Anda di halaman 1dari 15

Komunikasi dalam Konseling

Psikologi Konseling

Disusun oleh :

Kelompok 6

1. Aqshadina Nabila Putri (10519966)


2. M Farhan Zeva (14519153)
3. Tiara Rahmawati (16519362)
4. Shinta Uli (17519100)

PROGRAM SARJANA (S1) FAKULTAS PSIKOLOGI


UNIVERSITAS GUNADARMA
DEPOK
2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ..................................................................................................ii


KATA PENGANTAR....................................................................................iii
FAKTOR – FAKTOR YANG BERPENGARUH
DALAM KOMUNIKASI INTERPERSONAL............................................1
KOMPONENKOMUNIKASI INTERPERSONAL
..........................................................................................................................1
1.Menghadapi Orang yang Sedang Bermasalah .........................................1
2.Mendengar Aktif .........................................................................................2
3.Perilaku Asertif ...........................................................................................4
4.Menerima dan memberi Feedback ...........................................................6
5.Pemecahan Masalah Secara Kreatif .........................................................9
PENUTUP.......................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................11

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan
penyertaan-Nya, sehingga kami Kelompok 6 dapat menyelesaikan
penyusunan makalah mengenai Komunikasi dalam Konseling. Penulisan
makalah ini merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk
menyelesaikan tugas mata kuliah Psikologi Konseling.

Dalam penulisan makalah ini kami merasa banyak kekurangan baik


pada teknik penulisan maupun materi. Untuk itu, apabila terdapat kritik dan
saran kami terimanya dengan tangan terbuka.

Akhir kata kami berharap agar isi makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi yang membaca. Terima kasih.

Depok, 22 Maret 2022

Kelompok 6

iii
Faktor-Faktor yang Berpengaruh dalam Berkomunikasi Interpersonal
Menurut Yulia S. Gunarsa (2008), untuk menumbuhkan dan meningkatkan
hubungan interpersonal, kita perlu meningkatkan kualitas komunikasi.
Beberapa faktor yang mempengaruhi komunikasi interpersonal adalah:
1. Percaya/trust. Bila seseorang punya perasaan bahwa dirinya tidak akan
dirugikan, tidak akan dikhianati, maka orang itu pasti akan lebih mudah
membuka dirinya.
2. Perilaku suportif akan meningkatkan komunikasi. yaitu dengan tidak perlu
memberikan kecaman atas kelemahan suatu masalah yang dihadapi.
3. Sikap terbuka, kemampuan menilai secara objektif, kemampuan
membedakan dengan mudah, kemampuan melihat nuansa, orientasi ke isi,
pencarian informasi dari berbagai sumber, kesediaan mengubah
keyakinannya, profesional dan lain sebagainya.

Komponen Komunikasi Interpersonal


1. Menghadapi Orang yang Sedang Bermasalah
Permasalahan-permasalahan yang dihadapi memerlukan pemecahan
sebagai upaya untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi terhadap
masalahdan tekanan yang menimpa mereka. Konsep untuk memecahkan
permasalahan ini disebut dengan coping.Kata coping sendiri berasal dari
kata cope yang sebagai menghadapi, melawan ataupun mengatasi,
walaupun demikian belum ada istilah dalambahasa Indonesia yang tepat
untuk mewakili istilah ini.Pengertian coping hampir sama dengan
penyesuaian (adjustment). Perbedaannya, penyesuaian mengandung
pengertian yang lebih luas jika dibandingkan dengan coping, yaitu semua
reaksi terhadap tuntutan baik yang berasal dari lingkungan maupun yang
berasal dari dalam diri seseorang. Sedangkan coping dikhususkan pada
bagaimana seseorang mengatasi tuntutan yang menekan.

Strategi coping untuk mengatasi emosi negatifyang menyertainya (Emotion


Focused Coping). Strategi ini untuk meredakan emosiindividu

1
2
yang ditimbulkan oleh stressor (sumber stres), tanpa berusaha untuk
mengubah suatu situasi yang menjadi sumber stres secara langsung.
Bentuk strategi coping ini adalah :

1)Escapism (Menghindar). Perilaku menghindari masalah dengan


caramembayangkan seandainya berada dalamsuatu situasi lain yang lebih
menyenangkan,menghindari masalah dengan makanataupun tidur, bisa juga
dengan merokokataupun meneguk minuman keras.

2)Minimization (Pengabaian). Tindakan menghindari masalah dengan


menganggapseakan-akan masalah yang tengah dihadapiitu jauh lebih ringan
daripada yang sebenarnya.

3)Self Blame (Menyalahkan Diri).Merupakan strategi yang bersifat pasifyang


lebih diarahkan ke dalam, daripadausaha untuk keluar dari masalah.

4)Seeking Meaning (Berdoa). Suatu prosesdimana individu mencari arti


kegagalanyang dialami bagi dirinya sendiri danmencoba mencari segi-segi
yangmenurutnya penting dalam hidupnya.Dalam hal ini individu coba mencari
hikmah atau pelajaran yang bisa dipetik darimasalah yang telah dan
sedangdihadapinya.

2. Mendengar Aktif
Mendengarkan bukanlah proses pasif. Apakah menggunakan
keterampilan menghadiri, mendorong, parafrase, atau meringkas, Anda
secara aktif terlibat dalam wawancara. Anda tidak hanya duduk dan
mendengarkan cerita. Mendengarkan secara aktif menuntut Anda untuk
berpartisipasi penuh dengan membantu klien mengklarifikasi,
memperbesar, dan memperkaya cerita. Ini mengharuskan Anda untuk
dapat mendengar perubahan kecil dalam pikiran, perasaan, dan perilaku.

2
Ini meminta Anda berjalan di sepatu orang lain. Mendengarkan secara
aktif menuntut perhatian serius terhadap empati—benar-benar bersama
dan memahami klien semaksimal mungkin.

Mendengarkan secara aktif adalah aspek kunci dalam mengembangkan


hubungan dan menggambarkan cerita dan kekuatan klien. Berbicara
tentang kekuatan dan sumber daya berdampak pada otak dengan cara yang
bermanfaat. Misalnya, neurotransmitter dopamin dilepaskan ketika situasi
menyenangkan dan positif, mempersiapkan otak untuk pembelajaran baru
dan pengembangan jaringan saraf baru. Pembelajaran baru tidak akan
terjadi kecuali amigdala memiliki rangsangan yang cukup sehingga
memberi energi pada otak untuk membuka informasi dan ide baru.

Mentoring, parafrase, dan meringkas secara berkala adalah keterampilan


dasar yang tampaknya memiliki penerimaan lintas budaya yang luas.
Hampir semua klien suka didengarkan secara akurat. Mungkin perlu
lebih banyak waktu untuk menjalin hubungan dengan klien yang secara
budaya berbeda. Tapi sekali lagi, jangan pernah menggeneralisasi atau
stereotip. Wanita cenderung menggunakan parafrase dan keterampilan
mendengarkan terkait lebih banyak daripada pria, sedangkan pria
cenderung lebih sering menggunakan pertanyaan. Anda mungkin
memperhatikan di kelas dan lokakarya Anda sendiri bahwa pria cenderung
mengangkat tangan lebih cepat dan lebih sering menyela. Tetapi ada
begitu banyak pengecualian untuk “aturan” ini yang tidak boleh
diandalkan. Meskipun demikian, perbedaan gender memang ada, dan
penting untuk menyadarinya. Perbedaan gender perlu ditanggapi secara
langsung dalam wawancara baik oleh laki-laki maupun perempuan.

Klien perlu tahu bahwa cerita mereka telah didengar. Menghadiri,


bertanya, dan keterampilan lain membantu klien membuka diri, tetapi
mendengarkan secara akurat melalui keterampilan mendorong,

5
memparafrase, dan meringkas diperlukan untuk mengomunikasikan bahwa
Anda memang telah mendengar orang lain sepenuhnya. Semua
keterampilan ini melibatkan mendengarkan secara aktif, mendorong orang
lain untuk berbicara dengan bebas. Keterampilan mendengarkan aktif
adalah beberapa yang paling sulit dalam kerangka pelatihan mikro.

3. Perilaku Asertif
Sumihardja (dalam Yulianti & Dian, 2016) menjelaskan perilaku
asertif adalah memiliki pengucapan verbal yang jelas, spesifik dan
langsung, mampu mengungkap pikiran, perasaan, dan pendapat kepada
orang lain tanpa menyinggung perasaan orang lain, mampu menempatkan
diri pada tingkat yang sesuai dan mampu mengolah kontrol yang sehat dan
jujur.
Asertif adalah perilaku verbal dan non verbal untuk
mengungkapkan pikiran, perasaan dan pendapat serta hak-hak yang
dimiliki secara nyaman, jujur dan tanpa kecemasan kepada orang lain serta
mengandung tingkah laku ketegasan dan percaya diri. Dengan demikian,
sikap asertif merupakan cara pandang seseorang untuk dapat berperilaku
secara nyaman, jujur dan memiliki percaya diri dalam mengungkapkan
pendapat, ide dan perasaan terhadap orang lain, ataupun objek-objek
tertentu.
Fensterheim dan Baer (dalam Yulianti & Dian, 2016) menyebutkan
bahwa ciri asertivitas antara lain:

(1) Bebas mengemukakan pikiran dan pendapat baik melalui kata-kata


atau tindakan.

(2) Dapat berkomunikasi secara langsung dan terbuka.

(3) Mampu memulai, melanjutkan dan mengakhiri suatu pembicaraan


dengan baik.

6
(4) Mampu menolak & menyatakan ketidaksetujuan terhadap pendapat
orang lain atau segala sesuatu yang tidak beralasan dan cenderung
bersifat negatif.

(5) mampu mengajukan permintaan dan bantuan kepada orang lain ketika
membutuhkan.

(6) mampu menyatakan perasaan, baik yang menyenangkan maupun yang


tidak menyenangkan dengan tepat.

(7) memiliki sikap dan pandangan yang yang aktif terhadap kehidupan.

(8) menerima keterbatasan yang ada di dalam dirinya dengan tetap


berusaha untuk mencapai apa yang diinginkannya sebaik mungkin,
sehingga baik berhasil maupun gagal ia akan tetap memiliki harga diri dan
kepercayaan diri.

Pendapat lain dikemukakan oleh Alberti dan Emmons (dalam


Yulianti & Dian 2016) yang mengidentifikasikan bahwa ada sebelas
komponen perilaku asertif yaitu: kontak mata, jarak atau kontak fisik,
ekspresi wajah, kefasihan, mendengarkan, isi, sikap tubuh, isyarat, nada,
penetapan waktu dan pemikiran. Pendapat lain tentang aspek asertivitas
dikemukakan oleh Lange dan Jackubowski (1978) bahwa ciri-ciri individu
yang berperilaku asertif mencakup lima hal, diantaranya

(1). Menghormati hak-hak orang lain dan diri sendiri, yang berarti
menghormati hak-hak yang dimiliki orang lain tetapi tidak berarti
menyetujui ataupun menyerah dengan apa yang diinginkan orang lain

7
(2). Berani mengungkapkan pendapat secara langsung, yang berarti berani
mengkomunikasikan segala perasaan, pikiran dan kebutuhan secara
langsung dan jujur

(3). Bertindak jujur, yang berarti mampu mengekspresikan diri secara


tepat agar dapat mengkomunikasikan perasaan, pendapat, ide ataupun
pilihan sendiri tanpa merugikan diri sendiri dan orang lain

(4). Memperhatikan situasi dan kondisi, ketika bertindak asertif mampu


memperhatikan lokasi, waktu, frekuensi, intensitas komunikasi dan
kualitas hubungan yang sudah terbentuk

(5). Menyatakan dengan bahasa tubuh secara tepat, dikarenakan yang


terpenting dalam perilaku asertif bukanlah apa yang ingin dikatakan,
melainkan bagaimana menyatakan pikiran, keinginan serta pendapat
dengan tepat.

4. Menerima dan memberi Feedback

Mengetahui bagaimana orang lain melihat mereka adalah dimensi


yang kuat dan berdampak dalam perubahan manusia,dan akan sangat
membantu jika klien meminta feedback. Feedback adalah pengaruh
penting,strategi jika kita telah mengembangkan hubungan baik dan
pengalaman yang cukup dengan klien untuk mengetahui bahwa dia
mempercayai kita.

Hasil yang diprediksi dari feedback adalah klien akan


meningkatkan perubahan pikiran,perasaan,dan perilaku mereka
berdasarkan feedback konselor.

Berikut pedoman feedback dalam konseling dan wawancara:

8
1. Klien yang menerima feedback harus bertanggung jawab.
Dengarkan dulu, gunakan pola “1-2-3”, dan menentukan apakah
klien siap untuk feedback. Feedback lebih berhasil jika klien
memintanya.
2. Feedback harus fokus pada kekuatan atau masalah yang dapat
dilakukan klien. Akan lebih efektif untuk memberikan feedback
pada kualitas positif dan membangun kekuatan. Feedback korektif
berfokus pada area di mana klien dapat meningkatkan pemikiran,
perasaan, dan perilaku. Feedback korektif harus tentang sesuatu
yang klien dapat ubah atau bantu klien mengenali dan menerima
bahwa sesuatu tidak dapat diubah.
3. Feedback harus konkrit dan spesifik. Agar mudah dipahami,
feedback usahakan disampaikan secara jelas dan spesifik agar
komunikan bisa memahaminya dengan lengkap tidak setengah-
setengah. Arti spesifik disini adalah feedback disampaikan secara
detail.
4. Feedback harus relatif tidak menghakimi dan interaktif. Tetap
berpegang pada fakta dan spesifik. Fakta bersahabat; penilaian
mungkin atau mungkin tidak. Tunjukkan sikap tidak menghakimi
Anda sikap melalui kualitas vokal dan bahasa tubuh Anda. “Saya
melihat Anda berusaha sangat keras. Anda memiliki keinginan
yang nyata untuk menerima apa adanya Chris dan belajar untuk
hidup dengan apa yang Anda tidak bisa mengubah. Bagaimana
kedengarannya?” Bandingkan yang terakhir dengan “Kamu terlalu
mudah menyerah; saya harap Anda akan berusaha lebih keras,"
atau yang terlalu umum "Ini pekerjaan yang bagus."
5. Feedback di sini-dan-sekarang, present-tense dapat
memberikan kedekatan yang nyata pada wawancara. "Benar
sekarang pada saat ini, saya melihat Anda benar-benar merasakan
kekuatan baru — cara Anda duduk, tampilan di mata Anda.
Mereka semua menyampaikan kekuatan.” Umpan balik korektif di

9
sini dan sekarang bisa juga membantu, tetapi harus didekati dengan
hati-hati. “Alisia, aku benar-benar tersentuh dengan caranya keras
kamu berusaha. (di sini dan sekarang) Saya ingin memberi saran
6. —apakah mungkin bagi Anda untuk berdiri sedikit lebih tegak dan
menatap matanya?” (di sana dan kemudian,kalimat masa depan)
7. Feedback harus ramping dan tepat. Jangan membanjiri klien;
pertahankan feedback korektif singkat. Sebagian besar dari kita
hanya dapat mendengar begitu banyak dan hanya dapat mengubah
satu hal pada satu waktu. Pilih satu atau dua hal untuk umpan balik
dan simpan sisanya untuk nanti.
8. Periksa bagaimana tanggapan Anda diterima. Melibatkan klien
dalam umpan balik melalui kasir. Tanggapan mereka menunjukkan
apakah Anda didengar dan seberapa berguna feedback
Anda."Bagaimana Anda bereaksi terhadap itu?" "Apakah itu
terdengar dekat?" “Apa artinya umpan balik itu kepadamu?"

Jenis- jenis Feedback

1. Feedback positif

Digambarkan sebagai "sarapan para Juara." Umpan balik positif


dan konkret Anda membantu klien memulihkan masalah dan kekhawatiran
mereka. Sedapat mungkin, temukan hal-hal tentang klien Anda yang
benar. Bahkan ketika Anda harus memberikan umpan balik yang
menantang, mencoba untuk memasukkan aset positif dari klien. Bantu
klien menemukan kekuatan kesehatan, aset positif, dan sumber daya
mereka.

2. Feedback korektif

Keseimbangan antara umpan balik negatif dan saran positif untuk


masa depan. Ketika klien perlu secara serius memeriksa diri mereka
sendiri, umpan balik korektif mungkin perlu fokus pada hal-hal yang klien

10
lakukan salah atau perilaku yang mungkin menyakitkan mereka di masa
depan. Pengaturan manajemen, lembaga pemasyarakatan, sekolah, dan
universitas sering mengharuskan pewawancara untuk memberikan umpan

balik korektif dalam bentuk teguran dan jenis hukuman tertentu.


Ketika Anda harus memberikan umpan balik korektif negatif, pertahankan
nada suara dan bahasa tubuh Anda tidak menghakimi dan tetap berpegang
pada fakta, meskipun masalah mungkin menyakitkan. Pujian dan
pernyataan yang mendukung (“Anda dapat melakukannya, dan saya akan
berada di sana untuk help") menyampaikan pemikiran positif Anda tentang
klien, bahkan ketika Anda harus memberikan umpan balik yang
mengganggu.

3. Feedback negatif

Diperlukan ketika klien tidak mau mendengarkan feedback


korektif. Misalnya, dalam kasus pelecehan, perilaku terencana yang
menyakiti diri sendiri atau orang lain, dan perilaku kriminal, umpan balik
negatif dengan konsekuensi logis diperlukan dan dapat bermanfaat.
Adalah tanggung jawab kita untuk bertindak dalam situasi ini. Tetapi
mendengarkan sudut pandang klien, bahkan jika dia adalah pelaku, tetap
ada penting.

5. Pemecahan Masalah Secara Kreatif

Dalam pelaksanaan proses konseling, konselor dapat mengalami


kesulitan saat melakukan wawancara dan pengambilan keputusan.
Sehingga diperlukan keterampilan dalam berbicara dan mewawancarai
klien. Kekuatan utama dalam melakukan komunikasi atau wawancara
yaitu adanya kreativitas dan ketelitian pada konselor. Menurut Sofyan
(2004:134) “Hal-hal penting yang mampu mendukung tercapainya proses
konseling yang baik adalah ketika konselor memiliki kreativitas dan
generativitas tinggi dalam wawancara dan merespon konseli.” Selanjutnya,

11
Menurut Yusuf (2014:246),”Kreativitas adalah kemampuan untuk
mencipta suatu produk baru, atau kemampuan untuk memberikan gagasan-
gagasan baru dan menerapkannya dalam pemecahan masalah.” Dalam hal
ini, kreativitas adalah kemampuan untuk memunculkan sesuatu yang baru
dalam kondisi yang lama, bersifat spontan, dan kebebasan untuk mencipta.
Saat proses konseling, tugas konselor adalah membantu konseli dalam
menciptakan alternatif-alternatif baru untuk bertindak. Diharapkan akhir
dari pelaksanaan konseling adalah terciptanya suasana nyaman baik fisik,
jiwa, dan lingkungannya.

Pemecahan masalah kreatif (CPS) didirikan oleh Osborn (1957)


mencakup 7 proses di antaranya :

1) pengenalan
2) persiapan
3) analisis
4) hipotesis
5) inkubasi
6) perpaduan
7) validasi.

Model Creative Problem Solving (CPS) adalah model


pembelajaran yang berpusat pada pengajaran dan keterampilan pemecahan
masalah diikuti dengan penguatan keterampilan.

12
Daftar Pustaka

Gunarsa, S. D. (2008). Psikologi perkembangan anak dan remaja. BPK Gunung


Mulia.

Ivey.A. E., Ivey. M. B., & Zallaquett. C. P. (2010). Intentional interviewing and
counseling facilitating client development in a multicultural society (7th ed.).
Brooks/Cole, Cengage Learning.

Munastiwi, Erni. (2020). Model Pembelajaran CIPS: Creative, Independent,


Problem Solving. Depok: PT. RajaGrafindo Persada.

Yulianti. P. D., & Dian. MA. P. (2016). Merakit kesehatan mental melalui sikap
asertif. Bimbingan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan.

Wardani, D. S. (2009). Strategi coping orang tua menghadapi anak


autis. Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi, 11(1).

13

Anda mungkin juga menyukai