PENGERTIAN INTERVENSI
Secara lengkap upaya intervensi ini telah disebutkan oleh Pasal 279 RV, yaitu:
Barang siapa mempunyai kepentingan dalam suatu perkara perdata yang
sedang berjalan antara pihak-pihak lain dapat menuntut untuk
menggabungkan diri atau campur tangan.
Dari beberapa pendapat di atas dan juga berpedoman pada Pasal 279 RV,
akan menjadi jelas bahwa intervensi dapat terjadi di Pengadilan Agama dalam
tingkat selama proses perkara, sehingga dalam kasus yang demikian
kedudukan para pihak-pihak menjadi sebagai berikut :
1. BENTUK-BENTUK INTERVENSI
1. Tussenkomst (menengahi) :
Ciri-ciri tussenkomst:
1. Sebagai pihak ketiga yang berkepentingan dan berdiri sendiri.
2. Adanya kepentingan untuk mencegah timbulnya kerugian, atau
kehilangan haknya yang mungkin terancam.
3. Melawan kepentingan kedua belah pihak yang berperkara.
4. Dengan memasukkan tuntutan terhadap pihak-pihak yang berperkara
(Penggabungan tuntutan).
Keuntungan tussenkomst:
Sebagai contoh :
Seseorang yang menjadi pemilik suatu barang, tetapi barang itu sedang
diperkarakan sebagai barang warisan oleh penggugat dan tergugat. Atau
dalam perkara harta bersama dalam perkawinan oleh suami isteri yang sedang
dalam proses perkara perceraian, masuk pihak ketiga yang mempertahankan
barang itu adalah miliknya, bukan harta bersama antara suami istri yang
sedang berperkara itu.
2. Voeging (menengahi).
Yang disebut dengan voeging yaitu suatu aksi hukum oleh pihak
yang berkepentingan dengan jalan memasuki perkara perdata yang sedang
berlangsung antara penggugat dan tergugat untuk bersama-sama tergugat
untuk menghadapi penggugat. Perbedaannya dengan tussenkomst adalah
keberpihakannya ditujukan langsung kepada pihak tergugat, misalnya :
Misalnya seorang debitur (berhutang) masuk ke dalam proses yang diajukan
kontra borg. Debitur itu dapat menolong penjaminnya karena ia
berkepentingan agar penjamin itu tidak dihukum.
Ciri-ciri voeging:
3. Vrijwaring (penarikan)
Vrijwaring atau penarikan pihak ketiga dalam perkara adalah suatu aksi
hukum yang dilakukan oleh tergugat untuk menarik pihak ketiga dalam
perkara guna menjamin kepentingan tergugat menghadapi gugatan penggugat.
Tujuan salah satu pihak (tergugat) menarik pihak ketiga adalah agar
pihak ketiga yang ditarik dalam sengketa yang sedang berlangsung akan
membebaskan pihak yang memanggilnya (tergugat) dari kemungkinan akibat
putusan tentang pokok perkara.
Dari tiga bentuk intervensi di atas, yang paling tepat dan banyak di
Pengadilan Agama adalah bentuk yang pertama. Sebab pihak ketiga itu harus
berkepentingan , artinya kepentingannya akan terganggu jikalau ia tidak
mencampuri proses, atau dengan mencampuri proses itu ia dapat
mempertahankan hak-haknya..
Sehubungan dengan intervensi ini menurut aliran pikiran adat, Hakim wajib
menyelesaikan perkara yang diadili sehingga perkara itu tidak akan timbul
kembali. Dengan tepat Van Vollen hoven menulis bahwa perkara harus
diakhiri "Uitgemaaht" sesuatu perkara belum dianggap fit jikalau putusan
Hakim hanya mengenai penggugat dan tergugat saja dan tidak mengenai
orang-orang lainnya yang tersangkut juga. Aliran fikiran adat tersebut
dibenarkan oleh Ter Haar dengan pendapatnya bahwa Hakim harus diberi hak
untuk memanggil seorang pihak ketiga untuk ikut serta didalam proses (ikut
berperkara) sehingga hakim dapat memberi putusan terhadap segala orang
yang berkepentingan.
Pasal 86 ayat (2) Undang-undang nomor 7 tahun 1989: Jika ada tuntutan
pihak ketiga maka pengadilan menunda lebih dahulu perkara harta bersama
tersebut sampai ada putusan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tentang hal itu. Jadi tidak
berbeda dengan sengketa warisan dan hibah, jika harta bersama yang
disengketakan sebagian atau selumhnya adalah milik penggugat intervensi,
sebagian atau seluruhnya harta bersama telah dibeli penggugat intervensi,
sebagian atau seluruhnya telah diagunkan atau di hipotikkan penggugat
intervensi. Dan gambaran diatas pihak ketiga tidak dapat mempergunakan
upaya intervensi di Pengadilan Agama, karena tersangkut dengan sengketa
milik. Demikian ini dapat di pahami dari Pasal 86 ayat (2) Undang-undang
nomor 7 tahun 1989 yang menurut M Yahya Harahap, SH terdapat tiga
patokan dalam memahami Pasal diatas yaitu :
1. Nadzir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) terdiri dari
perorangan yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
2. Warga Negara Indonesia
3. Beragama Islam
4. Sehat jasmani dan rohani
5. Sudah Dewasa
6. Tidak dibawah pengampuan
7. Bertempat tinggal dikecamatan letak benda yang diwakafkan
8. Jika berbentuk Badan Hukum, maka Nadzir harus memenuhi
persyaratan sebagai herikut
9. Bagian Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
10. Mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letak benda yang
diwakafkannya.
11. Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada
Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat setelah mendengar saran
dari Camat dan Majelis Ulama Kecamatan untuk mendapatkan
pengesahan.
Dari Pasal di atas maka bahwa syarat-syarat untuk menjadi Nadzir harus
dipenuhi agar dapat melaksanakan tugas sesuai hukum dan peraturan yang
berlaku seperti juga dalam Pasal 6,7 dan 8 Peraturan Pemerintah Nomor.28
Tahun 1977 dan Pasal 8,9,10 dan 11 Peraturan Menteri Agama R.I. nomor 1
tahun 1978. Jika Nadzir tidak memenuhi syarat sebagaimana telah diatur
dalam ketentuan Pasal 219 Kompilasi Hukum Islam , Peraturan Pemerintah
Nomor 28 tahun 1977 ,jo. Peraturan Menteri Agama R.I. nomor 1 Tahun 1978,
maka dimungkinkan penggugat intervensi dapat mengajukan gugatan
intervensi di Pengadilan Agama menolak atau mengabulkan gugat intervensi
dengan putusan sela :
Setelah penggugat intervensi mengajukan permohonan/gugatan kepada
Pengadilan Agama yang sedang memproses para pihak, maka Pengadilan
Agama kemudian memberitahukan pemanggilan mereka untuk menghadap di
Sidang pengadilan (Pasal 280RV). Permohonan dengan ii encantun ikan
identitas (Pasal 281 RV). selanjutnya, jika Hakim yang memutus permohonan
lit' memerintahkan para pihak untuk melanjutkan perkaranya, maka dalam
putusan yang sama itu ditentukan pula hari mereka hams menghadap di
muka persidangan untuk melanjutkan perkaranya itu (Pasal 282 RV). Pada
Pasal terakhir ini dapat disimpulkan bahwa untuk mengabulkan atau menolak
gugatan intervensi yaitu dengan menjatuhkan putusan sela, hal ini
dibenarkan oleh Malikamalt Agung dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas
Administrasi Pengadilan Buku II halaman 126-128. Putusan demikian ini
fungsi sebenarnya adalah untuk memperlancar pemeriksaan perkara sebelum
putusan akhir yang mengakhiri sengketa. Sekalipun diucapkan dalam
persidangan, namun hanya ditulis dalam Berita Acara .Dan putusan itu hanya
dapat dim iittakan Banding bersama putusan akhir.
1. KESIMPULAN :
1. Upaya intervensi adalah pihak ketiga yang semula tidak turut sebagai
pihak dalam suatu perkara yang sedang berjalan pada proses
pemeriksaannya disidang Pengadilan, menerjunkan diri sebagai pihak
(penggugat intervensi) terutama untuk membela hak dan
kepentingannya sendiri, berhadapan penggugat dan tergugat semula.
2. Dalam intervensi telah dikenal 3 bentuk yaitu Tussenkomst, Voeging
dan Vrijwaring, Ketiga bentuk ini dimungkinkan yang paling banyak
terjadi di Pengadilan Agama adalah bentuk yang pertama. Ketiganya
tidak dikenal baik dalam HIR maupun RBg. Akan tetapi berdasar Pasal
279 dan 70 RV (Reglement of de Rechtvoordering) dan juga adanya
kebutuhan praktek yang berlaku di Pengadilan.
3. Penggugat intervensi mengajukan gugatan intervensi kepada ketua
Pengadilan Agama yang memuat secara lengkap identitas penggugat
intervensi, melawan penggugat dan tergugat semula, mencantumkan
nomor perkara dan tanggal gugatan semula, menguraikan posita dan
petitum gugatan intervensi dan penggugat intervensi membayar panjar
biaya Selanjutnya akan diproses melalui Penetapan majelis hakim,
penetapan hari sidang, dipanggil untuk sidang dan seterusnya.
4. Upaya Intervensi di Pengadilan Agama terbatas pada hal-hal yang bukan
termasuk sengketa milik , pembatasannya dapat dilihat dari Pasal 50
Undang-undang nomor 7 tahun 1989, sehinga upaya intervensi di
Pengadilan Agama dimungkinkan jika penggugat intervensi mempunyai
hak dan membela kepentingannya sendiri berhadapan dengan para
pihak baik dalam masalah warisan, wasiat, hibah, wakaf, shodaqoh dan
ekonomi syari’ah atau masalah harta bersama yang tidak tersangkut
sengketa milik atau keperdataan lain.
5. Gugatan intervensi dapat dikabulkan atau ditolak oleh pengadilan
(Hakim) dengan putusan