Anda di halaman 1dari 7

MODUL 1

PENGANTAR FILSAFAT DAN FILSAFAT ILMU

RINGKASAN MODUL
Modul ini mengenalkan dasar-dasar filsafat seperti pengertian, objek, metode dan cabang filsafat
serta posisi filsafat ilmu di dalam pembagian filsafat.

TUJUAN MODUL
Memperkenalkan dasar-dasar filsafat seperti pengertian, objek, metode dan cabang filsafat serta
posisi filsafat ilmu di dalam pembagian filsafat.

KOMPETENSI YANG DIHARAPKAN


Setelah mengikuti perkuliahan modul ini, kompetensi yang diharapkan:
1. Memahami dan mampu menjelaskan pengertian filsafat, objek, dan metode filsafat
2. Mampu membuat skema dan penjelasan dari cabang filsafat
3. Mampu menunjukkan dan menjelaskan posisi filsafat ilmu dalam cabang-cabang filsafat

KONTEN PEMBELAJARAN
1. Pengertian Filsafat
Tidak ada pengertian dan definisi filsafat yang tunggal yang disepakati oleh para filsuf. Para
filsuf memiliki pengertiannya masing-masing, meskipun demikian secara substansi dari
pengertian yang banyak itu terdapat beberapa persamaan.

Kata Filsafat berasal dari bahasa Yunani philia (love) dan sophia (wisdom) yang diartikan
sebagai “cinta kebijaksanaan’ (love of wisdom). Istilah ini kemungkinan pertama kali
diungkapkan oleh Pythagoras (c. 570–495 SM).

“Filsafat adalah upaya spekulatif untuk menghadirkan suatu pandangan yang sistematik dan
lengkap tentang semua realitas (Angeles, 1981).”

“Filsafat adalah studi yang mendalam dan menyeluruh tentang fenomena dan pandangan
manusia secara kritis (wikipedia, 2007)”

“Studi tentang masalah-masalah yang umum dan mendasar seperti terkait dengan
eksistensi, pengetahuan, nilai-nilai, rasio, jiwa, dan bahasa. Filsafat merupakan upaya
rasional untuk memformulasikan, mengerti, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan
mendasar.” (Arnel O Rivera LPU-Cavite, based on Mr. Alexander Rodis).

Jadi filsafat itu merupakan sebuah studi, pencarian, pemikiran/pandangan spekulatif tentang
fenomena

2. Objek, Metode, dan Ciri Filsafat


Objek Filsafat
Objek studi dulu sering kali dibedakan menjadi objek material dan objek formal. Dewasa ini
objek material disebut objek saja yaitu fokus penyelidikan dari suatu kajian/bidang ilmu,
sementara objek formal kini disebut metode saja (metodologi) yaitu pendekatan dan atau
jalan yang ditempuh di dalam menghasilkan suatu ilmu.
Objek kajian filsafat adalah segala yang ada, baik yang ada dalam pikiran, yang ada dalam
kenyataan, maupun yang ada dalam kemungkinan. Keberadaan tentang berbagai “Ada”
kemudian melahirkan beberapa cabang filsafat, yaitu ontologi dan metafisika.

Metode-Metode Filsafat
Arti Harfiah kata "metode" berasal dari Yunani "metodos" Meta artinya menuju, melalui,
sesudah, mengikuti, dan Hodos artinya jalan, cara, atau arah. Arti luas metode adalah cara
bertindak menurut sistem atau aturan tertentu. Arti khusus; cara berfikir menurut aturan
atau sistem tertentu.
Dalam hubungan dengan suatu upaya yang bersifat ilmiah, metode berarti cara kerja yang
teratur dan sistematis yang digunakan untuk memahami suatu objek dari bidang ilmu
tertentu. Dalam masa lampau metode ilmu pengetahuan sering kali disebut “objek formal.”
Setiap cabang ilmu pengetahuan harus menggunakan metodologi yang sesuai dengan objek
studinya. Metode menunjukkan bagaimana suatu ilmu pengetahuan dibentuk.
Filsafat memiliki metode sendiri yang tidak tunggal sesuai dengan sifat filsafat yang subjektif.
Para filsuf sejak zaman dahulu tidak memakai metode yang sama dan tunggal yang
digunakan oleh semua filsuf. Oleh sebab itu metode filsafat sangat banyak.
Para filsuf dalam perenungannya memahami atau mencari makna sesuatu pada umumnya,
menurut Louis O.Kattsoff, melakukan dua model pemikiran yaitu 1) analisis, dan/atau 2)
sintesis.
Analisis artinya adalah “perincian” yang dalam filsafat berarti perincian terhadap istilah atau
pernyataan ke dalam bagian-bagiannya sehingga dapat melakukan pemeriksaan secara
konsepsional tentang makna yang dikandungnya. Misalnya istilah “nyata” dalam “meja itu
nyata” dan “nyata” dalam pertanyaan “Apakah impian itu sesuatu yang nyata?” Apakah
makna "nyata"“dalam dua kalimat itu sama? Oleh karena itu kita diharuskan melakukan
analisis terhadap istilah “nyata” tersebut.
Sintesis adalah usaha mencari kesatuan ide dalam keragaman ide-ide. Sintesis berasal dari
Bahasa Yunani dari kata “syn” yang artinya “dengan” dan “tithenai,” yang artinya
“meletakkan.” Dengan demikian, sintesis dapat diartikan meletakkan secara bersama ide-ide
yang terpisah atau ide yang berbeda sehingga menjadi suatu kesatuan, komposisi, atau
kombinasi yang menyeluruh.
Berikut ini adalah beberapa metode filsafat menurut Anton Bakker (Metodologi Penelitian
Filsafat, 1984, 21-22).
1. Metode Maieutik Kritis: Socrates, Plato
Sokrates ( 470-399 SM ) dan ajaran-ajarannya hanya dikenal lewat berbagai karya tulis
murid-muridnya, yakni Aristophanes, Xenophon, Plato dan karya tulis murid Plato, yaitu
Aristoteles. Pemikiran-pemikiran Sokrates hampir lengkap ditemukan lewat berbagai
karya tulis Plato, teristimewa dalam dialog-dialog yang pertama, yang disebut dialog-
dialog Sokratik.
Bagi Sokrates, kebenaran objektif yang hendak digapai bukanlah semata-mata untuk
membangun suatu ilmu pengetahuan teoritis yang abstrak, tetapi justru untuk meraih
kebajikan. Bagi Sokrates, filsafat adalah upaya untuk mencapai kebajikan.
Untuk mencapai kebenaran objektif, Sokrates menggunakan suatu metode yang
dilandaskan pada suatu keyakinan bahwa pengetahuan akan kebenaran objektif itu
tersimpan dalam jiwa setiap orang sejak masa praeksistensinya. Karena itu, Sokrates
tidak pernah mengajar tentang kebenaran itu, melainkan berupaya untuk menolong
untuk mengungkapkan apa yang telah ada dan tersimpan dalam jiwa seseorang.
Sokrates merasa terpanggil utnuk melakukan tugas yang mirip ibunya (ibunya adalah
bidan), maka cara yang digunakannya pun disebutnya maieutika tekne (teknik
kebidanan), yaitu melalui dialog, merangsang seseorang untuk mengungkapkan apa
yang ada dalam benaknya (hati dan pikirannya). Metode seperti ini dalam pembelajaran
sering disebut “recalling.”
Sokrates  mempraktekan teknik kebidanan itu lewat percakapan. Lewat percakapan
demikian itulah ia melihat dengan jelas adanya kebenaran-kebenaran individual yang
ternyata bersifat universal. Dengan demikian, ia telah memperkokoh dasar berpikir
induktif yang kemudian akan dikembangkan oleh para pemikir lainnya. Lewat dialog-
dialog kritis, Sokrates menggiring orang untuk menemukan kebenaran yang
sesungguhnya. Karena Sokrates selalu mengajak orang untuk bercakap-cakap, metode
yang digunakannya disebut metode dialektik.

2. Metode Intuitif, Kontemplatif-Mistis: Plotinos, Bergson


Plotinos merupaka filsuf neoplatonis karena filsafatnya didasarkan pada ajaran Plato,
khususnya mengenai ide kebaikan sebagai ide yang tertinggi di dalam filsafat Plato.
Tetapi tidak berarti ia hanya mempelajari filsafat Plato, ia mempelajari berbagai filsafat
lain yang yang mendahuluinya, tetapi pengaruh Platonisme terlihat dengan jelas dalam
pemikirannya.
Ide kebaikan atau yang sangat baik sebagai ide tertinggi dari Plato, oleh Platinos disebut
‘to hen’ atau yang esa/the one. Yang esa itu adalah yang awal atau yang pertama, yang
paling baik, paling tinggi, dan yang kekal. Yang esa itu adalah pusat daya dan kekuatan.
Seluruh realitas merupakan pancaran dari yang esa. Proses yang mengalir keluar disebut
emanasi. Walaupun emanasi terjadi, tetapi yang esa itu tidak pernah berkurang atau
berubah.
Dalam proses emanasi, yang pertama kali keluar merupakan ‘nous’. Nous sangat sulit
diterjemahkan. Ada yang menerjemahkannya dengan budi, akal, dan juga roh. Nous itu
berada paling dekat dengan ‘to hen’. Nous merupakan gambaran atau bayangan dari ‘to
hen’.
Kemudian dari nous, keluar yang disebut Platinos ‘psykhe’ atau jiwa. Psykhe merupakan
sesuatu yang memiliki tingkat lebih rendah daripada nous. Psykhe berada di antara nous
dan materi. Oleh sebab itu psykhe dapat dikatakan sebagai penghubung antara roh dan
materi, lalu melahirkan suatu tubuh, yang pada hakikatnya berlawanan dengan nous dan
to hen.
Untuk mencapai kebenaran, manusia harus kembali ke to hen dan menyatu dengannya.
Itulah yang menjadi tujuan hidup manusia.
Filsafat Plotinos merupakan suatu sistem yang hendak menjelaskan asal mula dan tujuan
seluruh realitas, termasuk manusia. Menurutnya filsafat bukan hanya merupakan
doktrin melainkan juga merupakan suatu jalan kehidupan. Karena itu metode Plotinos
disebut metode kontemplatif-mistis.
Guna menyelami hakikat segala kenyataan diperlukan intuisi, yaitu suatu tenaga rohani,
kecakapan yang dapat melepaskan diri dari akal, kecakapan untuk menyimpulkan serta
meninjau dengan sadar. Intuisi adalah naluri yang telah mendapatkan kesadaran diri,
yang telah diciptakan untuk memikirkan  sasaran serta memperluas sasaran itu menurut
kehendak sendiri tanpa batas. Intuisi adalah suatu bentuk pemikiran yang berbeda
dengan pemikiran akal, sebab pemikiran intuisi bersifat dinamis. Fungsi intuisi ialah
untuk mengenalkan hakikat pribadinya atau 'aku'  dengan lebih murni dan untuk
mengenal hakikat seluruh kenyataan. Hakikat yang sebenarnya, baik dari ‘aku’ maupun
dari ‘seluruh kenyataan’ oleh intuisi dilihat sebagai ‘kelangsungan murni’ atau ‘masa
murni’, yang keadaannya berbeda sekali dengan 'waktu' yang dikenal akal. 
Akal, jika ingin mengerti keadaan suatu kenyataan, kenyataan itu dianalisis, dibongkar
dalam banyak unsur. Unsur yang satu dibedakan dengan yang lain,  dipisahkan dari yang
lain, dan ditempatkan yang satu di samping yang lain serta sesudah yang lain, artinya
akal memikirkan kembali unsur-unsur itu dalam ruang dan waktu. Kerja akal yang
demikian itu oleh Bergson disebut kerja yang sinematografis.
3. Metode skolastik Aristoteles dan Thomas Aquinas
Filsafat Skolastik memiliki ciri dikembangkan dalam sekolah-sekolah biara dan
keuskupan. Filsuf-filsuf utamanya adalah imam-imam dan biarawan-biarawan yang tidak
memisahkan filsafat dengan teologi kristiani. Filsafat dijadikan bagian integral dalam
teologinya. Begitu juga Thomas, namun ia lebih mementingkan otonominya dalam
berfilsafat. Thomas Aquinas meletakan filsafatnya atas prinsip-prinsip Aristotelisme itu,
terutama perbedaan potensi dan aktus.
Metode skolastik sering disebut metode sintesis-deduktif. Bertitik tolak kepada prinsip-
prinsip sederhana yang sangat umum diturunkan hubungan-hubungan yang lebih
kompleks dan khusus. Metode-metode itu diintepretasikan, ditambah, dikoreksi dan
diolah dengan cara yang baru. Terutama Thomas seluruh metode filosofis terinspirasi
Aristotelian. Kerap nama metode skolastik dipakai untuk menguraikan metode
mengajar.
Filsafat Thomas Aquinas dihubungkan erat sekali dengan teologi. Metode skolastik
pertama-tama merujuk kepada mengajar. Namun ada hubungan erat dengan metode
berpikir. Sekalipun demikian pada dasarnya filsafatnya dapat dipandang sebagai
suatu filsafat kodrati yang murni.
4. Metode Skeptis, Meragukan: Descartes, Imam Al-Ghazali
Filsafat Descartes yang paling terkenal yaitu: cogito ergo sum, (aku berpikir maka aku
ada). Bagi Descartes, manusia harus menjadi titik berangkat dari pemikiran yang rasional
demi mencapai kebenaran yang pasti. Untuk mencapai kebenaran yang pasti itu, rasio
harus berperan semaksimal mungkin.
Cara untuk mencapai kebenaran dengan pasti, membutuhkan keraguan. Apabila melalui
keraguan yang begitu radikal ada suatu kebenaran yang saggup bertahan sehingga tidak
mungkin lagi diragukan kebenarannya, maka kebenaran itu adalah kebenaran yang pasti.
Setelah meragukan segala sesuatu, Descartes menemukan bahwa ada satu hal yang
tidak dapat diragukan, yaitu: saya sedang meragukan segala sesuatu, sedang berpikir,
dan jika saya sedang berpikir itu berarti tidak dapat diragukan lagi bahwa saya pasti ada.
Ini karena tidak mungkin yang tidak ada dapat berpikir dan dapat meragukan segala
sesuatu.
Descartes menciptakan metode ini, tetapi ia bukan penganut skeptisisme yang
menyangsikan segala-galanya dan mengatakan bahwa apa yang dinamakan
pengetahuan itu tidak ada. Keraguan Descartes hanya keraguan metodis.
Di sisi lain, Imam al-Ghazali, yang lahir sekitar lima ratus tahun sebelum Rene Descartes
telah melakukan analisa kritis terhadap dirinya sendiri, meliputi pengetahuan dan
eksistensinya, Imam al-Ghazali lebih dulu menadasarkan pengetahuannya pada
keraguan (al-syak).  Baginya, pengetahuan yang bersifat inderawi belum laik disebut
pengetahuan sesungguhnya.
Dalam Munqidh min adh-Dhalal  ia menganalogikannya dengan mengatakan: “fainnî idza
‘alimtu anna al-‘asyrata aktsaru min al-tsalâtsah” (dengan demikian, aku tahu bahwa
sepuluh lebih banyak daripada tiga), kemudian ada seseorang yang mengatakan
kepadaku (al-Ghazali): “lâ, bal al-tsalâtsatu aktsaru, bi dalili annî uqallibu hadzihi
al-‘ashâ tsa’bânan” (tidak, tiga lebih banyak [dari sepuluh], dengan bukti bahwa aku bisa
merubah tongkat ini menjadi ular). Kemudian ia melanjutkan:
“Dan [katakanlah] dia benar-benar merubahnya dan aku pun menyaksikan perubahan
itu, [namun tetap saja] aku tidak akan meragukan pengetahuanku karena fakta ini,
perubahan itu juga tidak memberi pengaruh apapun untukku selain ketakjuban
bagaimana cara dia melakukannya.”
Dengan alasan ini, Imam al-Ghazali berpendapat bahwa pengetahuan semacam ini
merupakan doubtful knowledge  (pengetahuan meragukan) yang disebutnya
sebagai “huwa ‘ilmun lâ tsiqqata bihi wa lâ amâna ma’ahu, wa kullu ‘ilmin lâ amâna
ma’ahu falaisa bi ‘ilmin yaqîniyyin—pengetahuan yang tidak dapat diandalkan dan tidak
sempurna,  sedangkan setiap pengetahuan yang tidak sempurna tidak termasuk
pengetahuan yang dapat dipercaya.”
5. Metode Kritisis – Sintetis Transendental: Immanuel Kant, Neo-Skolastik
Immanuel Kant dikenal dengan metode kritisis-sintetis. Kritisisme, secara sederhana
adalah tidak menerima begitu saja pendapat/pengetahuan yang ada. Pada masanya ada
dua arus pemikiran terkait ilmu pengetahuan yaitu rasionalisme dan empirisme.
Dalam metode kritis-sintesisnya, Kant menyatukan pandangan rasionalisme dan
empirisme. Kant berpendapat bahwa pengetahuan/pemahaman itu merupakan hasil
konstruksi subjek (manusia) terhadap fenomin-fenomin atau objek-objek di luar dirinya.
Jadi pengetahuan itu perpaduan antara faktor-faktor a priori (mendahului pengalaman,
bawaan) dengan faktor-faktor aposteriori(pengalaman). Pemikiran Kant juga sering kali
disebut sebagai konstruktivisme Kant.

6. Metode Dialektika: Hegel, Karl Marx


Dialektika merupakan metode berfikir dengan cara kontradiktif (bertentangan) yang
selanjutnya menghasilkan perpaduan baru yang lebih sempurna. Dalam metode
dialektika terdapat beberapa element, yaitu pertama adalah “Tesis” sesuatu yang
pertama, yang sedang ada/berlangsung, yang kemudian dikontradiksikan dengan
“antitesis” sebagai lawannya, kemudian dipadukan jadi satu kesimpilan atau “sintesis”
sebagai pengetahuan baru.
Metode dialektika dipakai dalam analisis sejarah, seperti dialektika idealis Hegel (filsuf
jerman, penemu metode dialektika), dan juga analisis sejarah kelasnya Karl Marx
(materialisme historis, dan materialisme dialektis). Dialektika Hegel dan Marx
mempunyai perbedaan, dialektika Hegel bersifat idealis, artinya ide, fikiran,kekuatan
supranatural dewa, roh, merupakan yang awal daripada materi. Segala kejadian diawali
oleh fikiran, ide, dan kekuatan supranatural. Sedangkan dialektika Marx adalah
dialektika material, dimana materi merupakan yang lebih awal daripada ide. Kondisi real,
alam materi memengaruhi atau membentuk ide, fikiran, budaya, konsepsi tentang
adanya kekuatan supranatural, dewa, rah. Dialektika Marx condong pada arah
bagaimana kita berfikir pada kondisi real yang dijangkau pada panca indra kita, kita
mengamati menganalisis apa yang di sekeliling kita seperti yang ada di prinsip science,
dan filsafat.

7. Metode Fenomenologi: Edmund Husserl


Fenomenologi Husserl adalah sebuah upaya untuk memahami kesadaran yang dialami
dari sudut pandang orang pertama. Secara literal fenomenologi adalah studi tentang
fenomena, atau tentang segala sesuatu yang tampak bagi kita di dalam pengalaman
subyektif, atau tentang bagaimana kita mengalami segala sesuatu di sekitar kita. Setiap
orang pada dasarnya pernah melakukan praktek fenomenologi. Ketika anda bertanya
“Apakah yang aku rasakan sekarang?”, “Apa yang sedang kupikirkan?”, “Apa yang akan
kulakukan?”, maka sebenarnya anda melakukan fenomenologi, yakni mencoba
memahami apa yang anda rasakan, pikirkan, dan apa yang akan anda lakukan dari sudut
pandang orang pertama.
Deskripsi fenomenologis lebih melihat pengalaman manusia sebagaimana ia
mengalaminya, yakni dari sudut pandang orang pertama. Walaupun berfokus pada
pengalaman subyektif orang pertama, fenomenologi tidak berhenti hanya pada deskripsi
perasaan-perasaan inderawi semata. Pengalaman inderawi hanyalah titik tolak untuk
sampai makna yang bersifat konseptual (conceptual meaning), yang lebih dalam dari
pengalaman inderawi itu sendiri. Makna konseptual itu bisa berupa imajinasi, pikiran,
hasrat, ataupun perasaan-perasaan spesifik, ketika orang mengalami dunianya secara
personal.
8. Metode Analitik Bahasa: Ludwig Wittgenstein
Wittgenstein memunculkan metode baru dalam filsafat, yakni metode analisa bahasa.
Metode analisa bahasa yang ditampilkan oleh berhasil pola pemikiran baru dalam dunia
filsafat. Metode analisa bahasa menekankan bahwa tugas filsafat adalah memecahkan
persoalan yang timbul akibat ketidakpahaman terhadap bahasa. Maka, kerja filsafat
adalah menganalisis bahasa yang dipergunakan melalui kritik (critical of language).
Menurut metode ini bahasa memiliki berbagai kelemahan seperti kekaburan makna,
ketergantungan pada konteks, penuh dengan emosi, dan menyesatkan. Untuk
mengatasi kelemahan tersebut perlu kejelasan kebenaran dari konsep-konsep. Untuk itu
harus dilakukan analisis filosofis agar muncul suatu bahasa yang sarat dengan logika dan
ungkapan-ungkapan bahasa kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan.

Cabang Filsafat
Scara klasik pembagial filsafat dikategorikan dalam tiga cabang filsafat utama yaitu ontolog-
metafisika, epistemologi, dan aksiologi.
1. Ontologi adalah studi filosofis tentang “Ada” atau filsafat tentang “Ada”.
Mempelajari konsep-konsep tentang keberadaan (eksistensi), realitas, serta kategori
dasar tentang yang ada dan ketertaitannya hubungan mereka.
2. Metafisika adalah cabang filsafat yang meneliti sifat dasar realitas, termasuk
hubungan antara pikiran dan materi, antara substansi dan atribut, dan antara
potensi dan aktualitas. [2] Kata "metafisika" berasal dari dua kata Yunani yang,
secara bersama-sama, secara harfiah berarti "setelah atau di belakang atau di antara
yang alami". Istilah berasal dari “ta meta ta” dan “physika,” yaitu 'setelah fisika', 'di
belakang fisika', atau ‘beserta fisika’. Ontologi, kosmologi sering kali dianggap
sebagai bagian dari metafisika.
3. Epistemologi adalah cabang filsafat yang mengkaji tentang teori pengetahuan di
antaranya mempelajari hakikat dari pengetahuan, justifikasi, dan rasionalitas
keyakinan. Termasuk atau terkait dalam epistemologi adalah logika.
4. Aksiologi adalah filsafat yang mengkaji tentang tindakan manusia terkait dengan
status nilainya. Filsafat yang mengkaji status baik buruknya tindakan tersebut secara
moral di sebut Etika, sedangkan yang terkait dengan bagus/indah dan buruknya
adalah estetika.

Posisi Filsafat Ilmu


Filsafat ilmu, atau Philosphy of scientific knowledge merupakan bagian dari
epistemologi. Filsafat ilmu mengkaji pengetahuan ilmiah.

SOAL-SOAL
1. Apakah yang disebut filsafat, sebutkan menurut salah satu definisi yang anda ketahui?
2. Jelaskan perbedaan antara filsafat, agama, dan ilmu pengetahuan!
3. Apa sajakah yang menjadi objek studi atau kajian dari filsafat, Jelaskan!
4. Apa yang dimaksud dengan metode filsafat. Jelaskan metode Maieutik Kritis dari Socrates
dan metode Analitik Bahasa dari Ludwig Wittgenstein
5. Buatlah skema tentang pembagian/cabang filsafat!
6. Apakah menjadi fokus kajian dari etika dan estetika, jelaskan!
7. Jelaskan apa yang dimaksud dengan epistemologi dan bagaimana hubungannya denga
filsafat ilmu pengetahuan!

Anda mungkin juga menyukai