Anda di halaman 1dari 18

TUGAS SEJARAH

BAB 8

Di Susun Oleh :

Yuni Ayu Wandira

XI IPA 4

SMA Negeri 1 Way Jepara

Lampung Tmur
INDONESIA MASA DEMOKRASI LIBERAL (1950-1959)
 
 
A.  KABINET MASA DEMOKRASI LIBERAL
a.     KABINET NATSIR (6 September 1950 - 21 Maret 1951)
Merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi.
     Dipimpin Oleh : Muhammad Natsir

     Program        :

1.      Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.


2.      Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
3.      Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
4.      Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.
5.      Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
     Hasil               :

Berlangsung perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai


masalah Irian Barat.
     Kendala/ Masalah yang dihadapi      :

-         Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan
buntu (kegagalan).
-         Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di
seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan
APRA, Gerakan RMS.
     Berakhirnya kekuasaan kabinet         : 

Adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah
mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950
mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen
sehingga Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
b.      KABINET SUKIMAN (27 April 1951 – 3 April 1952)
Merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI.
     Dipimpin Oleh:  Sukiman Wiryosanjoyo

     Program        :

1.      Menjamin keamanan dan ketentraman


2.      Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar
sesuai dengan kepentingan petani.
3.      Mempercepat persiapan pemilihan umum.
4.      Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat
ke dalam wilayah RI secepatnya.
     Hasil               :

Tidak terlalu berarti sebab programnya melanjtkan program Natsir hanya saja terjadi
perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya program
Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan untuk
menjamin keamanan dan ketentraman
     Kendala/ Masalah yang dihadapi      :

        Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia
Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian
bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia
berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA). Dimana dalam MSA terdapat
pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan memperhatiakan
kepentingan Amerika.
Tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia
yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah
memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
        Adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada
setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
        Masalah Irian barat belum juga teratasi.
        Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik tampak dengan kurang tegasnya
tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah,
Sulawesi Selatan.
     Berakhirnya kekuasaan kabinet         : 

Muncul pertentangan dari Masyumi dan PNI atas tindakan Sukiman sehingga mereka
menarik dukungannya pada kabinet tersebut. DPR akhirnya menggugat Sukiman dan
terpaksa Sukiman harus mengembalikan mandatnya kepada presiden.  
c.       KABINET WILOPO (3 April 1952 – 3 Juni 1953)
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang
ahli dalam biangnya.
     Dipimpin Oleh : Mr. Wilopo
     Program           :

1.      Program dalam negeri      : Menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante,


DPR, dan DPRD), meningkatkan kemakmuran rakyat, meningkatkan pendidikan
rakyat, dan pemulihan keamanan.
2.      Program luar negeri : Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda,
Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta menjalankan politik luar
negeri yang bebas-aktif.
     Hasil                  : -

     Kendala/ Masalah yang dihadapi            :

      Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena jatuhnya harga barang-
barang eksport Indonesia sementara kebutuhan impor terus meningkat.
      Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang banyak
terlebih setelah terjadi penurunana hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar
untuk mengimport beras.
      Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam
keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi
dana dari pusat ke daerah yang tidak seimbang.
      Terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. Merupakan upaya pemerintah untuk
menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga muncul sikap tidak senang dikalangan
partai politik sebab dipandang akan membahayakan kedudukannya. Peristiwa ini
diperkuat dengan munculnya masalah intern dalam TNI sendiri yang berhubungan
dengan kebijakan KSAD A.H Nasution yang ditentang oleh Kolonel Bambang Supeno
sehingga ia mengirim petisi mengenai penggantian KSAD kepada menteri
pertahanan yang dikirim ke seksi pertahanan parlemen sehingga menimbulkan
perdebatan dalam parlemen. Konflik semakin diperparah dengan adanya surat yang
menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam memulihkan keamanana di
Sulawesi Selatan.
Keadaan ini menyebabkan muncul demonstrasi di berbagai daerah menuntut
dibubarkannya parlemen. Sementara itu TNI-AD yang dipimpin Nasution
menghadap presiden dan menyarankan agar parlemen dibubarkan. Tetapi saran
tersebut ditolak.
Muncullah mosi tidak percaya dan menuntut diadakan reformasi dan reorganisasi
angkatan perang dan mengecam kebijakan KSAD.
Inti peristiwa ini adalah gerakan sejumlah perwira angkatan darat guna menekan
Sukarno agar membubarkan kabinet.
      Munculnya peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah
perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Sesuai dengan perjanjian KMB pemerintah
mengizinkan pengusaha asing untuk kembali ke Indonesia dan memiliki tanah-tanah
perkebunan. Tanah perkebunan di Deli yang telah ditinggalkan pemiliknya selama
masa Jepang telah digarap oleh para petani di Sumatera Utara dan dianggap
miliknya. Sehingga pada tanggal 16 Maret 1953 muncullah aksi kekerasan untuk
mengusir para petani liar Indonesia yang dianggap telah mengerjakan tanah tanpa
izin tersebut. Para petani tidak mau pergi sebab telah dihasut oleh PKI. Akibatnya
terjadi bentrokan senjata dan beberapa petani terbunuh.
Intinya peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara aparat
kepolisian dengan para petani liar mengenai persoalan tanah perkebunan di
Sumatera Timur (Deli).
     Berakhirnya kekuasaan kabinet   : 

Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani
Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya
pada presiden.
d.      KABINET ALI SASTROAMIJOYO I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
Kabinet ini merupakan koalisi antara PNI dan NU.
     Dipimpin Oleh : Mr. Ali Sastroamijoyo

     Program        :

1.      Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera menyelenggarakan


Pemilu.
2.      Pembebasan Irian Barat secepatnya.
3.      Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB.
4.      Penyelesaian Pertikaian politik
     Hasil               :

        Persiapan Pemilihan Umum untuk memilih anggota parlemen yang akan
diselenggarakan pada 29 September 1955.
        Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.
     Kendala/ Masalah yang dihadapi            :

      Menghadapi masalah keamanan di daerah yang belum juga dapat terselesaikan,
seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
      Terjadi peristiwa 27 Juni 1955 suatu peristiwa yang menunjukkan adanya
kemelut dalam tubuh TNI-AD. Masalah TNI –AD yang merupakan kelanjutan dari
Peristiwa 17 Oktober 1952. Bambang Sugeng sebagai Kepala Staf AD mengajukan
permohonan berhenti dan disetujui oleh kabinet. Sebagai gantinya mentri
pertahanan menunjuk Kolonel Bambang Utoyo tetapi panglima AD menolak
pemimpin baru tersebut karena proses pengangkatannya dianggap tidak
menghiraukan norma-norma yang berlaku di lingkungan TNI-AD. Bahkan ketika
terjadi upacara pelantikan pada 27 Juni 1955 tidak seorangpun panglima tinggi yang
hadir meskipun mereka berada di Jakarta. Wakil KSAD-pun menolak melakukan
serah terima dengan KSAD baru.
      Keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang
menunjukkan gejala membahayakan.
      Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
      Munculnya konflik antara PNI dan NU yang menyebabkkan, NU memutuskan
untuk menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti
oleh partai lainnya.
     Berakhirnya kekuasaan kabinet   : 

Nu menarik dukungan dan menterinya dari kabinet sehingga keretakan dalam


kabinetnya inilah yang memaksa Ali harus mengembalikan mandatnya pada presiden.
e.      KABINET BURHANUDDIN HARAHAP (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
     Dipimpin Oleh     : Burhanuddin Harahap

     Program              :

1.      Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan


Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
2.      Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan
mempercepat terbentuknya parlemen baru
3.      Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi
4.      Perjuangan pengembalian Irian Barat
5.      Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
     Hasil                     :

      Penyelenggaraan pemilu pertama yang demokratis pada 29 September 1955


(memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih konstituante). Terdapat 70
partai politik yang mendaftar tetapi hanya 27 partai yang lolos seleksi. Menghasilkan
4 partai politik besar yang memperoleh suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi,
dan PKI.
      Perjuangan Diplomasi Menyelesaikan masalah Irian Barat dengan pembubaran
Uni Indonesia-Belanda.
      Pemberantasan korupsi dengan menangkap para pejabat tinggi yang dilakukan
oleh polisi militer.
      Terbinanya hubungan antara Angkatan Darat dengan Kabinet Burhanuddin.
      Menyelesaikan masalah peristiwa 27 Juni 1955 dengan mengangkat Kolonel AH
Nasution sebagai Staf Angkatan Darat pada 28 Oktober 1955.
     Kendala/ Masalah yang dihadapi   :

Banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan dianggap menimbulkan


ketidaktenangan.
     Berakhirnya kekuasaan kabinet      : 

Dengan berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin dianggap selesai. Pemilu
tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet sehingga kabinetpun jatuh.
Akan dibentuk kabinet baru yang harus bertanggungjawab pada parlemen yang baru
pula.
f.        KABINET ALI SASTROAMIJOYO II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Kabinet ini merupakan hasil koalisi 3 partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU.
     Dipimpin Oleh : Ali Sastroamijoyo

     Program           :

Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat
program jangka panjang, sebagai berikut.
1.      Perjuangan pengembalian Irian Barat
2.      Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-
anggota DPRD.
3.      Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
4.      Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
5.      Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional
berdasarkan kepentingan rakyat.
Selain itu program pokoknya adalah,
        Pembatalan KMB,
        Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan
politik luar negeri bebas aktif,
        Melaksanakan keputusan KAA.
     Hasil                  :

Mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari periode
planning and investment, hasilnya adalah Pembatalan seluruh perjanjian KMB.
     Kendala/ Masalah yang dihadapi      :

      Berkobarnya semangat anti Cina di masyarakat.


      Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah
pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer seperti Dewan
Banteng di Sumatera Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda di
Sumatra Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, dan Dewan
Manguni di Sulawesi Utara.
      Memuncaknya krisis di berbagai daerah karena pemerintah pusat dianggap
mengabaikan pembangunan di daerahnya.
      Pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya
mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Banyak pengusaha Belanda
yang menjual perusahaannya pada orang Cina karena memang merekalah yang kuat
ekonominya. Muncullah peraturan yang dapat melindungi pengusaha nasional.
      Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI. Masyumi menghendaki agar
Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya sesuai tuntutan daerah, sedangkan PNI
berpendapat bahwa mengembalikan mandat berarti meninggalkan asas demokrasi
dan parlementer.
     Berakhirnya kekuasaan kabinet         : 

Mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh
dan menyerahkan mandatnya pada presiden.
g.      KABINET DJUANDA ( 9 April 1957- 5 Juli 1959)
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli
dalam bidangnya. Dibentuk karena Kegagalan konstituante dalam menyusun Undang-
undang Dasar pengganti UUDS 1950. Serta terjadinya perebutan kekuasaan antara partai
politik.
     Dipimpin Oleh : Ir. Juanda

     Program           :

Programnya disebut Panca Karya sehingga sering juga disebut sebagai Kabinet
Karya, programnya yaitu :
        Membentuk Dewan Nasional
        Normalisasi keadaan Republik Indonesia
        Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB
        Perjuangan pengembalian Irian Jaya
        Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan
Semua itu dilakukan untuk menghadapi pergolakan yang terjadi di daerah, perjuangan
pengembalian Irian Barat, menghadapi masalah ekonomi serta keuangan yang sangat
buruk.
     Hasil                  :

      Mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi


Djuanda, yang mengatur mengenai laut pedalaman dan laut teritorial. Melalui
deklarasi ini menunjukkan telah terciptanya Kesatuan Wilayah Indonesia dimana
lautan dan daratan merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat.
      Terbentuknya Dewan Nasional sebagai badan yang bertujuan menampung dan
menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam masyarakat dengan presiden
sebagai ketuanya. Sebagai titik tolak untuk menegakkan sistem demokrasi
terpimpin.
      Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan pergolakan di
berbagai daerah. Musyawarah ini membahas masalah pembangunan nasional dan
daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah RI.
      Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk mengatasi masalah krisis
dalam negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.
     Kendala/ Masalah yang dihadapi      :
-         Kegagalan Menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan di daerah
semakin meningkat. Hal ini menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi
terhambat. Munculnya pemberontakan seperti PRRI/Permesta.
-         Keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga program
pemerintah sulit dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal mencapai puncaknya.
-         Terjadi peristiwa Cikini, yaitu peristiwa percobaan pembunuhan terhadap
Presiden Sukarno di depan Perguruan Cikini saat sedang menghadir pesta sekolah
tempat putra-purinya bersekolah pada tanggal 30 November 1957. Peristiwa ini
menyebabkan keadaan negara semakin memburuk karena mengancam kesatuan
negara.
     Berakhirnya kekuasaan kabinet         : 

Berakhir saat presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan mulailah
babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi Terpimpin. 
B. KEADAAN EKONOMI INDONESIA MASA LIBERAL
 
Meskipun Indonesia telah merdeka tetapi Kondisi Ekonomi Indonesia masih sangat buruk. Upaya untuk
mengubah stuktur ekonomi kolonial ke ekonomi nasional yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia
berjalan tersendat-sendat.
Faktor yang menyebabkan keadaan ekonomi tersendat adalah sebagai berikut.
1.      Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, bangsa Indonesia
menanggung beban ekonomi dan keuangan seperti yang telah ditetapkan dalam KMB. Beban tersebut
berupa hutang luar negeri sebesar 1,5 Triliun rupiah dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 Triliun
rupiah.
2.      Defisit yang harus ditanggung oleh Pemerintah pada waktu itu sebesar 5,1 Miliar.
3.      Indonesia hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama hasil bumi yaitu pertanian dan
perkebunan sehingga apabila permintaan ekspor dari sektor itu berkurang akan memukul
perekonomian Indonesia.
4.      Politik keuangan Pemerintah Indonesia tidak di buat di Indonesia melainkan dirancang oleh
Belanda.
5.      Pemerintah Belanda tidak mewarisi nilai-nilai yang cukup untuk mengubah sistem ekonomi
kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
6.      Belum memiliki pengalaman untuk menata ekonomi secara baik, belum memiliki tenaga ahli dan
dana yang diperlukan secara memadai.
7.      Situasi keamanan dalam negeri yang tidak menguntungkan berhubung banyaknya
pemberontakan dan gerakan sparatisisme di berbagai daerah di wilayah Indonesia.
8.      Tidak stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah untuk
operasi-operasi keamanan semakin meningkat.
9.      Kabinet terlalu sering berganti menyebabakan program-program kabinet yang telah direncanakan
tidak dapat dilaksanakan, sementara program baru mulai dirancang.
10. Angka pertumbuhan jumlah penduduk yang besar.
 
Masalah jangka pendek yang harus dihadapi pemerintah adalah :
1.      Mengurangi jumlah uang yang beredar
2.      Mengatasi Kenaikan biaya hidup.
Sementara masalah jangka panjang yang harus dihadapi adalah :
1.      Pertambahan penduduk dan tingkat kesejahteraan penduduk yang rendah.
C. KEBIJAKAN PEMERINTAH UNTUK MENGATASI MASALAH EKONOMI MASA
LIBERAL 
Kehidupan ekonomi Indonesia hingga tahun 1959 belum berhasil dengan baik dan tantangan
yang menghadangnya cukup berat. Upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi
adalah sebagai berikut.
1.     Gunting Syafruddin
Kebijakan ini adalah Pemotongan nilai uang (sanering). Caranya memotong semua uang
yang bernilai Rp. 2,50 ke atas hingga nilainya tinggal setengahnya.
Kebijakan ini dilakukan oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara pada masa
pemerintahan RIS. Tindakan ini dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950 berdasarkan SK
Menteri Nomor 1 PU tanggal 19 Maret 1950
Tujuannya untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar.
Dampaknya rakyat kecil tidak dirugikan karena yang memiliki uang Rp. 2,50 ke atas hanya
orang-orang kelas menengah dan kelas atas. Dengan kebijakan ini dapat mengurangi jumlah
uang yang beredar dan pemerintah mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan
mendapat pinjaman sebesar Rp. 200 juta. 
2.     Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk
mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah yang dilakukan pada masa Kabinet Natsir
yang direncanakan oleh Sumitro Joyohadikusumo (menteri perdagangan). Program ini
bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional
(pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya :
      Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.

 Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk
berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
       Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan

bantuan kredit.
      Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi

maju.
 
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program Gerakan
Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700
perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini. Tetapi tujuan
program ini tidak dapat tercapai dengan baik meskipun beban keuangan pemerintah
semakin besar. Kegagalan program ini disebabkan karena :
      Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi

dalam kerangka sistem ekonomi liberal.


      Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
      Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
      Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.

      Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara

hidup mewah.
      Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara

cepat dari kredit yang mereka peroleh. 


Dampaknya program ini menjadi salah satu sumber defisit keuangan. Beban defisit
anggaran Belanja pada 1952 sebanyak 3 Miliar rupiah ditambah sisa defisit anggaran tahun
sebelumnya sebesar 1,7 miliar rupiah. Sehingga menteri keuangan Jusuf Wibisono
memberikan bantuan kredit khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari
golongan ekonomi lemah sehingga masih terdapat para pengusaha pribumi sebagai
produsen yang dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume impor.
3.     Nasionalisasi De Javasche Bank
Seiring meningkatnya rasa nasionalisme maka pada akhir tahun 1951 pemerintah Indonesia
melakukan nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat
peraturan bahwa mengenai pemberian kredi tharus dikonsultasikan pada pemerintah
Belanda. Hal ini menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan
moneter.
Tujuannya adalah untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta
melakukan penghematan secara drastis.
Perubahan mengenai nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai bank
sentral dan bank sirkulasi diumumkan pada tanggal 15 Desember 1951 berdasarkan
Undang-undang No. 24 tahun 1951.
4.     Sistem Ekonomi Ali-Baba
Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Iskaq Tjokrohadisurjo (mentri perekonomian
kabinet Ali I). Tujuan dari program ini adalah
        Untuk memajukan pengusaha pribumi.
        Agar para pengusaha pribumi Bekerjasama memajukan ekonomi nasional.
        Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka
merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
        Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi
dan non pribumi.
Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba digambarkan sebagai
pengusaha non pribumi khususnya Cina.
Pelaksanaan kebijakan Ali-Baba,
      Pengusaha pribumi diwajibkan untuk memberikan latihan-latihan dan tanggung

jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan


staf.
      Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional

      Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan


perusahaan-perusahaan asing yang ada.
 
Program ini tidak dapat berjalan dengan baik sebab:
      Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk

mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih
berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.
      Indonesia menerapkan sistem Liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan

bebas.
      Pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.

5.     Persaingan Finansial Ekonomi (Finek)


Pada masa Kabinet Burhanudin Harahap dikirim delegasi ke Jenewa untuk merundingkan
masalah finansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Misi ini dipimpin
oleh Anak Agung Gede Agung. Pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana
persetujuan Finek, yang berisi :
      Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.

      Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.

      Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak boleh diikat
oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau menandatangani, sehingga Indonesia mengambil
langkah secara sepihak. Tanggal 13 Februari1956, Kabinet Burhanuddin Harahap
melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak.
Tujuannya untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sehingga,
tanggal 3 Mei 1956, akhirnya Presiden Sukarno menandatangani undang-undang
pembatalan KMB.
Dampaknya :
Banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha pribumi
belum mampu mengambil alih perusahaan Belanda tersebut.
6.     Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih berganti
menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan terjadinya
kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan.
Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada
masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang
pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang nasional.
Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya
akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November
1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional
Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah.
RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena :
      Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun

1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
      Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
      Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang

melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.


7.     Musyawarah Nasional Pembangunan
Masa kabinet Juanda terjadi ketegangan hubungan antara pusat dan daerah. Masalah
tersebut untuk sementara waktu dapat teratasi dengan Musayawaraah Nasional
Pembangunan (Munap). Tujuan diadakan Munap adalah untuk mengubah rencana
pembangunan agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka
panjang. Tetapi tetap saja rencana pembangunan tersebut tidak dapat
dilaksanakan dengan baik karena :
Adanya kesulitan dalam menentukan skala prioritas.  Terjadi ketegangan politik yang tak dapat
diredakan. Timbul pemberontakan PRRI/Permesta.
Membutuhkan biaya besar untuk menumpas pemberontakan PRRI/ Permesta sehingga
meningkatkan defisit Indonesia.Memuncaknya ketegangan politik Indonesia- Belanda
menyangkut masalah Irian Barat mencapai konfrontasi bersenjata.
INDONESIA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN (1959/1966)

A. DEKRIT PRESIDEN
Pelaksanaan demokrasi terpimpin dimulai dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Latar Belakang dikeluarkan dekrit Presiden :


      Undang-undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara belum
berhasil dibuat sedangkan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem
pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan
masyarakat Indonesia.
      Kegagalan konstituante dalam menetapkan undang-undang dasar sehingga
membawa Indonesia ke jurang kehancuran sebab Indonesia tidak mempunyai pijakan
hukum yang mantap.
      Situasi politik yang kacau dan semakin buruk.

      Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin bertambah

gawat bahkan menjurus menuju gerakan sparatisme.


      Konflik antar partai politik yang mengganggu stabilitas nasional

      Banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda pendapat sementara sulit

sekali untuk mempertemukannya.


      Masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar

tujuan partainya tercapai.


Demi menyelamatkan negara maka presiden melakukan tindakan mengeluarkan keputusan
Presiden RI No. 75/1959 sebuah dekrit yang selanjutnya dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli
1959.
Tujuan dikeluarkan dekrit adalah untuk menyelesaikan masalah negara yang semakin tidak
menentu dan untuk menyelamatkan negara.
Isi Dekrit Presiden adalah sebagai berikut.
a.      Pembubaran konstituante
b.      Tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945.
c.       Pembentukan MPRS dan DPAS
Reaksi dengan adanya Dekrit Presiden:
      Rakyat menyambut baik sebab mereka telah mendambakan adanya stabilitas politik

yang telah goyah selama masa Liberal.


      Mahkamah Agung membenarkan dan mendukung pelaksanaan Dekrit Presiden.
      KSAD meminta kepada seluruh anggota TNI-AD untuk melaksanakan pengamanan
Dekrit Presiden.
      DPR pada tanggal 22 Juli 1945 secara aklamasi menyatakan kesediaannya untuk

melakanakan UUD 1945.


Dampak positif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.
      Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik berkepanjangan.

      Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan negara.

      Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi

negara berupa DPAS yang selama masa Demokrasi Parlemen tertertunda pembentukannya.
Dampak negatif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.
      Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 45 yang

harusnya menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan


pelaksanaannya hanya menjadi slogan-slogan kosong belaka.
    Memberi kekeuasaan yang besar pada presiden, MPR,dan lembaga tinggi negara. Hal
itu terlihat pada masa Demokrasi terpimpin dan berlanjut sampai Orde Baru.
      Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politik. Sejak Dekrit,

militer terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan politik yang disegani. Hal itu semakin
terlihat pada masa Orde Baru dan tetap terasa sampai sekarang.
B. PELAKSANAAN DEMOKRASI TERPIMPIN
Demokrasi Terpimpin berlaku di Indonesia antara tahun 1959-1966, yaitu dari dikeluarkannya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga Jatuhnya kekuasaan Sukarno.
Disebut Demokrasi terpimpin karena demokrasi di Indonesia saat itu mengandalkan pada
kepemimpinan Presiden Sukarno.
Terpimpin pada saat pemerintahan Sukarno adalah kepemimpinan pada satu tangan saja yaitu
presiden.
Tugas Demokrasi terpimpin :
Demokrasi Terpimpin harus mengembalikan keadaan politik negara yang tidak setabil sebagai
warisan masa Demokrasi Parlementer/Liberal menjadi lebih mantap/stabil.
Demokrasi Terpimpin merupakan reaksi terhadap Demokrasi Parlementer/Liberal. Hal ini
disebabkan karena :
      Pada masa Demokrasi parlementer, kekuasaan presiden hanya terbatas sebagai

kepala negara.
      Sedangkan kekuasaan Pemerintah dilaksanakan oleh partai.

Dampaknya: Penataan kehidupan politik menyimpang dari tujuan awal, yaitu demokratisasi
(menciptakan stabilitas politik yang demokratis) menjadi sentralisasi (pemusatan kekuasaan di
tangan presiden).
Pelaksanaan masa Demokrasi Terpimpin :
      Kebebasan partai dibatasi

      Presiden cenderung berkuasa mutlak sebagai kepala negara sekaligus kepala

pemerintahan.
      Pemerintah berusaha menata kehidupan politik sesuai dengan UUD 1945.

      Dibentuk lembaga-lembaga negara antara lain MPRS,DPAS, DPRGR dan Front

Nasional.
Penyimpangan-penyimpangan pelaksanaan Demokrasi terpimpin dari UUD 1945
adalah sebagai berikut.
1.     Kedudukan Presiden
Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden berada di bawah MPR. Akan tetapi,
kenyataannya bertentangan dengan UUD 1945, sebab MPRS  tunduk kepada Presiden.
Presiden menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal tersebut tampak dengan
adanya tindakan presiden untuk mengangkat Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil Perdana
Menteri III serta pengagkatan wakil ketua MPRS yang dipilih dan dipimpin oleh partai-
partai besar serta wakil ABRI yang masing-masing berkedudukan sebagai menteri yang
tidak memimpin departemen.
2.     Pembentukan MPRS
Presiden juga membentuk MPRS berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959.
Tindakan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena Berdasarkan UUD 1945
pengangkatan anggota MPRS sebagai lembaga tertinggi negara harus melalui pemilihan
umum sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki anggota-anggota yang
duduk di MPR.
Anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh Presiden dengan syarat  :
Setuju kembali kepada UUD 1945, Setia kepada perjuangan Republik
Indonesia, dan Setuju pada manifesto Politik.
Keanggotaan MPRS terdiri dari 61 orang anggota DPR, 94 orang utusan daerah, dan 200
orang wakil golongan.
Tugas MPRS terbatas pada menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
3.     Pembubaran DPR dan Pembentukan DPR-GR
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu tahun 1955 dibubarkan karena DPR menolak
RAPBN tahun 1960 yang diajukan pemerintah. Presiden selanjutnya menyatakan
pembubaran DPR dan sebagai gantinya presiden membentuk Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong (DPR-GR). Dimana semua anggotanya ditunjuk oleh presiden. Peraturan
DPRGR juga ditentukan oleh presiden. Sehingga DPRGR harus mengikuti kehendak serta
kebijakan pemerintah. Tindakan presiden tersebut bertentangan dengan UUD 1945
sebab berdasarkan UUD 1945 presiden tidak dapat membubarkan DPR.
Tugas DPR GR adalah sebagai berikut.
      Melaksanakan manifesto politik

      Mewujudkan amanat penderitaan rakyat

      Melaksanakan Demokrasi Terpimpin

4.     Pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara


Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden
No.3 tahun 1959. Lembaga ini diketuai oleh Presiden sendiri. Keanggotaan DPAS terdiri atas
satu orang wakil ketua, 12 orang wakil partai politik, 8 orang utusan daerah, dan 24 orang
wakil golongan. Tugas DPAS  adalah memberi jawaban atas pertanyaan presiden dan
mengajukan usul kepada pemerintah.
Pelaksanaannya kedudukan DPAS juga berada dibawah pemerintah/presiden sebab
presiden adalah ketuanya. Hal ini disebabkan karena DPAS yang mengusulkan dengan
suara bulat agar pidato presiden pada hari kemerdekaan RI 17 AGUSTUS 1959 yang
berjudul ”Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang dikenal dengan Manifesto Politik
Republik Indonesia (Manipol) ditetapkan sebagai GBHN berdasarkan Penpres No.1 tahun
1960. Inti Manipol adalah USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia,
Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Sehingga lebih
dikenal dengan MANIPOL USDEK.
5.     Pembentukan Front Nasional
Front Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.13 Tahun 1959. Front
Nasional merupakan sebuah organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi
dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Tujuannya adalah menyatukan segala
bentuk potensi nasional menjadi kekuatan untuk menyukseskan pembangunan. Front
Nasional dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri. Tugas front nasional adalah sebagai
berikut.
 Menyelesaikan Revolusi Nasional
 Melaksanakan Pembangunan
 Mengembalikan Irian Barat
6.     Pembentukan Kabinet Kerja
Tanggal 9 Juli 1959, presiden membentuk kabinet Kerja. Sebagai wakil presiden
diangkatlah Ir. Juanda. Hingga tahun 1964 Kabinet Kerja mengalami tiga kali perombakan
(reshuffle). Program kabinet ini adalah sebagai berikut.
 Mencukupi kebutuhan sandang pangan
 Menciptakan keamanan negara
 Mengembalikan Irian Barat.
7.     Keterlibatan PKI dalam Ajaran Nasakom
Perbedaan ideologi dari partai-partai yang berkembang masa demokrasi parlementer
menimbulkan perbedaan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara yang
berdampak pada terancamnya persatuan di Indonesia. Pada masa demokrasi terpimpin
pemerintah mengambil langkah untuk menyamakan pemahaman mengenai kehidupan
berbangsa dan bernegara dengan menyampaikan ajaran NASAKOM (Nasionalis, Agama,
dan Komunis). Tujuannya untuk menggalang persatuan bangsa.
Bagi presiden NASAKOM merupakan cerminan paham berbagai golongan dalam
masyarakat. Presiden yakin bahwa dengan menerima dan melaksanakan Nasakom maka
persatuan Indonesia akan terwujud. Ajaran Nasakom mulai disebarkan pada masyarakat.
Dikeluarkan ajaran Nasakom sama saja dengan upaya untuk memperkuat
kedudukan Presiden sebab jika menolak Nasakom sama saja dengan menolak
presiden.
Kelompok yang kritis terhadap ajaran Nasakom adalah kalangan cendekiawan dan ABRI.
Upaya penyebarluasan ajaran Nasakom dimanfaatkan oleh PKI dengan mengemukakan
bahwa PKI merupakan barisan terdepan pembela NASAKOM. Keterlibatan PKI tersebut
menyebabkan ajaran Nasakom menyimpang dari ajaran kehidupan berbangsa dan
bernegara serta mengeser kedudukan Pancasila dan UUD 1945 menjadi komunis. Selain itu
PKI mengambil alih kedudukan dan kekuasaan pemerintahan yang sah. PKI berhasil
meyakinkan presiden bahwa Presiden Sukarno tanpa PKI akan menjadi lemah terhadap
TNI.
8.     Adanya ajaran RESOPIM
Tujuan adanya ajaran RESOPIM (Revolusi, Sosialisme Indonesia, dan Pimpinan Nasional)
adalah untuk memperkuat kedudukan Presiden Sukarno. Ajaran Resopim diumumkan pada
peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke-16.
Inti dari ajaran ini adalah bahwa seluruh unsur kehidupan berbangsa dan bernegara
harus dicapai melalui revolusi, dijiwai oleh sosialisme, dan dikendalikan oleh satu pimpinan
nasional yang disebut Panglima Besar Revolusi (PBR), yaitu Presiden Sukarno.
Dampak dari sosialisasi Resopim ini maka kedudukan lembaga-lembaga tinggi dan
tertinggi negara ditetapkan dibawah presiden. Hal ini terlihat dengan adanya pemberian
pangkat menteri kepada pimpinan lembaga tersebut, padahal kedudukan menteri
seharusnya sebagai pembantu presiden.
9.           Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
TNI dan Polri disatukan menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang
terdiri atas 4 angkatan yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan Udara,
dan Angkatan Kepolisian. Masing-masing angkatan dipimpin oleh Menteri Panglima
Angkatanyang kedudukannya langsung berada di bawah presiden. ABRI menjadi salah satu
golongan fungsional dan kekuatan sosial politik Indonesia.
10.      Pentaan Kehidupan Partai Politik
Pada masa demokrasi Parlementer, partai dapat melakukan kegiatan politik secara leluasa.
Sedangkan pada masa demokrasi terpimpin, kedudukan partai dibatasi oleh penetapan
presiden No. 7 tahun 1959. Partai yang tidak memenuhi syarat, misalnya jumlah anggota
yang terlalu sedikit akan dibubarkan sehingga dari 28 partai yang ada hanya tinggal 11
partai.
Tindakan pemerintah ini dikenal dengan penyederhanaan kepartaian.
Pembatasan gerak-gerik partai semakin memperkuat kedudukan pemerintah terutama
presiden. Kedudukan presiden yang kuat tersebut tampak dengan tindakannya untuk
membubarkan 2 partai politik yang pernah berjaya masa demokrasi Parlementer yaitu
Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Alasan pembubaran partai tersebuat adalah
karena sejumlah anggota dari kedua partai tersebut terlibat dalam pemberontakan PRRI
dan Permesta. Kedua Partai tersebut resmi dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1960.
 11.       Arah Politik Luar Negeri
a.     Politik Konfrontasi Nefo dan Oldefo
Terjadi penyimpangan dari politik luar negeri bebas aktif yang menjadi cenderung condong
pada salah satu poros. Saat itu Indonesia memberlakukan politik konfrontasi yang lebih
mengarah pada negara-negara kapitalis seperti negara Eropa Barat dan Amerika Serikat.
Politik Konfrontasi tersebut dilandasi oleh pandangan tentang Nefo (New Emerging
Forces) dan Oldefo (Old Established Forces)
Nefo merupakan kekuatan baru yang sedang muncul yaitu negara-negara progresif
revolusioner (termasuk Indonesia dan negara-negara komunis umumnya) yang anti
imperialisme dan kolonialisme.
Oldefo merupakan kekuatan lama yang telah mapan yakni negara-negara kapitalis yang
neokolonialis dan imperialis (Nekolim).
Untuk mewujudkan Nefo maka dibentuk poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyong
Yang. Dampaknya ruang gerak Indonesia di forum internasional menjadi sempit sebab
hanya berpedoman ke negara-negara komunis.
b.     Politik Konfrontasi Malaysia
Indonesia juga menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini disebabkan karena
pemerintah tidak setuju dengan pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap
sebagai proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan negara-negara
blok Nefo.
Dalam rangka konfrontasi tersebut Presiden mengumumkan Dwi Komando Rakyat
(Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964, yang isinya sebagai berikut.
      Perhebat Ketahanan Revolusi Indonesia.

      Bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri dari Nekolim Inggris.

Pelaksanaan Dwikora dengan mengirimkan sukarelawan ke Malaysia Timur dan Barat


menunjukkan adanya campur tanggan Indonesia pada masalah dalam negeri Malaysia.
c.     Politik Mercusuar
Politik Mercusuar dijalankan oleh presiden sebab beliau menganggap bahwa Indonesia
merupakan mercusuar yang dapat menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia.
Untuk mewujudkannya maka diselenggarakan proyek-proyek besar dan spektakuler yang
diharapkan dapat menempatkan Indonesia pada kedudukan yang terkemuka di kalangan
Nefo. Proyek-proyek tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar mencapai milyaran
rupiah diantaranya diselenggarakannya GANEFO (Games of the New Emerging Forces )
yang membutuhkan pembangunan kompleks Olahraga Senayan serta biaya perjalanan bagi
delegasi asing.
Pada tanggal 7 Januari 1965, Indonesia keluar dari keanggotaan PBB sebab Malaysia
diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
d.    Politik Gerakan Non-Blok
Gerakan Non-Blok merupakan gerakan persaudaraan negara-negara Asia-Afrika yang
kehidupan politiknya tidak terpengaruh oleh Blok Barat maupun Blok Timur.
Selanjutnya gerakan ini memusatkan perjuangannya pada gerakan kemerdekaan bangsa-
bangsa Asia-Afrika dan mencegah perluasan Perang Dingin.
Keterlibatan Indonesia dalam GNB menunjukkan bahwa kehidupan politik Indonesia di
dunia sudah cukup maju.
GNB merupakan gerakan yang bebas mendukung perdamaian dunia dan kemanusiaan. Bagi
RI, GNB merupakan pancaran dan revitalisasi dari UUD1945 baik dalam skala nasional dan
internasional. 
Besarnya kekuasaan Presiden dalam Pelaksanaan demokrasi terpimpin tampak
dengan:
a.     Pengangkatan Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil Perdana Menteri III serta pengagkatan
wakil ketua MPRS yang dipilih dan dipimpin oleh partai-partai besar serta wakil ABRI yang
masing-masing berkedudukan sebagai menteri yang tidak memimpin departemen.
b.     Pidato presiden yang berjudul ”Penemuan Kembali Revolusi Kita” pada tanggal 17
Agustus 1959 yang dikenal dengan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol)
ditetapkan sebagai GBHN atas usul DPA yang bersidang tanggal 23-25 September 1959.
c.     Inti Manipol adalah USDEK (Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia,
Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia). Sehingga lebih
dikenal dengan MANIPOL USDEK.
d.    Pengangkatan Ir. Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi yang berarti sebagai
presiden seumur hidup.
e.     Pidato presiden yang berjudul ”Berdiri di atas Kaki Sendiri” sebagai pedoman revolusi
dan politik luar negeri.
f.       Presiden berusaha menciptakan kondisi persaingan di antara angkatan, persaingan di
antara TNI dengan Parpol.
g.     Presiden mengambil alih pemimpin tertinggi Angkatan Bersenjata dengan di bentuk
Komandan Operasi Tertinggi (KOTI).
 C. SISTEM EKONOMI DEMOKRASI TERPIMPIN
Seiring dengan perubahan politik menuju demokrasi terpimpin maka ekonomipun mengikuti
ekonomi terpimpin. Sehingga ekonomi terpimpin merupakan bagian dari demokrasi terpimpin.
Dimana semua aktivitas ekonomi disentralisasikan di pusat pemerintahan sementara daerah
merupakan kepanjangan dari pusat. Langkah yang ditempuh pemerintah untuk menunjang
pembangunan ekonomi adalah sebagai berikut.
1.     Pembentukan Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas)
Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi di bawah Kabinet Karya maka dibentuklah
Dewan Perancang Nasional (Depernas) pada tanggal 15 Agustus 1959 dipimpin oleh Moh.
Yamin dengan anggota berjumlah 50 orang.
Tugas Depernas :
   Mempersiapkan rancangan Undang-undang Pembangunan Nasional yang
berencana
   Menilai Penyelenggaraan Pembangunan

Hasil yang dicapai, dalam waktu 1 tahun Depenas berhasil menyusun Rancangan Dasar
Undang-undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana tahapan tahun 1961-1969
yang disetujui oleh MPRS.
Mengenai masalah pembangunan terutama mengenai perencanaan dan pembangunan
proyek besar dalam bidang industri dan prasarana tidak dapat berjalan dengan lancar sesuai
harapan.
1963 Dewan Perancang Nasional (Depernas) diganti dengan nama Badan Perancang
Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Sukarno.
Tugas Bappenas adalah
   Menyusun rencana jangka panjang dan rencana tahuanan, baik nasional maupun

daerah.
   Mengawasi dan menilai pelaksanaan pembangunan.

   Menyiapkan serta menilai hasil kerja mandataris untuk MPRS.

2.     Penurunan Nilai Uang (Devaluasi)


Tujuan dilakukan Devaluasi :
   Guna membendung inflasi yang tetap tinggi

   Untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat

   Meningkatkan nilai rupiah sehingga rakyat kecil tidak dirugikan.

 
Maka pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah mengumumkan keputusannya mengenai
penuruan nilai uang (devaluasi), yaitu sebagai berikut.
a.      Uang kertas pecahan bernilai Rp. 500 menjadi Rp. 50
b.      Uang kertas pecahan bernilai Rp. 1.000 menjadi Rp. 100
c.       Pembekuan semua simpanan di bank yang melebihi Rp. 25.000
Tetapi usaha pemerintah tersebut tetap tidak mampu mengatasi kemerosotan ekonomi yang
semakin jauh, terutama perbaikan dalam bidang moneter. Para pengusaha daerah di
seluruh Indonesia tidak mematuhi sepenuhnya ketentuan keuangan tersebut.
Pada masa pemotongan nilai uang memang berdampak pada harga barang menjadi murah
tetapi tetap saja tidak dapat dibeli oleh rakyat karena mereka tidak memiliki uang. Hal ini
disebabkan karena :
      Penghasilan negara berkurang karena adanya gangguan keamanan akibat

pergolakan daerah yang menyebabkan ekspor menurun.


      Pengambilalihan perusahaan  Belanda pada tahun 1958 yang tidak diimbangi

oleh tenaga kerja manajemen yang cakap dan berpengalaman.


      Pengeluaran biaya untuk penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962, RI

sedang mengeluarkan kekuatan untuk membebaskan Irian Barat.


3.     Kenaikan laju inflasi
Latar Belakang meningkatnya laju inflasi :
     Penghasilan negara berupa devisa dan penghasilan lainnya mengalami
kemerosotan.
     Nilai mata uang rupiah mengalami kemerosotan.

     Anggaran belanja mengalami defisit yang semakin besar.

     Pinjaman luar negeri tidak mampu mengatasi masalah yang ada.

     Upaya likuidasi semua sektor pemerintah maupun swasta guna penghematan

dan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran belanja tidak berhasil.


     Penertiban administrasi dan manajemen perusahaan guna mencapai
keseimbangan keuangan tak memberikan banyak pengaruh.
     Penyaluran kredit baru pada usaha-usaha yang dianggap penting bagi
kesejahteraan rakyat dan pembangunan mengalami kegagalan.
 
Kegagalan-kegagalan tersebut disebabkan karena:
     Pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan diri dalam

melakukan pengeluaran.
     Pemerintah menyelenggarakan proyek-proyek mercusuar seperti GANEFO

(Games of the New Emerging Forces ) dan CONEFO (Conference of the New Emerging
Forces) yang memaksa pemerintah untuk memperbesar pengeluarannya pada setiap
tahunnya.
 
Dampaknya :
Inflasi semakin bertambah tinggi Harga-harga semakin bertambah tinggi Kehidupan
masyarakat semakin terjerpit
     Indonesia pada tahun 1961 secara terus menerus harus membiayai kekeurangan

neraca pembayaran dari cadangan emas dan devisa.


     Ekspor semakin buruk dan pembatasan Impor karena lemahnya devisa.

     1965, cadangan emas dan devisa telah habis bahkan menunjukkan saldo negatif

sebesar US$ 3 juta sebagai dampak politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-
negara barat.
Kebijakan pemerintah :
     Keadaan defisit negara yang semakin meningkat ini diakhiri pemerintah dengan

pencetakan uang baru tanpa perhitungan matang. Sehingga menambah berat angka
inflasi.
     13 Desember 1965 pemerintah mengambil langkah devaluasi dengan menjadikan
uang senilai Rp. 1000 menjadi Rp. 1.
Dampaknya dari kebijakan pemerintah tersebut :
     Uang rupiah baru yang seharusnya bernilai 1000 kali lipat uang rupiah lama

akan tetapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai sekitar 10 kali lipat lebih
tinggi dari uang rupiah baru.
     Tindakan moneter pemerintah untuk menekan angka inflasi malahan
menyebabkan meningkatnya angka inflasi.
 4.     Deklarasi Ekonomi (Dekon)
Latar belakang dikeluarkan Deklarasi Ekonomi adalah karena:
     Berbagai peraturan dikeluarkan pemerintah untuk merangsang ekspor (export

drive) mengalami kegagalan, misalnya Sistem Bukti Ekspor (BE)


     Sulitnya memperoleh bantuan modal dan tenaga dari luar negri sehingga

pembangunan yang direncanakan guna meningkatkan taraf hidup rakyat tidak dapat
terlaksana dengan baik.
Sehingga pada tanggal 28 Maret 1963 dikeluarkan landasan baru guna perbaikan ekonomi
secara menyeluruh yaitu Deklarasi Ekonomi (DEKON) dengan 14 peraturan pokoknya.
Dekon dinyatakan sebagai strategi dasar ekonomi Terpimpin Indonesia yang menjadi
bagian dari strategi umum revolusi Indonesia.
Strategi Dekon adalah mensukseskan Pembangunan Sementara Berencana 8 tahun yang
polanya telah diserahkan oleh Bappenas tanggal 13 Agustus 1960.
Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa sistem ekonomi Indonesia adalah Berdikari
yaitu berdiri diatas kaki sendiri.
Tujuan utama dibentuk Dekon adalah untuk menciptakan ekonomi yang bersifat
nasional, demokratis, dan bebas dari sisa-sisa imperialisme untuk mencapai tahap ekonomi
sosialis Indonesia dengan cara terpimpin.
 Pelaksanaannya,
     Peraturan tersebut tidak mampu mengatasi kesulitan ekonomi dan masalah

inflasi
     Dekon mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia

     Kesulitan-kesulitan ekonomi semakin mencolok, tampak dengan adanya

kenaikan harga barang mencapai 400 % pada tahun 1961-1962.


     Beban hidup rakyat semakin berat.

 Kegagalan Peraturan Pemerintah disebabkan karena:


     Tidak terwujudnya pinjaman dari International Monetary Fund (IMF) sebesar

US$ 400 juta.


     Adanya masalah ekonomi yang muncul karena pemutusan hubungan dengan

Singapura dan Malaysia dalam rangka kasi Dwikora.


     Politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara barat semakin memperparah

kemerosotan ekonomi Indonesia.


 5.     Meningkatkan Perdagangan dan Perkreditan Luar Negeri
Pemerintah membangkitkan ekonomi agraris atau pertanian, sebab kurang lebih 80%
penduduk Indonesia hidup dari bidang pertanian. Hasil pertanian tersebut diekspor untuk
memperoleh devisa yang selanjutnya digunakan untuk mengimpor berbagai bahan baku/
barang konsumsi yang belum dihasilkan di Indonesia.
Jika Indonesia tidak mampu memperoleh keuntungan maka akan mencari bantuan berupa
kredit luar negeri guna memenuhi biaya import dan memenuhi kebutuhan masyarakat di
dalam negeri. Sehingga Indonesia mampu memeprbesar komoditi ekspor, dari eksport
tersebut maka akan digunakan untuk membayar utang luar negeri dan untuk kepentingan
dalam negeri. Dengan bantuan kredit tersebut membuka jalan bagi perdagangan dari negara
yang memeberikan pinjaman kepada Indonesia.
 6.     Kebijakan lain pemerintah
a.     Pembentukan Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) dan
Kesatuan Operasi (KESOP)
Dikeluarkan peraturan tanggal 17 April 1964 mengenai adanya Komando Tertinggi
Operasi Ekonomi (KOTOE) dan Kesatuan Operasi (KESOP) dalam usaha
perdagangan.
b.     Peleburan bank-bank negara
Presiden berusaha mempersatukan semua bank negara ke dalam satu bank sentral
sehingga didirikan Bank Tunggal Milik Negara berdasarkan Penpres No. 7 tahun 1965.
Tugas bank tersebut adalah sebagai bank sirkulasi, bank sentral, dan bank umum.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka dilakukan peleburan bank-bank negara
seperti Bank Koperasi dan Nelayan (BKTN), Bank Umum Negara, Bank Tabungan
Negara, Bank Negara Indonesia ke dalam Bank Indonesia.
Dibentuklah Bank Negara Indonesia yang terbagi dalam beberapa unit dengan tugas
dan pekerjaan masing-masing.
Tindakan itu menimbulkan spekulasi dan penyelewengan dalam penggunaan uang
negara sebab tidak ada lembaga pengawas.
 Kegagalan pemerintah dalam menanggung masalah ekonomi, disebabkan karena:
     Semua kegiatan ekonomi terpusat sehingga kegitan ekonomi mengalami

penuruan yang disertai dengan infasi.


     Masalah ekonomi tidak diatasi berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi, tetapi

diatasi dengan cara-cara politis.


     Kemenangan politik diutamakan sedangkan kehidupan ekonomi diabaikan

(politik dikedepankan tanpa memperhatikan ekonomi).


     Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah sering bertentangana antara satu

peraturan dengan peraturan yang lainnya.


     Tidak ada ukuran yang objektif untuk menilai suatu usaha atau hasil dari suatu

usaha.
     Terjadinya berbagai bentuk penyelewengan dan salah urus.

     Kebrangkutan tidak dapat dikendalikan, Masyarakat mengalami kesulitan hidup,

kemiskinan, dan kriminalitas.


 D. PERJUANGAN MEMBEBASKAN IRIAN BARAT
Ada 3 bentuk perjuangan dalam rangka pembebesan Irian Barat : Diplomasi, Konfrontasi
Politik dan Ekonomi serta Konfrontasi Militer.
1.     Perjuangan Diplomasi
Ditempuh guna menunjukkan niat baik Indonesia mandahulukan cara damai dalam
menyelesaikan persengketaan. Perjuangan tersebut dilakukan dengan perundingan. Jalan
diplomasi ini sudah dimulai sejak kabinet Natsir (1950) yang selanjutnya dijadikan
program oleh setiap kabinet. Meskipun selalu mengalami kegagalan sebab Belanda masih
menguasai Irian Barat bahkan secara sepihak memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah
Kerajaan Belanda.
Perjuangan secara diplomasi ditempuh dengan 2 tahap, yaitu
e.     Secara bilateral, melalui perundingan dengan belanda.
Berdasarkan perjanjian KMB masalah Irian Barat akan diselesaikan melalui
perundingan, setahun setelah pengakuan kedaulatan. Pihak Indonesia menganggap
bahwa Belanda akan menyerahkan Irian Barat pada waktu yang telah ditentukan.
Sementara Belanda mengartikan perjanjian KMB tersebut bahwa Irian Barat hanya akan
dibicarakan sebatas perundingan saja, bukan diserahkan. Berdasarkan alasan tersebut
maka Belanda mempunyai alasan untuk tetap menguasai Indonesia. Akhirnya
perundingan dengan Belanda inipun mengalami kegagalan.
f.       Diplomasi dalam forum PBB, yaitu dengan membawa masalah Indonesia-
Belanda ke sidang PBB. Dilakukan sejak Kabinet Ali Sastroamijoyo I, Burhanuddin
Harahap, hingga Ali Sastroamijoyo II.
Dikarenakan penyelesaian secara diplomatik mengalami kegagalan dan karena adanya
pembatalan Uni Indonesia-Belanda secara sepihak maka Indonesia sejak 1954
melibatkan PBB dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.
Dalam sidang PBB Indonesia berupaya meyakinkan bahwa masalah Irian Barat perlu
mendapatkan perhatian Internasional. Alasan Indonesia adalah karena masalah Irian
Barat menunjukkan adanya penindasan suatu bangsa terhadap hak bangsa lain.
Upaya melalui forum PBB pun tidak berhasil karena mereka menganggap masalah Irian
Barat merupakan masalah intern antara Indonesia-Belanda. Negara-negara barat masih
tetap mendukung posisi Belanda. Indonesia justru mendapat dukungan dari negara-
negara peserta KAA di Bandung yang mengakui bahwa Irian Barat merupakan bagian
dari Negara Kesatuan republik Indonesia.
2.     Perjuangan Konfrontasi Politik, Ekonomi dan Militer
Karena perjuangan diplomasi baik bilateral maupun dalam forum PBB belum menunjukkan
hasil sehingga Indonesia meningkatkan perjuangannya dalam bentuk konfrontasi.
Konfrontasi dilakukan tetapi tetap saja melanjutkan diplomasi dalam sidang-sidang PBB.
Konfrontasi yang ditempuh yaitu konfrontasi politik dan ekonomi, serta konfrontasi militer.
Konfrontasi militer terpaksa dilakukan setelah Belanda tidak mau berkompromi dengan
Indonesia.
a.     Konfrontasi Politik dan Ekonomi
Konfrontasi ekonomi dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap aset-aset dan
kepentingan-kepentingan ekonomi Belanda di Indonesia. Konfrontasi ekonomi tersebut
sebagai berikut.
1)     Tahun 1956 secara sepihak Indonesia membatalkan hasil KMB, diumumkan
pembatalan utang-utang RI kepada Belanda.
2)     Selama tahun 1957 dilakukan :
      Pemogokan buruh di perusahaan-perusahaan Belanda

      Melarang terbitan-terbitan dan film berbahasa Belanda

      Melarang penerbangan kapal-kapal Belanda

      Memboikot kepentingan-kepentingan Belanda di Indonesia

3)     Selama tahun 1958-1959 dilakukan :


      Nasionalisasi terhadap ± 700 perusahaan-perusahaan Belanda di

Indonesia
      Mengalihkan pusat pemasaran komoditi RI dan Rotterdam (Belanda) ke

Bremen, Jerman.
 Konfrontasi Politik dilakukan melalui tindakan sebagai berikut.
1)     Tahun 1951, Kabinet Sukiman menyatakan bahwa hubungan Indonesia dengan
Belanda merupakan hubungan bilateral biasa, bukan hubungan Unie-Statuut.
2)     Tanggal 3 Mei 1956, pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo II, diumumkan
pembatalan semua hasil KMB.
3)     Pada tanggal 17 Agustus 1956 dibentuk provinsi Irian Barat dengan ibukotanya
kotanya di Soa Siu (Tidore) dan Zaenal Abidin Syah (Sultan Tidore) sebagai
gubernurnya yang dilantik tanggal 23 September 1956. Provinsi Irian Barat
meliputi : Irian, Tidore, Oba, Weda, Patani, dan Wasile.
4)     18 November 1957 terjadi Rapat umum pembebasan Irian Barat di Jakarta.
5)     Tahun 1958, Pemerintah RI menghentikan kegiatan-kegiatan konsuler Belanda
di Indonesia. Pemecatan semua pekerja warga Belanda di Indonesia
6)     Tanggal 8 Februari 1958, dibentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat.
7)     Tanggal 17 Agustus 1960 diumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan
Belanda.
 b.     Konfrontasi Militer
Dampak dari tindakan konfrontasi politik dan ekonomi tersebut maka tahun 1961 dalam
Sidang Majelis Umum PBB terjadi perdebatan mengenai masalah Irian Barat.
Diputuskan bahwa Diplomat Amerika Serikat Ellsworth Bunker bersedia menjadi
penengah dalam perselisihan antara Indonesia dan Belanda.
 Bunker mengajukan usul yang dikenal dengan Rencana Bunker, yaitu :
1.      Pemerintah Irian Barat harus diserahkan kepada Republik Indonesia.
2.      Setelah sekian tahun, rakyat Irian Barat harus diberi kesempatan untuk
menentukan pendapat apakah tetap dalam negara Republik Indonesia atau
memisahkan diri.
3.      Pelaksanaan penyelesaian masalah Irian Barat akan selesai dalam jangka waktu
dua tahun.
4.      Guna menghindari bentrokan fisik antara pihak yang bersengketa, diadakan
pemerintah peralihan di bawah pengawasan PBB selama satu tahun.
 Indonesia menyetujui usul itu dengan catatan jangka waktu diperpendek.
Pihak Belanda tidak mengindahkan usul tersebut bahkan mengajukan usul untuk
menyerahkan Irian Barat di bawah pengawasan PBB. Selanjutnya PBB membentuk
negara Papua dalam jangka waktu 16 tahun.
Jadi Belanda tetap tidak ingin Irian Barat menjadi bagian dari Indonesia. Keinginan
Belanda tersebut tampak jelas ketika tanpa persetujuan PBB, Belanda mendirikan
negara Papua, lengkap dengan bendera dan lagu kebangsaan.
Tindakan Belanda tersebut tidak melemahkan semangat bangsa Indonesia. Indonesia
menganggap bahwa sudah saatnya menempuh jalan kekuatan fisik (militer).
 Perjuangan melalui jalur militer ditempuh dengan tujuan untuk:
 Menunjukkan kesungguhan Indonesia dalam memperjuangankan apa pun yang
memang menjadi haknya.
 Menunjukkan kesungguhan dan memperkuat posisi Indonesia.
 Menunjukkan sikap tidak kenal menyerah dalam merebut Irian Barat. 
Persiapan pemerintah untuk menggalang kekuatan militer adalah :
 Pada Desember 1960, mengirimkan misi ke Uni Soviet untuk membeli senjata dan
perlengkapan perang lainnya.
KSAD mengunjungi beberapa negara, seperti India, Pakistan, tahiland, Filipina,
Australia, Selandia Baru, Jerman, Perancis, dan Inggris untuk menjajaki sikap negara-
negara tersebut bila terjadi perang antara Indonesia dengan Belanda.
Tindakan persiapan Indonesia tersebut dianggap oleh Belanda sebagai upaya untuk
melaklukan Agresi. Sehingga Belanda kemudian memperkuat armada dan angkatan
perangnya di Irian Barat dengan mendatangkan kapal induk Karel Dorman.
 Maka Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Sukarno mengumumkan Tri Komando
Rakyat (Trikora) di Yogyakarta yang telah dirumuskan oleh Dewan Pertahanan
Nasional. Peristiwa ini menandai dimulainya secara resmi konfrontasi militer terhadap
Belanda dalam rangka mengembalikan Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi.
Isi Trikora adalah sebagai berikut.
1)     Gagalkan Pembentukan Negara boneka papua buuatan Belanda
2)     Kibarkan Sang merah Putih di Irian Barat, Tanah air Indonesia
3)     Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan
kesatuan tanah air dan bangsa.
Selanjutnya, diadakan rapat Dewan Pertahanan Nasional dan Gabungan Kepala Staf
serta Komamndo Tertinggi Pembebasan Irian Barat. Keputusan dari rapat tersebut
adalah sebagai berikut.
      Dibentuk Provinsi Irian Barat gaya baru yang beribu kota di
Jayapura(zaman Belanda bernama Hollandia) dengan putra Irian sebagai
gubernurnya.
      Tanggal 11 Januari 1962 dibentuk Komando Tertinggi dan Komando
Mandala Pembebasan Irian Barat yang berkedudukan di Makassar yang langsung di
bawah ABRI dengan tugas merebut Irian Barat. Tugas Komando Mandala adalah
sebagai berikut.
      Menyelenggarakan operasi Militer untuk membebaskan Irian Barat.
Operasi militer tersebut terdiri dari tiga tahap, yaitu penyusupan (infiltrasi),
serangan besar-besaran (eksploitasi), dan penegakan kekuasaan Republik
Indonesia (Konsolidasi).
      Menggunakan segenap kekuatan dalam lingkungan Republik Indonesia
untuk membebaskan Irian Barat. Kekuatan itu terdiri atas tentara regulerdan
suka relawan maupun berbagai potensi perlawanan rakyat lainnya
      Tanggal 13 Januari 1962, Brigadir Jendral Suharto dilantik sebagai
Panglima Mandala dengan pangkat Mayor Jendral, beliau juga merangkap sebagai
Deputi KSAD untuk wilayah Indonesia bagian timur.
      Sebelum konsolidasi yang dilakukan oleh Komando Mandala selesai,
Tanggal 15 Januari 1962 terjadi pertempuran di Laut Aru. Dalam pertempuran
tersebut Deputi KSAL Komodor Yos Sudarso gugur.
 c.     Konfrontasi Total
Sesuai dengan perkembangan situasi Trikora diperjelas dengan Instruksi Panglima
Besar Komodor Tertinggi Pembebasan Irian Barat No.1 kepada Panglima Mandala
yang isinya sebagai berikut.
      Merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer

dengan tujuan mengembalikan wilayah Irian Barat ke dalam kekuasaan Republik


Indonesia.
      Mengembangkan situasi di Provinsi Irian Barat sesuai dengan perjuangan di

bidang diplomasi dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya di Wilayah Irian Barat
dapat secara de facto diciptakan daerah-daerah bebas atau ada unsur kekuasaan/
pemerintah daerah Republik Indonesia.
 Strategi yang disusun oleh Panglima Mandala guna melaksanakan instruksi
tersebut.
a.     Tahap Infiltrasi (penyusupan) (sampai akhir 1962),
yaitu dengan memasukkan 10 kompi di sekitar sasaran-sasaran tertentu untuk
menciptakan daerah bebas de facto yang kuat sehingga sulit dihancurkan oleh
musuh dan mengembangkan pengusaan wilayah dengan membawa serta rakyat Irian
Barat.
b.     Tahap Eksploitasi (awal 1963),
yaitu mengadakan serangan terbuka terhadap induk militer lawan dan menduduki
semua pos-pos pertahanan musuh yang penting.
c.     Tahap Konsolidasi (awal 1964),
yaitu dengan menunjukkan kekuasaan dan menegakkan kedaulatan Republik
Indonesia secara mutlak di seluruh Irian Barat.
 Pelaksanaannya Indonesia menjalankan tahap infiltasi, selanjutnya melaksanakan
operasi Jayawijaya, tetapi sebelum terlaksana pada 18 Agustus 1962 ada sebuah perintah
dari presiden untuk menghentikan tembak-menembak.
 d.    Akhir Konfrontasi
Surat perintah tersebut dikeluarkan setelah ditandatangani persetujuan antara
pemerintah RI dengan kerajaan Belanda mengenai Irian Barat di Markas Besar PBB di
New York pada tanggal 15 Agustus 1962 yang selanjutnya dikenal dengan Perjanjian
New York. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Menlu Subandrio sementara itu Belanda
dipimpin oleh Van Royen dan Schuurman. Kesepakatan tersebut berisi.
1)     Kekuasaan pemerintah di Irian Barat untuk sementara waktu diserahkan pada
UNTEA(United Nations Temporary Executive Authority)
2)     Akan diadakan PERPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) di Irian Barat sebelum
tahun 1969.
 Untuk menjamin Keamanan di Irian Barat dibentuklah pasukan penjaga perdamaian
PBB yang disebut UNSF (United Nations Security Force) yang dipimpin oleh Brigadir
Jendral Said Udin Khan dari Pakistan.
Berdasarkan Perjanjian New York proses untuk pengembalian Irian Barat ditempuh
melalui beberapa tahap, yaitu :
1.      Antara 1 Oktober -31 Desember 1962 merupakan masa pemerintahan
UNTEA bersama Kerajaan Belanda.
2.      Antara 1 Januari 1963- 1 Mei 1963 merupakan masa pemerintahan UNTEA
bersama RI.
3.      Sejak 1 Mei 1963, wilayah Irian Barat sepenuhnya berada di bawah kekuasaan
RI.
4.      Tahun 1969 akan diadakan act of free choice, yaitu penentuan pendapat rakyat
(Perpera).
 Penentuan Pendapat rakyat (Perpera) berarti rakyat diberi kesempatan untuk memilih
tetap bergabung dengan Republik Indonesia atau Merdeka.
Perpera mulai dilaksankan pada tanggal 14 Juli 1969 di Merauke sampai dengan 4
Agustus 1969 di Jayapura. Hasil Perpera tersebut adalah mayoritas rakyat Irian
Barat menyatakan tetap berada dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Hasil Perpera selanjutnya dibawa oleh Diplomat PBB, Ortis Sanz (yang menyaksikan
setiap tahap Perpera) untuk dilaporkan dalam sidang Majelis Umum PBB ke-24.
Tanggal 19 November 1969, Sidang Umum PBB mengesahkan hasil Perpera tersebut.

INDONESIA PADA MASA DEMOKRASI PARLEMENTER DAN


TERPIMPIN

Indonesia pada masa Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin


Sejarah Indonesia masa Demokrasi Parlementer diwarnai dengan 7 masa kebinet yang berbeda
dan gagalnya konstituate membentuk UU baru. Kinerja kabinet sering ditentang Parlemen.
Kabinet Natsir (6 September 1950 - 18 April 1951). Hasil kerja: Indonesia jadi anggota PBB,
politik Luar Negeri RI “bebas aktif”, perundingan masalah Irian Barat.
Kabinet Sukiman (26 April 1951 – 26 April 1952). Masalah keamanan dalam negeri
menghambat kinerja kabinet. Indonesia menandatangani Mutual Security Act AS.
Kabinet Wilopo (19 Maret 1952 – 2 Juni 1953). Adanya konflik AD “peristiwa 17 Oktober
1952”, dan peristiwa Tanjung Morawa menghambat kinerja kabinet.
Kabinet Ali I (31 Juli 1953 – 24 Juli 1955). Hasil kerja: suksesnya KAA, masih berlanjutnya
konflik AD dengan mundurnya A.H. Nasution.
Kabinet Burhanudin Harahap (Agustus 1955 - 3 Maret 1956). Hasl kerja: pemilu 1955,
dibubarkan Uni Indonesia-Belanda, mengangkat kembali A.H. Nasution sebagai KSAD 28
Oktober 1955.
Kabinet Ali II (24 Maret 1956 – 14 Maret 1957).
Kabinet Djuanda (9 April 1957 – 10 Juli 1959). Hasil kerja: pembentukan dewan nasional untuk
menampung aspirasi rakyat, konsolidasi daerah-daerah pemberontak, pembersihan korupsi,
aturan kelautan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957.

Kegagalan konstituate menyusun UU baru


20 November 1956 sidang I, Presiden Sukarno memberi kewenangan untuk menyusun UUD.
Konstituate menghadapi tantangan untuk bersatu merumuskan UUD baru. Terutama konflik
NU-PKI-PNI menyangkut pemberlakuan kembali UUD’45 dan pemasukan kembali butir
Piagam Jakarta “dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya” dalam
preambule UUD’45. Maka, diadakan sidang untuk menjawab masalah itu. Sidang 29 Mei 1959,
30 Mei 1959, 2 Juni 1959 berturut-turut tidak mencapai kuorum. Maka, 3 Juni 1959 Konstituate
reses.

Kehidupan ekonomi Indonesia masa Demokrasi Parlementer


Pada masa cabinet Sukiman, ada nasionalisasi ekonomi: nasionalisasi de Javasche Bank
menjadi BI sebagai bank sentral (UU No. 11 / 1953), pembentukan BNI Perpu No. 2 / 1946 (5
Juli 1946), pemberlakuan ORI 1 Oktober 1946 (UU No. 17 / 1946).
Perubahan ekonomi juga terlihat pada masa kabinet Ali II dengan penandatanganan UU
pembatalan KMB oleh Presiden Sukarno 3 Mei 1956 berakibat berpindahnya asset-aset milik
pengusaha Belanda ke pengusaha pribumi.

Kehidupan politik Indonesia masa Demokrasi Terpimpin


Puncak kebuntuan Konstituate adalah Dekrit Presiden 5 Juli 1959: Pembubaran konstituate,
berlakunya kembali UUD’45, pembentukan MPRS dan DPAS. Ini menandai pergantian
Demokrasi Parlementer ke Demokrasi Presidensial.
Bidang politik
Tindak lanjut Dekrit Presiden, 10 Juli 1959 dibentuk Kabinet Kerja. Memakai sistem kabinet
Presidensial, Ir Sukarno sebagai PM.
Dalam Demokrasi Terpimpin, semua lembaga harus berasal dari aliran NASAKOM.
Presiden Sukarno juga membentuk DPA, Front Nasional (Penpres No. 13 tahun 1959),
DEPERNAS. Dalam sidang DPA September 1959, DPA mengusulkan agar pidato
pertanggungjawaban Presiden 17 Agustus 1959 sebelumnya atas Dekrit Presiden dijadikan
GBHN dengan nama MANIPOL. Usul DPA diterima Presiden. 24 Juni 1960, DPR hasil pemilu
1955 dibubarkan dan diganti DPR-GR. Pada upacara pelantikan anggota DPR-GR 25 Juni 1960,
Ir Sukarno menegaskan tugas DPR-GR adalah melaksanakan MANIPOL, melaksanakan
Demokrasi Terpimpin, merealisasi AMPERA.
Penpres No.2 tahun 1959 menetapkan bahwa anggota MPRS ditunjuk Presiden. Kalangan partai
yang tidak setuju atas pembubaran DPR bergabung dalam Liga Demokrasi.

Kehidupan Ekonomi Indonesia masa Demokrasi Terpimpin


Kebijakan ekonomi terpimpin berubah menjadi “Sistem Lisensi”. Maka, 23 Maret 1963,
Presiden Sukarno mengumumkan DEKON.
Pada masa kabinet Djuanda, pemerintah membuat UU pembentukan badan Dewan Perancang
Nasional pimpinan Moh Yamin. Tugas badan ini ditetapkan dalam UU No. 80 / 1958:
mempersiapkan rancangan UU Pembangunan Nasional Indonesia Berencana Dan Bertahap.
Setelah kerja keras, 26 Juli 1960, badan ini mengeluarkan UU Pembangunan Nasional
Indoensia Berencana Tahapan 1961-1969.
Tahun 1959, Indonesia mengalami inflasi tinggi. Pemerintah bereaksi dengan mengeluarkan
kebijakan: mengurangi jumlah uang yang beredar dalam negeri (Perpu No. 2
/ 1959), pembekuan simpanan uang-uang di bank-bank Indonesia. Terjadinya krisis likuiditas
membuat pemerintah membentuk PPOK, pengetatan APBN. Kondisi membaik kemudian mulai
memburuk kembali dengan meningginya jumlah uang yang beredar. Proyek mercusuar Ganefo
turut menghambat pembangunan moneter Indonesia.
Tahun 1963, Badan Perancang Nasional menjadi Bappenas dipimpin Ir Sukarno. Pemerintah
juga mengeluarkan kebijakan: pendirian Bank Tunggal Negara sebagai wadah sirkulasi antar-
bank (Penpres No. 7 / 1965), pengeluaran rupiah baru yang nilainya 10 X rupiah lama (Penpres
No. 27 / 1965). Adanya tumpang tindih antara kebijakan perekonomian yang dikeluarkan
Presiden-Pemerintah berujung pada mundurnya perekonomian Indonesia hingga tahun 1966.

Anda mungkin juga menyukai