Anda di halaman 1dari 21

Tugas Makalah

“Hak Asasi Manusia”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Dosen Pengampu : Wilda Hamisa, M.Pd

Disusun oleh :

Kelompok 6
1. Muhammad Egar (3321044)
2. Salamatul Anjani (3321045)
3. Muhammad Bahrul Muchith (3321046)

JURUSAN TASAWUF DAN PSIKOTERAPI


FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN DAKWAH
IAIN PEKALONGAN KATA
PENGANTAR

Bismillahirohmanirrohiim

Segala puji bagi Allah SWT, karena berkat karunianya yang selalu
tercurahkan kepada kita, dan berkat nikmat sehat yang Allah SWT berikan kami
yang dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik.

Tujuan penulisan makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang dibimbing oleh Ibu Wilda Hamisa,
M.Pd. yang bertemakan tentang “Hak Asasi Manusia” hal ini juga mengingatkan
kepada kita semua agar dapat memperluas pengetahuan kita yang berkaitan dengan
Hak Asasi Manusia.

Dalam makalah ini tentu tidak luput dari kekurangan dan kesalahan. Oleh
sebab itu kritik untuk pengembangan senantiasa diharapkan untuk kesempurnaan
makalah ini.

Pekalongan, 4 Oktober 2021

Penulis

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………………………………………………… 1

Daftar Isi………………………………………………………………....... 2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang …………………………………….....…….. 3


B. Rumusan Masalah .………………………………….....………. 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian HAM.............................................................................. 4
B. Perkembangan HAM di Indonesia……............................................ 5
C. Problematika HAM di Indonesia.....………..................................... 12
D. Penegakan HAM di Indonesia.......................................................... 14

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan........................................................................................ 19
B. Saran ................................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 20

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hak asasi manusia (HAM) merupakan sesuatu yang sangat penting


dalam kehidupan umat manusia. Setiap manusia yang lahir sudah melekat hak
asasinya. Orang lain tidak dapat menggangu hak asasi masing-masing individu.
Oleh karena itu, hak asasi harus dipahami oleh setiap orang. Karena begitu
pentingnya, hak asasi manusia (HAM) dijadikan sebagai salah satu materi
dalam perkuliahan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Itu sebabnya
untuk menjadi warga negara yang baik harus memahami dan menyadari
mengenai hak asasi manusia

Pemerintah bertanggungjawab terhadap hak asasi dalam segala bidang.


Sebagaimana dalam Pasal 72 UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia yaitu “Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam
bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara,
dan bidang lain”. Dengan kata lain, pemerintah harus memenuhi dan menjamin
hak sipil politik (sipol) dan hak ekonomi, sosial, budaya (ekosob).

Maka dari itu kita sebagai generasi penerus bangsa haruslah mengetahui
secara luas baik makna maupun seluk-beluk HAM itu sendiri sehingga kita bisa
mengatasi masalah HAM di lingkungan sekitar kita.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia?


2. Bagaimana perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia?
3. Apa Problematika Hak Asasi Manusia di Indonesia?
4. Bagaimana Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)

Menurut Teaching Human Rights yang diterbitkan oleh Perserikatan


Bangsa Bangsa (PBB), hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat
pada se tiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai
manusia. Hak hidup, misalnya, adalah klaim untuk memperoleh dan melakukan
segala sesuatu yang dapat membuat seseorang tetap hidup. Tanpa hak tersebut
ekais tensinya sebagai manusia akan hilang.

Senada dengan pengertian di atas adalah pernyataan awal hak asasi


manusia (HAM) yang dikemukakan oleh John Locke. Menurut Locke, hak asasi
manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha
Pencipta sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Karena sifatnya yang demikian,
maka tidak ada kekuasaan apa pun di dunia yang dapat mencabut hak asasi
setiap manusia. HAM adalah hak dasar setiap manusia yang dibawa sejak lahir
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, bukan pemberian manusia atau
lembaga kekuasaan

Hak asasi manusia ini tertuang dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia. Menurut UU ini, hak asasi manusia adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

4
B. Perkembangan HAM di Indonesia

Wacana HAM di Indonesia telah berlangsung seiring dengan berdirinya


Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara garis besar
perkembangan pemikiran HAM di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua periode
sebelum kemerdekaan (1908-1945) dan sesudah kemerdekaan.

a. Periode Sebelum Kemerdekaan (1908-1945)

Pemikiran HAM dalam periode sebelum kemerdekaan dapat dijumpai


dalam sejarah kemunculan organisasi pergerakan nasional, seperti Boedi
Oetomo (1908), Sarekat Islam (1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis
Indonesia (1920), Perhimpunan Indonesia (1925), dan Partai Nasional
Indonesia (1927). Lahirnya organisasi pergerakan nasional itu tidak bisa
dilepaskan dari sejarah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penguasa
kolonial, penjajahan, dan pemerasan hak hak masyarakat terjajah. Puncak
perdebatan HAM yang dilontarkan oleh para tokoh pergerakan nasional, seperti
Soekarno, Agus Salim, Mohammad Natsir, Mohammad Yamin, K.H. Mas
Mansur, K.H. Wachid Hasyim, Mr. Maramis, terjadi dalam sidang-sidang
Badan Persiapan Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam
sidang-sidang BPUPKI tersebut para tokoh nasional berdebat dan berunding
merumuskan dasar-dasar ketatanegaraan dan kelengkapan negara yang
menjamin hak dan kewajiban negara dan warga negara dalam negara yang
hendak diproklamirkan.

Dalam sejarah pemikiran HAM di Indonesia, Boedi Oetomo mewakili


organi sasi pergerakan nasional mula-mula yang menyuarakan kesadaran
berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang ditujukan
kepada pemerintah kolonial maupun lewat tulisan di surat kabar Inti dari
perjuangan Boedi Oetomoadalah perjuangan akan kebebasan berserikat dan
mengeluarkan pendapat melalui organisasi massa dan konsep perwakilan
rakyat. Sejalan dengan wacana HAM yang diperjuangkan Boedi Oetomo, para
tokoh Perhimpunan Indonesia, seperti Mohammad Hatta, Nazir Pamontjak,
Ahmad Soebardjo, A. Maramia, lebih menekankan perjuangan HAM melalui
5
wacana hak menentukan nasib sendin (the right of self determination)
masyarakat terjajah

Diskursus HAM terjadi pula di kalangan tokoh pergerakan Sarekat


Islam (SI) seperti Tjokro Aminoto, H. Samanhudi, Agus Salim Mereka
menyerukan pentingnya usaha-usaha untuk memperoleh penghidupan yang
layak dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial yang dilakukan
pemerintah kolonial. Berbeda dengan pemikiran HAM di kalangan tokoh
nasionalis sekuler, para tokoh Sl mendasari perjuangan pergerakannya pada
prinsip-prinsip HAM dalam ajaran Islam

b. Periode Setelah Kemerdekaan

Perdebatan tentang HAM terus berlanjut sampai periode pasca kemerdekaan


Indonesia: 1945-1950, 1950-1959, 1959-1966, 1966-1998, dan periode HAM
Indonesia kontemporer (pasca Orde Baru)

1. Periode 1945-1950

Pemikiran HAM pada periode awal pasca kemerdekaan masih


menekankan
pada wacana hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organ
isasi politik yang didirikan, serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat
terutama di parlemen. Sepanjang periode ini, wacana HAM bisa dicirikan pada

a. Bidang sipil dan politik, melalui


 UUD 1945 (Pembukaan, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Panal
30, Penjelasan Pasal 24 dan 25)
 Maklumat Pemerintah 1 November 1945
 Maklumat Pemerintah 3 November 1945
 Maklumat Pemerintah 14 November 1945
 KRIS, khususnya Bab V, Pasal 7-33
 KUHP Pasal 99
6
b. Bidang ekonomi, sosial, dan budaya, melalui
 UUD 1945 (Pasal 27, Pasal 31, Pasal 33, Pasal 34, Penjelasan Pasal 31-
32)
 KRIS Pasal 36-40

2. Periode 1950-1959

Periode 1950-1959 dikenal dengan masa demokrasi parlementer.


Sejarah pemikiran HAM pada masa ini dicatat sebagai masa yang sangat
kondusif bagi perjalanan HAM di Indonesia. Sejalan dengan prinsip demokrasi
liberal dimasa itu, suasana kebebasan mendapat tempat dalam kehidupan politik
nanal. Menurut catatan Bagir Manan, masa gemilang sejarah HAM Indonesia
pada masa ini tercermin pada lima indikator HAM

1. Munculnya partai-partai politik dengan beragam ideologi


2. Adanya kebebasan pers
3. Pelaksanaan pemilihan umum secara aman, bebas, dan demokratis.
4. Kontrol parlemen atas eksekutif
5. Perdebatan HAM secara bebas dan demokratis.

Berbagai partai politik yang berbeda haluan dan ideologi sepakat


tentang substansi HAM universal dan pentingnya HAM masuk dalam UUD
1945. Bahkan diusulkan supaya keberadaan HAM mendahului bab-bab UUD
Tercatat pada periode ini Indonesia meratifikasi dua (2) konvensi internatioral
HAM, yaitu:

1. Konvensi Genewa tahun 1949 yang mencakup perlindungan hak bagi


korban perang, tawanan perang, dan perlindungan sipil di waktu perang.
2. Konvensi tentang Hak Politik Perempuan yang mencakup hak perempuan
untuk memilih dan dipilih tanpa perlakuan diskriminasi, serta hak
perempuan untuk menempati jabatan publik.

7
3. Periode 1959-1966

Periode ini merupakan masa berakhirnya Demokrasi Liberal, digantikan


oleh sistem Demokrasi Terpimpin yang terpusat pada kekuasaan Presiden
Soekarno. Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) tidak lain sebagai bentuk
penolakan Presiden Soekarno terhadap sistem Demokrasi Parlementer yang
dinilainya sebagai produk Barat. Menurut Soekarno, Demokrasi Parlementer
tidak sesuai dengan karakter bangsa Indonesia yang telah memiliki tradisinya
sendiri dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Melalui sistem Demokrasi Terpimpin kekuasaan terpusat di tangan


presiden Presiden tidak dapat dikontrol oleh parlemen, sebaliknya parlemen
dikendalikan oleh presiden Kekuasaan Presiden Soekarno bersifat absolut,
bahkan dinobatkan sebagai Presiden RI seumur hidup. Akibat langsung dari
model pemerintahan yang sangat individual ini adalah pemasungan hak-hak
asasi warga negara. Semua pandangan politik masyarakat diarahkan harus
sejalan dengan kebijakan pemerintah yang otoriter. Dalam dunia seni, misalnya,
atas nama revolusi pemerintahan Presiden Soekarno menjadikan Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi kepada PKI sebagai satu-satunya
lembaga seni yang diakui. Se baliknya, lembaga selain Lekra dianggap anti
pemerintah atau kontra-revolusi.

4. Periode 1966-1998

Pada mulanya, lahirnya Orde Baru menjanjikan harapan baru bagi


penegakan HAM di Indonesia. Berbagai seminar tentang HAM dilakukan Orde
Baru. Namun pada kenyataannya, Orde Baru telah menorehkan sejarah hitam
pelanggaran HAM di Indonesia. Janji-janji Orde Baru tentang pelaksanaan
HAM di Indonesia mengalami kemunduran amat pesat sejak awal 1970-an
hingga 1980-an. Setelah mendapatkan mandat konstitusional dari sidang
MPRS, pemerintah Orde Baru mulai menunjukkan watak aslinya sebagai
kekuasaan yang anti-HAM yang di anggapnya sebagai produk Barat. Sikap anti-
HAM Orde Baru sesungguhnya tidak berbeda dengan argumen yang pernah
dikemukakan Presiden Soekarno ketika menolak prinsip dan praktik Demokrasi
8
Parlementer, yakni sikap apologis dengan cara mempertentangkan demokrasi
dan prinsip HAM yang lahir di Barat dengan budaya lokal Indonesia. Sama
halnya dengan Orde Lama, Orde Baru memandang HAM dan demokrasi
sebagai produk Barat yang individualistik dan bertentangan dengan prinsip
gotong-royong dan kekeluargaan yang dianut oleh bangsa Indone sia. Di antara
butir penolakan pemerintah Orde Baru terhadap konsep universal HAM adalah:

a. HAM adalah produk pemikiran Barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila.
b. Bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertu
ang dalam rumusan UUD 1945 yang lahir lebih dahulu dibandingkan
dengan Deklarasi Universal HAM
c. Isu HAM sering kali digunakan oleh negara-negara Barat untuk
memojokkan negara yang sedang berkembang seperti Indonesia

Apa yang dikemukakan oleh pemerintah Orde Baru tidak seluruhnya


keliru, tetapi juga tidak pula semuanya benar. Sikap apriori Orde Baru terhadap
HAM Barat ternyata sarat dengan pelanggaran HAM yang dilakukannya.
PelanggaranHAM Orde Baru dapat dilihat dari kebijakan politik Orde Baru
yang bersifat sen tralistik dan anti segala gerakan politik yang berbeda dengan
pemerintah. Sepan Jang pemerintahan Presiden Soeharto tidak dikenal istilah
partai oposisi, bahkan sejumlah gerakan yang berlawanan dengan kebijakan
pemerintah dinilai sebagai anti pembangunan bahkan anti-Pancasila. Melalui
pendekatan keamanan (secunty approach) dengan cara-cara kekerasan yang
berlawanan dengan prinsip-prinsip HAM, pemerintah Orde Baru tidak segan-
segan menumpas segala bentuk aspirasi masyarakat yang dinilai berlawanan
dengan Orde Baru. Kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok, Kedung Ombo,
Lampung, Aceh adalah segelintir daftar pelanggar an HAM yang pernah
dilakukan oleh penguasa Orde Baru.

Di tengah kuatnya peran negara, suara perjuangan HAM dilakukan oleh


kalangan organisasi nonpemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
Upaya penegakan HAM oleh kelompok-kelompok nonpemerintah
membuahkan hasil yang menggembirakan di awal 90-an. Kuatnya tuntutan
9
penegakan HAM dari kalangan masyarakat mengubah pendirian pemerintah
Orde Baru untuk ber sikap lebih akomodatif terhadap tuntutan HAM. Satu di
antara sikap akomodatif pemerintah tercermin dalam persetujuan pemerintah
terhadap pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
melalui keputusan president (keppres). Kehadiran Komnas HAM adalah untuk
memantau dan menyelidiki pe laksanaan HAM, memberi pendapat,
pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM
Lembaga ini juga membantu pengembangan dan pe laksanaan HAM yang
sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Sayangnya, sebagai lembaga bentukan
pemerintah Orde Baru penegakan HAM tidak berdaya dalam mengungkap
pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh negara.

Sikap akomodatif lainnya ditunjukkan dengan dukungan pemerintah


mera tifikasi tiga (3) konvensi HAM: (1) Konvensi tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, melalui UU No. 7 Tahun 1984; (2)
Konvensi Anti-Apartheid dalam Olahraga, melalui UU No. 48 Tahun 1993; dan
(3) Konvensi Hak Anak, melalui Keppres No. 36 Tahun 1990.

Namun demikian, sikap akomodatif pemerintah Orde Baru terhadap


tuntut an HAM masyarakat belum sepenuhnya diserasikan dengan pelaksanaan
HAM oleh negara. Komitmen Orde Baru pelaksanaan HAM secara murni dan
konsekuen masih jauh dari harapan masyarakat. Masa pemerintahan Orde Baru
masih sarat dengan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat negara atas
warga negara. Akumulasi pelanggaran HAM negara semasa periode ini
tercermin dengan tuntutan mundur Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan
yang disuarakan oleh kelompok reformis dan mahasiswa pada tahun 1998. Isu
pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kekuasaan mewarnai tuntutan
reformasi yang disuarakan pertama kali oleh Dr. Amin Rais, tokoh intelektual
muslim Indonesia yang sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru

5. Periode Pasca Orde Baru

Tahun 1998 adalah era paling penting dalam sejarah HAM di Indonesia.
Lengsernya tampuk kekuasaan Orde Baru sekaligus menandai berakhirnya
10
rezim militer di Indonesia dan datangnya era baru demokrasi dan HAM, setelah
tiga puluh tahun lebih terpasung di bawah rezim otoriter. Pada tahun ini
Presiden Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie yang kala itu menjabat sebagai
Wakil Presiden RI. Menyusul berakhirnya pemerintahan Orde Baru, pengkajian
terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru yang bertentangan dengan prinsip-
prinsip HAM mulai dilakukan kelompok reformis dengan membuat perundang-
undangan baru yang menjunjung prinsip-prinsip HAM dalam kehidupan
ketatanegaraan dan kemasyarakatan. Tak kalah penting dari perubahan
perundangan, pemerintah di era reformasi ini juga melakukan ratifikasi terhadap
instrumen HAM Internasional untuk mendukung pelaksanaan HAM di
Indonesia

Pada masa pemerintahan Habibie misalnya, perhatian pemerintah


terhadap pelaksanaan HAM mengalami perkembangan yang sangat signifikan.
Lahirnya Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM merupakan salah satu
indikator keseriusan pemerintahan era reformasi akan penegakan HAM.
Sejumlah konvensi HAM juga diratifikasi di antaranya: konvensi HAM tentang
kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi, konvensi
menentang penyiksaan dan perlakuan kejam, konvensi penghapusan segala
bentuk diskriminasi rasial, konvensi tentang penghapusan kerja paksa; konvensi
tentang diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan; serta konvensi tentang usia
minimum untuk diperbolehkan bekerja.

Kesungguhan pemerintahan B. J. Habibie dalam perbaikan pelaksanaan


HAM ditunjukkan dengan pencanangan program HAM yang dikenal dengan
istilah Rencana Aksi Nasional HAM, pada Agustus 1998. Agenda HAM ini
bersandarkan pada empat pilar, yaitu: (1) Persiapan pengesahan perangkat
Internasional di bidang HAM; (2) Diseminasi informasi dan pendidikan bidang
HAM; (3) Penentuan skala prioritas pelaksanaan HAM, (4) Pelaksanaan isi
perangkat Internasional di bidang HAM yang telah diratifikasi melalui
perundang-undangan nasional Komitmen pemerintah terhadap penegakan
HAM juga ditunjukkan dengan pengesahan UU tentang HAM, pembentukan
Kantor Menteri Negara Urusan HAM yang kemudian digabung dengan
Departemen Hukum dan Perundang-undangan menjadi Departemen
11
Kehakiman dan HAM, penambahan pasal-pasal khusus tentang HAM dalam
Amandemen UUD 1945, penerbitan inpres tentang persamaan gender dalam
pembangunan nasional, pengesahan UU tentang Pengadilan HAM. Pada tahun
2001, Indonesia juga menandatangani dua Protokol Hak Anak,yakni protokol
yang terkait dengan larangan perdagangan, prostitusi, dan pornografi anak, serta
protokol yang terkait dengan keterlibatan anak dalam konflikbersenjata.
Menyusul kemudian, pada tahun yang sama pemerintah membuat beberapa
pengesahan UU di antaranya tentang perlindungan anak, pengesahan tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, dan penerbitan keppresentang
Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM Indonesia tahun 2004-2009.

C. Problematika HAM Di Indonesia

Permasalahan di wilayah NKRI yang berkenaan dengan kasus- kasus


kekerasan yang mengakibatkan bermuara pelanggaran Hak Asasi Manusia
harus dapat menguraikan variable variabel mengapa terjadi pelanggaran
tersebut, dalam hal untuk mencari akar permasalahan tentu harus di identifikasi
terlebih dahulu dengan menelusuri data- data yang ada di dalam masyarakat,
sebab di sana sesungguhnya endapan dilema- dilema yang harus di aktualisasi
guna terselesaikan.

Pelanggaran HAM merupakan setiap perbuatan seseorang atau


kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja
atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan
atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
Undang-Undang ini, dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang berlaku (UU No. 26/2000 tentang
pengadilan HAM). Sedangkan bentuk pelanggaran HAM ringan selain dari
kedua bentuk pelanggaran HAM berat itu.

Ada beberapa hal yang harus dicermati oleh pemerintah dalam hal ini
sebagai pembuat kebijakan eksekutif dan sebagai aparatur negara yang bertugas
sebagai abdi masyarakat harus menerapkan asas “good geverment”, masyarakat
sebagai “public actor” di lapangan, aparat keamanan sebagai petugas keamanan
12
di wilayah dan lapisan masyarakat lainnya. Masalah HAM di Indonesia selalu
menjadi sorotan tajam dan bahan perbincangan terus-menerus, baik karena
konsep dasarnya yang bersumber dari UUD 1945 maupun dalam realita
praktisnya di lapangan ditengarai penuh dengan pelanggaran-pelanggaran.
Sebab-sebab pelanggaran HAM antara lain adanya arogansi kewenangan dan
kekuasaan yang dimiliki seorang pejabat yang berkuasa, yang mengakibatkan
sulit mengendalikan dirinya sendiri sehingga terjadi pelanggaran terhadap hak-
hak orang lain. Terutama dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, issue
mengenai HAM di Indonesia bergerak dengan cepat dan dalam jumlah yang
sangat mencolok. Gerak yang cepat tersebut terutama karena memang telah
terjadi begitu banyak pelanggaran HAM, mulai dari yang sederhana sampai
pada pelanggaran HAM berat (gross human right violation). Di samping itu juga
karena gigihnya organisasi-organisasi masyarakat dalam memperjuangkan
pemajuan dan perlindungan HAM. Berbagai permasalahan yang dihadapi
pemerintah Indonesia dalam rangka penghormatan, pengakuan, penegakan
hukum dan HAM antara lain.
1) Penegakan Hukum di Indonesia belum dirasakan optimal oleh masyarakat.
Hal itu antara lain, ditunjukan oleh masih rendahnya kinerja lembaga
peradilan. Penegakan hukum sejumlah kasus pelanggaran HAM berat
yang sudah selesai tahap penyelidikannya pada tahun 2002, 2003, dan
2004, sampai sekarang belum di tindak lanjuti tahap penyelidikannya.

2) Masih ada peraturan perundang-undangan yang belum berwawasan gender


dan belum memberikan perlindungan HAM. Hal itu terjadi antara lain,
karena adanya aparat hukum, baik aparat pelaksanaan peraturan
perundang-undangan, maupun aparat penyusun peraturan perundang-
undangan yang belum mempunyai pemahaman yang cukup atas prinsip-
prinsip perlindungan hak asasi manusia.

3) Belum membaiknya kondisi kehidupan ekonomi bangsa sebagai dampak


krisis ekonomi yang terjadi telah menyebabkan sebagian besar rakyat
tidak dapat menikmati hak-hak dasarnya baik itu hak ekonominya seperti
belum terpenuhinya hak atas pekerjaan yang layak dan juga hak atas
pendidikan.

13
4) Sepanjang tahun 2004 telah terjadi beberapa konflik dalam masyarakat,
seperti Aceh, Ambon, dan Papua yang tidak hanya melibatkan aparat
Negara tetapi juga dengan kelompok bersenjata yang menyebabkan tidak
terpenuhinya hak untuk hidup secara aman dan hak untuk ikut serta dalam
pemerintahan

5) Adanya aksi terorisme yang ditujukan kepada sarana public yang


menyebabkan rasa tidak aman bagi masyarakat.

6) Dengan adanya globalisasi, intensitas hubungan masyarakat antara satu


Negara dengan Negara lainnya menjadi makin tinggi. Dengan demikian
kecenderungan munculnya kejahatan yang bersifat transnasional menjadi
makin sering terjadi. Kejahatan-kejahatan tersebut antara lain, terkait
dengan masalah narkotika, pencucian uang dan terorisme. Salah satu
permasalahan yang sering timbul adalah adanya peredaran dokumen
palsu. Yang membuat orang-orang luar bebas datang ke Indonesia.

D. Penegakan HAM di Indonesia

Sarana penyelesaian yang digunakan dalam penyelesaian kasus Hak


Asasi Manusia di Indonesia tentunya dengan mengedepankan norma norma
kaidah hukum yang berlaku dalam menyelesaikan permasalahan- permasalahan
hukum. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu perdamaian
kedua belah pihak, penyelesaian perkara melalui cara konsultasi negosiasi,
mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli. Penyelesaian perkara terhadap
pelanggaran Hak Asasi Manusia di wilayah Indonesia tentunya harus
mempertimbangkan kaidah-kaidah yang ada di dalam masyarakat Indonesia.
Maka dari itu seyogyanya pelaksanaan segala kebijakan republik terhadap
masyarakat yang terjadi kasus-kasus pelanggaran HAM tentunya berkiblat
kepada nilai-nilai budaya, sosial, agama dan ekonomi masyarakat itu sendiri.

Dalam rangka untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang


yang timbul dengan damai dan bermartabat diperlukan suatu cara yang terus

14
menerus dan tuntas hingga ke akar segala permasalahan di propinsi itu. Mulai
dari segi ekonomi hingga pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri bukan
muncul karena tidak bersebab terjadinya pelanggaran-pelanggaran di karenakan
terjadinya benturan-benturan kepentingan antara daerah dengan pusat, ketidak
adilan yang telah lama dirasakan oleh masyarakat di sana karena dianggap
sebagai sapi perahan kebijakan pusat yang tampa peduli untuk membangun
daerah yang telah memberikan pendapatan bagi anggaran pendapat belanja
negara. Terlepas dari siapa yang mulai membuat situasi yang dishormanisasi
dalam masyarakat yang terjadi pelanggaran HAM, haruslah disadari sarana
penyelesaian dengan kekerasan atau senjata sudah tidak efektif dalam
menyelesaikan segala permasalahan. Sarana penyelesaian yang dapat di terima
oleh semua pihak lapisan masyarakat tentunya penyelesaian yang
mengedepankan nilainilai manusia tentu dengan menggunakan cara-cara yang
lebih manusia yaitu dengan cara mediasi dialog damai antara kelompok-
kelompok yang bertikai. Karena sarana penyelesaian dengan damai lebih
menguntungkan segala pihak-pihak yang bertikai dan dapat mengurangi
dampak kerugian akibat terjadinya peperangan.

Sarana penyelesaian melalui perundingan, dialog lebih arif dan


bijaksana dari pada penyelesaian masalah dengan senjata. Manusia dimanapun
ketika dihargai dan dihormati nilai-nilai dasar sebagai manusia, tidak akan
merendahkan Hak Asasi Manusia lainnya namun sebaliknya, itulah mengapa
para pengamat para tokoh-tokoh negarawan lebih mengedepan penyelesaian
permasalahan pelanggaran Hak Asasi Manusia dengan cara damai dan lebih
bermartabat. Penegakan terhadap Hak Asasi Manusia di Indonesia tidak dapat
di tegakkan selama pola pemikirannya hanya bersandar pada nilai-nilai Hak
Asasi Manusia suatu negara. Sebab penegakan terhadap nilai-nilai Hak Asasi
Manusia dalam setiap wilayah negara akan berbeda-beda karena dipengaruhi
oleh kultur budaya, sosial dan religius suatu bangsa, jika Indonesia ingin
penegakan Hak Asasi Manusia berdiri di negara ini serta harus sesuai dengan
nilai kaidah yang ada di dalam jiwa bangsa Indonesia, selama itu belum
dipahami nilai penegakan Hak Asasi Manusia hanya sebagai plaform belaka.

15
Dalam penyelesaian perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia berat
maka sarana penyelesaiannya di dalam pengadilan Hak Asasi Manusia. Jika
tidak terbukti terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat maka perkara
pelanggaran Hak Asasi Manusia dilakukan di pengadilan umum dimana
terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia itu terjadi.Di dalam Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2000 pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1999 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia. Sarana penyelesaian terhadap
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah sebagai berikut : Pasal 4 :
Pengadilan Hak Asasi Manusia bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutuskan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Yang
dimaksud dengan memeriksa dan memutuskan dalam ketentuan ini adalah
termasuk penyelesaian perkara yang menyangkut konpensasi, restitusi, dan
rehabilitasi sesuai dengan peraturan perundang- undangan.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia berat terdiri dari kejahatan genosida


dan kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan genosida dan kejahatan
terhadap kemanusiaan sesuai dengan “Roma Stalute of the International
Criminal Count” kejahatan genosida adalah setiap pembuatan yang dilakukan
dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok, etnis, kelompok Agama dengan
cara:
a. Pembunuhan anggota kelompok.
b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap
anggota-anggota kelompok.
c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik, baik seluruh atau sebagiannya.
d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran
di dalam kelompok.
e. Memindahkan secara paksa anak-anak dan kelompok tertentu
kelompok yang lain.

Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang


dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang

16
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil, berupa:
a) Pembunuhan.
b) Pemusnahan.
c) Perbudakan.
d) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.
e) Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain
secara sewenang dan yang melanggar asas-asas ketentuan pokok
hukum internasional.
f) Penyiksaan.
g) Pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa,
pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau
bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara.
h) Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan
yang di dasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,
budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lainnya yang telah diakui
secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum
internasional.
i) Penghilangan orang secara paksa.
j) Kejahatan apartheid.

Pasal 43
1) Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang terjadi sebelum di
undangkannya undang undang ini, diperiksa dan diputuskan
pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc
2) Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc sebagaimana dimaksudkan
dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan Presiden.
3) Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) berada dilingkungan peradilan umum. Dapat
dijabarkan bagi pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat yang
terjadi sebelum adanya Undang- Undang No. 26 Tahun 2000 tentang
pengadilan Hak Asasi Manusia dapat diperiksa dan diputuskan dalam
pengadilan Hak Asasi Manusia ad hoc.
17
Dalam hal Dewan perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengusulkan
di bentuk pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc, Dewan Perwakilan Rakyat
mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang berat dibatasi pada locus dan tempos delicti tertentu yang terjadi sebelum
di undangkannya Undangundang ini. Serta pengadilan Hak Asasi Manusia ad
hoc ini berada di lingkungan peradilan umum. Pasal 45 :
1. Untuk pertama kali pada saat Undang-undang ini mulai berlaku
pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai mana dimaksud dalam pasal
4 dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan dan Makasar.
2. Daerah hukum pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) berada pada pengadilan negeri di:
a. Jakarta Pusat yang meliputi wilayah daerah khusus Ibukota
Jakarta, Propinsi Jawa Barat, Banten, Sumatra Selatan,
Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
b. Surabaya yang meliputi Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah,
Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur.
c. Makassar yang meliputi Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku
Utara, Irian Jaya.
d. Medan yang meliputi Propinsi Sematra Utara, Daerah Istimewa
Aceh, Riau, Jambi, dan Sumatra Barat.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan
kiprahnya. Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu
hal yang perlu kita ingat bahwa Jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang
lain. HAM setiap individu dibatasi oleh HAM orang lain. Dalam Islam, Islam sudah
lebih dulu memperhatikan HAM. Ajaran Islam tentang Islam dapat dijumpai dalam
sumber utama ajaran Islam itu yaitu Al-Qur’an dan Hadits yang merupakan sumber
ajaran normatif, juga terdapat dalam praktik kehidupan umat Islam.

Dalam kehidupan bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-


undangan RI, dimana setiap bentuk pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh
seseorang, kelompok atau suatu instansi atau bahkan suatu Negara akan diadili dalam
pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui
hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang pengadilan
HAM.

B. Saran

Sebagai makhluk sosial kita harus mampu mempertahankan dan


memperjuangkan HAM kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati
dan menjaga HAM orang lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan
Jangan sampai pula HAM kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain.

19
DAFTAR PUSTAKA

A.Ubaedillah & Abdul Rozak. 2014. Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta:
Kencana.

Bambang Heri S. 2014. Penegakan HAM Menurut Hukum Positif di Indonesia. Jakarta:
Jurnal Al-Azhar Indonesia

http://mayanorriastini.blogspot.com/2016/10/makalah-problematika-ham-diindonesia.html

20

Anda mungkin juga menyukai