Anda di halaman 1dari 13

PAJAK PENGHASILAN UMUM

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu :


1. Menjelaskan subjek pajak, objek pajak, dan kewajiban pajak subjektif.
2. Menjelaskan cara pelunasan pajak penghasilan.
3. Menjelaskan dasar pengenaan pajak dan cara menghitung penghasilan kena pajak

PENDAHULUAN
Undang-undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh) berlaku sejak 1 Januari 1984. Undang-
undang ini telah beberapa kali mengalami perubahan dan terakhir kali diubah dengan Undang-undang Nomor 36
Tahun 2008. Undang-undang Pajak Penghasilan (PPh) mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap subjek
pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak tersebut
dikenai pajak apabila menerima atau memperoleh penghasilan. Subjek pajak yang menerima atau memperoleh
penghasilan, dalam Undang-Undang PPh disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenai pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenai pajak untuk penghasilan dalam bagian
tahun pajak apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak. Undang-undang PPh
menganut asas materiil, artinya penentuan mengenai pajak yang terutang tidak tergantung kepada surat
ketetapan pajak. Perubahan Undang-undang Pajak Penghasilan tersebut dilakukan dengan tatap berpegang pada
prinsip-prinsip perpajkan yang dianut secara universal yaitu : keadilan, kemudahan/efesiensi administrasi, dan
produktivitas penerimaan negara serta tetap mempertahankan sistem self assessment. Oleh karena itu tujuan dan
arah penyempurnaan Undang-undang pajak penghasilan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak
2. Lebih memberikan kemudahan kepada wajib pajak
3. Lebih memberikan kesederhanaan administrasi perpajakan
4. Lebih memberikan kepastian hukum, konsistensi dan transparansi
5. Lebih menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing dalam menarik investasi
langsung di Indonesia baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri di bidang
usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu yang mendapatkan prioritas.

DEFENISI
Pajak penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam suatu tahun pajak.

DASAR HUKUM
Peraturan perundangan yang mengatur Pajak Penghasilan di Indonesia adalah UU Nomor 7 Tahun 1983 yang telah
disempurnakan dengan UU Nomor 7 Tahun 199, UU nomor 10 Tahun 1994, UU No.17 Tahun 2000, UU Nomor 36
Tahun 2008, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktur
Jenderal Pajak maupun Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak.

SUBJEK PAJAK
Subjek Pajak Pajak Penghasilan adalah segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan
dan menjadi sasaran untuk dikenakan Pajak Penghasilan. Undang-undang Pajak Penghasilan di Indonesia
mengatur pengenaan Pajak Penghasilan terhadap Subjek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak. Subjek pajak akan dikenakan Pajak Penghasilan apabila menerima atau
memperoleh penghasilan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Jika Subjek Pajak telah memenuhi
kewajiban pajak secara objektif maupun subjektif maka disebut Wajib Pajak. Pasal 1 UU Nomor 28 Tahun 2007
tentang KUP menyebutkan bahwa Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan

1
pertauran perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan termasuk
pemungutan pajak dan pemotongan pajak tertentu.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2008, Subjek pajak dikelompokkan sebagai berikut :
1. Subjek Pajak Orang Pribadi
Orang Pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar
Indonesia.
2. Subjek Pajak Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantian yang berhak
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan Subjek Pajak pengganti, menggantian mereka
yang berhak, yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak Pengganti
dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat
dilaksanakan.
3. Subjek Pajak Badan
Badan adalah sekumpulan orang/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun
yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan
usaha miliki negara atau badan usaha miliki daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau
organisai lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha
tetap. Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan Subjek Pajak tanpa nama dan
bentuknya, sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan dan sebagainya
yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak.
4. Subjek Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih 183 hari hari dalam jangka waktu dua belas
bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat keddudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa :
a. Tempat keduduakan manajemen
b. Cabang perusahaan
c. Kantor perwakilan
d. Gedung kantor
e. Pabrik
f. Bengkel
g. Gudang
h. Ruang untuk promosi dan penjualan
i. Pertambangan dan penggalian sumber alam
j. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi
k. Perikanan, perternakan, pertanian, perkebunan atau kehutanan
l. Proyek konstruksi, instalasi atau proyek perkitan
m. Komputer, agen elektronik atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh
penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
n. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia.

Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri


Subjek pajak penghasilan juga dikelompokkan menjadi Subjek Pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
Pengemlompokkan tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2008.
1. Subjek Pajak Dalam Negeri adalah
 Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)
hari (tidak harus berturut-turut) dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan.
 Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di
Indonesia.
 Badan yang didirikan atau bertempat keduduakan di Indonesia, kecuali unti tertentu dari badan
pemerintah yang memenuhi kriteria :

2
- Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
- Pembiayaan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggara Pendapatan dan
Belanja Daerah
- Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dan
pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawas fungsional negara.

2. Subjek Pajak Luar Negeri


 Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia ; dan
 Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) dari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha
tetap di Indonesia.

Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila talah menerima atau memperoleh
penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subjek pajak badan dalam negeri menjadi
wajib pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Subjek pajak luar negeri baik orang
pribadi maupun badan sekaligus menjadi wajib pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang
bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain, wajib pajak adalah orang pribadi atau badan
yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.

Perbedaan wajib pajak dalam negeri dan wajib pajak luar negeri, antara lain adalah :
Wajib Pajak dalam negeri Wajib Pajak luar negeri
 Dikenakan pajak atas penghasilan baik yang di  Dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang
terima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar berasal dari sumber penghasilan di Indonesia
Indonesia  Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto
 Dikenakan Pajak berdasarkan penghasilan neto  Tarif pajak yang digunakan adalah tarif
 Tarif pajak yang digunakan adalah tarif umum sepadan (tarif UU PPh pasal 26)
(tarif UU PPh pasal 17 )  Tidak wajib menyampaikan SPT
 Wajib menyampaikan SPT

Kewajiban Pajak Subjektif


Untuk lebih memperjelas pengertian, kapan mulai dan berakhirnya sebagai subjek pajak dalam negeri maupun
subjek pajak luar negeri, berikut ini diberikan tabel mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif.
Kewajiban Pajak Subjektif
Mulai Berakhir
Subjek Pajak Dalam Negeri Orang Pribadi : Subjek Pajak Dalam Negri Orang pribadi :
 Saat dilahirkan  Saat meninggal
 Saat berada di Indonesia atau bertempat tinggal di  Saat meninggalkan Indonesia untuk
Indonesia selama-lamanya
Subjek Pajak Dalam Negeri Badan : Subjek Pajak Dalam Negeri Badan :
 Saat didirikan atau bertempat kedudukan di  Saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat
Indonesia kedudukan di Indonesia
Subjek Pajak luar Negeri Melalui BUT : Subjek Pajak Luar Negeri melalui BUT :
 Saat menjalankan usaha atau melakukan kegiatan  Saat tidak lagi menjalankan usaha atau
melalui BUT di Indonesia melakukan kegiatan melalui BUT di
Indonesia
Subjek Pajak Luar Negeri tidak melalui BUT Subjek Pajak Luar Negeri tidak melalui BUT
 Saat menerima atau memperoleh penghasilan dari :
Indonesia  Saat tidak menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia
Warisan belum terbagi : Warisan belum terbagi :
 Saat timbulnya warisan yang belum terbagi  Saat warisan telah selesai dibagikan

3
Tidak Termasuk Subjek Pajak Penghasilan
Yang tidak termasuk subjek pajak adalah :
1. Kantor perwakilan negara asing
2. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang
diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan
syarat:
 Bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di
luar jabatannya di Indonesia.
 Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik
3. Organisasi internasional, dengan syarat :
 Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut
 Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain
pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.
4. Pejabat perwakilan organisasi internasional, dengan syarat
 Bukan warga negara Indonesia
 Tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia

Wajib Pajak Dalam Negeri dan Wajib Pajak Luar Negeri


Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Oajak luar negeri terletak dalam pemenuhan
kewajiban pajaknya antara lain :
1. Wajib Pajak dalam negeri dikenai pajak atas pajak penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, sedangkan Wajib Pajak luar negeri dikenai pajak hanya atas
penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.
2. Wajib Pajak dalam negeri dikenai berdasarkan pengasilan neto dengan tarif umum, sedangkan Wajib Pajak
luar negeri dikenai pajak berdasarkan penghasilan pengasilan bruto dengan tarif pajak sepadan.
3. Wajib pajak dalam negeri wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagai
sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak, sedangkan Wajib Pajak luar negeri
tidak wajib menyampaiakan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan karena kewajiban pajaknya
dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.

OBJEK PAJAK PENGHASILAN


Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa
pun, termasuk:
1. Penggatian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji,
upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gartifikasi, uang pensiun, atau pensiun, atau imbalan dalam
bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini;
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan
3. Laba usaha
4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :
a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti
saham atau penyertaan modal;
b. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh
perseroan, persekutuan, dan badan lainnya.
c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha,
atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun.
d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan
kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan
kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada

4
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan; dan
e. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta
dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan
pengembalian pajak
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang
7. Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing
13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva
14. Premi asuransi
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
16. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak
17. Penghasilan dari usaha berbasis syariah
18. Imbalan bunga sebagaiman dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan
tata cara perpajakan; dan
19. Surplus Bank Indonesia

Penghasilan tersebut dapat dikelompokkan menjadi :


1. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, seperti gaji, honorarium, penghasilan
dari praktik dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara dan sebagainya
2. Penghasilan dari usaha atau kegiatan
3. Penghasilan dari modal atau penggunaan harta, seperti sewa, bunga, deviden, royalti, keuntungan dari
penjualan harta yang tidak digunakan dan sebagainya.
4. Penghasilan lain-lain, yaitu penghasilan yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam salah satu tiga kelompok
penghasilan di atas seperti :
a. Keuntungan karena pembebasan utang
b. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing
c. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva
d. Hadiah undian

Bagi wajib pajak Dalam negeri, yang menjadi objek pajak adalah penghasilan baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia. Sedangkan bagi wajib Pajak Luar Negeri, yang menjadi objek pajak hanya
penghasilan yang berasal dari Indonesia saja.

Tidak Termasuk Objek Pajak Penghasilan


Yang dikecualikan dari objek pajak adalah :
1. a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang di akui di Indonesia, yang diterima
oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau di sahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima
sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;
b. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan
keagamaan, bandan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kemilikan, atau penguasaan di anatara
pihak-pihak yang bersangkutan;

5
2. Warisan
3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti
atau sebagai pengganti penyertaan modal.
4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam
bentuk natura dan/atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan
wajib pajak, wajib pajak yang dikenakan pajak secara final atau wajib pajak yang menggunakan norma
penghitungan khusus (deemend profit).
5. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kehatan, asuransi
kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa;
6. Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri,
koperasi, badan usaha milik negara, atau bandan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan
usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat :
a. Deviden berasal dari cadangan laba yang di tahan; dan
b. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima
deviden, kepemilikan saham pada badan yang memberikan deviden paling rendah 25% (dua puluh lima
persen) dari jumlah modal yang disetor.
7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah di sahkan Menteri Keuangan, baik
yang di bayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
8. Penghasilan dari modal yang ditananmkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada angka 7, dalam
bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.
9. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modlanya tidak terbagi
atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan
kontrak investasi kolektif.
10. Bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagiam laba dari badan pasangan
usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan
usaha tersebut :
a. Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor
usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Meteri Keuangan
b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
11. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
12. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan
dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang
ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut,
yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
13. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada wajib pajak
tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

TARIF PAJAK
Tarif pajak merupakan persentase tertentu yang digunakan untuk menghitung besarnya Pajak Penghasilan. Tarif
Pajak Penghasilan berlaku di Indonesia dikelompokkan menjadi dua yaitu tarif umum dan tarif khusus.
a. Tarif Umum
1. Tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri (Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh) yaitu:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif
Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000 5%
Di atas Rp 50.000.000 sampai dengan Rp 15%
250.000.000
Di atas Rp 250.000.000 sampai dengan Rp 25%
500.000.000
Di atas Rp 500.000.000 30%

6
Contoh 1 :
Diketahui PKP (Penghasilan Kena Pajak) Sebesar Rp 35.000.000, Berapakah PPh Terutang?
= 5% X Rp 35.000.000 = Rp 1.750.000

Contoh 2 :
Diketahui PKP (Penghasilan Kena Pajak) sebesar Rp 230.000.000, Berapakah PPh Terutang?
5% X Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000
15% X Rp 180.000.000 = Rp 27.000.000 +
Total PPh = Rp 29.500.000

Contoh 3 :
Diketahui PKP (Penghasilan Kena Pajak) Sebesar Rp 470.000.000, Berapakah PPh Terutang?
5% X Rp 50.000.0000 = Rp 2.500.000
15% X Rp 200.000.000 = Rp 30.000.000
25% X Rp 220.000.000 = Rp 55.000.000
Total PPh = Rp 87.500.000

Contoh 4 :
Diketahui PKP (Penghasilan Kena Pajak) sebesar Rp 1.000.000.000, berapakah PPh Terutang?
5% X Rp 50.000.0000 = Rp 2.500.000
15% X Rp 200.000.000 = Rp 30.000.000
25% X Rp 250.000.000 = Rp 62.500.000
30% X Rp 500.000.000 = Rp 150.000.000 +
Total PPh = Rp 245.000.000

2. Tarif Pajak Penghasilan untuk Wajib Pajak Badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (Pasal 17 ayat (2a)
UU PPh sebesar 25% yang berlaku sejak tahun 2010. Penerapan tarif umum bagi Wajib Pajak Badan
selanjutnya dibedakan menjadi tiga :
a. Tarif 12,5% (dua belas koma lima persen) bagi Wajib Pajak Badan dengan peredaran bruto tidak
melebihi Rp 4.800.000.000. Seluruh penghasilan kena pajak dikalikan dengan tarif 12,5%.
Contoh 5 :
Diketahui Penghasilan Kena Pajak (laba Kena Pajak) PT. Coba Coba sebesar Rp 2.000.000.000
dengan peredaran bruto Rp 4.500.000.000. Dari data tersebut seluruh penghasilan kena pajak dikenai
fasilitas potongan tarif 50% dari tarif pajak penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran
bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000.
Pajak Penghasilan yang terutang :
= (50% x 25%) x Rp 2.000.000.000 = Rp 250.000.000
= 12,5% x Rp 2.000.000.000 = Rp 250.000.000
b. Tarif 12,5% untuk sebagian penghasilan kena pajak dan 25% untuk sebgaian penghasilan kena pajak
lainnya bagi Wajib Pajak dengan peredaran bruto melebihi Rp 4.800.000.000 dan tidak melebihi
Rp 50.000.000.000 dengan ketentuan sebagai berikut :
 Sebagian penghasilan kena pajak dengan tarif 12,5% (mendapat fasilitas pengurangan tarif).
Besarnya penghasilan kena pajak yang dikenakan tarif 12,5% sama dengan (Rp 4,8 milyar :
peredaran bruto) x total penghasilan kena pajak.
 Sebagian penghasilan kena pajak lainnya dikalikan dengan tarif 25% (tidak mendapatkan fasilitas
pengurangan tarif). Besarnya penghasilan kena pajak yang dikenakan tarif 25% adalah total
penghasilan kena pajak yang dikenakan tarif 25% adalah total penghasilan kena pajak
dikurangi sebagian penghasilan kena pajak yang memperoleh fasilitas pengurangan tarif.
Diketahui peredaran bruto PT. Angin Segar sebesar Rp 8.000.000.000, total penghasilan kena pajak
(laba Kena Pajak) Rp 5.000.000.000.
Penghitungan pajak penghasilan terutang :
1. Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas
(Rp4.800.000.000/Rp8.000.000.000) X Rp 5.000.000.000 = Rp 3.000.000.000

7
2. Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran usaha yang tidak memperoleh fasilitas.
Rp 5.000.000.000 – Rp 3.000.000.000 = Rp 2.000.000.000
Pajak penghasilan yang terutang :
(12,5 %) X Rp 3.000.000.000 = Rp 375.000.000
25% X Rp 2.000.000.000 = Rp 500.000.000 +
Total PPh Terutang = Rp 875.000.000

c. Tarif bagi bagi Wajib Pajak badan dengan peredaran bruto melebihi jumlah Rp 50.000.000.000.
Seluruh penghasilan kena pajak dikalikan tarif 25%.
Contoh 7 :
Diketahui Penghasilan Kena Pajak (laba Kena Pajak) PT ABC sebesar Rp 45.000.000.000 dan peredaran
bruto Rp 51.000.000.000.
Pajak Penghasilan Terutang :
25% x Rp 45.000.000.000 = Rp 11.250.000.000

b. Tarif Khusus
Tarif khusus PPh terutang sebesar 0,5% dari peredaran bruto usaha bagi Wajib Pajak orang pribadi dan badan
kecuali bentuk usaha tetap yang memiliki penghasilan dari peredaran bruto usaha tertentu. Peredaran bruto
usaha tertentu yang dimaksud adalah Rp 4.800.000.000 (empat koma delapan milyar rupiah) setahun dan akan
dibahas lebih lanjut pada bab PPh Final. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2018.

DASAR PENGENAAN PAJAK DAN CARA MENGHITUNG PENGHASILAN KENA PAJAK


Dasar Pengenaan Pajak
Untuk dapat menghitung pajak penghasilan terlebih dahulu harus diketahui Dasar Pengenaan Pajaknya. Untuk
wajib pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah Penghasilan
Kena Pajak. Sedangkan untuk Wajib Pajak luar negeri adalah penghasilan bruto. Besarnya Penghasilan Kena Pajak
untuk wajib pajak badan dihitung sebesar penghasilan netto. Sedangkan untuk wajib pajak orang pribadi dihitung
sebesar penghasilan netto. Sedangkan untuk wajib pajak orang pribadi dihitung sebesar penghasilan netto
dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Secara singkat dapat dirumuskan sebagai berikut :
Penghasilan Kena Pajak (Wajib Pajak Badan) = Penghasilan Netto

Penghasilan Kena Pajak (Wajib Pajak orang pribadi) = Penghasilan Netto - PTKP

Cara Menghitung Penghasilan Kena Pajak


Penghitungan besarnya Penghasilan Netto bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu :
1. Menggunakan pembukuan
2. Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan
informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan, dan biaya serta jumlah harga perolehan
dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca (laporan
posisi keuangan) dan laporan laba rugi setiap tahun pajak berakhir. Wajib Pajak badan dan wajib pajak orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas diwajibkan menyelenggarakan pembukuan.
Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib melakukan pencatatan adalah wajib pajak
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan :
1. Diperbolehkan menghitung penghasilan netto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Netto.
2. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas meliputi
peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan lainnya. Sedangkan bagi mereka yang semata-

8
mata menerima penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas pencatatannya hanya mengenai penghasilan
bruto, pengurang dan penghasilan netto yang merupakan objek pajak penghasilan. Di samping itu pencatatan
meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenakan pajak penghasilan final. Pembukuan
atau pencatatan harus :
1. Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang
sebenarnya.
2. Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah,
3. Disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan
(misalkan, bahasa Inggris).

Menghitungan Penghasilan Kena Pajak Dengan Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan


Netto
Apabila dalam menghitung Penghasilan Kena Pajaknya Wajib Pajak menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Netto, besarnya penghasilan netto adalah sama besarnya dengan besarnya (persentase) Norma
Penghitungan Penghasilan Netto dikalikan dengan jumlah peredaran usaha atau penerimaan bruto pekerjaan
bebas setahun. Pedoman untuk menentukan penghasilan netto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta
diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak berdasarkan pegangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Dasar hukum norma penghitungan neto ini tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun
2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan pada
pasal 14, dan dijelaskan lebih dalam di Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-17/PJ/2015 Tentang Norma
Penghitungan Penghasilan Neto. Syarat wajib pajak untuk menggunakan norma penghitungan ini adalah:
1. Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto
dalam 1 tahunnya kurang dari Rp4,8 miliar wajib menyelenggarakan pencatatan, kecuali jika yang
bersangkutan memilih menyelenggarakan pembukuan. Jika lebih dari Rp4,8 miliar, wajib pajak wajib
menyelenggarakan pembukuan.
2. Wajib pajak orang pribadi yang wajib menyelenggarakan pencatatan dan menerima atau memperoleh
penghasilan tidak dikenai pajak penghasilan bersifat final, menghitung penghasilan neto dengan
menggunakan norma penghitungan penghasilan neto.

Wajib pajak orang pribadi yang boleh menggunakan NPPN harus memberitahukan ke Ditjen Pajak dalam jangka
waktu 3 bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Jika tidak, wajib pajak dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan.
Jika wajib pajak badan atau orang pribadi yang melakukan pembukuan, tidak atau tidak sepenuhnya
melakukan hal tersebut serta tidak bersedia memperlihatkan pembukuan maupun bukti-bukti pendukungnya,
penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan NPPN.

Tarif yang dikenakan adalah tarif pasal 17 UU PPh ayat (1) huruf a UU PPh
1. Penghasilan kena pajak dihitun sebagai berikut :
PKP = Penghasilan Neto – PTKP
= (Peredaran Bruto x % NPPN) - PTKP

*NPPN = Norma Penghitungan Penghasilan Neto

2. PPh terutang dihitung dari tarif dikalikan penghasilan kena pajak :


PKP = Tarif X PKP
= Tarif (Peredaran Bruto X % NPPN) - PTKP

 Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi adalah muslim yang membayarkan zakat atas penghasilan kepada badan
amil zakat (BAZIZ), jumlah zakat yang dibayarkan tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan neto.
 Penghitungan ini diperuntukkan bagi Wajib Pajak dengan syarat sebagai berikut :
a. Wajib Pajak dalam negeri orang pribadi
b. Memperoleh peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000 dalam satu tahun pajak
c. Pajak tersebut berasal dari pekerjaan bebas.

9
d. Wajib Pajak harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama
dari tahun pajak yang bersangkutan.
e. Wajib Pajak wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya sebagaimana diatur dalam
undang-undang yang menagtur mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Menteri Keuangan dapat menyesuaikan besarnya batas beredarnya bruto dengan memperhatikan perkembangan
ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib Pajak untuk menyelenggarakan pembukuan. Besarnya Norma
Penghitungan Penghasilan Neto untuk setiap jenis usaha/pekerjaan bebas diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan. Oleh karean tidak menyelenggarakan pembukuan (menggunakan norma penghitngan yang dasarnya
adalah peredaran usaha), maka tidak ada penghitungan rugi bagi Wajib Pajak tersebut sehingga tidak ada
pengakuan terhadap kompensasi kerugian dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak.
Berikut ini adalah contoh penghitungan pajak yang terutang dengan menggunakan Norma

Penghitungan Penghasilan Netto :


Wisnu kawin (istri tidak bekerja) dan mempunyai 2 orang anak. Wisnu seorang dokter bertempat tinggal di
Jakarta. Misalnya besarnya persentase norma untuk dokter di Jakarta 45%. Pemerimaan bruto praktik dokter di
rumah di Jakarta setahun Rp 500.000.000.
Jawab :
Penghasilan netto dihitung sebagai berikut :
Sebagai seorang dokter : 45% X Rp 500.000.000 = Rp 225.000.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak : (K/2) = Rp 67.500.000 (-)
Penghasilan Kena Pajak = Rp 157.500.000

Wajib Pajak Orang Pribadi Meyelenggarakan Pembukuan


1. Tarif yang dikenakan adalah tarif pasal 17 UU PPh ayat (1) huruf a UU PPh.
2. Penghasilan kena pajak dihitung sebagai berikut :
PKP = Penghasilan Neto – PTKP
= (Peredaran Bruto – Pengeluaran/biaya yang boleh dikurangkan) - PTKP

3. PPh terutang dihitung dari tarif dikalikan penghasilan kena pajak :

PPh Terutang = Tarif X PKP


= Tarif X ((Peredaran Bruto – Pengeluaran/biaya yang boleh dikurangkan) – PTKP)

 Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi adalah muslim yang membayarkan zakat atas penghasilan kepada badan
amil zakat (BAZIZ), jumlah zakat yang dibayarkan tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan neto. Demikian
pula dala hal wajib pajak orang pribadi menyelenggarakan pembukuan dan pada tahun-tahun sebelumnya
mengalami kerugian, kerugian tersebut dapat dikompensasikan/dikurangkan dari penghasilan netto dalam
jangka waktu 5 tahun dimulai dari tahun pajak berikutnya setelah terjadinya kerugian usaha.
 Penghitungan ini diperuntukkan bagi Wajib Pajak dengan syarat-syarat sebagai berikut :
f. Wajib pajak dalam negeri orang pribadi
g. Memperoleh peredaran bruto melebihi Rp 4.800.000.000 dalam satu tahun pajak.
h. Penghasilan tersebut berasal dari usaha dan/atau pekerjaan bebas.

Menghitung Penghasilan Kena Pajak Dengan Menggunakan Pembukuan


Untuk Wajib Pajak badan besarnya Penghasilan Kena Pajak sama dengan penghasilan netto, yaitu penghasilan
bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang diperkenankan oleh Undang-Undang Pajak Penghasilan. Sedangkan
untuk Wajib Pajak Orang pribadi besarnya Penghasilan Kena Pajak sama dengan penghasilan netto dikurangi
Penghasilan Tidak Kena Pajak. Untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak dapat dirumuskan sebagai berikut :

Penghasilan Kena Pajak (WP Orang Pribadi) = Penghasilan Netto – PTKP


= ( Penghasilan bruto – Biaya yang diperkenankan UU PPh ) - PTKP

10
Penghasilan Kena Pajak (WP Badan) = Penghasilan Netto
=( Penghasilan bruto – Biaya yang diperkenankan UU PPh )

Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan
penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk :
1. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:
a. Biaya pembelian bahan
b. Biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, hororarium, bonus, gratifikasi, dan
tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
c. Bunga, sewa, dan royalti;
d. Biaya perjalanan;
e. Biaya pengolahan limbah
f. Premi asuransi
g. Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
h. Biaya administrasi; dan
i. Pajak, kecuali pajak penghasilan
2. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk
memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun;
3. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;
4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang
dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;
5. Kerugian selisih kurs mata uang asing;
6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia
7. Biaya beasiswa, magang dan pelatihan;
8. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat :
a. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial
b. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak;
dan
c. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negari atau instansi pemerintah yang
menangani piutang negara, atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan
utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan, atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum
atau khusus, atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan utuk jumlah utang
tertentu;
d. Syarat sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur
kecil;
9. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah;
10. Sumbangan dalaam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah;
11. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
12. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannnya diatur dengan Peraturan Pemerintah ;
13. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah
14. Kompensasi kerugian fiskal tahun sebelumnya (maksimal 5 tahun)

Menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh
dikurangkan ;
1. Pembagian laba dengan nama dan bentuk apapun seperti deviden, termasuk deviden yang dibagikan oleh
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham sekutu atau
anggota.
3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:

11
a. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa
guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang.
b. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial;
c. Cadangan pinjaman untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
d. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
e. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
f. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha
pengolahan limbah industri yang ketantuan dan syarat-syaratnya diatur dengan ata berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
4. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa
yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi asuransi
tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.
5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura
dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau
imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanan
pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang
mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
7. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan, kecuali :
a. Sumbangan yang diperbolehkan dikurangkan;
b. Zakat yang diterima ooeh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah;
c. Sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang
diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah;
8. Pajak Penghasilan.
9. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi
tanggungannya.
10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham.
11. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan
dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
12. Biaya-biaya (pengeluaran) untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang :
a. Dikenakan PPh yang bersifat final
b. Bukan objek pajak
13. Biaya-biaya (pengeluaran) untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang Pajak
Penghasilannya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Netto.

PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN


Pelunasan pajak penghasilan dalam tahun pebrjalan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pelunansan pajak
melalui pihak lain dan oleh wajib pajak sendiri. Pelunasan pajak penghasilan dalam tahun berjalan diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000. Dalam hal pelunasan pajak dilakukan oleh pihak lain,
penghitungan, pemotongan, penyetoran dan pelaporan dilakukan oleh pihak yang memerikan/membayarkan
penghasilan. Pelunasan pajak juga bisa dilakukan tidak dalam tahun berjalan (sesudah tahun pajak berakhir).

Pelunasan Pajak dalam Tahun Berjalan Melalui Pihak Lain


Pelunasan pajak dalam tahun berjalan melalui pihak lain (pemberi penghasilan/pemotongan pajak) dikelompokkan
sebagai berikut :
1. Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak lain atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apa pun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa,
dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal
21 ayat(1) Undang-undang Pajak Penghasilan terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada
akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi dahulu.

12
2. Pemungutan Pajak Penghasilan oleh badan pemerintah berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan
barang; dan badan-badan tertentu baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di
bidang impor atau kegiatan usaha di bdiang lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) Undang-
undang Pajak Penghasilan, terutang pada saat pembayaran kecuali ditetapkan lain oleh Meteri Keuangan.
3. Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak lain atasd penghasilan berupa deviden, bunga, royalti, penghargaan,
hadiah, bonus, dan lain-lain yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan, terutang pada akhir bulan
dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa
yang terjadi terlebih dahulu.
4. Pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima oleh wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, terutang pada
akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
5. Pelunasan pajak atas penghasilan-penghasilan tertentu (bunga deposito dan simpanan lain di bank, hadiah
undian, transaksi saham dan sekuritas lain, dan lain-lain) yang diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak.

Pelunansan Pajak dalam Tahun Berjalan oleh Wajib Pajak Sendiri


Disamping melalui pihak lain, pelunasan pajak dapat dilakukan sendiri oleh wajib pajak dengan cara sebagai
berikut :
1. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dari
badan-badan yang tidak wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, wajib memilki NPWP dan melaksanakan
sendiri penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan serta
melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan.
2. Wajib Pajak membayar sendiri pajak atas penghasilan yang diperoleh atau diterima melalui angsuran Pajak
Penghasilan dalam Tahun Pajak Berjalan (PPh Pasal 25).

Pelunasan Pajak Saat Sesudah Akhir Tahun Pajak


Pelunasan pajak sesudah Tahun Pajak berakhir dilakukan dengan :
1. Membayar pajak yang kurang disetor dengan menghitung sendiri jumlah PPh yang terutang untuk satu tahun
pajak dikurangi dengan jumlah kredit pajak tahun yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UU
PPh.
2. Membayar pajak yang kurang disetor karena menerima surat ketetapan pajak (SKPKB atau SKPKBT) atau Surat
Tagihan Pajak yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak.

13

Anda mungkin juga menyukai