Oleh :
KELOMPOK IV :
KELAS : II C
D-III KEPERAWATAN
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT. Karena atas berkat rahmat-Nya kami dapat
menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya. Tak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada
dosen Mata Kuliah Tuberkulosis yang telah memberikan tugas ini kepada kami sebagai upaya untuk
menjadikan kami manusia yang berilmu dan berpengetahuan.
Keberhasilan kami dalam menyelesaikan makalah ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak. Untuk itu, kami menyampaikan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih
banyak kekurangan yang perlu diperbaiki, untuk itu, kami mengharapkan saran yang membangun
demi kesempurnaan makalah ini, sehingga dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Penyusun
Kelompok IV
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan .................................................................................................... 19
B. Saran .............................................................................................................. 20
A. Latar Belakang
Tuberkulosis (TBC atau TB) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini merupakan bakteri basil yang sangat kuat sehingga
memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih sering menginfeksi organ paru-paru
dibandingkan bagian lain tubuh manusia.
Insidensi TBC dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir ini di seluruh dunia.
Demikian pula di Indonesia, Tuberkulosis / TBC merupakan masalah kesehatan, baik dari sisi angka
kematian (mortalitas), angka kejadian penyakit (morbiditas), maupun diagnosis dan terapinya.
Dengan penduduk lebih dari 200 juta orang, Indonesia menempati urutan ketiga setelah India dan
China dalam hal jumlah penderita di antara 22 negara dengan masalah TBC terbesar di dunia.
Hasil survei Kesehatan Rumah Tangga Depkes RI tahun 1992, menunjukkan
bahwa Tuberkulosis (TBC) merupakan penyakit kedua penyebab kematian, sedangkan pada tahun
1986 merupakan penyebab kematian keempat. Pada tahun 1999 WHO Global Surveillance
memperkirakan di Indonesia terdapat 583.000 penderita Tuberkulosis / TBC baru pertahun dengan
262.000 BTA positif atau insidens rate kira-kira 130 per 100.000 penduduk. Kematian akibat
Tuberkulosis / TBC diperkirakan menimpa 140.000 penduduk tiap tahun. Jumlah penderita TBC paru
dari tahun ke tahun di Indonesia terus meningkat.
Saat ini setiap menit muncul satu penderita baru TBC paru, dan setiap dua menit muncul satu
penderita baru TBC paru yang menular. Bahkan setiap empat menit sekali satu orang meninggal
akibat TBC di Indonesia. Sehingga kita harus waspada sejak dini & mendapatkan informasi lengkap
tentang penyakit TBC.
B. Rumusan Masalah
1. Bagiamana Pencegahan dan Pengendalian Infeksi TB ?
2. Apa Prinsip Pencegahan dan Pengendalian Infeksi TB ?
3. Bagiamana Konsep Jejaring Pencegahan dan Pengendalian TB ?
4. Apa jenis-jenis jejaring Pencegahan dan Pengendalian TB ?
C. Tujuan
Salah satu risiko utama terkait dengan penularan TB di tempat pelayanan kesehatan adalah yang
berasal dari pasien TB yang belum teridentifikasi. Akibatnya pasien tersebut belum sempat dengan
segera diperlakukan sesuai kaidah PPI TB yang tepat. Semua tempat pelayanan kesehatan perlu
menerapkan upaya PPI TB untuk memastikan berlangsungnya deteksi segera, tindakan pencegahan
dan pengobatan seseorang yang dicurigai atau dipastikan menderita TB. Upaya tersebut berupa
pengendalian infeksi dengan 4 pilar yaitu :
1. Pengendalian Manajerial
2. Pengendalian administratif
3. Pengendalian lingkungan
4. Pengendalian dengan Alat Pelindung Diri
PPI TB pada kondisi/situasi khusus adalah pelaksanaan pengendalian infeksi pada rutan/lapas,
rumah penampungan sementara, barak-barak militer, tempat-tempat pengungsi, asrama dan
sebagainya. Misalnya di rutan/lapas skrining TB harus dilakukan ada saat WBP baru, dan kontak
sekamar.
1) Pengendalian Manajerial.
Pihak manajerial adalah pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan
Propinsi dan Kabupaten /Kota dan/atau atasan dari institusi terkait. Komitmen, kepemimipinan dan
dukungan manajemen yang efektif berupa penguatan dari upaya manajerial bagi program PPI TB
yang meliputi:
Pengendalian admistratif lebih mengutamakan strategi TEMPO yaitu penjaringan, diagnosis dan
pengobatan TB dengan cepat dan tepat sehingga dapat mengurangi penularan Tb secara efektif.
Penerapannya mudah dan tidak membutuhkan biaya besar, dan idela untuk diterapkan. Dengan
menggunakan strategi TEMPO akan mengurangi risiko penularan kasus TB dan TB Resistan Obat
yang belum teridentifikasi.
Untuk mencegah adanya kasus TB dan TB Resistan Obat yang tidak terdiagnosis, dilaksanakan
strategi TEMPO dengan skrining bagi semua pasien dengan gejala batuk.
Langkah- Langkah Strategi TEMPO sebagai berikut:
a. Temukan pasien secepatnya.
Petugas surveilans batuk segera mengarahkan pasien yang batuk ke tempat khusus
dengan area ventilasi yang baik, yang terpisah dari pasien lain,serta diberikan masker. Untuk
alasan kesehatan masyarakat, pasien yang batuk harus didahulukan dalam antrian (prioritas).
3) Pengendalian Lingkungan.
Pemilihan jenis sistem ventilasi tergantung pada jenis fasilitas dan keadaan setempat.
Pertimbangan pemilihan sistem ventilasi suatu fasyankes berdasarkan kondisi lokal yaitu struktur
bangunan, iklim-cuaca, peraturan bangunan, budaya, dana dan kualitas udara luar ruangan serta perlu
dilakukan monitoring dan pemeliharaan secara periodik.
Jejaring internal bagi DPM adalah jejaring antar unit ditempat praktik DPM tersebut.
Bagi DPM yang berpraktik di Klinik Pratama maka jejaring internalnya adalah antara
DPM tersebut dengan laboratorium dan apotik yang ada didalam klinik tersebut. (Klinik
Pratama: Permenkes no.9 tahun 2014 ayat (1) huruf a yaitu klinik yang
menyelenggarakan pelayanan medik dasar maupun khusus. Apabila DPM praktik
mandiri murni maka tidak ada jejaring internal.
b. Jejaring eksternal adalah jejaring kerja yang dibangun antara suatu faskes dengan
faskes lainnya atau institusi yang terkait dalam pelayanan pasien
Jejaring eksternal bagi DPM meliputi jejaring antara DPM itu sendiri dengan
Puskesmas, Rumah Sakit, BKPM, BBKPM, BP4, Laboratorium , Apotek,IDI Cabang,
Dinkes Kab/Kota dan institusi terkait lainnya .
Dinas Kesehatan setempat sebagai koordinator dan penanggung jawab dalam
pembentukan dan pelaksanaan jejaring eksternal P2TB.
Hubungan DPM dengan Puskesmas merupakan hal yang sangat penting antara lain
dalam rujukan pemeriksaan laboratorium (sputum) untuk penegakan diagnosis dan follow
up, mendapatkan logistik P2TB baik OAT maupun non formulir pencatatan dan
pelaporan, pelacakan pasien mangkir dan hal-hal lain yang dirasa perlu.
Sebaiknya DPM berjejaring dengan Puskesmas dimana lokasi praktiknya berada
diwilayah kerja Puskesmas tersebut atau terdekat dengan tempat praktik., diutamakan
dengan PRM. (Puskesmas Rujukan Mikroskopis)
4). Langkah-Langkah Menbangun Jejaring
Jejaring baik secara internal maupun eksternal harus dibangun bersama dengan seluruh
komponen yang terlibat dalam pelayanan pada pasien TB.
Perlu komitmen, tanggung jawab dan peran yang jelas dari masing masing komponen yang disepakati
bersama, agar dalam pembentukan dan pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik.
Penanggung jawab pembentukan jejaring internal adalah pimpinan faskes itu sendiri.Pada
Klinik Pratama tentunya adalah pimpinan kliniknya.
Pada jejaring eksternal penanggung jawabnya adalah Kepala Dinas Kesehatan setempat.
a). Langkah-langkah membangun Jejaring internal.
Langkah membangun jejaring internal pada Klinik Pratama adalah sebagai berikut:
Penanggung jawab pembentukan jejaring internal pada Kliknik Pratama adalah Pimpinan Klinik
tersebut.
1. Mengadakan pertemuan dengan seluruh unit
2. Melakukan sosialisasi tentang program P2TB
3. Membuat kesepakatan dalam penata laksanaan pasien TB termasuk Standar Prosedur
Operasional (SPO)
4. Melengkapi logistik OAT maupun formulir pencatatan dan pelaporan melalui kerja sama
dengan Puskesmas sesuai kebutuhan
Hal-hal yang disampaikan kepada petugas :
1. Sosialisasi tentang program P2TB
2. Perlunya kesepakatan dalam penata laksanaan pasien TB sesuai Standar Prosedur
Operasional (SPO)
3. Cara mendapatkan OAT maupun formulir pencatatan dan pelaporan melalui kerja sama
dengan Puskesmas sesuai kebutuhan.
Jejaring internal hanya ada pada DPM yang praktik di Klinik Pratama.
1. Inventarisasi semua unit yang terkait serta peran msing-masing dalam penatalaksanaan TB
2. Pertemuan dengan pimpinan unit terkait (tingkat menejemen faskes)
3. Menyampaikan semua permasalahan menyangkut pelayanan pada pasien TB selama ini
4. Sosialisasi tentang program P2TB dan kaitannya dengan pelayanan yang diberikan oleh
seluruh unit terkait.
5. Kesepakatan dalam menata pasien TB sesuai PNPK Tatalaksana TB
6. Penunjukan penanggung jawab tiap-tiap unit atau komponen jejaring
7. Pembentukan tim DOTS
Materi yang dibahas meliputi:
1. Kesiapan masing masing unit terkait dalam menerapkan PNPK tata laksana TB
2. Membuat SPO penatalaksanaan TB
3. Alur koordinasi dan komunikasi antar unit pelayanan terkait
4. Penunjukan penanggung jawab jejaring kerja dari masing-masing unit
5. Kebijakan dari pihak manajemen untuk mendukung kelancaran pelayanan, maupun
dukungan sarana prasarana guna optimalisasi pelaksanaan jejaring internal.
Bagi DPM yang sudah mengikuti pelatihan yang dilaksanakan oleh IDI setempat dan telah
termasuk Pelatihan Jarak Jauh diwajibkan untuk masuk dan menjadi salah satu komponen dalam
Jejaring eksternal tersebut diatas melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1. Melapor secara tertulis tentang pelatihan TB yang telah diikuti kepada IDI Cabang dengan
tembusan ke Dinkes setempat
2. Berkoordinasi dengan Puskesmas setempat dalam pengeterapan PKS yang sudah disepakati.
3. Membuat jejaring internal apabila DPM ber praktik di Klinik Pratama.
Menerima rujukan pemeriksaaan dahak dari DPM baik untuk diagnois maupun follow up
Mengirimkan hasil pemeriksaan dahak kepada DPM yang merujuk
Memberikan penyuluhan dan memperagakan kepada pasien tentang cara mengeluarkan
dahak yang benar.
Melaporkan hasil rekapan pasien TB secara rutin (3 bulan sekali ) ke DinKes kab/Kota
Mengusulkan permintaan kebutuhan logistik dan non logistik ke Dinkes setempat.
Komponen-komponen inilah yang banyak berperan dalam pengeterapan jejaring jejaring P2TB
untuk menatalaksana pasien TB di DPM.
2. Perjanjian Kerja Sama DPM dengan Puskesmas
Perjanjian Kerja Sama pada prinsipnya adalah kesepakatan penatalaksanaan pasien TB antara
DPM dengan komponen jejaring eksternal lainnya.
Perjanjian Kerja Sama dibuat antara DPM dengan Puskesmas dan dengan komponen jejaring lainnya.
PKS dengan Pukesmas mutlak harus dibuat terlebih dahulu mengingat tempat praktik DPM adalah
diwilayah kerja Puskesmas dan DPM akan lebih banyak berhubungan dengan Puskesmas.
Pembuatan PKS difasilitasi oleh Dinas Kesehatan setempat dan diketahui oleh IDI cabang.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membuat Pejanjian Kesra Sama adalah sebagai berikut:
1. PKS dibuat antara masing-masing DPM dengan Puskesmas sesuai domisili tempat praktek.
2. Harus mencantumkan payung hukum dari kerja sama yang dibuat
3. Harus jelas para pihak yang bekerja sama
4. Harus jelas peran dan kewajiban para piha
5. Harus jelas alur-alur kerja sama
6. Harus dicantumkan waktu berlakunya kerja sama
7. Ditanda tangani oleh para pihak dan sebaiknya diketahui oleh atasan masing-masing
Pada FKRTL terduga atau pasien TB dapat berasal dari Rwat Jalan (Poli Umum, Poli
Spesialis), Rawat Inap maupun UGD.
Untuk pemeriksaan sputum atau pemeriksaan penunjang lainnya pasien dikirim ke
Laboratorium atau unit penunjang lainnya.
Hasil pemeriksaan disampaikan kepada dokter pengirim di masing2 unit tersebut
Diagnosa dan klasifikasi ditentukan oleh dokter masing2 unit pengirim atau oleh Unit
DOTs.
Penatalaksanaan selanjutnya dilakukan oleh Unit DOTs pada FKRTL tersebut.
Pasien yang berasal dari Rawat Jalan dan UGD dan memutuskan berobat di luar FKRTL
Unit DOTs akan memberikan penjelasan dan merujuk pasien kefasilitas kesehatan yang
dituju
Pasien yang memutuskan berobat di FKRTL ini akan ditatalaksana sesuai PNPK
Tatalaksana TB dengan mengisi formulir sesuai prosedur program.
Konsultasi klinik kepada dokter dapat dilakukan sesuai kebutuhan.
Pasien rawat inap pengobatan diberikan diruang perawatannya tetapi tetap melalui
koordinasi dengan unit DOTs
Apabila pasien sudah diperbolehkan pulang, Unit DOTs akan memfasilitasi apakah pasien
akan meneruskan pengobatan di FKRTL atau ditempat lain sesuai prosedur program
Unit DOTS merupakan pusat dari semua kegiatan pelaksanaan strategi DOTS. Unit ini
sebagai pusat informasi mengenai TB, pusat pencatatan dan pelaporan di faskes tersebut.
Formulir/buku yang terdapat di unit DOTS terdiri dari TB.06, TB.05,04, TB.01, TB.02,
TB 03, TB.09, TB.10.
IGD dapat berperan dalam menemukan terduga maupun menegakkan diagnosis, tetapi
IGD tidak melaksanakan tatalaksana TB karena dirujuk ke rawat jalan atau rawat inap.
Instalasi penunjang laboratorium mikrobiologi, menerima rujukan untuk pemeriksaan
mikroskopis dahak untuk diagnosis maupun pemantauan hasil pengobatan dengan surat
pengantar TB.05, dan mencatatnya di dalam TB.04. Hasil pemeriksaan laboratorium dahak
dituliskan pada bagian bawah lembar TB.05 dan dikembalikan ke unit yang mengirim.
Instalasi Patologi Anatomi menerima pemeriksaan PA kususnya TB Ekstra Paru dan
mengirimkan hasilnya kepada unit yang mengirim.
Instalasi radiologi berfungsi melakukan pemeriksaan radiologi apabila diperlukan ( al. foto
toraks). Hasil pembacaan dikembalikan kepada unit yang mengirim.
PKMRS berfungsi memberikan informasi dan edukasi tentang TB
Berikut adalah pengeterapan jejaring internal pada Klinik Pratam Penjelasan Alur jejaring internalnya
adalah sebagai berikut.
Terduga TB yang datang melalui DPM dilakukan pemeriksaaan mikrobiologi dan atau
pemeriksaan radiologi.Dicatat pada TB06, dan dibuatkan TB 05.Hasil pemeriksaan dari
laboratorium atau radiologi dikirim kembali ke dokter yang mengirim.
Apabila hasilnya positif TB sebaiknya dikirimkan kepada DPM yang telah terlatih TB
Penatalaksanaan selanjutnya dilakukan oleh DPM yang telah terlatih TB dengan mengisi
TB 01 dan TB 02
Bagi DPM yang belum dilatih sebetulnya juga dapat melakukan penatalaksanaan pasien
TB asal saja dilakukan sesuai PNPK
Jika memakai obat program dipenuhi melalui alur jejaring ekste
DPM dapat memeriksakan dahak Laboratorium dari faskes yang sudah terlatih strategi DOTS baik
Fasilitas Kesehatan Primer Puskesmas (PRM/PPM), Labkesda/BLK, Lab.RS Swasta, BKPM/BBKPM
atau Laboratorium lain yang direkomendasikan oleh Dinas Kesahatan.
Logistik program terdiri dari OAT dan non OAT(formulir pencatatan dan pelaporan) DPM
mendapatkn logistik ini dari Puskesmas. DPM dapat memberikan pengobatan dengan paduan/regimen
dan dosis yang sesuai dengan strategi DOTS/PNPK dengan cara menggunakan paket OAT yang
disediakan program atau memberikan resep KDT non program.Pada kondisi tertentu DPM dapat
memberikan obat lepas melalui resep luar asal mengikuti prinsip pengobatan sesuai PNPK.Formulir
pencatatan dan pelaporan yang digunakan oleh DPM terdiri dari format TB01, TB02, TB05,
TB06,TB09 dan TB10. Klinik Pratama yang mempunyai laboratorium dan farmasi dibutuhkan juga
TB04 dan TB 03.
Alur pencatatan pelaporan
Sebagaimana telah dipelajari pada Modul Penemuan setiap terduga TB dcatat pada TB 06, dirujuk ke
Laboratorium dengan TB 05.Apabila terdiagnosa TB diobati dan dibuatkan TB 01 dan TB 02.Apabila
pindah dalam masa pengobatan maka digunakan TB09 dan TB10.
6). Alur rujukan pasien.
Sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI), penatalaksanaan TB Paru tanpa
komplikasi merupakan kompetensi 4A bagi seluruh lulusan dokter.Itu berarti bahwa DPM mampu
mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas terhadap semua pasien TB paru
tanpa komplikasi dengan tidak merujuk ke faskes lainnya..Penatalaksanaan yang dimaksud adalah
penatalaksanaan yang sesuai dengan PNPK.Oleh karena itu semua DPM punya kewenangan
menatalaksana pasien TB paru sampai pengobatannya. Namun pada beberapa kondisi tertentu
dimungkinkan DPM untuk melakukan pilihan penanganan pasien TB termasuk merujuk sebelum
diobati.
Beberapa pilihan penanganan dalam penatalaksanaan pasien TB:
Pilihan penanganan pasien tersebut diatas dapat dilihat pada diagram berikut:
Pilihan penanganan pasien ini dibuat dengan mempertimbangkan kemampuan DPM (sarana dan
prasarana yang tersedia), tingkat sosial ekonomi pasien, lokasi tempat tinggal baik jarak maupun
keadaan geografis, biaya konsultasi dan transportasi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan demikian, bahwa penyakit tuberculosis (TBC) itu disebabkan karena adanya bakteri
Mikobakterium Tuberkulosa. Oleh karena itu untuk mencegah penularan penyakit ini sebaiknya harus
menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Tuberkulosis juga penyakit yang harus benar-benar segera
ditangani dengan cepat.
Pengendalian TB di Indonesia mengalami kemajuan yang cukup pesat, hal ini antara lain
dibuktikan dengan tercapainya banyak indikator penting dalam pengendalian TB. Faktor keberhasilan
tersebut antara lain: akses pelayanan kesehatan semakin baik, pendanaan semakin memadai,
dukungan pemerintah pusat dan daerah, peran serta masyarakat dan swasta semakin meningkat,
membaiknya teknologi pengendalian TB. Banyak kegiatan terobosanyang diinisiasi baik dalam skala
nasional maupun lokal.
B. Saran
Saran yang paling tepat untuk mencegah penyakit tuberkulosis adalah
Meningkatkan daya tahan tubuh dengan makanan bergizi TBC adalah penyakit yang dapat
disembuhkan, untuk mencapai hal tersebut penderita dituntut untuk minum obat secara benar sesuai
yang dianjurkan oleh dokter serta teratur untuk memeriksakan diri ke klinik/puskesmas.
DAFTAR PUSTAKA
http://dokterharry.com/2016/11/13/jejaring-program-pengendalian-tb/
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan.2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/bn/2013/bn285-2013lamp.pdf
http://www.dokternida.rekansejawat.com/dokumen/DEPKES-Pedoman-Nasional-
Penanggulangan-TBC-2011-Dokternida.com.pdf