BAB 8
Di Susun Oleh :
XI IPA 4
Lampung Tmur
INDONESIA MASA DEMOKRASI LIBERAL (1950-1959)
A. KABINET MASA DEMOKRASI LIBERAL
a. KABINET NATSIR (6 September 1950 - 21 Maret 1951)
Merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi.
Dipimpin Oleh : Muhammad Natsir
- Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan
buntu (kegagalan).
- Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di
seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan
APRA, Gerakan RMS.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah
mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950
mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen
sehingga Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.
b. KABINET SUKIMAN (27 April 1951 – 3 April 1952)
Merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI.
Dipimpin Oleh: Sukiman Wiryosanjoyo
Tidak terlalu berarti sebab programnya melanjtkan program Natsir hanya saja terjadi
perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya program
Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan untuk
menjamin keamanan dan ketentraman
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia
Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian
bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia
berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA). Dimana dalam MSA terdapat
pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan memperhatiakan
kepentingan Amerika.
Tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia
yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah
memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
Adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada
setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
Masalah Irian barat belum juga teratasi.
Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik tampak dengan kurang tegasnya
tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah,
Sulawesi Selatan.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Muncul pertentangan dari Masyumi dan PNI atas tindakan Sukiman sehingga mereka
menarik dukungannya pada kabinet tersebut. DPR akhirnya menggugat Sukiman dan
terpaksa Sukiman harus mengembalikan mandatnya kepada presiden.
c. KABINET WILOPO (3 April 1952 – 3 Juni 1953)
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang
ahli dalam biangnya.
Dipimpin Oleh : Mr. Wilopo
Program :
Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena jatuhnya harga barang-
barang eksport Indonesia sementara kebutuhan impor terus meningkat.
Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang banyak
terlebih setelah terjadi penurunana hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar
untuk mengimport beras.
Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam
keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi
dana dari pusat ke daerah yang tidak seimbang.
Terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. Merupakan upaya pemerintah untuk
menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga muncul sikap tidak senang dikalangan
partai politik sebab dipandang akan membahayakan kedudukannya. Peristiwa ini
diperkuat dengan munculnya masalah intern dalam TNI sendiri yang berhubungan
dengan kebijakan KSAD A.H Nasution yang ditentang oleh Kolonel Bambang Supeno
sehingga ia mengirim petisi mengenai penggantian KSAD kepada menteri
pertahanan yang dikirim ke seksi pertahanan parlemen sehingga menimbulkan
perdebatan dalam parlemen. Konflik semakin diperparah dengan adanya surat yang
menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam memulihkan keamanana di
Sulawesi Selatan.
Keadaan ini menyebabkan muncul demonstrasi di berbagai daerah menuntut
dibubarkannya parlemen. Sementara itu TNI-AD yang dipimpin Nasution
menghadap presiden dan menyarankan agar parlemen dibubarkan. Tetapi saran
tersebut ditolak.
Muncullah mosi tidak percaya dan menuntut diadakan reformasi dan reorganisasi
angkatan perang dan mengecam kebijakan KSAD.
Inti peristiwa ini adalah gerakan sejumlah perwira angkatan darat guna menekan
Sukarno agar membubarkan kabinet.
Munculnya peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah
perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Sesuai dengan perjanjian KMB pemerintah
mengizinkan pengusaha asing untuk kembali ke Indonesia dan memiliki tanah-tanah
perkebunan. Tanah perkebunan di Deli yang telah ditinggalkan pemiliknya selama
masa Jepang telah digarap oleh para petani di Sumatera Utara dan dianggap
miliknya. Sehingga pada tanggal 16 Maret 1953 muncullah aksi kekerasan untuk
mengusir para petani liar Indonesia yang dianggap telah mengerjakan tanah tanpa
izin tersebut. Para petani tidak mau pergi sebab telah dihasut oleh PKI. Akibatnya
terjadi bentrokan senjata dan beberapa petani terbunuh.
Intinya peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara aparat
kepolisian dengan para petani liar mengenai persoalan tanah perkebunan di
Sumatera Timur (Deli).
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani
Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya
pada presiden.
d. KABINET ALI SASTROAMIJOYO I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
Kabinet ini merupakan koalisi antara PNI dan NU.
Dipimpin Oleh : Mr. Ali Sastroamijoyo
Persiapan Pemilihan Umum untuk memilih anggota parlemen yang akan
diselenggarakan pada 29 September 1955.
Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
Menghadapi masalah keamanan di daerah yang belum juga dapat terselesaikan,
seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
Terjadi peristiwa 27 Juni 1955 suatu peristiwa yang menunjukkan adanya
kemelut dalam tubuh TNI-AD. Masalah TNI –AD yang merupakan kelanjutan dari
Peristiwa 17 Oktober 1952. Bambang Sugeng sebagai Kepala Staf AD mengajukan
permohonan berhenti dan disetujui oleh kabinet. Sebagai gantinya mentri
pertahanan menunjuk Kolonel Bambang Utoyo tetapi panglima AD menolak
pemimpin baru tersebut karena proses pengangkatannya dianggap tidak
menghiraukan norma-norma yang berlaku di lingkungan TNI-AD. Bahkan ketika
terjadi upacara pelantikan pada 27 Juni 1955 tidak seorangpun panglima tinggi yang
hadir meskipun mereka berada di Jakarta. Wakil KSAD-pun menolak melakukan
serah terima dengan KSAD baru.
Keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang
menunjukkan gejala membahayakan.
Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
Munculnya konflik antara PNI dan NU yang menyebabkkan, NU memutuskan
untuk menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti
oleh partai lainnya.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Dengan berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin dianggap selesai. Pemilu
tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet sehingga kabinetpun jatuh.
Akan dibentuk kabinet baru yang harus bertanggungjawab pada parlemen yang baru
pula.
f. KABINET ALI SASTROAMIJOYO II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Kabinet ini merupakan hasil koalisi 3 partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU.
Dipimpin Oleh : Ali Sastroamijoyo
Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat
program jangka panjang, sebagai berikut.
1. Perjuangan pengembalian Irian Barat
2. Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-
anggota DPRD.
3. Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
4. Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
5. Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional
berdasarkan kepentingan rakyat.
Selain itu program pokoknya adalah,
Pembatalan KMB,
Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan
politik luar negeri bebas aktif,
Melaksanakan keputusan KAA.
Hasil :
Mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari periode
planning and investment, hasilnya adalah Pembatalan seluruh perjanjian KMB.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
Mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh
dan menyerahkan mandatnya pada presiden.
g. KABINET DJUANDA ( 9 April 1957- 5 Juli 1959)
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli
dalam bidangnya. Dibentuk karena Kegagalan konstituante dalam menyusun Undang-
undang Dasar pengganti UUDS 1950. Serta terjadinya perebutan kekuasaan antara partai
politik.
Dipimpin Oleh : Ir. Juanda
Programnya disebut Panca Karya sehingga sering juga disebut sebagai Kabinet
Karya, programnya yaitu :
Membentuk Dewan Nasional
Normalisasi keadaan Republik Indonesia
Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB
Perjuangan pengembalian Irian Jaya
Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan
Semua itu dilakukan untuk menghadapi pergolakan yang terjadi di daerah, perjuangan
pengembalian Irian Barat, menghadapi masalah ekonomi serta keuangan yang sangat
buruk.
Hasil :
Berakhir saat presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan mulailah
babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi Terpimpin.
B. KEADAAN EKONOMI INDONESIA MASA LIBERAL
Meskipun Indonesia telah merdeka tetapi Kondisi Ekonomi Indonesia masih sangat buruk. Upaya untuk
mengubah stuktur ekonomi kolonial ke ekonomi nasional yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia
berjalan tersendat-sendat.
Faktor yang menyebabkan keadaan ekonomi tersendat adalah sebagai berikut.
1. Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, bangsa Indonesia
menanggung beban ekonomi dan keuangan seperti yang telah ditetapkan dalam KMB. Beban tersebut
berupa hutang luar negeri sebesar 1,5 Triliun rupiah dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 Triliun
rupiah.
2. Defisit yang harus ditanggung oleh Pemerintah pada waktu itu sebesar 5,1 Miliar.
3. Indonesia hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama hasil bumi yaitu pertanian dan
perkebunan sehingga apabila permintaan ekspor dari sektor itu berkurang akan memukul
perekonomian Indonesia.
4. Politik keuangan Pemerintah Indonesia tidak di buat di Indonesia melainkan dirancang oleh
Belanda.
5. Pemerintah Belanda tidak mewarisi nilai-nilai yang cukup untuk mengubah sistem ekonomi
kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
6. Belum memiliki pengalaman untuk menata ekonomi secara baik, belum memiliki tenaga ahli dan
dana yang diperlukan secara memadai.
7. Situasi keamanan dalam negeri yang tidak menguntungkan berhubung banyaknya
pemberontakan dan gerakan sparatisisme di berbagai daerah di wilayah Indonesia.
8. Tidak stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah untuk
operasi-operasi keamanan semakin meningkat.
9. Kabinet terlalu sering berganti menyebabakan program-program kabinet yang telah direncanakan
tidak dapat dilaksanakan, sementara program baru mulai dirancang.
10. Angka pertumbuhan jumlah penduduk yang besar.
Masalah jangka pendek yang harus dihadapi pemerintah adalah :
1. Mengurangi jumlah uang yang beredar
2. Mengatasi Kenaikan biaya hidup.
Sementara masalah jangka panjang yang harus dihadapi adalah :
1. Pertambahan penduduk dan tingkat kesejahteraan penduduk yang rendah.
C. KEBIJAKAN PEMERINTAH UNTUK MENGATASI MASALAH EKONOMI MASA
LIBERAL
Kehidupan ekonomi Indonesia hingga tahun 1959 belum berhasil dengan baik dan tantangan
yang menghadangnya cukup berat. Upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi
adalah sebagai berikut.
1. Gunting Syafruddin
Kebijakan ini adalah Pemotongan nilai uang (sanering). Caranya memotong semua uang
yang bernilai Rp. 2,50 ke atas hingga nilainya tinggal setengahnya.
Kebijakan ini dilakukan oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara pada masa
pemerintahan RIS. Tindakan ini dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950 berdasarkan SK
Menteri Nomor 1 PU tanggal 19 Maret 1950
Tujuannya untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar.
Dampaknya rakyat kecil tidak dirugikan karena yang memiliki uang Rp. 2,50 ke atas hanya
orang-orang kelas menengah dan kelas atas. Dengan kebijakan ini dapat mengurangi jumlah
uang yang beredar dan pemerintah mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan
mendapat pinjaman sebesar Rp. 200 juta.
2. Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk
mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah yang dilakukan pada masa Kabinet Natsir
yang direncanakan oleh Sumitro Joyohadikusumo (menteri perdagangan). Program ini
bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional
(pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya :
Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk
berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan
bantuan kredit.
Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi
maju.
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program Gerakan
Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700
perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini. Tetapi tujuan
program ini tidak dapat tercapai dengan baik meskipun beban keuangan pemerintah
semakin besar. Kegagalan program ini disebabkan karena :
Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi
Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara
hidup mewah.
Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara
mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih
berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.
Indonesia menerapkan sistem Liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan
bebas.
Pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.
Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak boleh diikat
oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau menandatangani, sehingga Indonesia mengambil
langkah secara sepihak. Tanggal 13 Februari1956, Kabinet Burhanuddin Harahap
melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak.
Tujuannya untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sehingga,
tanggal 3 Mei 1956, akhirnya Presiden Sukarno menandatangani undang-undang
pembatalan KMB.
Dampaknya :
Banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha pribumi
belum mampu mengambil alih perusahaan Belanda tersebut.
6. Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih berganti
menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan terjadinya
kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan.
Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada
masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang
pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang nasional.
Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya
akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November
1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional
Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah.
RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena :
Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun
1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang
A. DEKRIT PRESIDEN
Pelaksanaan demokrasi terpimpin dimulai dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda pendapat sementara sulit
Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan negara.
Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi
negara berupa DPAS yang selama masa Demokrasi Parlemen tertertunda pembentukannya.
Dampak negatif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut.
Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 45 yang
militer terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan politik yang disegani. Hal itu semakin
terlihat pada masa Orde Baru dan tetap terasa sampai sekarang.
B. PELAKSANAAN DEMOKRASI TERPIMPIN
Demokrasi Terpimpin berlaku di Indonesia antara tahun 1959-1966, yaitu dari dikeluarkannya
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga Jatuhnya kekuasaan Sukarno.
Disebut Demokrasi terpimpin karena demokrasi di Indonesia saat itu mengandalkan pada
kepemimpinan Presiden Sukarno.
Terpimpin pada saat pemerintahan Sukarno adalah kepemimpinan pada satu tangan saja yaitu
presiden.
Tugas Demokrasi terpimpin :
Demokrasi Terpimpin harus mengembalikan keadaan politik negara yang tidak setabil sebagai
warisan masa Demokrasi Parlementer/Liberal menjadi lebih mantap/stabil.
Demokrasi Terpimpin merupakan reaksi terhadap Demokrasi Parlementer/Liberal. Hal ini
disebabkan karena :
Pada masa Demokrasi parlementer, kekuasaan presiden hanya terbatas sebagai
kepala negara.
Sedangkan kekuasaan Pemerintah dilaksanakan oleh partai.
Dampaknya: Penataan kehidupan politik menyimpang dari tujuan awal, yaitu demokratisasi
(menciptakan stabilitas politik yang demokratis) menjadi sentralisasi (pemusatan kekuasaan di
tangan presiden).
Pelaksanaan masa Demokrasi Terpimpin :
Kebebasan partai dibatasi
Presiden cenderung berkuasa mutlak sebagai kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan.
Pemerintah berusaha menata kehidupan politik sesuai dengan UUD 1945.
Dibentuk lembaga-lembaga negara antara lain MPRS,DPAS, DPRGR dan Front
Nasional.
Penyimpangan-penyimpangan pelaksanaan Demokrasi terpimpin dari UUD 1945
adalah sebagai berikut.
1. Kedudukan Presiden
Berdasarkan UUD 1945, kedudukan Presiden berada di bawah MPR. Akan tetapi,
kenyataannya bertentangan dengan UUD 1945, sebab MPRS tunduk kepada Presiden.
Presiden menentukan apa yang harus diputuskan oleh MPRS. Hal tersebut tampak dengan
adanya tindakan presiden untuk mengangkat Ketua MPRS dirangkap oleh Wakil Perdana
Menteri III serta pengagkatan wakil ketua MPRS yang dipilih dan dipimpin oleh partai-
partai besar serta wakil ABRI yang masing-masing berkedudukan sebagai menteri yang
tidak memimpin departemen.
2. Pembentukan MPRS
Presiden juga membentuk MPRS berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959.
Tindakan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena Berdasarkan UUD 1945
pengangkatan anggota MPRS sebagai lembaga tertinggi negara harus melalui pemilihan
umum sehingga partai-partai yang terpilih oleh rakyat memiliki anggota-anggota yang
duduk di MPR.
Anggota MPRS ditunjuk dan diangkat oleh Presiden dengan syarat :
Setuju kembali kepada UUD 1945, Setia kepada perjuangan Republik
Indonesia, dan Setuju pada manifesto Politik.
Keanggotaan MPRS terdiri dari 61 orang anggota DPR, 94 orang utusan daerah, dan 200
orang wakil golongan.
Tugas MPRS terbatas pada menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
3. Pembubaran DPR dan Pembentukan DPR-GR
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilu tahun 1955 dibubarkan karena DPR menolak
RAPBN tahun 1960 yang diajukan pemerintah. Presiden selanjutnya menyatakan
pembubaran DPR dan sebagai gantinya presiden membentuk Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong (DPR-GR). Dimana semua anggotanya ditunjuk oleh presiden. Peraturan
DPRGR juga ditentukan oleh presiden. Sehingga DPRGR harus mengikuti kehendak serta
kebijakan pemerintah. Tindakan presiden tersebut bertentangan dengan UUD 1945
sebab berdasarkan UUD 1945 presiden tidak dapat membubarkan DPR.
Tugas DPR GR adalah sebagai berikut.
Melaksanakan manifesto politik
Bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri dari Nekolim Inggris.
Hasil yang dicapai, dalam waktu 1 tahun Depenas berhasil menyusun Rancangan Dasar
Undang-undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana tahapan tahun 1961-1969
yang disetujui oleh MPRS.
Mengenai masalah pembangunan terutama mengenai perencanaan dan pembangunan
proyek besar dalam bidang industri dan prasarana tidak dapat berjalan dengan lancar sesuai
harapan.
1963 Dewan Perancang Nasional (Depernas) diganti dengan nama Badan Perancang
Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden Sukarno.
Tugas Bappenas adalah
Menyusun rencana jangka panjang dan rencana tahuanan, baik nasional maupun
daerah.
Mengawasi dan menilai pelaksanaan pembangunan.
Maka pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah mengumumkan keputusannya mengenai
penuruan nilai uang (devaluasi), yaitu sebagai berikut.
a. Uang kertas pecahan bernilai Rp. 500 menjadi Rp. 50
b. Uang kertas pecahan bernilai Rp. 1.000 menjadi Rp. 100
c. Pembekuan semua simpanan di bank yang melebihi Rp. 25.000
Tetapi usaha pemerintah tersebut tetap tidak mampu mengatasi kemerosotan ekonomi yang
semakin jauh, terutama perbaikan dalam bidang moneter. Para pengusaha daerah di
seluruh Indonesia tidak mematuhi sepenuhnya ketentuan keuangan tersebut.
Pada masa pemotongan nilai uang memang berdampak pada harga barang menjadi murah
tetapi tetap saja tidak dapat dibeli oleh rakyat karena mereka tidak memiliki uang. Hal ini
disebabkan karena :
Penghasilan negara berkurang karena adanya gangguan keamanan akibat
Pinjaman luar negeri tidak mampu mengatasi masalah yang ada.
Upaya likuidasi semua sektor pemerintah maupun swasta guna penghematan
melakukan pengeluaran.
Pemerintah menyelenggarakan proyek-proyek mercusuar seperti GANEFO
(Games of the New Emerging Forces ) dan CONEFO (Conference of the New Emerging
Forces) yang memaksa pemerintah untuk memperbesar pengeluarannya pada setiap
tahunnya.
Dampaknya :
Inflasi semakin bertambah tinggi Harga-harga semakin bertambah tinggi Kehidupan
masyarakat semakin terjerpit
Indonesia pada tahun 1961 secara terus menerus harus membiayai kekeurangan
1965, cadangan emas dan devisa telah habis bahkan menunjukkan saldo negatif
sebesar US$ 3 juta sebagai dampak politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-
negara barat.
Kebijakan pemerintah :
Keadaan defisit negara yang semakin meningkat ini diakhiri pemerintah dengan
pencetakan uang baru tanpa perhitungan matang. Sehingga menambah berat angka
inflasi.
13 Desember 1965 pemerintah mengambil langkah devaluasi dengan menjadikan
uang senilai Rp. 1000 menjadi Rp. 1.
Dampaknya dari kebijakan pemerintah tersebut :
Uang rupiah baru yang seharusnya bernilai 1000 kali lipat uang rupiah lama
akan tetapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai sekitar 10 kali lipat lebih
tinggi dari uang rupiah baru.
Tindakan moneter pemerintah untuk menekan angka inflasi malahan
menyebabkan meningkatnya angka inflasi.
4. Deklarasi Ekonomi (Dekon)
Latar belakang dikeluarkan Deklarasi Ekonomi adalah karena:
Berbagai peraturan dikeluarkan pemerintah untuk merangsang ekspor (export
pembangunan yang direncanakan guna meningkatkan taraf hidup rakyat tidak dapat
terlaksana dengan baik.
Sehingga pada tanggal 28 Maret 1963 dikeluarkan landasan baru guna perbaikan ekonomi
secara menyeluruh yaitu Deklarasi Ekonomi (DEKON) dengan 14 peraturan pokoknya.
Dekon dinyatakan sebagai strategi dasar ekonomi Terpimpin Indonesia yang menjadi
bagian dari strategi umum revolusi Indonesia.
Strategi Dekon adalah mensukseskan Pembangunan Sementara Berencana 8 tahun yang
polanya telah diserahkan oleh Bappenas tanggal 13 Agustus 1960.
Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa sistem ekonomi Indonesia adalah Berdikari
yaitu berdiri diatas kaki sendiri.
Tujuan utama dibentuk Dekon adalah untuk menciptakan ekonomi yang bersifat
nasional, demokratis, dan bebas dari sisa-sisa imperialisme untuk mencapai tahap ekonomi
sosialis Indonesia dengan cara terpimpin.
Pelaksanaannya,
Peraturan tersebut tidak mampu mengatasi kesulitan ekonomi dan masalah
inflasi
Dekon mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia
usaha.
Terjadinya berbagai bentuk penyelewengan dan salah urus.
Indonesia
Mengalihkan pusat pemasaran komoditi RI dan Rotterdam (Belanda) ke
Bremen, Jerman.
Konfrontasi Politik dilakukan melalui tindakan sebagai berikut.
1) Tahun 1951, Kabinet Sukiman menyatakan bahwa hubungan Indonesia dengan
Belanda merupakan hubungan bilateral biasa, bukan hubungan Unie-Statuut.
2) Tanggal 3 Mei 1956, pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo II, diumumkan
pembatalan semua hasil KMB.
3) Pada tanggal 17 Agustus 1956 dibentuk provinsi Irian Barat dengan ibukotanya
kotanya di Soa Siu (Tidore) dan Zaenal Abidin Syah (Sultan Tidore) sebagai
gubernurnya yang dilantik tanggal 23 September 1956. Provinsi Irian Barat
meliputi : Irian, Tidore, Oba, Weda, Patani, dan Wasile.
4) 18 November 1957 terjadi Rapat umum pembebasan Irian Barat di Jakarta.
5) Tahun 1958, Pemerintah RI menghentikan kegiatan-kegiatan konsuler Belanda
di Indonesia. Pemecatan semua pekerja warga Belanda di Indonesia
6) Tanggal 8 Februari 1958, dibentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat.
7) Tanggal 17 Agustus 1960 diumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan
Belanda.
b. Konfrontasi Militer
Dampak dari tindakan konfrontasi politik dan ekonomi tersebut maka tahun 1961 dalam
Sidang Majelis Umum PBB terjadi perdebatan mengenai masalah Irian Barat.
Diputuskan bahwa Diplomat Amerika Serikat Ellsworth Bunker bersedia menjadi
penengah dalam perselisihan antara Indonesia dan Belanda.
Bunker mengajukan usul yang dikenal dengan Rencana Bunker, yaitu :
1. Pemerintah Irian Barat harus diserahkan kepada Republik Indonesia.
2. Setelah sekian tahun, rakyat Irian Barat harus diberi kesempatan untuk
menentukan pendapat apakah tetap dalam negara Republik Indonesia atau
memisahkan diri.
3. Pelaksanaan penyelesaian masalah Irian Barat akan selesai dalam jangka waktu
dua tahun.
4. Guna menghindari bentrokan fisik antara pihak yang bersengketa, diadakan
pemerintah peralihan di bawah pengawasan PBB selama satu tahun.
Indonesia menyetujui usul itu dengan catatan jangka waktu diperpendek.
Pihak Belanda tidak mengindahkan usul tersebut bahkan mengajukan usul untuk
menyerahkan Irian Barat di bawah pengawasan PBB. Selanjutnya PBB membentuk
negara Papua dalam jangka waktu 16 tahun.
Jadi Belanda tetap tidak ingin Irian Barat menjadi bagian dari Indonesia. Keinginan
Belanda tersebut tampak jelas ketika tanpa persetujuan PBB, Belanda mendirikan
negara Papua, lengkap dengan bendera dan lagu kebangsaan.
Tindakan Belanda tersebut tidak melemahkan semangat bangsa Indonesia. Indonesia
menganggap bahwa sudah saatnya menempuh jalan kekuatan fisik (militer).
Perjuangan melalui jalur militer ditempuh dengan tujuan untuk:
Menunjukkan kesungguhan Indonesia dalam memperjuangankan apa pun yang
memang menjadi haknya.
Menunjukkan kesungguhan dan memperkuat posisi Indonesia.
Menunjukkan sikap tidak kenal menyerah dalam merebut Irian Barat.
Persiapan pemerintah untuk menggalang kekuatan militer adalah :
Pada Desember 1960, mengirimkan misi ke Uni Soviet untuk membeli senjata dan
perlengkapan perang lainnya.
KSAD mengunjungi beberapa negara, seperti India, Pakistan, tahiland, Filipina,
Australia, Selandia Baru, Jerman, Perancis, dan Inggris untuk menjajaki sikap negara-
negara tersebut bila terjadi perang antara Indonesia dengan Belanda.
Tindakan persiapan Indonesia tersebut dianggap oleh Belanda sebagai upaya untuk
melaklukan Agresi. Sehingga Belanda kemudian memperkuat armada dan angkatan
perangnya di Irian Barat dengan mendatangkan kapal induk Karel Dorman.
Maka Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Sukarno mengumumkan Tri Komando
Rakyat (Trikora) di Yogyakarta yang telah dirumuskan oleh Dewan Pertahanan
Nasional. Peristiwa ini menandai dimulainya secara resmi konfrontasi militer terhadap
Belanda dalam rangka mengembalikan Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi.
Isi Trikora adalah sebagai berikut.
1) Gagalkan Pembentukan Negara boneka papua buuatan Belanda
2) Kibarkan Sang merah Putih di Irian Barat, Tanah air Indonesia
3) Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan
kesatuan tanah air dan bangsa.
Selanjutnya, diadakan rapat Dewan Pertahanan Nasional dan Gabungan Kepala Staf
serta Komamndo Tertinggi Pembebasan Irian Barat. Keputusan dari rapat tersebut
adalah sebagai berikut.
Dibentuk Provinsi Irian Barat gaya baru yang beribu kota di
Jayapura(zaman Belanda bernama Hollandia) dengan putra Irian sebagai
gubernurnya.
Tanggal 11 Januari 1962 dibentuk Komando Tertinggi dan Komando
Mandala Pembebasan Irian Barat yang berkedudukan di Makassar yang langsung di
bawah ABRI dengan tugas merebut Irian Barat. Tugas Komando Mandala adalah
sebagai berikut.
Menyelenggarakan operasi Militer untuk membebaskan Irian Barat.
Operasi militer tersebut terdiri dari tiga tahap, yaitu penyusupan (infiltrasi),
serangan besar-besaran (eksploitasi), dan penegakan kekuasaan Republik
Indonesia (Konsolidasi).
Menggunakan segenap kekuatan dalam lingkungan Republik Indonesia
untuk membebaskan Irian Barat. Kekuatan itu terdiri atas tentara regulerdan
suka relawan maupun berbagai potensi perlawanan rakyat lainnya
Tanggal 13 Januari 1962, Brigadir Jendral Suharto dilantik sebagai
Panglima Mandala dengan pangkat Mayor Jendral, beliau juga merangkap sebagai
Deputi KSAD untuk wilayah Indonesia bagian timur.
Sebelum konsolidasi yang dilakukan oleh Komando Mandala selesai,
Tanggal 15 Januari 1962 terjadi pertempuran di Laut Aru. Dalam pertempuran
tersebut Deputi KSAL Komodor Yos Sudarso gugur.
c. Konfrontasi Total
Sesuai dengan perkembangan situasi Trikora diperjelas dengan Instruksi Panglima
Besar Komodor Tertinggi Pembebasan Irian Barat No.1 kepada Panglima Mandala
yang isinya sebagai berikut.
Merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan operasi militer
bidang diplomasi dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya di Wilayah Irian Barat
dapat secara de facto diciptakan daerah-daerah bebas atau ada unsur kekuasaan/
pemerintah daerah Republik Indonesia.
Strategi yang disusun oleh Panglima Mandala guna melaksanakan instruksi
tersebut.
a. Tahap Infiltrasi (penyusupan) (sampai akhir 1962),
yaitu dengan memasukkan 10 kompi di sekitar sasaran-sasaran tertentu untuk
menciptakan daerah bebas de facto yang kuat sehingga sulit dihancurkan oleh
musuh dan mengembangkan pengusaan wilayah dengan membawa serta rakyat Irian
Barat.
b. Tahap Eksploitasi (awal 1963),
yaitu mengadakan serangan terbuka terhadap induk militer lawan dan menduduki
semua pos-pos pertahanan musuh yang penting.
c. Tahap Konsolidasi (awal 1964),
yaitu dengan menunjukkan kekuasaan dan menegakkan kedaulatan Republik
Indonesia secara mutlak di seluruh Irian Barat.
Pelaksanaannya Indonesia menjalankan tahap infiltasi, selanjutnya melaksanakan
operasi Jayawijaya, tetapi sebelum terlaksana pada 18 Agustus 1962 ada sebuah perintah
dari presiden untuk menghentikan tembak-menembak.
d. Akhir Konfrontasi
Surat perintah tersebut dikeluarkan setelah ditandatangani persetujuan antara
pemerintah RI dengan kerajaan Belanda mengenai Irian Barat di Markas Besar PBB di
New York pada tanggal 15 Agustus 1962 yang selanjutnya dikenal dengan Perjanjian
New York. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Menlu Subandrio sementara itu Belanda
dipimpin oleh Van Royen dan Schuurman. Kesepakatan tersebut berisi.
1) Kekuasaan pemerintah di Irian Barat untuk sementara waktu diserahkan pada
UNTEA(United Nations Temporary Executive Authority)
2) Akan diadakan PERPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) di Irian Barat sebelum
tahun 1969.
Untuk menjamin Keamanan di Irian Barat dibentuklah pasukan penjaga perdamaian
PBB yang disebut UNSF (United Nations Security Force) yang dipimpin oleh Brigadir
Jendral Said Udin Khan dari Pakistan.
Berdasarkan Perjanjian New York proses untuk pengembalian Irian Barat ditempuh
melalui beberapa tahap, yaitu :
1. Antara 1 Oktober -31 Desember 1962 merupakan masa pemerintahan
UNTEA bersama Kerajaan Belanda.
2. Antara 1 Januari 1963- 1 Mei 1963 merupakan masa pemerintahan UNTEA
bersama RI.
3. Sejak 1 Mei 1963, wilayah Irian Barat sepenuhnya berada di bawah kekuasaan
RI.
4. Tahun 1969 akan diadakan act of free choice, yaitu penentuan pendapat rakyat
(Perpera).
Penentuan Pendapat rakyat (Perpera) berarti rakyat diberi kesempatan untuk memilih
tetap bergabung dengan Republik Indonesia atau Merdeka.
Perpera mulai dilaksankan pada tanggal 14 Juli 1969 di Merauke sampai dengan 4
Agustus 1969 di Jayapura. Hasil Perpera tersebut adalah mayoritas rakyat Irian
Barat menyatakan tetap berada dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Hasil Perpera selanjutnya dibawa oleh Diplomat PBB, Ortis Sanz (yang menyaksikan
setiap tahap Perpera) untuk dilaporkan dalam sidang Majelis Umum PBB ke-24.
Tanggal 19 November 1969, Sidang Umum PBB mengesahkan hasil Perpera tersebut.