Anda di halaman 1dari 8

WARISAN

1. Pengertian warisan
Apa itu warisan? Warisan adalah properti atau aset yang ditinggalkan seseorang
kepada ahli warisnya ketika mereka meninggal – mungkin termasuk real estat,
uang, saham atau obligasi, perhiasan, atau harta benda lainnya.
Apa itu wujud dari pengertian warisan tersebut dapat berupa harta (harta yang
bergerak dan harta tidak bergerak) dan termasuk juga diwarisi utang
(kewajiban).
Harta yang bergerak seperti kendaraan, logam mulia, sertifikat deposito dan lain
sebagainya. Harta tidak bergerak seperti rumah dan tanah. Utang seperti utang
kepada pihak ke bank, saudara dan lain sebagainya.
Jadi warisan tidak selalu hal-hal yang indah yang dapat menyejahterakan yang
mewarisinya, namun berupa tanggung jawab yang belum selesai yang harus
diselesaikan oleh ahli warisnya.
Kata “warisan” diambil dari Bahasa Arab— Al-miirats —yang artinya
perpindahan sesuatu kepada orang atau kaum lain. Bentuk warisan tersebut
bisa bermacam-macam, antara lain pusaka, surat wasiat, dan harta. Biasanya
dibuat ketika sang pemilik masih hidup, lalu dibagikan ketika ia meninggal dunia.
Dalam istilah fara'id , harta warisan disebut juga tirkah atau peninggalan.Kata ini
berarti segala sesuatu yang dimiliki seseorang setelah meninggal
dunia.Sementara tirkah dimaknai sebagai harta si mayit sebelum digunakan
untuk pemakaman, pelunasan utang, serta wasiatnya.Kalau sudah dikurangi
semua itu , artinya harta siap dibagikan ( al-irst ).
Jika wujud warisan tersebut berupa harta, ada dua jenis yang bisa dibagikan
kepada ahli waris.Pertama adalah harta bergerak—berrupa kendaraan, sertifikat
deposito, dan logam mulia.Sebaliknya, kekayaan tidak bergerak berbentuk
rumah, tanah, serta utang.

Warisan dapat menyelesaikan masalah atau justru dapat menambah masalah


dalam keluarga besar. Hal tersebut dapat terjadi karena perbedaan pendapat
mengenai pembagian tanggung jawab hingga pembagian harta waris
Karena menyangkut harta dan biasanya melibatkan banyak pihak, proses
pembagian warisan memang tidak sederhana dan harus dilakukan secara
saksama. Maka, pastikan Anda memahami berbagai istilah yang digunakan
dalam tata cara pembagian warisan, seperti arti warisan, pewaris, waris, dan
sebagainya.

Berikut definisi berbagai istilah dalam pembagian warisan yang dikutip dari
beberapa sumber.
 Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta benda
untuk dibagikan kepada yang berhak (ahli waris).
 Ahli waris adalah orang-orang yang berhak menerima warisan dari pewaris.
Ahli waris menurut ketentuan undang-undang disebut ahli waris di bawah
title umum (secara ab intestato), sedangkan ahli waris yang ditunjuk
dengan surat wasiat/testament disebut ahli waris di bawah titel khusus (ahli
waris tertamentair). Ahli waris kadang disebut juga waris.
 Warisan adalah adalah semua peninggalan pewaris yang berupa hak dan
kewajiban atau semua harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang
meninggal dunia setelah dikurangi semua utangnya.
 Mewariskan berarti memberikan harta warisan [kepada waris] atau
meninggalkan sesuatu [kepada waris] atau menjadikan orang lain waris.
 Wasiat adalah suatu keputusan dari seseorang (biasanya dituangkan dalam
suatu akta) yang harus dilaksanakan setelah ia meninggal dunia.
 Boedel adalah warisan yang berupa kekayaan saja, dan yang perlu segera
dikeluarkan dari harta orang meninggal dunia. Termasuk dalam boedel:
biaya pengurusan jenazah, dibayarkan utangnya, dilaksanakan
wasiatnya/hibah wasiatnya, dalam hukum waris Islam diambil
zakatnya/sewanya. Sisanya adalah harta warisan.

2. Dasar Hukum
Hukum waris merupakan aturan yang diberlakukan agar proses pembagian
harta warisan berjalan lancar. Menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro—ahli
hukum Indonesia—definisi hukum waris adalah peraturan terkait kekayaan
seseorang manakala pewaris sudah meninggal dunia. Pun diartikan sebagai
cara beralihnya harta kepada ahli waris.
Penjelasan hukum waris juga dicantumkan dalam Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 1991. Berdasarkan aturan tersebut, hukum waris difungsikan sebagai
aturan yang menetapkan nama-nama ahli waris, proses pemindahan, serta
nominal pembagiannya.
Sementara itu, dasar hukum waris di Indonesia terdiri dari tiga macam yang
didasarkan pada kultur masyarakat, agama, dan ketetapan pemerintah. Pertama
adalah hukum waris adat—berrupa norma atau adat di kawasan
tertentu. Biasanya, tidak tertulis dan hanya diberlakukan untuk wilayah khusus.
Secara umum, hukum waris adat menganut empat sistem, yaitu keturunan,
kolektif, walikota, dan individu.Penetapan sistem tersebut dipengaruhi oleh
hubungan kekerabatan atau pola kehidupan masyarakat setempat.
Kedua, hukum waris Islam yang diterapkan oleh muslim di Indonesia. Hukum
tersebut tercantum dalam Pasal 171-214 tentang Kompilasi Hukum Indonesia.Di
aturan ini, ada 229 pasal yang menulis seputar pewarisan harta menurut
Islam.Intinya, Islam mengimplementasikan sistem waris individual bilateral—
berasal dari pihak ibu atau ayah.
Ketiga—hukum waris perdata yang mengacu pada negara barat.Aturan ini
berlaku untuk semua masyarakat Indonesia.Ketetapannya dicantumkan dalam
Buku II Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP) Pasal 830-1130.

3. Ketentuan Hukum dalam Pembagian Warisan


Setelah mengetahui arti warisan, Anda perlu mengetahui syarat sah
pembagian warisan. Agar pembagian warisan dianggap sah, Anda harus
mengikuti tata cara yang mengacu kepada ketentuan hukum yang berlaku.
Di Indonesia, pembagian warisan dapat mengacu kepada salah satu dari tiga
ketentuan hukum, yaitu hukum Islam, hukum perdata, dan hukum adat. Bagi
pewaris yang beragama Islam, maka dalam membagi warisannya, ia harus
mengikuti hukum Islam. Sementara, pewaris non-muslim dapat mengacu
kepada hukum adat atau hukum perdata (Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata).

a. Pembagian Warisan Menurut Hukum Islam

Pembagian warisan secara Islam diatur dalam Undang-Undang Nomor 3


Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Pembagian warisan menurut hukum
Islam dilakukan secara berhati-hati dan adil berdasarkan petunjuk Alquran.
Jika terjadi sengketa dalam hukum Islam, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Pengadilan Agama.

Menurut hukum Islam, ada beberapa pihak yang berhak menerima warisan.
Tata cara pembagian warisan menurut hukum Islam disesuaikan dengan ahli
warisnya, yaitu sebagai berikut:
 Anak perempuan

Bila hanya ada satu anak perempuan, ia berhak memperoleh setengah dari
total harta yang ditinggalkan pewaris (dalam hal ini ayahnya). Bila terdapat
dua atau lebih anak perempuan, maka dua pertiga dari total warisan wajib
diserahkan kepada mereka. Nilai dua pertiga total warisan tersebut nantinya
dibagi rata untuk kedua anak perempuan.
 Istri atau janda

Istri pewaris berhak menerima seperempat dari total nilai harta yang
ditinggalkan bila ia dan pewaris tidak memiliki anak. Namun, bila pewaris
dan istrinya mempunyai anak, maka sang istri/janda akan memperoleh
seperdelapan bagian dari total nilai harta yang ditinggalkan.
 Ayah pewaris

Dalam Islam, ayah pewaris termasuk pihak yang berhak menerima warisan.
Ayah pewaris berhak menerima sepertiga bagian dari total warisan yang
ditinggalkan anaknya.
Namun, jumlah tersebut bisa diterima oleh ayah pewaris dengan catatan
pewaris tidak memiliki anak. Bila pewaris memiliki anak, maka ayahnya akan
mendapatkan bagian yang lebih kecil, yaitu seperenam dari total nilai harta
yang ditinggalkan.
 Ibu pewaris

Bila pewaris tidak memiliki anak, ibunya berhak atas sepertiga dari total nilai
harta yang ditinggalkan pewaris. Jika pewaris memiliki anak, maka ibunya
akan menerima seperenam dari total warisan.
Namun, peraturan tersebut hanya berlaku bila ibu pewaris sudah tidak
bersama ayah pewaris atau ayah pewaris sudah meninggal. Bila ibu pewaris
masih tinggal bersama ayah pewaris, maka ia akan memperoleh sepertiga
dari nilai warisan yang sudah dikurangi warisan hak istri pewaris atau janda.
 Anak laki-laki

Dalam hukum Islam, anak laki-laki memiliki hak lebih besar dibandingkan
total warisan yang diperoleh oleh saudara-saudara perempuannya. Porsi
nilai warisan anak laki-laki yang diatur dalam hukum Islam besarnya
mencapai dua kali lipat dibandingkan total nilai warisan yang diterima anak-
anak perempuan.
Bila pewaris hanya memiliki anak tunggal laki-laki, anak tersebut berhak
atas setengah dari total nilai warisan ayahnya. Sisanya akan dibagi ke pihak
lain yang berhak sesuai hukum Islam yang berlaku.
b. Pembagian Warisan Menurut Hukum Perdata

Pembagian warisan secara perdata merujuk kepada Kitab Undang-Undang


Hukum Perdata (KUH Perdata). Menurut Pasal 830 KUH Perdata, pembagian
harta warisan baru bisa dilakukan bila terjadi kematian. Dengan kata lain, bila
pemilik harta masih hidup, harta yang ia miliki tidak dapat dialihkan melalui
ketentuan waris.
Pembagian warisan menurut hukum perdata dilakukan berdasarkan golongan
ahli waris berikut:
 Golongan I: suami/isteri yang hidup terlama dan anak/keturunannya
(Pasal 852 KUHPerdata)
Suami atau istri dan atau anak keturunan pewaris berhak menerima
warisan, masing-masing sebesar seperempat bagian.
 Golongan II: orang tua dan saudara kandung pewaris

Golongan ini berhak mendapatkan warisan bila pewaris belum


mempunyai suami atau istri dan anak. Setiap ahli waris berhak mendapat
seperempat bagian. Orang tua tidak boleh mendapat warisan kurang dari
seperempat bagian.
 Golongan III: keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu
pewaris

Golongan ini berhak mendapatkan warisan bila pewaris tidak mempunyai


saudara kandung. Pihak-pihak yang termasuk golongan ini misalnya,
kakek dan nenek dari ayah dan ibu pewaris. Pembagiannya dipecah
menjadi setengah bagian untuk garis ayah dan setengah bagian untuk
garis ibu.
 Golongan IV: paman dan bibi pewaris, baik dari pihak bapak maupun dari
pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari
pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai
derajat keenam dihitung dari pewaris.

Hukum perdata tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan.


Ketentuan yang berlaku adalah, bila ahli waris golongan pertama masih
ada, maka menutup hak anggota keluarga lainnya, baik dalam garis lurus
ke atas atau ke samping. Selain itu, golongan ahli waris yang derajatnya
lebih tinggi menutup golongan yang derajatnya lebih rendah.
Pembagian warisan adalah proses yang tidak sederhana. Bila terjadi
sengketa dalam proses ini, penyelesaiannya dilakukan melalui
Pengadilan Negeri.

c. Pembagian Warisan Menurut Hukum Adat

Pembagian warisan menurut hukum adat berbeda pada adat satu dengan
yang lain. Umumnya, prinsip pembagian warisan pada hukum ini merujuk ke
dua jenis ketentuan berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan.

 Pembagian Warisan di Adat Patrilineal

Menurut hukum adat ini, ahli waris yang berhak menerima warisan adalah
anak laki-laki pewaris. Anak laki-laki pertama biasanya mendapatkan
porsi lebih besar. Namun, ada juga adat yang membagi rata seluruh
warisan sesuai jumlah anak laki-laki pewaris.
 Pembagian Warisan di Adat Matrilineal

Menurut hukum adat ini, ahli waris utama adalah anak perempuan
pewaris.

Selain mempersiapkan surat wasiat untuk pembagian warisan, Anda juga


perlu memiliki perlindungan terhadap risiko meninggal dunia, yaitu
dengan memiliki asuransi jiwa berjangka seperti Mega Warisan.
Asuransi Mega Warisan dari PFI Mega Life memberikan manfaat uang
pertanggungan hingga 200% kepada penerima manfaat jika Tertanggung
meninggal dunia karena kecelakaan, dan 100% bila Tertanggung
meninggal dunia bukan karena kecelakaan.
Selain itu, jika Tertanggung hidup hingga akhir masa berlaku asuransi,
dan polis masih berlaku, maka ia akan menerima pembayaran sebesar
110% dari total premi yang telah dibayarkan

4. Sebab- sebab hingga tidak dapat warisan

Sebab-sebab yang menghalangi ahli waris menerima bagian warisan adalah


sebagai berikut.

a. Kekafiran.
Kerabat yang muslim tidak dapat mewarisi kerabatnya yang kafir, dan orang
yang kafir tidak dapat mewarisi kerabatnya yang muslim.

Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw. yang artinya: “Orang kafir
tidak mewarisi orang muslim dan orang muslim tidak mewarisi orang kafir.”
(H.R. Bukhari dan muslim).

b. Pembunuhan.
Jika pembunuhan dilakukan dengan sengaja, maka pembunuh tersebut tidak
bisa mewarisi yang dibunuhnya, berdasarkan hadis Nabi saw.:  “Pembunuh
tidak berhak mendapatkan apapun dari harta peninggalan orang yang
dibunuhnya.” (HR. Ibnu Abdil Bar)

c. Perbudakan.
Seorang budak tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi, baik budak secara utuh
ataupun sebagiannya, misalnya jika seorang majikan menggauli budaknya
hingga melahirkan anak, maka ibu dari anak majikan tersebut tidak dapat
diwarisi ataupun mewarisi.

Demikian juga mukatab (budak yang dalam proses pemerdekaan dirinya


dengan cara membayar sejumlah uang kepada pemiliknya), karena mereka
semua tercakup dalam perbudakan.
Namun demikian, sebagian ulama mengecualikan budak yang hanya
sebagiannya dapat mewarisi dan diwarisi sesuai dengan tingkat kemerdekaan
yang dimilikinya, berdasarkan sebuah hadis Rasulullah saw.,yang artinya: “Ia
(seorang budak yang merdeka sebagiannya) berhak mewarisi dan diwarisi
sesuai dengan kemerdekaan yang dimilikinya.”

d. Perzinaan.
Seorang anak yang terlahir dari hasil perzinaan tidak dapat diwarisi dan
mewarisi bapaknya. Ia hanya dapat mewarisi dan diwarisi ibunya, berdasarkan
hadis Rasulullah saw.:

“Anak itu dinisbatkan kepada si empunya tempat tidur, dan pezina terhalang
(dari hubungan nasab.” (¦R. al-Bukhari dan Muslim).

e. Li’an.
Anak suami isteri yang melakukan li’an tidak dapat mewarisi dan diwarisi
bapak  yang tidak mengakuinya sebagai anaknya. Hal ini  diqiyaskan dengan
anak dari hasil perzinaan.

Anda mungkin juga menyukai