Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Manusia adalah mahluk yang paling sempurna dibandingkan makhluk yang lain. Untuk
itu semua yang dilakukan ada aturan agama yang mengatur. Salah satu aturan yang sangat
menonjol perbedaanya adalah aturan pernikahan. Jika peraturan ini diterapkan maka akan
tercipta keturunan yang baik dan banar.
Pernikahan banyak dimuat dalam al-quran dan hadis, namun aturan teknis bagaimana
suatu perkawinan yang sah hanya dejelaskan oleh hadis. Pernikahan dianggap sah bila
memenuhi beberapa persyaratan yang telah di tentukan salah satunya harus ada wali .
Dalam pernikahan harus ada wali karena wali adalah suatu ketentuan hukum yang dapat
dipaksa kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya. Terdapat dua macam wali yaitu
wali umum dan wali khusus, yang disebut wali khusus adalah wali yang berkenaan dengan
manusia dan harta benda. Jadi dalam makalah ini akan membahas perwalian dalam
perkawinan yang di tinjau dari hadis.

2. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian Wali nikah?
b. Sebutkan Hadist tentang Wali nikah?
c. Sebutkan Kedudukan Wali sebagai salah satu Rukun Nikah?
d. Apa saja syarat-syarat Wali Nikah ?
e. Sebutkan macam-macam Wali Nikah ?
f. Apa saja hukum wali ?

3. Tujuan Masalah
a. Mengetahui Wali nikah
b. Mengtahui Dalil-dalil tentang Wali nikah, serta isi kandungan hadistnya
c. Mengetahui Syarat syarat Wali nikah
d. Mengetahui Macam-macam wali nikah
e. Mengetahui Dasar hukum wali

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Wali Nikah
Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa Arab, yaitu al Wali dengan bentuk
jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara, atau penolong. Sedangkan menurut istilah, kata
“wali” mengandung pengertian orang yang menurut hakim (agama,adat) diserahi untuk
mengurus kewajiban anak yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan
pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan akad dengan pengantin
pria).
Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon
mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Wali bertindak sebagai orang yang
mengakadkan nikah menjadi sah, nikah tidak sah tanpa ada wali.1
1. Tidak ada nikah Sah tanpa adanya wali
‫هّٰللا‬
‫اح اِالَّ بِ َولِ ٍّي‬ َ َ‫صلَّى ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
َ ‫ الَ ِن َك‬:‫ال‬ َ ‫ َع ْن اَبِى ُم ْو ٰسى َع ِن النَّبِ ِّي‬.١ .
Artinya:Dari Abu Musa Nabi saw. Beliau bersabda: “Tidak ada nikah sama sekali
kecuali dengan (adanya) seorang wali”. (HR. Kelompok Imam lima kecuali An Nasa’i).

‫الز ْه ِرىِّ َع ْن عُرْ َوةَ َع ْن َعاِئ َشةَ اَ َّن‬ ُّ ‫ان ب ِْن ُم ْو ٰسى َع ِن‬ َ ‫ َع ْن ُسلَ ْي َم‬.٢
‫ن َولِيِّهَا فَنِ َكا ُحهَا‬jِ ‫ت بِ َغي ِْر اِ ْذ‬
ْ ‫ اَيُّ َما ا ْم َرَأ ٍة نَ َك َح‬:‫ال‬ ‫هّٰللا‬
َ َ‫صلَّى ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ َ ‫ي‬ َّ ِ‫النَّب‬
‫اط ٌل فَاِ ْن َد َخ َل ِبهَا فَلَهَا ْال َم ْه ُر بِ َماا ْستَ َح َّل ِم ْن‬
ِ َ‫اط ٌل فَنِ َكا ُحهَا ب‬
ِ َ‫اط ٌل فَنِ َكا ُحهَا ب‬
ِ َ‫ب‬
ْ ‫ َر َوهُ َم‬.ُ‫ي لَه‬
‫اال َخ ْم َسةُ اِاَّل‬ ُ َ‫فَرْ ِجهَا فَا ِ ِن ا ْشتَ َجر ُْوا فَالس ُّْلط‬
َّ ِ‫ان َولِ ُّي َم ْن الَ َول‬
‫النَّ َساِئ‬.
Artinya: Dari Sulaim bin Musa dari Az Zuhri dari Urwah dari Aisyah:”
Sesungguhnya Nabi saw bersabda:” setiap wanita yang menikah tanpa izin walinya,maka
pernikahannya adalah batal, maka pernikahannya batal,maka pernikahannya batal. Apabila
“suaminya” telah menggaulinya, maka bagi wanita itu berhak mendapatkan mahar
karena”suaminya” itu telah memperoleh halal dari kemaluannya. Kemudian wali-walinya
berselisih maka hakim (penguasa)lah yang menjadi walinya orang yang tidak mempunyai
wali sama sekali”. (HR. Kelompok Imam lima kecuali An Nasa’i).

1 Imam Muhammad Asy Syaukani,Nailul Authar,(Semarang:Cv Asy Syifa,1994) Hal 471

2
‫اح اِاَّل بِ َولِ ٍّي َأيُّ َماا ْم َرَأ ٍة‬
َ ‫ اَل نِ َك‬: ُ‫د الطَّيَالِ ِس ُّي َولَفُطُه‬jَ ‫َو َر ٰوى الثَّانِى َأبُو َدا ُو‬
‫اط ٌل فَاِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن لَهَا َولِ ٌّى‬ ِ َ‫اط ٌل ب‬
ِ َ‫اط ٌل ب‬ِ َ‫ت بِ َغي ِْراِ ْذ ِن َولِيِّهَا فَنِ َكا ُحهَا ب‬
ْ ‫نَ َك َح‬
jُ َ‫فَالس ُّْلط‬.
‫ان َولِ ُّي َم ْن اَل َو ِل‬
Hadis kedua tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Dawud Ath Thayalisi sedangkan
reaksinya: Tidak ada nikah sama sekali kecuali dengan (adanya) wali. Setiap wanita yang
menikah tanpa izin walinya pernikahannya batal. Pernikahannya batal. Apabila ia ternyata
tidak memiliki seorang walipun maka hakim (penguasa) lah wali orang yang tidak memiliki
wali sama sekali.

‫ قال رسول هّٰللا صلَى هّللا عليه وسلم‬: ‫ َو َع ْن َأبِى هريرة قال‬.٣
‫ نفسها فان الزانية هى التى‬j‫ والتزوج المرأة‬j‫التزوج المرأة المرأة‬
)‫ (رواه ابن ماجه والدارقطنى‬.‫تزوج نفسها‬.
Artinya: Dari Abu Hurairah, dia berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Seorang
wanita tidak boleh menikahkan wanita lain, dan seseorang wanita juga tidak boleh
menikahkan diriya sendiri. Sesunggunya wanita berzinalah yang menikahkan dirinya
sendiri”. (HR Ibnu Majah dan Daraquthni)

‫ جمعت الطريق ركبا فجعلت امرأة‬: ‫وعن عكرمة بن خالد قال‬


‫منهن ثيب أمرها بيد رجل غيرولى فانكحهافبلغ ذلك عمرفجلد النّاكح‬
)‫ (رواه الشافعى والدارقطنى‬.‫والمنكح وردنكاحها‬.
Bersumber dari Ikrimah bin Khalid, dia berkata: “Pernah terjadi sebuah jalan
penuh dengan kendaraan. Lalu ada seorang wanita janda di antara mereka yang
menyerahkan urusannya ketangan seorang laki-laki yang bukan walinya, lantas laki-laki tadi
menikahkannya. Ketika hal itu di dengar oleh Umar, maka Umar lalu menjatuhkan hukuman
dera (jilid) kepada orang yang menikah dan yang menikahkannya sekalian membatalkan
pernikahannya”. (HR. Imam Syafi’I dan Daraqhutni)

‫وعن الشعبى قال ماكان أحد من أصحاب النبى صلّى هّٰللا عليه وسلّم‬
)‫ (رواه الدارقطنى‬.‫أشد فى النكاح بغيرولى من على كان يضرب فيه‬.

3
Bersumber dari Asy-Sya’bi, dia berkata: “Tidak ada seorangpun dari sahabat-
sahabat Nabi saw. yang paling keras (tindakannya) terhadap masalah pernikahan tanpa
seorang wali melebihi Ali. Dia (tidak segan-segan) akan memukul (pelakunya) mengenai
masalah ini”. (HR. Daraquthni).2

B. Kedudukan Wali sebagai salah satu Rukun Nikah


Dalam Wali adalah rukun pernikahan yang lima,dan tidak sah nikah tanpa wali laki-
laki. Kompilasi Hukum Islam pasal 19 menyatakan wali nikah dalam perkawinan merupakan
rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkannya.Namun para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam
pernikahan. Berikut ini akan diuraikan beberapa pendapat para ulama mengenai kedudukan
wali dalam pernikahan.
* Jumhur ulama, Imam Syafi’i dan Imam Malik
Mereka berpendapat bahwa wali merupakan salah satu rukun perkawinan dan tak ada
perkawinan kalau tak ada wali. Oleh sebab itu perkawinan yang dilakukan tanpa wali
hukumnya tidak sah (batal). Selain itu mereka berpendapat perkawinan itu mempunyai
beberapa tujuan, sedangkan wanita biasanya suka dipengaruhi oleh perasaannya. Karena itu
ia tidak pandai memilih, sehingga tidak dapat memperoleh tujuan-tujuan utama dalam hal
perkawinan ini. Hal ini mengakibatkan ia tidak diperbolehkan mengurus langsung akadnya
tetapi hendaklah diserahkan kepada walinya agar tujuan perkawinan ini benar-benar tercapai
dengan sempurna.
* Imam Hanafi dan Abu Yusuf (murid imam hanafi)
Mereka berpendapat bahwa jika wanita itu telah baligh dan berakal, maka ia
mempunyai hak untuk mengakad nikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Selain Itu Abu Hanifah
melihat lagi bahwa wali bukanlah syarat dalam akad nikah. Beliau menganalogikan hukum-
hukum mu’amalat menurut syara’, maka dalam akad nikah mereka lebih berhak lagi, karena
nikah menyangkut kepentingan mereka secara langsung. Khususnya kepada wanita (janda)
diberikan hak sepenuhnya mengenai urusannya dan meniadakan campur tangan orang lain
dalam urusan pernikahannya.3

2 Ibid hal 471-473


3 Mahfudin Aladip,Bulughul Maram, (Semarang: Cv Toha Putra,1993) Hal 491

4
C. Syarat-syarat Wali
Wali dalam pernikahan diperlukan dan tidak sah suatu pernikahan yang di lakukan
tanpa adanya wali. Oleh karena itu maka seorang wali haruslah memenuhi syarat-syarat
sebagai wali. Antara lain:
* Islam (orang kafir tidak sah menjadi wali )
Wali harus seorang muslim, telah dinukil Ijma’ oleh Ibnu Mundzir dalam perkara ini.
Berdasarkan firman Allah SWT :

ٍ ‫ضهُ ْم َأ ْولِيَا ُءبَع‬


‫ْض‬ ُ َ‫ون َو ْال ُمْؤ ِمن‬
ُ ‫ات بَ ْع‬ jَ ُ‫َو ْال ُمْؤ ِمن‬
Artinya:”Dan laki-lakiyang beriman dan wanita-wanita yang beriman sebagian
adalah pemimpin bagi yang sebagian lainnya”. (QS. At-Taubah :71)
* Baligh (anak-anak tidak sah menjadi wali)
Ini adalah pendapat jumhur ulama dan merupakan pendapat yang shohih. Karena
Allah Azza wa jalla telah membatasi anak-anak yang belum baligh di dalam menggunakan
hartanya maka perkara perwalian pernikahan lebih tinggi di bandingkan perwalian harta.
* Berakal (Orang gila tidak sah menjadi wali )
* Laki-laki (perempuan tidak sah menjadi wali )
Seorang perempuan tidak boleh menjadi wali untuk wanita lain ataupun menikahkan
dirinya sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang diwalikan oleh wanita sendiri, maka
pernikahannya tidak sah. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW :
‫ع َْن أبِى هُ َر ْي َرةَ قَا َل الَتُ َز ِّو ُج ْال َمرْ َأةُ ْال َمرْ َأةَ َوالَتُ َز ِّو ُج ْال َمرْ أةُ نَ ْف َسهَا َوال َّزانِيَةُالَّتِى تُ ْن ِك ُح نَ ْف َسهَابِ َغي ِْرِإ ْذ ِن َولِيِّهَا‬
Artinya:”Dari Abu Hurairah ra, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda “wanita
tidak boleh mengawinkan wanita dan wanita tidak boleh mengawinkan dirinya“. (HR. Ibnu
Majah dan Daruquthni).
* Adil (orang fasik tidak boleh menjadi wali )
Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan maksudnya adalah tidak bermaksiat, tidak
fasik, orang baik-baik, orang sholeh, orang yang tidak mungkar. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa adil diartikan dengan cerdas. Tidak bermaksiat artinya menghindari
segala perbuatan buruk yang dliarang Allah seperti gibah, zina, berjudi, meminum-minuman
keras dll. Fasik artinya orang yang keluar dari ketaatannnya kepada Allah dan rasul Nya,
orang baik-baik artinya orang yang tak pernah salah dengan segala kenaifannya yang selalu
mampu memperbaiki dirinya ketika sadar berbuat salah, orang sholeh artinya taat dan
sungguh-sungguh menjalankan perintah Allah, orang yang tidak munkar artinya tidak
durhaka dan tidak melanggar perintah Allah. Adapun mengenai syarat adil terdapat

5
perbedaan pendapat dikalangan madzhab. Imam Syafi’I mensyaratkan seorang wali haruslah
adil, sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan orang fasik (orang Islam yang tidak taat
menjalankan agamanya) bertindak sebagai wali.
Menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya, syarat-syarat wali ialah merdeka, berakal
sehat, dewasa, dan beragama Islam. Seorang wali tidak disyaratkan adil. Sehingga orang yang
durhaka tidak kehilangan haknya untuk menjadi wali nikah, kecuali apabila kedurhakaan
tersebut melampaui batas-batas kesopanan yang berat. Hal ini disebabkan karena wali
tersebut jelas tidak menenteramkan jiwa orang yang dibawah kekuasaannya atau orang yang
diurusnya. Oleh sebab itu, haknya untuk menjadi wali hilang. 4 Menurut al-Mahalli, bahwa
orang fasik boleh menjadi wali, karena orang-orang fasik pada masa Islam pertama tidak
dilarang untuk mengawinkan.5
* Tidak sedang ihram haji atau umrah
Sayyid Sabiq dalam buku Fiqih Sunnah mengemukakan beberapa persyaratan wali
nikah sebagai berikut : Syarat-syarat wali ialah : merdeka, berakal sehat dan dewasa. Budak,
orang gila dan anak kecil tidak dapat menjadi wali, karena orang-orang tersebut tidak berhak
mewakilkan dirinya sendiri apalagi terhadap orang lain.
Yangdianggap sah menjadi wali mempelai perempuan ialah menurut susunan yang
akan diuraikan dibawah ini :
a. Ayah
b. Kakek
c. Saudara laki-laki kandung
d. Saudara laki-laki seayah
e. Anak laki-laki dan saudara laki-laki kandung
f. Anak laki-laki dan saudara laki-laki yang seayah
g. Paman kandung (saudara laki-laki dari ayah yang seibu-seayah)
h. Paman seayah
i. Anak laki-laki dari paman kandung
j. Anak laki-laki dari paman seayah
k. Paman dari bapak yang seibu dan sebapak
l. Paman dari bapak yang sebapak
m. Wali hakim.6

4 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 7, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1981), Hal 273


5 Sahal Mahfudh, Akhkamul Fuqaha, (Surabaya: Khalista, 2011), Hal 9-10
6 Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: PT Dhana Bakti Wakaf), Hal 77

6
D. Macam-macam wali dalam Nikah
Jumhur ulama diantaranya Imam Malik, Asy syafi’i, Ats Tsauri, dan Al Laits bin
sa’ad berpendapat bahwa wali dalam pernikahan adalah ashabah, bukan paman, bukan
saudara seibu dan bukan dzawil arham lainnya.
Kata Imam Syafi’i: pernikahan seorang perempuan tidak sah kecuali apabila
dinikahkan oleh wali aqrab (dekat), kalau tidak ada wali aqrab maka dinikahkan oleh wali
ab’ad (jauh), kalau tidak ada maka dinikahkan oleh penguasa (wali hakim) dan urutannya
sebagai berikut :
a. Ayah
b. Kakek
c. Saudara laki-laki kandung
d. Saudara laki-laki seayah
e. Anak laki-laki dan saudara laki-laki kandung
f. Anak laki-laki dan saudara laki-laki yang seayah
g. Paman kandung (saudara laki-laki dari ayah yang seibu-seayah)
h. Paman seayah
i. Anak laki-laki dari paman kandung
j. Anak laki-laki dari paman seayah
k. Paman dari bapak yang seibu dan sebapak
l. Paman dari bapak yang sebapak
m. Wali hakim
1. Wali Nasab

Nasab dalam bahasa arab artinya keturunan menurut ajaran patrinial, dan diartikan
juga sebagai hubungan darah yang dirurunkan secara patrinial. Wali nasab adalah orang
yang .
Merupakan anggota keluarga pihak mempelai wanita yang memiliki hubungan
darah patrinial dan bisa menikahkan wanita tersebut dengan seorang pria. Berdasarkan
mahzab Syafi’i maka urutan wali nasab adalah sebagai berikut:7
 Bapak, kakek (orang tua bapak) dan seterusnya ke atas
 Saudara laki-laki kandung sebapak seibu
 Saudara laki-laki sebapak lain ibu
 Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki kandung
7 Armia, FiqihMunakahat, (Medan: CV Manhaj, 2015) Hal 73

7
 Keponakan laki-laki dari saudara laki-laki sebapak dan seterusnya
 Paman, yaitu saudara dari bapak sekandung
 Paman sebapak, yaitu saudara dari bapak sebapak lain ibu
 Anak-anak paman kandung (saudara sepupu)
 Anak laki-laki paman sebapak
Berdasarkan urutan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ayah adalah orang yang
paling berhak menjadi wali bagi anak perempuannya dan apabila sang ayah tidak ada
maka dapat digantikan sesuai urutan pada penjelasan diatas. Namun jika pihak yang
paling berhak menjadi wali masih ada, pihak anggota keluarga lain tidak memiliki hak
untuk menjadi wali pada pernikahan sang wanita.
Dalam mahzab syafi’i juga dijelaskan bahwa apabila ayah atau orang yang paling
berhak menajadi wali tidak memenuhi syarat menjadi wali misalnya kehilangan akal,
belum baligh dan lainnya maka wali selanjutnya dalam urutan tersebut atau wali hakim
bisa menjadi wali dalam pernikahan tersebut :

‫ َو َشا ِه َديْ َع ْدل‬،‫الَ نِ َكا َح ِإالَّ بِ َولِ ٍّي‬


Artinya :“Tidak sah nikah kecuali dengan keberadaan wali dan dua saksi yang adil”.
Ash-Shan’ani rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa pernikahan itu
tidak sah kecuali dengan keberadaan wali, karena prinsip dalam penafian ialah menafikan
keabsahan, bukan kesempurnaan.

2. Wali Hakim
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa yang menjadi wali nikah yang utama
adalah orang yang dalam urutan-urutan tersebut namun apabila wali nasab tersebut tidak
ada atau belum memenuhi syarat maka kuasa untuk menjadi wali nikah diberikan kepada
kepala negara dalam hal ini yang diwakili oleh menteri agama dan selanjutnya diserahkan
pada petugas pencatat nikah atau yang dikenal dengan sebutan wali hakim.8
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali
Hakim menyebutkan sebab-sebab perpindahan dari wali nasab kewali
hakim, antara lain:
 Tidak mempunyai wali nasab yang berhak
 Wali nasabnya tidak memenuhi syarat

8Teuku Muhammad Harby As Shidiqy, MutiaraHadis 5, (Semarang: PT PustakaRizky Putra,


2003) Hal 5

8
 Wali nasabnya mafqud
 Wali nasabnya berhalangan hadir
 Wali nasabnya ‘adhal
Kompilasi Hukum Islam pada pasal 23 ayat (1) juga menyebutkan sebab-sebab yang
senada dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 di atas, hanya berbeda
sedikit redaksinya yaitu, “Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila
wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat
tinggalnya atau ghaib atau ‘adal atau enggan”. 9
Sebab-sebab yang lebih rinci lagi dikemukakan Pedoman Fiqh Munakahat dari
Dirjen Bimas Islam danUrusan Haji, yaitu:
 Karena tidak mempunyai wali nasab sama sekali
 Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya
 Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia
tidak ada
 Wali berada di tempat jaraknya sejauh masyafatul qasri (sejauh perjalanan yang
membolehkan sholat qashar) yaitu 92,5 km
 Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai
 Wali‘adal, artinya wali tidak bersedia atau menolak untuk menikahkan
 Wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh
Wewenang wali hakim pada dasarnya berada pada urutan terakhir, setelah semua
wali yang sah dan asli sudah wafat, atau tidak memenuhi syarat.Selama urutan wali yang
asli masih ada dan memenuhi syarat, maka wewenang wali hakim belum ada. Munculnya
wali hakim tersebut, sebagaimana diterangkan dalam hadis Aisyah, Rasulullah saw.
bersabda:

ُ‫ي لَه‬ ُ َ‫فَِإ ْن ا ْشتَ َجرُوا فَالس ُّْلط‬


َّ ِ‫ان َولِ ُّي َم ْن اَل َول‬
Artinya : “Jika terjadi sengketa antara mereka, maka penguasa menjadi wali untuk
orang yang tidak memiliki wali”. (H.R. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi, dan yang lainnya).
Dari hadis Aisyah di atas, Nabi saw. menyebut wali hakim dengan sulthan yang
artinya penguasa. Ibnu Qudamah mengatakan di dalam kitab al-Mughni:

‫ في والية النكاح هو اإلمام أو الحاكم أو من فوضا إليه‬j‫السلطان‬

9InstruksiPresiden RI Nomor 1 Tahun 1991.KompilasiHukum Islam, Pasal 23, Hal 7

9
Artinya: “Sulthan dalam perwalian nikah adalah pemimpin, hakim atau orang yang
dipasrahi untuk menangani masalah pernikahan.”
Di negara kita, pemerintah telah membentuk Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai
petugas resmi yang menangani masalah pernikahan. Sehingga dalam hal ini, pejabat
resmi KUA merupakan hakim yang berhak menjadi wali pernikahan, ketika wali kerabat
tidak ada, atau terjadi sengketa.
Dengan demikian, siapapun yang tidak berstatus sebagai pejabat resmi KUA atau
yang sepadan dengannya dalam hierarki pemerintahan, dia tidak bisa disebut sebagai wali
hakim. Ustaz, guru ngaji, tokoh masyarakat, apalagi teman, tidak bisa disebut wali hakim.
Termasuk juga pejabat KUA yang datang atas nama pribadi, bukan atas nama instansi,
tidak bisa disebut wali hakim. Karena wali hakim adalah pejabat terkait yang datang
resmi atas nama lembaga, bukan atas nama pribadi.Jika mereka tetap nekat mengajukan
diri menjadi wali, maka statusnya wali gadungan dan tidak sah menjadi wali. Dengan
demikian, pernikahan yang dilakukan adalah pernikahan tanpa wali dan itu statusnya
tidak sah.

3. Wali Muhakkam
Golongan wali terakhir disebut sebagai wali muhakkam. Wali ini menjadi pilihan
terakhir apabila wali nasab maupun wali hakim menolak bertindak sebagai wali nikah dan
tidak dapat menjalankan kewajiban maupun haknya sebagai wali.10
Misalnya dalam kasus seorang laki-laki islam menikah dengan seorang wanita
beragama nasrani atau muallaf yang tidak memiliki wali. Jika pernikahan itu tetap ingin
berlangsung meski terjadi konflik dalam keluarga maka mereka dapat mengangkat
seseorang untuk menjadi walinya karena tanpa adanya wali pernikahan tidaklah sah.
Dengan kata lain wali muhakkam adalah wali yang terjadi karena wali tersebut diangkat
oleh pihak mempelai.
Demikianlah pengertian dan urutan wali dalam pernikahan. Urutan tersebut perlu
diperhatikan mengingat pentingnya kedudukan wali dalam pernikahan dan hal
tersebut,menentukan sah atau tidaknya suatu pernikahan. Sebelum menikah sebaiknya
perhatikan terlebih dahulu bagaimana kriteria calon suami dan kriteria calon isteri yang
baik agar pernikahan dapat berlangsung dengan baik dan tecipta rumah tangga yang
harmonis.
4. Wali Maula

108Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam. (Bandung: Sinar Baru Algesindo) Hal 384

10
Wali maula yaitu wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya sendiri.
Laki laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwakilannya bila mana
perempuan itu rela menerimanya. Perempuan disini yang dimaksud terutama adalah
hamba sahaayayang berada dibawah kekuasaan.11
Adapun apabila wanita tersebut tidak memiliki wali Ashobah baik dari nasab
maupun wali yang dahulu membebaskannya dari perbudakan, maka para ulama juga
berbeda pendapat. Mayoritas ulama mengatakan bahwa walinya adalah Hakim, ini adalah
pendapat Maliki, Ahmad, Asy-Syafi’i dan juga satu riwayat dari Abu Hanafiah
Rahimahumullah. Dan ini adalah pendapat yang benar dalam Hadis :

‫ي لَه‬ jُ َ‫فَالس ُّْلط‬


َّ ِ‫ان َولِ ُّي َم ْن الَ َول‬
Artinya : “Maka pemerintah adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali “.
(HR. Abu Daut no. 2083).

E. Dasar Hukum Wali


Dasar hukum mengenai wali banyak disebutkan dalam beberapa hadis antara lain
berdasarkan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam yang berbunyi:

‫احهَا بَا ِط ٌل فَنِ َكا‬ ُ ‫أيُّ َما ا ْم َرا ٍةنَ َك َح‬


َ ‫ت بِ َغي ِْر إ ْد ِن َولِيُهَافَنِ َكا ُحهَا بَا ِط ٌل فَنِ َك‬
‫ ُحهَا بَا ِط ٌل‬.

Artinya : “ Wanita mana saja menikah tanpa izin dari walinya, maka nikahnya batal,
maka nikahnya batal, maka nikahnya batal ”. (HR. Tarmizi, no. 1021).12
Berdasarkan sabda Nabi Saw :

َّ ِ‫اح إالَّ بِ َول‬


‫ي َو َشا ِه َدي ِْن‬ َ ‫الَ ِن َك‬
Artinya : “ Tidak (sah) nikah kecuali dengan kehadiran wali dan dua orang saksi”.
( HR.Thabrani. Hadis ini juga terdapat dalam kitab Shahihb Al-jami’ , no. 7558).

Berdasarkan sabda Nabi Saw :

11 KH. Qomaruddin Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul, (Jakarta: Diponegoro: 1987), Hal 123.
12Abdul Halim Mustatar Ibrahim Unes, Al-Mu’jam al-Wasit, (Mesir : Dar al-Ma’arif, 1973),

11
َّ َ‫ نَفَ َسهَا ف‬j‫ َوالَ تُ َر َّو ُج ْال َمرْ َأة‬jَ‫الَ ثُ َز َّو ُج ْال َمرْ أةُ ْال َمرْ أة‬
‫إن ال َّزانِيَّ ِة ِه َي الَّتِ َي تُ َر َّو ُج‬
‫نَ ْف َسهَا‬
Artinya: “Wanita tidak dibolehkan menikahkan wanita lainnya. Dan wanita tidak
boleh menikahkan dirinya sendiri. Karena wanita perzina adalah yang menikahkan dirinya
sendiri”. (HR.Ibnu Majah, no. 1782. Hadis ini diterapkandalam Shahih Al-Jami, no 7298)

BAB III

12
PENUTUP
1. Kesimpulan
Wali nikah merupakan rukun yang harus dipenuhi dalam pernikahan dan untuk
menentukan sah tidaknya suatu pernikahan, oleh karena itu banyak macam cara untuk
menentukan wali nikah itu sendiri dan harus sesuai dengan syarat-syarat yang telah
ditentukan oleh agama maupun negara itu sendiri. Adapun syarat-syarat wali yaitu: Islam,
Baligh, Berakal, Laki-laki, Adil, Merdeka, dan yang paling pertama kali menjadi wali yaitu
dari ayah kandung mempelai putrinya, tapi apabila tidak ada berpindah pada kakeknya,dan
begitu seterusnya.
2 . Saran
Mengenai makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,maka kami mohon maaf apabila
ada kesalahfahaman dalam penyusunan makalah ini semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

13
Asy Syaukani, Imam Muhammad, Nailul Authar, (Semarang: Cv Asy Syifa,1994) Hal
471
Armia, Fiqih Munakahat, ( Medan: Cv Manhaj , 2015) Hal73

Aladip, Mahfudin, Bulughul Maram, (Semarang : Cv Toha Putra, 1993) Hal 491

Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah 7, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1981), Hal 273

Mahfudh, Sahal, Akhkamul Fuqaha, (Surabaya: Khalista, 2011), Hal 9-10

Daradjat, Zakiah, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf). Hal 77

Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991.KompilasiHukum Islam, Pasal 23, Hal 7

As Shidiqy, Teuku Muhammad Harbi, Mutiara Hadits 5. ( Semarang : PT. Pustaka


Rizky Putra, 2003) Hal 5

Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Hal 384

Shaleh, KH. Qomaruddin, dkk, Asbabun Nuzul, (Jakarta: Diponegoro: 1987), Hal 123.

Unes, Abdul Halim Mustatar Ibrahim, Al-Mu’jam al-Wasit, (Mesir : Dar al-Ma’arif,
1973),

14

Anda mungkin juga menyukai