar Isi………………………………………………………………………....vii

Daftar Tabel……………………………………………………………...……...viii

Daftar Singkatan……………………………………….........................................ix

Daftar Lampiran…………………………………………………………………...x

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang………………………………………………………………..1

1.2. Rumusan Masalah……………………………………………………..

………4

1.3.Tujuan…………………………………………………………………………4

1.3.1. Tujuan Umum……………………………………......................................4

1.3.2. Tujuan Khusu……………………………………......................................4

1.4.Manfaat Penelitian…………………………………………………………….4

BAB II TINJAUAN TEORI

2.1. Defenisi TB

Paru……………………………………………….. …………….8

ix
2.2 Konsep Diri Pada Penderita TB Paru………………………………………..29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian…………………………………………..

………………39

3.2.Tahapan Literature Review……………………………………...............39

3.3.Identifikasi Masalah …………………………………………………….40

3.3.1. Pencarian Data…………………………………………………..40

3.3.2. Screening…………………………………………………………40

3.3.3. Meringkas………………………………………………………..40

3.4.Etika Penelitian………………………………………………………….41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian………………………………………………………….42

4.2. Pembahasan……………………………………………………….

…….49

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan…………………………………….......................................57

5.2. Saran…………………………………………..…………………………57

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

x
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian…………………………………………….5

Tabel 1.2 Jadwal Penelitian……………………………………………..43

Tabel 1.3 Hasil Literature Review………………………………….......45

xi
DAFTAR SINGKATAN

TB : Tuberculosis

WHO : World Health Organization

BTA : Basil Tahan Asam

LAM : Lipoarabinomannan

PCR : Polimerase Chain Reaction

OAT : Obat Anti Tuberculosis

PMO : Pengawas Menelan Obat

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Jurnal Konsep Diri Pada Penderita TB Paru

Lampiran II Lembar Ujian Proposal

Lampiran III Lembar Ujian KTI

xiii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Tuberculosis ( TB ) paru merupakan penyakit infeksi dan

menular. Penyakit ini dapat di derita oleh setiap orang, tetapi paling sering

di temukan pada usia muda atau usiayaitu 15-50 tahun, terutama mereka

yang bertubuh lemak, kuranggizi, atau yang tinggal satu rumah dan

berdesak-desakan Bersama penderita TB paru. Lingkungan yang lembab,

gelap dan tidak memiliki ventilasi memberikan andil besar bagi seseorang

terjangkit penyakit TB paru. Penyakit TB paru sangat cepat menyebar dan

menginfeksi manusia terutama bagi kelompok social ekonomi rendah dan

kurang gizi. Kecepatan penyebaran dan infeksi penyakit TB paru sangat

tinggi, maka tidak berlebihan jika penyakit TB paru merupakan penyakit

yang mematikan( Anggraeni, 2012 ).

Pada tahun 2016 ditemukan jumlah kasus tuberkulosis sebanyak

351.893 kasus, meningkat bila dibandingkan semua kasus tuberkulosis yang

ditemukan pada tahun 2015 yang sebesar 330.729 kasus. Jumlah kasus

tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang

besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kasus tuberkulosis di

tiga provinsi tersebut sebesar 44% dari jumlah seluruh kasus baru di

Indonesia. Menurut jenis kelamin, jumlah kasus pada laki-laki lebih tinggi

daripada perempuan yaitu 1,4 kali dibandingkan pada perempuan. Pada

1
masing-masing provinsi di seluruh Indonesia kasus lebih banyak terjadi

pada laki-laki dibandingkan perempuan.(Profil Kesehatan Indonesia, 2016).

Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, ada tiga kabupaten/kota dengan jumlah

penderita tertinggi dalam < 1 tahun terakhir adalah Sumba Barat (1,2 ‰),

Sumba Timur (0,7 ‰) dan Sumba Tengah (0,7 ‰) dan dalam > 1 tahun

terakhir adalah Nagekeo (2,3 ‰), Sumba Tengah (2 ‰) dan Kabupaten

Kupang (1,9 ‰), sementara tiga kabupaten/kota dengan pengobatan

tertinggi adalah Sumba Barat (62,9 %), Sumba Timur (52,7 %) dan Timor

Tengah Utara (50,5 %). ( Profil NTT, 2015)

Berdasarkan data yang di peroleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten

Sumba Timur angka penemuan kasus TB paru mengalami kenaikan dari

tahun 2015-2017. Pada tahun 2015 jumlah penderita TB paru 457 kasus,

pada tahun 2016 berjumlah 483 kasus TB paru, dan pada tahun 2018

berjumlah 535 kasus TB paru( Dinas Kesehatan Kabupaten Sumba Timur).

Prevalensi penyakit TB ( Tuberculosis ) di Indonesia meningkat

setiap tahunnya dan meningkatnya angka kegagalan pengobatan TB,

pemerintah mencanangkan program pengendalian TB dapat diharapkan

menekan kegagalan pengobatan TB. Laporan kasus TB tetap mengalami

peningkatan karena adanya resistensi terhadap OAT. Hal ini disebabkan

kurangnya pemahaman mengenai tahapan pengobatan. Hal ini yang perlu

diperhatikan jumlah pasien dengan pengobatan tidak lengkap, meninggal,

putus berobat sehingga dapat mengevaluasi keberhasilan pengobatan

( Kemenkes RI, 2016 ).

2
Penyakit TB Paru memiliki dampak yang sangat besar dalam kehidupan

penderitanya baik fisik, mental, maupun kehidupan sosial. Secara fisik,

penyakit TB Paru yang tidak diobati secara benar akan menimbulkan

komplikasi, seperti penyebaran infeksi ke organ lain, malnutrisi, batuk darah

berat dan resistensi obat. Tuberculosis paru merupakan penyakit paru kronis

yang berdampak secara fisik dan psikososial bagi penderitanya. Hingga-

hingga saat ini program-program pemerintah yang masih berfokus pada

pengobatan dan pencegahan penularan penyakit. Program yang ada belum

mengarah pada pemecahan masalah psikososial penderita padahal dampak

masalah psikososial ( seperti cemas, isolasi sosial, dan gangguan interaksi

sosial ) sangat besar pengaruhnya terhadap prognosis penyakit penderita TB

Paru.

Konsep diri sangat erat kaitannya dengan diri individu. Kehidupan yang

sehat, baik fisik maupun psikologi salah satunya di dukung oleh konsep diri

yang baik dan stabil. Konsep diri adalah hal-hal yang berkaitan dengan ide,

pikiran, kepercayaan serta keyakinan yang di ketahui dan di pahami oleh

individu tentang dirinya. Hal ini akan mempengaruhi kemampuan individu

dalam membina hubungan interpersonalnya. Meskipun konsep diri tidak

lansung ada, bengitu individu di lahirkan tetapi secara bertahap seiring

dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan individu konsep diri akan

terbentuk karena pengaruh lingkungannya. Faktor yang mempengaruhi

kepatuhan penderita dalam minum obat antara lain faktor obat yaitu lama

pengobatan, pemakaian kombinasi bebrapa obat, efek samping, harga dan

3
bentuk dalam sediaan obat. Kemudian faktor penderita meliputi kebiasaan

tidak di siplin, tidak mengerti cara dan lama pengobatan, psikologi penderita

dan terdapat stigma sosial. Hal ini akan membentuk persepsi individu

terhadap dirinya sendiri dan penialian persepsinya terhadap pengalaman dan

situasi tertentu ( Salbiah, 2008 ).

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan fenomena pada latar belakang di atas masalah dapat di

rumuskan sebagai berikut : Bagaimana Konsep Diri dari penderita TB

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui Konsep Diri Pada Penderita TB Paru

1.3 Manfaat penelitian

1.3.1 Bagi pasien dan masyarakat

Hasil penelitian ini agar dapat di gunakan sebagai motivasi,dan

menumbuhkan sikap positif pasien TB. Bagi masyarakat agar

memberikan dukungan kepada penderita TB agar tidak berlanjut pada

masalah konsep diri pada penderita TB lainnya..

1.3.2 Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat di jadikan sebagai data dan informasi

dalam melakukan penelitian lebih lanjut terkait konsep diri pada pasien

TB paru.

4
1.4 Keaslian Penelitian

Tabel 1.1 Keaslian Penelitian

No Nama/ Judul Desain Subjek Variabel Instrumen Analisa Hasil


Tahun
1 Raynel, F. Gambaran Jenis Populasi Konsep diri Kuesioner Survey Berdasarkan hasil penelitian yang
2010. Komponen penelitian penelitian ini penderita telah dilakukan di RS PKU
Konsep Diri ini metode adalah TB paru Muhammadiyah Gombong.
pada Penderita deskriptif penderita TB
1. Citra tubuh pada penderita TB
paru yang
TB Paru di kuantitatif, paru di RS PKU Muhammadiyah
tercatat di RS
Wilayah Kerja dengan PKU
Gombong prosentase terbesar adalah
Puskesmas pendekata kurang (83.9%).
Muhammadi
Padang Pasir n survey. yah 2. Ideal diri pada penderita TB paru
Kota Padang. Gombong di RS PKU Muhammadiyah
pada tahun Gombong prosentase terbesar adalah
2015 kurang (90.3%).
sejumlah 210 3. Identitas diri pada penderita TB
orang. paru di RS PKU Muhammadiyah
Penelitian ini Gombong prosentase terbesar adalah
menggunaka kurang (58.1%).
n sampel 4.Peran diri pada penderita TB paru
15% dari di RS PKU Muhammadiyah
jumlah Gombong prosentase terbesar adalah
populasi

5
yaitu kurang (54.8%).
sebanyak 31
5.Harga diri pada penderita TB paru
orang
di RS PKU Muhammadiyah
penderita TB
Gombong prosentase terbesar adalah
paru di RS
kurang (51.6%).
PKU
Muhammadi 6.Konsep diri pada penderita TB paru
yah di RS PKU Muhammadiyah
Gombong. Gombong prosentase terbesar adalah
kurang (83.9%).

2. Usu Konsep Diri Jenis Populasi Konsep diri Kuesioner Fenomen Hasil penelitian menunjukkan
Respiratory. Pada Pasien penelitian penelitian ini pada pasien ologis bahwa gambaran diri pada pasien
2006. TB Paru Di ini adalah TB paru TB paru menjadi perubahan
penderita TB
RSUD Kota mengguna fisik,psikologis,dansosial. Ideal
paru yang
Surakarta. kan diri pada pasien TB paru
tercatat di
metode dukungan lingkungan sosial
RSUD Kota
penelitian memotivasi pasien TB paru untuk
Surkartaseba
kualitatif nyak 8 orang
sembuh dan bisa kerja lagi nafkahi
dengan positif TB istri dan anak. Harga diri pada
pendekata paru. pasien TB paru informan
n mengalami harga diri rendah

6
fenomenol seperti penderita merasa
ogis. bersalah,pesimis,merasa malu
dengan penyakit TB yang di
derita. Peran pada pasien TB paru
informan sebagai kepala keluarga
dan masyarakat biasa, keadannya
membuat informan terbatasi dan
menyebabkan ketidakpuasan.
Identitas diri pada pasien TB paru
informan dapat mengenali dirinya
dan memperkenalkan dirinya.

7
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Tuberculosis Paru

2.1.1 Pengertian tuberculosis paru

Tuberkulosis atau dikenal dengan istilah TB merupakan suatu penyakit

menular yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis yang

biasanya mempengaruhi organ paru-paru namun dapat juga mempengaruhi

organ lain selain paru-paru. Penyakit ini dapat menular melalui udara dari

orang yang terinfeksi ke orang lain, salah satunya melalui batuk. Menurut

laporan ( World Health Organization WHO, 2016 ).

2.1.2 Klasifikasi dan tipe

Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan suatu

definisi kasus yang meliputiempat hal, yaitu :

1) Lokasi atau organ tubuh yang sakit :paru atau ekstra paru.

2) Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif

atau BTA negatif.

3) Riwayat pengobatan TB sebelumnya, pasien baru atau sudah pernah

diobati.

4) Status HIV (Human Immunodeficiency Virus) pasien.

8
Beberapa istilah dalam definisi kasus:

1) Kasus TB :pasien TB yang telah dibuktikan secara miskroskopis atau di

diagnosis oleh dokter atau petugas TB untukdiberikan pengobatan TB.

2) Kasus TB pasti (definitif) :pasien denngan biakan positif untuk

mycobacterium tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-

kurangnya 2 dari 3 spesi mendahak SPS hasilnya BTA positif.

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang terkena:

1) Tuberkulosisparu: tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru.

Tidak termasuk pleura (selaputparu) dan kelenjar pada hilus.

2) Tuberkulosis ekstra paru: tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain

selain paru, misalnya pleura, selaputotak, selaput jantung (pericardium),

kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat

kelamin, dan lain-lain.

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, keadaan ini

terutama ditujukan pada TB paru:

1) Tuberkulosis paru BTA positif.

a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan fototoraks dada

menunjukkan gambaran tuberkulosis.

9
c) 1 spesimen dahak SPS hasil BTA positif dan biakan kuman TB positif.

d) 1 atau lebih specimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS

pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada

perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT

2) Tuberkulosisparu BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria

diagnostik TB paru BTA negative harus meliputi:

a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.

b) Fototoraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis.

c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi pasien

dengan HIV negatif.

d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk di beri pengobatan.

2.1.3 Etiologi

Mycobacterium tuberculosis merupakan jenis kuman berbentuk batang

berukuran panjang 1-4 mm dengan tebal 0,3-0,6 mm. Sebagian besar

komponen M. Tuberculosis adalah berupa lemak/lipid sehingga kuman

mampu tahan terhadap asam serta sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor

fisik. Mikroorganisme ini adalah bersifat aerob yakni menyukai daerah yang

banyako ksigen. Oleh karena itu, M. Tuberculosis senang tinggal di daerah

apeks paru-paru yang kandungan oksigennya tinggi. Daerah tersebut menjadi

tempat yang kondusif untuk penyakit tuberkulosis.

10
2.1.4 Patogenesis

Infeksi di awali ketika individu menghirup basil mycobacterium tuberculosis.

Basil mycobacterium tuberculosis menyebar melalui jalan napas menuju alveoli

kemudian berkembang biak hingga bertumpuk. Perkembangan mycobacterium

tuberculosis juga menyebar melalui system limfe dan aliran darah kebagian

tubuh lainnya seperti ginjal, tulang, korteks serebri dan area lain dari paru –

paru (lobus atas).

Selanjutnya system kekebalan tubuh memberikan respons dengan melakukan

reaksi inflamasi. Neutrophil dan makrofag memfagositosis (menelan) bakteri.

Limfosit (T Cell) yang spesifik terhadap tuberculosis menghancurkan basil dan

jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan terakumulasinya eksudat

dalam alveoli dan terjadilah bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya timbul

waktu 2 – 10 minggu setelah terpapar. Massa jaringan baru yang disebut

granuloma berisi gumpalan basil yang hidup dan mati, dikelilingi oleh

makrofag yang membentuk dinding. Granuloma berubah bentuk menjadi massa

jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa tersebut disebut ghon tubercle.

Materi yang terdiri atas makrofag dan bakteri menjadi nekrotik, membentuk

necrolizing caseosa ( perkijuan ). Setelah itu akan membentuk klasifikasi dan

membentuk jaringan kolagen kemudian bakteri menjadi non aktif.

Penyakit akan berkembang menjadi aktif setelah infeksi awal, karena respons

system imun yang tidak adekuat. Penyakit aktif dapat juga timbul akiba infeksi

11
ulang atau aktifnya kembali bakteri dormant. Pada kasus ini terjadi ulserasi

pada ghontubercle, dan akhirnya menjadi necrolizing caseosa ( perkijuan ).

Tuberkel yang ulserasi mengalami proses penyembuhan membentuk jaringan

parut. Paru – paru yang terinfeksi kemudian meradang, mengakibatkan

bronkopneumonia, pembentukan tuberkel dan seterusnya. Proses ini berjalan

terus dan basil terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga

menyebar melalui kelenjar getah bening.

Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian

membentuk sel tuber kelepitoloid yang dikelilingi oleh limfosit dalam waktu 10

– 20 hari. Daerah yang mengalami nekrosis serta jaringan granulasi yang

dikeliling selepitoloid dan fibroblast akan menimbulkan respons berbeda dan

akhirnya membentuk suatu kapsul yang di kelilingi oleh tuberkel

( Somantri,2009 ).

2.1.5 Gejala-gejala klinis

Menurut Widoyono (2011), untuk mengetahui tentang penderita

tuberculosis paru dengan baik harus di kenali tanda gejalanya, gejala utama

pada penderita tuberculosis paru adalah :

a. Batuk

Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan paling sering

dikeluhkan. Biasanya batuk ringan sehingga di anggap batuk biasa atau

akibat rokok. Proses yang paling ringan ini menyebabkan secret akan

12
terkumpul pada penderita tidur dan dikeluarkan saat penderita bangun pagi

hari.

b. Dahak

Dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian

berubah menjadi purulen dan kemudian berubah menjadi kental bila sudah

terjadi perlunakan.

c. Batukd arah

Darah yang dikeluarkan penderita mungkin berupa garis atau bercak-

bercak darah, gumpalan-gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah

banyak.

d. Nyeri dada

Nyeri dada pada tuberculosis paru merupakan nyeri pleuritik yang ringan.

Bila nyeri bertambah berat berarti telah terjadi peluritis luas (nyeri di

keluhkan di daerah aksila, diujung scapula atau di tempat-tempat lain).

e. Wheezing

Wheezing terjadi karena penyempitan lumen endo bronkus yang

disebabkan oleh skret, bronkostensis, peradangan, jaringan granula,

ulserasi dan lain-lain ( pada tuberculosis lanjut).

13
f. Dispnue

Dispnue merupakan late symptom dari proses lanjut tuberculosis paru akiba

tadanya retraksi dan obstruksi saluran pernapasan serta loss of vascular bed

/ thrombsosis yang dapat mengakibatkan gangguan difusi, dan hipertensi

pulmonal ( Widoyono, 2011).

Sedangkan tanda gejalatu berkulosis ekstra paru sesuai dengan lokasi organ

yang terserang mycobacterium tuberculosis sebagai berikut :

a. Kelenjar limfe superfisialis

Manifestasi klinis tuberkulosis pada kelenjar limfe adalah berupa

pembesaran kelenjar. Kelenjar limfe superfisialis yang sering terkena pada

tuberculosis adalah kelenjar colli, kelenjar colli anterior maupun kelenjar

colli posterior. Tetapi juga dapat terjadi di axila, inguinal, submandibular

dan subskavikula (Rahajoe&Setyanto, 2010). Secara klinis karakteristik

kelenjar yang dijumpai biasanya multiple, uniteral, tidak nyeri tekan, tidak

hangat perabaan, mudah digerakkan dan dapat saling melekat (confluence)

satu sama lain.

b. Susunan Saraf Pusat

Tuberkulosis pada Susunan saraf pusat yang tersering adalah meningitis

tuberkulosis. Gejala klinis yang terjadi berupa panas yang tidak terlalu

tinggi (sumer-sumer) dan terjadinya sib akut, nyeri kepala, muntah

proyektil, kejang serta penurunan kesadaran dan kaku kuduk.

14
c. System skeletal.

Gejala umum ditemukan pada tuberkulosis system skeletal adalah nyeri,

bengkak pada area sendi yang terserang tuberculosis dan gangguan atau

keterbatasan gerak. Pada bayi dan anak yang sedang dalam masa

pertumbuhan, epifisis tulang merupakan daerah dengan vaskularisasi tinggi

yang disukai oleh kuman tuberculosis. Oleh karena itu, tuberkulosis system

skeletal lebih sering terjadi adalah apondilitis tuberculosis, koksitis

tuberkulosis dan gonitis tuberculosis. Manifestasi klinis dapat muncul

pasca trauma yang berperan sebagai pencetus. Tidak jarang pasien datang

pada tahap lanjut dengan kelainan tulang yang sudah lanjut dan

irreversible. Gejalanya dapat berupa pembengkakan sendi, gibbus,

pincang, lumpuh dan sulit membungkuk.

d. Kulit.

Mekanisme terjadinya manifestasi klinis tuberkulosis pada kulit terjadi

melalui dua cara, yaitu inokulasi langsung (infeksi primer) seperti

tuberculous chancre dan akibat limfa dentitis tuberculosis yang pecah

menjadi skrofuloderma (Rahajoedkk, 2008). Inokulasi langsung pada kulit

biasanya ditemukan pada area ofisialis saluran kemih, ulkus dapat di

temukan di sekitarorifisium urethra externa) ( Djuanda, 2009). Sedangkan

skrofulo derma sering di temukan di leher dan wajah, di tempat yang

mempunyai kelenjar bening misalnya daerah parotis, submandibular,

superklavikula dan lateral leher.

15
2.1.6 Cara penularan.

Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan

kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan atas

peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh mycobacterium

tuberculosis biasanya secara inhalasi, sehingga Tb paru merupakan manifestasi

klinis yang paling sering di bandingkan dengan organ lainnya. Penularan

penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet

nuclei, khususnya yang di dapat dari pasien Tb paru dengan batuk berdarah atau

berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA) pada Tb kulit atau jaringan

lunak penularan bisa melalui inokubasi langsung oleh infeksi yang di sebabkan

oleh M. bovis dapat di sebabkan oleh susu yang kurang di sterilkan dengan baik

atau terkontaminasi sudah di buktikan bahwa lingkungan sosial ekonomi yang

baik, pengobatan teratur dan mortalitas di Amerika selama tahun 1950-1960.

( Amin, dkk. 2006 ).

2.1.6 Pemeriksaan Radilogis

Pemeriksaan radiologis digunakan untuk menemukan lesi

tuberkulosis, konsolidasi, kavitasi, kalsifikasi dan atelectasis (Locke et al,

2013). Lokasi lesi tuberculosis umumnya di daerah apeks paru (segmen

apical lobus atas atau segmen apical lobus bawah), tetapi dapat juga mengenai

lobus bawah (bagian inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru

seperti pada tuberculosis endobronkial. Pada awal penyakit saat lesi masih

merupakan sarang – sarang pneumonia, radiologis berupa bercak – bercak

16
seperti awan dengan batas – batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah di liputi

jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas.

Lesi ini dikenal dengan tuberkuloma.

Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula – mula berdinding tipis

yang kemudian dinding sklerotik terlihat menebal. Bila terjadi fibrosis terlihat

bayangan yang bergaris – garis. Pada klasifikasi bayangannya tampak sebagai

bercak – bercak padat dengan intensitas tinggi. Pada atelectasis terlihat seperti

fibrosis yang luas di sertai pengecilan yang dapat terjadi pada sebagian atau

satu lobus maupun pada satu bagian paru (Amin &Asril, 2009).

2.1.7 Pemeriksaam Laboratorium Darah

Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena hasilnya kadang-

kadang meragukan, hasilnya tidak sensitif dan juga tidak spesifik. Pada saat

tubrkulosis paru mulai (aktif) akan di dapatkan jumlah leukosit yang sedikit

meninggi dengan hitung jenis pergeseran kekiri. Jumlah limfosit masih tinggi.

Laju endap darah mulai turun ke arah normal lagi.

Hasil pemeriksaan darah lain di dapatkan juga Anemia dengan

gambaran normokrom dan normositer; dan kadar natrium darah menurun.Uji

serologis lain terhadap TB yang hamper sama cara dan nilainya dengan uji

PAP-TB adalah uji Mycodot. Disini di gunakan antigen

LAM( Lipoarabinomannan) yang letakan pada suatu alat berbentuk sisir

plastic. Sisir ini di celupkan kedalam serum pasien. Spesifikanti LAM dalam

17
serum akan akan terdeteks isebagai perubahan warna pada sisir yang

intensitasnya sesuai dengan jumlah antibody. ( Amin, dkk2006).

2.1.8 Sputum

Pemeriksaan sputum digunakan untuk mendeteksi kuman BTA yang

kemudian untuk mendiagnosis tuberkulosis. Di samping itu pemeriksaan

sputum juga digunakan untuk memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang

sudah di berikan. Selain dari sputum bahan – bahan yang akan dilakukan

pemeriksaan juga ambil dari bila sanbronkus, jaringan paru, pleua, cairan

pleura, cairan lambung, jaringan kelenjar, cairan srebrospinal, urin dan tinja

(Locke et al, 2013). Kriteria BTA Positif adalah bila ditemukan minimal 3

batang kuman BTA pada satu sediaan.

Pemeriksaan sputum dapat dilakukan dalam beberapa cara seperti : 1).

Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa, pemeriksaan sputum

dilakukan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-

Sewaktu (SPS); 2) Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop

fluoresens, pemeriksaan ini menggunakan sinar ultraviolet meskipun

sensitivitasnya tinggi namun jarang digunakan karena pewarna yang di pakai

(auramin-rho-damin) dicurigai bersifat karsinogen; 3) Pemeriksaan dengan

biakan/kultur, pada pemeriksaaan biakan setelah 4 – 6 minggu penanaman

sputum dalam media biakan, koloni tuberculosis mulai tampak. Bila setelah 8

minggu penanaman koloni juga tidak nampak, biakan dinyatakan negative; 4)

Pemeriksaan terhadap resistensi obat (Amin &Asril, 2009).

18
Saat ini sudah dikembangkan pemeriksaan biakan sputum BTA

dengan cara Bactec (Bactec 400 Radio Metric Sistem). Pada pemeriksaan ini

kuman yang sudah didapat dideteksi dalam waktu 7 – 10 hari. Disamping itu

dengan teknik Polimerase Chain Reaction (PCR), dapat dideteksi DNA 32

Kuman tuberculosis dalam waktu yang lebih cepat atau mendeteksi

mycobacterium tuberculosis yang tidak tumbuh pada sediaan biakan. Dari

hasil biakan biasanya dilakukan juga pemeriksaan terhadap resistensi obat dan

identifikasi kuman (Amin &Asril, 2009).

2.1.9 Pemeriksaan Tuberkullin

Dengan melakukan injeksi intradermal dari antigen Tuberkulosis serta

pemeriksaan reaksi antara antigen dan antibody host Tuberkulosis. Tes

tuberculin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau pernah

mengalami infeksi mycobacterium tuberculosis, mycobacterium bovis,

vaksinasi BCG dan Mycobacteria pathogen lainnya. Dasar tes tuberculin ini

adalah alergi di pelambat. Setelah 48 – 72 jam tuberculin disuntikkan, akan

timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrate limfosit

yakni reaksi persenyawaan antara antibody selular dan antigen tuberculin.

Banyak sedikitnya reaksi persenyawaan antibody selular dan antibody antigen

tuberculin sangat dipengaruhi oleh antibody humoral, semakin besar pengaruh

antibody humoral, semakin kecil indurasi yang ditimbulkan (Locke et al,

2013).

19
Berdasarkan hal – hal tersebut di atas, hasil tesmantoux ini dibagi

dalam : 1) indurasi 0- 5 mm, dinyatakan mantoux negative = golonganno

sensitivity, peran antibody humoral paling menonjol; 2) indurasi 6 – 9 mm,

dinyatakan hasil meragukan = golongan low grade sensitivity, peran humoral

masih menonjol; 3) indurasi 10 – 15 mm, dinyatakan mantoux positif =

golongan mal sensitivity, peran kedua antibody seimbang; 4) indurasi lebih

dari 15 mm, Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity, peran antibody

selular paling menonjol. Hampir seluruh pasien tuberculosis memberikan

reaksi mantoux yang positif (99,8%), sedangkan pada pasien HIV positif, test

mantoux dengan indurasi 5 mm dinilai positif tuberkulosis (Amin &Asril,

2009).

2.1.10 Komplikasi

Komplikasi dibagi atas komplikasi dini berupa pleuritis, efusi pleura,

empyema, laryngitis. Sedangkan komplikasi lanjut berupa obstruksi jalan

napas, kerusakan parenkim berat, amyloidosis, karsinoma paru, sindroma

gagal napas, tuberculosis milier dan kavitas paru (Amin &Asril, 2009)

Selain itu, komplikasi yang sering terjadi pada stadium lanjut adalah

hemoptysis berat yang dapat mengakibatkan kematian karena syok

hipovolemik atau tersumbatnya jalan napas, kolaps dari lobus akibat retraksi

bronchial, bronkiektasis dan fibrosis pada paru, pneumo toraks pontan,

infeksike organ lain dan insufisiensi kardio pulmoner (Kementrian Kesehatan

RI, 2011).

20
2.1.11 Prinsip pengobatan TB paru.

Aktivitas obat. Terdapat 2 macam sifat/aktivitas obat terhadap tuberculosis

yakni :

1) Aktivitas bakterisid. Di sini obat bersifat membunuh kuman-kuman

yang sedang tumbuh (metabolismnya masih aktif). Aktivitas bakteri

biasanya di ukur dari kecepatan obat tersebut membunuh atau

melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan di dapatkan hasil

yang negative (2 bulan dari pengobatan).

2) Aktivitas sterilisasi. Di sini obat bersifat membunuh kuman-kuman

yang pertumbuhannya lambat (metabolism kurang aktif). Aktivitas

sterilisasi di ukur dari angka kekambuhan setelah pengobatan di

hentikan. ( Amin, dkk 2006).

Pengobatan tuberculosis memiliki 2 prinsip dasar :

1) Bahwa terapi yang berhasil memerlukan minimal 2 macam obat yang

basilnya peka terhadap obat tersebut, dan salah satunya harus bakteri sidik.

Karena suature sistensi obat dapat timbul spontan pada sejumlah kecil

basil.

2) Bahwa penyembuhan penyakit membutuhkan pengobatan yang baik

setelah perbaikan gejala klinisnya. Perpanjangan lama pengobatan di

perlukan untuk mengeliminasi basil yang persisten. Basil persisten ini

merupakan suatu populasi kecil yang metabolismenya inaktif. Pengobatan

21
yang tidak memadaiakan mengakibatkan bertambahnya kemungkinan

kekambuhan. ( Amin, dkk 2006)

Specimen yang berikan harus berdasarkan pertimbangan-pertimbangan

sebagai berikut :

- Pengobatan di berikan selama 6 bulan sampai 9 bulan dan dapat di

perpanjang berdasarkan atas dasar klinis dan tersistensi.

- Bila sebuah kombinasi gagal maka dapat dig anti dengan kombinasi yang

lainnya atas pertimbangan tersistensi.

- Antara perawatan di rumah sakit dan yang bukan di rumah sakit regimen

pengobatannya sama hanya saja perawatan di rumah sakit pengobatannya

tetap di berikan selama sputum BTA tetap positif. Baik dengan biakan

maupun secara langsung. Zulkifli Amin, dkk (2006).

Kemoterapi bertujuan untuk :

1 Mengobati pasien dengan sedikit mungkin mengganggu aktivitas

hariannya, dalam periode pendek, tidak memandang apakah resistensi

terhadap obat yang ada.

2 Mencegah kematian atau komplikasi lanjut akibat penyakitnya.

3 Mencegah kambuh

4 Mencegah muculnya resistensi obat

5 Mecegah lingkungannya dari penularan. Zulkifli Amin, dkk (2006)

22
Obat-obatan TB dapat di klasifikasikan menjadi 2 resimen, yaitu obat lapis

pertama dan kedua. Kedua lapisan obat ini di arahkan kepenghentian

pertumbuhan basil. Pengurangan basil dorman pencegahan terjadinya

resistensi. Obat-obatan lapis pertama terdiri dari Isoniazid (INH),

Rifampicin, , pyrazinamide, ethambutol dan Aminoglycosides, di luar

streptomycin dan Quinolones. ( Amin, dkk 2006).

Resimen pengobatan saat ini (Metode DOTS). Ketengan lengkap :

1) Kategori 1. Pasien tuberculosis paru (TBP) dengan sputum BTA positif

dan kasus baru. TBP lainnya dalam keadaan TB berat, seperti meningitis

tuberculosis, miliaris, perikarditis, peritonitis, pleuritis massif atau

bilateral.

2) Kategori 2. Pasien kasus kambuh atau gagal dengan sputum BTA positif

pengobatan feseinsial terdiri dan 2HRZES/IHRZE, yaitu R denganH,Z,E

setiap hari selama 3 bulan, di tambah dengan S selama 2 bulan pertama.

Apabila sputum BTA menjadi negative, fase lanjutan bisa segera di mulai.

Apabila sputum BTA masih positif pada mingguke 12, faseinisial dengan 4

obat di lanjutkan 1 bulan lagi.

3) Kategori 3. Pasien TBP dengan sputum BTA negative tetapi kelainan paru

tidak luas dan kasus ekstra-pulmonal (selain dari kategori 1) pengobatan

faseinsial terdiri dari 2HRZ, atau 2 H3R3E3Z3, yang di teruskan dengan

fase lanjutan 2HR atau H3R3.

23
4) Kategori 4. Tuberculosis kronik, pada pasien ini mungkin mengalami

resistensi ganda, sputumnya harus di kultur dan uji kepekaan obat untuk

seumur hidup di beri H saja (WHO) atau sesuai rekomendasi WHO untuk

pengobatan TB resistensi ganda. ( Amin, dkk 2006).

2.1.12 Panduan Obat

Dalam riwayat kemoterapi terhadap tuberculosis dahulu di pakai satu macam

obat saja. Kenyataannya dengan pemakaian obat tunggal ini banyak terjadi

resistensi karena sebagian besar kuman tuberculosis memang dapat di musnahkan

tetapi sebagian kecil tidak. Kelompok kecil yang resistensi ini malah berkembang

dengan leluasa. Untuk mencegah terjadinya resistensi ini, terapi tuberculosis di

lakukan dengan memakai paduan obat, sedikitnya di berikan 2 macam obat yang

bersifat bakterisid. Zulkifli Amin, dkk (2006).

2. 1. 13 Prinsip Pengobatan TB

Obat Anti Tuberculosis ( OAT ) adalah komponen terpenting dalam

pengobatan TB. Pengobatan TB adalah salah satu upaya paling efesiensi untuk

mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB. Pengobatan yang adekuat

harus memenuhi prinsip :

 Pengobatan diberikan dalam betuk paduan OTA yang tepat mengandung

minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.

 Di berikan dalam dosis yang tepat

24
 Di telan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas

Menelan Obat) sampai selesai pengobatan.

 Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap

awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.

2. 1. 14 Tahapan pengobatan TB

Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap

lanjutan dengan maksud :

• Tahap awal :

Pengobatan diberikan setiap hari, panduan pengobatan pada tahap ini adalah

dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam

tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang

mungkin sudah resistan sejak sebelum pasien mendapat pengobatan.

Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2

bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tampa adanya

penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama 2

minggu.

• Tahap lanjutan :

Pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang penting untuk membunuh

sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya kuman persister

sehingga pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan

25
Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Table 2.1 OAT Line Pertama

Nama Obat Sifat Efek samping

Isoniasid (H) Bakterisidal Neuropatiperifer,psikosistoksik,


gangguan fungsi hati, kejang

Rifampisin (R) Bakterisidal Flusyndrome, gangguan gastrointestinal,


urine berwarna merah, gangguan fungsi
hati, trombositopeni, demam, skinrash,
sesaknafas, anemia hemolitik

Pirazinamide(Z) Bakterisidal Gangguan gatrointestinal, gangguan


fungsi hati, gout artritis

Streptomisin(S) Bakterisidal Nyeri ditempat suntikan, gangguan


keseimbangan dan pendengaran,
renjatananafilaktik, anemia,
agranulositosis, trombositopeni

Etambutol(E) Bakterisidal Gangguan penglihatan, butawarna,


neuritis perifer

( Kemenkes RI, 2014 ).


Table 2.2 Kisarandosis OAT lini pertama bagi pasien dewasa
OAT Dosis

Harian 3x/ minggu

KisaranDosis Maksimum KisaranDosis Maksimum


(mg/kg BB) (mg) (mg/kg BB) (mg)

Isoniasid 5(4–6) 300 10 ( 8 – 12 ) 900

Rifampisin 10( 8 – 12 ) 600 10 ( 8 – 12 ) 600

26
Pirazinamide 25(20– 30 ) - 35(30 – 40 ) -

Streptomisin 15(15– 20 ) - 30(25 – 35 ) -

Etambutol 15(12– 18 ) - 15(12 – 18 ) 1000

( Kemenkes RI, 2014 ).

Catatan : pemberian streptomisi untuk yang berumur>60 tahun atau pasien

dengan berat badan <50 kg mungkin tidak dapat mentoleransi dosis>500

mg/hari.

2.1.16 Evaluasi Pengobatan

1) Klinis biasanya pasien di control dalam 1 minggu pertama, selanjutnya

setiap minggu selama tahan intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai

akhir pengobatan. Secarak linis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-

keluhan pasien seperti batuk berkurang ,batuk dahak hilang, nafsu makan

bertambah, berat badan meningkat, dll

2) Bakteriologis. Biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai

menjadi negative .pemeriksaan control sputum BTA di lakukan sekali

sebulan dilakukan pada akhir bulan ke 2,4 dan 6.

3) Radiologis. Evaluasi radiologis juga di perlukan untuk melihat kemajuan

terapi. Beberapa ahli kedokteran menyatakan evaluasi radiologisini

sebenarnya kurang berperan dalam evaluasi penyakitnya. Bila fasilitas

27
memungkinkan foto control dapat di buat pada akhir pengobatan, jika

keluhan pasien tetap tidak berkurang (misalnya tetap batuk-batuk). Dengan

pemeriksaan radiologis dapat dilihat keadaan tuberculosis parunya atau

adakah penyakit lain yang menyertainya. Zulkifli Amin, dkk (2006).

2.1.17 Kegagalan pengobatan

Sebab-sebab kegagalan pengobatan sebagai berikut :

1) Obat : Paduan obat tidak adekuat, dosis obat tidak cukup, minum obat tidak

teratur,/tidaksesuai dengan petunjuk yang di berikan, terjadi resistensi, jangka

waktu pengobatan kurang dari semestinya.

2) Drop Out :kekurangan biaya pengobatan, merasa sudah sembuh. Malas

berobatat/kurang motivasi.

3) Penyakit :Lesi paru yang terlalu sakit terlalu luas/sakit berat, penyakit lain

yang menyertai tuberculosis seperti diabetes mellitus, adanya gangguan

imunologis. Zulkifli Amin, dkk (2006)

2.1.18 Pencegahan

Vaksinasi BCG dapat melindungi anak yang berumur kurangdari 15

tahun sampai 80%, akan tetapi dapat mengurangi makna dari pemeriksaan

tes tuberculin. Indikasi dari vaksinasi BCG(Bacills Calmette-Guerin)

adalah :

- Pada negara maju vaksinasi di tujukan pada orang dengan tes tuberculin yang

negative pada orang-orang yang mempunyai resiko tinggi, misalnya perawat

atau pekerjaan sukarela.

28
- Pada negara berkembang maka vaksinasi BCG hanya efektif di berikan pada

neonates.

Adapun beberapa catatan yang perlu di ketahui :

- Pada anak-anak harus di lakukan tes tuberkulin. Selain neonates maka anak

yang dengan tes tuberculin negative perlu juga di vaksinasi BCG.

- Tidak di berikan pada pasien yang mempunyai immunocompromised,

termasuk kehamilan dan dermatitis yang luas.

- Bila kemungkinan mempunyai resiko tuberculosis yang tinggi maka semua

neonates harus di berikan vaksinasi. ( Amin, dkk 2006).

2.2 Konsep Diri

2.2.1 Pengertian Konsep Diri

Konsep diri adalah semua ide, pikiran, perasaan, kepercayaan dan penderian

yang di ketahui individu dalam berhubungan dengan orang lain. Konsep diri

berkembang secara bertahap di mulai dari bayi dapat mengenali dan membedakan

orang lain. Proses yang berkisanambungan dari perkembangan konsep diri di

pengaruhi oleh pengalaman interpersonal dan cultural yang memberikan perasaan

positif memahami kompetensi pada area yang bernilai bagi individu dan di pelajari

melalui akumulasi kontak-kontak sosial dan pengalaman dengan orang lain.

Konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara utuh baik fisik,

emosi, intelektual, dan spiritual. Suliswati, dkk (2005).

2.2.2 Teori Perkembangan Konsep Diri

29
Konsep diri pada saat bayi di lahirkan, tetapi berkembang secara bertahap,

saat bayi dapat membedakan dirinya dari orang lain, mempunyai nama sendiri,

pakaian sendiri. Anak mulai mempelajari dirinya, yang mana kaki, tangan, mata

dan sebagainya serta kemampuan berbahasa akan memperlancar proses tumbuh

kembang anak. Suliswati, dkk (2005).

Seseorang dengan konsepdiri yang positif dapat mengeksplorasi dunianya

secara terbuka dan jujur karena latar belakang penerimaannya sukses, konsep diri

yang positif berasal dari pengalaman yang positif yang mengarah pada

kemampuan pemahaman. Karakteristik individu dengan konsep diri yang

positif :Suliswati, dkk (2005).

1) Mampu membina hubungan pribadi, mempunyai teman dan gampang

bersahabat.

2) Mampu berfikir dan membuat keputusan

3) Dapat beradaptasi dan menguasai lingkungan.

Konsep diri yang negative dapat di lihat dari hubungan individu dan sosial

yang maladapitif.

Setiap individu dalam kehidupannya tidak terlepas dari berbagai stressor,

dengan adanya stressor akan menyebabkan ketidakseimbangan dalam diri sendiri.

Dalam usaha mengatasi ketidakseimbangan tersebut individu menggunakan

koping yang bersifat membangun. Suliswati, dkk (2005).

2.2.3 Komponen Konsep Diri

30
Konsep diri terdiri dari citra tubuh (body image) ideal diri (Self-ideal), harga

diri (Self-esteem), dan identitas diri (Self-identity). Suliswati, dkk (2005).

1) Citra tubuh

Citra tubuh adalah sikap individu terhadap tubuhnya baik di sadari

atau tidak di sadari meliputi persepsi masa lalu atau sekarang mengenai

ukuran dan bentuk, funsi, penampilan dan potensi tubuh. Citra tubuh

sangat dinamis karena secara konstan berubah seiring dengan persepsi

dan pengalaman-pengalaman baru. Suliswati, dkk (2005).

2) Ideal Diri

Ideal Diri adalah perseps iindividu tentang bagaimana ia seharusnya

bertingkah laku berdasarkan standar pribadi. Standar dapat berhubungan

dengan tipe orang yang di inginkan/di sukai atau sejumlah aspirasi,

tujuan, nilai yang ingin di raih, ideal diri, akan mewujudkan cita-cita atau

pengharapan diri. Suliswati, dkk (2005).

3) Harga diri

Harga diri adalah penilaian pribadi terhadap hasil yang di capai

dengan hasil yang di capai dengan menganalis seberapa banyak

kesesuaian tingkah laku dengan ideal dirinya. Harga diri di peroleh dari

diri sendiri dan orang lain yaitu: dicintai, di hormati dan di hargai.

Individu akan merasa harga dirinya tinggi bila sering mengalami

keberhasilan, sebaliknya individu merasa harga dirinya rendah bila

31
sering mengalami kegagalan, tidak di cintai atau tidak di terima oleh

lingkungan. Suliswati, dkk (2005).

4) Peran

Peran adalah serangkaian pola sikap perilaku, nilai dan tujuan

yang di harapkan oleh masyarakat di hubungkan dengan funsi individu di

dalam kelompok sosialnya. Peran memberikan sarana untuk berperan

serta dalam kehidupan sosial dan merupakan cara untuk menguji

identitas dengan memvalidasi pada orang yang berarti. setiap orang di

sibukkan oleh beberapa peran yang berhubungan dengan posisi pada tiap

waktu sepanjang daur kehidupan. Harga diri yang tinggi merupakan hasil

dari peran yang memenuhi kebutuhan dan cocok dengan ideal diri.

Suliswati, dkk (2005).

5) Identitas Diri

Identitas diri adalah kesadaran tentang diri sendiri yang dapat di

peroleh individu dari observasi dan penilaian terhadap dirinya berbeda

dengan orang lain. Identitas diri merupakan sintesis dari semua aspek

konsep diri sebagai suatu kesatuan yang utuh, tidak di pengaruhi oleh

pencapaian tujuan, atribut/jabatan dalam peran.Seseorang yang

mempunyai perasaan identitas diri yang kuat akan memandang dirinya

berbeda dengan orang lain, dan tidak ada duanya, kemandirian timbul

dari perasaan berharga (Respek pada diri sendiri), kemampuan dan

penguasaan diri. Suliswati, dkk (2005).

32
Ciri-ciri yang mempunyai kepribadian sehat :Suliswati, dkk (2005).

1) Citra tubuh positif dan akurat: kesadaran akan diri berdasarkan atas

observasi mandiri dan perhatian yang sesuaiakan kesehatan diri termasuk

persepsi saat ini dan yang lalu akan diri sendiri dan perasaan tentang

ukuran, fungi, penampilan dan potensi tubuh.

2) Ideal diri realistis: individu yang mempunyai ideal diri realistis akan

mempunyai tujuan hidup yang dapat di capai.

3) Harga diri tinggi : individu yang mempunyai harga diri tinggi akan

memandang dirinya sebagai seorang yang berarti dan bermanfaat.

4) Penampilan peran memuaskan: individu dengan penampilan peran

memuaskan akan dapat berhubungan dengan orang lain secara intim dan

mendapat kepuasan. Ia dapat mempercayai dan terbuka pada orang lain

dan membina hubungan interdependent.

5) Identitas jelas ; individu merasakan keunikan dirinya yang member arah

kehidupan dalam mencapai tujuan.

2.2.4 Gangguan Konsep Diri

1) Faktor predisposisi

Faktor predisposisi gangguan citra tubuh :Suliswati, dkk (2005).

a) Kerusakan atau kehilangan bagian tubuh (anatomi dan fungsi)

b) Perubahan ukuran, bentuk dan penampilan tubuh (akibat pertumbuhan

dan perkembangan atau penyakit).

33
c) Proses patologik penyakit dan dampaknya terhadap struktu rmaupun

fungsi tubuh.

d) Prosedur pengobatan seperti radiasi, kemoterapi, transplantasi.

2) Faktor predisposisi gangguan harga diri. : Suliswati, dkk (2005).

a) Penolakan dari orang lain

b) Kurang penghargaan

c) Pola asuh yang salah: terlalu di larang, terlalu di control, terlalu di turuti,

terlalu di tuntut dan tidak konsisten.

3) Faktor predisposisi gangguan peran. Suliswati, dkk (2005).

a) Transisi peran yang sering terjadi pada proses perkembangan, perubahan

situasi dan keadaan sehat sakit.

b) Ketegangan peran, ketika individu menghadapi dua harapan yang

bertentangan secara terus-menerus yang tidak terpenuhi

c) Keraguan peran, ketika individu kurang pengetahuannya tentang

harapan peran yang spesifik dan bingung tentang tingkah laku peran

yang sesuai.

d) Peran yang terlalu banyak.

4) Faktor predisposisi gangguan identitas diri. Suliswati, dkk (2005).

a) Ketidak percayaan orang tua pada anak

b) Tekanan dari teman sebaya

c) Perubahan struktur sosial

34
2.2.5 Faktor Presipitasi

1) Trauma

Masalah spesifik sehubungaun dengan konsep diri adalah situasi yang

membuat individu sulit untuk menyesuaikan diri atau tidak dapat

menerima,khususnya trauma emosi seperti penganiyaan fisik, seksual dan

psikologis pada masa anak-anak atau merasa terancam kehidupannya atau

menyaksikan kejadian berupa tindakan kejahatan. ( Suliswati, dkk2005).

2) Ketegangan peran

Ketegangan peran adalah perasaan frustasi ketika individu merasa tidak adekuat

melakukan peran atau melakukan peran yang bertentangan dengan hatinya atau

tidak merasa cocok melakukan perannya. Ketegangan peran ini sering di jumpai

terjadi konflik peran, keraguan peran dan terlalu banyak peran. ( Suliswati, dkk

2005).

4) Perubahan perilaku. ( Suliswati, dkk 2005).

a) Perubahan perilaku pada gangguan citra tubuh yaitu seperti :

Menolak menyentuh atau melihat bagian tubuh tertentu, Menolak bercermin,

Tidak mau mendiskusikan keterbatasan atau catat tubuh, Menolak usaha

rehabilitasi, Merasa bersalah dan kwatir, Merasa tidak mampu, Menunda

keputusan, Gangguan berhubungan, Menarik diri dari realita, Membesa-

besarkan diri sebagai orang penting, Perasaan negative terhadap tubuh,

Ketegangan peran, Pesimis menghadapi hidup. ( Suliswati, dkk 2005).

35
b) Perubahan perilaku yang berhubungan dengan keracunan identitas seperti :

Tidak melakukan kode moral, Kepribadian yang bertentangan, Hubungan

interpersonal yang eksplotatif, Perasaan hampa, Perasaan menganbang tentang

diri, Kekacauan identitas seksual, Kecemasan yang tinggi, Ideal diri tidak

realistis, Tidak mampu berempati terhadap orang lain. Suliswati, dkk (2005).

c) Perubahan perilaku yang berhubungan dengan depersonalisasi

1) Afektif : Kehilangan identitas diri, Merasa asing dengan diri sendiri,

Perasaan tidak nyata, Tidak ada perasaan berkisanambungan. Suliswati,

dkk (2005).

2) Persepsi : Halusinasi pendengaran/penglihatan, Kekacauan identitas

seksual, Sulit membedakan diri dengan orang lain, Gangguan citra tubuh,

Menjalani kehidupan seperti dalam mimpi. ( Suliswati, dkk2005).

3) Kognitif : Bingung, Disorientasiwaktu, Gangguan berfikir, Gangguan

daya ingat, Gangguan penilaian. ( Suliswati, dkk2005).

4) Perilaku : Pasif, Komunikasi tidak sesuai, Kurang spontanitas, Kurang

pengendalian diri, Kurang mampu membuat keputusan, Menarik diri dari

hubungan sosial. (Suliswati, dkk2005).

2.2.6 Mekanisme koping

Dalam kehidupan sehari-harinya, individu menghadapi pengalaman yang

mengganggu ekuilibrium kognitif dan afektifnya. Individu dapat mengalami

perubahan hubunga ndengan orang lain dalam harapannya tehadap diri sendiri

dengan cara negative. Munculnya ketegangan dalam kehidupan mengakibatkan

36
perilaku pemecahan masalah( mekanisme koping) yang bertujuan untuk meredakan

ketegangan tersebut.(Suliswati, dkk2005).

Klien gangguan konsep diri menggunakan mekanisme koping yang dapat di

kategorikan menjadi 2 koping yaitu : koping jangka pendek dan koping jangka

panjang. ( Suliswati, dkk 2005).

- Koping jangka pendek

Karakteristik koping jangka pendek :

1) Aktivitas yang dapat memberikan kesempatan lari sementara dari krisis,

misalnya, menonton televise, kerja keras, olahraga berat.

2) Aktivitas yang dapat memberikan identitas pengganti sementara,

misalnya, ikut kegiatan sosial politik, agama.

3) Aktivitas yang memberi kekuatan atau dukungan sementara terhadap

konsep diri misalnya: aktivitas yang berkompotisi yaitu pencapaian

akademik atau olahraga.

4) Aktivitas yang mewakili jarak pendek untuk membuat masalah identitas

menjadi kurang berarti dalam kehidupan, misalnya penyalahgunaan zat.

- Koping jarak panjang

Koping jangka panjang di kategorikan dalam penutupan identitas dan identitas

negatif.

1 Adopsi identitas premature yang di inginkan oleh orang yang penting bagi

individu tanpa memperhatikan keinginan, aspirasi dan potensi individu.

2 Identitas negatitif

37
Asumsi identitas yang tidak wajar untuk dapat di terima oleh nilai-nilai

dan harapan masyarakat. ( Suliswati, dkk2005).

2.2.7 Mekanisme Pertahanan Ego

Mekanisme pertahanan ego yang sering di pakai adalah :

1) Fantasi, kemampuan menggunakan tanggapan-tanggapan yang sudah ada

(dimiliki) untuk menciptakan tanggapan baru

2) Disosiasi, responn yang tidak sesuai dengan stimulus

3) Isolasi, menghindarkan diri dari interaksi dengan lingkungan luar

4) Projeksi, kelemahan dan kekurangan pada diri sendiri di lontarkan pada

orang lain ( Suliswati, dkk 2005).

38
BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah artikel

review, yakni berisi uraian tentang teori, temuan dan bahan penelitian lain yang

di peroleh oleh bahan acuan untuk di jadikan landasan kegiatan penelitian.

Uraian dalam Literature review di arahkan untuk menyusun kerangka

pemikiran yang jelas tentang pemecahan masalah yang sudah di uraikan pada

perumusan masalah. Penelitian ini menggunakan Literature review yang

bertujuan untuk mendapatkan landasan teori yang bisa mendukung pemecahan

masalah yang sedang di teliti tentang “Konsep Diri Pada Penderita TB Paru”.

3.2 Tahapan Literature Review

Dalam penelitian yang menggunakan metode Literature Review, ada

beberapa tahapan yang harus dilakukan sehingga hasil dari studi literatur

tersebut dapat diakui kredibilitasnya. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah

sebagai berikut :

3.2.1 Identifikasi masalah

Identifikasi masalah adalah proses pengenalan atau inventarisasi

masalah. Masalah penelitian (research problem) merupakan sesuatu yang

penting di antara proses yang lain, dikarenakan hal tersebut menentukan

kualitas suatu penelitian. Dalam penelitian ini peneliti mengkaji permasalahan

39
melalui jurnal-jurnal penelitian nasional dan internasional yang berasal dari

laporan hasil-hasil penelitian. Masalah penelitian ini adalah mengetahui

Konsep Diri Pada Penderita TB Paru.

3.2.2 Pencarian Data

Dalam penelitian ini peneliti melakukan pencarian data melalui

Google Scholar Berdasarkan judul penelitian “Konsep Diri Pada Penderita TB

Paru”, maka peneliti melakukan pencarian data jurnal menggunakan kata

kunci “ Konsep Diri dan TB Paru”.

3.2.2 Screening

Screening adalah penyaringan atau pemilihan data yang bertujuan untuk

memilih masalah penelitian yang sesuai dengan topik yang diteliti. Adapun

topik yang diteliti dalam penelitian ini adalah Konsep Diri Pada Penderita TB

Paru. Dengan topik tersebut, data jurnal yang diakses dalam proses penelitian

ini di-screening berdasarkan pada kriteria sebagai berikut.

a. Jurnal diterbitkan dalam rentang waktu 10 tahun terakhir

b. Tipe jurnal (Review articles ).

c. Jurnal yang dapat diakses secara penuh melalui file pdf full text

d. Artikel yang di ambil adalah artikel atau jurnal nasional dan

internasional

40
3.2.4 Meringkas

Meringkas adalah teknik melakukan review dengan menulis kembali

sumbernya dengan kalimat sendiri agar mudah di pahami oleh penulis.

3.3 Jadwal Penelitian

No Dese Januar Febru Mare Apr Juni Juli


Kegiatan

1. Persiapan 

Proposal

2. Seminar Proposal 

3. Perbaikan 

proposal

4. Pengambilan dan

pengolahan data

5 Ujian KTI 

6 Perbaikan KTI  

7 Pengumpulan 

41
BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Gambaran Umum

Dalam penelitian ini peneliti melakukan pencarian data melalui

Google Scholar dengan jumlah artikel 7, screening full text berjumlah 4, non

full text berjumlah 3 sedangkan yang full text atau yang di review berjumlah 4

Berdasarkan judul penelitian “Konsep Diri Pada Penderita TB Paru” dengan

menggunakan kata kunci “ Konsep Diri dan TB Paru “.

4.1.2 Gambaran Khusus

1. Artikel 1 dengan judul adalah Hubungan konsep diri dan dukungan

keluarga pada penderita TB Paru meneliti 2 variabel penelitian yaitu konsep

diri dan dukungan keluarga akan di jelaskan sebagai berikut:

1. Konsep diri

Konsep diri terdiri dari 2 kriteria yaitu criteria positif dan negative dapat di

jelaskan pada tabel 5.2 sabagai berikut :

Tabel 5.1. Distribusi frekuensi berdasarkan Konsep Diri

No Konsep Diri Jumlah presentase


1 Positif 27 55,1
2 Negative 22 44,9

42
Berdasarkan tabel 1 mayoritas responden memiliki konsep diri positif dengan

jumlah 27 orang (55,1%) dan dukungan keluarga baik dengan jumlah 30

orang ( 61,2 % ). Kondisi ini menunjukkan bahwa penderita TB Paru sangat

membutuhkan peranan keluarga dalam proses penyembuhan.

2. Artikel 2 dengan judul adalah Gambaran harga diri ( self esteem )

penderita TB Paru meneliti 1 variabel penelitian yaitu Gambaran Harga Diri

dapat di jelaskan sebagai berikut :

1. Gambaran harga diri

Gambaran harga diri terdiri dari 2 kriteria yaitu criteria rendah dan tinggi
dapat di jelaskan pada tabel 5.3 sabagai berikut :
Tabel 5.3. Distribusi frekuensi Gambaran Harga Diri

Kategori F %
Rendah 22 48,9
Tinggi 23 51,1
Berdasarkan tabel 1, Distribusi Frekuensi Harga Diri Penderita TB Paru

responden yang memiliki harga diri tinggi lebih banyak dibandingkan dengan

responden yang memiliki harga diri rendah, masing-masing sebanyak 23

responden (51,1%) dan 22 responden (48,9%).

3. Artikel 3 dengan judul adalah Konsep diri pada penderita TB Paru meneliti

4 variabel penelitian yaitu citra tubuh, ideal diri, identitas diri, peran diri dan

harga diri

43
1. Citra Tubuh

Citra tubuh terdiri dari 3 kriteria yaitu criteria baik, cukup dan kurang dapat di

jelaskan pada tabel 5.4 sebagai berikut :

Tabel 5.4. Distribusi frekuensi Citra Tubuh

No Citra Tubuh Frekuensi %


1 Baik 2 6,5
2 Cukup 3 9,7
3 Kurang 26 83,9
4 Jumlah 31 100
Berdasarkan tabel 1 distribusi frekuensi responden berdasarkan citra tubuh

prosentase terbesar adalah penderita TB paru yang memiliki citra tubuh

kurang yaitu sejumlah 26 orang (83.9%), kemudian penderita TB paru yang

memiliki citra tubuh cukup yaitu sejumlah 3 orang (9.7%), dan prosentase

responden terendah adalah penderita TB paru yang memiliki citra tubuh baik

yaitu sejumlah 2 orang (6.5%).

2. Ideal Diri

Ideal Diri terdiri dari 3 kriteria yaitu criteria cukup dan kurang dapat di

jelaskan pada tabel 5.5 sebagai berikut :

Tabel 5.5. Distribusi frekuensi Ideal Diri

No Ideal Diri Frekuensi %


1 Cukup 3 9,7
2 Kurang 28 90,3
3 Jumlah 31 100
Berdasarkan tabel 2 distribusi frekuensi responden berdasarkan ideal diri

prosentase terbesar adalah penderita TB paru yang memiliki ideal diri kurang

44
yaitu sejumlah 28 orang (90.3%), dan prosentase responden terkecil adalah

penderita TB paru yang memiliki ideal diri cukup yaitu sejumlah 3 orang

(9.7%).

3. Identitas Diri

Identitas Diri terdiri dari 3 kriteria yaitu criteria baik, cukup dan kurang dapat

di jelaskan pada tabel 5.6 sebagai berikut :

Tabel 5.6. Distribusi frekuensi Identitas Diri

No Identitas Diri Frekuensi %


1 Baik 6 19,4
2 Cukup 7 22,6
3 Kurang 18 58,1
4 Jumlah 31 100
Berdasarkan tabel 3 distribusi frekuensi responden berdasarkan identitas diri

prosentase terbesar adalah penderita TB paru yang memiliki identitas diri

kurang yaitu sejumlah 18 orang (58.1%), kemudian penderita TB paru yang

memiliki identitas diri cukup yaitu sejumlah 7 orang (22.6%), dan prosentase

responden terendah adalah penderita TB paru yang memiliki identitas diri

baik yaitu sejumlah 6 orang (19.4%).

4. Peran Diri

Peran Diri terdiri dari 3 kriteria yaitu criteria baik, cukup dan kurang dapat di

jelaskan pada tabel 5.7 sebagai berikut :

45
Tabel 5.7. Distribusi frekuensi Peran Diri

No Peran Diri Frekuensi %


1 Baik 8 22,5
2 Cukup 6 19,4
3 Kurang 17 54,8
4 Jumlah 31 100
Berdasarkan tabel 4 distribusi frekuensi responden berdasarkan peran diri

prosentase terbesar adalah penderita TB paru yang memiliki peran diri kurang

yaitu sejumlah 17 orang (54.8%), kemudian penderita TB paru yang memiliki

peran diri baik yaitu sejumlah 8 orang (25.8%), dan prosentase responden

terendah adalah penderita TB paru yang memiliki peran diri cukup yaitu

sejumlah 6 orang (19.4%).

5. Harga Diri

Peran Diri terdiri dari 3 kriteria yaitu criteria baik, cukup dan kurang dapat di

jelaskan pada tabel 5.8 sebagai berikut :

Tabel 5.8. Distribusi frekuensi Harga Diri

No Harga Diri Frekuensi %


1 Baik 5 16,1
2 Cukup 10 32,3
3 Kurang 15 51,6
4 Jumlah 31 100
Berdasarkan tabel 5 distribusi frekuensi responden berdasarkan harga diri

prosentase terbesar adalah penderita TB paru yang memiliki harga diri kurang

yaitu sejumlah 16 orang (51.6%), kemudian penderita TB paru yang memiliki

harga diri cukup yaitu sejumlah 10 orang (32.3%), dan prosentase responden

46
terendah adalah penderita TB paru yang memiliki harga diri baik yaitu

sejumlah 5 orang (16.1%).

4. Artikel 4 dengan judul adalah Faktor-faktor yang mempengaruhi

perubahan konsep diri pada penderita TB Paru meneliti 4 variabel penelitian

yaitu Hubungan Sosial Budaya dengan Konsep Diri Penderita TB Paru,

Hubungan Kepribadian dengan Konsep Diri Penderita TB Paru, Hubungan

Pengetahuan dengan Konsep Diri Penderita TB Paru, Hubungan Kehilangan

Kerabat dengan Konsep Diri Penderita TB Paru

1. Hubungan Konsep Diri dengan sosial budaya pada Penderita TB Paru

terdiri dari Konsep Diri dengan kriteria baik dan kurang sedangkan Hubungan

Sosial Budaya dengan criteria baik, cukup dan kurang dapat di jelaskan pada

tabel 5.9 sebagai berikut:

Tabel 5.9. Distribusi frekuensi berdasarkan Hubungan Konsep Diri dan Sosial
Budaya pada Pendrita TB Paru
Sosial Konsep Diri Jumlah
Budaya Baik Kurang
F % F % F %
Baik 8 38,9 1 4.79 9 42,88
Kurang 3 14,28 9 42,84 12 57,12
Jumlah 11 52,37 10 47,63 21 100
P = o,oo8

Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa dari 21 responden dapat diketahui

ada 8 responden yang konsep diri baik, yang tergolong sosoal budayanya baik

yaitu sebanyak 9 responden.

47
2. Hubungan Konsep Diri dengan Kepribadian pada Penderita TB Paru Paru

terdiri dari konsep diri dengan criteria baik, dan kurang sedangkan Hubungan

Kepribadian dengan criteria baik dan kurang dapat di jelaskan pada tabel 5.10

sebagai berikut:

Tabel 5.10. Distribusi frekuensi berdasarkan Hubungan Konsep Diri dengan


Kepribadian pada Pendrita TB Paru
Kepribadian Konsep Diri Jumlah
Baik Kurang
F % F % F %
Baik 10 47,62 1 4.79 11 52,41
Kurang 1 4,79 9 42,8 10 47,59
Jumlah 11 52,37 10 47,63 21 100
Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa dari 21 responden dapat diketahui

bahwa dari 10 responden yang konsep dirinya baik, yang tergolong

kepribadiannya baik yaitu sebanyak 11 responden.

3. Hubungan Konsep Diri dengan pengetahuan pada Penderita TB Paru terdiri

dari Hubungan Konsep Diri dengan kriteria baik dan kurang sedangkan

Pengetahuan dengan kriteria baik dan kurang dapat di jelaskan pada tabel 5.11

sebagai berikut:

Tabel 5.11. Distribusi frekuensi berdasarkan Hubungan Konsep Diri dengan


Pengetahuan pada Penderita TB Paru
Pengetahuan Konsep Diri Jumlah
Baik Kurang
F % F % F %
Baik 8 47,62 1 4.79 11 52,41
Kurang 3 4,79 9 42,84 10 47,59
Jumlah 11 52,37 10 47,63 21 100
Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa,dari 21 responden, dapat diketahui

bahwa dari 11 responden yang konsep dirinya baik, yang tergolong

48
pengetahuannya baik yaitu sebanyak 47.62 % (10 responden) dan yang

konsep dirinya kurang yaitusebanyak 4.79 % (1 responden) serta yang

pengetahuannya kurang yaitu sebanyak 10 responden, yang tergolong konsep

dirinya baik yaitu sebanyak 4.79 (1 responden) dan yang tergolong konsep

dirinya kurang yaitu sebanyak 42.84 ( 9 responden).

4. Hubungan Konsep Diri dengan Kehilangan Kerabat Penderita TB Paru

terdiri dari Hubungan Konsep Diri dengan criteria baik dan kurang sedangkan

Kehilangan Kerabat dengan kriteria baik dan kurang dapat di jelaskan pada

tabel 5.12 sebagai berikut:

Tabel 5.12. Distribusi frekuensi berdasarkan Hubungan Konsep Diri dengan


Kehilangan Kerabat pada Pendrita TB Paru
Kehilangan Konsep Diri Jumlah
Kerabat Baik Kurang
F % F % F %
Baik 8 38,9 1 4.79 9 42,88
Kurang 3 14,2 9 42,84 12 57,12
8
Jumlah 11 52,3 10 47,63 21 100
7
Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa,dari 21 responden, dapat diketahui

bahwa dari 11 responden yang Konsep Dirinya baik, yang tergolong

kehilangan kerabat yaitu sebanyak 47.62 % (10 responden) dan yang konsep

dirinya kurang yaitusebanyak 4.79 % (1 responden) serta yang

pengetahuannya kurang yaitu sebanyak 10 responden, yang tergolong konsep

dirinya baik yaitu sebanyak 4.79 (1 responden) dan yang tergolong konsep

dirinya kurang yaitu sebanyak 42.84 ( 9 responden).

49
4.2 PEMBAHASAN

4.2.1 Hubungan dukungan keluarga dengan konsep diri pada penderita TB Paru

Berdasarkan tabel 1 mayoritas responden memiliki dukungan keluarga baik

dengan jumlah orang 30 (61,2%). Berdasarkan tabel 2, mayoritas responden

memiliki konsep diri positif dengan jumlah 27 orang (55,1%). Hubungan

antara dukungan keluarga terhadap konsep diri pasien TB Paru hal ini

didukung oleh penelitian yang dilakukan Hafidz, Azza, dan Komarudin

(2015) mengatakan bahwa dukungan keluarga dapat mempengaruhi konsep

diri pasien TB Paru. Kondisi ini menunjukkan bahwa penderita TB Paru

sangat membutuhkan peranan keluarga dalam mencapai kesembuhan.

dukungan sosial yang utama berasal dari keluarga, karena kleuarga memegang

peranan penting dalam kehidupan penderita tuberkulosis berjuang untuk

mencapai kesembuhan, berfikir kedepan dan menjadikan hidupnya lebih

berkualitas. Resonden yang memilki dukungan keluarga yang kurang dengan

jumlah orang 19 ( 38,8% ) Sehingga menurut saya sangat dukung penelitian

yang di lakukan oleh Hafidz, Azza, dan Komarudin karena penderita TB Paru

sangat membutuhkan peranan keluarga karena dukungan yang optimal akan

mengakibatkan keadaan pasien menjadi lebih baik.

4.2.2 Gambaran harga diri ( self esteem ) penderita TB Paru

50
Berdasarkan tabel 1, Distribusi Frekuensi Harga Diri Penderita TB Paru yang

memiliki harga diri tinggi lebih banyak dibandingkan dengan responden yang

memiliki harga diri rendah, masing-masing sebanyak 23 responden (51,1%)

dan 22 responden (48,9%). Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan teori

yang ada namun sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hutapea (2009)

hal ini dimungkinkan karena penderita TB Paru di wilayah puskesmas eks

kawedanan Indramayu lebih banyak diderita oleh laki-laki, harga diri

memiliki keterkaitan dengan jenis kelamin, hal ini di dukung oleh Moksnes

(2010) bahwa laki-laki memiliki harga diri lebih tinggi dibandingkan wanita.

Individu dengan harga diri tinggi memiliki sikap penerimaan dan memiliki

rasa percaya diri (Mubarak & Chayatin, 2008).

4.2.3 Konsep diri pada penderita TB Paru

1. Citra Tubuh

Berdasarkan tabel 1 distribusi frekuensi responden berdasarkan citra tubuh

prosentase terbesar adalah penderita TB paru yang memiliki citra tubuh

kurang yaitu sejumlah 26 orang (83.9%), kemudian penderita TB paru yang

memiliki citra tubuh cukup yaitu sejumlah 3 orang (9.7%), dan prosentase

responden terendah adalah penderita TB paru yang memiliki citra tubuh baik

yaitu sejumlah 2 orang (6.5%). Berdasarkan hasil penelitian di temukan

mayoritas responden memiliki citra tubuh yang kurang, hal ini karena

penderita TB Paru merasa takut saat mengetahui terkena penyakit menular

sehingga merasa cemas, malu saat terjadi perubaha-perubahan fiesik seperti

51
lebih kurus, terlihat lemah dan sering batuk. Sedangkan responden yang

memiliki citra tubuh yang negative, hal ini terjadi ada penderita penyakit

kronis karena adanya perubahan-perubahan dan fungsi tubuh.

2. Ideal Diri

Berdasarkan tabel 2 distribusi frekuensi responden berdasarkan ideal diri

prosentase terbesar adalah penderita TB paru yang memiliki ideal diri kurang

yaitu sejumlah 28 orang (90.3%), dan prosentase responden terkecil adalah

penderita TB paru yang memiliki ideal diri cukup yaitu sejumlah 3 orang

(9.7%). Berdasarkan hasil penelitian di temukan mayoritas responden

memiliki ideal diri yang kurang. Hal ini karena responden yang belum dapat

menerima penyakit yang di deritanya dan tidak ingin terjadi perubahan pada

dirinya seperti berat badan yang terus menurun, lemah dan batuk. Responden

merasa cemas dan tidak menetapkan tujuan hidup untuk mencapai

kesenjangan hidup.

3. Identitas Diri

Berdasarkan tabel 3 distribusi frekuensi responden berdasarkan identitas diri

prosentase terbesar adalah penderita TB paru yang memiliki identitas diri

kurang yaitu sejumlah 18 orang (58.1%), kemudian penderita TB paru yang

memiliki identitas diri cukup yaitu sejumlah 7 orang (22.6%), dan prosentase

responden terendah adalah penderita TB paru yang memiliki identitas diri

baik yaitu sejumlah 6 orang (19.4%). Berdasarkan hasil penelitian di temukan

52
mayoritas responden memiliki identitas diri yang kurang hal ini terjadi Karena

responden merasa tidak sebaik orang lain dan tidak dapat menerima

perubahan-perubahan terjadi karena penyakit yang di alaminya saat ini. Hal

ini sejalan dengan penelitian yang di lakukan Hartati ( 2008 ) mengatakan

sebagian besar responden memiliki ketidakjelasan identitas yaitu di karenakan

penderita penyakit kronis mengatakan mereka tidak dapat menjadi seseorang

yang seutuhnya, merasa putus asa karena tidak dapat membahagiakan orang

yang mereka sayangi.

4. Peran Diri

Berdasarkan tabel 4 distribusi frekuensi responden berdasarkan peran diri

prosentase terbesar adalah penderita TB paru yang memiliki peran diri kurang

yaitu sejumlah 17 orang (54.8%), kemudian penderita TB paru yang memiliki

peran diri baik yaitu sejumlah 8 orang (25.8%), dan prosentase responden

terendah adalah penderita TB paru yang memiliki peran diri cukup yaitu

sejumlah 6 orang (19.4%). Berdasarkan hasil penelitian di temukan mayoritas

responden memiliki peran diri yang kurang hal ini terjadi karena penderita TB

Paru meras tidak dapat melakukan perannya di rumah maupun di masyarakat

dan merasa tidak dapat membahagiakan orang-orang yang di sekelilingnya.

5. Harga Diri

Berdasarkan tabel 5 distribusi frekuensi responden berdasarkan harga diri

prosentase terbesar adalah penderita TB paru yang memiliki harga diri kurang

53
yaitu sejumlah 16 orang (51.6%), kemudian penderita TB paru yang memiliki

harga diri cukup yaitu sejumlah 10 orang (32.3%), dan prosentase responden

terendah adalah penderita TB paru yang memiliki harga diri baik yaitu

sejumlah 5 orang (16.1%). Berdasarkan hasil penelitian di temukan

mayoritas responden memiliki harga diri yang kurang hal ini karena

responden merasa tidak percaya diri saat berinteraksi dengan orang lain

karena perubahn fisik yang di alami, merasa di asingkan, merasa tidak di

hargai, dan merasa tidak berguna untuk orang lain. Responden menilai

negative tentang dirinya dan merasa tidak mempunyai harapan sehingga

pasien sering terlihat menunduk dan menghindarkan kontak mata saat di ajak

berbicara.

4.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan konsep diri pada penderita TB

Paru

1. Hubungan sosial budaya dengan konsep diri


Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa,dari 21 responden, dapat diketahui

bahwa dari 9 responden yang sosial budayanya baik, yang tergolong konsep

dirinya baik yaitu sebanyak 38.09 % (8 responden) dan yang konsep dirinya

kurang yaitu sebanyak 4.79 % (1 responden) serta yang sosial budayanya

kurang yaitu sebanyak 12 responden, yang tergolong konsep dirinya baik

yaitu sebanyak 14.28 % (3 responden) dan yang tergolong konsep dirinya baik

yaitu sebanyak 42.84 ( 9 responden). Berdasarkan hasil penelitian konsep diri

tentu tidak bisa hadir secara tiba-tiba dalam diri seseorang bengitu saja.

54
Konsep diri juga merupakan sesuatu yang tercipta berkat adanya proses. Ada

berbagai macam cara membentuk konsep diri dengan berbagai latar belakang

pribadi orang tersebut. Latar belakang pribadi seseorang tentulah sangat

penting dalam tahapan proses membentuk konsep diri.

2. Hubungan Kepribadian Dengan Konsep Diri

Berdasarkan tabel 2 menunjukkan bahwa,dari 21 responden, dapat diketahui

bahwa dari 11 responden yang kepribadiannya baik, yang tergolong konsep

dirinya baik yaitu sebanyak 47.62% (10 responden) dan yang konsep dirinya

kurang yaitu sebanyak 4.79 % (1 responden) serta yang kepribadiannya

kurang yaitu sebanyak 10 responden, yang tergolong konsep dirinya baik

yaitu sebanyak 4.79 % (1 responden) dan yang tergolong konsep dirinya

kurang yaitu sebanyak 42.8 ( 9 responden). Berdasarkan hasil penelitian

kepribadian bersifat dinamis ( tidak statis ), dan melainkan berkembang secara

terbuka sehingga mnusia senantiasa berada dalam kondisi perubahan dan

perkembangan. Kepribadian selalu dalam penyesuaian diri yang unik dengan

lingkungannya dan berkembang bersama-sama dengan lingkungannya, serta

menetukan jenis penyesuaian yang akan di lakukan karena mempunyai

pengalaman belajar yang berbeda dengan yang lainnya.

3. Hubungan Pengetahuan dengan Konsep Diri

Berdasarkan tabel 3 menunjukkan bahwa,dari 21 responden, dapat diketahui

bahwa dari 11 responden yang pengetahuan baik, yang tergolong konsep

55
dirinya baik yaitu sebanyak 47.62 % (10 responden) dan yang konsep dirinya

kurang yaitusebanyak 4.79 % (1 responden) serta yang pengetahuannya

kurang yaitu sebanyak 10 responden, yang tergolong konsep dirinya baik

yaitu sebanyak 4.79 (1 responden) dan yang tergolong konsep dirinya kurang

yaitu sebanyak 42.84 ( 9 responden). Berdasarkan hasil penelitian kemampuan

berpikir sesorang, setelah tersimpan konsep diri akan masuk ke dalam pikiran

bawah sadar dan akan berpengaruh terhadap tingkat kesadaran kesadaran

seseorang pada suatu waktu. Semakin baik konsep diri seseorang akan

semakin mudah ia mencapai keberhasilan. Pengetahuan mengenai konsep diri

terjadi saat berlangsungnya komunikasi untuk memahami apa yang terjadi

ketika orang saling berkomunikasi, maka seseorang perlu untuk mengenal diri

mereka sendiri dan orang lain.

4. Hubungan Kehilangan Kerabat Dengan Konsep Diri

Berdasarkan tabel 4 menunjukkan bahwa,dari 21 responden, dapat diketahui

bahwa dari 11 responden yang pengetahuan baik, yang tergolong konsep

dirinya baik yaitu sebanyak 47.62 % (10 responden) dan yang konsep dirinya

kurang yaitusebanyak 4.79 % (1 responden) serta yang pengetahuannya

kurang yaitu sebanyak 10 responden, yang tergolong konsep dirinya baik

yaitu sebanyak 4.79 (1 responden) dan yang tergolong konsep dirinya kurang

yaitu sebanyak 42.84 ( 9 responden). Berdasarkan hasil penlitian kehilangan

adalah suatu peristiwa atau pengalaman manusia yang bersifat mutlak secara

individual. Kehilangan karena kematian yaitu suatu keadaan perasaan yang

56
merasa kehilangan.kehilangan kerabat pada pasien TB Paru merupakan hal

yang paling menyedihkan. Penderita akan merasa sangat di kucilkan dan di

jauhi sehingga pasien akan merasa takut dan akan merasa bahwa tidak ada

lagi teman atau kerabatnya di dunia ini lagi. Sehingga kehilangan kerabat

akan mempengaruhi dan merubah konsep diri penderita TB Paru.

57
BAB VI

PENUTUP

6.1 KESIMPULAN

Penelitian kajian literatur ini telah mengkaji empat artikel yang didapatkan

dari empat database dengan menggunakan beberapa kata kunci. Dari hasil

pencarian, didapatkan 7 artikel yang kemudian diperiksa kembali menggunakan

kriteria inklusi dan eksklusi hingga menyisakan empat artikel. Seluruh artikel

yang digunakan dalam kajian literatur ini menjelaskan penelitian yang

menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional dan

total sampling. Pada kajian literatur ini, didapatkan hasil bahwa ada hubungan

antara sosial, kepribadian, pengetahuan, dan kehilangan kerabat,dukungan

keluarga,faktor-faktor yang mempengaruhipada konsep diri.

6.2 SARAN

6.2.1. Ilmu keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi ilmu

keperawatan bahwa keluarga memiliki peran dalam meningkatkan konsep diri

pasien tuberculosis melalui dukungan yang diberikan meliputi, dukungan

emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental,dukungan informasi

faktor-faktor yang mempengaruhipada konsep diri.

57
6.2.2. Tenaga keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi perawat dalam

memberikan asuhan keperawatan berupa pendidikan kesehatan kepada keluarga

tentang pentingnya dukungan keluarga dan bentuk-bentuk dukungan keluarga

yang dapat diberikan kepada penderita tuberkulosis.

6.2.3. Bagi keluarga Bagi keluarga

Hasil penelitian ini diharapkan agar keluarga dapat menjadi support

system dengan memberikan motivasi dan semangat serta dapatmemfasilitasi dan

memberikan informasi mengenai perawatan tuberculosis yang dialami oleh pasien

tuberkulosis.

6.2.4. Bagi penelitian berikutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai wawasan dan

pengetahuan mengenai dukungan keluarga, faktor-faktor yang mempengaruhi

konsep diri, gambaran harga diri pada pasien TB Paru terhadap konsep diri

penderita tuberculosis.

58
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Z. (2006). Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV. Jakarta: EGC.

Anggraeni, D. S. (2011). Stop tuberkulosis. Bogor: Bogor Publishing House.

Global tuberculosis report 2017. ISBN 978-92-4-156551-6 © World Health


Organization 2017 Some rights reserved. This work is available under
the Creative Commons Attribution-NonCommercialShareAlike 3.0
IGOlicence (CC BY-NC-SA 3.0 IGO;
https://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/3.0/igo).
Infodatim. (2017). Pusat Data Dan Informasi Kementerian Kesehatan RI .

Kementerian Kesehatan RI (2018 ) Profil Kesehatan Indonesia.

Melisa. (2012). Hubungan Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup pada Pasien
Tuberkulosis Parudi Poli Paru BLU RSUP PROF.DR.R.D Kandou
Manado.E-journal Keperawatan (E-KP). Volume 1 No 1.
Mubarak & Chayatin. (2008). Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia: Teori &
Aplikasi dalam Praktik. Jakarta: EGC.
Nursalam. (2005). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawtan Edisi 4. Jakarta:
Salemba Medika.
Paul, J. Centi. (2012). Mengapa rendah diri. Kanisus. Yogyakarta.

Raynel, F. (2010). Gambaran Komponen Konsep Diri pada Penderita TB Paru di


Wilayah Kerja Puskesmas Padang Pasir Kota Padang. Jurnal
Keperawatan Ners, 6, 93-98.
Suliswati. (2005). Konsep Dasar Keperawtan Jiwa. Jakarta: EGC.

Thohari Imam (2016). Konsep Diri Pada Pasien TB paru. Stikes Kusuma Husada
Surakarta
WHO. (2014). Global Tuberkulosis Report 2014.

WHO. 2016. Global Tuberculosis Report. Geneva, Switzerland.

Widoyono. (2011). Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan,Pencegahan dan


Pemberantasannya. Semarang :Erlangga.

59
World Health Organization. (2017). Global tuberculosis report. Diperoleh tanggal
9 Desember 2017 dari http://apps.who.int/

60

Anda mungkin juga menyukai