Anda di halaman 1dari 8

E-notulensi Seminar

Forum Penulis Indonesia

Forum Penulis Indonesia dalam rangka kelulusan member generasi II


tanggal 29-31 Desember 2021
Seminar Kelulusan Member Generasi II
Pemateri; Daves Louis
Media Sosial; @aeternitasa (Instagram)
@daveslouis (Instagram, Wattpad)
@daveslouiss (twitter)
aeterlouis@gmail.com (e-mail)

Tema; Membangun Psikologis yang Kokoh pada Era 4.0


Waktu; Pukul 19.30 WIB pada 29 Desember 2021

Notulensi oleh; Arshara Kenand


Media Sosial; @arsharakenand
Membangun Psikologis yang Kokoh pada Era 4.0
Daves Louis

Sebelumnya, maaf semisalnya saya hilang timbul. Kartu Simpati memang gak akan pernah
bersimpati.

Baik. Untuk judul malam ini, sesuai dengan yang di banner: Membangun Psikologis Penulis yang
Kokoh pada Era (Industri) 4.0

Untuk isi materi sendiri sebenarnya tidak akan terlalu terpaku ke yang namanya psikologi/mental
terlalu dalam. Sudah banyak judul seminar saya di tempat-tempat lain yang juga mengusung tema
psikologi, jadi untuk materi malam ini akan saya buat lebih berbeda dengan memberikan fokus lebih
kepada profesi penulis.

Kita mulai saja dengan membicarakan profesi atau gelar penulis, but deeper.

Kapan seseorang bisa disebut sebagai penulis?

Kata penulis yang saya mention ini bukan penulis seperti seorang sekretaris yang mencatat keuangan
organisasi, atau contoh simpelnya—seperti siswa yang menulis tugasnya di dalam buku tulis. Tanpa
saya jelaskan seperti apa 'penulis' yang saya sebutkan itu, saya yakin Anda pasti mengerti. Namun,
tetap, mau bagaimanapun, jika Anda telah menulis, Anda tetap layak disebut sebagai seorang penulis.
Kata penulis sendiri bisa ditafsirkan bermacam-macam, jadi, memang agak salah rasanya jika menilai
seseorang layak-tidak layak sebagai penulis hanya dalam satu arah pandang.

Di dalam KBBI sendiri, ada dua makna penulis yang akan saya kaitkan di pembahasan kali ini.
Yakni:

1. Orang yang menulis

2. Pengarang: ~ naskah

Lalu, kembali lagi ke pertanyaan utama; "Kapan seseorang bisa disebut sebagai penulis?

Sebenarnya, (dengan pemahaman non-spekulatif) gelar penulis ini tidak seketat dokter, profesor,
peneliti, doktor, insinyur, atau gelar lainnya. Ada sebagian orang yang menganggap bahwa penulis
adalah seseorang yang menulis—sesimpel itu. Tentu saja tidak ada salahnya, karena dalam artian
bahasa sendiri sudah sejalan dengan apa yang orang-orang itu nyatakan. Ada pula sekelompok orang
yang menganggap bahwa gelar penulis ini lebih kompleks dari pada orang yang menulis. Mereka
menganggap bahwa seseorang yang layak disebut sebagai penulis adalah orang yang telah memiliki
sifat dan mental penulis—bukan hanya di situ, mereka juga menilai kualitas, dan interpretasi (pribadi)
mereka sendiri yang lalu 'dicampur' untuk menilai apakah orang ini sudah layak dirinya sebut penulis
atau tidak.

Apakah ada yang salah di antara dua anggapan tersebut?


Tidak juga. Kata 'salah' ini ada saat seseorang jatuh terlalu dalam di lautan hipotesis mereka sendiri
tanpa bisa menerima paradigma-paradigma lain. Contohnya, untuk si tipe pertama, ada mereka yang
terlalu 'longgar' dalam menyeleksi manusia-manusia yang (maaf kalau saya menyinggung) faktanya
berkualitas. Mereka terlalu terpaku dalam pemikiran orang yang nulis, itu ya penulis, sehingga
melupakan kenyataan bahwa industri dan dunia sastra (Indonesia) juga harus berkembang kualitasnya
—dan bukan hanya sekadar hal kuantitas (ini saya bicara mengenai mereka yang telah mempublikasi).

Lalu bagaimana dengan tipe kedua? Sama konsepnya seperti tipe pertama tadi, mereka salah jika
jatuh terlalu dalam. Ada oknum yang memang 'terlalu selektif' dalam memilih bacaan, sehingga
mengkritik (dalam konteks negatif) sebuah karya yang seharusnya bisa berkembang sehingga
membuat mental si penulis jatuh.

Saya pribadi adalah penganut pemikiran kedua. Walau terkadang di mata orang lain sifat 'pemilih'
saya terkesan rude, tapi saya yakin bahwa otak saya telah menyesuaikan dirinya sendiri—alias, tetap
bersifat fleksibel dan dapat melihat segala sesuatu dari perspektif lain pun tidak jatuh dalam
pemikiran saya sendiri.

Namun, ini tidak menghalangi seseorang untuk disebut sebagai penulis. Pada dasarnya, kamus sendiri
yang secara gamblang mengatakan bahwa seseorang yang menulis (ini telah dalam konteks seni)—
mau karya itu cacat atau tidak, enak dibaca atau tidak, populer atau tidak—tetap dianggap sebagai
penulis.

Yang menjadi poinnya di sini adalah bagaimana cara publik menganggap profesi/gelar penulis itu
seperti apa. Kita tidak dapat memaksakan orang lain untuk mengakui diri kita sendiri. Seperti yang
kalian tahu juga, poin pengertian nomor dua dalam kata 'penulis' juga terdapat pengertian bahwa
penulis ini adalah seseorang yang mengarang—simpelnya, seperti kalian yang menulis di platform
(jangan bawa-bawa pertanyaan tapi non-fiksi 'kan bukan karangan, Kak? dulu, saya bisa tenggelam).

Ya ..., beda tafsiran beda anggapan. Kembali lagi ke kalimat 'semua orang bebas berpendapat'. Mau
ada oknum yang nganggap bahwa penulis itu adalah orang yang corat-coret diari, ya gak salah juga.
Mau ada oknum yang mengartikan bahwa penulis itu adalah sosok selevel J.K Rowling, ya mau
bagaimana lagi, mungkin dia haus akan kualitas.

Ini semua berkaitan pula dengan personal branding (yang bukan semata-mata menganggap diri
sebagai penulis). Menulis adalah langkah personal branding untuk seorang penulis. Mereka yang
disebut penulis tidak harus mereka yang telah menerbitkan buku. Ada mereka yang sering
mengunggah tulisan di media digital tanpa kredensial: telah menerbitkan sekian buku, tetapi tentu saja
tetap layak dianggap penulis.

Personal branding adalah sekian banyak hal yang dilakukan seseorang untuk memasarkan diri dan
karir dengan merek tertentu. Sama seperti kita yang melakukan personal branding sebagai penulis
dengan menulis (pun mengetik) dadidudedo yang entah itu adalah fiksi, non-fiksi, motivasi, dan
sebagainya.

Bagaimana cara melakukan personal branding sebagai penulis?


Ya menulis. Tulis. Tulis. Tulis. Lalu di bawah menulis ini, ada pula membaca. Seorang penulis tidak
akan bisa menulis jika dirinya tidak membaca. Dalam konteks personal branding ini, tentu saja segala
sesuatu yang dilakukan tujuannya agar diakui publik, yang di mana, oknum yang bersangkutan harus
bersedia mempublikasi tulisan-tulisannya di platform yang bisa diakses siapa saja.

Oke selesai. Saya mau terbang ke pembahasan super pendek yang (agak) sesuai dengan judul kita
malam ini.

Pada dasarnya, seseorang yang melakukan personal branding harus siap untuk menghadapi mata-mata
merah netizen. Membuat orang-orang mengakui diri kita sebagai penulis tidak sesimpel tulis seribu
huruf lalu selesai.

Penulis harus bisa menciptakan kekonsistenan. Sifat tahan banting. Siap akan segala kritik positif dan
negatif. Siap menjadi diri sendiri hingga giat mencari ilmu baru.

Masih berhubungan lagi dengan penulis: bagaimana jika kita gagal?

Saya yakin kalian semua masih muda segar bugar.

Ya ... jika gagal, ya berarti gagal. Namun, jika gagal, bukan berarti harus bayar denda untuk mencoba
kembali.

Mumpung masih muda, jatah gagalnya dihabiskan dulu saja. Kalau gagal, bangkit lagi. Gagal lagi,
bangkit lagi.

Kesuksesan tidak selamanya terpaku dalam standar yang di-setting otak kalian. Penuhi diri kalian
dengan pengalaman, dan dalam mencari pengalaman, tentu saja ada suka dan duka. Dunia itu bukan
hitam putih yang mempresentasikan kegagalan atau kesuksesan. Ada banyak warna yang bisa kalian
bentuk menjadi apa saja.

Jika seseorang telah terjatuh terlalu dalam ke jurang dan mencapai keadaan yang bisa disebut titik
terendah. Yang bisa dilakukan hanyalah berjalan ke atas. Mendaki. Terbang.

It's okay kalau kalian bergerak lambat. Setidaknya kalian masih lebih baik dari mereka yang masih
duduk di sofa.

Sampai situ saja. Saya mau ngunyah. Maaf atas segala kekurangannya.
Q&A Time
Pemateri – Peserta

_____________________________________

Penanya 1;
“Perkenalkan, nama Saya Nur Eko Saputro bisa dipanggil Eko. Di sini, perkenankan saya
mengajukan pertanyaan, dan mohon maaf bila tidak tepat dengan tema pembahasan, sebab saya ini
masih pelajar MA.
1. Di Era 4.0. ini banyak generasi muda yang sulit sekali menanamkan literasi. Langkah seperti apa
yang wajib dituju untuk agar literasi dapat diminati oleh kaum milenial ini? Sebab realita yang kita
jumpai saat ini lebih cenderung menikmati games dari smartphonenya. Dan apakah kita ini wajib
untuk mempelajari semua bidang sastra? Karena aspek-aspek sastra ini banyak contohnya puisi,
cerpen, dsb. Maksud saya, apakah boleh satu hal saja yang kita kembangkan dan pelajari?
2. Sebutan author ini hanya untuk semua pengarang atau khusus ya, Kak? Misalnya sebutan
pengarang puisi ini, pengarang buku ini dsb. Atau gimana, Kak? Terima kasih.”

Jawaban Kak Daves;


Baik. Pertanyaan pertama. Langkah yang bisa dilakukan adalah membuat anak-anak itu mempunyai
kesadaran akan pentingnya literasi. Kita tidak bisa secara gamblang meminta mereka untuk berliterasi
tanpa mengenalkan kepada mereka seberapa penting literasi dalam kehidupan di zaman kini. Untuk
menyadarkan mereka tentu saja dengan memberi informasi, entah itu mengenai seberapa penting
literasi atau dadidudedo yang lain. Apakah kita harus mempelajari seluruh hal-hal yang berkaitan
dengan sastra? Tidak. Minat orang-orang selalu berbeda. Beda kasus dengan literasi. Semua orang di
zaman ini secara tidak langsung memang harus dipaksakan bisa berliterasi untuk menyesuaikan diri.
Sastra (dalam konteks kreatifitas), sama saja dengan seni, sama saja dengan lukisan, sama saja dengan
musik. Apakah kita harus bisa melukis untuk tetap hidup? Tidak. Apakah kita harus bisa
mengaransemen lagu agar bisa bernapas? Tidak. Kita ambil poin-poin yang berkaitan dengan
kehidupan saja. Seperti menghargai kesesuaian pemakaian bahasa dan menghargai bahasa Indonesia.

Tunggu. Bumbu Indomie saya belum dibuka. ~

Sebutan author ini meluas. Saya bahas yang di dalam bahasa Indonesia saja, bahasa Inggris
dikesampingkan terlebih dahulu. Author bisa dipakai pada penulis. Bahkan, komikus tidak jarang
dipanggil author. Diterjemahkan pada bahasa Indonesia. Apa perbedaan author dan writer? Di salah
satu blog yang saya baca; bedanya adalah hasil karya. Author menghasilkan gagasan (ya bentuknya
tulisan kalau dia penulis), sedangkan writer adalah penghasil tulisan. Oke. Author juga penghasil
tulisan, tetapi author mempunyai kesan lebih free sprited, atau lebih simpelnya: mereka mengikuti
keinginan diri sendiri. Writer sendiri berorientasi pada keinginan pasar, maka dari itu banyak dari
mereka yang menjadikan skill menulis sebagai saja. Hanya karena writer adalah bahasa Inggris
penulis, bukan berarti standar untuk dianggap sebagai penulis bertambah lagi, ya.

Penanya 2;
Nama : Fitriani Alfiatunnisa
Domisili : Garut
Pertanyaan :“Sampurasun izin tanya, Kak. Apa yang dilakukan ketika jalan ceritanya mandeg atau
stuck?”

Jawaban Kak Daves;


Berarti writers block, ya? Jalan ceritanya mandeg dan stuck? Berarti persiapan Anda belum terlalu
matang. Sebagai penulis (pengarang), yang harus dilakukan bukan sekadar halu ria, tetapi juga
mempersiapkan cerita dari segi alur, outline, dan konco-konconya yang lain. Jangan lupa cari ide.
Baca buku. Atau dengar musik yang sesuai dengan scene cerita. Pembangunan suasana juga penting.
Kalau semuanya sudah dan masih stuck, solusinya adalah membuat outline di setiap chapter (walau
banyak penulis yang tidak memakai outline). Outline akan membantu agar cerita tetap di jalan mereka
dan tidak melenceng dari konsep utama/awal. Atau dalam kasus saya sendri, sering sekali saya stuck
dalam alasan bingung harus pakai diksi dan kata-kata seperti apa. Hal tersebut diakibatkan oleh efek
standar yang ter-setting otomatis di kepala saat membaca cerita orang lain yang memiliki kesan wow.
Cara mengatasinya tentu saja dengan menurunkan standar. Menjadi diri sendiri dalam menulis.

Penanya 3;
Nama :Putri intan pandini
Domisili:Sukabumi
Pertanyaan: suka heran kalau mau nulis, pas lagi santai ide selalu bermunculan. Eh, pas diseriusin
malah ga kepikiran apapun. Cara ngatasinnya gimana?

Jawaban Kak Daves;


Ide-idenya sudah menguap ke awang-awang. Saya juga begini. Solusinya ya cepat tanggap saja—
alias, setiap dapat gambaran ide, langsung tulis di catatan, gak perlu pakai estetika atau sebagainya,
tulis dengan bahasa sehari-hari saja. Ide tidak bisa direalisasikan karena ide ini belum dipersiapkan.
Mempersiapkan ide ya tidak jauh dari memikirkan lebih lanjut mengenai ide ini—entah itu tentang
alur (semisal ini cerita), gambaran besar dan kecil, dan sebagainya. Untuk mengabadikan ide ini tentu
saja dengan ditulis, kecuali kalau Anda punya memori fotografis. Ditulisnya tentu saja dalam bentuk
rangkaian; rapi, tersusun. Tidak perlu pakai diksi atau kata ganti apa pun hanya untuk membuat
kerangka cerita. Maaf, saya lelet. Saya jawab tiga ini dulu, berhubung sudah hampir larut. Pertanyaan
yang lain saya janjikan besok untuk jawabannya secara pribadi. Maaf atas kekurangan jawaban saya.

_____________________________________

Salam sastra ~ !
Salam literasi!
Opey & Arshara

Anda mungkin juga menyukai