Anda di halaman 1dari 44

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tujuan perawatan ortodonti secara umum adalah untuk memperbaiki fungsi


gigi dan rahang serta estetik dento-fasial. Tujuan perawatan ortodonti secara lebih
spesifik dapat didefinisikan untuk menciptakan oklusi (kontak proksimal dan oklusal
gigi) normal dengan jaringan periodontal sehat, artikulasi fungsional, keseimbangan
jaringan lunak sehingga diperoleh estetik dento-fasial yang baik dan menambah rasa
percaya diri (Graber et.al., 1994).
Penampilan wajah yang kurang menarik dapat menimbulkan masalah
psikologis pada seseorang seperti kurangnya rasa percaya diri. Penampilan wajah
yang kurang menarik dapat disebabkan oleh susunan gigi yang tidak teratur dan
hubungan rahang yang kurang serasi. Seiring dengan perkembangan pengetahuan
tentang kecantikan, maka minat masyarakat terhadap perawatan ortodonti menjadi
semakin meningkat. (Mokhtar, 1998).
Prevalensi maloklusi di Indonesia masih sangat tinggi sekitar 80% dari jumlah
penduduk, dan merupakan salah satu masalah kesehatan gigi dan mulut yang cukup
besar, hal ini ditambah dengan tingkat kesadaran perawatan gigi yang masih rendah
dan kebiasaan buruk seperti mengisap ibu jari atau benda-benda lain.
Jarak gigit berlebih dapat dipengaruhi oleh keturanan, mendorong lidah ke
depan, serta bernafas melalui mulut. Kebiasaan buruk menghisap ibu jari dapat
menyebabkan potrusif gigi insisivus permanen rahang atas dan gigi insisivus
permanen rahang bawah linguoversi. Gigitan terbalik dapat disebabkan oleh posisi
gigi anterior rahang atas yang lebih ke lingual dari pada gigi anterior rahang bawah.
Selain itu, kebiasaan buruk seperti bertopang dagu satu sisi, dapat menyebabkan
gigitan terbalik.

1
Penelitian mengenai maloklusi tidak hanya membantu dalam rencana
perawatan ortodontik tetapi juga berguna untuk mengevaluasi pelayanan kesehatan
(Budiyanti, 2013). Jika kita mengetahui penyebab terjadinya maloklusi, maka kita
akan dapat menentukan perawatan dan melakukan pencegahan agar tidak terjadi
keparahan serta memperbaiki oklusi gigi menjadi lebih ideal.

1.2 Rumusan Masalah

Apa sajakah yang menyebabkan maloklusi dan bagaimana terapi


orthodonsinya?

1.3 Tujuan

Mengetahui permasalahan-permasalahan di bidang orthodonsia beserta


penganggulangan (terapi)-nya.

1.4 Manfaat

Menjadi ilmu di bidang penanganan pasien di bidang orthodonsia, khususnya


yang berhubungan dengan maloklusi

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perkembangan Gigi

2.1.1 Periode Bantalan Gusi (Gum Pads)

Pada saat lahir, lengkung gigi rahang atas berbentuk tapal kuda (horseshoe
shape), sedangkan lengkung rahang bawah berbentuk U (U-shape). Membran mukosa
pada rahang atas dan rahang bawah menebal pada bayi yang baru lahir untuk
menghasilkan bantalan gusi (gum pads), terdiri dari prosesus alveolaris yang berisi
gigi sulung berkembang (diciduous teeth). Pembentukan dentin dan enamel dimulai
sekitar 4-6 bulan di utero dan pembentukan mahkota selesai pada saat tahun pertama
setelah lahir.
Pada saat periode ini maksila dan mandibula tidak mempunyai hubungan
yang tetap, biasanya maksila diposisikan lebih ke depan dari mandibula, hal ini yang
menyebabkan bervariasinya tingkat overjet. Pada periode ini tidak dapat digunakan
untuk memperidikasi hubungan rahang selanjutnya.

Gambar 2.1. Maksila (kiri), mandibula (tengah), serta isolasi dan oklusi gum pads
(kanan). Prominent lateral sulci (LS) terdapat pada kedua lengkung. A, C = lebar
lengkung eksternal ; B, D = lebar lengkung internal ; E, F = panjang lengkung
anterior ; G = overjet ; H hubungan anteroposterior ; I = overbite.
3
2.1.2 Periode Gigi Sulung (Deciduous Dentition)

Tahun pertama setelah bayi lahir, ditandai dengan pertumbuhan rahang pada
arah anteroposterior dan transersal. Hal ini ditandai dengan pada enam bulan pertama
terdapat sutura (jahitan) pada midpalatal maksila dan simpisis mandibula. Setelah itu
perubahan serta perluasan dari prosesus alveolaris. Pertumbuhan ini memastikan
bahwa terdapat ruang yang cukup tersedia dalam rahang untuk pertumbuhan gigi
sulung tanpa berdesakan. Pertumbuhan gigi sulung biasanya dimulai sekitar usia 6
bulan dan lengkap pada usia 2,5 hingga 3 tahun. Urutan erupsi gigi :

1. Insisif sentral mandibula erupsi pertama


2. Selanjutnya diikuti oleh gigi insisif sentral maksila dan insisif lateral maksila
3. Kemudian diikuti oleh insisif lateral rahang bawah
4. Selanjutnya geraham sulung pertama dan kemudian diikuti oleh gigi caninus
5. Kemudian mandibula dan maksila molar kedua erupsi

Gambar 2.2. Gigi sulung (deciduous dentition) lengkap biasanya sekitar usia 3
tahun.

2.1.3 Periode Gigi Campuran (Mixed Dentition)

Pada periode gigi ini, terdapat gigi sulung dan permanen. Gigi permanen
erupsi dalam tiga tahap :

1. Erupsi gigi geraham dan seri pertama


2. Erupsi premolar, caninus, dan geraham kedua
4
3. Erupsi geraham ketiga

Erupsi gigi geraham pertama dan seri biasanya diawali oleh gigi rahang
bawah, kemudian dilanjutkan oleh gigi rahang atas. Gigi permanen mulai erupsi
setelah pembentukan mahkota selesai, biasanya antara 2 dan 5 tahun untuk mencapai
puncak alveolar, 1 sampai 2 tahun untuk mencapai kontak oklusi. Perkembangan akar
biasanya selesai setelah 2 tahun gigi tersebut erupsi.
Pada periode gigi campuran, erupsi molar pertama permanen antara usia 6
tahun. Selanjutnya diikuti oleh erupsi gigi insisif pertama dan kedua permanen antara
usia 7 sampai 8 tahun. Pada mandibula, gigi insisif permanen pertama dapat erupsi
sebelum atau dengan geraham pertama. Pada periode ini perkembangan gigi sangat
penting, karena dapat menetapkan penyelarasan gigi insisif permanen dan oklusi pada
molar.

5
Gambar 2.3. Penetapan oklusi pada gigi insisif dan molar
2.1.4 Periode Gigi Permanen (Permanent Dentition)

Gigi-geligi tidak tetap statis sepanjang hidup, ini sebagai ditunjukkan pada
studi longitudinal individu yang tidak mengalami perawatan ortodontik. Lengkung
gigi pada laki-laki tumbuh lebih besar dan panjang dari pada wanita pada periode
masa remaja. Terlepas dari efek penyakit gigi, yang dapat menyebabkan perybahan
oklusi pada gigi-gigi yang hilang, adanya kehilangan progresif lengkung gigi pada
saat pertambahan usia, terutama pada lengkung gigi bawah perempuan.
Gigi berdesakan pada gigi insisif rahang bawah adalah salah satu masalah
yang paling umum ditemui pada gigi permanen dan keselarasan gigi insisif rahang
bawah adalah salah satu hal yang mungkin relapse setelah perawatan ortodontik. Gigi
berdesakan primer disebabkan oleh perbedaan dimensi gigi dan ukuran rahang,
terutama ditentukan secara genetik. Gigi berdesakan sekunder disebabkan oleh faktor
lingkungan, termasuk kondisi space lokal pada lengkung gigi, posisi dan fungsi pada
lidah, otot-otot pada bibir dan lidah. Gigi berdesakan tersier terjadi selama masa
remaja dan pasca remaja, yang diakibatkan oleh segmen labial yang rendah.

2.2 Maloklusi

2.2.1 Definisi Maloklusi

Maloklusi merupakan penyimpangan letak gigi atau malrelasi lengkung gigi


di luar rentang kewajaran yang dapat diterima. Maloklusi juga bisa merupakan variasi
biologi sebagaimana variasi biologi yang terjadi pada bagian tubuh lainnya
(Rahardjo, 2012). Maloklusi terjadi bila ada kondisi-kondisi seperti posisi gigi adalah
sedemikian rupa sehingga membentuk mekanisme refleks gigi yang menyebabkan
kerusakan pada jaringan lunak mulut, gigi yang berjejal atau tidak teratur yang bisa
merupakan pemicu bagi terjadinya penyakit periodontal, serta posisi gigi-gigi yang
menghalangi bicara (Riyanti et al, 2010).

6
2.2.2 Etiologi Maloklusi
Faktor-faktor etiologi maloklusi diklasifikasikan ke dalam dua golongan besar
yaitu saat prenatal, meliputi faktor herediter dan faktor kongenital yang terdiri dari
kondisi embrio/fetus dan kondisi ibu. Kondisi embrio/fetus terdiri dari gangguan
selama dalam kandungan, gigi hilang, gigi berlebih, dan celah bibir/langit-langit.
Kondisi ibu meliputi penyakit dan nutrisi.prenatal. Pada saat postanal meliputi faktor
intrinsik, faktor lingkungan dan faktor sistemik. Faktor intrinsik berupa gigi sulung
yang tanggal secara prematur, tanggalnya gigi tetap, retensi gigi sulung, erupsi gigi
tetap yang terlambat, restorasi gigi yang tidak baik, dan frenulum labialis yang
abnormal. Faktor sistemik berupa malnutrisi, penyakit sistemik, dan fungsi abnormal
dari kelenjar endokrin. Faktor lingkungan berupa mangisap ibu jari, cara menelan
yang salah, bernapas melalui mulut, dan cara berbicara yang salah (Riyanti et al,
2010).
Salah satu faktor penyebab maloklusi adalah Disharmoni Dentomaksiler
(DDM). Disharmoni dentomaksiler ialah suatu keadaan disproporsi antara besar gigi
dan rahang dalam hal ini lengkung geligi, etiologi disharmoni dentomaksiler adalah
faktor herediter. Karena tidak adanya harmoni antara besar gigi dan lengkung gigi
maka keadaan klinis yang dapat dilihat adalah adanya lengkung geligi dengan
diastema yang menyeluruh pada lengkung geligi bila gigi-geligi kecil dan lengkung
geligi normal, meskipun hal ini jarang dijumpai. Keadaan yang sering dijumpai
adalah gigi-geligi yang besar pada lengkung geligi yang normal atau gigi yang
normal pada lengkung geligi yang kecil sehingga menyebabkan letak gigi berdesakan.
Meskipun pada disharmoni dentomaksiler didapatkan gigi-geligi berdesakan tetapi
tidak semua gigi yang berdesakan disebabkan karena disharmoni dentomaksiler.
Disharmoni dentomaksiler mempunyai tanda-tanda klinis yang khas. Gambaran
maloklusi seperti ini bisa terjadi di rahang atas maupun di rahang bawah (Rahardjo,
2012).

7
2.2.3 Klasifikasi Maloklusi
Klasifikasi maloklusi yang sering digunakan hingga saat ini adalah sistem
Angle. Klasifikasi Angle didasarkan pada hubungan anteroposterior antara rahang
atas dan rahang bawah, dengan gigi molar permanen pertama sebagai kunci oklusi
nya. Pembagian maloklusi berdasarkan klasifikasi Angle yaitu:

a. Maloklusi Angle Kelas I

Maloklusi Angle Kelas I disebut juga Neutroklusi dan ditandai dengan


hubungan anteroposterior yang normal antara rahang atas dan rahang bawah. Tonjol
mesiobukal gigi molar permanen pertama atas terletak pada celah bukal gigi molar
permanen pertama bawah, sedangkan gigi kaninus atas terletak pada ruang antara tepi
distal gigi kaninus bawah dan tepi mesial gigi premolar pertama bawah. Selain itu,
dapat disertai dengan gigi berjejal, rotasi, kehilangan gigi (Kusuma, 2010).

b. Maloklusi Angle Kelas II

Maloklusi Angle Kelas II disebut juga Distoklusi. Ditandai dengan celah


bukal gigi molar permanen pertama bawah yang terletak lebih posterior dari tonjol
mesiobukal gigi molar permanen pertama atas. Kelas II Angle dikelompokkan lagi
dalam 2 golongan, yaitu :
(i) Divisi 1 : hubungan molar distoklusi dan inklinasi gigi-gigi insisivus rahang atas
ke labial (extreme labioversion). Selain itu, maloklusi kelas II divisi 1 juga ditandai
dengan jarak gigit yang besar dan biasanya disertai dengan tinggi gigit yang dalam,
bibir atas hipotonus, bibir bawah bersandar pada bagian palatal dari insisif atas, dan
lengkung maksila yang menyempit (Arsie, 2012).
(ii) Divisi 2 : hubungan molar distoklusi dan gigi insisivus sentral rahang atas dalam
hubungan anteroposterior yang mendekati normal atau sedikit linguoversi, sementara
gigi insisivus lateral bergeser ke labial dan mesial, proklinasi, jarak gigit dan tumpang
gigit kadang-kadang sedikit bertambah (Kusuma, 2010).

8
c. Maloklusi Angle Kelas III

Maloklusi Angle Kelas III ditandai dengan hubungan mesial antara rahang
atas dan rahang bawah. Lengkung gigi rahang bawah terletak dalam hubungan yang
lebih mesial terhadap lengkung gigi rahang atas. Celah bukal gigi molar permanen
pertama bawah terletak lebih anterior dari tonjol mesiobukal gigi molar permanen
pertama atas. Relasi gigi anterior menunjukkan adanya gigitan terbalik (Kusuma,
2010).
Dewey membuat modifikasi dari klasifikasi Angle, yang membagi kelas I
menjadi 5 tipe dan kelas III menjadi 3 tipe (Arsie, 2012)..

Maloklusi Kelas I: relasi lengkung anteroposterior normal dilihat dari relasi molar
pertama permanen (netroklusi).
Tipe 1 : kelas I dengan gigi anterior letaknya berdesakan atau crowded atau gigi C
ektostem.
Tipe 2 : kelas I dengan gigi anterior letaknya labioversi atau protrusi
Tipe 3 : kelas I dengan gigi anterior palatoversi sehingga terjadi gigitan terbalik
( anterior crossbite).
Tipe 4 : kelas I dengan gigi posterior yang crossbite.
Tipe 5 : kelas I dimana terjadi pegeseran gigi molar permanen ke arah mesial
akibat prematur ekstraksi.

Maloklusi Kelas III:


Tipe 1 : oklusi di anterior terjadi edge to edge.
Tipe 2 : insisivus mandibula crowding akibat insisivus maksila yang terletak ke
arah lingual.
Tipe 3 : lengkung maksila kurang berkembang, gigi insisivus crowding sedangkan
lengkung mandibula berkembang normal.

9
2.3 Diagnostik Ortodonti

2.3.1 Analisis Model

a) Bentuk Lengkung Gigi


Model dilihat dari oklusal kemudian diamati bentuk lengkug geligi. Bentuk lengkung
geligi yang normal adalah berbentuk parabola; ada beberapa bentuk lengkung geligi
yang tidak normal misalnya lebar, menyempit didaerah anterior dan lain-lain
(Rahardjo, 2011).
Bentuk lengkung geligi berhubungan dengan bentuk kepala misalnya pasien
dengan bentuk kepala brakisefalik cenderung mempunyai lengkung geligi yang lebar
(Rahardjo, 2011).

Gambar 2.4. Bentuk lengkung geligi rahang atas dan rahang bawah (Proffit, 2007).

b) Diskrepansi pada Model


Diskrepansi pada model adalah perbedaan antara tempat yang tersedia
(available space) dengan tempat yang dibuuhkan (required space). Diskrepansi pada
model merupakan bagian dari diskrepansi total yang terdiri atas: diskrepansi model,
diskrepansi sefalometrik, kedalaman kurva Spee dan pergeseran ke mesial.
Diskrepansi pada model digunakan untuk menentukan macam perawatan pasien
tersebut, apakah termasuk perawatan pencabutan gigi permanen atau tanpa
pencabutan gigi permanen (Rahardjo, 2011).
Untuk mengetahui diskrepansi pada model perlu diketahui tempat yang
tersedia dan tempat yang dibutuhkan. Pegertian tempatyang tersedia/available space
10
adalah tempat di sebelah mesial molar pertama permanen kiri sampai mesial molar
pertama permanen kanan yang akan ditempati gigi-gigi permanen) premoar kedua
kiri sampai premolar kedua kanan) dalam kedudukan/letak yang benar (Rahardjo,
2011). Tempat yang dibutuhkan adalah jumlah lebar mesiodistal gigi-gigi permanen
di sebelah mesial molar pertama permanen kanan (premolar kedua kiri sampai
premolar kedua kanan) (Rahardjo, 2011).

c) Kurva Spee
Kurva Spee merupakan lengkung yang menghubungkan insisal insisivi dengan
bidang oklusal molar terakhir pada rahang bawah. Pada keadaan normal
kedalamannya tidak melebihi 1,5 mm. Pada kurva Spee yang positif (bentuk
kurvanya jelas dan dalam) biasanya didapatkan gigi insisivi yang supra posisi atau
gigi gigi posterior yang infra posisi atau gabungan dari keduanya (Rahardjo, 2011).
Kurva Spee adalah kurva dengan pusat pada suatu titik di tulang lakrimal
(Lakrima) dengan radius pada orang dewasa 65-70 mm. Kurva ini berkontak di empat
lokasi yaitu permukaan anterior kondili, daerah kontak distooklusal molar ketiga,
daerah kontak distooklusal mesiooklusal molar pertama dan tepi insisal (Rahardjo,
2011).

d) Simetri Gigi-gigi
Pemeriksaan ini untuk mengetahui simetri gigi senaa daam jurusan sagital
maupun transversal dengan cara membandingkan letak gigi permanen senama kiri
dan kanan. Berbagai alat bisa digunakan untuk keperluan pemeriksaan ini, misalnya
suatu transparent ruled grid atau simetroskop yang daat dibuat sendiri (Rahardjo,
2011).

2.3.2 Analisis Sefalometri

2.3.2.1 Kegunaan Sefalometri di Bidang Ortodonti (Wayan, 2011)


Sefalometrik adalah ilmu yang mempelajari pengukuran-pengukuran yang
bersifat kuantitatif terhadap bagian-bagian tertentu dari kepala untuk mendapatkan
informasi tentang pola kraniofasial. Manfaat sefalometri radiografik adalah:
11
a) Mempelajari pertumbuhan dan perkembangan kraniofasial. Dengan
membandingkan sefalogram-sefalogram yang diambil dalam interval waktu
yang berbeda, untuk mengetahui arah pertumbuhan dan perkembangan
kraniofasial. Diagnosis atau analisis kelainan kraniofasial. Untuk mengetahui
faktor-faktor penyebab maloklusi (seperti ketidak seimbangan struktur tulang
muka).
b) Mempelajari tipe fasial. 3 relasi rahang dan posisi gigi-gigi berhubungan erat
dengan tipe fasial. Ada 2 hal penting yaitu: (1) posisi maksila dalam arah
antero-posterior terhadap kranium dan (2) relasi mandibula terhadap maksila,
sehingga akan mempengaruhi bentuk profil: cembung, lurus atau cekung.
c) Merencanakan perawatan ortodontik. Analisis dan diagnosis yang didasarkan
pada perhitungan-perhitungan sefalometrik dapat diprakirakan hasil
perawatan ortodontik yang dilakukan.
d) Evaluasi kasus-kasus yang telah dirawat. Dengan membandingkan sefalogram
yang diambil sebelum, sewaktu dan sesudah perawatan ortodontik.
e) Analisis fungsional. Fungsi gerakan mandibula dapat diketahui dengan
membandingkan posisi kondilus pada sefalogram yang dibuat pada waktu
mulut terbuka dan posisi istirahat.

2.3.2.2 Anatomi Landmarks Kraniofasial (English et al, 2009; Samir, 2001;


Pambudi, 2009)
Titik-titik pada struktur anatomi menggambarkan struktur anatomi yang
sebenarnya dari tengkorak. Pengetahuan tentang anatomi kraniofasial diperlukan
untuk menginterpretasikan sefalometri. Struktur skeletal mudah diidentifikasi pada
anak-anak daripada orang dewasa karena ketebalan tulang pada orang dewasa tidak
jelas atau tidak detail. Landmarks pada sefalometri menggambarkan titik anatomi
yang digunakan ketika mengukur sefalogram untuk melakukan analisis. Landmarks
pada sefalometri terbagi dua yaitu pada jaringan keras dan jaringan lunak.

12
A. Titik-titik (Landmarks) pada Jaringan Keras.
Titik-titik Midsagital
a) Sella (S): terletak di tengah sela tursika atau fossa pituitary.
b) Nasion (N): titik paling depan pada sutura frontonasalis pada bidang
midsagital.
c) Spina Nasalis Anterior (SNA): titik paling anterior di bagian tulang yang
tajam pada prosesus maksila di basis nasal.
d) Spina Nasalis Posterior (SNP): titik paling posterior dari palatum durum.
e) Titik A (Subspinale): titik paling dalam pada kurvatura alveolaris rahang atas,
secara teoritis merupakan batas tulang basal maksila dan tulang alveolaris.
f) Titik B (Supramentale): titik paling dalam pada kurvatura alveolaris rahang
bawah, secara teori merupakan batas tulang basal mandibula dan tulang
alveolaris.
g) Pogonion (Pog): titik paling anterior dari tulang dagu. h. Menton (Me) : titik
paling inferior dari simpisis mandibula atau dagu.
h) Gnation (Gn): titik tengah antara pogonion dan menton atau titik paling depan
dan paling rendah dari simpisis mandibula.

Titik-titik Bilateral
a) Orbital (Or): titik paling inferior pada tepi orbit atau tepi bawah rongga mata.
b) Porion (Po): titik paling superior dari external auditory meatus.
c) Artikulare (Ar): titik perpotongan antara tepi bawah dari basis kranial dan
permukaan posterior kondilus mandibula.
d) Gonion (Go): titik tengah kontur yang menghubungkan ramus dan korpus
mandibula.
e) Pterygomaxiliary fissure (PTM)s: permukaan posterior dari tuber maksila
yang bentuknya menyerupai tetes air mata.

13
B. Titik-titik (Landmarks) pada Jaringan lunak.
Titik-titik pada jaringan lunak diuraikan sebagai berikut:
a) Jaringan lunak glabela (G´): titik paling menonjol dari bidang sagital tulang
frontal.
b) Pronasal (Pn): titik paling menonjol dari ujung hidung.
c) Subnasal (Sn): titik septum nasal berbatasan dengan bibir atas.
d) Labrale superius (Ls): titik pada ujung tepi bibir atas.
e) Labrale inferius (Li): titik pada ujung tepi bibir bawah.
f) Jaringan lunak pogonion (Pog´): titik paling menonjol pada kontur jaringan
lunak dagu.
g) Jaringan lunak menton (Me´): titik paling inferior pada jaringan lunak dagu.

2.3.2.3 Interpretasi Sefalometri


Foto sefalometri (sefalogram) merupakan rekam ortodonti yang sangat
berguna untuk menentukan letak kelainan skeletal, letak gigi, profil dan lain-lain.
Meskipun demikian penentuan diagnosis maloklusi tidak dapat hanya didasarkan
pada analisis sefalometri saja. Kombinasi semua analisis akan dapat memberikan
gambaran menyeluruh tentang keadaan pasien (Rahardjo, 2011).
Untuk mengidentifikasi titik-titik pada sefalogram sebaiknya dikenali lebih
dahulu titik-titik pada tengkorak kering. Hal ini sangat membantu mengidentifikasi
titik-titik pada sefalogram dengan benar (Rahardjo, 2011).

2.3.3 Analisis Foto Panoramik


Radiografi dental panoramik merupakan salah satu teknik radiografi dalam
kedokteran gigi yakni teknik ekstraoral. Teknik tersebut telah menjadi teknik
radiografi yang populer dalam kedokteran gigi. Alasannya antara lain:

1. Semua gigi dan strukturnya dapat terlihat dalam satu film.


2. Teknik tersebut dinilai cukup sederhana.

Adapun radiografi dental panoramik digunakan sebagai berikut:

14
1. Sebagai bagian dalam penilaian ortodonti di mana terdapat adanya kebutuhan
klinis untuk mengetahui keadaan dan posisi gigi.
2. Untuk memperkirakan adanya luka pada gigi yang ukurannya terlalu besar
untuk ditampilkan lewat film intraoral.
3. Menjadi pertimbangan apakah gigi yang memiliki masalah harus dicabut atau
tidak

2.4. Peranti Ortodonti Lepasan

2.4.1. Pengertian Piranti Ortdonti Lepasan

Piranti ortodonti lepasan adalah piranti ortodonti yang dapat dipasang dan
dilepas oleh pasien yang terdiri dari lempeng akrilik dan kawat. Peranti ortodonti
lepasan digunakan sebagai perawatan utama kasus geligi pergantian dan awal
pergantian gigi permanen pada pasien usia 6-16 tahun (Isaacson et al, 2002).
Peranti lepasan dapat memberikan hasil yang maksimal apabila dipakai terus
menerus. Keberhasilan perawatan dengan peranti lepasan tidak hanya tergantung
pada kemauan pasien dan kerjasamanya, akan tetapi juga kepada kemampuan
operator untuk mendesain dan membuat peranti yang dapat ditolerir pasien. Oleh
karena hal-hal tersebut diatas sehingga perlu diperhatikan bahwa peranti ortodonti
lepasan tidak hanya mudah dilepas akan tetapi juga mudah diinsersi, terletak stabil
dalam mulut, nyaman dipakai sehingga tidak mengganggu fungsi bicara, dan desain
serderhana sehingga diharapkan pasien mau memakai secara terus-menerus dan
didapatkan perawatan yang menghasilkan kemajuan yang bagus. Pada penggunaan
piranti ortodonti lepasan ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan antara lain
pemilihan kasus rencana perawatan, desain piranti, dan penatalaksanaan perawatan.
Piranti ortodonti lepasan sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan kebersihan
mulut buruk atau pasien tidak kooperatif. Selain itu peranti ortodonti lepasan
sebaiknya tidak digunakan pada kasus maloklusi yang kompleks (Pambudi, 2009).

15
2.4.2. Indikasi Piranti Ortodonti Lepasan

Indikasi pemakaian piranti ortodonti lepasan antara lain yaitu pasien


kooperatif dengan kebersihan mulut dan geligi dalam kondisi yang baik, maloklusi
dengan pola skelet kelas 1 dengan disertai letak kelainan gigi yang berupa jarak gigit
besar, gigitan terbalik karena kesalahan inklinasim malposisi gigi tetapi akar gigi
terletak pada tempat yang benar, kelainan jurusan buko lingual. Pencabutan yang
terencana hendaknya memberi kesempatan gigi untuk bergerak tipping dalam koreksi
maloklusi dan hendaknya hanya menyisakan sedikit diastema atau bahkan tidak
menyisakan diastema sama sekali, oleh karena piranti ortodonti lepasan tidak efisinen
untuk menutup diastema sisa pencabutan (Pambudi, 2009).

2.4.3. Kontraindikasi piranti ortodonti lepasan

Kontraindikasi piranti ortodonti lepasan antara lain yaitu: (Lohakare,2008)

1. Jika terdapat diskrepansi skeletal


2. Kebutuhan untuk korelasi perawatan di kedua rahang atas dan rahang bawah.
3. Adanya malposisi apikal, rotasi parah atau multiple
4. Adanya bodily movement
5. Adanya diskrepansi vertikal seperti overbite besar, open bite, atau tingginya
diskrepansi diantara gigi
6. Adanya gigi berdesakan atau space yang parah.
7. Tulang yang sangat padat dan pergerakan gigi memerlukan banyak waktu

2.4.4. Komponen piranti ortondonti lepasan

Komponen utama peranti lepasan adalah: Komponen aktif. komponen pasif,


Lempeng akrilik, penjangkaran (Rahardjo, 2008).

1. Komponen aktif

a. Pegas palatal

16
Pegas palatal ini digunakan untuk menggerakkan gigi arah mesio-distal dan
mendorong gigi kelabial atau bukal. Biasanya pegas ini merupakan pilihan untuk
menggerakkan gigi arah mesio distal, karena dapat dilindungi atau tertahan dengan
plat sehingga mengurangi seminimal mungkin kerusakan (Isaacson et al.,2002)

Gambar 2.5 Pegas kantilever untuk mendorong gigi insisivi sentral ke labial

b. Pegas kantilever tunggal ( Pegas jari / finger spring)


Untuk menggerakkan gigi ke labial atau mesio – distal. Diameter 0,5 mm.
Bisa 0,6 mm tetapi aktivasi lebih sedikit (defleksi 50 % akan memberikan daya
yang sama. Koil dibuat dekat dengan bagian yang akan tertanam pada krilik, utnuk
menambah panjang kawat dan menambah kelenturan kawat. Arah pergerakan gigi
ditentukan oleh kontak antara pegas dan gigi.
Untuk resiliensi maksimal : koil terletak berlawanan arah dengan arah
pergerakan gigi sehingga bila gigi bergerak tidak terjadi putaran balik. Untuk
melindungi pegas, dilakukan pembuatan: (Isaacson et al., 2002).
 Box in
 Diberi guard

17
Gambar 2.6. Kantilever tunggal untuk menggerakkan kaninus kiri rahang atas ke
distal.

Gambar 2.7. Cara aktivasi.

c. Pegas kantilever ganda


Pegas kantilever ganda untuk menggerakkan insisivi sentral rahang atas kiri
ke labial. Diameter 0,5 mm. Badan pegas sepanjang mungkin agar tidak kaku. Harus
tegak lurus permukaan palatal gigi
Aktivasi : pada tangan pegas (Isaacson et al.,2002)
 Pertama, dekat koil yang jauh dari gigi
 Kedua, ujung yang mengenai gigi

Gambar 2.8. Pegas kantilever ganda dengan penampang kawat 0,5 mm.

d. Pegas coffin
Untuk ekspansi transversal

18
Gambar 2.9. Pegas coffin.

e. Pegas bukal
Self supported untuk retraksi kaninus yang terletak di bukal, eksostem.
Penampang 0,7mm. Aktivasi 1 mm. Cara aktivasi: koil ditahan kemudian kaki depan
pegas di tarik ke distal, perhatikan sewaktu insersi posisi ujung pegas tetap menempel
pada labial gigi kaninus. Pegas bukal dengan penyangga / supported buccal retractor.
Penampang 0,5mm dengan penyangga tabung metal. Aktivasi 2-3 mm. Cara
aktivasi: sama seperti pegas bukal self supported. Fleksibilitas 2x lebih besar daripada
pegas bukal self supported (Isaacson et al.,2002).

Gambar 2.10. Cara aktivasi bukal untuk menggerakkan kaninus rahang atas
ke distal.

19
f. Roberts’ retractor

Gambar 2.11. Roberts’ retractor kawat penampang 0,5mm disertai tabung


berpenampang dalam 0,5 mm.

g. Busur labial dengan lup U

Gambar 2.12. Busur labial dengan lup “U” (0,7 mm) dengan stop yang pasif
dimensial kaninus.

2. Komponen pasif

Alat retensi berupa wire, dalam bentuk cangkolan dan busur. Retensi yang
baik penting untuk efisiensi dan perlu hati-hati dalam merencanakan. Posisi dari
komponen retensi penting dan harus direncanakan tiap alat per individu,
memperhitungkan kekuatan yang akan menghasilkan perpindahan. Jika retensi bagus
akan mengurangi tekanan yang minim yang akan menyebabkan perpindahan alat.
(Isaacson et al., 2002).
Ketika piranti lepasan pertama kali digunakan, klamer merupakan problem
khusus. klamer Arrowhead merupakan salah satu desain yang paling sukses namun
susah untuk menyesuaikan. Penjangkaran arrowhead pada embrasure diantara gigi

20
namun, hal ini dapat membuat retensi yang baik, mudah untuk merusak papila
gingiva dan gigi yang berdekatan dapat dipisahkan karena aksi dari klamer. Sekarang
desain adam dikenal dengan sebutan klamer Adams’ sebagai kemajuan besar dalam
alat piranti lepasan (Isaacson et al., 2002).

Gambar 2.13. Klamer Adams di posterior

Gambar 2.14. Klamer Adams di kaninus

Gambar 2.15. Modifikasi Adams’ double

3. Penjangkaran

Penjangkaran adalah daya yang menahan reaksi kekuatan yang diberikan


oleh komponen-komponen aktif piranti ortodonti lepasan. Penjangkaran harus
memiliki kekuatan yang minimal sama atau lebih besar dengan kekuatan komponen-
komponen aktif piranti namun memiliki arah yang berlawanan. Kekuatan ini
disebarkan ke semua gigi yang berkontak langsung dengan piranti ortodonti lepasan.
21
Apabila terjadi kehilangan penjangkaran, maka akan terjadi perubahan inklinasi gigi
posterior dan juga pergerakan gigi anterior yang tidak diinginkan (Sjamsudin et al.,
2015).
Ada dua macam penjangkaran yang dilakuakn dalam perawatan ortodonti,
yaitu penjangkaran intra oral dan penjangkaran ekstra oral. Pada penjangkaran intra
oral, penjangkaran didapatkan dari gigi-gigi yang tidak digerakkan dengan piranti
lepasan, yaitu melalui cangkolan dan kontak gigi dengan lempeng akrilik. Sedangkan
pada pengjangkaran ekstra oral, penjangkaran didapatkan dari luar rongga mulut
biasanya ,menggunakan headgear yang diletakkan dikepala atau di leher dan
dihubungkan dengan piranti ortodonti yang dipakai dalam mulut (Sjamsudin et al.,
2015)

22
BAB 3

PASIEN KASUS ORTODONTI

1. PENGUMPULAN DATA PASIEN


1.1. Nama pasien: Nikeisa Aulia
1.2. Tanggal lahir dan umur: 7 tahun
1.3. Jenis kelamin: Perempuan
1.4. Anamnesa

Kondisi gigi-geligi

Pasien datang ingin merawatkan gigi depan rahang atas dan bawah yang dirasakan
tidak teratur dan terlalu maju sehingga mengganggu penampilan. Dari hasil
pemeriksaan pendahuluan untuk mencocokkan apa yang dikeluhkan pasien dengan
keadaan yang sesungguhnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa keluhan utama pasien
adalah merupakan kasus crowding / gigi berdesakan, protrusif / gigi tonggos,
melibatkan gigi-gigi depan pada rahang atas dan bawah, dirasa mengganggu estetik,
serta keadaan gigi dalam fase geligi pergantian. Terdapat karies pada gigi 75 dan 85.
Riwayat penyakit dan riwayat keluarga tidak diketahui. Kebiasaan buruk pasien juga
tidak diketahui, namun dari keadaan gigi anterior rahang atas yg protrusif, diduga
pasien memiliki kebiasaan buruk mengisap ibu jari

1.5. Analisa foto profil:

1.5.1. Samping

Pemeriksaan foto profil wajah pasien dari samping dapat menunjukkan kecembungan
atau kecekungan wajah. Tahapan untuk mengukur sudut wajah yaitu pertama-tama
dibuat garis dari pangkal hidung ke dasar bibir atas, kemudian dari dasar bibir atas ke
dagu. Pada foto pasien di dapatkan garis pertama lurus kemudian garis kedua

23
membentuk sudut, hal ini dikarenakan dagu terletak lebih posterior, sehingga tipe
profil wajah pasien yaitu cembung / convex.

1.5.2. Depan

Pemeriksaan foto profil dari depan dapat melihat adanya asimetri wajah dan tonus
bibir. Pada pasien terlihat adanya kontraksi otot saat mendapatkan anterior seal,
dengan ciri-ciri adanya kerutan pada dagu saat didapatkan anterior seal. Hal ini
menunjukkan bahwa pasien memiliki tonus bibir yang tidak kompeten.

24
1.6. Analisa model:

1. Bentuk lengkung gigi


Rahang Atas : Normal / tidak normal : normal ( Parabola)
Rahang Bawah : Normal / tidak normal : normal ( Parabola)
2. Jumlah lebar mesiodistal 4 insisive Rahang Atas :
9 + 9 + 8 + 8 = 34 mm ( normal / tidak normal )
3. Diskrepansi pada model ( Model Discrepancy )
Temapat yang tersedia : Rahang Atas  75 mm
Rahang Bawah  69 mm
Tempat yang dibutuhkan : Rahang Atas  82,4 mm
Rahang Bawah  74 mm
Jumlah kekurangan / kelebihan tempat : Rahang Atas  7,4 mm
Rahang Bawah  5 mm
4. Kurva Spee : datar / positif / negative : 3 mm
25
5. Diastema: Rahang Atas, regio : -
Rahang Bawah, regio : -
6. Simetri gigi-gigi :
Rahang atas : 12 mesioversi, 16 mesioversi
Rahang Bawah: 42 Mesioversi, 36 Mesioversi
7. Gigi yang terletak salah :
Rahang Atas: 12, 22 Palatoversi, 11,21 Labioversi, 23 Rotasi
Rahang Bawah: 32, 42 Linguoversi
8. Pergeseran garis median lengkung geligi terhadap median muka
Ada pergeseran garis median
Rahang Atas: - mm, ke kanan/ ke kiri
Rahang Bawah: 1 mm, ke kanan/ ke kiri
9. Kelainan Kelompok Gigi
9.1 Letak Berdesakan Anterior : RA / RB
Posterior : RA, Kanan/Kiri
RB, Kanan/Kiri
9.2 Supraposisi: RA, regio : -
RB, regio : -
9.3 Infraposisi :RA, regio : -
RB, regio : -
9.4 Retrusi : RA/RB
9.5 Protrusi : RA/RB
10. Relasi Geligi Posterior RA terhadap RB
10.1 Jurusan Sagital
Kaninus Kanan Kaninus Kiri
Neutroklusi
Distoklusi
Mesioklusi
Gigitan Tonjol
Tidak Ada Relasi   
26
Molar Kanan Molar Kiri
Neutroklusi
Distoklusi
Mesioklusi
Gigitan Tonjol  
Tidak Ada Relasi

10.2 Jurusan Transversal :


 Normal (gigitan fissure luar RA)
o Gigitan tonjol, region :
o Gigitan fissure dalam RA, regio:
o Gigitan silang total luar RA/RB, regio:
o Gigitan silang total luar RA/RB, regio:
10.3 Jurusan vertikal :
 Normal
o Gigitan terbuka , region : - mm
11. Relasi geligi anterior Rahang Atas dan Rahang Bawah
7.1 Jurusan sagittal
o Jarak gigt : 9 mm ( normal / bertambah / berkurang )
o Gigitan tonjol, regio : 2 dan 3
o Gigitan terbalik , region : 1 dan 4
7.2 Jurusan vertical
o Tumpang gigit : 1 mm ( normal / bertambah / berkurang )
o Gigitan tonjol, regio : -
o Gigitan dalam, regio : -
o Gigitan terbuka, regio :

27
1.7. Analisa panoramik
1. Benih gigi
RA : 17, 15, 14, 13, 23, 24, 25, 27
RB : 37, 35, 34, 33, 43, 44, 45, 47
2. Urutan erupsi
RA : 24, 14, 25, 15, 23, 13, 17, 27
RB : 33, 43, 34, 44, 35, 45, 37, 47
3. Dentoalveolar space regio anterior : -
Dentoalveolar space regio posterior: -
4. Angulasi gigi benih : 23 distoversi
Angulasi gigi permanen: normal
1.7. Analisa sefalometri:

SAGITAL PENGUKURAN
SEFALOMETRIK

Sdt SNA 81o


Sdt SNB 72o
Sdt ANB 9o
Sdt Na-APog 23o
AO-BO 29o

VERTIKAL PENGUKURAN
SEFALOMETRIK
SN-MeGo 47o
Max PI – MeGo 41o
Mand PI – FH 43o
MeGo – OcP 18o
NSGn (Y-axis) 77o
NS-Gn
Sgo : Nme x 100 60mm
NSpP : SpPMe x 100 115mm

28
DENTAL PENGUKURAN
SEFALOMETRIK
UI – Nax PI 111o
Interinsisal < 118o
Npog - UI 35o
Npog – UI (mm) 20mm
N-Pog-LI 26o
N-Pog-LI (mm) 11mm

JARINGAN LUNAK KETERANGAN

Facial Countour Angle 9o (kelas I)


Naso Labial Angle 108o
Rickett’s Lip Analysis Protraksi
Steiner’s Analysis Protraksi

PENGUKURAN PENGUKURAN
SEFALOMETRIK
IMPA 89o
(Incisor Mandibula Plane Angle)
FMA 43o
(Frankfurt Mandibular Angle)
FMIA 48o
(Frankfur Mandibular Incisive Angle)

2. DIAGNOSIS MALOKLUSI
1. Maloklusi Klas I Angle dengan berdesakan anterior.
2. Proklinasi pada gigi 11 dan 21.
3. Gigitan terbalik pada gigi 12 dan gigitan tonjol pada gigi 22.
4. Pergeseran garis median pada rahang bawah ke arah kiri.

29
3. ETIOLOGI MALOKLUSI
3.1. Etiologi dari gigi berdesakan atau DDM adalah herediter
3.2. Etiologi dari proklinasi gigi 11 21 adalah kebiasaan buruk seperti menghisap
ibu jari
3.3. Etiologi dari gigitan terbalik dan gigitan tonjol adalah terjadinya persistensi
pada gigi 52 dan 62
3.4. Etiologi dari pergeseran garis median pada rahang bawah kiri adalah tanggal
prematur pada gigi 72

4. RENCANA PERAWATAN

Rencana perawatan pada kasus maloklusi klas I Angle dengan berdesakan


anterior, proklinasi gigi 11 dan 12, gigitan terbalik di 12 dan gigitan tonjol di 22, serta
pergeseran garis median pada rahang bawah 1 mm ke kiri, yaitu :

a. Koreksi gigi berdesakan anterior


Untuk melakukan koreksi gigi berdesakan anterior sebelumnya
dilakukan pencabutan agar didapatkan ruang yang cukup bagi gigi-gigi yang
akan dikoreksi. Pada kasus ini, dilakukan pencabutan gigi kaninus sulung
untuk menyediakan tempat agar dapat mengoreksi gigi berdesakan anterior.

b. Koreksi proklinasi gigi 11 dan 21


Pada kasus ini, didapatkan jarak gigit yang cukur besar untuk koreksi
proklinasi/protrusi gigi 11 dan 21 dapat digunakan busur labial dengan loop
U. Busur labial terbuat dari kawat berdiameter 0,7 mm yang fungsinya untuk
meretraksi gigi-gigi anterior ke arah palatal/lingual, mempertahankan
lengkung gigi dari arah labial, dan sebagai retensi serta stabilitas dari peranti
itu sendiri.
Cara aktivasi busur adalah digunakan tang pembentuk lup untuk
mengaktifkan busur labial. Lup dipegang dengan tang, tekuk kaki depan lup
30
atau sempitkan lup dengan tang. Dengan melakukan ini kaki horizontal busur
akan bergerak ke arah insisal. Kaki busur perlu dibetulkan dengan menahan
lup dan menempatkan kaki horizontal busur di tengah gigi.

b. Koreksi gigitan terbalik gigi 12


Untuk koreksi gigitan terbalik pada gigi 12, komponen yang digunakan
berupa pegas kantilever ganda (pegas Z). Diameter kawat yang digunakan 0,5
mm. Lengan pegas harus selebar mesiodistal gigi 12 yang akan digerakkan.
Lengan pegas yang kontak dengan gigi terletak di tengah-tengah jarak
serviko-insisal gigi 12. Pegas haus tegak lurus dengan permukaan palatal gigi
12. Aktivasi dilakukan pada lengan pegas, mula-mula lengan pegas yang
dekat dengan koil yang jauh dari gigi, kemudian lengan pegas yang mengenai
gigi.

c. Koreksi gigitan tonjol di regio 2


Untuk mengoreksi gigitan tonjol pada gigi 22, diperlukan pegas
kantilever ganda (pegas Z) dengan diamter 0,5 mm untuk menggerakkan gigi
ke arah bukal. Lengan pegas harus selebar mesiodistal gigi 22. Lengan pegas
yang kontak dengan gigi terletak di tengah-tengah jarang serviko-insisal gigi
22 dan pegas harus tegak lurus pada permukaan palatal gigi. Aktivasi
dilakukan pada lengan pegas, mula-mula lengan pegas yang dekat dengan
koil yang jauh dari gigi, kemudian lengan pegas yang mengenai gigi.

d. Fase evaluasi
Pada kasus ini, dilakukan pencabutan caninus sulung untuk mengoreksi
berdesakan anterior. Apabila caninus permanen akan tumbuh dan kekurangan
tempat maka diperlukan pro pencabutan gigi premolar pertama.

e. Fase retensi
31
Fungsi dari retensi pada kasus ini yaitu untuk mempertahankan dalam
satu garis atau mempertahankan gigi yang baru digerakkan dari posisinya
untuk dapat menstabilisasi koreksinya dan menahan gigi geligi pada posisi
yang sudah dicapai dari segi estetik maupun dari segi fungsional.
Piranti yang sering dipakai yaitu Hawley retainer. Piranti ini merupakan alat
pasif, yang terdiri dari klamer adams pada gigi molar dan busur labial yang
terbntang dari gigi caninus ke caninus dengan loop U yang dapat disesuaikan.

32
5. DESAIN PERANTI ORTODONTI LEPASAN (POL)

33
BAB 4

PEMBAHASAN

Dari kasus yang didapat, setelah dilakukan pemeriksaan didapatkan diagnosa


bahwa pasien mengalami maloklusi menurut klasifikasi Angle Kelas 1 disertai gigi
yang berdesakan anterior, proklinasi gigi 11 dan 21, gigitan terbalik satu gigi pada
gigi 12, gigitan tonjol pada 22 dan pergeseran garis median rahang bawah bergeser ke
kiri ± 1 mm. Ciri-ciri dari maloklusi ini adalah didapatkannya relasi molar
neutroklusi, yaitu relasi dimana cusp mesiobukal molar pertama rahang atas kontak
dengan lekukan bukal (buccal groove) molar pertama rahang bawah dan tonjol
mesiopalatal molar pertama rahang atas terletak pada fossa sentral molar pertama
rahang bawah, relasi molar pertama kanan dan kiri merupakan neutroklusi. Gigi
berdesakan, proklinasi gigi, gigitan terbalik, gigitan tonjol, dan pergeseran garis
median dapat dilihat dan dianalisa dari pemeriksaan klinis, model studi, model
sefalometri, dan foto panoramik. Dari hasil foto panoramik nampak tidak ada dento
alveolar space di region anterior dan posterior mengakibatkan adanya gigi
berdesakan. Dari hasil analisa model ditemukan bentuk lengkung gigi normal pada
RA maupun RB yaitu berbentuk parabola. Jumlah lebar mesio distal insisif RA
normal yaitu 34 mm namun pada diskrepansi model terjadi kekurangan tempat
sebesar 7,4 mm pada RA dan kekurangan tempat 5 mm pada RB. Pemeriksaan foto
profil dari depan melihat adanya tonus bibir dan asimetri wajah. Pada pasien terlihat
adanya kontraksi otot saat mendapatkan anterior seal, dengan ciri-ciri adanya kerutan
pada dagu saat didapatkan anterior seal. Hal ini menunjukkan bahwa pasien memiliki
tonus bibir yang tidak kompeten sehingga mempunyai tipe profil yang cembung
akibat dari proklinasi dan jarak gigit yang besar dari kedua insisif sentral.
Pada kasus ini juga dilakukan evaluasi sefalometri lateral dari profil wajah
pasien. Sefalometri lateral penting bagi dokter gigi sebagai penunjang diagnosis
karena dapat mengetahui pola skeletal, gigi, dan profil jaringan lunak sekaligus dalam
satu pemeriksaan sefalometri. Letak maksila dan mandibula dapat dilihat pada sudut
SNA, SNB, dan ANB.
34
Sudut SNA adalah sudut yang dibentuk oleh garis SN dan titik A. Sudut ini
menyatakan posisi maksila yang diwakili titik A terhadap basis kranial (SN). Besar
sudut SNA untuk populasi surabaya reratanya adalah 84. Sedangkan besar sudut
rerata SNA untuk ras Kaukasoid adalah 82. Normalnya SNA adalah 82 ±2 (80-84).
Besar sudut SNA dipengaruhi letak titik A dalam arah sagital apakah lebih anterior
atau posterior sedangkan garis SN bisa dianggap stabil letaknya. Bila sudut SNA
lebih besar dari normal, berarti maksila terletak lebih ke anterior (kelas 2 skeletal)
demikian juga sebaliknya. Sudut SNB adalah sudut yang dibentuk oleh garis SN dan
titik B. Rata– rata untuk  populasi surabaya sebesar 81, sedangkan rata-rata untuk ras
Kaukasoid adalah 80. Pada pasien diketahui bahwa sudut SNA sebesar 81°, maka
posisi maksila termasuk normal terhadap basis kranial.
Sudut SNB menyatakan posisi mandibula terhadap basis kranial. Sudut
dipengaruhi letak titik B. Bila titik B lebih ke anterior yang berarti mandibula lebih ke
anterior sudut ini bertambah besar. Bila letak mandibula lebih posterior maka sudut
ini lebih kecil daripada normal. Pada kasus ini didapatkan sudut SNB sebesar 72°,
yang mana kurang dari sudut normal. Hal ini menginterpretasikan bahwa letak rahang
mandibula pasien lebih ke arah posterior, sehingga mandibula diindikasikan
mengalami retrognasi. Sedangkan pada bidang vertikal, diketahui sudut NSGn (Y-
Axis) sebesar 77°, dengan rerata sudut populasi Surabaya 65°. Dari pengukuran ini
dapat diindikasikan bahwa terdapat kemungkinan pertumbuhan kelas II.
Analisis geometri dari Tweed merupakan pengukuran interrelasi tiga sudut
sefalometrik yakni Frankfort-mandibula plane angle (FMA), Frankfort-mandibula
incisor angle (FMIA), dan incisor-mandibula plane angle (IMPA). Sudut FMA pasien
diketahui sebesar 43° dengan rerata kaukasoid sebesar 22-28° yang mana
mengartikan bahwa ada pertumbuhan wajah bagian bawah ke arah vertikal. Sudut
FMIA pasien adalah 48° dengan rerata kaukasoid 66-68,8°. Sudut ini
menggambarkan pola skeletal yakni hubungan insisif mandibula terhadap mandibula.
Sudut FMIA pasien yang kurang dari normal menunjukkan sudut mandibula yang
tinggi dan insisif mandibula tegak. Sudut IMPA pasien ditemukan sebesar 89° dengan
rerata 87° yang berrti posisi insisif mandibula adalah tegak tanpa protrusi atau
35
retrusi. Analisa jaringan lunak (facial countour angle) sebesar 9° yang
mengindikasikan maloklusi angle kelas 1. Dari analisis sefalometri kami
menyimpulkan bahwa diagnosa skeletal kasus ini mengarah pada maloklusi namun
pada pemeriksaan klinis mengarah pada maloklusi dental kelas I.
Dari diagnosa tersebut, kemungkinan etiologi maloklusi ini dapat dari faktor
herediter atau umum dan lokal. Faktor herediter biasanya adalah DDM atau
Disharmon Dento Maksiler dimana ketidak sesuaian atau disproporsi antara besar
lengkung rahang dan besar gigi geligi. Pada kasus yang didapatkan, pasien
mempunyai rahang yang kecil dengan ukuran gigi yang normal sehingga didapatkan
gigi yang berdesakan. Faktor lokal biasanya didapatkan dari kebiasaan buruk pasien.
Pada pasien tersebut didapatkan insisif sentral rahang atas proklinasi sehingga
terdapat jarak gigit yang besar dan kemungkinan etiologi tersebut yaitu faktor
kebiasaan yang buruk menghisap ibu jari hal ini dikarenakan proklinasi tersebut
hanya mencakup dua gigi saja, sedangkan pada gigi 12 ditemukan dalam keadaan
gigitan terbalik dan gigitan tonjol satu gigi pada gigi 22 kemungkinan hal ini
disebabkan karena terjadinya persistensi pada gigi 52 dan 62 yang dapat
mengakibatkan tidak adanya ruang untuk gigi permanen maka gigi 12 dan gigi 22
erupsi ke arah palatal. Pada rahang bawah adanya pergeseran garis median ke arah
kiri dikarenakan adanya tanggal prematur pada gigi 72. Kemungkinan etiologi
lainnya adalah karies aproksimal pada gigi 75 sehingga dapat mempengaruhi
pergerakan gigi 36.
Rencana perawatan pada kasus maloklusi klas I Angle dengan berdesakan
anterior, proklinasi gigi 11 dan 12, gigitan terbalik di 12 dan gigitan tonjol di 22, serta
pergeseran garis median pada rahang bawah 1 mm ke kiri, yaitu koreksi gigi
berdesakan anterior, koreksi proklinasi gigi 11 dan 21, koreksi gigitan terbalik di
regio 1, koreksi gigitan tonjol di regio 2, dan koreksi pergeseran garis median di
rahang bawah. Setelah perawatan-perawatan tersebut, perlu diadakannya fase
evaluasi dan fase retensi.
Untuk melakukan koreksi gigi berdesakan anterior sebelumnya dilakukan
pencabutan agar didapatkan ruang yang cukup bagi gigi-gigi yang akan dikoreksi.
36
Pada kasus ini, dilakukan pencabutan gigi kaninus sulung untuk menyediakan tempat
agar dapat mengoreksi gigi berdesakan anterior. Pada kasus ini, didapatkan jarak gigit
yang cukur besar yaitu 9 mm untuk koreksi proklinasi/protrusi gigi 11 dan 21 dapat
digunakan busur labial dengan loop U. Busur labial terbuat dari kawat berdiameter
0,7 mm yang fungsinya untuk meretraksi gigi-gigi anterior ke arah palatal/lingual,
mempertahankan lengkung gigi dari arah labial, dan sebagai retensi serta stabilitas
dari peranti itu sendiri. Cara aktivasi busur adalah digunakan tang pembentuk lup
untuk mengaktifkan busur labial. Lup dipegang dengan tang, tekuk kaki depan lup
atau sempitkan lup dengan tang. Dengan melakukan ini kaki horizontal busur akan
bergerak ke arah insisal. Kaki busur perlu dibetulkan dengan menahan lup dan
menempatkan kaki horizontal busur di tengah gigi
Untuk koreksi gigitan terbalik pada regio 1, komponen yang digunakan
berupa pegas kantilever ganda (pegas Z). Diameter kawat yang digunakan 0,5 mm.
Lengan pegas harus selebar mesiodistal gigi 12 yang akan digerakkan. Lengan pegas
yang kontak dengan gigi terletak di tengah-tengah jarak serviko-insisal gigi 12. Pegas
haus tegak lurus dengan permukaan palatal gigi 12. Aktivasi dilakukan pada lengan
pegas, mula-mula lengan pegas yang dekat dengan koil yang jauh dari gigi, kemudian
lengan pegas yang mengenai gigi.
Untuk mengoreksi gigitan tonjol pada regio 2, diperlukan pegas kantilever
ganda (pegas Z) dengan diamter 0,5 mm untuk menggerakkan gigi ke arah bukal.
Lengan pegas harus selebar mesiodistal gigi 22. Lengan pegas yang kontak dengan
gigi terletak di tengah-tengah jarang serviko-insisal gigi 22 dan pegas harus tegak
lurus pada permukaan palatal gigi. Aktivasi dilakukan pada lengan pegas, mula-mula
lengan pegas yang dekat dengan koil yang jauh dari gigi, kemudian lengan pegas
yang mengenai gigi.
Sedangkan untuk koreksi pergeseran garis median ke kiri pada rahang bawah
digunakan pegas kantilever tunggal di gigi 41 untuk menggerakkan gigi 41 ke arah
distal. Setelah perawatan-perawatan tersebut selesai, perlu diadakannya fase evaluasi.
Pada kasus ini, dilakukan pencabutan caninus sulung untuk mengoreksi berdesakan
anterior. Apabila caninus permanen akan tumbuh dan kekurangan tempat maka
37
diperlukan pro pencabutan gigi premolar pertama. Apabila pada fase evaluasi tidak
ditemukan masalah lainnya, maka kemudian diadakan fase retensi. Fungsi dari retensi
pada kasus ini yaitu untuk mempertahankan dalam satu garis atau mempertahankan
gigi yang baru digerakkan dari posisinya untuk dapat menstabilisasi koreksinya dan
menahan gigi geligi pada posisi yang sudah dicapai dari segi estetik maupun dari segi
fungsional. Piranti yang sering dipakai yaitu Hawley retainer. Piranti ini merupakan
alat pasif, yang terdiri dari klamer adams pada gigi molar dan busur labial yang
terbntang dari gigi caninus ke caninus dengan loop U yang dapat disesuaikan.

Desain Piranti Ortodonti Lepasan


Setelah rencana perawatan sudah ditetapkan kemudian dibuat desain piranti
ortodonti lepasa. Komponen aktif dari desain piranti rahang atas pada kasus ini adalah
pegas kantilever ganda di gigi 12 dan 22 dserta busur labial loop U. Digunakan pegas
kantilever ganda pada gigi 12 dan 22 untuk koreksi gigitan terbalik pada regio 1 dan
gigitan tonjol pada regio 2. Pegas kantilever ganda tersebut akan mendorong
mendorong gigi 12 dan 22 ke arah labial. Diameter kawat yang digunakan 0,5 mm.
Lengan pegas harus selebar mesiodistal gigi 12 dan 22 yang akan digerakkan. Lengan
pegas yang kontak dengan gigi terletak di tengah-tengah jarak serviko-insisal gigi 12
dan 22. Pegas haus tegak lurus dengan permukaan palatal gigi 12 dan 22.
Untuk meretraksi gigi 11 dan 21 yang proklinasi digunakan busur labial
dengan lup U. Busur labial terbuat dari kawat berdiameter 0,7 mm yang fungsinya
untuk meretraksi gigi-gigi anterior ke arah palatal/lingual, mempertahankan lengkung
gigi dari arah labial, dan sebagai retensi serta stabilitas dari peranti itu sendiri.
Komponen retentif yang digunakan adalah menggunakan cangkolan Adams pada gigi
16 dan 26.
Untuk desain plat akrilik, plat dibuat selebar mungkin, tepi distal sampai
mencapai daerah perbatasan palatum molle dan palatum durum, di bagian tengah
melengkung ke anterior sehingga cukup luas daerah palatinal yang bebas agar tidak
menggangu fungsi lidah sewaktu mengunyah dan bicara. Plat dasar di daerah gig-gigi
yang akan digerakan dapat dibebaskan sehingga pir-pir penggerak gigi tersebut
38
tampak terbuka. Bagian kawat yang tertanam didalam plat (basis spring) ujungnya
harus dibengkokkan untuk retensi agar tidak mudah lepas, dan bagian retensi tersebut
harus berada dalam ketebalan plat.
Pada rahang bawah, yang perlu dikoreksi adalah berdesakan anterior serta
pergeseran garis median ke kiri sebesar 1 mm. Komponen aktif dari piranti ortodonti
lepasan rahang bawah adalah pegas kantilever ganda dan pegas kantilever tunggal.
Digunakan pegas kantilever ganda pada gigi 32 dan 42 untuk mendorong kedua gigi
tersebut ke arah labial. Diameter kawat yang digunakan 0,5 mm. Lengan pegas harus
selebar mesiodistal gigi 32 dan 42 yang akan digerakkan. Lengan pegas yang kontak
dengan gigi terletak di tengah-tengah jarak serviko-insisal gigi 32 dan 42. Pegas harus
tegak lurus dengan permukaan palatal gigi 32 dan 42. Untuk koreksi pergeseran garis
median ke kiri sebesar 1 mm, digunakan pegas kantilever tunggal pada gigi 41 agar
terdorong ke arah kanan. Diameter kawat yang digunakan 0,5 mm. Titik kontak
lengan pegas harus tegak lurus (90⁰) dengan permukaan mesial gigi 41 agar arah
pergerakan gigi tidak salah, sedangkan untuk retensi piranti digunakan cangkolan
Adams pada gigi 36 dan 46. Kemudian untuk mempertahankan lengkung gigi dari
arah labial digunakan busur labial lup U.
Daerah di bagian lingual mandibula sempit maka untuk memperkuat plat perlu
di pertebal menjadi satu setengah ketebalan malam (3mm), di daerah sulcus lingualis
tempat perlekatan frenulum linguale plat dipersempit agar tidak mengganggu gerakan
lidah. Di regio molar dibagian lingual biasanya terdapat daerah undercut yang cukup
dalam meluas sampai pangkal lidah, didaerah ini ujung kawat basis klamer tidak
boleh menempel tapi tegak lurus turun ke bawah, tepi plat dibagian bawah dipertebal
sehingga jika diperlukan pengurangan ketebalan plat untuk mempermudah insersi tepi
plat tidak menjadi terlalu tipis dan kawat basis yang tertanam di dalam plat tidak
terpotong.

39
BAB 5

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari kasus ini yaitu:


1. Diagnosa pada pemeriksaan klinis maloklusi Klas I Angle dengan berdesakan
anterior, proklinasi pada gigi 11 dan 21, gigitan terbalik pada gigi 12 dan
gigitan tonjol pada gigi 22, serta pergeseran garis median pada rahang bawah
ke arah kiri.
2. Kemungkinan etiologi yaitu dari faktor herediter (DDM) dan faktor lokal
berupa kebiasaan buruk seperti menghisap ibu jari, terjadi persistensi pada
gigi 52 dan 62, serta tanggal prematur pada gigi 72.
3. Diskrepansi pada model menunjukkan terdapat kekurangan tempat pada
rahang atas sebesar 7,4 mm dan pada rahang bawah sebesar 5 mm.
4. Hasil analisis sefalometri menunjukkan sudut SNA sebesar 81o (maksila
normal) dan sudut SNA sebesar 72o (mandibula ke arah posterior). Sudut
ANB sebesar 9o yang menunjukkan tendensi maloklusi skeletal Klas II.
5. Hasil analisis jaringan lunak menunjukkan profil wajah yang cembung dengan
tonus bibir yang tidak kompeten.
6. Macam perawatan yang dapat dilakukan adalah dengan pencabutan seri.
7. Rencana perawatan berupa koreksi gigi berdesakan anterior, koreksi
proklinasi pada gigi 11 dan 21, koreksi gigitan terbalik di regio kanan dan
gigitan tonjol di regio kiri, koreksi pergeseran garis median, serta fase
evaluasi dan fare retensi.
8. Desain peranti ortodonti lepasan yang digunakan adalah plat akrilik dengan
pegas cantilever, busur labial loop U, dan cangkolan adams yang dibox-in
pada rahang atas dan dibox-on pada rahang bawah.

40
41
DAFTAR PUSTAKA

Arsie, Risa Yunie. 2012. Dampak Berbagai Karakteristik Oklusi Gigi Anterior
Terhadap Status Psikososial Remaja Awal. Pasca Sarjana Universitas
Indonesia. Hal. 8

Budiyanti EA. Pengaruh perilaku ibu dan pola keluarga pada kebiasaan menghisap
jari pada anak, dikaitkan dengan status oklusi gigi sulung. [online] 2013 [Serial
2013 Aug 22]. Available from: URL:http//eperints.
lib.ui.ac.id//16709/1/91278%2Dpengaruh% perilaku%2Dfull

Cobourne, T. Martin & Dibiase, T. Andrew. 2010. Handbook of Orthodontics.


Edinburgh : Mosby Elsevier.

Graber, T.M. & Vanarsdall, R.L. 1994. Orthodontics : Current Principles and
Techniques. 2 nd Edition. Mosby Year Book Inc., St. Louis, Missouri. h.62 
63, 305  307, 641.

Isaacson KG, Muir JD, Reed RI. (2002) removabke orthodontic appliances. London.
1st ed. Wright: Oxford.

Kusuma, Andina R.P. 2010. Bernafas Lewat Mulut sebagai Faktor Ekstrinsik
Etiologi Maloklusi. Studi Pustaka Kedokteran Gigi Universitas Islam Sultan
Agung. Hal. 8

Lohakare, Shyam Sandhya. (2008) Orthodontic removable appliances. New Delhi:


Jaypee

Mokhtar, M. 1998. Dasar-Dasar Ortodonti, Perkembangan dan Pertumbuhan


Kraniodentofasial. Cetakan ke-1. Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia.,
Jakarta. h. 1-30 s.d. 1-31.

Rahardjo, P. 2012. Ortodonti Dasar. Ed 2. Airlangga University Press : Surabaya.


Hal.46-56, 60, 70.

Riyanti, Eriska, Risti Saptarini. 2010. Maloklusi pada Anak Akibat Tidak
Mendapatkan Asi. Bagian Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Padjadjaran. Hal 3-4.

42
Lampiran 1 (foto klinis)

43
Lampiran 2 (keadaan intra oral)

44

Anda mungkin juga menyukai