Anda di halaman 1dari 18

Tugas Hukum Jaminan Sosial

Nama : Dimas Abimanyu Sasono


NIM : 2010622019
BAB II

A. Sejarah Negara Welfare State

Menurut kamus online Merriam-Webster Dictionary, kata ‘welfare’ diartikan


sebagai ‘the state of being happy,healthy, or successful’ . Dalam terjemahan bebas, kata
‘welfare’ mengandung beberapa makna, yakni keadaan bahagia, sehat, atau sukses.
Welfare state merupakan institusi negara dimana kekuasaan yang dimilikinya (dalam
hal kebijakan ekonomi dan politik) ditujukan untuk memastikan setiap warga negara
beserta keluarganya memperoleh pendapatan minimum sesuai dengan standar
kelayakan. Memberikan layanan sosial bagi setiap permasalahan yang dialami warga
negara (baik dikarenakan sakit, tua, atau menganggur), serta kondisi lain semisal krisis
ekonomi. Memastikan setiap warga negara mendapatkan hak-haknya tanpa
memandang perbedaan status, kelas ekonomi, dan perbedaan lain.
Konsep kesejahteraan (welfare) sering diartikan berbeda oleh orang dan negara
yang berbeda. Merujuk pada Spicker, Midgley, Tracy dan Livermore, Thompson, dan
Suharto, pengertian kesejahteraan sedikitnya mengandung empat makna; Pertama,
sebagai kondisi sejahtera (wellbeing). Pengertian ini biasanya merujuk pada istilah
kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material
dan nonmaterial. Midgley, mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai “… a condition or
state of human well-being”. Kedua, sebagai pelayanan sosial, di Inggris, Australia, dan
Selandia Baru, pelayanan sosial umumnya mencakup lima bentuk, yakni jaminan sosial
(social security), pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan pelayanan sosial
personal (personal social services). Ketiga, sebagai tunjangan sosial yang, khususnya di
Amerika Serikat (AS), diberikan kepada orang miskin Karena sebagian besar penerima
welfare adalah orang-orang miskin, cacat, pengangguran, keadaan ini kemudian
menimbulkan konotasi negatif pada istilah kesejahteraan, seperti kemiskinan,
kemalasan, ketergantungan, yang sebenarnya lebih tepat disebut “social illfare”
ketimbang “social welfare”. Keempat, sebagai proses atau usaha terencana yang
dilakukan oleh perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan
pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan (pengertian pertama) melalui
pemberian pelayanan sosial (pengertian kedua) dan tunjangan sosial (pengertian
ketiga). Negara kesejahteraan sangat erat kaitannya dengan kebijakan sosial (social
policy) yang di banyak negara mencakup strategi dan upaya-upaya pemerintah dalam
meningkatkan kesejahteraan warganya, terutama melalui perlindungan sosial ( social
protection) yang mencakup jaminan sosial (baik berbentuk bantuan sosial dan asuransi
sosial), maupun jaring pengaman sosial (social safety nets).
Welfare state diperkenalkan pada abad 18 melalui gagasan Jeremy Bentham
(1748-1832), bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menjamin kepada
rakyatnya tentang kebahagiaan yang sebesar-besarnya (The greatest happines/
welfare, of the greatest number of their citizen). Jeremy Bentham dalam konsepnya
sering menggunakan istilah “utility” (kegunaan) untuk menjelaskan konsep kebahagiaan
atau kesejahteraan, berdasarkan prinsip utilitarianisme yang dikembangkan Jeremy
Bentham bahwa suatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra (seluasluasnya)
adalah sesuatu yang baik, namun sebaliknya bahwa sesuatu yang menimbulkan sakit
adalah sesuatu yang not good (buruk), oleh karena itu pemerintah harus melakukan
aksi (kebijakan dan program) yang selalu diarahkan untuk meningkatkan kebahagiaan
kepada rakyat sebanyak mungkin, gagasan Jeremy Bentham untuk mewujudkan
welfare state berkaitan langsung dengan reformasi hukum, peranan konstitusi dan
pengembangan kebijakan sosial. Melalui pemikian Jeremy Bentham tersebut ia dikenal
sebagai “Bapak Kesejahteraan Negara” (The Father of welfare state).

B. Konsep Negara Welfare State

Sebenarnya gagasan tentang Negara Kesejahteraan (welfare state) bukanlah


suatu gagasan yang baru. Ide tentang Negara Kesejahteraan (welfare state) sudah lahir
sejak sekitar abad ke-18. Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith (2006), ide dasar
negara kesejahteraan beranjak dari abad ke- 18 ketika Jeremy Bentham (1748-1832)
mempromosikan gagasan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk
menjamin the greatest happiness (atau welfare) of the greatest number of their
citizens. Bentham menggunakan istilah ‘ utility’ (kegunaan) untuk menjelaskan konsep
kebahagiaan atau kesejahteraan. Berdasarkan prinsip utilitarianisme yang ia
kembangkan, Bentham berpendapat bahwa sesuatu yang dapat menimbulkan
kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik. Sebaliknya, sesuatu yang menimbulkan
sakit adalah buruk. Menurutnya, aksi-aksi pemerintah harus selalu diarahkan untuk
meningkatkan kebahagian sebanyak mungkin orang. Gagasan Bentham mengenai
reformasi hukum, peranan konstitusi dan penelitian sosial bagi pengembangan
kebijakan sosial membuat ia dikenal sebagai “bapak negara kesejahteraan” (father of
welfare states)
Dalam garis besar, negara kesejahteraan menunjuk pada sebuah model ideal
pembangunan yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian
peran yang lebih penting kepada negara dalam memberikan pelayanan sosial secara
universal dan komprehensif kepada warganya. Di Inggris, konsep welfare state
dipahami sebagai alternatif terhadap the Poor Law yang kerap menimbulkan stigma,
karena hanya ditujukan untuk memberi bantuan bagi orang-orang miskin (Suharto,
1997; Spicker, 2002)1. Berbeda dengan sistem dalam the Poor Law, negara
kesejahteraan difokuskan pada penyelenggaraan sistem perlindungan sosial yang
melembaga bagi setiap orang sebagai cerminan dari adanya hak kewarganegaraan
(right of citizenship), di satu pihak, dan kewajiban negara (state obligation), di pihak
lain. Negara kesejahteraan ditujukan untuk menyediakan pelayanan-pelayanan sosial
bagi seluruh penduduk – orang tua dan anak-anak, pria dan wanita, kaya dan miskin-,
sebaik dan sedapat mungkin.
Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, negara adalah organisasi
pokok dari kekuasaan politik. Negara adalah alat (agency) dari masyarakat yang
mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam
masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Manusia
hidup dalam suasana kerjasama, sekaligus suasana antagonis dan penuh pertentangan.
Negara adalah organisasi yang dalam sesuatu wilayah dapat memaksakan
kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat
menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan Bersama itu. Negara menetapkan cara-cara
dan batas-batas sampai dimana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama,
baik oleh individu, golongan atau asosiasi, maupun oleh negara sendiri. Dengan
demikian negara dapat mengintegrasikan dan membimbing kegiatan- kegiatan sosial
dari penduduknya ke arah tujuan bersama.
Negara menentukan bagaimana kegiatan- kegiatan asosiasi-asosiasi
kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada tujuan nasional.
Pengendalian ini dilakukan berdasarkan sistem hukum dan dengan perantaraan
pemerintah beserta segala alat perlengkapannya. Kekuasaan negara mempunyai
organisasi yang paling kuat dan teratur, maka dari itu semua golongan atau asosiasi
yang memperjuangkan kekuasaan harus dapat menempatkan diri dalam rangka ini
(Budiardjo, 2008: 48).
Negara dapat dipandang sebagai asosiasi manusia yang hidup dan bekerjasama
untuk mengejar beberapa tujuan bersama. Dapat dikatakan bahwa tujuan terakhir
setiap negara ialah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya (bonum publicum,
common good, common wealth). Menurut Roger H. Soltau (Budiardjo, 2008:54) tujuan
negara adalah memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya
ciptanya sebebas mungkin (The freest possible development and creative self-
expression of its members). Sedangkan menurut Harold J. Laski (Budiarjo, 2008: 55)
menyatakan bahwa tujuan negara adalah menciptakan keadaan di mana rakyat dapat
mencapai keinginan-keinginan mereka secara maksimal (Creation of those conditions
under which the members of the state may attain the maximum satisfaction of their
desires).

C. Ciri Negara Welfare State

Ide dasar konsep negara kesejahteraan berangkat dari upaya negara untuk
mengelola semua sumber daya yang ada demi mencapai salah satu tujuan negara yaitu
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Cita-cita ideal ini kemudian diterjemahkan
dalam sebuah kebijakan yang telah dikonsultasikan kepada publik sebelumnya dan
kemudian dapat dilihat apakah sebuah negara betul-betul mewujudkan kesejahteraan
warga negaranya atau tidak" Negara modern adalah personifikasi dari tata hukum
Artinya, negara dalam segala akifitasnya senantiasa didasarkan pada hukum. Negara
dalam konteks ini lazim disebut sebagai negara hukum. Dalam perkembangan
pemikiran mengenai negara hukum, dikenal dua kelompok negara hukum, yakni negara
hukum formal dan negara hukum materiil. Negara hukum materiil ini dikenal juga
dalam istilah Welfarestate atau negara kesejahteraan. Menurut Jimly Asshiddiqie Ide
negara kesejahteraan ini merupakan pengaruh dari faham sosialis yang berkembang
pada abad ke-19, yang populer pada saat itu sebagai simbol perlawanan terhadap
kaum penjajah yang Kapitalis- Liberalis.
Melihat pandangan mengenai social welfare tersebut, dapat ditarik kesimpulan
bahwa bidang social welfare mencakup semangat umum untuk berusaha dengan dalil-
dalilnya dan adanya jaminan keamanan, sehingga dapat dibuktikan bahwa ketertiban
hukum harus didasarkan pada suatu skala nilai-nilai tertentu, yang tidak dirumuskan
dengan rumus-rumus yang mutlak akan tetapi dengan memperhatikan kepentingan-
kepentingan masyarakat yang berubah-ubah mengikuti perubahan zaman, keadaan,
dan perubahan keyakinan bangsa.

D. Landasan Filosofis Negara Welfare State

Kunci pokok dalam negara kesejahteraan adalah isu mengenai jaminan


kesejahteraan rakyat oleh negara. Mengenai hal ini, Jurgen Habermas berpendapat
bahwa jaminan kesejahteraan seluruh rakyat merupakan hal pokok bagi negara
modern. Selanjutnya menurut Habermas, jaminan kesejahteraan seluruh rakyat yang
dimaksud diwujudkan dalam perlindungan atas The risk of unemployment, accident,
ilness, old age, and death of the breadwinner must be covered largely through welfare
provisions of the state. Selanjutnya C.A. Kulp dan John W, resiko-resiko tersebut
dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang berisiko fundamental dan
kelompok berisiko khusus.
Dengan demikian, dalam hakekatnya negara kesejahteraan dapat digambarkan
keberadaannya sebagai pengaruh dari hasrat manusia yang mengharapkan terjaminnya
rasa aman, ketentraman, dan kesejahteraan agar tidak jatuh ke dalam kesengsaraan.
Alasan tersebut dapat digambarkan sebagai motor penggerak sekaligus tujuan bagi
manusia untuk senantiasa mengupayakan berbagai cara demi mencapai kesejahteraan
dalam kehidupannya. Sehingga ketika keinginan tersebut telah dijamin dalam konstitusi
suatu negara, maka keinginan tersebut harus dijamin dan negara wajib mewujudkan
keinginan tersebut. Dalam konteks ini, negara ada dalam tahapan sebaga negara
kesejahteraan
BAB III
INDONESIA SEBAGAI WELFARE STATE
(NEGARA KESEJAHTERAAN)

A. Prinsip Welfare State di Indonesia

Negara Kesatuan Republik Indonesia juga menganut faham Negara


Kesejahteraan. Hal ini ditegaskan oleh para Perintis Kemerdekaan dan para Pendiri
Negara Kesatuan Republik Indonesia bahwa negara demokratis yang akan didirikan
adalah “Negara Kesejahteraan” (walvaarstaat) bukan “Negara Penjaga Malam”
(Nachtwachterstaat). alam pilihan terkait konsepsi negara kesejahteraan Indonesia ini,
Moh. Hatta menggunakan istilah “Negara Pengurus”. Prinsip Welfare state dalam UUD
1945 dapat ditemukan rinciannya dalam beberapa pasal, terutama yang berkaitan
dengan aspek sosial ekonomi. Sejak Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945
dan disahkannya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sebagai pijakan Negara untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Sebuah
dasar Negara yang dibuat atas dasar semangat dan kesadaran untuk membangun
suatu Negara yang demokrasi serta menciptakan tatanan masyarakat berkeadilan
sosial, berkemakmuran dan sejahtera bersama-sama. Sebagaimana diamanatkan para
perumus atau pendiri Negara (the founding fathers) Negara Kesatuan Republik
Indonesa adalah Negara kesejahteraan yang dicantumkan dalam pembukaan UUD NRI
1945, khususnya pada alinea ke IV dan secara operasonal diformulaskan dalam Pasal
33 UUD NRI 1945. Untuk itu Soekarno mengajukan lima prinsip Philosofisce groundslag
bagi Indonesa yaitu:
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasional atau Perikemanusiaan
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang berbudaya

Menurut Soekarno lima prinsip tersebut bukanlah Panca Dharma, tetap Pancasila
sebagaimana atas petunjuk dair ahli bahasa.30 Setelah melalui berbagai proses
akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1945 disahkannya UUD NRI 1945 yang tersusun
sebaga berkut: pertama, Pembukaan (Preambule) kedua, batang tubuh (the body of
the constitusion), ketiga, bagan penutup, aturan peralihan dan aturan tambahan.
Pemikran mengenai negara kesejahteraan dalam konsep negara hukum Pancasila,
sejalan dengan pemikiran Padmo Wahjono. Pemikirannya mengenai Negara Hukum
Pancasila, bertolak pada asas kekeluargaan sebagaimana terkandung dalam Pasal 33
UUD NRI 1945 ayat (1).32 Dalam pemikiran tersebut jika di telaah, maka salah satu ciri
dari asas kekeluargaan adalah mengutamakan kemakmuran rakyat dan kemakmuran
indvidu sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945. Dalam
konteks ini maka Indonesia sebagai Negara Hukum Pancasila juga melaksanakan
konsep-konsep welfare state yang salah satu tujuannya menyejahterakan rakyat dalam
mewujudkan Negara Hukum Modern yaitu konsep Negara Kesejahteraan (welfare
state). Konsep Negara Kesejahteraan menempatkan bestuurszorg functie sebagai fungsi
yang pertama bagi negara. Fungsi zorgen membebankan kepada Negara untuk
memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya dan seluas- luasnya kepada masyarakat,
sehingga semua lapisan masyarakat dapat menikmati kesejahteraan dalam
kehidupannya.

B. Konsep Negara Kesejahteraan dalam Pancasila dan UUD 1945

Sejak disahkan secara konstitusional pada 18 Agustus 1945, Pancasila dapat


dikatakan sebagai dasar (falsafah) negara, pandangan hidup, ideologi nasional, dan
pemersatu dalam peri kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Secara
singkat, Pancasila adalah dasar statis yang mempersatukan sekaligus bintang penuntun
yang dinamis, yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuanya. Dalam posisinya
seperti itu, Pancasila merupakan sumber jati diri, kepribadian, moralitas, dan haluan
keselamatan bangsa. Dengan demikian, negara Indonesia memiliki landasan moralitas
dan haluan kebangsaan yang jelas dan visioner. Sebagai ideologi negara, pancasila
mempunyai peranan penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila
juga mempunyai dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang jika dipahami,
dihayati, dipercayai, dan diamalkan secara konsisten dapat menopang cita-cita luhur
peradaban bangsa. Pancasila, yang terdiri dari lima sila tersusun secara hierarkis dan
sistematis
yang saling menopang demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat
Indonesia.
Sila pertama, “Ketuhanan yang maha Esa” nilai-nilai ketuhanan sebagai sumber
etika dan spiritualitas dianggap penting sebagai fundamen etik kehidupan bernegara.
Berkaitan dengan hal ini Indonesia bukanlah negara sekuler yang ekstrim yang
memisahkan antara agama dan negara. Negara diharapkan dapat melindungi dan
mengembangkan kehidupan beragama, sementara agama diharapkan mampu
memainkan peran publik yang berkaitan dengan penguatan etika sosial. Artinya, peran
agama dan negara tidak perlu dipisahkan melainkan dibedakan. Dengan syarat bahwa
keduanya saling mengerti batas otoritas masing-masing, yang dalam bahasa Latif
disebut dengan istilah “Toleransi kembar” (twin tolerations).
Sila kedua, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”nilai-nilai kemanusiaan
universal yang dari hukum tuhan, hukum alam, dan sifatsifat sosial manusia dianggap
penting sebagai fundamen etika politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia.
Landasan etik sebagai prasayarat persaudaraan universal ini adalah “adil” dan
“beradab”. Dalam mengembangkan kemanusiaan secara adil dan beradab itulah
menempatkan visi Indonesia dalam perpaduan antara idealisme politik dan realisme
politik yang berorientasi kepentingan nasional dan hubungan internasional.
Sila ketiga, “Persatuan Indonesia” nila-nilai etis kemanusiaan itu harus terlebih
dahulu mengakar kuat dalam lingkungan pergaulan kebangsaan yang lebih dekat
sebelum menjangkau pergaulan dunia yang lebih jauh. Indonesia adalah negara
persatuan kebangsaan yang mengatasi paham golongan dan perseorangan. Kesatuan
masyarakat Indonesia ini dikelola berdasarkan konsepsi kebangsaan yang
mengekspresikan persatuan dalam keragaman dan keragaman dalam persatuan, yang
dalam slogan negara dinyatakan dalam ungkapan “Bhineka Tunggal Ika”. Disisi lain ada
wawasan pluralisme yang menerima dan memberi ruang hidup bagi aneka perbedaan,
seperti aneka keyakinan, budaya dan bahasa daerah, dan unit-unit politik tertentu
sebagai warisan budaya. Dengan demikian Indonesia memiliki prinsip dan visi
kebangsaan yang kuat yang mampu mempertemukan kemajemukan masyarakat,
keragaman komunitas, agar tidak tercerabut dari akar tradisi sejarahnya masing-
masing. Konsepsi ini menyerupai perspektif “etnosimbolis”, yang memadukan perspektif
modernis dengan perspektif primordialis.
Sila keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan” alam pemikiran pancasila nilai ketuhanan, nilai
kemanusiaan, dan nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus
menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam permusyawaratan yang dimpin oleh hikmat
kebijaksanaan. Dalam visi demokrasi permusyawaratan, demokrasi memperoleh
kesejatiaannya dalam penguatan daulat rakyat. Dalam prinsip musyawarah-mufakat,
keputusan tidak didikte oleh golongan mayoritas ( mayokrasi) atau kekuatan minoritas
elite politik dan pengusaha (minorokrasi), melainkan di pimpin oleh
hikmat/kebijaksanaan yang memuliakan daya-daya rasionalitas deliberatif dan kearifan
warga tanpa pandang bulu.
Sila kelima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” menurut alam
pemikiran pancasila, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai dan cita kebangsaan,
serta demokrasi permusyawaratan itu memperoleh kepenuhan artinya sejauh dapat
mewujudkan keadilan sosial. Di satu sisi, perwujudan keadilan sosial harus
mencerminkan imperatif keempat nilai pada sila lainnya. Disisi lain, otensitas
pengalaman sila-sila pancasila bisa ditakar dari perwujudan keadilan sosial dalam
perikehidupan kebangsaan. Dalam visi keadilan sosial menurut Pancasila semua hendak
di seimbangkan pada 2011 pemerintah mengambil momentum pengesahan UU BPJS No
24 Tahun 2011 dimana jaminan sosial diselenggarakan dalam satu kesatuan lembaga
(tidak parsial) dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Skema ini dekat dengan
aliran universal welfare state, dimana program menjangkau keseluruh warga negara
dan cakupan programnya yang komprehensif. Sementara kecenderungan rezim social
insurance welfare state juga lekat dengan masyarakat kita dimana peran keluarga
menjadi tumpuan dari risiko-risiko kehilangan pendapatan baik yang bersifat tiba-tiba
(sakit, kecelakaan) maupun yang alamiah (pensiun).

C. Pelaksanaan Konsep Welfare State di Indonesia

Sebuah teori yang sejalan dengan dasar Negara Indonesia adalah teori Negara
Kesejahteraan (Welfare state). Teori yang menegaskan bahwa Negara yang
pemerintahannya menjamin terselenggaranya kesejahteraan rakyat. Dan untuk dapat
mewujudkan kesejahteraan rakyatnya harus didasarkan pada lima pilar kenegaraan,
yaitu: Demokrasi (Democracy), Penegakan Hukum (Rule of Law), Perlindungan Hak
Asasi Manusia (The Human Right Protection), Keadilan Sosial (Social Justice) dan Anti
Diskriminasi (Anti Discrimination). Teori Negara Kesejahteraan (Welfare state) tersebut
sering kali dimaknai berbeda oleh setiap orang maupun Negara. Namun, teori tersebut
secara garis besar setidaknya mengandung 4 (empat) makna, antara lain:
a. Sebagai kondisi sejahtera (well-being)
b. Sebagai pelayanan sosial, umumnya mencakup lima bentuk, yakni jaminan sosial
(social security), pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan pelayanan
sosial personal (personal social services);
c. Sebagai tunjangan sosial, kesejahteraan sosial yang diberikan kepada orang
miskin. Karena Sebagian besar penerima kesejahteraan adalah masyarakat
miskin, cacat, pengangguran yang kemudian keadaan ini menimbulkan konotasi
negatif pada istilah kesejahteraan, seperti kemiskinan, kemalasan,
ketergantungan, dan lain sebagainya;
d. Sebagai proses atau usaha terencana, sebuah proses yang dilakukan oleh
perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan
pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui pemberian
pelayanan sosial dan tunjangan sosial.

Pengertian tentang Negara Kesejahteraan (Welfare state) tidak dapat dilepaskan


dari empat definisi kesejahteraan di atas. Negara Kesejahteraan sangat erat kaitannya
dengan kebijakan sosial (social policy) yang dibanyak Negara mencakup strategi dan
upaya-upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan warganya, terutama
melalui perlindungan sosial (social protection) yang mencakup jaminan sosial (baik
berbentuk bantuan sosial dan asuransi sosial) maupun jaring pengaman sosial ( social
safety net).
Dengan kondisi tersebut, Pemerintah Indonesia berusaha melaksanakan dan
mewujudkan Negara Kesejahteraan (Welfare state) berdasarkan UUD 1945, melalui:
a. Sistem jaminan sosial, sebagai backbone program kesejahteraan;
b. Pemenuhan hak dasar warga Negara melalui pembangunan berbasis sumber
daya produktif perekonomian, khususnya kesehatan dan pendidikan, sebagai
penopang sistem jaminan sosial, menciptakan lapangan kerja secara luas
sebagai titik tolak pembangunan, dan menyusun kekuatan perekonomian melalui
koperasi sebagai bentuk badan usaha yang paling dominan dalam
perekonomian;
c. Pemerataan ekonomi yang berkeadilan sebagai hasil redistribusi produksi serta
penguasaan produksi secara bersama-sama melalui koperasi,
d. Reformasi birokrasi menciptakan pemerintahan yang kuat dan responsif sebagai
agent of development dan penyedia barang dan jasa publik secara luas, serta
pengelolaan sumber daya alam sebagai penopang Negara Kesejahteraan
(Welfare state) untuk menegakkan keadilan sosial.

Untuk dapat mencapai Kesejahteraan Negara (Welfare state), maka pencapaian


Kesejahteraan Sosial (Social Welfare) harus memaksimalkan potensi-potensi yang ada
agar dapat meminimalisir kesenjangan sosial, baik melalui pendekatan standart
kehidupan, peningkatan jaminan sosial serta akses terhadap kehidupan yang layak.
D. Praktik Negara Kesejahteraan Di Indonesia

Salah satu bentuk dari kebijakan sosial adalah bantuan sosial, bantuan sosial
merupakan bantuan yang dapat bersifat tunai maupun non tunai, ini biasanya ditujukan
bagi kelompok miskin dan rentan seperti janda dan yatim piatu. Skema pemberiannya
bersifat mean-tested, artinya penerimanya harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu
seperti yang ditetapkan oleh pemerintah. 38 Di Indonesia, pemerintah beberapa kali
pernah membuat kebijakan dalam bentuk bantuan sosial, misalnya dalam bentuk
beasiswa bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu, beras untuk rakyat miskin
(raskin), Jaring Pengaman Sosial (JPS) pada saat krisis ekonomi 1998, dan Bantuan
Langsung Tunai (BLT) atau BLSM (Bantuan Langsung Tunai Sementara) sebagai
kompensasi atas kenaikan harga BBM. Kebijakan sosial yang diberikan dalam skema
bantuan sosial biasanya bersifat ad hoc.
Indonesia sebenarnya telah menginisiasi kebijakan jaminan sosial sejak lama.
Dalam beberapa hal, kebijakan di masa Orba ini paralel dengan yang dilakukan oleh
negara-negara industry Asia Timur, terutama sejak Perang Dunia II sampai dengan
tahun 1980-an. Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan membentuk
corak negara kesejahteraan yang dalam literatur disebut sebagai negara kesejahteraan
produktivis atau developmentalis. Dalam model negara kesejahteraan ini, kebijakan
kesejahteraan sosial ditempatkan di bawah orientasi pertumbuhan ekonomi.
Penyediaan jaminan sosial tidak didasarkan pada prinsip kesetaraan sosial atau
redistribusi ekonomi, namun lebih pada investasi modal SDM demi produktivitas
ekonomi. Untuk itu negara hanya memberikan jaminan kesejahteraan bagi sekelompok
kecil pekerja yang bekerja di dalam sektor- sektor yang berperan penting dalam
menggenjot pertumbuhan seperti pegawai negeri, personel militer, pekerja industri
besar, dan guru. Sementara bagi mereka yang bekerja di sektor-sektor marjinal,
jaminan kesejahteraannya diserahkan kepada keluarga masing-masing.
Setelah krisis melanda Indonesia pada 1997 yang diikuti dengan pergantian
rezim dan proses demokratisasi setahun sesudahnya, semakin disadari bahwa skema
kebijakan sosial yang ada di Indonesia tidak mencukupi, baik bila dilihat dari jumlah
peserta, cakupan dan kualitas manfaat, maupun tata kelola. Untuk itu, mulai dilakukan
reformasi kebijakan dalam rangka untuk membangun sistem jaminan sosial yang lebih
bersifat sistemis dan inklusif. Legitimasi untuk melakukan reformasi tersebut
mendapatkan penguatan melalui amandemen UUD 1945 Pasal 28H ayat 3 (“Setiap
orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara
utuh sebagai manusia yang bermartabat”) dan Pasal 34 ayat 2 (“Negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”). MPR
juga telah menetapkan Ketetapan MPR-RI No. X/MPR-RI/2001 yang mengamanatkan
presiden membentuk sistem jaminan sosial yang terpadu dan komprehensif. pada tahun
2011 lalu dibentuklah UU 24/2011 tentang BPJS. Di dalamnya, ditentukan bahwa
penyelenggaraan jaminan sosial nasional akan dijalankan oleh dua BPJS, yakni BPJS
Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Untuk itu, dua BUMN, yaitu PT Askes dan PT
Jamsostek, akan bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan
mulai 1 Januari 2014 dengan status badan hukum publik. BPJS Ketenagakerjaanakan
menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan
pensiun, dan jaminan kematian bagi pekerja selambatnya 1 Juli 2015. Adapun BPJS
Kesehatan bertugas menyelenggarakan jaminan kesehatan per 1 Januari 2014 dengan
menerima pelimpahan peserta jaminan kesehatan dari Jamsostek, TNI/Polri, PNS,
Jamkesmas, dan Jamkesda. Selain melayani pekerja formal, BPJS Kesehatan juga akan
melayani pekerja informal dan penganggur. Bagi mereka yang tidak mampu mengiur,
pemerintahlah yang akan mengiuri. Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap hingga
pada 2019 diharapkan sudah melayani seluruh warganegara.
BAB IV
KEBIJAKAN KESEJAHTERAAN
SOSIAL DI INDONESIA

A. Kebijakan Negara dalam Penerapan Welfare State di Indonesia

Dalam gambaran besarnya Indonesia adalah negara kesejahteraan. Ini bukan


merupakan pembacaan yang ahistoris atau retrospektif karena sudah sejak masa-masa
persiapan kemerdekaan, para pendiri bangsa mencita- citakan terbentuknya negara
kesejahteraan di Indonesia. Cita-cita itu lalu kemudian diterjemahkan ke dalam sila
kelima Pancasila “Keadilan sosial bagi seluruh Indonesia” dan beberapa pasal dalam
konstitusi, di antaranya Pasal 27 (2), 31, 33, dan 34. Prinsip negara kesejahteraan
diterima secara bulat, baik oleh anggota BPUPKI maupun anggota PPKI yang bersidang
pada 18 Agustus 1945. Adapun kebijakan yang diterapkan sebagai berikut:

1. Kebijakan Ketenagakerjaan
Pasal 27 ayat 2: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak. Kebijakan ketenagakerjaan merupakan kebijakan yang paling utama
dalam negara kesejahteraan Pemerintah tidak hanya berkewajiban untuk
menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga negara di satu sisi, disisi lain
lapangan pekerjaan yang disediakan pemerintah harus mampu
mensejahterakan.
2. Kebijakan Pendidikan
Pasal 31 terdiri dari 4 ayat berikut: (1) setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan; (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya; (3) pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang; (4) negara
memperioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen
dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan
dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan Pendidikan
nasional.
3. Kebijakan Ekonomi
Sebelum diamandemen dengan menambahkan dua ayat yang merupakan
pendetailan dari ayat asli sehingga pada hemat penulis tidak mengubah roh yang
terkandung di dalamnya, Pasal 33 terdiri dari tiga ayat berikut: (1) perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) cabang-
cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi dan air dan kekayaan
alamyang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
4. Kebijakan Sosial
Setelah krisis melanda Indonesia pada 1997 yang diikuti dengan pergantian
rezim dan proses demokratisasi setahun sesudahnya, semakin disadari bahwa
skema kebijakan sosial yang ada di Indonesia tidak mencukupi, baik bila dilihat
dari jumlah peserta, cakupan dan kualitas manfaat, maupun tata kelola. Untuk
itu, mulai dilakukan reformasi kebijakan dalam rangka untuk membangun sistem
jaminan sosial yang lebih bersifat sistemis dan inklusif. Legitimasi untuk
melakukan reformasi tersebut mendapatkan penguatan melalui amandemen UUD
1945 Pasal 28H ayat 3 “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang
memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat” dan Pasal 34 ayat 2 “Negara mengembangkan sistem jaminan
sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan
tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. MPR juga telah
menetapkan Ketetapan MPR-RI No. X/MPR-RI/2001 yang mengamanatkan
presiden membentuk sistem jaminan sosial yang terpadu dan komprehensif.

Sebagai tindak lanjut terhadap amanat konstitusi tersebut, pemerintah kemudian


membentuk Tim Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada Maret 2001 yang
kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Tim SJSN pada April 2002 dengan tugas
yang lebih luas, antara lain membuat RUU SJSN dan melaporkannya kepada Presiden.

B. Kelembagaan di Indonesia dalam Penerapan Welfare State

1. Departemen Sosial, Departemen Sosial (Depsos) pertama kali dibentuk pada


tanggal 19 Agustus 1945. Fungsi Departemen sosial dengan sendirinya bersifat
kuratif. Pelayanan, Perlindungan, dan Jaminan dilakukan pada golongan
masyarakat yang sudah mengalami kesulitan dan masalah-masalah sosial.
2. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Sebagai lembaga yang berwenang untuk
menjalankan dan mengelola SJSN, dibentuk badan penyelenggara jaminan sosial
(BPJS). Untuk itu, setelah melalui proses yang panjang dan berlarut-larut, pada
tahun 2011 lalu dibentuklah UU 24/2011 tentang BPJS. Di dalamnya, ditentukan
bahwa penyelenggaraan jaminan sosial nasional akan dijalankan oleh dua BPJS,
yakni BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan

Anda mungkin juga menyukai