Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari kebutuhan ekonomi, seperti kebutuhan makan,
minum, handphone, tas, rumah, kendaraan dan lain sebagainya, untuk memenuhi kebutuhan tersebut
kita harus bekerja. Agama Islam yang berdasarkan Alquran dan Hadis sebagai tuntunan dan pegangan
bagi kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja melainkan juga
mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah yang berkenaan dengan kerja. Padahal
dalam situasi globalisasi saat ini, kita dituntut untuk menunjukkan etos kerja yang tidak hanya rajin,
gigih, setia, akan tetapi senantiasa menyeimbangkan dengan nilai-nilai Islami yang tentunya tidak boleh
melampaui rel-rel yang telah ditetapkan Alquran dan Hadis. Dalam makalah ini akan membahas tentang
hakekat hidup dan kerja, rahmat Allah terhadap orang yang rajin bekerja, akhlak dalam bekerja,
keharusan profesionalisme dalam bekerja.

B. Rumusan Masalah

Adapun masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :

1. Bagaimana hakekat hidup dan kerja dalam Islam?

2. Seperti apa rahmat Allah terhadap orang yang rajin bekerja?

3. Bagaimana akhlak dalam bekerja menurut Islam?

4. Bagaimana keharusan profesionalisme dalam bekerja menurut Islam?

C. Tujuan Penulisan Makalah

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1. Menjelaskan hakekat hidup dan kerja dalam Islam?

2. Menjelaskan rahmat Allah terhadap orang yang rajin bekerja?

3. Menjelaskan akhlak dalam bekerja menurut Islam?

4. Menjelaskan keharusan profesionalisme dalam bekerja menurut Islam?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Islam dan Persoalan Hidup dan Kerja

Hakekat hidup dan kerja, rahmat Allah terhadap orang yang rajin bekerja, akhlak dalam bekerja,
keharusan professionalisme dalam bekerja.

1. Hakekat hidup dan kerja

Dalam diri manusia terdapat apa yang disebut dengan nafs sebagai potensi yang membawa kepada
kehidupan. Dalam pandangan Al-Qur’an , nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk
berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan. Allah swt. Katakana
dalam surat al-Syams ayat 7-8“Demi Nafs serta penyempurnaan ciptaanny, Allah mengilhamkan
kepadanya kejahatan dan ketaqwaan”. Allah mengilhamkan, berarti memberi potensi agar manusia
melalui nafs dapat menangkap ma’na baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk melakukan
kebaikan dan keburukan.

Meskipun nafs berpotensi positif dan negative, namun diperoleh pula isyaratka bahwa pada hakekatnya
potensi positif manusia lebih kuat dari pada potensi negetifnya. Hanya saja daya Tarik keburukan lebih
kuat dari daya tarik kebaikan. Untuk itu manusia dituntut agar memelihara kesucian nafsnya. Firman
Allah dalam surat al-Syams ayay 9-10.”sungguh beruntunglah orang-orang yang menyucikannya dan
merugilah orang-orang yang Mengotorinya”Kecendrungan nafs lebih kuat untuk kebaikan dipahami dari
isyarat ayat, misalnya terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 286 “ Allah tidak membebani seseorang,
tetapi sesuai dengan kesanggupan nya. Nafs memperoleh ganjaran dari apa yang diusahakannya, dan
memperoleh siksa dari apa yang diusahakannya”Selain nafs, dalam diri manusia juga terdapat qalb yang
sering diterjemahkan hati. Seperti dikemukakan di atas, bahwa nafs ada dalam diri manusia, qalb pun
demikian, hanya saja qalb yang merupakan wadah dipahami dalam arti alat, sebagaimana firman Allah
dalam surat al-A’raf ayat 179 “mereka mempunyai qalb, tetapi tidak digunakan untuk memahami”.
Selain kata qalb,dalam al-qur’an juga terdapat kata fu’ad, seperti dalam firman-Nya dalam surat al-Nahl
“Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu maka Dia
memberimu (alat) pendengaran, (alat) penglihatan serta hati, agar kamu bersyukur
(mempergunakannya memperoleh pengetahuan)”Kemudian manusia juga memiliki ruh, sebagaimana
firman-Nya dalam surat al-Isra’ ayat 85 “ Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah Ruh
adalah urusan Tuhanku, kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit” Ada yang berpendapat, bahwa ruh itu
sama dengan nyawa, tetapi apa bedanya manusia dengan orang utan, monyet dan binatang yang lain ?.
Dalam surat al-mu’minun dijelaskan bawa dengan ditiupkannya ruh, maka menjadilah makhluk ini khalq
akhar (makhluk yang unik), yang berbeda dengan makhluk lain. Karena manusia memiliki ruh lah ia
mudah menerima wahyu dari Allah swt.
Mempelajari wahyu dikatakan santapan rohani, bukan santapan nyawa. Manusia berpotensi
mendapatkan hidayah Karena mempunyai roh.Selain memiliki nafs, qalb, dan ruh manusia juga memiliki
‘aql. Kata ‘aql dalam al-qur’an menggunakan bentuk kata kerja masa kini dan lampau. Dari segi bahasa,
kata ini dapat diartikan tali pengikat, penghalang. ‘Aql merupakan sesuatu yang mengikat atau
menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau berbuat dosa.Allah berfirman dalam surat al-
An’am ayat 151 “…” dan janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang nampak atau
tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali demi kebenaran,
itulah wasiat Allah kepadamu agar kamu ber’aqal (dapat memahaminya)” Menurut Hamka, dalam
bukunya Falsafah Hidup, Islam sangat memuliakan ‘aql, maka dari itu Islam adalah agama yang
menjunjung tinggi “aql. Orang yang dapat menempatkan dirinya merasa terikat pada aturan-aturan
Allah dalam firman-firman-Nya, maka itulah sebenarnya orang-orang yang ber’aqal.

Seorang muslim dalam aktifitas kehidupnya dapat menggunakan ‘aqalnya jauh dari perbuatan keji,
ruhnya banyak berisikan wahyu Allah, hatinya jadi tentram sehingga dirinya terkendali kejalan yang
diredhai Allah, terhindar dari langkah-langkah syetan yang buruk Demikianlah hakekat hidup manusia
dengan berbagai potensi yang terdapat dalam dirinya untuk melaksanakan pekerjaan.

Rahmat Allah Terhadap Orang Yang Rajin Bekerja

Umar bin Khattab khalifah ke dua setelah Abu bakar siddiq berkata “aku benci orang berpangku tangan,
tanpa ada aktifitas kerja, baik kerja untuk dunia atau untuk kepentingan di akherat kelak”Dalam hal ini
khalifah umar sangat menghargai dan menyenangi orang yang rajin bekerja dan beraktifitas Sebagai
muslim yang ta’at, Umar selalu mendorong umat Islam untuk memiliki semangat bekerja dan beramal,
serta menjauhkan diri dari sifat malas.

Rasulullah bersabda “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari lemah pendirian, sifat malas, penakut,
kikir, hilangnya kesadaran, terlilit utang dan dikendalikan orang lain. Dan akau berlindung kepada-Mu
dari siksa kubur, dan dari fitnah (ketika hidup dan mati). (H.R Bukhari dan Muslim)Orang muslim yang
akan berhasil dalam hidupnya adalah kemampuannya meninggalkan perbuatan yang melahirkan
kemalasan/tidak produktif dan digantinya dengan amalam yang bermanfa’at. Sabda Rasulullah Saw. Dari
Abu hurairah“ Sebaik-baik Islamnya seseorang adalah meninggalkan perbuatan yang tidak bermanfa’at”
(HR. Tarmizi).

Bekerja bagi seorang muslim adalah dalam rangka mendapatkan rezki yang halal dan memberikan
manfa’at yang sebesar-besarnya bagi masyarakat sebagai ibadahnya kepada Allah swt. Firman-
Nya :“Apabila shalat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu dimuka bumi, dan carilah karunia Allah
dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung” (al-Jmu’ah: 10)Dalam pandangan Islam
bekerja merukapan bagian dari ibadah, makaaplikasi dan implementasinya perlu diikat dan dilandasi
oleh akhlak/etika, yang senantiasa disebut etika profesi. Etika/akhlaq yangmencerminkan sifat terpuji,
yaitu Shiddiq, istiqamah, futhanah, amanah dan tablig. Dari uraian diatas, dapat difahami, bahwa
seorang muslim yang akan mendapat kasih sayang dari Allah swt. Adalah apabila orang itu jauh dari
sifat malas, senang melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfa’at, rajin bekerja, tidak menyia-nyiakan
waktu, menyadari bahwa semua aktifitas yang dilakukan adalah dalam rangka beribadah kepada Allah
Swt.

3. Akhlak dalam bekerja

Seorang muslim dalam bekerja selalu berhati-hati dan terbuka pikirannya kepada keindahan ciptaan
Allah.

Dia menyadari bahwa Allah lah yang mengontrol segala urusan dunia dan kehidupan manusia. Dia
mengenal tanda-tanda kekuasaan-Nya, senantiasa berzikir dan tawakal kepada-Nya. “ sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang bertawakal ( yaitu) orng-orng yang mengingatAllah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi ( sambbil
berkata) Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sis-sia, maha suci Engkau, maka
peliharalah kami dari api neraka” (Ali Imran ayat 190-191)

Dalam bekerja dia tulus danpatuh kepada Allah dalam keadaan bagaimanapun, tidak boleh melampai
batas, selalu ta’at mengikuti bimbingan Allah meskipun tidak sesuai dengan keinginannya. Dia
bertanggung jawab menjalankan kewajiban pekerjaan yang telah ditetapkan untuknya. Bila ia
mendapatkan kendala, segera mencari penyebabnya dan siapmemikul semua konsekwensinya.

Dia memahami sabda Rasul Saw. “Betapa indahnya urusan orang Islam. Seluruh urusan (kerjanya)
adalah baikbagi dirinya. Jika ia mengalami kemudahan, ia bersyukur, dan yang demikian itu baik bagi
dirinya, jika ia mengalami kesulitan , ia menghadapinya dengan sabar dan tabah, dan itupun juga
baikbagi dirinya (HR. Bukhari).

Akhlak seorang muslim dalam bekerja menemukan kemudahan selalu bersyukur, ketika menghadapi
kesulitan dia tabah dan sabar . Mudah dan sulit baginya sama, karena semua itu adalah untuk menguji
kekuatan imannya. Pada sa’atnya ia mendapatkan kesalahan dalam bekerja, menyimpang dari
ketentuan Allah dan Rasul-Nya, ia segera bertobat, segera ingat akan Tuhannya, menghentikan segala
kesalahannya dan memohon ampun atas kekeliruannya.

“Sesungguhnya orang-orang yangbertaqwa bila dalam dirinya timbul perasaan was-was dari setan,
mereka segera ingat kepada Allah. Maka waktu itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya (al-
A’raf :201) Demikianlah akhlak seorang muslim dalam bekerja.

4. Keharusan Profesionalisme Dalam Bekerja

Profesonal berarti berkualitas, bermutu dan ahli dalam satu bidang pekerjan yang menjadi profesinya.
Suatu pekerjaan yang dilaksanakan oleh seseorang yang memang ahlinya, tentu akanmendapatkan hasil
yang bermutu dan baik. Sebaliknya suatu pekerjaan yang dilaksanakan oleh seseorang yang bukan
profesinya, akan mendapatkan hasil yang tidak bermutu dan bahkan akan berantakan. Sabda Rasul Saw.
“Bila menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran”.

Menurut sabda Rasul ini, seseorang dalam bekerja, apapun pekerjaannya, kalau ingin mengharpkan hasil
yang berkualitas dan baik, maka dia harus profeisinal / ahli dalam pekerjaan yang menjadi tanggung
jawabnya itu.

Ahli dalam bekerja, berarti menguasai ilmu pengetahuan yang berhubungan lansung dengan
pekerjannya. Seorang pekerja yang bekerja dalam dunia pertanian, tentu dia harus bereilmu tentang
tanaman, pemupukan, pengiran dan lain-lain. Dia harus mengerti, memahami dan menghayati secara
mendalam segala yang menjadi tugas dan kewajibannya dalam pertanian. Sifat kreatifits dan
kemampuan melakukan berbagai macam inovasi yangbermanfa’at tentang pertanian akan muncul
dalam dirinya.

Tentunya kreatif dan inovatif hanya mungkin akan dimiliki manakala seseorang selalu berusaha untuk
menambah berbagai ilmu pengetahuan, peraturan, dan informasi yang berhubungan dengan pekerjaan
apapun bentuk pekerjanya.

Sebagai seorang guru (pengejar) dituntut harus ahli dalam ilmu keguruan, jangan setengah-setengah,
tapi belajar, terus belajar tentang profesi keguruan sampai akhir hayatnya.

Firmam Allah dalam al-Baqarah : 208 ”Hai orang yang beriman, masuklah kamu kedalam kedamaian
/Islam secara menyeluruh, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan, karena setan itu adalah
musuhmu yang nyata”. Tersirat dalam ayat ini, bahwa aktifitas apapun yang dilakukan menuntut
pelakunya untuk berilmu secara mendalam dan menyeluruh (kaffah) sesuai dengan profesinya.

Orang beriman diminta untuk memasukkan totalitas dirinya kedalam wadah islam secara menyeluruh,
sehingga semua kegiatannya berada dalam wadah islam /kedamaian. Ia damai dengan dirinya,
keluarganya, seluruh manusia, binatang, tumbuh tumbuhan dan alam raya semuanya. Wadah Islam
secara menyeluruh yang dimaksud juga penguasaan ilmu islam secara menyeluruh sehingga mampu
melaksanakan aktifitas islam dengan berkualitas dan bermutu.

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Kerja adalah suatu cara untuk memenuhi kebutuhan manusia baik kebutuhan fisik, psikologis, maupun
sosial. Selain itu, kerja adalah aktivitas yang mendapat dukungan sosial dan individu itu sendiri. Manusia
diwajibkan untuk berusaha, bukan menunggu karena Allah tidak menurunkan harta benda, iptek dan
kekuasaan dari langit melainkan manusia harus mengusahakannya sendiri. Manusia harus menyadari
betapa pentingnya kemandirian ekonomi bagi setiap muslim. Kemandirian atau ketidak ketergantungan
kepada belas kasihan orang lain ini mengandung resiko, bahwa umat Islam wajib bekerja keras. Dan
syarat itu adalah memahami konsep dasar bahwa bekerja merupakan ibadah. Dengan pemahaman ini,
maka akan terbangun etos kerja yang tinggi.

Tujuan bekerja menurut Islam ada dua, yaitu memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarga, dan memenuhi
ibadah dan kepentingan sosial. Islam menjunjung tinggi nilai kerja, tetapi Islam juga memberi balasan
dalam memilih jenis pekerjaan yang halal dan haram.

B. Saran

Bekerja dengan sunguh-sunguh merupakan mencirikan seorang muslim yang taat kepada Allah Swt.
Allah tidak merubah nasib suatu kaum selain kaum itu merubah nasibnya sendiri, kehidupan kita tidak
terlepas dari kebutuhan-kebutuhan sandang dan pangan. Untuk memperoleh itu semua kita harus
bekerja untuk memperoleh kondisi ekonomi yang baik, Islam sudah memberikan penjelasan bagaimana
cara bekerja secara sungguh-sungguh dan professional. Marilah kita bekerja dengan sungguh-sungguh
untuk mendapatkan rahmat dan ridho Allah Swt dan memperoleh rezeki yang halal.

DAFTAR PUSTAKA

KH. Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 2002, hlm. 2-26.

Prof. Dr. Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, Jiwa dan Semangat Islam, Gema Insani Press, Jakarta,
1992, hlm. 36-38.Drs. M. Thalib, Pedoman Wiraswasta dan manajemen Islami, CV. Pustaka Mantiq, Solo,
1992, hlm. 18-20

KH. Toto Tasmara, Ibid, hlm. 73-139.

Anda mungkin juga menyukai