Anda di halaman 1dari 16

1.

PENGERTIAN INTERVENSI

Intervensi (latin) aslinya intervenire yaitu memberi kesempatan kepada


siapapun yang berkepentingan untuk melibatkan diri dalam suatu proses
perdata yang sedang berjalan antara pihak, yang dapat diajukan sebelum 
atau  pada saat   antara pihak berakhir             M. Yahya Harahap, SH.,
dalam bukunya : "Beberapa Permasalahan Hukum Acara Pada Peradilan
Agama", menyatakan bahwa : upaya intervensi yaitu pihak ketiga yang semula
tidak turut sebagai pihak dalam suatu perkara yang sedang berjalan pada
proses pemeriksaannya di sidang peradilan, menerjunkan diri sebagai pihak,
terutama untuk membela hak dan kepentingannya sendiri berhadapan dengan
penggugat dan tergugat semula. Berbeda dengan istilah di atas Dr. Wirjono
Projodikoro, SH, menyebutkan istilah lain dari intervensi yaitu "percampuran
tangan " yaitu tussenkomst (menempatkan diri ditengah-tengah antara kedua
belah pihak) dan voeging (menempatkan diri disamping salah satu pihak
untuk bersama-sama dengan pihak itu menghadapi pihak lain.

Secara lengkap upaya intervensi ini telah disebutkan oleh Pasal 279 RV, yaitu:
Barang siapa mempunyai kepentingan dalam suatu perkara perdata yang
sedang berjalan antara pihak-pihak lain dapat menuntut untuk
menggabungkan diri atau campur tangan.

Dari beberapa pendapat di atas dan juga berpedoman pada Pasal 279 RV,
akan menjadi jelas bahwa intervensi dapat terjadi di Pengadilan Agama dalam
tingkat selama proses perkara, sehingga dalam kasus yang demikian
kedudukan para pihak-pihak menjadi sebagai berikut :

 pihak ketiga disebut "Penggugat Intervensi"


 para pihak semula (penggugat /pemohon dengan tergugat/termohon)
disebut sebagai "Tergugat Intervensi".
Dari uraian diatas kiranya  penulis ikut menuangkan pendapat bahwa yang
dimaksud dengan intervensi adalah suatu aksi hukum oleh pihak yang
berkepentingan dengan jalan melibatkan diri dalam suatu perkara perdata
yang sedang berlangsung antara kedua pihak yang berperkara dengan
mengajukan gugatan intervensi.

1. BENTUK-BENTUK INTERVENSI

Dalam praktek, apabila Hakim menganggap perlu dan benar-benar


dibutuhkan, dapat mengambil alih bentuk-bentuk acara yang tidak diatur
dalam HIR, juga dalam Rbg, misalnya mengenai intervensi, yaitu ikut sertanya
pihak ketiga kedalam suatu proses perkara yang sedang diperiksa pengadilan, 
adapun betuk-bentuk intervensi tersebut antara lain :

1. Tussenkomst (menengahi) :

Yang disebut dengan menengahi (tussenkomst) adalah aksi hukum pihak


ketiga dalam perkara perdata yang sedang berlangsung dan membela
kepentingannya sendiri untuk melawan kedua pihak yang sedang berperkara.
Dengan keterlibatannya pihak ketiga sebagai pihak yang berdiri sendiri dan
membela kepentingannya, maka pihak ketiga ini melawan kepentingan
penggugat dan tergugat yang sedang berperkara, pihak ketiga tersebut disebut
intervenent. Apabila intervensi dikabulkan maka perdebatan menjadi
perdebatan segi tiga. Intervensi dalam bentuk tussenkomst bisa terkabulkan
dan bisa  juga ditolak, pengabulan atau penolakan tersebut dalam bentuk
putusan sela, dalam hal ini putusan insidentil.

Dikabulkannya intervensi tussenkomst, putusannya dijatuhkan sekaligus


dalam satu putusan, apakah penggugat atau tergugat yang menang atau
ataukah intervenent yang menang, yang pasti adalah bahwa salah satu dari
kedua gugatan itu yang dikabulkan atau mungkin juga kedua-duanya ditolak.

Ciri-ciri tussenkomst:
1. Sebagai pihak ketiga yang berkepentingan dan berdiri sendiri.
2. Adanya kepentingan untuk mencegah timbulnya kerugian, atau
kehilangan haknya yang mungkin terancam.
3. Melawan kepentingan kedua belah pihak yang berperkara.
4. Dengan memasukkan tuntutan terhadap pihak-pihak yang berperkara
(Penggabungan tuntutan).

Syarat-syarat mengajukan tussenkomst adalah :

1. Merupakan tuntutan hak.


2. Adanya kepentingan hukum dalam sengketa yang sedang berlangsung.
3. Kepentingan tersebut harus ada hubungannya dengan pokok perkara
yang sedang berlangsung.
4. Kepentingan mana untuk mencegah kerugian atau mempertahankan
hak pihak ketiga.

Keuntungan tussenkomst:

1. Prosedur  beracara dipermudah dan disederhanakan.


2. Proses berperkara dipersingkat.
3. Terjadi penggabungan tuntutan.
4. Mencegah timbulnya putusan yang saling bertentangan.
5. Tercapainya azas peradilan yang sederhana cepat dan biaya ringan

Tatacara mengajukan Tussenkomst :

Mengenai Prosedur acaranya adalah pihak ketiga yang berkepentingan


mengajukan gugatan kepada Ketua Pengadilan Agama dengan melawan pihak
yang sedang bersengketa (Penggugat dan Tergugat) dengan menunjuk nomor
dan tanggal perkara yang dilawan tersebut. Surat gugatan disusun seperti
gugatan biasa dengan memuat identitas, posita dan petitum. Surat gugatan
tersebut diserahkan ke meja I yang selanjutnya diproses seperti gugatan
biasa , dengan membayar biaya tambahan panjar perkara tetapi tidak diberi
nomor perkara baru melainkan memakai nomor perkara yang dilawan tersebut
dan dicatat dalam regester, nomor dan kolom yang sama.

Selanjutnya  Ketua Pengadilan Agama adalah mendisposisikan kepada majlis


hakim yang menangani perkara itu. Kemudian ketua majlis mempelajari
gugatan intervensi tersebut dan membuat “penetapan hari sidang” yang isinya
memerintahkan kepada juru sita agar pihak ketiga tersebut dipanggil dalam
sidang yang akan datang untuk pemeriksaan gugatan intervensi tersebut pada
hari dan tanggal yang sama sidangnya dengan   hari dan sidangnya pihak
lawan. Terhadap intervensi tersebut hakim akan menjatuhkan putusan “sela”
untuk mengabulkan atau menolak intervensi tersebut. Apabila dikabulkan
maka intervenient ditarik sebagai pihak dalam sengketa yang sedang
berlangsung.

Jika gugatan intervensi diterima oleh Pengadilan Agama

Sebagai contoh :

Seseorang yang menjadi pemilik suatu barang, tetapi barang itu sedang
diperkarakan sebagai barang warisan oleh penggugat dan tergugat. Atau
dalam perkara harta bersama dalam perkawinan oleh suami isteri yang sedang
dalam proses perkara perceraian, masuk pihak ketiga yang mempertahankan
barang itu adalah miliknya, bukan harta bersama antara suami istri yang
sedang berperkara itu.

2. Voeging (menengahi).

                Yang disebut dengan voeging yaitu suatu aksi hukum oleh pihak
yang berkepentingan dengan jalan memasuki perkara perdata yang sedang
berlangsung antara penggugat dan tergugat untuk bersama-sama tergugat
untuk menghadapi penggugat. Perbedaannya dengan tussenkomst adalah
keberpihakannya ditujukan langsung kepada pihak tergugat, misalnya :
Misalnya seorang debitur (berhutang) masuk ke dalam proses yang diajukan
kontra borg. Debitur itu dapat menolong penjaminnya karena ia
berkepentingan agar penjamin itu tidak dihukum.

Ciri-ciri voeging:

1. Sebagai pihak yang berkepentingan dan berpihak kepada salah satu


pihak dari penggugat atau tergugat.
2. Adanya kepentingan hukum untuk melindungi dirinya sendiri dengan
jalan membela salah satu yang bersengketa.
3. Memasukkan tuntutan terhadap pihak-pihak yang berperkara.

Syarat-syarat untuk mengajukan voeging adalah

1. Merupakan tuntutan hak


2. Adanya kepentingan hukum untuk melindungi dirinya dengan jalan
berpihak kepada tergugat.
3. Kepentingan tersebut haruslah ada hubungannya dengan pokok perkara
yang sedang berlangsung.

Keuntungan voeging adalah :

1. Prosedur beracara dipermudah dan disederhanakan.


2. Proses berperkara dipersingkat.
3. terjadinya penggabunga tuntutan
4. Mencegah timbulnya putusan yang saling bertentangan.
5. Tercapainya azas peradilan yang sederhana cepat dan biaya ringan

Tatacara mengajukan  Voeging :

Prosedur acaranya adalah pihak ketiga yang berkepentingan mengajukan


permohonan kepada Ketua Pengadilan Agama dengan mencampuri yang
sedang bersengketa, yaitu penggugat dan tergugat untuk bersama-sama salah
satu pihak menghadapi pihak lain guna kepentingan hukumnya. Permohonan
dibuat seperti gugatan biasa dengan menunjuk nomor dan tanggal perkara
yang akan diikutinya itu.

Selanjutnya  Permohonan voeging dimasukkan pada meja pertama dan


diproses oleh kasir dan meja II sampai pada ketua, kemudian ketua
Pengadilan Agama menyerahkan berkas tuntutan itu lewat panitera kepada
majlis hakim yang menangani perkara itu, kemudian majlis hakim
memberikan penetapan , dengan isi penetapan menolak atau menerima pihak
ketiga untuk turut campur dalam sengketa tersebut, apabila dikabulkan maka
permohonan ditarik sebagai pihak dalam sengketa yang sedang berlangsung.

3. Vrijwaring (penarikan)

Vrijwaring atau penarikan pihak ketiga dalam perkara adalah suatu aksi
hukum yang dilakukan oleh tergugat untuk menarik pihak ketiga dalam
perkara guna menjamin kepentingan tergugat menghadapi gugatan penggugat.

Adapun ciri-ciri Vrijwaring adalah :

1. Merupakan penggabungan tuntutan.


2. Salah satu pihak yang bersengketa menarik pihak ketiga didalam
sengketa.
3. Keikut sertaan pihak ketiga timbul karena dipaksa dan bukan karena
kehendaknya.

          Tujuan salah satu pihak (tergugat) menarik pihak ketiga adalah agar
pihak ketiga yang ditarik dalam sengketa yang sedang berlangsung akan
membebaskan pihak yang memanggilnya (tergugat) dari kemungkinan akibat
putusan tentang pokok perkara.

Prosedur Vrijwaring tergugat dalam jawabannya atau dupliknya memohon


kepada majlis hakim yang memeriksa perkaranya agar pihak ketiga yang
dimaksudkan oleh tergugat sebagai penjamin ditarik masuk kedalam proses
perkara untuk menjamin tergugat. Majlis hakim dengan penetapan yang
dimuat dalam berita acara persidangan memerintahkan memanggil pihak
ketiga tersebut dalam persidangan yang akan datanguntuk pemeriksaan
vrijwaring bersama-sama penggugat dan tergugat . Dari hasil pemeriksaan itu
hakim menjatuhkan “putusan sela” untuk menolak atau mengabulkan
permohonan vrijwaring tersebut. Apabila dikabulkan maka pihak pihak ketiga
ditarik masuk dalam proses perkara tersebut.

 Dari tiga bentuk intervensi di atas, yang paling tepat dan banyak di
Pengadilan Agama adalah bentuk yang pertama. Sebab pihak ketiga itu harus
berkepentingan , artinya kepentingannya akan terganggu jikalau ia tidak
mencampuri proses, atau dengan mencampuri proses itu ia dapat
mempertahankan hak-haknya..

Memang benar jikalau pihak ketiga yang berkepentingan itu tidak


"intervenieren" tidak bercampur tangan dalam proses yang bersangkutan,
maka ia masih dapat mempertahankan hak-haknya dalam suatu proses
tersendiri, akan tetapi segala sesuatu akan berjalan lebih mudah dan akan
menghindarkan putusan-putusan yang saling bertentangan, jikalau ia ikut
serta secara intervensi tersebut. Lebih lanjut Prof. Dr. R Supomo, SH
menguraikan bahwa intervensi itu tidak harus atas inisiatif pihak ketiga
melainkan masyarakat indonesia memang membutuhkan supaya suatu
perkara dapat diselesaikan seluruhnya antar segala pihak yang bersangkutan,
sehingga bukan saja pihak ketiga harus diperbolehkan ikut berperkara
(intervensi) akan tetapi Hakim pula harus diberi kekuasaan atas inisiatifnya
sendiri memanggil seorang pihak ketiga supaya ikut berperkara jika ia
memang sungguh-sungguh langsung berkepentingan terhadap soal yang
menjadi perkara itu.

Sehubungan dengan intervensi ini menurut aliran pikiran adat, Hakim wajib
menyelesaikan perkara yang diadili sehingga perkara itu tidak akan timbul
kembali. Dengan tepat Van Vollen hoven menulis bahwa perkara harus
diakhiri "Uitgemaaht" sesuatu perkara belum dianggap fit  jikalau putusan
Hakim hanya mengenai penggugat dan tergugat saja dan tidak mengenai
orang-orang lainnya yang tersangkut juga. Aliran fikiran adat tersebut
dibenarkan oleh Ter Haar dengan pendapatnya bahwa Hakim harus diberi hak
untuk memanggil seorang pihak ketiga untuk ikut serta didalam proses (ikut
berperkara) sehingga hakim dapat memberi putusan terhadap segala orang
yang berkepentingan.

1. UPAYA INTERVENSI DI PENGADILAN AGAMA

Ketentuan  Pasal 54 UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama 


menyebutkan bahwa : Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam Undang-undang ini. Jika Pasal di atas dihubungkan
dengan kekuasaan pengadilan agama yang tercantum dalam Pasal 49 Undang-
undang 03 tahun 2006 tentang perubahan Undang-undang nomor7 tahun
1989 tentang peradilan agama mengatakan : Pengadilan agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b.
waris;c. wasiat; d. hibah;e. wakaf;f. zakat;g. infaq;h. shadaqah; dan  i. ekonomi
syari'ah.

Dapat ditegaskan bahwa yurisdiksi Pengadilan Agama yaitu tidak meliputi


Sengketa milik sebagaimana tersebut dalam Pasal 50 UU nomor 7 tahun 1989,
yaitu dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain
dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka
khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih
dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.
Berarti dalam perkara harta warisan, wasiat, hibah, wakaf dan shodaqoh
sebagaimana Pasal 49 ayat (1) huruf h dan c dan juga mengenai harta
bersama seperti dalam Pasal 45 Kompilasi Hukum Islam, ada tersangkut
sengketa milik apakah itu diantara sesama para pihak (penggugat /pemohon
dengan tergugat/termohon) atau dengan pihak ketiga/penggugat intervensi,
maka penyelesaiannya merujuk pada Pasal 50 UU Nomor 7 tahun 1989 yaitu
khusus mengenai objek yang menjadi sengketa milik jatuh menjadi yurisdiksi
Pengadilan Umum untuk memutus status pemilikan. Oleh karena itu menurut
M. Yahya Harahap, SH. bahwa bertitik tolak dari pembatasan yurisdiksi
tersebut, penerapan upaya intervensi di Pengadilan Agama tidak meliputi
semua sengketa sebagaimana yang terdapat dilingkungan Pengadilan Umum .
Bahkan dalam perkara di Pengadilan Agama maka intervensi dapat
menyebabkan suatu perkara terhenti karena tidak masuk dalam kewenangan
Pengadilan Agama, misalnya mengenai pemilikan atau keperdataan lain
seperti yang dimaksud dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989.

Pendapat di atas jika dihubungkan dengan Pasal  86 ayat (2) Undang-undang


Nomor 7/ 1989 mengenai tuntutan pihak ketiga (penggugat intervensi )
terhadap harta bersama, maka Pengadilan Agama menunda terlebih dahulu
perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan pengadilan dalam
lingkungan Pengadilan Umum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Intervensi terjadi Dalam  Sengkketa Perceraian :

Di muka sudah dikatakan bahwa kedudukan pihak ketiga disebut sebagai


penggugat intervensi sedangkan para pihak semula berkedudukan sebagai
tergugat intervensi, gugatan intervensi dimungkinkan dalam sengketa
perceraian apabila : Kalau gugat intervensi berdasar dalil hak milik, maka
Pengadilan Agama tidak  berwenang menerima dan memeriksanya, intervensi
tersebut jatuh menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Karenanya jika yang
digugat intervensi seluruh harta yang disengketakan, pemeriksaan Pengadilan
Agama dihentikan atau tergantung (aanhanging) atau "sub yudice" , menunggu
penyelesaian Pengadilan Umum. Dan jika gugat intervensi sebagian, 
Pengadilan Agama berhak meneruskan pemeriksaan sebagiannya yang bukan
tersangkut sengketa milik. M. Yahya Harahap. SH.  berpendapat bahwa :
kalau gugat intervensi didasarkan atas dalil :

 Harta yang disengketakan adalah harta warisan orang tua penggugat


intervensi bukan harta warisan para tergugat intervensi atau selain para
pihak yang sedang berperkara, penggugat intervensi termasuk seorang
ahli waris yang berhak mendapatkan bagian[14], maka dalam kasus ini
dapat diterapkan intervensi.
 Lebih lanjut beliau mencontohkan jika para ahli waris bersengketa
mengenai pembagian harta warisan peninggalan orang tua mereka,
kemudian pihak ketiga mengajukan gugat intervensi dengan dalil harta
yang disengketakan para ahli waris adalah miliknya, maka dalam hal di
atas Pengadilan Agama tidak berwenang mengadili sepanjang harta yang
didalilkan penggugat intervensi sebagai miliknya.
 Lain halnya jika orang masuk sebagai pihak ketiga yang melakukan
intervensi, misalnya berkepentingan mempertahankan hak miliknya
yang akan dibagi sebagai barang warisan. sungguh pun ia tidak
beragama Islam, tetapi hal ini mengenai ketentuan dalam Pasal 50
Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 (termasuk keperdataan lain),
maka syarat "orang yang beragama islam tidak perlu diperhatikan sebab
dengan masuknya pihak ketiga itu, maka Pengadilan Agama akan
menghentikan pemeriksaannya mengenai barang dimaksud tetapi tetap .
meneruskan proses perkara sepanjang yang menyangkut barang-barang
yang di intervensi .

Intervensi Terjadi Dalam  Sengkketa Hibah :


Sesuai dengan batasan kompetensi absolut yang digariskan oleh Pasal 50
Undang-undang nomor 7 tahun 1989, dalam sengketa hibah gugatan
intervensi bersifat terbatas, keterbatasannya jika dalil gugat intervensi
terdapat sengketa milik, maka Pengadilan Agama tidak berwenang untuk
menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan gugat intervensi
dimaksud. Jadi, kebolehan gugat intervensi itu jika harta hibah yang
disengketakan adalah milik penggugat intervensi, bukan milik penghibah.
Ketentuan Pasal 213 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan : hibah yang
diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan
kematian, maka harus mendapat persetujuan ahli warisnya. Hal ini dapat
dipahami bahwa terbuka kebolehan mengajukan gugatan intervensi di
Pengadilan Agama hanya terbatas jika penghibahan tidak sah kepada salah
satu pihak berperkara. Padahal penggugat intervensi adalah termasuk salah
satu ahli warisnya karena jelas bertentangan dengan Pasal 213 Kompilasi
Hukum Islam. Atau hibah bertentangan dengan Pasal 214 Kompilasi Hukum
Islam yang menyebutkan : Warga negara Indonesia yang berada di negara
asing dapat membuat surat hibah dihadapan konsulat atau Kedutaan
Republik Indonesia setempat, sepanjang isinya tidak bertentangan dengan
ketentuan pasal ini. Jadi hibah yang dilakukan di luar negeri tanpa
pengesahan konsulat atau kedutaan Republik Indonesia setempat boleh
terbuka kemungkinan ada gugat intervensi di Pengadilan Agama.

Atau barangkali hibah telah lebih dahulu dihibahkan kepada penggugat


intervensi, sehingga penghibahan yang dilakukan penghibah pada salah
seorang yang sedang berperkara tidak sah.. Atau tidak sesuai dengan Pasal
210 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, yaitu orang yang telah berumur
sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan
dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang
lain atau lembaga, dihadapan dua orang saksi untuk dimiliki. Jadi hibah yang
melebihi batas 1/3 bagian dapat dimungkinlcanterjadi gugat intervensi di
Pengadilan Agama. Selanjutnya pada Pasal 210 ayat (2) Kompilasi Hukum
Islam dikatakan : Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari
penghibah. Dari pasal ini dapat dimengerti bahwa jika harta benda yang
dihibahkan itu bukan mil ik si-penghibah maka kemungkinan saja dapat
terjadi gugat intervensi di Pengadilan Agama. Karena mungkin saja terjadi
hak-hak penggugat intervensi terlanjur ikut dihibahkan oleh si penghibah.

Intervensi Terjadi Dalam Sengketa Harta Bersama

Pasal 86 ayat (2) Undang-undang nomor 7 tahun 1989: Jika ada tuntutan
pihak ketiga maka pengadilan menunda lebih dahulu perkara harta bersama
tersebut sampai ada putusan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tentang hal itu. Jadi tidak
berbeda dengan sengketa warisan dan hibah, jika harta bersama yang
disengketakan sebagian atau selumhnya adalah milik penggugat intervensi,
sebagian atau seluruhnya harta bersama telah dibeli penggugat intervensi,
sebagian atau seluruhnya telah diagunkan atau di hipotikkan penggugat
intervensi. Dan gambaran diatas pihak ketiga tidak dapat mempergunakan
upaya intervensi di Pengadilan Agama, karena tersangkut dengan sengketa
milik. Demikian ini dapat di pahami dari Pasal 86 ayat (2) Undang-undang
nomor 7 tahun 1989 yang menurut M Yahya Harahap, SH terdapat tiga
patokan dalam memahami Pasal diatas yaitu :

1. Penundaan pemeriksaan harta bersama oleh Pengadilan Agama


didasarkan apabila ada tuntutan pihak ketiga.
2. Dalil bantahan yang dikemukakan para tergugat bahwa harta yang
digugat adalah milik pribadi, jika dalil bantahan yang seperti itu
diajukan dalam perkara sengketaharta bersama dan warisan, hal itu
tidak dianggap sengketa milik atau keperdataan secara murni masih
dalam rangkaian proses pemeriksaan yang berkenaan dengan tahap
upaya pembuktian.
3. Dalam hal pihak tergugat mengajukan dalil bantahan bahwabarang
terperkara adalah milik pihak ketiga, misalnya dikatakannya dipinjam,
disewa, sebagai barang gadai atau agunan dari pihak ketiga, bantahan
itu tidak dianggap sengketa milik atau sengketa perdata tetapi masih
dalam rangkain proses tahap upaya pembuktian. Kecuali pihak ketiga
menyampaikan gugat intervensi atau derden verzet ..

Jadi dimungkinkan menerapkan upaya intervensi dilingkungan Pengadilan


Agama sepanjang sengketa harta bersama adalah jika gugat intervensi
didalilkan atau alasan harta yang di sengketakan sebagian atau seluruhnya
bukan harta bersama para pihak, tetapi harta bersama penggugat intervensi
dengan salah seorang pihak penggugat intervensi,. Kasus yang seperti ini
biasa terjadi dalam perkawinan poligami.

Intervensi Terjadi  Dalam Sengketa Wakaf :

Pasal 218 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan :

1 Pihak yang rnewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan


tegas kepada nadzir dihadapan Pejabat Pembuat Akte Ikrar Wakaf
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (6), yang kemudian
menerangkannya dalam bentuk ikrar wakafdengan disaksikan oleh sekurang-
kurangnya oleh dua orang saksi.

2. Dalam keadaan tertentu penyimpangan dari ketentuan dimaksud dalam


ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat
persetujuan Menteri Agama.

Pasal di atas dapat dipahami bahwa penghibah (pewakaf) harus mengikrarkan


wakafnya dihadapan Pejabat Pembuat Akte Ikrar Wakaf (PPAIW) dan
disaksikan sekurang-kurangnya dua orang saksi, jika tidak ada ikrar didepan
PPAIW, maka terbuka kemungkinan penggugat intervensi mengajukan
gugatan intervensi karena tidak ada ikrar didepan PPAIW. Sehubungan
dengan masalah di atas Pasal 29 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan:

1. Nadzir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) terdiri dari
perorangan yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
2. Warga Negara Indonesia
3. Beragama Islam
4. Sehat jasmani dan rohani
5. Sudah Dewasa
6. Tidak dibawah pengampuan
7. Bertempat tinggal dikecamatan letak benda yang diwakafkan
8. Jika berbentuk Badan Hukum, maka Nadzir harus memenuhi
persyaratan sebagai herikut
9. Bagian Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
10. Mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letak benda yang
diwakafkannya.
11. Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada
Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat setelah mendengar saran
dari Camat dan Majelis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan
pengesahan.

Dari Pasal di atas maka bahwa syarat-syarat untuk menjadi Nadzir harus
dipenuhi agar dapat melaksanakan tugas sesuai hukum dan peraturan yang
berlaku seperti juga dalam Pasal 6,7 dan 8 Peraturan Pemerintah Nomor.28
Tahun 1977 dan Pasal 8,9,10 dan 11 Peraturan Menteri Agama R.I. nomor 1
tahun 1978. Jika Nadzir tidak memenuhi syarat sebagaimana telah diatur
dalam ketentuan Pasal 219 Kompilasi Hukum Islam , Peraturan Pemerintah
Nomor 28 tahun 1977 ,jo. Peraturan Menteri Agama R.I. nomor 1 Tahun 1978,
maka dimungkinkan penggugat intervensi dapat mengajukan gugatan
intervensi di Pengadilan Agama menolak atau mengabulkan gugat intervensi
dengan putusan sela :
Setelah penggugat intervensi mengajukan permohonan/gugatan kepada
Pengadilan Agama yang sedang memproses para pihak, maka Pengadilan
Agama kemudian memberitahukan pemanggilan mereka untuk menghadap di
Sidang pengadilan (Pasal 280RV). Permohonan dengan ii encantun ikan
identitas (Pasal 281 RV). selanjutnya, jika Hakim yang memutus permohonan
lit' memerintahkan para pihak untuk melanjutkan perkaranya, maka dalam
putusan yang sama itu ditentukan pula hari mereka hams menghadap di
muka persidangan untuk melanjutkan perkaranya itu (Pasal 282 RV). Pada
Pasal terakhir ini dapat disimpulkan bahwa untuk mengabulkan atau menolak
gugatan intervensi yaitu dengan menjatuhkan putusan sela, hal ini
dibenarkan oleh Malikamalt Agung dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas
Administrasi Pengadilan Buku II halaman 126-128. Putusan demikian ini
fungsi sebenarnya adalah untuk memperlancar pemeriksaan perkara sebelum
putusan akhir yang mengakhiri sengketa. Sekalipun diucapkan dalam
persidangan, namun hanya ditulis dalam Berita Acara .Dan putusan itu hanya
dapat dim iittakan Banding bersama putusan akhir.

Dalam masalah yang tersangkut dengan Pasal 86 ayat 2 Undang-undang


nomor 7 tahun 1989, maka Pasal itu harus terkait dengan ayat (1) sehingga
jika ada tuntutan pihak ketiga intervensi ,maka Pengadilan Agama menunda
terlebih dahulu perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang telah memperoleh
kekuatan hokum tetap tentang hal itu.

1. KESIMPULAN :

Dari uraian tersebut diatas, maka penulis berkesimpulan :

1. Upaya intervensi adalah pihak ketiga yang semula tidak turut sebagai
pihak dalam suatu perkara yang sedang berjalan pada proses
pemeriksaannya disidang Pengadilan, menerjunkan diri sebagai pihak
(penggugat intervensi) terutama untuk membela hak dan
kepentingannya sendiri, berhadapan penggugat dan tergugat semula.
2. Dalam intervensi telah dikenal 3 bentuk yaitu Tussenkomst, Voeging
dan Vrijwaring, Ketiga bentuk ini dimungkinkan yang paling banyak
terjadi di Pengadilan Agama adalah bentuk yang pertama. Ketiganya
tidak dikenal baik dalam HIR maupun RBg. Akan tetapi berdasar Pasal
279 dan 70 RV (Reglement of de Rechtvoordering) dan juga adanya
kebutuhan praktek yang berlaku di Pengadilan.
3. Penggugat intervensi mengajukan gugatan intervensi kepada ketua
Pengadilan Agama yang memuat secara lengkap  identitas penggugat
intervensi, melawan penggugat dan tergugat semula, mencantumkan
nomor perkara dan tanggal gugatan semula, menguraikan posita dan
petitum gugatan intervensi  dan penggugat intervensi membayar panjar
biaya Selanjutnya akan diproses melalui Penetapan majelis hakim,
penetapan hari sidang, dipanggil untuk sidang dan seterusnya.
4. Upaya Intervensi di Pengadilan Agama terbatas pada hal-hal yang bukan
termasuk sengketa milik , pembatasannya dapat dilihat dari Pasal 50
Undang-undang nomor 7 tahun 1989, sehinga upaya intervensi di
Pengadilan Agama dimungkinkan jika penggugat intervensi mempunyai
hak dan membela kepentingannya sendiri berhadapan dengan para
pihak baik dalam masalah warisan, wasiat, hibah, wakaf, shodaqoh dan
ekonomi syari’ah atau masalah harta bersama yang tidak tersangkut
sengketa milik atau keperdataan lain.
5. Gugatan intervensi dapat dikabulkan atau ditolak oleh pengadilan
(Hakim) dengan putusan

Anda mungkin juga menyukai