Anda di halaman 1dari 17

TUGAS REFERAT

BAGIAN PARU RSUD Dr. MOEWARDI

TERAPI PENYAKIT ASMA

Oleh
Kelompok Co-Ass KBK
Periode 11 April – 1 Mei 2011

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2

2011
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Fungsi utama pernafasan adalah untuk memperoleh O2 agar dapat digunakan
oleh sel-sel tubuh dan mengeliminasi CO2 yang dihasilkan oleh sel. Udara pernafasan
mengalir melalui saluran nafas serta mengalami beberapa proses. Sebelum masuk ke
dalam alveolus untuk mempertukarkan gas, udara pernafasan akan mengalami tahap-
tahap seperti penyaringan, pelembaban, penyesuaian suhu (pada rongga hidung), yang
diikuti dengan beberapa tahap filtrasi pada saluran-saluran di bawahnya. Defek pada
salah satu saluran, semisal akibat infeksi, menyebabkan gangguan dalam proses
bernafas.
Asma adalah penyebab utama dari kematian kronik di dunia. Prevalensi asma
meningkat dalam waktu 20 tahun terakhir, terutama pada anak-anak. Jumlah penderita
asma diperkirakan sekitar 300 juta di seluruh dunia. Asma adalah salah satu penyakit
yang dapat diobati namun tidak dapat disembuhkan, oleh karena itu seorang penderita
asma perlu melakukan beberapa upaya pencegahan kekambuhan, serta dapat pula terus
bergantung pada obat selama dia menderita penyakit ini.
Asma adalah penyakit inflamasi (radang) kronik saluran napas yang
menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan nafas yang menimbulkan gejala episodik
berulang berupa wheezing, sesak nafas, dada terasa berat, dan batuk-batuk terutama
malam menjelang dini hari. Gejala tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan nafas
yang luas, bervariasi, dan seringkali bersifat reversibel, dengan atau tanpa pengobatan.

B. Rumusan Masalah
Beberapa rumusan masalah yang dapat diajukan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana mekanisme pernafasan secara normal?
2. Bagaimana penjelasan penyakit asma secara lengkap dalam bahasan singkat?
3. Melalui pemahaman prinsip terapi asma, bagaimana seorang dokter memberikan
terapi terhadap penderita asma?
4. Bagaimana kriteria kasus yang mengharuskan seorang dokter merujuk pasien
asma ke rumah sakit rujukan terdekat?
3

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan tugas refrat ini adalah sebagai berikut :
1. Memberikan pengetahuan mengenai konsep dan prinsip ilmu biomedik,
klinis, perilaku, dan ilmu kesehatan masyarakat menyangkut penyakit asma.
2. Memberikan pengetahuan mengenai prosedur klinik dan laboratorium
asma, serta cara pengelolaan penyakit, pencegahan penyakit, dan pendidikan
kesehatan.
3. Mampu menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk
membantu penegakan diagnosis, pemberian terapi, tindakan pencegahan dan
promosi kesehatan, serta penjagaan dan pemantauan status kesehatan pasien asma.
4. Menjelaskan jenis-jenis kelainan pada sistem respirasi, yang meliputi
kausa, patogenesis, patologi, patofisiologi, gejala dan tanda, komplikasi, prognosis,
dan dasar terapinya.
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Mekanisme Respirasi Normal


Respirasi adalah pertukaran oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2) antara udara
dan sel-sel tubuh. Proses ini meliputi ventilasi (inspirasi dan ekspirasi), difusi O2 dari
alveolus ke darah dan CO2 dari darah ke alveolus, serta transpor O2 ke dan CO2 dari sel
tubuh (Dorland, 2006). Ventilasi secara mekanis dilaksanakan dengan mengubah-ubah
secara berselang-seling arah gradien tekanan aliran udara antara atmosfer dan alveolus
melalui ekspansi dan penciutan berkala paru. Kontraksi dan relaksasi otot-otot inspirasi
(terutama diafragma) secara bergantian menyebabkan inflasi dan deflasi periodik paru
serta secara berkala mengembangkempiskan rongga toraks (Sherwood, 2001).
Oleh karena kontraksi otot inspirasi memerlukan energi, maka inspirasi adalah
proses aktif, sedangkan ekspirasi adalah proses pasif karena ekspirasi terjadi melalui
penciutan elastik paru sewaktu otot-otot inspirasi melemas tanpa memerlukan energi.
Untuk ekspirasi aktif yang lebih kuat, kontraksi otot-otot ekspirasi (terutama otot
abdomen) semakin memperkecil ukuran rongga toraks dan paru, sehingga semakin
meningkatkan gradien tekanan intra-alveolus terhadap atmosfer. Semakin besar gradien
antara alveolus dan atmosfer (dalam kedua arah), semakin besar laju aliran udara. Hal
ini terjadi karena udara akan terus mengalir sampai tekanan intra-alveolus seimbang
dengan tekanan atmosfer. Selain itu laju aliran udara juga berbanding terbalik dengan
resistensi saluran pernafasan. Laju aliran udara biasanya bergantung pada gradien
tekanan yang tercipta antara alveolus dan atmosfer. Apabila resistensi saluran
pernafasan meningkat secara patologis akibat penyakit paru obstruktif menahun,
gradien tekanan juga harus meningkat melalui peningkatan aktivitas otot pernafasan
agar laju aliran udara konstan (Sherwood, 2001).
Paru-paru dapat diregangkan ke berbagai ukuran selama inspirasi dan kemudian
kembali menciut ke ukuran semula selama ekspirasi karena sifat elastiknya. Sifat elastik
ini tergantung pada jaringan ikat elastik dalam paru dan pada interaksi tegangan
permukaan alveolus/surfaktan paru. Tegangan permukaan alveolus disebabkan oleh
gaya tarik-menarik antar molekul air yang melapisi tiap alveolus. Oleh karena alveolus
hanya dilapisi oleh air, tegangan permukaan akan sedemikian besar, sehingga paru
5

cenderung kolaps. Di sinilah peran surfaktan diperlukan untuk menurunkan tegangan


permukaan sehingga mencegah kolapsnya alveolus (Cummings, 2000).
B. Pertukaran dan Transportasi Gas
Oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2) bergerak melintasi membran tubuh
melalui proses difusi pasif mengikuti gradien tekanan parsial. Difusi netto O2 mula-
mula terjadi antara alveolus dan darah, kemudian antara darah dan jaringan. Proses ini
adalah akibat gradien tekanan parsial O2 yang tercipta karena pemakaian terus-menerus
O2 oleh sel dan pemasukan terus-menerus O2 segar melalui ventilasi. Difusi netto CO2
terjadi dalam arah yang berlawanan, pertama-tama antara jaringan dan darah, kemudian
antara darah dan alveolus. Proses ini adalah akibat gradien tekanan parsial CO2 yang
tercipta karena produksi terus-menerus CO2 oleh sel dan pengeluaran terus-menerus
CO2 alveolus oleh proses ventilasi. Karena O2 dan CO2 tidak terlalu larut dalam darah.
Hanya 1,5% O2 yang larut secara fisik dalam darah, sedangkan 98,5% secara kimiawi
berikatan dengan hemoglobin (Hb). Faktor utama yang menentukan seberapa banyak O 2
berikatan dengan Hb (% saturasi Hb) adalah PO2 darah. Hubungan antara PO2 darah dan
%saturasi Hb adalah sedemikian rupa, sehingga pada rentang PO2 pada kapiler paru, Hb
tetap mengalami saturasi penuh walaupun PO2 darah turun sampai 40%. Hal ini
memberikan batas keamanan dengan menjamin penyaluran O2 dengan kadar hampir
normal ke sel-sel walaupun terjadi penurunan bermakna PO2 arteri. CO2 yang diserap di
kapiler sistemik diangkut dalam darah dengan tiga cara : (1) 10% larut secara fisik; (2)
30% terikat ke Hb; dan (3) 60% dalam bentuk bikarbonat (HCO3) (Freedman, 1995).

C. Kontrol Pernafasan
Ventilasi melibatkan dua aspek berbeda, yang keduanya dapat dipengaruhi oleh
kontrol saraf : (1) siklus ritmis antara inspirasi dan ekspirasi dan (2) pengaturan
besarnya ventilasi yang pada gilirannya bergantung pada kontrol frekuensi bernafas dan
kedalaman volume tidal (volume paru-paru pada pernafasan biasa). Irama bernafas
terutama ditentukan oleh aktivitas pemacu yang diperlihatkan oleh neuron-neuron
inspirasi yang terletak di pusat kontrol pernafasan di medula batang otak. Sewaktu
neuron-neuron inspirasi ini melepaskan muatan secara spontan, impuls akhirnya
mencapai otot-otot inspirasi sehingga terjadilah inspirasi. Apabila neuron inspirasi
berhenti melepaskan muatan, otot inspirasi melemas dan terjadilah ekspirasi. Apabila
ekspirasi aktif akan terjadi, otot-otot ekspirasi diaktifkan oleh keluaran neuron-neuron
ekspirasi di medula. Irama dasar ini diperhalus dengan keseimbangan aktivitas di pusat
6

apnustik dan pneumotaksik yang terletak lebih tinggi di batang otak dan pons. Pusat
apnustik memperpanjang inspirasi, sementara pusat pneumotaksik yang lebih kuat
membatasi inspirasi (Cummings, 2000).
Tiga faktor kimia berperan dalam penentuan besarnya ventilasi, yaitu : tekanan
O2 (PO2), tekanan CO2 (PCO2), dan konsentrasi ion hidrogen (H+) dalam arteri. Faktor
yang dominan dalam pengaturan ventilasi adalah faktor PCO2. Peningkatan PCO2 arteri
merupakan stimulus kimiawi terkuat yang merangsang ventilasi. Perubahan PCO2
menimbulkan perubahan setara pada konsentrasi ion H+. Kemoreseptor perifer bersifat
responsif terhadap peningkatan konsentrasi ion H+ arteri, yang secara refleks
meningkatkan ventilasi. Kemoreseptor perifer juga secara refleks merangsang pusat
pernafasan sebagai respon terhadap penurunan mencolok PO2 (Sherwood, 2001).

D. Asma
Asma adalah penyakit inflamasi (radang) kronik saluran napas menyebabkan
peningkatan hiperesponsif jalan nafas yang menimbulkan gejala episodik berulang
berupa wheezing, sesak nafas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam
menjelang dini hari. Gejala tersebut terjadi berhubungan dengan obstruksi jalan nafas
yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
Penyebab serangan asma adalah karena saluran pernapasan penderita asma
memiliki sifat yang khas yaitu sangat peka terhadap berbagai rangsangan (bronchial
hyperreactivity = hipereaktivitas saluran napas). Pada penderita asma, penyempitan
saluran pernafasan merupakan respon terhadap rangsangan yang pada paru-paru normal
tidak akan mempengaruhi saluran pernafasan. Penyempitan ini dapat dipicu oleh
berbagai rangsangan. Pada suatu serangan asma, otot polos dari bronki mengalami
kejang dan jaringan yang melapisi saluran udara mengalami pembengkakan karena
adanya peradangan dan pelepasan lendir ke dalam saluran udara.Hal ini akan
memperkecil diameter dari saluran udara (disebut bronkokonstriksi) dan penyempitan
ini menyebabkan penderita harus berusaha sekuat tenaga supaya dapat bernafas. Sel-sel
tertentu di dalam saluran respirasi (terutama sel mast) bertanggung jawab terhadap awal
mula terjadinya penyempitan ini. Sel mast di sepanjang bronki melepaskan bahan
seperti histamin dan leukotrien yang menyebabkan terjadinya: kontraksi otot polos,
peningkatan pembentukan lendir, dan perpindahan sel darah putih tertentu ke bronki.
Sel mast mengeluarkan bahan tersebut sebagai respon terhadap sesuatu yang mereka
kenal sebagai benda asing (alergen). Sel lainnya (eosnofil) yang ditemukan di dalam
7

saluran udara penderita asma melepaskan bahan lainnya (juga leukotrien), yang juga
menyebabkan penyempitan saluran respirasi.
Faktor pencetus kejadian asma dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Faktor penjamu: faktor pada pasien: a). aspek genetik, b). kemungkinan alergi,
c). saluran napas yang mudah terangsang, d). jenis kelamin, dan e). ras/etnik.
2. Faktor lingkungan:
a). Bahan-bahan di dalam ruangan: tungau debu rumah, binatang (kecoa).
b). Bahan-bahan di luar ruangan: tepung sari bunga, jamur.
c). Makanan tertentu seperti bahan pengawet, penyedap, dan pewarna.
d). Obat-obatan tertentu
e). Iritan (parfum, bau-bauan merangsang, household spray)
f). Ekspresi emosi yang berlebihan
g). Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
h). Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
i). Infeksi saluran napas
j). Exercise induced asma
k). Perubahan cuaca
Asma seringkali disertai dengan beberapa gejala dan tanda, seperti batuk, sesak
nafas, dahak, serta demam.
Batuk, mekanisme batuk dapat dibagi menjadi tiga fase, yaitu fase inspirasi, fase
kompresi, dan fase ekspirasi. Batuk biasanya bermula dari inhalasi sejumlah udara,
kemudian glotis akan menutup dan tekanan di dalam paru akan meningkat yang
akhirnya diikuti dengan pembukaan glotis secara tiba-tiba dan ekspirasi sejumlah udara
dalam kecepatan tertentu. Fase inspirasi dimulai dengan inspirasi singkat dan cepat dari
sejumlah besar udara, pada saat ini glotis secara refleks sudah terbuka. Volume udara
yang diinspirasi sangat bervariasi jumlahnya, berkisar antara 200 sampai 3500 ml di
atas kapasitas residu fungsional. Ada dua manfaat utama dihisapnya sejumlah besar
volume ini. Pertama, volume yang besar akan memperkuat fase ekspirasi nantinya dan
dapat menghasilkan ekspirasi yang lebih cepat dan lebih kuat. Manfaat kedua, volume
yang besar akan memperkecil rongga udara yang tertutup sehingga pengeluaran sekret
akan lebih mudah. Setelah udara di inspirasi, maka mulailah fase kompresi dimana
glotis akan tertutup selama 0,2 detik. Pada masa ini, tekanan di paru dan abdomen akan
meningkat sampai 50-100 mmHg. Tertutupnya glotis merupakan ciri khas batuk, yang
membedakannya dengan manuver ekspirasi paksa lain karena akan menghasilkan
8

tenaga yang berbeda. Tekanan yang didapatkan bila glotis tertutup adalah 10 sampai
100% lebih besar daripada cara ekspirasi paksa yang lain. Di pihak lain, batuk juga
dapat terjadi tanpa penutupan glotis.
Kemudian, secara aktif glotis akan terbuka dan berlangsunglah fase ekspirasi.
Udara akan keluar dan menggetarkan jaringan saluran napas serta udara yang ada
sehingga menimbulkan suara batuk yang kita kenal. Arus udara ekspirasi yang
maksimal akan tercapai dalam waktu 3050 detik setelah glotis terbuka, yang kemudian
diikuti dengan arus yang menetap. Kecepatan udara yang dihasilkan dapat mencapai
16.000 sampai 24.000 cm/menit, dan pada fase ini dapat dijumpai pengurangan
diameter trakea sampai 80%.
Dahak terjadi karena mukus yang dihasilkan oleh saluran pernapasan keluar
bersama dengan refleks batuk. Dalam saluran pernapasan atas terdapat sel-sel goblet
yang berfungsi untuk menghasilkan mukus. Mukus pada orang dewasa normal setiap
hari dihasilkan sekitar 100 ml. Mukus ini bergerak bersama dengan silia, namun jika
mukus yang dihasilkan terlalu banyak dan mengental, maka akan menghambat saluran
pernapasan sehingga tubuh akan mengeluarkannya bersama dengan refleks batuk.
Sesak napas pada penderita asma terjadi karena saluran napasnya sangat peka
(hipersensitif) terhadap adanya partikel udara ini, sebelum sempat partikel tersebut
dikeluarkan dari tubuh, maka jalan napas (bronkus) memberi reaksi yang sangat
berlebihan (hiperreaktif), maka terjadilah keadaan dimana: otot polos yang
menghubungkan cincin tulang rawan akan berkontraksi, produksi kelenjar lendir yang
berlebihan, dan bila ada infeksi, misal batuk pilek akan terjadi reaksi pembengkakan
dalam saluran napas. Hasil akhir dari semua itu adalah penyempitan rongga saluran
napas. Akibatnya, terjadi keluhan sesak napas, batuk keras bila paru mulai berusaha
untuk membersihkan diri, dahak yang kental bersama batuk, terdengar wheezing yang
timbul apabila udara dipaksakan melalui saluran napas yang sempit. Wheezing tersebut
dapat sampai terdengar keras terutama saat ekspirasi.
Demam, pusat pengaturan suhu pada manusia terjadi di hypothalamus anterior
sebagai pengatur pembuangan panas dan hypothalamus posterior sebagai pengatur
penyimpanan panas. Demam terjadi karena meningkatnya set point suhu di
hypothalamus sehingga tubuh berespon dengan menggigil dan meningkatkan
metabolisme basal tubuh. Demam merupakan respon karena dilepaskannya interleukin-
1 (pirogen endogen) yang dibebaskan oleh makrofag, neutrofil aktif dan sel-sel yang
mengalami inflamasi. Interleukin-1 ini yang akhirnya merangsang pembentukan
9

prostaglandin yang menyebabkan kenaikan set point pada hypothalamus.


Penyakit asma dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis dan sejarah medis
pasien. Adanya gejala dan tanda di bawah ini meningkatkan kecurigaan seseorang
terserang asma.
 Wheezing yaitu bunyi bersiul ketika ekspirasi.
 Adanya gejala berikut : batuk yang memburuk pada malam hari, kesulitan
bernapas yang kambuh-kambuhan, dan sesak napas.
 Catatan: gejala timbul atau bertambah buruk pada malam hari atau pada musim
tertentu. Pasien juga mengalami eksim, demam, atau sejarah keluarga sakit asma
atau penyakit atopik. Gejala berhenti jika diberi terapi anti-asma.
Kaitannya dengan penyakit asma, pengukuran fungsi vital paru-paru cukup
penting dalam menilai reversibilitas dan variabilitas pada keterbatasan respirasi serta
mengkonfirmasi hasil diagnosis asma. Berikut adalah beberapa pemeriksaannya:
• Spirometri adalah metode yang lebih disukai untuk mengukur keterbatasan respirasi
dan reversibilitas untuk menetapkan suatu diagnosis penyakit asma. Suatu
peningkatan FEV1 12% ( atau 200 ml) setelah pemberian suatu bronchodilator
menandai adanya keterbatasan respirasi akibat penyakit asma.
• Pemeriksaan Arus Puncak Ekspirasi (APE) merupakan cara untuk mendiagnosis dan
memonitoring asma. APE idealnya dibandingkan antara hasil pengukuran sebelum
dan sesudahnya. Suatu peningkatan 60 L/menit (atau 20% pre-bronchodilator APE)
setelah penghisapan suatu bronchodilator, atau variasi APE lebih dari 20% (dengan
hasil pembacaan dua kali sehari lebih dari 10%), menyatakan hasil diagnosis
penyakit asma.
Test tambahan:
• Untuk pasien dengan gejala asma, tetapi tes fungsi paru-paru di atas memberikan
hasil normal, maka pengukuran reaksi methacholine, histamine, mannitol, atau
latihan akan membantu menetapkan hasil diagnosis penyakit asma.
• Uji alergi pada kulit atau pengukuran IgE spesifik di dalam serum dapat membantu
ke arah identifikasi faktor risiko yang menyebabkan sakit asma.
10

BAB III
ANALISIS TERAPI ASMA

A. Tatalaksana Pasien Asma


Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan
dalam melakukan aktivitas sehari-hari (asma terkontrol). Tujuan terapi asma
diantaranya :
− Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma;
− Mencegah eksaserbasi akut;
− Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin;
− Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise;
− Menghindari efek samping obat;
− Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel;
− Mencegah kematian karena asma.
− Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi
genetiknya.
Dalam penatalaksanaan asma perlu adanya hubungan yang baik antara dokter
dan pasien sebagai dasar yang kuat dan efektif, hal ini dapat tercipta apabila adanya
komunikasi yang terbuka dan selalu bersedia mendengarkan keluhan atau pernyataan
pasien, ini merupakan kunci keberhasilan pengobatan.
Ada 5 (lima) komponen yang dapat diterapkan dalam penatalaksanaan asma :
− KIE dan hubungan dokter-pasien
− Identifikasi dan menurunkan pajanan terhadap faktor risiko;
− Penilaian, pengobatan dan monitor asma;
− Penatalaksanaan asma eksaserbasi akut, dan
− Keadaan khusus seperti ibu hamil, hipertensi, diabetes melitus, dll
Pada prinsipnya penatalaksanaan asma klasifikasikan menjadi: 1) Penatalaksanaan
asma akut/saat serangan, dan 2) Penatalaksanaan asma jangka panjang.
1. Penatalaksanaan asma akut (saat serangan)
Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui
oleh pasien. Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan oleh pasien di rumah (lihat
11

bagan 1), dan apabila tidak ada perbaikan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Penanganan harus cepat dan disesuaikan dengan derajat serangan. Penilaian
beratnya serangan berdasarkan riwayat serangan termasuk gejala, pemeriksaan fisik
dan sebaiknya pemeriksaan faal paru, untuk selanjutnya diberikan pengobatan yang
tepat dan cepat.
Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah :
• bronkodilator (β2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida)
• kortikosteroid sistemik
Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya β2 agonis kerja cepat yang
sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak memungkinkan dapat
diberikan secara sistemik. Pada dewasa dapat diberikan kombinasi dengan
teofilin/aminofilin oral. Pada keadaan tertentu (seperti ada riwayat serangan berat
sebelumnya) kortikosteroid oral (metilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu
singkat 3- 5 hari.
Pada serangan sedang diberikan β2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral.
Pada dewasa dapat ditambahkan ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV (bolus
atau drip). Pada anak belum diberikan ipratropium bromida inhalasi maupun
aminofilin IV. Bila diperlukan dapat diberikan oksigen dan pemberian cairan IV.
Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV, β2
agonis kerja cepat ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin
IV (bolus atau drip). Apabila β2 agonis kerja cepat tidak tersedia dapat digantikan
dengan adrenalin subkutan. Pada serangan asma yang mengancam jiwa langsung
dirujuk ke ICU.
Pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan dalam bentuk inhalasi
menggunakan nebuliser. Bila tidak ada dapat menggunakan IDT (MDI) dengan alat
bantu (spacer).

2. Penatalaksanaan asma jangka panjang


Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan
mencegah serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan
klasifikasi beratnya asma. Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi: 1) Edukasi;
2) Obat asma (pengontrol dan pelega); dan 3) Menjaga kebugaran.
Edukasi yang diberikan mencakup :
• Kapan pasien berobat/ mencari pertolongan
12

• Mengenali gejala serangan asma secara dini


• Mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu
penggunaannya
• Mengenali dan menghindari faktor pencetus
• Kontrol teratur
Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan pada saat
serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan
asma dan diberikan dalam jangka panjang dan terus menerus. Untuk mengontrol
asma digunakan anti inflamasi (kortikosteroid inhalasi). Pada anak, kontrol
lingkungan mutlak dilakukan sebelum diberikan kortikosteroid dan dosis diturunkan
apabila dua sampai tiga bulan kondisi telah terkontrol. Obat asma yang digunakan
sebagai pengontrol antara lain: inhalasi kortikosteroid, β2 agonis kerja panjang,
antileukotrien,dan teofilin lepas lambat
Selain edukasi dan obat-obatan, diperlukan juga menjaga kebugaran, antara lain
dengan melakukan senam asma. Pada dewasa, dengan Senam Asma Indonesia yang
teratur, asma terkontrol akan tetap terjaga, sedangkan pada anak dapat
menggunakan olahraga lain yang menunjang kebugaran.
Dengan melaksanakan ketiga hal diatas diharapkan tercapai tujuan penanganan
asma, yaitu asma terkontrol. Berikut adalah ciri-ciri asma terkontrol, terkontrol
sebagian, dan tidak terkontrol.
Ciri-ciri Tingkatan Asma
Tingkatan Asma Terkontrol
Terkonrol Tidak
Karakteristik Terkontrol
Sebagian Terkonrol
Gejala harian Tidak ada (dua Lebih dari dua Tiga atau lebih gejala
kali atau kurang kali seminggu dalam kategori Asma
perminggu) Terkontrol Sebagian,
Pembatasan aktivitas Tidak ada Sewaktu-waktu
muncul sewaktu –
dalam seminggu
waktu dalam seminggu
Gejala Tidak ada Sewaktu –
nokturnal/gangguan waktu dalam
tidur (terbangun) seminggu
Kebutuhan akan Tidak ada (dua Lebih dari dua
reliever atau terapi kali atau kurang kali seminggu
rescue dalam seminggu)
Fingsi Paru (PEF atau Normal < 80%
13

FEV1*) (perkiraan atau


dari kondisi
terbaik bila
diukur)
Eksaserbasi Tidak ada Sekali atau lebih Sekali dalam
dalm setahun**) seminggu***)

Keterangan :
*)
Fungsi paru tidak berlaku untuk anak-anak di usia 5 tahun atau di bawah 5 tahun.
**)
Untuk semua bentuk eksaserbasi sebaiknya dilihat kembali terapinya apakah adekuat.
***)
Suatu eksaserbasi mingguan, membuatnya menjadi asma takterkontrol.

B. Rujukan Kasus Asma


Dokter umum / puskesmas harus merujuk pasien asma dengan kondisi tertentu
ke Rumah Sakit Rujukan yang memiliki pelayanan spesialistik seperti :
• Layanan Serangan berat
• Layanan Serangan yang mengancam jiwa
• Pada tatalaksana jangka panjang, apabila dengan kortikosteroid inhalasi
dosis rendah (untuk anak sampai dengan 200 mcg/hari, sedangkan dewasa 400
mcg/hari) selama 4 minggu tidak ada perbaikan (tidak terkontrol).
• Asma dengan keadaan khusus seperti ibu hamil, hipertensi, diabetes dll

Tabel berikut dapat membantu seseorang pasien asma untuk mengenali berbagai
faktor risiko pencetus asma.
1 Alergen yang dihirup.
Apakah memelihara binatang di dalam rumah, dan binatang apa?
Apakah terdapat bagian di dalam rumah lembab? (kemungkinan jamur)
Apakah di dalam rumah ada dan banyak di dapatkan kecoa?
Apakah menggunakan karpet berbulu atau sofa kain? (mite)
Berapa sering mengganti tirai, alas kasur/kain sprei? (mite)
Apakah banyak barang di dalam kamar tidur (mite)?
• Apakah pasien (asma anak) sering bermain dengan boneka berbulu?
2 Pajanan lingkungan kerja
• Apakah pasien batuk, mengi, sesak napas selama bekerja, tetapi
keluhan menghilangkan bila libur kerja (hari minggu)?
14

• Apakah pasien mengalami lakrimasi pada mata dan hidung sebagai


iritasi segera setelah tiba di tempat kerja?
• Apakah pekerja lainnya mengalami keluhan yang sama?
• Bahan – bakan apa yang digunakan pada pabrik/pekerjaan anda?
• Anda bekerja sebagai apa?
• Apakah anda bekerja di lingkungan jalan raya?
3 Polutan & Iritan di dalam dan di luar ruangan
• Apakah kontak dengan bau-bauan merangsang seperti parfum,
bahan pembersih spray, dll
• Apakah anda menggunakan kompor berasap atau bahkan kayu
bakar di dalam rumah?
• Apa sering memasak makanan yang menghasilkan bau
merangsang?
• Apakah pasien sering terpajan dengan debu jalan?
4 Asap rokok
• Apakah pasien merokok?
• Adakah orang lain yang merokok di sekitar pasien saat di rumah/di
lingkungan kerja?
• Apakah orang tua pasien (asma anak) merokok?
5 Refluks gastroesofagus
• Apakah pasien mengeluh nyeri ulu hati (heart burn)?
• Apa pasien kadang regurgitasi atau makanan kembali ke tenggorokan ?
• Apakah pasien mengalami batuk, sesak dan mengi saat malam?
• Apakah pasien asma (asmak) muntah diikuti oleh batuk atau mengi
malam hari? Atau gejala memburuk setelah makan?
6 Sensitif dengan obat-obatan
• Obat apakah yang digunakan pasien?
• Apakah ada obat penghambat/beta blocker?
• Apa pasien sering menggunakan aspirin atau antiinflamasi nonsteroid?
• Apakah pasien sering eksaserbasi setelah minum obat tersebut?

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Asma adalah suatu kelainan pada sistem respirasi yang terjadi karena adanya
15

bronkokonstriksi akibat adanya reaksi alergi, yang terkadang disertai dengan


peningkatan sekresi mukus yang menambah keparahan sumbatan jalan nafas.
2. Kelainan yang terjadi pada penderita asma dapat dicetuskan oleh beberapa hal seperti
faktor penjamu yanga ada pada penderita (genetik, ras, jenis kelamin, alergi) dan
faktor lingkungan (misal: debu, udara dingin).
3. Penatalaksanaan penderita asma, terbagi menjadi dua kategori, yaitu pada fase akut
untuk mengatasi serangan asma yang terjadi dan penatalaksaan jangka panjang untuk
mencegah terjadinya serangan asma yang berulang.
4. Pencegahan terjadinya serangan asthma juga dapat dilakukan dengan cara menjaga
kesehatan (makan makanan bergizi, cukup istirahat), menjaga kebersihan,
melindungi diri dari alergen, dan rajin melakukan senam pernapasan untuk
memperkuat otot-otot pernapasan.

B. Saran
1. Setiap tenaga medis sebaiknya memahami penanganan kasus asma oleh karena
tingkat kejadian yang cukup tinggi.
2. Melalui pemahaman yang baik, seorang tenaga medis diharapkan mampu
memberikan pertolongan pada kasus asma eksaserbasi, memberikan terapi, baik
untuk menghilangkan rasa sesak ataupun mengendalikan agar tidak timbul kejadian
asma yang berulang.
3. Keterbatasan penanganan asma di klinik-klinik daerah memerlukan pengertian dari
dokter yang menangani sehingga pada kasus-kasus berat dapat dengan segera
dilakukan rujukan ke rumah sakit rujukan terdekat.
4. Edukasi terhadap penderita asma harus benar-benar dipastikan, mulai dari upaya
menghindari faktor pencetus, edukasi pola hidup, serta edukasi terhadap cara
penggunaan obat asma, terutama inhaler sehingga pengobatan dapat berjalan efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Amin, M., Hool A., W.B.M.T. Saleh. 1989. Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga
University Press.
16

Amin, Z. 2007. Manifestasi Klinik dan Pendekatan pada Pasien dengan Kelainan
Sistem Pernapasan. In : Sudoyo, A. W., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam I. 4th
ed. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Arief, M. 2004. Histologi Umum Kedokteran. Surakarta : Sebelas Maret University
Press.
Bhakti , Wida K., M.Kes. 2008. Asuhan Keperawatan Kebutuhan Oksigenasi.
http://athearobiansyah.blogspot.com/2008/03/asuhan-keperawatan-kebutuhan-
oksigenasi.html. Diakses tanggal 6 Desember 2008.
Behrman, Kliegman, Arvin. Ed: A. Samik Wahab. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson
Edisi 15 Vol. 2. Jakarta : EGC.
Cummings, B. 2000. Interactive Physiology. http://www.Addison Wesley and
adam.com.
Dorland, W. A. N. 2006. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29. Alih bahasa :
Huriawati, et. al. Jakarta : EGC.
Freedman, Stanley. 1995. Mechanics of Ventilation. In : Brewis, RAL., Respiratory
Medicine Volume I. 2nd Ed. London : W.B. Saunders Company Ltd.
Guyton, Arthur C., John E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta : EGC.
Hartanto, H., Pendit, B.U., Wulansari, P., Mahanani, D.A., editors. 2006. Patofisiologi
dan Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Ilham. 2008. Kondas Asma Bronkhial. http://healthreference-
ilham.blogspot.com/2008/07/kondas-asma-bronkhial.html. Diakses tanggal 6
Desember 2008
Irawan, Panji, H., dr, Sp.PD. 2008. Sistem Pernapasan.
http://panji1102.blogspot.com/2008/03/sistem-pernapasan.html./ Diakses tanggal
6 Desember 2008
Medicastore. 2008. ”Asma Bronkial”. http://www.medicastore.com/neo_napacin/asma_
bronkial.htm. Diakses tanggal 1 Desember 2008
Newman, W. A. 2006. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta : EGC
Seeley, Rod R., Trent D. Stephens dan Philip Tate. 2003. Anatomy & Physiology.
Philadelphia: Mc Graw-HillSherwood, L. 2001. Sistem Pencernakan. Dalam :
Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Alih bahasa : Pendit, B. U. Jakarta : EGC.
Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta: EGC.
17

Tim Kelompok Kerja Asma. 2004. Asma, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Di
Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Utama , Wahyudhy , Harry, S.Ked. 2007. Trakeostomi (Tracheostomy).
http://klikharry.wordpress.com/category/science/page/2/./. Diakses tanggal 6
Desember 2008
Vira. 2008. “Sistema Respiratorius”. http://okhealth.blogspot.com/2008/03/sistema-
respirato-rius.html. Diakses tanggal 1 Desember 2008.
Wilkins, R.L., John E.H., Brad L. 1988. Auskultasi Paru. Alih bahasa : Saputra,
Lyndon. Jakarta : Binarupa Aksara.

Anda mungkin juga menyukai