Anda di halaman 1dari 4

Masalah Kejahatan dengan Kekerasan di Indonesia

Kejahatan tidak terlepas dari proses dan struktur sosial-ekonomi yang sedang berlangsung dan
mengoordinasikan bentuk dan sikap serta perilaku para warga masyarakat. Hal tersebut
sebagaimana yang diungkapkan Hobbes, bahwa motif dasar hidup manusia adalah hasrat untuk
menguasai dan menghindari kematian. Manusia sejak dilahirkan secara alamiah selalu
memperebutkan segala sesuatu yang ia inginkan. Jika memungkinkan, ia berharap agar dunia
dapat ditaklukan olehnya.1
Adanya reformasi yang terjadi setelah berakhirnya era Orde Baru tentu menjadi harapan
masyarakat untuk dapat menuju ke arah kehidupan berbangsa yang lebih baik. Namun, pada
perkembangannya hingga kini berbagai jenis kejahatan masih saja terjadi, termasuk kejahatan
dengan kekerasan. Konflik dengan latar belakang etnik dan agama meluas di beberapa daerah,
begitu pula dengan berbagai bentuk kebrutalan masyarakat yang terjadi sampai saat ini.
Sebagaimana contohnya seperti halnya peristiwa saat aksi demonstrasi yang dilakukan
mahasiswa serta masyarakat di Jakarta pada hari Senin tanggal 11 April 2022 yang menyebabkan
adanya tindakan kekerasan dan penganiayaan terhadap Ade Armando yang merupakan dosen
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia.2
1. Kemajemukan Indonesia dan Perubahan Sosial

Indonesia yang merupakan negara berkembang, kini masih sedang mengalami proses
peralihan yang cepat dari struktur ekonomi agraris ke arah masyarakat industri perkotaan
dengan didorong oleh mobilitas penduduk yang tinggi dan teknologi informasi dan
komunikasi yang semakin luas. Kondisi tersebut mengakibatkan adanya pergeseran nilai
sosial budaya masyarakat yang menjadi modern.

Koentjaningrat mengemukakan bahwa, telah terjadi beberapa proses pergeseran nilai


sosial budaya masyarakat Indonesia, yaitu:3
 Pergeseran identitas, yang semula orientasi primordial bercirikan sifat kesukuan
dan kedaerahan menjadi ke arah orientasi nasional.
 Pergeseran sistem ekonomi, yang semula sistem produksi konsumsi sendiri
menjadi ke arah konsumsi komoditas pasar.
 Pergeseran pranata sosial, yang semula pranata interaksi langsung menjadi ke
arah pranata sosial dan ke arah pranata interaksi anonim yang semakin kompleks.

1
Carl Joachim Friedrich, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Sejarah, Terjemahan Raisul Muttaqien, Bandung: Nuansa
Nusamedia, hlm. 108.
2
Tiara Maulinda, 12 April 2022, Trisakti Nilai Kekerasan terhadap Ade Armando Mencederai Semangat Aksi
Demonstrasi Mahasiswa, melalui web aksarajabar <https://aksarajabar.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-
994238684/trisakti-nilai-kekerasan-terhadap-ade-armando-mencederai-semangat-aksi-demonstrasi-mahasiswa>
(diakses pada tanggal 17 April 2022 pukul 10.41 WIB)
3
Soerdjono Dirdjosisworo, 1984, Sosio-Kriminologi, Ilmu-ilmu sosial dalam studi kejahatan, Bandung: Sinar Baru,
hlm. 176.
 Pergeseran orientasi budaya, yang semula nilai tradisi menjadi ke arah nilai
modern.
 Pergeseran norma, yang semula norma hukum adat menjadi ke arah norma hukum
nasional.
Soerjono Soekanto berpendapat bahwa perubahan sosial dalam masyarakat dapat berasal
dari masyarakatnya itu sendiri, seperti penambahan dan pengurangan penduduk,
penemuan baru dan revolusi. Selain itu, perubahan sosial juga dapat berasal dari luar
masyarakat, seperti perubahan lingkungan alam, peperangan dan pengaruh budaya lain.
Perubahan sosial sendiri dapat melahirkan adanya stratifikasi secara terbuka yang
mengakibatkan masyarakat saling bersaing secara tajam untuk mendapatkan status atau
perolehan di lingkungan masyarakat.4
2. Ketimpangan-ketimpangan dalam Masyarakat

Pada masyarakat majemuk selalu terdapat konflik kepentingan. Di Indonesia, konflik


kepentingan tersebut menemukan sifatnya yang tajam karena pluralitas tersebut diikuti
dengan kesenjangan dalam penguasaan sarana produksi dan ekonomi. Ketimpangan
antardaerah, antarlapisan masyarakat dan antarsuku bangsa tidak dieliminasi tetapi lebih
diperkuat. Model pembangunan masa Orde Baru telah menciptakan ketimpangan regional
(Jawa dan luar Jawa), sektoral (industri dan pertanian rakyat), dan antar-ras (pribumi dan
nonpribumi). Implikasi pembangunan model Orde Baru yaitu terjadinya marginalisasi
pada masyarakat di level bawah. Keadaan tersebut pun diikuti dengan pembatasan hak-
hak politik rakyat. Kemudian, setelah Orde Baru jatuh dan aparat penopangnya
kehilangan legitimasi, konflik laten yang ada pada masyarakat plural menjadi mengeras
dan siap menjadi bom waktu.5

3. Konflik yang Bersifat Kesukaan

Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam suku bangsa dan agama, yang mana
pada masing-masingnya tentu memiliki budaya yang berbeda. Setiap sukunya, memiliki
budaya sebagai salah satu sumber utama dari sistem atau tata nilai yang dianut oleh
masyarakatnya, yang kemudian membentuk sikap mental atau pola berpikir. Selanjutnya,
sikap mental dan pola berpikir tersebut yang mempengaruhi dan membentuk pola tingkah
laku masyarakat dalam berbagai aspek kehidupannya.6

Pada zaman dahulu, setiap suku bangsa hidup secara berkelompok dalam suatu
persekutuan hukum adat, yakni suatu kesatuan hidup bersama yang berdasarkan ikatan
genealogis atau kekerabatan yang diliputi perasaan ikatan batin serta bercorak agraris.
Dalam rangka hidup berkelompok, masyarakat akan mencari dan membentuk wadah atau

4
Soerjono Soekanto, 1975, Beberapa Permasalahan Hukum dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Jakarta:
Yayasan Penerbit U.I., hlm. 121.
5
Ende Hasbi Nassaruddin, 2016, Kriminologi, Bandung: CV Pustaka Setia, hlm. 145.
6
Alfuabm 1979, Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia, Jakarta: LP3ES, hlm. 17.
memasuki organisasi yang anggotanya berasal dari agama, bahasa, etnik, dan rasa yang
dianggap sama. Menurut Koentjaningrat, konflik antarsuku dapat terjadi dikarenakan
beberapa hal, yaitu:7
 Persaingan mendapatkan pencarian kehidupan yang sama.
 Pemaksaan kebudayaan.
 Pemaksaan konsep agama.
 Dominasi suatu suku bangsa secara politis.
 Konflik yang terpendam antarsuku bangsa yang telah bermusuhan secara adat.

4. Pemaknaan Agama yang Disalahartikan

Setiap agama mengajarkan umatnya untuk berbuat ketaatan dalam menjalankan agama
sehigga akan mencegah seseorang untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh
agamanya (perbuatan jahat). Namun, dalam praktiknya tetap terdapat tindakan yang
bertentangan dengan nilai-nilai agama yang dilakukan oleh masyarakat. Seperti halnya
kekerasan dan kebrutalan yang dilakukan dan terjadi hampir setiap harinya. Tentu hal
tersebut tampak bahwa hal tersebut tidak mencerminkan bangsa Indonesia sebagai bangsa
yang beragama. Begitupun dengan banyaknya pihak yang berpendapat bahwa, kegiatan
spiritual hanya berlangsung di tempat-tempat ibadah.

Namun, sebaliknya. Kelompok masyarakat yang taat menjalankan ajaran agamanya


sering memunculkan sikap-sikap yang cenderung fanatik. Ismail berpendapat, bahwa
perilaku fanatik merupakan antusiasme atau semangat yang berlebihan terhadap hal yang
ia yakini dengan tidak didasarkan oleh akal sehat melainkan dengan emosi yang tidak
terkendali.8 Ketidakadaan akal sehat itulah yang mendorong individu melakukan atau
mencintai hal yang diyakini secara berlebihan atau tidak proposional untuk
mempertahankan keyakinannya, bahkan dapat menentang orang lain yang berbeda
pendapat, termasuk dengan melakukan kekerasan. Contohnya yaitu tindakan anarkis dari
Front Pembela Islam (FPI) yang sering melakukan perusakan atau sweeping terhadap
tempat hiburan tanpa koordinasi dengan aparat keamanan. Teror bom yang sempat marak
terjadi pada tahun-tahun sebelumnya juga dilakukan oleh jamaah yang mengusung
bendera islam. Hal ini menunjukan bahwa agama sebagai simbol kedamaian kerapkali
muncul dengan wajah penuh kekerasan.

5. Kekerasan oleh Negara

Kekerasan yang banyak terjadi dan akhir-akhir ini pun mendapat perhatian masyarakat,
yaitu kekerasan yang dilakukan oleh Negara. Kekerasan negara pada dasarnya
merupakan kekerasan struktural yang melekat dalam institusi negara. Kekerasan negara
7
Koentjaningrat, 1970, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta: Djambatan, hlm. 378.
8
Rr. Amanda Pasca Rini, Suryanto, Andik Matulessy, 2016, The Influence of Private Conformity, Group Self-Esteem,
Fanaticism and Obediece toward the Aggressiveness of Political Party Partisan, International Journal of Humanities
and Social Science Invention, hlm. 37-46.
memiliki kekuatan desruktif yang sangat besar jika dibandingkan dengan kekerasan yang
tidak terorganisasi. Hal ini disebabkan bahwa negara memiliki organisasi militer dan
polisi yang siap menerkam dan menodongkan senjatanya pada setiap orang atau
kelompopk. Selain itu, banyak yang berpendapat bahwa kekuasaan dapat diraih dan
dipertahankan dengan menggunakan kekerasan yang melekat dalam institusi negara.

Tentunya, kekerasan oleh negara ini dipandang sebagai bentuk pelanggaran hak asasi
manusia (HAM), sebagaimana telah diatur dalam berbagai aturan baik itu aturan
internasional maupun nasional yakni Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia. Negara yang banyak melakukan kekerasan kepada rakyatnya dapat
dikategorikan sebagai negara pelanggar HAM dan dapat dikenakan sanksi dari dunia
Internasional. Karena sejatinya, bahwa suatu negara itu memiliki kewajiban untuk
melindungi, memenuhi, dan memajukan hak-hak warga negaranya.

Anda mungkin juga menyukai