201310340311198
TEKNIK SIPIL – 6C
24 April 1957 Seksi Percobaan ditingkatkan menjadi Sub Depot Penyelidikan, Percobaan &
Pembuatan berdasar Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Udara No. 68.
1958 : berhasil diterbangkan prototip pesawat latih dasar "Belalang 89" yang ketika
diproduksi menjadi Belalang 90. Pesawat yang diproduksi sebanyak lima unit ini
dipergunakan untuk mendidik calon penerbang di Akademi Angkatan Udara dan Pusat
Penerbangan Angkatan Darat.
Di tahun yang sama berhasil diterbangkan pesawat oleh raga "Kunang 25".
Filosofinya untuk menanamkan semangat kedirgantaraan sehingga diharapkan dapat
mendorong generasi baru yang berminat terhadap pembuatan pesawat terbang.
PENDIRIAN
Ketika upaya pendirian mulai menampakkan bentuknya - dengan nama Industri Pesawat
Terbang Indonesia/IPIN di Pondok Cabe, Jakarta - timbul permasalahan dan krisis di tubuh
Pertamina yang berakibat pula pada keberadaan Divisi ATTP, proyek serta programnya -
industri pesawat terbang. Akan tetapi karena Divisi ATTP dan proyeknya merupakan wahana
guna pembangunan dan mempersiapkan tinggal landas bagi bangsa Indonesia pada Pelita
VI, Presiden menetapkan untuk meneruskan pembangunan industri pesawat terbang
dengan segala konsekuensinya.
April 1975 Maka berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 12, tanggal 15 April 1975
dipersiapkan pendirian industri pesawat terbang. Melalui peraturan ini, dihimpun segala
aset, fasilitas dan potensi negara yang ada yaitu : - aset Pertamina, Divisi ATTP yang semula
disediakan untuk pembangunan industri pesawat terbang dengan aset Lembaga Industri
Penerbangan Nurtanio/LIPNUR, AURI - sebagai modal dasar pendirian industri pesawat
terbang Indonesia. Penggabungan aset LIPNUR ini tidak lepas dari peran Bpk. Ashadi
Tjahjadi selaku pimpinan AURI yang mengenal BJ. Habibie sejak tahun 1960an.Dengan
modal ini diharapkan tumbuh sebuah industri pesawat terbang yang mampu menjawab
tantangan jaman.
28 April 1976 berdasar Akte Notaris No. 15, di Jakarta didirikan PT. Industri Pesawat
Terbang Nurtanio dengan Dr, BJ. Habibie selaku Direktur Utama. Selesai pembangunan fisik
yang diperlukan untuk berjalannya program yang telah dipersiapkan.
Desember 1976 cakrawala baru tumbuhnya industri pesawat terbang modern dan lengkap
di Indonesia di mulai. Di periode inilah semua aspek prasarana, sarana, SDM, hukum dan
regulasi serta aspek lainnya yang berkaitan dan mendukung keberadaan industri pesawat
terbang berusaha ditata. Selain itu melalui industri ini dikembangkan suatu konsep
alih/transformasi teknologi dan industri progresif yang ternyata memberikan hasil optimal
dalam penguasaan teknologi kedirgantaraan dalam waktu relatif singkat, 24 tahun.
IPTN berpandangan bahwa alih teknologi harus berjalan secara integral dan lengkap
mencakup hardware, software serta brainware yang berintikan pada faktor manusia. Yaitu
manusia yang berkeinginan, berkemampuan dan berpen- dirian dalam ilmu, teori dan
keahlian untuk melaksanakannya dalam bentuk kerja. Berpijak pada hal itu IPTN
menerapkan filosofi transformasi teknologi "BERMULA DI AKHIR, BERAKHIR DI AWAL".
Suatu falsafah yang menyerap teknologi maju secara progresif dan bertahap dalam suatu
proses yang integral dengan berpijak pada kebutuhan obyektif Indonesia. Melalui falsafah
ini teknologi dapat dikuasai secara utuh menyeluruh tidak semata-mata materinya, tetapi
juga kemampuan dan keahliannya. Selain itu filosofi ini memegang prinsip terbuka, yaitu
membuka diri terhadap setiap perkembangan dan kemajuan yang dicapai negara lain.
Filosofi ini mengajarkan bahwa dalam membuat pesawat terbang tidak harus dari
komponen dulu, tapi langsung belajar dari akhir suatu proses (bentuk pesawat jadi),
kemudian mundur lewat tahap dan fasenya untuk membuat komponen. Tahap alih
teknologi terbagi dalam : Tahap penggunaan teknologi yang sudah ada/lisensi,
Tahap integrasi teknologi,
Tahap pengembangan teknologi,
Tahap penelitian dasar
Sasaran tahap pertama, adalah penguasaan kemampuan manufacturing, sekaligus memilih
dan menentukan jenis pesawat yang sesuai dengan kebutuhan dalam negeri yang hasil
penjualannya dimanfaatkan menambah kemampuan berusaha perusahaan. Di sinilah
dikenal metode "progressif manufacturing program". Tahap kedua dimaksudkan untuk
menguasai kemampuan rancangbangun sekaligus manufacturing. Tahap ketiga,
dimaksudkan meningkatkan kemampuan rancangbangun secara mandiri. Sedang tahap
keempat dimaksudkan untuk menguasai ilmu-ilmu dasar dalam rangka mendukung
pengembangan produk-produk baru yang unggul.
Di Amerika peringatan seabad sejarah penerbangan mendapat perhatian luar biasa. Tanggal
4 Juli lalu, pada Hari Kemerdekaan Amerika Serikat, lebih dari 600.000 orang berkumpul di Dayton,
Ohio, di mana Wright bersaudara dibesarkan, untuk menghormati kedua putra bangsa itu. Sekitar
150.000 orang juga berkumpul di kota Kitty Hawk, North Carolina. Mereka menyaksikan tempat
penerbangan pertama kali. Daerah itu telah lama menjadi monumen nasional.
Di Washington, D.C., ibukota Amerika Serikat, Museum Penerbangan dan Antariksa Lembaga
Smithsonian Amerika mengadakan pameran istimewa mengenai Wright bersaudara. Yang menjadi
pusat perhatian adalah pesawat terbang asli Wright bersaudara, yang dikenal sebagai "Wright Flyer".
Pesawat itu telah lama digantung tinggi dalam museum. Sekarang pesawat itu terletak di lantai di
mana sayap dan badan pesawat yang tidak kokoh tampak seperti pesawat terbang model besar yang
anak-anak ingin membuatnya.
Wright bersaudara terbang secara diam-diam, dengan hanya dua pengamat lain. Peristiwa
itu tidak mendapat liputan media secara luas. Wright bersaudara memiliki sebuah toko di Dayton, di
mana mereka membuat, mereparasi dan menjual sepeda. Beberapa orang lain yang berusaha
mencapai kemajuan dari Glider atau pesawat luncur, atau pesawat terbang layang ke pesawat yang
dapat terbang dengan baling-baling sendiri, memiliki pengakuan ilmiah dan profesional. Glider,
pertama kali membawa manusia ke udara dalam tahun 1786. Banyak orang di lapangan meragukan
apakah dua orang pria yang tidak banyak berpengalaman itu benar-benar terbang. "Flyers or liars",
demikian tulis sebuah suratkabar. Maksudnya, kedua orang itu "penerbang atau pembohong?"
Namun mereka terus memperbaiki dan meningkatkan pesawat mereka dan pada tahun 1908 tiba-
tiba mengejutkan masyarakat Prancis dengan melakukan demonstrasi terbang, yang meliputi
gerakan akrobatik. Sejak itu, tidak banyak yang meragukan kemampuan mereka sebagai inventor
penerbangan.
Banyak hal yang mungkin telah menghentikan usaha mereka. Sejumlah orang meninggal
sewaktu melakukan uji-coba dengan pesawat luncur. Mereka selamat. Seorang pria bernama Samuel
Langley, Kepala Smithsonian Institution yang bergengsi, diberi dana 50 ribu dolar oleh militer
Amerika Serikat untuk membuat sebuah pesawat terbang. Sebaliknya, Wright bersaudara
menghabiskan seribu dolar dalam usaha mereka selama empat musim di Kitty Hawk. Sembilan hari
sebelum Wright bersaudara terbang, pesawat Langley diluncurkan di Washington, D.C. dan segera
jatuh.
Abad ini mungkin akan memberi Wright bersaudara pengakuan sepenuhnya atas keahlian
teknologi mereka. Mereka telah lama diakui bisa terbang. Namun inovasi mereka yang rumit dan
sangat imajinatif kurang mendapat perhatian. Ketidak stabilan sepeda, yang dikendalikan oleh
gerakan tubuh pengendara - mempengaruhi pemikiran mereka. Cara terbang burung yang meluncur
dengan sayap mereka, mengubah arah dengan menggerakkan sayap juga sangat mengesankan
mereka. Karena itu mereka menciptakan sistem sayap yang akan 'bisa bergerak miring, untuk
memungkinkan pesawat terbang membelok dengan selamat. Mereka menggarap desain ekor yang
fleksibel dan sistem pengendali untuk mengontrol arah terbang pesawat. Mereka berhasil
menciptakan baling-baling besar yang efisien. Mereka secara manual membangun mesin ringan.
Wright bersaudara mempengaruhi ilmu pengetahuan penerbangan udara untuk selanjutnya. Mereka
terbang. Dunia berubah. Tetapi, tidak semuanya untuk kebaikan. Orville, yang hidup sampai tahun
1948, dan Wilbur yang meninggal tahun 1912, mengatakan dengan sedih dalam Perang Dunia Ke-II :
"Kami berharap pesawat terbang akan menjadi alat untuk perdamaian".
Sejarah perkembangan penerbangan tersebut dan hubungannya
dengan pertumbuhan sektor penerbangan di masa depan.
Secara umum peran angkutan udara adalah memperkokoh kehidupan politik, pengembangan
ekonomi, sosial dan budaya serta keamanan dan pertahanan. Di bidang pengembangan ekonomi,
sosial dan budaya, angkutan udara memberikan kontribusi yang cukup besar antara lain, di bidang
transportasi, pengembangan ekonomi daerah, pertumbuhan pariwisata dan ketenagakerjaan.
Adanya angkutan udara memberikan alternatif layanan pengangkutan baik pada orang maupun
barang melalui jalur udara yang menawarkan nilai tambah berupa efisiensi waktu dan kecepatan
yang lebih baik dibandingkan moda transportasi lainnya. Adanya faktor kecepatan tersebut
disamping mampu menekan biaya produksi, mobilitas orang dan penyampaian kebutuhan barang
atau jasa pun menjadi lebih cepat dan lebih baik.
Peran angkutan udara untuk mendukung sektor pariwisata dalam rangka meningkatkan
pendapatan devisa Negara tidak dapat dipungkiri. Kontribusi angkutan udara dalam mengangkut
wisatawan luar negeri kurang lebih 90% sehingga dapat dikatakan, sektor pariwisata Indonesia akan
semakin berkembang apabila didukung oleh pertumbuhan angkutan udaranya.
Kontribusi angkutan udara di bidang ketenagakerjaan adalah menciptakan lapangan kerja baik
langsung maupun tidak langsung dalam rangka membantu pemerintah dalam pemenuhan lapangan
kerja khususnya di bidang industri angkutan udara. Menurut Air Transport Action Group (ATAG),
yaitu sebuah organisasi independen internasional yang terdiri dari beberapa kelompok perusahaan
khususnya yang berkiprah di bidang industri angkutan udara, kontribusi angkutan udara di bidang
ketenagakerjaan secara langsung adalah penciptaan lapangan kerja industri dari angkutan udara itu
sendiri dan secara tidak langsung adalah menciptakan lapangan kerja di bidang pengadaan barang
dan jasa untuk memenuhi kebutuhan operasional / produksi angkutan udara. “Multiplier effect”
lainnya adalah adanya angkatan kerja yang disebabkan oleh pengeluaran yang disebabkan oleh
industri dan yang terbesar adalah angkatan kerja yang disebabkan meningkatnya kegiatan sektor
pariwisata akibat masuknya wisatawan melalui jalur angkutan udara.
ATAG mengindikasikan bahwa indeks prosentase dari pengaruh industri angkutan udara
terhadap ketenagakerjaan adalah sebesar 580% dengan perincian sebagai berikut, pengaruh
langsung (direct) sebesar 100% berupa penciptaan tenaga kerja angkutan udara itu sendiri,
pengaruh tidak langsung (indirect) sebesar 116% berupa angkatan kerja pengadaan barang dan jasa,
pengaruh lainnya (induced), yaitu angkatan kerja dari sektor pariwisata sebesar 310% dan angkatan
kerja dari pengeluaran yang disebabkan oleh industri sebesar 54%. Sehingga jika kita mengacu pada
rasio pesawat per pegawai sebesar 1 : 150 orang, maka jika muncul industri angkutan udara baru
dengan jumlah armada sebanyak 5 pesawat akan menghasilkan angkatan kerja sebanyak, 5 x 150
orang x (100%+116%+310%+54%)=4.350 orang angkatan kerja. Apabila kita hitung dengan
perumusan yang sama secara nasional, dari seluruh jumlah armada yang beroperasi di Indonesia
yang berjumlah kurang lebih sekitar 270 pesawat, maka total penciptaan angkatan kerja dari sektor
angkutan udara adalah sebesar 227.070 orang. Suatu jumlah angkatan kerja yang cukup lumayan,
apalagi di era sekarang , hal tersebut sangat membantu pemerintah di bidang pemenuhan tenaga
kerja nasional.
Peningkatan sektor pariwisata yang didukung oleh angkutan udara yang handal dan berkualitas
Keberhasilan sektor pariwisata Indonesia seakan menjadi penyejuk ditengah menurunnya ekspor
migas dan menjadikan sektor ini sebagai primadona baru setelahi migas. Pengembangan sector ini
perlu didukung ketersediaan bandar udara berskala internasional di tanah air, diantara Kota-kota
yang bandaranya dikembangkan selain Jakarta dan Denpasar adalah, Medan, Pontianak, Pekanbaru,
Manado, Ambon, Biak, Padang, Palembang, Surabaya, Batam, Ujung Pandang, Banda Aceh,
Bandung, Mataram dan lain-lain, dengan tujuan agar perusahaan penerbangan baik domestik
maupun asing memperoleh kemudahan akses penerbangan ke/dari luar negeri secara langsung.
Pada awalnya Pemerintah melakukan perubahan di berbagai bidang sebagai upaya peningkatan
pendapatan Negara melalui langkah deregulasi perekonomian antara lain deregulasi perpajakan,
pelabuhan dan angkutan laut termasuk deregulasi di bidang angkutan udara dimana awalnya
dinamakan “partial open sky” dengan membuka Bali, Denpasar sebagai pintu masuk wisatawan ke
Indonesia disamping Jakarta sebagai ibukota negara.
Namun penerapan “ limited open sky” tersebut berdampak pada maskapai penerbangan
nasional yang belum siap bersaing di pasar global, sehingga pelan tapi pasti, mulai mengalami col
urung akhirnya mengalami kerugian di tahun 1993. Namun segala sesuatu memang harus dilihat
konteksnya secara luas. Apakah kebijakan untuk mendukung sektor pariwisata tersebut sebagai
penyebab kerugian maskapai nasional? Kalau kita menyikapinya secara arif dan bijaksana, maka
jawabannya “bisa ya, bisa tidak”. Namun kalau melihat pada misi yang diemban oleh airline nasional,
yaitu disamping menghubungkan keseluruh propinsi dari dan ke seluruh kota-kota di Indonesia, juga
berkewajiban mendukung program pemerintah di bidang pariwisata dan ekspor non migas. Jadi
jelas, bahwa industri penerbangan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari industri
pariwisata.
Jumlah pengguna angkutan darat dan laut turun drastis, sedangkan di sisi lain moda angkutan
udara justru meningkat pesat. Justifikasinya adalah berpindahnya pengguna moda angkutan darat
dan laut, disebabkan karena harganya yang murah, atau selisih harga yang terlalu dekat sehingga
alasan waktu menjadi alternatif pilihan Kedepan, gambaran kondisi penerbangan nasional
diperkirakan tidak akan berubah dan akan terus mengarah pada dominasi dan semakin
berkembangnya Low fare operator sebagai tulang punggung bisnis angkutan udara Nasional. Hal
tersebut didukung dengan masih stagnannya pertumbuhan ekonomi Indonesia akibat dampak krisis
ekonomi global baru-baru ini, yang cukup mempengaruhi sisi permintaan karena melemahnya
tingkat daya beli masyarakat, sehingga aspek penghematan menjadi faktor yang sangat penting bagi
konsumen. Sebagai upaya untuk mengantisipasi pelayanan jasa penerbangan pada segmen pasar
“middle down” yang “price sensitive” serta langkah “pre-emptive” dalam menghadapi persaingan
dengan semakin maraknya penerbangan asing berbiaya murah masuk ke Indonesia, maka beberapa
airline domestik pun telah menciptakan LCC tersendiri. Airline tersebut antara lain, Garuda Indonesia
melalui Citilink-nya, disusul Lion yang telah mengubah diri menjadi “premium service” dan
menyerahkan porsi low costnya kepada Wings Air. Beberapa airline asing juga telah melakukan hal
sama seperti, Qantas dengan Jetstar dan SIA dengan Tiger Airwaysnya, dan masih banyak lagi yang
lainnya.