Anda di halaman 1dari 11

Nama : Sebastian Dalima

Nirm : 2020164700

Kelas : E Teologi

Tugas UAS Pengantar Filsafat


Tokoh Filsuf Aristoteles

Abstrak

Dengan pandangan Aristoteles, Filsafat Yunani kembali ke nuansa realisme. Realisme


mengakui “kemandirian” kenyataan terhadap subjek yang mengenalnya. Realisme juga
mengakui kesinambungan antara pengetahuan rohani dan pengetahuan indrawi. Bersama dengan
Sokrates dan Plato, Aristoteles mengiakan ketetapan dan sifat umum segala kebenaran.

Sama seperti Plato, Aristoteles pun senang menulis. Namun, berbeda dengan tulisan-
tulisan Plato bergaya sastra dan memuat mite-mite, tulisan-tulisan Aristoteles sangat kering dan
kaku seperti ensiklopedi. Apa yang ditulisnya pada umumnya merupakan hasil telaah lapangan.
Tulisan-tulisan Aristoteles yang sampai pada kita kebanyakan berupa naskah-naskah perkuliahan
yang ia gunakan di sekolahnya. Dari tulisan-tulisan inilah, berasal apa yang dikenal sebagai
Corpus Aristotelicum, yakni kumpulan karangan Aristoteles mengenai organon (yang kemudian
hari disebut logika), tulisan mengenai ilmu pengetahuan alam, metafisika, berbagai tulisan
tentang etika, dan buku-buku mengenal estetika.

Logika sebagai ajaran tentang berpikir yang secara ilmiah, yang membicarakan hal
bentuk-bentuk pikiran itu sendiri dan hukum-hukum yang menguasai pikiran itu, adalah ciptaan
Aristoteles.

Kata kunci

1. Realisme
2. Kebenaran
3. Tulisan
4. Logika
5. Pikiran
PENDAHULUAN
Aristoteles dilahirkan di Stagira, Yunani Utara, anak seorang dokter pribadi Raja
Makedonia. Pada waktu ia berumur kira-kira 18 tahun ia dikirim ke Athena untuk belajar pada
Plato. Selama 20 tahun ia menjadi murid Plato. Setelah Plato meninggal dunia Aristoteles
mendirikan sekolah di Assos (Asia Kecil). Pada tahun 342 ia kembali ke Makedonia untuk
menjadi pendidik pangeran Aleksander yang Agung. Setelah Aleksander menjadi raja Aristoteles
kembali ke Athena dan mendirikan sekolah di sini. Ia menikah dengan Pythias yang memberikan
kepadanya seorang putri bernama sama dan seorang putra bernama Nikomachos, yang untuknya
kelak Aristoteles menulis buku etika terkenal, Ethica Nikomacheia.1
Ketika pada tahun 323 SM Aleksander wafat timbullah huru-hara di Athena menentang
Makedonia. Karena Aristoteles dituduh sebagai mendurhaka, maka ia lari ke Khalkes, tempat ia
meninggal dunia pada tahun berikutnya.
Hasil karyanya banyak sekali. Akan tetapi sulit menyusun karyanya itu secara sistematis.
Berbeda-beda cara orang membagi-bagikannya. Ada yang membaginya atas 8 bagian, yang
mengenai : logika, filsafat alam, psikologi, biologi, metafisika, etika, politik dan ekonomi, dan
akhirnya retorika dan poetika. Ada juga orang yang menguraikan perkembangan pemikiran
Aristoteles dengan meliputi 3 tahap, yaitu :
a) Tahap di Akademi, ketika ia masih setia kepada gurunya, Plato, termasuk ajaran Plato
tentang idea;
b) Tahap ia di Assos, ketika ia berbalik daripada Plato, mengkritik ajaran Plato tentang
idea-idea serta menentukan filsafatnya sendiri;
c) Tahap ketika ia di sekolahnya di Athena, waktu ia berbalik dari berspekulasi ke
penyelidikan empiris, mengindahkan yang konkrit dan yang individual. Asal
pembagian ini tidak diterapkan secara konsekuen, kami kira dapat dipakai juga.2

1
Simon Petrus L.Tjahjadi, Petualangan Intelektual, (Yogyakarta : Kanisius, 2004), Halaman 63
2
D.r Harun Hadiiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta: Kanisius, 2015) Halaman 45
ISI MATERI

1. Ontology Aristoteles
Bagaimana pandangan Aristoteles tentang hakikat manusia? Bagaimana sudut pandang
metafisis barunya, realismenya, mempengaruhi cara pemahamannya terhadap realitas manusia?
Ia sependapat dengan Plato bahwa jiwa (psyche) adalah forma raga. Secara demikian, fungsi
utamanya diperikan dengan peristilahan “daya penyerap gizi (nutritive), daya penyelera
(appetitive), daya pengindera (sensory), daya penggerak (locomotive), dan daya pemikir
(rational)”. Raga itu sendiri kini diakui tidak hanya sebagai atribut atau ilusi, tetapi juga sebagai
unsure penting substansi manusia; melalui raga, daya-daya ini diwujudkan. Bagi anda,
pandangan ini mungkin terasa jauh lebih alamiah daripada pandangan idealis Plato; sekalipun
demikian,beberapa konsekuensinya mungkin kurang dikehendaki. Itulah, jika raga merupakan
unsur-niscaya dalam manusia, maka bila raga mati, mati pula realitas keberadaan individu
manusia. Jiwa tanpa raga tidak akan lebih nyata daripada idea kekapurtulisan belaka dan tidak
akan lebih berguna daripada serpihan debu kapur tulis di lantai ini untuk menulis di papan tulis.
Implikasi negatif realisme Aristoteles tersebut, bagi siapa saja yang meyakini kehidupan sesudah
kematian, akhirnya mulai menyebabkan idealism Plato tidak begitu buruk! (suatu jalan lain di
seputar masalah itu akan sampai pada keyakinan bahwa raga itu sendiri di hidupkan kembali
entah bagaimana, walau dalam keadaan yang sedikit-banyak berubah, seperti kita meninggal).
Aristoteles sendiri mungkin telah berupaya menambal-sulam konsekuensi realismenya
yang pada potensinya tidak mengenakkan tatkala ia berpendapat bahwa jiwa manusia
mempunyai maksud lain yang membuatnya berbeda dari segala substansi duniawi lainnya. Jiwa
tanaman disifati oleh daya penyerap gizi dan daya penyelera. Jiwa hewan memiliki sifat-sifat itu,
tetapi ditambah dengan daya pengindera dan daya penggerak (yakni daya untuk bergerak). Jiwa
manusia mempunyai tujuan atau maksud itu, yang menentukan jiwa tanaman dan hewan, tetapi
melampaui itu semua melalui daya pemikir (nous). Dengan memandang bahwa Tuhan ialah
rasional murni, Aristoteles berpikiran bahwa aspek sifat manusiawi ini menandakan “percikan
ilahi” pada diri kita masing-masing. Secara demikian, ia memaparkan bahwa jiwa manusia
sebagai bagian dari “hewan rasional” - suatu gagasan yang telah menjadi salah satu cara
penentuan hakikat manusia yang paling luas penerimaannya.
Pandangan tentang jiwa tersebut memberi jalan bagi Aristoteles yang membolehkan tipe
kehidupan sesudah kematian. ia mengatakan, bila jiwa “terpasang bebas dari kondisinya
sekarang ini” (yakni manakala raga manusia itu mati), inti rasionalitas yang tersisa itu “bersifat
kekal dan tidak mati”. Itu menyiratkan bahwa “percikan” rasionalitas pada jiwa individu
akhirnya akan kembali ke “api” Tuhan yang merupakan asalnya. Meskipun masih tidak
membolehkan kehidupan sesudah kematian, setidak-tidaknya hal itu memberi tujuan universal
untuk menciptakan dan melangsungkan kehidupan yang berharga. Jika maksud kehidupan adalah
meluaskan dan mengembangkan rasionalitas hingga titik maksimalnya, maka tentu saja filsafat
merupakan kejuruan paling bermakna yang bisa diburu manusia. Dalam pandanga Aristoteles,
bagian universal dan filosofis dari anda, dan bagian itu sendirian, akan menghidupkan kematian
anda.
Ada beberapa segi-lain filsafat Aristoteles yang menarik kita bahas, yaitu bahwa semua
pergerakan di dunia berasal dari “penggerak pertama” yang dengan sendirinya “tidak bergerak”.
Yang-berada ini juga merupakan “penyebab terakhir” (yakni tujuan puncak) semua pergerakan.
Dengan kata lain, semua perubahan di dunia sekililing kita bergerak menuju titik sandaran
terakhir. Di titik ini semua perubahan itu kembali ke sumber mereka di penggerak yang tidak
bergerak.3

2. Epistemology Aristoteles
Bagi Aristoteles, pengetahuan indrawi yang konkret dan banyak mengandung pengertian
umum yang diperoleh melalui “daya abstraksi” budi. Pengetahuan yang benar tidak berasal dari
“dunia-atas”, ide (misalnya ”ide” manusia) diperoleh melalui daya asbtraksi budi. Dimensi ilahi
telah hadir dalam dalam kenyataan duniawi. Jadi, kenyataan bukan “dua”, melainkan “satu”.
dimensi metafisis bukan terpisah, melainkan ikut hadir dalam dimensi empiris. Puncak
kebenaran terdapat pada keputusan (it is a man). Dalam pandangan Aristoteles, kenyataan
konkret bersifat “multidimensional”, yaitu dimensi empiris it, dimensi hakikat/esensi/ide man,
dan dimensi-ada is. Aristoteles mempertahankan keyakinan spontan dan umum bahwa segala
pengetahuan diperoleh melalui indra. “ide” bukan dari dunia-atas, melainkan hadir dalam
kenyataan dunia ini dan diketahui melalui daya abstrak budi. Sejak permulaan tidak ada ide
apapun di dalam jiwa. Jiwa merupakan tabula rasa (papan tulis tanpa tulisan). Budi mempunyai

3
Dr. Stephen Palmquis, Pohon Filsafat, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), Halaman 64-67
kemampuan untuk menangkap yang umum dan yang tetap dari yang konkret dan banyak
(visabstractiva). Intelek dari awal menyentuh “ada” (esse). Hal inilah yang menjamin
persesuaian pengetahuan dengan kenyataan-seperti-dalam-diri sendiri (identitas) meskipun tidak
pernah lengkap (nonidentitas). Kenyataan tidak hanya bersifat empiris, tetapi juga metaempiris
dan metafisis (realisme Aristoteles kontra idealisme Plato). Aristoteles menolak dualisme Plato,
pre-eksistensi jiwa dan proses reminiscentia.
Harus diakui bahwa Metafisika Aristoteles lebih terarah kepada “cara berbeda”
(praedicamenta atau supreme modi essendi), yaitu cara berbeda tertinggi-substansia dan
accidens. Metafisika dirumuskan sebagai keterarahan kepada “ada” (ens in quantum ens), ada
sekedar ada. Namun demikian, Metafisika kurang dikembangkan dan tinggal pada cara berbeda
tertentu khususnya substansi (berdiri sendiri) dan accidentia (seperti kuantitas, kualitas, relasi
yang tidak berdiri sendiri tetapi hanya berdiri sebagai sifat substansi). Karena itu, Metafisika
Aristoteles sering dikritik sebagai Metafisika-esensi dan bukan Metafisika-ada. Hal inilah yang
dimaksud Heidegger dengan seinsvergessenheit (pelupaan ada). Filsafat Aristoteles membuka
jalan menuju Filsafat-ada (Metafisika) yang diteruskan dalam filsafat Thomas yang kembali
actual dalam filsafat dewasa ini.4
Ajaran Aristoteles tentang “yang ada” didasarkan atas ajaran para filsuf yang
mendahuluinya. Plato telah memecahkan persoalan yang dihadapi Herakleitos dan Parmenides
dengan memandang persoalan itu dari segi keberadaan manusia. Tetapi pemecahan Plato itu
bukanlah satu-satunya pemecahan yang dapat diberikan terhadap persoalan tersebut. Plato
memecahkan persoalan itu demikian, bahwa yang serba berubah itu memang ada dan dikenal
oleh pengamatan, sedang yang tidak berubah, yaitu idea-idea, dikenal oleh akal. Jadi menurut
Plato, ada dua bentuk “yang ada”, yaitu bentuk yang dapat diamati, yang senantiasa berubah dan
bentuk yang tidak dapat diamati, yang tidak berubah. Hubungan antara kedua bentuk “ada”
itulah demikian, bahwa “yang tampak” adalah pengungkapan dari “yang tidak tampak”.
Aristoteles tidak setuju dengan pemecahan Plato ini. “ada”, yang olehnya disebut ousia,
dalam arti yang sebenarnya hanya dimiliki oleh benda-benda yang konkrit, artinya: yang
sungguh-sungguh berada hanya benda-benda yang konkrit (meja itu, kursi itu, rumah itu, dll,
yang diamati itu). Di luar benda-benda yang konkrit, dan disampingnya tiada sesuatu yang
berada. “ada” yang bersifat umum, yang mengungkapkan jenis sesuatu, terdapat di dalam benda

4
Adelbert Snijders, Manusia dan Kebenaran, (Yogyakarta : Kanisius, 2006), Halaman 50-51
yang konkrit dan bersama-sama dengan benda yang konkrit itu. Dapat dikatakan, bahwa
pengertian-pengertian yang umum (manusia, binatang, dll) hanya mengungkapkan apa yang
dimiliki bersama oleh sekelompok benda. Pengertian umum hanya sebutan saja, bukan benda,
sekalipun yang dimaksud dengan benda itu hal yang gaib, seperti yang diajarkan oleh Plato.
Yang benar-benar berada hanya benda-benda konkrit yang bermacam-macam itu. “Manusia”
atau “sang manusia” sebagai pengertian umum dalam kenyataan tidak ada. “Manusia” secara
umum hanya berada di dalam pikiran saja. oleh karena itu pemikiran filsafati pertama-tama
diarahkan kepada dunia empiris, kepada dunia pengalaman ini. Pengetahuan ilmiah memiliki
sebagai sasarannya hanya “yang umum” yang ada di dalam benda-benda yang konkrit.
Inti sari ajaran Aristoteles yang mengenai fisika dan metafisika terdapat dalam ajarannya
tentang apa yang disebut dunamis (potensi) dan energeia (aksi). Semula ajaran ini dipakai guna
memecahkan soal perubahan dan gerak.
Para filsuf Elea (Parmenides, Zeno, dll) berpendapat, bahwa gerak dan perubahan adalah
khalayan. Aristoteles menentang mereka itu. “yang ada” dalam arti yang mutlak adalah apa yang
telah terwujud. “yang tidak ada” hanya dapat menjadi “yang ada” secara mutlak, atau menjadi
“yang ada” secara terwujud, jikalau melalui sesuatu. Di antara “yang tidak ada” dan “yang ada”
secara mutlak itu terdapat “ada yang nyata-nyata mungkin”, atau “yang ada” sebagai
kemungkinan, sebagai bakat, sebagai potensi, sebagai dunamis. “yang ada” sebagai potensi ini
pada dirinya bukanlah sesuatu, sekalipun dapat menjadi sesuatu. “yang ada” sebagai potensi ini
senantiasa cenderung menjadi “yang ada secara terwujud”, sehingga “yang ada” sebagai potensi
dapat dipandang sebagai perealisasian dari “yang ada” secara terwujud. Secara hakiki keduanya
harus dibedakan, akan tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan.
Perubahan dan gerak dalam arti yang lebih luas mencakup hal “menjadi” dan “binasa”
serta segala perubahan lainnya, baik di bidang bilangan maupun di bidang mutu dan di bidang
ruang. Tiap gerakj sebenarnya mewujudkan suatu perubahan dari apa yang ada sebagai potensi
ke apa yang secara terwujud. Oleh karena itu setiap gerak mewujudkan suatu perpindahan dari
apa yang ada sebagai potensi ke apa yang ada ada secara terwujud. Dari dirinya sendiri apa yang
ada secara terwujud tidak dapat mengusahakan perubahannya. Untuk itu diperlukan adanya suatu
penggerak yang pada dirinya sendiri telah memiliki kesempurnaan, yang tidak perlu
disempurnakan. Penggerak pertama, yang tidak digerakkan oleh penggerak yang lain ini tidak
mungkin di bagi-bagi, tidak mungkin memiliki keluasan serta bersifat fisik. Kuasanya tak
terhingga dan kekal. Penggerak pertama yang demikian itu tidak berasal dari dalam dunia, sebab
didalam jagat raya ini tiap gerak digerakkan oleh sesuatu yang lain. Penggerak pertama ini
adalah Allah. Ialah yang menyebabkan gerak abadi, yang sendiri tidak digerakkan, karena bebas
dari materi. Allah adalah Actus purus, Aktus Murni.
Ajaran tentang gerak ini pertama-tama diterapkan di dalam dunia gejala yang berubah-
ubah ini. Di dalam dunia inilah kita menghadapi pengertian-pengertian tentang “yang ada
sebagai potensi” dan “yang ada secara terwujud”. Menurut Aristoteles keduanya itu adalah
sebutan yang melambangkan materi (hule) dan bentuk (eidos, morfe). Pengertian materi disini
tidak sama dengan pengertian kita sekarang tentang materi. Dasar terakhir bagi segala perubahan
dari hal-hal yang berdiri sendiri dan unsur bersama yang terdapat di dalam segala sesuatu yang
menjadi dan binasa menurut Aristoteles, adalah “materi pertama”. Dari materi pertama inilah
timbul sebagai penyempurnannya bentuk-bentuk segala sesuatu yang bermacam-macam itu.
Pengertian materi dan bentuk, asas gerak dan tujuan, dipakai untuk mengembalikan segala
sesuatu kepada dasar-dasar yang terakhir. Bentuk “ada” atau asas “ada” (eidos, morfe) telah kita
temui pada Plato, yaitu idea. Akan tetapi apa yang diajarkan Aristoteles tentang eidos berbeda
dengan apa yang diajarkan Plato. Bagi Plato eidos atau idea adalah pola segala sesuatu yang
tempatnya di luar dunia ini, yang berdiri sendiri, lepas daripada benda yang konkrit, yang adalah
penerapannya. Bagi Aristoteles eidos adalah asas yang imanen atau yang berada di dalam benda
yang konkrit, yang secara sempurna menentukan jenis benda itu, yang menjadikan benda konkrit
itu disebut demikian (meja, kursi,dll). Jadi segala pengertian yang ada pada manusia (meja,
kursi,dll) bukanlah sesuai dengan realitas yang berada di dunia idea, melainkan sesuai dengan
jenis benda yang tampak pada benda yang konkrit. Kesatuan benda-benda yang mempersatukan
segala benda yang bermacam-macam itu bukan berada di luar benda-benda itu, melainkan di
dalamya.
Materi (hule) dalam arti yang mutlak adalah asas atau lapisan bawah yang paling akhir
dan umum. Tiap benda yang dapat diamati disusun dari padanya. Oleh karena itu materi perlu
mutlak bagi pembentukan segala sesuatu. Materi pada dirinya, artinya: lepas daripada segala
bentuk, tidak memiliki kenyataan, bukan hal yang berdiri sendiri. Sekalipun demikian materi
bukan hal yang “tidak ada” sama sekali. Materi adalah kenyataan yang belum terwujud, yang
belum ditentukan, akan tetapi yang memiliki potensi, bakat untuk menjadi terwujud atau menjadi
ditentukan oleh bentuk. Padanya ada kemungkinan untuk menjadi nyata, karena kekuatan yang
membentuknya. Di lain pihak, bentuk yang dapat menjadikan materi menjadi nyata, bukanlah
pola yang kekal dari segala hal yang nyata, bukan hanya idea, seperti yang diajarkan Plato, akan
tetapi sekaligus juga menjadi tujuan yang akan dicapai materi, dan kekuatan yang menjadikan
materi yang belum terbentuk menjadi nyata.
Demikianlah materi dan bentuk tidak dapat dipisahkan. Materi tidak dapat berada tanpa
bentuk, sebaliknya bentuk tidak dapat berada tanpa materi. Tiap benda yang dapat diamati
disusun dari bentuk dan materi. Materinya adalah rangkuman segala yang belum ditentukan dan
yang belum terwujud, sedang bentuknya memberi kesatuan kepada benda itu.
Sekalipun materi baru menjadi nyata jikalau dibentuk, namun materi tidak hanya pasif.
Materi dapat menentang kekuatan yang membentuknya. Penentangan ini menyebabkan materi
tidak pernah mendapatkan bentuknya yang sempurna seperti yang ada pada jenisnya, artinya:
tiap benda adalah penampakan yang kurang sempurna dari jenisnya.
Tiap benda yang telah berbentuk dapat juga menjadi materi bagi benda yang lain,
umpamanya: sepotong kayu ini dapat dipahat menjadi sebuah patung. Di sini potongan kayu
berfungsi sebagai materi, sedang patungnya adalah bentuknya.
Gagasan tentang materi dan bentuk ini bukan hanya berlaku bagi benda-benda hasil
buatan manusia (patung, meja, kursi dll), tetapi juga berlaku bagi hal-hal alamiah yang
mengandung asas perkembangan didalamya, yang memiliki sumber gerak dalam dirinya sendiri.
Umpamanya: biji tumbuh menjadi pohon, pohon kecil tumbuh menjadi pohon besar, pohon
mempertahankan diri sebagai pohon, dan lain sebagainya.
Di sini tampak bahwa pada tiap gerak diandaikan adanya tujuan. Dunia ini bertujuan.
Perkembangan dunia tergantung kepada tujuan itu. Tiap hal yang alamiah memiliki potensi
untuk merealisasikan diri sesuai dengan tujuannya. Segala sesuatu di dalam alam raya ini
bertujuan. Jagat raya laksana seorang tuan rumah yang baik, yang tidak membuang apa yang
berguna. Segala yang bergerak, yang berbuat, menuju kepada suatu tujuan. Bagi tiap benda
tujuan perbuatannya atau geraknya adalah menyempurnakan bentuknya sendiri.5

5
.r Harun Hadiiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 1, (Yogyakarta: Kanisius, 2015) Halaman 47-51
3. Aksiology Aristoteles
Menurut Aristoteles, berkat rasionya itu, kegiatan khas manusia terlaksana dalam dua
pola kehidupan, yakni dalam theoria dan praxis. Theoria artinya memandang (theorein) atau
merenungkan hakikat realitas secara mendalam. Renungan merupakan kegiatan manusia yang
paling luhur karena merealisasikan bagian jiwa manusia yang paling mulia, bahkan yang ilahi,
yakni logos atau roh. Objek renungan adalah realitas yang tidak berubah, abadi, ilahi. Renungan
adalah kegiatan filsuf yang mencintai kebijaksanaan (philo-sophia). Menurut Aristoteles,
kegiatan ini adalah kegiatan paling luhur dan membahagiakan.
Namun, Aristoteles juga menyatakan bahwa manusia bukan melulu makhluk rohani.
maka, ia tidak dapat merenung terus-menerus. Apalagi merenung merupakan kegiatan bagi
sedikit orang dan waktu yang terbatas. Bidang perealisasian diri manusia lainnya terletak pada
praxis. Praxis adalah tindakan yang dilakukan demi tindakan itu sendiri karena memang
dihendaki dan dilakukan dengan senang. (jadi, bukan karena terpaksa demi upah semata-mata.
Tindakan yang dilakukan secara terpaksa disebut ponos). Secara konkret, praxis terwujud dalam
berbagai tindakan dalam komunitas manusia (keluarga, rekan-rekan, masyarakat, polis) untuk
mencapai kebahagiaan bersama. Maka, kalau saya berpartisipasi dalam segala macam tindakan
untuk kesejahteraan bersama, saya akan bahagia. Dengan kata lain, manusia akan mencapai
kebahagiaan bila membahagiakan manusia lain. Dan ini terjadi lewat praxis.
Akan tetapi, bagaimana manusia tahu praxis mana yang benar? Jawabannya, dengan
menjalankan keutamaan (arête). Dalam buku Ethica Nikomacheia, ada pembahasan secara
penjang lebar mengenai berbagai keuatamaan. Aristoteles melukiskan keutamaan etis sebagai
satu sikap atau watak yang memungkinkan manusia untuk memilih jalan tengah diantara dua
ekstrem yang berlawanan. Misalnya, keutamaan kemurahan hati merupakan jalan tengah dari
ekstrem kekikiran dan pemborosan. Atau, keutamaan keberanian adalah jalan tengah antara sikap
pengecut dan sikap gegabah atau nekad. Akan tetapi, jalan tengah disini tidak boleh dipahami
sebagai sikap sedang-sedang saja, melainkan merupakan penentuan sikap yang paling baik untuk
menghindari dua ekstrem. Apa konkretnya jalan tengah dalam tiap-tiap kasus tidak dapat
ditentukan secara umum sebelumnya. Hal itu juga tergantung pada kepribadian, situasi, dan
pengalaman orang yang bersangkutan. Namun, pada pokoknya keutamaan dipahami sebagai
sikap mencari keseimbangan dan harmoni, dan justru karena itu menunjukkan kematangan dan
kekuatan perkembangan pribadi yang tidak terombang-ambing kesana ke mari oleh ekstrem-
ekstrem.
Perlu dikatakan disini, Aristoteles melihat keutamaan sebagai suatu sikap yang mantap
dan konsisten. Supaya kita benar-benar mempunyai keutamaan, belum cukuplah jika kita hanya
satu-dua kali memilih jalan tengah tersebut. Itulah sebabnya keuatamaan-keutamaan itu menurut
Aristoteles harus dilatih dan dibiasakan hingga kita merasa seolah-olah otomatis bertindak
karena keutamaan. Dalam kaitan ini, Aristoteles juga melihat pentingnya peranan tradisi,
keluarga, masyarakat, dan polis yang mendorong dan memuji (bahkan terkadang memaksa)
seseorang untuk melakukan keutamaan, misalnya untuk bersikap murah hati kepada sesamanya.
Persis pada titik inilah, kita diantar pada ajaran Aristoteles mengenai negara.6

6
Simon Petrus L.Tjahjadi, Petualangan Intelektual, (Yogyakarta : Kanisius, 2004), Halaman 71-73
PENUTUP
Kesimpulan
Ada beberapa segi-lain filsafat Aristoteles yang menarik kita bahas, yaitu bahwa semua
pergerakan di dunia berasal dari “penggerak pertama” yang dengan sendirinya “tidak bergerak”.
Yang-berada ini juga merupakan “penyebab terakhir” (yakni tujuan puncak) semua pergerakan.
Dengan kata lain, semua perubahan di dunia sekililing kita bergerak menuju titik sandaran
terakhir. Di titik ini semua perubahan itu kembali ke sumber mereka di penggerak yang tidak
bergerak. Filsafat Aristoteles membuka jalan menuju Filsafat-ada (Metafisika) yang diteruskan
dalam filsafat Thomas yang kembali actual dalam filsafat dewasa ini. Selain itu Aristoteles
melukiskan keutamaan etis sebagai satu sikap atau watak yang memungkinkan manusia untuk
memilih jalan tengah diantara dua ekstrem yang berlawanan.

Anda mungkin juga menyukai