Anda di halaman 1dari 27

Bagian 1 ( Maturasi)

'

Kemana lagi kedua langkah kaki itu akan melangkah, usianya baru saja menginjak angka dua puluh
tiga  tahun dengan latar pendidikan lulusan sarjana ke Niagaan. Hidup di pinggiran kota besar nyaris
saja dirinya menjadi bagian dari penduduk tuna wisma, hanya saja tuhan masih berbaik hati hingga
ibu kandungnya mau menampungnya sampai gadis itu mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan.
Besar dari keluarga broken home kini gadis itu ikut serta dengan keluarga ibu kandungnya, belum
lagi Jaya selaku ayah tiri selalu mendesak menanyakan sudah sampai mana perkembangan interview
kerjanya? apakah ada telepon masuk dari pihak HRD? dan masih banyak pertanyaan yang beliau
lontarkan, ah sudahlah nasibnya tengah di ujung tanduk jika diceritakan secara detail.

Merasa sudah putus asa dirinya kembali pulang ke rumah, satu meter dari gang tempat dirinya
berdiri sang Ibu,  Julia sudah menunggunya dengan anak bungsu dalam gendongannya. Lagi dan lagi
gadis itu hanya bisa menghela napas lelah, jika julia sudah menunggunya makan akan ada banyak
pertanyaan yang akan wanita parubaya itu lontarkan untuknya, memberanikan diri gadis itu
melangkah dan benar dengan manik mata datar,  kedua alis yang saling menungkik tajam julia
menodongnya dengan beberapa pertanyaan.

"Bagaimana hasilnya?" tanya nya mengikuti langkah kaki anak sulungnya. Sedangkan yang ditanyai
hanya melongok ke dapur menuangkan air putih kedalam gelas kaca yang sempat diambilnya.

"Yah begitu. Lagi dan lagi harus disuruh menunggu" jawabnya tersenyum masam.

"Aduh bagaimana bisa? Nilai kamu bagus-bagus! Bahkan IPK kamu cumlaude macam mana gak ada
satu perusahaan pun yang melirik mu?" gertaknya hingga si bungsu dalam gendongannya memekik
kaget, dua detik kemudian suara tangis teramat nyaring bergema di penjuru area dapur.

"Mungkin belum rezekinya Bu! Yang jelas Dahayu akan lebih giat lagi buat nyari kerja" jelas gadis itu
meletakan gelasnya kasar.

"Yasudah..cepat atau lambat kamu harus udah punya kerja, kamu gak mikirin gimana nasib adik Mu
Candra, Savita, Naraya dan yang ini Arthur! Belum lagi bapak kamu baru kena PHK dari kantornya!"
lirihnya menimang si bungsu arthur yang masih merengek akibat sentakan sang ibu.

"Iya Bu Do'akan saja. Semoga di pelancar rezekinya" tutupnya berlalu menaiki tangga menuju
kamarnya.
Dahayu merebahkan tubuhnya pada kasur kamarnya sedangkan matanya meneliti ke penjuru langit-
langit kamar. Sudah seminggu lamanya kesana kemari mencari pekerjaan, berpuluh-puluh surat
lamaran disebarkannya tak ada satupun panggilan dari pihak hrd yang masuk ke kontak ponselnya,
ingin rasanya dahayu menangis, namun ego dan harga dirinya terlalu tinggi untuk sekedar menangis.
Sejak kecil dengan kerumitan kedua orang tuanya dahayu tidak pernah sekalipun menangis,
hidupnya teramat datar bahkan dirinya bisa dikatakan anak kuat seantero komplek, walau banyak
masalah datang bertubi-tubi dan seolah hidup berdampingan dengan dirinya.

Lama berkutat dengan pemikirannya, ketukan pintu kamarnya kembali terdengar. Dahayu
menegakan tubuh perlahan namun pasti melangkah berjalan menuju pintu kamarnya, disana sudah
ada julia dengan manik wajah cemas menatap rentina matanya. Dahayu yang belum tahu sebab dan
akibatnya hanya diam memilih menunggu ibunya berujar daripada bertaya terlebih dahulu.

"Kau tak mencemaskan ibu Mu?" tanya julia wajahnya menyiratkan penuh kecemasan.

"Bagaimana aku mengkhawatirkan ibu, jika ibu saja sudah ada dihadapan ku dengan sehat tanpa
kurang suatu apapun" jawabnya terlalu datar dan logis. Julia membuang napas berat begitu
mendengarnya.

"Adik Mu terlibat tawuran lagi. Bisakah kamu mengurusnya di kantor polisi setempat?" jelas julia
menahan rasa khawatirnya.

Dari nada bicara julia yang khawatir ada rasa asing yang dahayu rasakan. Sepuluh tahun hidup
dengan ibu dan ayah tirinya gadis itu tak pernah pun merasakan perhatian dari keduanya, rasanya
jika mengingat hal itu dengan sukarela Dahayu ingin mencoret diri dari kk secara perlahan.

"Bagaimana?" timpal julia lagi begitu tak mendapat respon dari sang sulung.

"baiklah aku akan kesana! Tunggu beberapa menit aku akan berganti pakaian" ujarnya dengan cepat
menutup pintu.

Selama dalam perjalan keduanya sama-sama hening dan diam, dahayu yang fokus pada jalanan di
depannya dan julia yang beberapa kali diam-diam menahan tangis. Sungguh keluarga dramatis lirih
dahayu dari dalam hati. Lima belas menit perjalanan, Motor matic itu sudah berhenti di pelataran
area kepolisian, nampak beberapa pemuda berusia belasan tahun tengah di jemur di teriknya
matahari siang itu, dari beberapa siswa disana dahayu bisa lihat dengan jelas dimana keberadaan
adik lelakinya itu.
Julia yang cemas segera turun memasuki area kantor kepolisian tanpa menunggu dahayu yang
berusaha memakir kan sepeda motornya, gadis itu selalu mendumel akan sikap ibunya yang terlalu
ceroboh serta berlebihan. Dan sikapnya itu terkadang menurun ke dahayu membuat dahayu
berusaha untuk merubahnya secara perlahan.

"Dahayu ya?" tanya lelaki berseragam polisi itu menghampiri gadis itu. Dahayu memberhentikan
langkahnya dan menoleh kearahnya pemuda itu.

"Siapa?"

"Yandra temen lama. Kamu lupa sama aku?" tanya nya tersenyum sendu. Pemuda itu melepaskan
topi kebanggaannya nampak rambut nya yang cepak dan rapi itu terlihat. dahayu mengerutkan
dahinya berpikir, hingga Satu menit  dahayu baru menyadari siapa orang didepannya.

"Eh Maaf, Yandra kan  temen SMP dulu. Kamu Banyak berubah nya sampai aku sendiri gak ngenalin
kamu " jawab dahayu malu.

"Ngapain kesini? Ada urusan kah?"

Dahayu hanya diam tanpa menjawab sedangkan rentina matanya terpaku pada sosok wanita
parubaya yang berdiri tak jauh dari tempatnya.

"Eh anu. Aku duluan Yan Udah ditungguin ibu. Sampai berjumpa lagi" titah dahayu begitu julia sudah
berdiri di depan pintu menatapnya dengan tatapan datar, wanita parubaya itu menegakan
tubuhnya, kedua tangannya bertumpu pada pinggangnya persis ibu kost yang tengah menagih uang
bulanan.

Yandra tersenyum masam menatap langkah dahayu yang tengah terburu-buru menghampiri ibunya,
yandra tahu betul siapa pemilik senyuman manis ketika tersenyum; dia Dahayu Gistara salah satu
mantan ketua kelas yang terkenal pendiam namun di takuti seantero kelas, sejak sekolah menengah
pertama yandra memang menyukai gadis itu, namun dahayu sangat sulit di tahklukan. Bahkan saat
itu pula Dahayu memilih tidak memiliki teman dekat laki-laki, temannya condong ke kumpulan siswi
pendiam sesuai dengan kepribadian yang misterius. Hingga menjelang kelulusan keduanya berpisah,
Yandra yang memilih sekolah atas berbasis kemiliteran dan Dahayu sekolah atas Negerinya.

"Yan ngelamun aja, sana urusin anak-anak di depan sana" ujar rekan kerja nya menghentikan
lamunan yandra. Sungguh pemuda itu sangat bahagia saat ini, setelah  beberpa tahun gadis
impiannya tak muncul di hadapannya.
"Siap laksanakan " jawabnya dengan cepat mengikuti perintahnya.

Didalam kantor kepolisian Julia dan dahayu hanya bisa diam mendengarkan khutbah dari pihak
kepolisian, diikuti dengan beberapa wali siswa yang terlibat. Wajah julia menahan rasa malu dan
kecewa hal ini jelas tergambar begitu pihak kepolisian menjelaskan secara rinci mengenai kelakuan
anak lelakinya. Dahayu hanya bisa menatap lurus ke depan pikirannya masih kosong, sungguh
dahayu ingin melarikan diri dari tempat itu. Lama bersitegang dengan pihak kepolisian wajah Yandra
yang manis dan teduh seolah mencarikan suasana, dengan sopan nya pemuda itu datang
mengantarkan chandra yang masih diam menunduk kan wajahnya.

"Besok-besok jika anak ini masih tetap bebal tawuran. Maka dengan permohonan maaf, anak ibu
akan saya masukan kedalam penjara anak tanpa toleransi" tutupnya. Chandra dengan wajah malu
mendekat kearah julia.

"Kamu jangan takut, ibu bakal ngelakuin apapun buat anak ibu ini!" julia menepuk bahu Chandra,
sedangkan remaja lelaki itu menganggukkan kepalanya, sekilas menatap wajah dahayu dengan malu.
"Yu kamu naik angkot aja ya? Punya uang kan? Motornya biar chandra yang bawa!" lanjutnya
melangkah meninggalkan dahayu yang menatapnya kecewa.

"Yaudah seterah ibu aja" ujarnya datar menatap julia yang diikuti dengan chandra di belakangnya,
sesekali chandra menoleh kearahnya merasa segan dengan kakak sulungnya dan dengan tegas
dahayu menggelengkan kepala enggan.

"Kok belum balik Da? Nunggu angkot apa Ojol. Atau nunggu cowok mu?" tanya yandra menatap
sekelilingnya. Dahayu menoleh dan tersenyum dipaksakan.

"Nunggu angkot Yan" jawabnya lirih.

" Atau Mau aku anterin? Lagian rumah kamu masih yang dulu kan?" titahnya.

"Kok tahu rumah ku, bukannya pas SMP kamu jarang main bahkan kita enggak pernah satu
kelompok ya kan" terangnya dan di setujui yandra.

"Karena kamu terlalu Pintar buat aku yang biasa aja" minder nya.
"eh gimana maksudnya?" yandra menggelengkan kepalanya cepat.

"Jadi gak aku anterin? mumpung masih jam istirahat nih" tawarnya. Dahayu meneliti sekitar
memastikan ucapan yandra benar, tanpa menunggu lama dahayu mengiyakan ajakannya. Setidaknya
gadis itu bisa menghemat uangnya untuk keperluan lainnya.

"Kamu udah punya cowok Da?" tanya yandra dalam perjalanan ke rumah dahayu. Gadis itu yang
tahu akan kemana topik yandra hanya berdehem menjawab pertanyaan nya.

"Udah kamu sendiri? udah" jawab dahayu berbohong.

"masih proses.. aku sendiri gak yakin. Dia mau apa enggak sama aku" kekeh nya masam.

"kenapa Yan? Bukannya banyak cewek-cewek yang suka liat cowok berseragam?"

"tapi cewek yang aku taksir sekarang gak gila pangkat, bahkan dia sendiri gak ngenalin aku dengan
seragam ini" lugasnya melirik ke spion motornya, menampilkan wajah dahayu yang masih diam dan
datar persis ketika gadis itu remaja.

"Beruntung sekali cewek yang kamu sukai Yan. Pertahankan yan" gumam dahayu tanpa menyadari
siapa orang yang yandra maksud, dengan tersenyum gadis itu mencoba menenangkan yandra.
Sedangkan pemuda di depannya hanya tersenyum miris.

"Kamu benar" ujar yandra lirih. Menghela napas lelah. "Dan orang yang aku sukai saat ini tengah
bersama ku, dan itu Kamu Dahayu Gistara"lanjutnya dalam hati tanpa ada yang tahu kecuali dia dan
perasaannya.

bersambung_____
Bagian 2

Hansta tripta Anggasta

'

Pemuda itu menatap pantulan dirinya pada cermin di depannya, Bagaimanapun hansta saat ini bisa
bernapas lega begitu sang hakim sudah mengetok palunya dan mengatakan dirinya tak bersalah,
kasus itu diselesaikan secara tertutup tanpa di liput publik maupun media. Suasana dalam sel
tahanan kini semakin hening begitu pemuda itu berpapasan dengan beberapa teman penghuni
selnya, wajah mereka tampak murung dari biasanya ada rasa bahagia namun bercampur kesedihan,
sungguh hansta ingin berkumpul dengan mereka namun kebebasan suatu hal yang mutlak harus
dimilikinya saat ini, langkah hansta semakin mendekat, pemuda itu menepuk salah satu pundak
teman dekatnya membisikan kata-kata dan kemudian keduanya saling melemparkan senyuman satu
sama lain.

Salah satu penghuni yang tertua mendekat kearah Hansta memeluk pemuda itu dengan erat,
matanya memerah dan dalam hitungan detik wajahnya berubah menjadi pias dan sendu.

"Ah mengapa aku jadi menangis seperti ini!" lirihnya hingga hansta tersenyum masam.

"Abang tahu, mungkin aku akan lama untuk sekedar mengunjungi kalian" hansta terdiam begitu
mengeluarkan suaranya. Suasana mendadak hening dan sayup.

"tak apa, bukanya setelah ini kau harus menata kehidupan mu lagi bukan?" tanyanya. Hansta
mengangguk pelan. "Kau harus bangkit, tunjukan pada dunia siapa kamu sebenarnya. tiga   tahun
bukan hal yang singkat untuk kamu membuang waktu mu disini!" tutupnya menepuk bahu hansta
pelan.

"Kami akan merindukan mu Han! Kami akan mengunjungi mu begitu kami keluar dari lapas!"

"tentu"

"sampai jumpa!"

Hansta melangkah dengan berat hati, di dalam lapas dirinya belajar banyak hal bagaimana hansta
memaknai hidup. Bagaimana pemuda itu tahu jika di Antara gemerlap dunia yang orang tuanya
miliki masih ada puluhan orang yang jauh kurang beruntung darinya. Dan karena kesalahannya ini
pula hansta harus menerima konsekuensinya dari ditahan, di asing kan keluarga, dijauhi teman
terdekatnya bahkan Hansta sendiri sudah turut serta menghancurkan cita-citanya menjadi Hakim
dan  sekarang hanya berusaha kembali melangkah untuk memperbaiki segala sesuatu yang tak
tersisa.

"Hansta!" lelaki parubaya itu melambaikan tangannya. Hansta terdiam cukup lama matanya
menyipit menatap lelaki itu tanpa berkedip, selain suasana yang semakin berubah tiga tahun
lamanya membuat hansta tak mengenali lelaki itu.

"Kau tak mengenali ku?" tanyanya.

"Paman Bromo! Astaga paman semakin tua!" jawab hansta memeluk tubuh renta itu dengan
tatapan datar

"Tiga tahun bukan waktu yang lama Hansta. Tak ada yang berubah dari ku, selain  garis tua di wajah
ku dan jenggot ini yang semakin memutih" tutupnya merangkul Hansta menuju mobilnya.

"Bagaimana kabar mu disana? Sudah mengetahui seperti apa kehidupan sesungguhnya hem?"
ujarnya berjalan menuju area kemudi menghidupkan mesin mobilnya dan tersenyum masam.

"Ya seperti itu paman. Setidaknya aku lebih bisa berpikir sebelum bertindak!" ujarnya

"Yah Ibumu berpesan kepada Ku, agar kamu mau melanjutkan kuliah mu kembali, bagaimanapun
sejahat nya mereka pada mu dia masih mau memperhatikan mu" tuturnya menatap lurus jalanan di
depannya.

Tiga tahun lalu

"Gimana Hans sudah ada perundingan lagi?" tanya salah satu temannya datang dan duduk
disampingnya.

"Masih belum beres! Gue sendiri juga masih bingung dari seluruh BEM dan aktivis yang lainnya
belum ada informasi lanjutan, yang pasti mereka tidak akan membatalkan secara sepihak tanpa
surat edaran jauh-jauh hari" jawabnya menjadi salah satu penanggung jawab dari aksi yang akan
mereka lakukan.
"Udah slow aja kali, masalah hal segini mah mudah buat Lo Hans"

"Lo kumpulin anak-anak di aula, Gue mau runding dulu sama penanggung jawab lainnya!"

Bertepatan dengan jam mata kuliah yang sudah usai, langkah kaki hansta semakin lama semakin
cepat bola mata pemuda itu semakin bergerak lebih cepat dari biasanya. Berusaha lebih tenang
dalam menghadapi situasi dan kemungkinan yang akan terjadi, sementara otaknya berupaya
mencari solusi jika kemungkinan buruk itu sesuai dengan prediksinya, langkah kaki itu kembali
bergerak cepat menuju aula kampus. Hansta membuang napas kasar begitu kedua netra nya 
melihat dengan jelas ketika salah satu dari mahasiswa yang ikut hadir tengah sibuk dengan
aktifitasnya: mulai dari bermain ponsel sekaligus membagikan live siaran langsung melalui sosial
medianya, dan masih banyak lagi aktifis yang membuat hansta dirundung rasa lelah.

kondisi sekitar yang semula nampak bising kini kembali hening bahkan sayup dalam hitungan detik.
Hansta mulai menyalakan microfone miliknya berbicara dengan lantang, menyampaikan point-point
penting yang harus mereka lakukan saat berada di tempat kejadian secara gamblang.

"saya harap kalian, tetap tenang tidak terpancing oleh pihak ketiga ataupun pihak yang berusaha
memperkeruh suasana! " ujarnya menatap gerombolan didepannya itu satu persatu. "sesuai dengan
point yang sudah kita sepekati tetap meyuarakan aspirasi sesuai dengan aturan! Jika ada yang masih
belum jelas kalian bisa tanyakan!" Lanjutnya.

"Apakah kau yakin jika cara tersebut efektif!" tanya sala satu mahasiswa dengan wajah tidak
bersahabat nya. Hansta hanya menganggukkan kepala.

"Selagi Aspirasi kita baik, kita melaksanakan aksi ini dengan tertib saya rasa tidak ada hal yang perlu
di khawatirkan. Namun seperti pertanyaan tadi kita perlu berhati-hati dan memahami aspek aturan-
aturan tersebut!" tutupnya.

Seluruh mahasiswa yang terdiri dari beberapa fakultas keluar menuju tempat tujuan mereka, dari
yang bergerak dari timur bahkan barat, kini berkumpul berjalan menjadi satu kerumunan yang tak
terhitung jumlahnya, nyatanya masa yang ikut turun ke jalan lebih banyak dari yang ikut serta
berunding di aula kampus, bahkan dari beberapa orang yang ditemuinya sama asingnya di kedua
matanya. Hansta mulai mengikuti pihak ketua BEM kampusnya berjalan dengan mulut yang tak
berhenti berkobar semangat,  tugas dirinya hanyalah memastikan aman dan seluruh teman-
temannya agar tertib dalam menjalankan aksinya. 
"Hansta Gue kira kita semakin susah buat Mengkoordinir anak-anak" ucap salah satu temannya.

 Hansta segera bergerak maju membelah kerumunan dengan keras pemuda itu berusaha
menenangkan situasi. benar apa yang dikatakan Fahrul, teman-temannya semakin tak kondusif
bahkan dari mereka sudah saling dorong mendorong dengan pihak keamanan.

"Tolong Tenang dulu !"

"Bacot Lo!" teriak kerumunan dari arah yang berbeda semakin terpancing dan menerobos
mendekati area polisi.

Jam sudah menunjukan pukul 20.00 malam.

Saat itu kondisi sekitar nampak ricuh pergerakan mahasiswa maupun mahasiswi saling tak
terkoordinasi seperti apa yang sudah mereka rundingan kan. Pemuda itu berkali-kali mencoba
berteriak dengan keras, bagaimana dirinya berusaha untuk membuat seluruh teman-temannya
untuk tenang dan selalu tertib. Bukannya tertib aksi mahasiswa itu semakin diambang batas,
teriakan dan umpatan kian terdengar satu dari mereka nekat menerobos pembatas memaki polisi
bahkan merusak fasilitas publik. Hansta sendiri ragu apakah mereka seorang terpelajar atau bahkan
oknum tidak di ketahui.

"Mundur! Hati-hati yang belakang, perhatikan jarak!" teriak hansta begitu sang polisi menembak gas
air mata ke arah pedemostran, hansta mengabaikan kemana seluruh teman-temannya. Matanya
hanya terfokus pada mahasiswi yang tengah berusaha menghalau gas air mata di depannya.

"Lo kebelakang!" titah hansta namun gadis itu hanya diam mengabaikan peringatannya.

"Jangan berusaha untuk terlihat kuat, Gue bisa lihat mata Lo, lebih baik mundur sementara dari pada
Lo nyesel di akhir" potongnya cepat.

Gadis itu menganggukan kepalanya berlari mundur, sementara hansta dan beberapa mahsiswa
lainnya saling berusaha menghalau gas air mata mendekati polisi untuk bernegosiasi dengan aparat.

"Banci Lo! Babu Koruptor!" ujar salah satu demonstran dengan ucapan tajamnya pada salah satu
polisi, merasa tidak terima salah satu polis bergegas mendorong kearahnya dan dengan sepontan
Hansta mencegah keduanya untuk berkelahi.
"Sadar sob" hansta ikut serta melerai keduanya. Membuat salah satu aktifis dari kampus lain tetap
tenang.

"Dia bawa temen Gue ke dalem, Gue gak yakin dia bakal balik lagi" titahnya.

"Tangkap mereka bawa masuk ke dalam!" titah salah satu petugas dengan nada tegas dan diikuti
pandangan mata Hansta ke sumber suara.

Gadis keras kepala yang dirinya temui beberapa jam lalu berhasil di bekuk sang petugas keamanan,
meski dalam keadaan yang terbilang tidak bisa berontak gadis itu masih melontarkan kata-kata
pedasnya bahkan makian, hansta ngilu dibuatnya.

Selang beberapa detik hansta mendekat kearah dua petugas itu,  Hansta yang sudah kalap kian
mengambil alih tangan gadis di sampingnya hingga membuat kedua petugas itu mengerutkan
dahinya. petugas yang semakin di persulit oleh hansta kini mendorong tubuh pemuda itu hingga
terhuyung ke belakang, wajahnya semakin memerah menahan amarah.

"Kalian itu mahasiswa, calon penerus bangsa. Tugas kalian itu belajar bukan malah demo anarkis
macam ini!"

"Bukankah dengan cara ini, suara kami akan di dengar. Jika kami tidak bertindak siapa yang akan
bertindak Pak? Mahasiswa datang sebagai penyambung lidah  Masyarakat, dan menjadi Pioner
untuk perubahan daerahnya bahkan menyangkut negerinya , sedangkan Bapak tahu Rakyat tidak
memiliki power untuk saat ini,  padahal sejatinya kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat!" jelas
hansta berusaha tenang.

Polisi itu bungkam

"Tahu apa kamu! sana bawa mereka kedalam" titahnya dengan nada keras dan lantang. sementara
hansta membrontak ,  dirinya merasa tak melanggar aturan berdemonstrasi.

Brakk

bersambung.....
Bagian 3

'

Brakkk

Dengan gerakan cepat Hansta mendorong dua petugas keamanan yang berusaha membawanya
masuk kedalam gedung, disisi kirinya ada gadis yang sebelumnya ia genggam tangannya. mata hitam
itu terlihat menajam menatap petugas yang mulai mendekat kearahnya, Hansta hanya diam
mengamati mereka dengan senyum smirk terlihat jelas di bibir miliknya. hansta mengabaikan
Attitude nya menjadi seorang yang terpelajar, bagi pemuda itu Dirinya tidak bersalah entah
mengapa dengan tanpa pernyataan yang logis hansta di paksa mengikuti perintah mereka, kondisi
saat itu semakin memanas merasa Jengah dan diremehkan oleh Hansta, beberapa petugas dengan
gerakan cepat memborgol tangannya dari belakang, hansta sempat memberontak namun
diurungkan niatnya lantaran pergelangan tangannya yang terasa perih dan kebas.

langkah kakinya terhenti di belakang gedung megah itu, hansta terdiam cukup lama melihat ke
sekeliling nya. ada puluhan teman seangkatannya dan beberapa aktivis yang tengah duduk termangu
dengan wajah lelah dan keputusasa an, namun diantara beberapa aktivis yang di tahan mata hansta
tidak menemukan gadis itu. entah memang dipisah atau hanya kebetulan saja dirinya tak melihat
nya.

"Kamu yang baru masuk" ujar salah satu polisi melirik kearahnya.

"Saya Pak" jawab Hansta Mengangkat tangan kanannya, bangkit menghampiri sang petugas yang
mungkin masih baru lulus akmil.

"Ikut saya"

di dalam ruang penyidikan hansta hanya diam menatap pimpinan keamanan itu dengan tatapan
datarnya, mengingat kejadian yang dialaminya saat ini entah mengapa hansta semakin hilang
respected akan petugas keamanan tersebut. Hansta memang salah jika menanggap semua petugas
keamanan sama buruknya, namun pemikirannya yang kalut peribahasa "karena nila setitik, rusak
susu sebelanga" menjadi peribahasa yang akan ia lontarkan untuk petugas tersebut tanpa terkecuali.

"Dari Kampus mana, bisa tunjukan KTM atau identitasnya" tanyanya. Hansta menolak namun
tangannya segera di cengkram keras oleh salah satu petugas di sampingnya.
Hansta terdiam sesaat dan dengan berat hati menyerahkan kartu mahasiswa nya, petugas itu
menganggukkan kepala tersenyum masam.

"kalian periksa Dia jangan sampai ada yang terlewatkan, barangkali Dia membawa benda tajam
tanpa kita ketahui" titahnya dengan nada keras.

"saya tidak membawa benda tajam, sekali pun kemari karena tugas saya bukan untuk anarkis, saya
dan yang lainnya hanya datang untuk menyampaikan aspirasi. Kami tidak seperti kalian bukan
melindungi malah menindas!" tajamnya.

"Omongan Kamu bisa dijaga!"

"Karena saya berbicara dengan jujur Pak, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, ketika salah
satu rekan bapak menghakimi para pendemostran. Saya berusaha membantunya dan bernegosiasi
dengan aparat mengapa saya yang harus di tangkap!"

"Kamu berbohong kan! Bilang kamu berbohong, Jujur saja Kamu yang ikut-ikutan mereka untuk
memperkeruh suasana bukan?" tanyanya memancing emosi Hansta.

"Bagaimana bapak bisa berkata tanpa bukti? Bagaimana bapak bisa berkata demikian jika bukti itu
ada pada saya" titahnya keras.

"saya menyetujui ucapan dia" ujar suara dari belakangnya.

Terlihat gadis dengan tatapan tajamnya menatap petugas itu berani. Mengarahkan ponselnya
kearahnya, hingga memperlihatkan beberapa oknum keamanan yang tidak bertanggung jawab
melakukan kekerasan terhadap aktivis yang bungkam saat dimintai keterangan.

"Jadi omongan dia memang betul bukan, dari mana nya mengelak?" lanjutnya memasukan
ponselnya kedalam saku jas almamaternya.

"Jika saya mau dalam hitungan detik, video penindasan ini akan tersebar di sosial media. Nama
petugas keamanan akan terancam, hal ini akan membuat publik semakin membenci bahkan
mempertanyakan citra nama kalian!" tutupnya mengibaskan tangan.

"Kamu Berani dengan saya?"


"selagi benar saya akan berani!"

"Ambil Ponselnya, pastikan video tersebut tidak tersebar ke sosial media" titahnya dengan cepat
diangguki oleh beberapa anggotanya. Ponsel yang gadis itu simpan kini berpindah tangan, meski
memeberontak gadis itu tak lagi bisa berkutik dibawa paksa menjauh untuk di adili.

"Bawa mereka ke tahanan terdekat, pastikan hubungi pihak kampus ataupun orang tuanya" titahnya
sebelum pergi meninggalkan ruangan introgasi.

Hansta langsung di borgol sebelum benar-benar meninggalkan tempat itu, mata tajam nya menatap
gadis disampingnya sekilas, dirinya berharap gadis itu akan selamat dan bebas seperti apa yang
diharapkannya.

___

Ke esokan harinya setelah satu malam menginap di polres setempat, hansta kembali di introgasi oleh
pihak berwajib, pihak kampus yang datang menangani kasus yang dialaminya memilih menyerah,
dan menyerahkan segala keputusannya ke pihak berwajib begitu foto Hansta yang tengah mendekati
petugas keamanan beredar luas di sosial media, hansta pening, marah lagi dan lagi logikanya
kembali ada dan berusaha memastikan agar dirinya tetap tenang setelah mengikuti sesi tanya jawab
dengan pihak berwenang.

"Hansta!" panggil suara lelaki parubaya dengan nada keras. Hansta yang semula tertunduk kini
menegakan tubuhnya menatap wajah di hadapannya datar.

Setelah lima bulan menghilang lelaki parubaya itu kembali lagi di hadapan nya, berlatar belakang
kantor kepolisian seolah menjadi ajang reuni ayah dan anak itu setelah sekian lama tidak bertemu.
Hansta membuang wajahnya enggan menatap lelaki di depannya.

"sudah saya bilang, Jangan pernah ikut-ikutan aksi seperti ini! Kamu tahu Hansta siapa Ayah Kamu?
tapi kamu dengan tidak tahu dirinya malah mengacaukannya! " ujarnya sarkas. Sedangkan hansta
hanya tersenyum miring.

"Itu urusan Ayah, Bukan aku! tujuan ku hanya untuk mempertanyakan kebijakan dan point mana
yang mensejahterakan rakyat? Hansta sendiri tidak yakin jika Ayah selaku Dewan Rakyat memiliki
rasa empati yang tinggi pada Rakyatnya!" jawabnya memincingkan mata tajam penuh intimidasi.
Plakk

Tamparan itu terdengar nyaring didalam ruangan kedap suara itu, suasan yang semula mencengkam
kini berubah hening dan sayup, wajah hansta terlempar ke samping, nyatanya tamparan sang ayah
terasa panas dan kebas di pipinya hingga kini rasa anyir bercampur besi terasa di lidahnya, bibirnya
tengah sobek dan hansta cukup mengusap lelehan darah itu keras menatap ayahnya tajam.

"Bicara apa Kamu!" ucapnya mengepalkan tangan. "Ulangi sekali lagi, Kamu itu masih anak kecil
tidak tahu apapun tentang dunia perpolitikan, hukum uang dan lainnya" Jaya kesal anak lelaki
kebanggannya berubah menjadi tak beretika.

"Jika kasus ini semakin merambat dan mencemarkan nama baik saya. Bisa Ayah pastikan Kamu akan
mendekam, dan Ayah tak akan Membantu mu" tutupnya berlalu dan diikuti dengan beberapa
pengawalnya.

Hansta terdiam cukup lama, hingga salah satu anggota keamanan datang dan menepuk bahunya
pelan. pemuda itu menatap nya dengan pandangan iba, hansta sendiri hanya tersenyum masam
mengabaikan pandangan iba yang diterimanya.

"Beliau Ayahmu?" tanyanya dengan cepat. Hansta masih diam enggan menjawab.

"saya tahu apa yang kamu rasakan saat ini, bahkan saya sendiri pernah mengalaminya. Dan melihat
ambisi mu dalam menyuarakan aspirasi yang membara, serta keteguhanmu dalam menyampaikan
fakta sesungguhnya saya cukup tertegun, mungkin jika berada di posisi mu saya akan melakukan hal
serupa dengan mu" lanjutnya menghirup napas dalam-dalam.

"Namun bagaimana lagi, saya selaku bagian aparat keamanan mau tak mau harus bersikap netral
sebagaimana mestinya" tutupnya.

"Tapi salah satu rekan anda tidak mencerminkan apa yang sudah anda ucapkan tadi" hansta yang
semula bungkam kini bersuara.

"benar apa yang kau katakan, banyak yang seperti itu. Namun kembali lagi sikap dan sifat manusia
beraneka jenis, sama halnya apa yang ayah mu tegaskan, bahwa sekali kita berurusan dengan politik
hukum dan sejenisnya, banyak yang melanggar janji abdinya pada negara!"
"siapa Namamu?" ujar pemuda berseragam itu menatap hansta, pemuda itu cukup tertegun lama.

"Hansta tripta Anggasta" ujarnya menatap name tag miliknya.

"Saya Yandra Prabawa senang berbincang dengan Mu" tutupnya begitu salah satu rekannya
memanggil namanya, yandra berangsur pergi meninggalkan nya dengan gaya hormatnya ke arah
Hansta, Pemuda itu tersenyum tipis di buatnya.

Bersambung...
Bagian 4

'

Sudah hampir beberapa hari kasus persidangan Hansta terus berlanjut, pemuda itu memasuki
tempat persidangan untuk ketiga kalinya di temani dengan salah satu kerabat terdekatnya, Paman
Bromo yang senantiasa selalu memberikan wejangan kepadanya, sedangkan anggota keamanan
yang di temui nya beberapa hari yang lalu kini sudah tak nampak batang hidungnya, nyatanya
Yendra salah satu lulusan baru Akmil yang baru di tugaskan ketempat pendemostran, dan untuk saat
ini pemuda itu sudah di pindah tugas kan di tempat yang berbeda.

Pandangan mata Hansta meneliti kesana kemari, mencari gadis yang pernah bersamanya beberapa
lalu. Yah gadis itu kini berdiri tak jauh dari tempatnya berdiri, di dampingi dengan beberapa Anggota
berwajib dengan mengenakan kaca mata hitamnya menoleh bersamaan dengan hansta yang tengah
menatapnya.

"Kamu kenapa Hans?" tanya paman bromo menatap hansta. Lelaki parubaya itu menoleh mengikuti
kemana arah mata Hansta memandang.

"Kamu tidak perlu khawatir, Dia akan baik-baik saja. Dia kalila Artajasa salah satu anak Jaksa disini!"
ujarnya berbisik. Hansta terdiam beribu bahasa terkejut sekaligus tersenyum miring.

"sudah ku duga, lalu bagaimana dengan teman ku yang lainnya? Apakah mereka sama di vonis
tahanan? Atau bahkan sama bebas nya dengan Gadis itu?" tanyanya.

"ada beberapa teman mu yang ditahan karena bersikap seperti Mu, Tapi mereka tak seberuntung
dirimu yang akan mendapatkan keringan hukuman dari jaksa penuntut umum".

"sisanya apakah mereka lolos dengan mudah, jika iya maka benar apa yang orang katakan, bahwa
hukum akan berpihak bagi mereka yang berkuasa dan akan bertolak bagi mereka yang lemah dan
jujur!"

"Paman mengerti perasaan mu saat ini, tapi bagaimana pun semua bukti yang mereka punya lebih
menyudutkan mu. Walau sekalipun ayah mu ikut membatu membebaskan mu tanpa bersyarat, bisa
paman jamin karir ayah kamu akan ikut terancam" jedanya mengambil napas berat.

" kau tahu? salah satu saingan Ayah mu sudah berniat menyuap pihak terkait untuk membocorkan
identitas mu ke publik, bahkan tanpa kompromi mereka memberikan dua pilihan pada Ayah Mu,
antara kamu di penjara atau karir ayah mu akan hancur dengan pencemaran nama baiknya" jujurnya
tanpa di tutupi. Mata hansta memerah tangannya terkepal erat.

"Jadi mimpi ku hanya sampai detik ini, dan Ayah beserta mereka memanfaatkan aku demi
kepentingan nya? tanpa memikirkan aku yang akan menjadi korban nya?" hansta berujar lirih,
dirinya sudah kecewa berkali-kali dengan ayahnya.

"Tak apa, demi masa depan Mu! Paman akan berusaha agar kamu bisa mendapatkan keringan
hukuman, dan tak ada satupun orang yang tahu identitas mu, maka secara tidak langsung kamu bisa
kembali meraih impian mu itu!" hibur paman bromo, hansta menggeleng kan kepalanya pelan.

"Impian ku sudah berhenti sampai sini, walaupun aku bisa melanjutkan nya kembali, aku tak ingin
dengan cara kotor. Aku tetap lah hansta yang sudah di nyatakan bersalah menjadi salah satu calon
penghuni tahanan. Hakim hanyalah profesi bagi mereka yang memiliki riwayat bebas dari skandal
segala hukum"tutupnya bersamaan dengan kedatangan hakim beserta jajarannya.

Dua jam berlalu persidangan nampak memanas dan alot dari beberapa pihak memprotes aksi sang
hakim yang dirasa terlalu berpihak pada hansta, merasa semakin tak terkendali hakim dengan
keputusan finalnya mengetok palu memberikan hansta vonis hukuman tiga tahun percobaan, jika
dirasa Hansta memang bersalah makan dengan berat hati tujuh tahun hukuman yang harus hansta
terima, pemuda itu hanya menatap kosong sang hakim yang bergerak keluar ruangan , bersamaan
itu pula pihak keamanan membawa dirinya keluar dari ruang persidangan.

"Maafkan Mama, yang tidak bisa membebaskan hansta" ujar wanita parubaya itu dengan tampilan
mewahnya menghentikan langkah petugas keamanan yang kala itu membawa puteranya, dengan
cepat jemarinya menggenggam tangan anak bungsunya, pemuda yang di tatapnya hanya tersenyum
masam.

"Jaga diri Mama, Hansta titip Kak Arumi" tutup hansta berjalan mengikuti aparat yang berada di
depannya. Dalam hitungan detik tubuh ibunya meluruh tak sadarkan diri, paman bromo yang di
belakangnya menyangganya dan di bantu beberapa orang disana untuk memapahnya keluar.

"Maaf" Gumam hansta berjalan lurus, dirinya tak tega melihat keadaan ibunya yang tidak seperti
biasanya, lalu bayangan Saudara kandungnya Arumi. Yang saat ini tengah memiliki riwayat jantung
kapan pun bisa Kambuh karena hansta.

'
"Kal cowok itu siapa? Lo pasti kenal kan?" tanya temannya begitu keduanya sudah sampai di depan
parkiran mob. Gadis yang dipanggilnya kalila itu hanya diam berjalan dengan cepat menuju arah
kemudi.

"Gak ada Hak buat Gue nyebarin siapa dia, lagian ngapain kepo, untungnya buat kita apaan Me?"
ujar kalila menghidupkan mesin mobilnya.

"Karena kasus dia itu aneh menurut Gue, dari segi hukum mengapa vonis diberikan terasa berbelit.
Dan asal Lo tahu yang lebih parah dari dia semuanya mendapatkan keringan hukuman, bahkan bisa
dinyatakan bebas tidak bersyarat. Gue gak habis pikir hanya Cuma foto dan video singkat itu jadi
bukti yang kuat buat mereka jatuhin hukuman" ujarnya memperlihatkan gambar dari ponselnya.

"lihat deh, Dari gerak tubuhnya tidak ada tanda-tanda perlawanan malah kesannya dia mau
negosiasi sama Aparat!" lanjutnya menghela napas berat.

"Coba saja dia tadi gak pake Masker pasti Ganteng banget ya, udah gak dapet nama, lihat wajahnya
belum kesampean, yang ada malah full video buriknya" tutupnya Kalila terkekeh geli dibuatnya.

"Mana ada, sekalipun pembunuh juga Lo gak bakal lihat full mukanya karena privasi, apalagi yang
kasusnya macam ini" ujarnya.

Setelah mengantar Mega pulang kini kalila kembali menuju kediaman orang tuanya, setelah
mengikuti proses hukum yang melibatkannya dan aksi unjuk rasa kemarin, kini gadis itu bisa
bernapas dengan legah, sidang hasil keputusan Dewan Rakyat mengenai kebijakan yang
menimbulkan pro kontra itu berhasil ditunda, kalila merebahkan tubuhnya pada kasur miliknya
membuka ponselnya dan mengecek sosial medianya.

Dari sana dirinya menemukan foto pemuda yang membantunya terlepas dari petugas keamanan
tengah beredar bahkan menjadi tranding nomor satu di sosial media. Jas almamater yang tidak
diketahui warnanya, wajahnya yang tertutup masker seolah membuat publik menebak-nebak seperti
apa sosok pemuda pemberani itu. Kalila meng scroll cuitan dari netizen disana banyak di jumpai
kolom komentar yang menarik minatnya untuk dibaca.

@kentangmahal__: Apa jangan-jangan dia anak UOV


@Bucinoppakorea99 membalas komentar @Kentangmahal__: UOV University Of Veterean maksud
lo?

@kentangmahal__ membalas komentar @Bucinoppakorea99: Iya lihat deh atributnya mirip hyung,
wuih kampus sultan.

@namajangankosongyah: Pasti ganteng Pinter banget tuh cowok, maskeran aja udah glowing bet.

@rezzaaja: hidih sih anarkis. Mentang-mentang good-looking di bela ciwi-ciwi.

@cendana123: punten! mau di borgol mas?

@denireizzz: yang sabar ya sob, have fun di lapas. Pacarnya biar gue yang adopsi.

@juraganempang: nama IG all sosmednya siapa Ngab!

@juragankontrakan09 membalas komentar @juraganempang: misi apakah kau saudaraku? Btw


kepo amat lo jadi cowok.

@Kangjamet78 : Ganteng-ganteng Kok Anarkis.

@DUgong : gue masih nunggu komentar ciwi-ciwi yang Komen Rahim Gue Dingin.

@kutilsemut membalas Komentar @Kangjamet78: udah fokus joget Aja Kang Jamet, jangan lupa
rambutnya di Pangkas biar cekepnya ngelebihin tuh cowok. lemes amat jarinya.

@polisigoodlooking357 Membalas komentar @DUgong : pelecehan itu, stop deh Gak lucu!!!
gUOBLOcK! WDF.

Kalila membuka kolom pencariannya, mengetik nama panjang pemuda itu dalam kurung waktu satu
detik akun itu muncul, profilnya hanya sebuat cap picture yang berisi kata-kata dari bahasa asing.
Kalila hanya bisa membuang napas berat pasalnya akun itu di privasi begitu dirinya membuka akun
nya. Hanya sedikit beberapa kata yang tersemat dalam bio miliknya.

Kalila mematikan ponselnya, matanya terpejam sesaat kilasan itu hadir begitu saja seperti air yang
mengalir, bagaimana cara pemuda itu melindunginya dan bagaimana dengan sportifnya dia
membantu salah satu aktivitis dari sergapan petugas, matanya terbuka dengan cepat begitu palu
sang hakim yang terus terngiang di kepalanya, Hansta sudah terbukti menjadi tahanan lapas dan
dirinya tak bisa membantu apa-apa untuk pemuda itu.

Bersambung..........
Bagian 6

Gang sempit itu seolah tidak menghalangi pergerakan motor yang melintas di depannya, pemuda itu
berkali-kali menahan napas begitu detak jantungnya semakin berdetak dengan cepat, bukan karena
gadis di belakangnya melainkan jalan di depannya yang ramai oleh warga sekitar yang tengah
berkerumun bahkan anak-anak kecil yang berlarian kesana kemari seolah dibiarkan lepas tanpa
pengawasan orang tua. Napasnya kini perlahan semakin bergerak normal selepas cat warna nude itu
mulai terlihat oleh indra pengelihatannya.

Sepeda motor yang di kendarai pemuda itu berhenti tepat di pelataran rumah minimalis dengan
kanan kirinya sudah mepet dengan rumah tetangga yang lainnya, Yandra mematikan mesin
motornya, sekilas mata pemuda jakun itu menoleh kespion motornya memastikan Dahayu sudah
turun dari boncengannya. Nampak dengan raut wajah canggung Dahayu gadis itu menatapnya
dalam diam. masih sama nampak anggun dan menganggumkan dimatanya.

"Mampir dulu Yan"

"Makasih Da, mungkin lain waktu lagi deh. Bentar lagi jam istirahat udah mau abis. Aku usahain deh
buat kemari kapan-kapan" jawabnya.

"Aduh maaf Yan jadi gak enak nih"

"Gak apa-apa kali, Ibu kamu di rumah?" tanya pemuda itu.

"Kayaknya gak dirumah deh" ujar dahayu menatap kedalam rumahnya, menggelengkan kepalanya
perlahan begitu tak di jumpai keberaan julia.

"titip salam Buat ibu mu ya. Duluan Da"

"Maksih Yandra, hati-hati" tutup dahayu begitu yandra kembali menghidupkan mesin motornya,
nampak suara klakson terdengar seolah menjadi jawaban dari ucapan gadis itu.

Belum sempat dahayu memutar knop pintunya, gerakan tangannya kini terhenti ketika suara
perempuan itu seolah menjadi bayang-bayang Dahayu. Bukan hanya Dahayu saja mungkin semua
gadis di perumahan ini akan bernasip sama dengannya begitu sosok perempuan setengah abad itu
muncul dihadapannya, selain terkenal biang rumpi ibu-ibu disana, wajahnya yang judes dan cara
bicaranya yang pedas seolah mengingatkan warga untuk hati-hati bila bertemu dengannya, Bu Astuti
lebih akrab disebutnya.

"Buruan Nikah Neng, toh cowoknya cakep ASN lagi. Emang mau di tikung cewek lain!" ujarnya.

"Makasih sarannya Bu!" jawab gadis itu dengan senyum dipaksakan.

Dahayu hanya bisa membuang napas lelah, mengabaikan ucapnnya dan kembali melangkah kan
kakinya masuk ke rumah. Ditutupnya pintu itu rapat-rapat sementara matanya terpejam.

"Tahan Dahayu, hiraukan ucapan Bu astuti!" ujarnya menenangkan diri.

Setelah acara makan malam sudah usai, Gadis itu bergegas membantu sang ibu untuk
membersihkan meja makan dan alat-alat dapur. Entah mengapa untuk malam ini Julia tidak seperti
biasanya, wanita parubaya itu lebih diam enggan bekata dan sesekali berucap pun begitu anak
bungsunya memaksanya untuk mendengarkan nya dan selebihnya hanya diam. Seperti biasanya
tugas terakhir Dahayu adalah mematikan lampu dapur dan ruangan sekitarnya, helapan napas lelah
kini terdengar. Nyatanya hari ini semakin kalut untuk di laluinya, merasa tubuhnya semakin lelah
dengan cekatan gadis itu melangkah menuju lantai atas latak kamarnya berada.

Baru satu atau dua undakan tangga dilaluinya, dari balik pintu kamar kedua orang tuanya. Samar-
samar terdengar suara isakan dan diikuti beberapa benda-benda yang berjatuhan. Merasa
penasaran Dahayu mengabaikan tujuan utamnya kini berganti ke Pintu Kayu itu.

"Jadi kamu akan meninggalkan Kami demi Mereka?" tutur Julia dengan nada keras namun bergetar
menahan tangis.

"Bagaimanapun Dia juga istriku, disana pula masih ada anak kecil yang membutuhkan ku!" ujarnya
tak kalah geram.

"Bagaimana bisa? Sudah delapan belas tahun kita lalui, kamu tetap akan meninggalkan anak-anak?"

"Kurasa itu yang terbaik untuk kita!"


"Bagaimana kamu bisa berkata demikian? Disini pula masih ada anak Mu yang masih kecil?"

"setidaknya disini masih ada Dahayu dia akan membantu mu membesarkan mereka"

Dahayu cukup terenyuh di akhir kata laki-laki itu, bagaimanapun Dia anak mereka dan lagi-lagi
Dahayu harus menjadi orang yang bertanggung jawab mengambil alih permasalahan dari masalah
yang tidak dibuatnya. Adil bukan, Dahayu yang keberadaannya sering di abaikan kini begitu masalah
seolah gadis itu tameng dari segala pertanggungjawaban, Dengan tangan yang masih terkepal erat
gadis itu masih diam mematung di depan pintu, dirinya sudah lelah dengan drama klasik seperti ini.

Brakk

Agung dengan cekatan membanting keras pintu itu, perlahan namun pasti langkah kakinya menjauh
dari pintu kamarnya, mungkin saat ini dirinya tidak mengetahui keberadaan Dahayu yang berdiri
disamping pintu, hingga secara tidak langsung pandangan matanya tertuju pada Dahayu. Bukan
penjelasan seperti yang Dahayu inginkan lelaki paru baya itu dengan kebungkamannya pergi begitu
saja menghiruakan tatapannya dan tangis julia.

"sejak kapan?" tanya Dahayu menatap kedua mata ibunya.

"Duduk dulu biar ibu jelaskan" ujar julia dengan nada tenang walau dalam sekali pandangan Dahayu
bisa dengan jelas mengetahui perasaannya saat ini.

"sejak kapan Hubungan kalian seperti ini?"

"jauh sebelum Kamu ikut ibu tinggal kemari"

"Mengapa ibu mau tetap bertahan dan parahnya masih ada si kecil, bagaimana kedepannya Ibu
tanpa dia?"

"Kamu tahu, Sekeras apapun hubungan Ibu dengan Ayah tiri Mu, ibu berusaha sampai diantara kita
sudah tidak mampu bertahan. Karena yang ibu khawatirkan masa depan Kamu dan adik-adik Mu"
tuturnya menangis. Dan saat ini Dahayu bisa melihat dengan jelas siapa sosok ibunya saat ini. Tidak
ada sosok yang sering kali dahayu keluhkan, karena saat ini yang dirinya tahu serapuh apa pun Sosok
didepannya dia akan berusah tegar dan tegas sekaligus di depan anak-anak nya.
"Apakah kejadian Ini sama halnya yang Ibu lakukan dengan Ayah tempo dulu?" tanya Dahayu dan di
iyakan julia.

"menangislah Jika itu yang membuat Ibu tenang, cukup untuk hari ini ibu akan mengakhiri drama ini,
Dahayu berjanji akan membuat ibu bahagia walau sekecil apapun".

Dan ini untuk kali pertamanya Dahayu lebih dekat dengan ibunya, tumpahan tangis Julia di pelukan
Dahayu seolah menjadi teman malam keduanya, hingga tak mereka ketahui jika sepasang mata
tengah menatap keduanya tanpa terlewat sedikit pun.

'

"Kamu gak tidur Kal? Udah malam jangan terlalu memfosir tenaga mu hingga larut malam?" tanya
lelaki parubaya itu dengan nada halus dan lemah lembutnya. Si anak yang semula tengah
memainkan laptopnya kini menoleh dan menganggukan kepalanya perlahan.

"I'ts Ok Ayah! Bentar lagi ini masih tinggal beberapa pekerjaan lagi mending ayah tidur duluan gih"
titahnya mengabaikan keberadaan lelaki itu.

"Baiklah selamat malam!" titahnya menutup pintu.

Gadis itu Kalila, bukan karena pekerjaan seperti yang dirinya lontarkan ke Ayahnya. Gadis itu cukup
ahli dalam memanipulatif, pandangan matanya kini seolah tersorot pada layar laptop di hadapannya.
Disana terpampang wajah pemuda itu, yang mana pemuda yang sudah tiga tahun lamanya ia cari
keberadaannya secara diam-diam. Dan orang yang selalu ia sebut dalam setiap doanya.

"Kal udah mau tidur?" ujar suara dari ponsel miliknya. Kalila bangkit dari duduknya berjalan menuju
balkon untuk sekedar mencari kesunyian.

"hmmm belum kenapa?" tanyanya.

"Cowok yang kamu cari dia udah keluar lapas kemarin"

"serius!"
"Iya aku gak Bohong, kemarin temen Ku salah satu petugas pengadilan ada yang menangani
kebebasannya. Dan asal Kamu tahu____"

"Kenapa Me?"

"Udah malam, itu aja yang aku tahu. Happy sweet Dream"

Tutup mega diakhir panggilannya, mengabaikan kalimat mega yang menggantung diakhir setidaknya
untuk saat ini kalila bisa tidur dengan nyenyak bahwa pemuda itu sudah bebas. Perasaan
bersalahnya perlahan sudah terobati dengan kebebasan pemuda itu dari jeruji sel tahanan.

Bersambungg.............
Bagian 7

Anda mungkin juga menyukai