Anda di halaman 1dari 7

PEMBAHASAN TENTANG KLHS DAN RPMJ

KLHS

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) merupakan salah satu instrumen untuk memastikan bahwa
prinsip Pembangunan Berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan
suatu wilayah, yang mampu memberikan rekomendasi pertimbangan lingkungan pada tingkatan
pengambilan keputusan yang bersifat strategis, yakni pada arah kebijakan, rencana dan program
pembangunan (KRP).Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah kajian yang harus dilakukan
pemerintah daerah sebelum memberikan izin pengelolaan lahan maupun hutan. KLHS tertuang
dalam UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pembuatan
KLHS ditujukan untuk memastikan penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan dalam
pembangunan suatu wilayah, serta penyusunan kebijakan dan program pemerintah. Menurut
undang-undang tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, KLHS harus dilakukan
dalam penyusunan dan evaluasi rencana tata ruang wilayah, rencana pembangunan jangka
menengah dan panjang, kebijakan dan program yang berpotensi menimbulkan dampak dan atau
risiko terhadap lingkungan hidup.

Mekanisme pelaksanaan KLHS meliputi pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan program
terhadap kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah, perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan
dan program serta rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan kebijakan dan program
yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan. KLHS sendiri menurut ketentuan harus
memuat kajian mengenai kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk
pembangunan; perkiraan mengenai dampak dan risiko terhadap lingkungan hidup. Dalam dua
dekade terakhir ini laju kerusakan sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan di Indonesia
semakin terns meningkat dan tidak menunjukkan gejala penurunan. Bila dua dekade lalu laju
kerusakan hutan di Indonesia ditengarai sekitar 1 sampai 1,2 juta per tahun, kini telah mencapai 2
juta hektar per tahun.

Bagai gayung bersambut, rantai kerusakan tersebut kemudian menjalar dan meluas ke sungai,
danau, hutan dataran rendah, pantai, pesisir dan laut. Pencemaran air dan udara di kota-kota besar
dan wilayah padat penduduk juga telah berada pada ambang yang tidak hanya membahayakan
kesehatan penduduk tetapi juga telah mengancam kemampuan pulih dan keberlanjutan
pemanfaatan sumberdaya hayati. Banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya hal tersebut, dari
faktor demografis, etika, social, ekonomi, budaya, hingga faktor institusi dan politik.

Kebijakan, rencana dan program (KRP) pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan yang
telah diluncurkan pemerintah sejak tiga dekade lalu, tampak tak berarti atau kalah berpacu dengan
kecepatan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Salah satu faktor strategic yang menyebabkan
terjadinya hal ini adalah karena portofolio KRP pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan
yang diluncurkan pemerintah (KLH di Pusat, atau Bapedalda provinsi/kabupaten/kota) cenderung
“terlepas” atau “terpisah” dari KRP pembangunan wilayah dan sektor, tidak menyatu
(embedded) atau tidak terintegrasi.

Pengalaman implementasi berbagai instrumen pengelolaan lingkungan hidup, utamanya AMDAL,


menunjukkan bahwa meskipun AMDAL sebagai salah satu instrumen pengelolaan lingkungan cukup
efektif dalam memasukkan pertimbangan-pertimbangan lingkungan alam rancang-bangun proyek-
proyek individual, tapi secara konsep pembangunan menyeluruh, instrumen AMDAL belum
memadai dalam memberikan jalan keluar terhadap dampak lingkungan kumulatif, dampak tidak
langsung, dan dampak lingkungan sinergistik.

Saat ini, pergeseran orientasi kebijakan pengelolaan lingkungan telah mengarah pada intervensi di
tingkat makro dan pada tingkat hulu dari proses pengambilan keputusan pembangunan. Esensinya
adalah bahwa kerjasama antar pelaku pembangunan dalam mewujudkan pembangunan
berkelanjutan akan lebih efektif apabila lebih fokus pada upaya pencapaian pembangunan
berkelanjutan pada tingkat makro/nasional daripada terbatas pada pendekatan di tingkat proyek.

Dalam konteks pergeseran strategi mewujudkan pembangunan berkelanjutan inilah peran KLHS
menjadi penting. Implementasi KLHS juga diharapkan dapat mengantisipasi terjadinya dampak
lingkungan yang bersifat lintas batas (cross boundary environmental effects) dan lintas sektor.
Penanganan dampak lintas wilayah dan lintas sektor ini diharapkan dapat menjadi jalan keluar atas
permasalahan lingkungan hidup yang cenderung makin kompleks dengan hidup telah dijadikan
pertimbangan dalam setiap tingkatan pengambilan keputusan, dan dengan demikian, keberlanjutan
pembangunan dapat lebih terjamin (Annandale dan Bailey, 1999). Dengan kata lain, secara
substansial, KLHS merupakan suatu upaya sistematis dan logis dalam memberikan landasan bagi
terwujudnya pembangunan berkelanjutan melalui proses pengambilan keputusan yang berwawasan
dilaksanakannya, atau lebih tepatnya, distorsi pelaksanaan Undang-Undang No. 34 Tahun 2007
tentang Pemerintahan Daerah.

Dengan demikian, KLHS seharusnya tidak diartikan sebagai instrumen pengelolaan lingkungan yang
semata-mata ditujukan pada komponen-komponen KRP, tapi yang lebih penting adalah sebagai
suatu cara untuk meyakinkan bahwa implikasi pelaksanaan KRP terhadap lingkungan lingkungan.
Seiring dengan semakin berkembangnya KLHS, tujuan KLHS juga mengalami perluasan dibanding
ketika pertama kali diperkenalkan pada dekade 1970an. Pada saat ini teridentifikasi tiga pilihan
tujuan KLHS yang tersusun secara berjenjang (hirarkis), yakni: instrumental, transformatif dan
subtantif (Sadler 2005:20, dan Partidario 2000).

Untuk menghasilkan KLHS yang bersifat transformatif atau substantif tidak cukup hanya
mengandalkan pada penguasaan prosedur dan metode KLHS, namun juga diperlukan kehadiran
good governance yang diindikasikan oleh adanya keterbukaan, transparansi, dan tersedianya aneka
pilihan kebijakan, rencana, atau program. Oleh karena itu, untuk konteks Indonesia, tahun-tahun
pertama aplikasi KLHS agaknya akan banyak didominasi oleh KLHS instrumental, walau tidak tertutup
kemungkinan akan adanya KLHS yang bersifat transformatif atau substantif.
 Manfaat KLHS

KLHS diperlukan sebagai sebuah instrument/tools dalam rangka self assessment untuk melihat
sejauh mans KRP yang diusulkan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah telah
mempertimbangkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan diharapkan KRP yang dihasilkan dan
ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah menjadi lebih baik.

Dalam konteks pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan sebagaimana diamanatkan dalam UU


No. 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional (UU SPPN), KLHS menjadi
kerangka integratif untuk:

· Meningkatkan manfaat pembangunan.

· Menjamin keberlanjutan rencana dan implementasi pembangunan.

· Membantu menangani permasalahan lintas batas dan lintas sektor, baik di tingkat kabupaten,
provinsi maupun antarnegara (jika diperlukan) dan kemudian menjadi acuan dasar bagi proses
penentuan kebijakan, perumusan strategi, dan rancangan program.

· Mengurangi kemungkinan kekeliruan dalam membuat prakiraan/prediksi pada awal proses


perencanaan kebijakan, rencana, atau program pembangunan.

· Memungkinkan antisipasi dini secara lebih efektif terhadap dampak negatif lingkungan di
tingkat proyek pembangunan, karena pertimbangan lingkungan telah dikaji sejak awal tahap
formulasi kebijakan, rencana, atau program pembangunan.

Sedangkan dua faktor utama yang menyebabkan kehadiran KLHS dibutuhkan saat ini: pertama, KLHS
mengatasi kelemahan dan keterbatasan AMDAL, dan kedua, KLHS merupakan instrumen yang lebih
efektif untuk mendorong pembangunan berkelanjutan (Briffetta et al 2003). Manfaat lebih lanjut
yang dapat dipetik dari KLHS adalah (OECD 2006; Fischer 1999; UNEP 2002):

· Merupakan instrumen proaktif dan sarana pendukung pengambilan keputusan;

· Mengidentifikasi dan mempertimbangkan peluang-peluang baru melalui pengkajian secara


sistematis dan cermat atas opsi-opsi pembangunan yang tersedia;
· Mempertimbangkan aspek lingkungan hidup secara lebih sistematis pada jenjang
pengambilan keputusan yang lebih tinggi;

· Mencegah kesalahan investasi dengan mengingatkan para pengambil keputusan akan adanya
peluang pembangunan yang tidak berkelanjutan sejak tahap awal proses pengambilan keputusan;

· Tata pengaturan (governance) yang lebih baik berkat terbangunnya keterlibatan para pihak
(stakeholders) dalam proses pengambilan keputusan melalui proses konsultasi dan partisipasi;

· Melindungi aset-aset sumberdaya alam dan lingkungan hidup guns menjamin berlangsungnya
pembangunan berkelanjutan;

· Memfasilitasi kerjasama lintas batas untuk mencegah konflik, berbagi pemanfaatan


sumberdaya alam, dan menangani masalah kumulatif dampak lingkungan.

KLHS merupakan salah satu instrumen pengelolaan lingkungan hidup yang diterapkan pada
tingkat/tataran hulu. Dengan dilakukannya KLHS pada tataran hulu KRP maka potensi dihasilkannya
KRP yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang pada akhirnya
berimplikasi pada terjadinya kerusakan lingkungan hidup dapat diantisipasi sejak dini. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa manfaat yang diperoleh dengan melakukan KLHS adalah
dihasilkannya KRP yang lebih baik dan sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.

RPMJ

RPJMD ( Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) merupakan dokumen perencanaan


pembangunan daerah untuk jangka periode selama 5 ( lima ) tahunan yang berisi penjabaran dari
visi , misi , dan program kepala daerah dengan berpedoman pada RPJP Daerah serta memperhatikan
RPJM Nasional . ( Pasal 1 Angka 4 UU Nomor 17 Tahun 2007 Tentang ” Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 ” ).

RPJMD menekankan tentang pentingnya menterjemahkan secara arif tentang visi , misi , dan agenda
Kepala Daerah terpilih dalam tujuan , sasaran , strategi dan kebijakan pembangunan yang merespon
kebutuhan dan aspirasi masyarakat serta kesepakatan tentang tolok ukur kinerja untuk mengukur
keberhasilan pembangunan daerah dalam 5 tahun ke depan.

Mengacu pada UU 25/2004, penyusunan RPJMD perlu untuk memenuhi prinsip-prinsip sebagai
berikut:

1.Strategis
RPJMD harus erat kaitannya dengan proses penetapan kearah mana daerah akan diarahkan
pengembangannya dan apa yang hendak dicapai dalam 5 tahun mendatang , bagaimana
mencapainya , dan langkah-langkah strategis apa yang perlu dilakukan untuk mencapai tujuan.

2.Demokratis dan Partisipatif

Penyusunan RPJMD perlu dilaksanakan secara transparan , akuntabel , dan melibatkan masyarakat
( dan seluruh stakeholder ) dalam pengambilan keputusan perencanaan di semua tahapan
perencanaan.

3.Politis

Bahwa penyusunan RPJMD perlu melibatkan proses konsultasi dengan kekuatan politik , terutama
Kepala Daerah Terpilih dengan DPRD.

4.Perencanaan Bottom-up

Aspirasi dan kebutuhan masyarakat perlu untuk diperhatikan dalam penyusunan RPJMD.

5.Perencanaan Top Down

Bahwa proses penyusunan RPJMD perlu adanya sinergi dengan rencana strategis di atasnya yaitu
RPJPD dan RPJM Nasional.

Kerangka Analisis RPJMD

Untuk memperoleh konsistensi dan keterpaduan antara perencanaan jangka menengah ,


perencanaan dan penganggaran tahunan , RPJMD perlu menggunakan kerangka analisis dan
program yang serupa dengan kerangka program RKPD , Renja SKPD , Kebijakan Umum
Anggaran ,dan APBD.Kerangka analisis yang diusulkan untuk RPJMD adalah menggunakan
pembagian fungsi , urusan wajib , dan urusan pilihan pemerintah daerah. Adapun fungsi Pemda
meliputi: pelayanan umum , ketertiban dan keamanan , ekonomi , lingkungan hidup , perumahan
dan fasilitas umum , kesehatan , pariwisata dan budaya , pendidikan , dan perlindungan sosial.

Proses Penyusunan RPJMD

Terdapat 3 alur spesifik dalam penyusunan RPJMD , yaitu alur proses teknokratis strategis , alur
partisipatif , dan alur proses legislasi dan politik. Ke 3 alur proses tersebut menghendaki pendekatan
yang berbeda , namun saling berinteraksi satu sama lain untuk menghasilkan RPJMD yang terpadu.

Alur Proses Strategis

Merupakan dominasi para perencana daerah dan pakar perencanaan daerah. Alur ini ditujukan
untuk menghasilkan informasi ,analisis , proyeksi , alternatif-alternatif tujuan , strategi, kebijakan ,
dan program sesuai kaidah teknis perencanaan yang diharapkan dapat memberikan masukan bagi
alur proses partisipatif.

Alur proses partisipatif

Merupakan alur bagi keterlibatan masyarakatdalam proses perencanaan daerah . Alur ini merupakan
serangkaian public participatory atau participatory planning event untuk menghasilkan konsensus
dan kesepakatan atas tahap-tahap penting dalam pengambilan keputusan perencanaan. Alur ini
merupakan wahana bagi stakholder LSM , CSO , atau CBO untuk memberikan kontribusi yang afektif
pada setiap kesempatan even perencanaan partisipatif , kemudian mengkaji ulang dan
mengevaluasi hasil-hasil proses alur strategis. Alur Legislasi dan Politis merupakan alur proses
konsultasi dengan DPRD untuk menghasilkan Perda RPJMD. Pada alur ini diharapkan DPRD dapat
memberikan kontribusi poemikirannya , review dan evaluasi atas hasil-hasil dari proses alur strategis
maupun proses alur partisipatif.

Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Perubahan Peruntukan Dan Fungsi
Kawasan Hutan Dalam Rangka Review Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi
Sulawesi Tengah

Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) merupakan suatu pendekatan strategi jangka panjang
pengelolaan lingkungan menuju pembangunan berkelanjutan. Pemerintah Sulawesi Tengah sedang
melaksanakan review RTRW sehubungan dengan dinamika pembangunan yang berjalan yang
menyebabkan terjadinya perubahan alokasi ruang. Dari sisi kawasan hutan, Provinsi Sulawesi Tengah
telah mengusulkan perubahan kawasan hutan. Sehubungan dengan hal tersebut, Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah melakukan penelitian terpadu dan merekomendasikan
beberapa perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan di Provinsi Sulawesi Tengah. Oleh
karena itu, penyusunan KLHS sangat diperlukan sebagai upaya memperbaiki rencana perubahan
kawasan hutan agar dapat digunakan sebagai dasar untuk memanfaatkan ruang, sehingga tujuan
pemanfaatan ruang wilayah Provinsi Sulawesi Tengah yang aman, nyaman, produktif dan
berkelanjutan dapat diwujudkan. Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Perubahan
Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dalam Rangka Review Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Provinsi Sulawesi Tengah bermaksud untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan ke dalam kebijakan, rencana, dan/atau program (KRP) penetapan perubahan kawasan
hutan di Provinsi Sulawesi Tengah, terutama pada KRP yang berpotensi menimbulkan dampak
dan/atau risiko lingkungan hidup di Provinsi Sulawesi Tengah.

Kawasan hutan lindung yang melindungi kawasan bawahnya merupakan areal terluas pada kawasan
lindung ini, yaitu mencapai 1.258.493 Ha (62,8%). Hal ini dapat dipahami karena lebih dari 60%
kawasan provinsi Sulawesi Tengah merupakan kawasan dengan ketinggian di atas 1.000 m dpl yang
umumnya merupakan kawasan dengan kemiringan di atas 40% (terjal). Pada kawasan dengan
ketinggian di atas 1.000 m dpl ini juga terdapat kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam dan Cagar
Budaya dengan luas 644.689 Ha atau 32,2% dari total luas kawasan lindung. Sedangkan luas kawasan
lindung lainnya tidak lebih dari 5% yang terdiri dari kawasan mangrove, kawasan lindung geologi dan
kawasan perlindungan setempat.

Hasil Pra Pelingkupan terdiri dari daftar panjang (long list) isu pembangunan berkelanjutan di
Provinsi Sulawesi Tengah yang terdiri dari 58 (lima puluh delapan) isu, yaitu isu yang terkait dengan:
(1) aspek lingkungan sebanyak 33 (tiga puluh tiga) isu; (2) aspek sosial-budaya-kelembagaan
sebanyak 14 (empat belas) isu; dan (3) aspek ekonomi sebanyak 11 (sebelas) isu. Hasil analisis
pelingkupan berupa isu penting dan strategis pembangunan berkelanjutan di Provinsi Sulawesi
Tengah, khususnya yang berkaitan dengan perubahan peruntukan dan fungsi hutan serta penataan
ruang wilayah dianalisis dengan menggunakan Analisis Micmac agar dapat merumuskan isu
pembangunan berkelanjutan prioritas di Provinsi Sulawesi Tengah.
Selain itu, adanya dampak yang terjadi akibat perubahan kawasan hutan terhadap kondisi
lingkungan hidup terdiri dari gerakan tanah, banjir, kinerja jasa ekosistem penyediaan air bersih,
kinerja jasa ekosistem pengaturan tata air, kinerja jasa ekosistem pengaturan iklim, kinerja jasa
ekosistem pengaturan pencegahan banjir, kinerja jasa ekosistem pengaturan pencegahan longsor,
efisiensi pemanfaatan sumber daya alam, tingkat keanekaragaman hayati, serta kemampuan lahan
untuk pengembangan di Kota Palu.

Berdasarkan hasil analisis di atas dapat dirumuskan Mitigasi dan/atau Alternatif serta Rekomendasi
Penyempurnaan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program (KRP) Perubahan Kawasan Hutan di Provinsi
Sulawesi Tengah berdasarkan isu dampak prioritas di kelompokan menjadi, Tipe perubahan
peruntukan dan Tipe perubahan fungsi.

Kegiatan Penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Perubahan Peruntukan Dan Fungsi
Kawasan Hutan Dalam Rangka Review Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi
Tengah telah dilakukan bekerjasama antara Bina Marga dan Penataan Ruang Provinsi Sulawesi
Tengahdan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut Pertanian Bogor (LPPM-
IPB), yang pelaksanaannya oleh Pusat Pengkajian Perencanaan Pembangunan Wilayah (P4W-LPPM-
IPB).

Anda mungkin juga menyukai