Ide dasar konsep negara kesejahteraan berangkat dari upaya negara untuk
mengelola semua sumber daya yang ada demi mencapai salah satu tujuan negara yaitu
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Cita-cita ideal ini kemudian diterjemahkan
dalam sebuah kebijakan yang telah dikonsultasikan kepada publik sebelumnya dan
kemudian dapat dilihat apakah sebuah negara betul-betul mewujudkan kesejahteraan
warga negaranya atau tidak" Negara modern adalah personifikasi dari tata hukum
Artinya, negara dalam segala akifitasnya senantiasa didasarkan pada hukum. Negara
dalam konteks ini lazim disebut sebagai negara hukum. Dalam perkembangan
pemikiran mengenai negara hukum, dikenal dua kelompok negara hukum, yakni negara
hukum formal dan negara hukum materiil. Negara hukum materiil ini dikenal juga
dalam istilah Welfarestate atau negara kesejahteraan. Menurut Jimly Asshiddiqie Ide
negara kesejahteraan ini merupakan pengaruh dari faham sosialis yang berkembang
pada abad ke-19, yang populer pada saat itu sebagai simbol perlawanan terhadap
kaum penjajah yang Kapitalis- Liberalis.
Melihat pandangan mengenai social welfare tersebut, dapat ditarik kesimpulan
bahwa bidang social welfare mencakup semangat umum untuk berusaha dengan dalil-
dalilnya dan adanya jaminan keamanan, sehingga dapat dibuktikan bahwa ketertiban
hukum harus didasarkan pada suatu skala nilai-nilai tertentu, yang tidak dirumuskan
dengan rumus-rumus yang mutlak akan tetapi dengan memperhatikan kepentingan-
kepentingan masyarakat yang berubah-ubah mengikuti perubahan zaman, keadaan,
dan perubahan keyakinan bangsa.
Menurut Soekarno lima prinsip tersebut bukanlah Panca Dharma, tetap Pancasila
sebagaimana atas petunjuk dair ahli bahasa.30 Setelah melalui berbagai proses
akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1945 disahkannya UUD NRI 1945 yang tersusun
sebaga berkut: pertama, Pembukaan (Preambule) kedua, batang tubuh (the body of
the constitusion), ketiga, bagan penutup, aturan peralihan dan aturan tambahan.
Pemikran mengenai negara kesejahteraan dalam konsep negara hukum Pancasila,
sejalan dengan pemikiran Padmo Wahjono. Pemikirannya mengenai Negara Hukum
Pancasila, bertolak pada asas kekeluargaan sebagaimana terkandung dalam Pasal 33
UUD NRI 1945 ayat (1).32 Dalam pemikiran tersebut jika di telaah, maka salah satu ciri
dari asas kekeluargaan adalah mengutamakan kemakmuran rakyat dan kemakmuran
indvidu sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945. Dalam
konteks ini maka Indonesia sebagai Negara Hukum Pancasila juga melaksanakan
konsep-konsep welfare state yang salah satu tujuannya menyejahterakan rakyat dalam
mewujudkan Negara Hukum Modern yaitu konsep Negara Kesejahteraan (welfare
state). Konsep Negara Kesejahteraan menempatkan bestuurszorg functie sebagai fungsi
yang pertama bagi negara. Fungsi zorgen membebankan kepada Negara untuk
memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya dan seluas- luasnya kepada masyarakat,
sehingga semua lapisan masyarakat dapat menikmati kesejahteraan dalam
kehidupannya.
Sebuah teori yang sejalan dengan dasar Negara Indonesia adalah teori Negara
Kesejahteraan (Welfare state). Teori yang menegaskan bahwa Negara yang
pemerintahannya menjamin terselenggaranya kesejahteraan rakyat. Dan untuk dapat
mewujudkan kesejahteraan rakyatnya harus didasarkan pada lima pilar kenegaraan,
yaitu: Demokrasi (Democracy), Penegakan Hukum (Rule of Law), Perlindungan Hak
Asasi Manusia (The Human Right Protection), Keadilan Sosial (Social Justice) dan Anti
Diskriminasi (Anti Discrimination). Teori Negara Kesejahteraan (Welfare state) tersebut
sering kali dimaknai berbeda oleh setiap orang maupun Negara. Namun, teori tersebut
secara garis besar setidaknya mengandung 4 (empat) makna, antara lain:
a. Sebagai kondisi sejahtera (well-being)
b. Sebagai pelayanan sosial, umumnya mencakup lima bentuk, yakni jaminan sosial
(social security), pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan pelayanan
sosial personal (personal social services);
c. Sebagai tunjangan sosial, kesejahteraan sosial yang diberikan kepada orang
miskin. Karena Sebagian besar penerima kesejahteraan adalah masyarakat
miskin, cacat, pengangguran yang kemudian keadaan ini menimbulkan konotasi
negatif pada istilah kesejahteraan, seperti kemiskinan, kemalasan,
ketergantungan, dan lain sebagainya;
d. Sebagai proses atau usaha terencana, sebuah proses yang dilakukan oleh
perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan
pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui pemberian
pelayanan sosial dan tunjangan sosial.
Salah satu bentuk dari kebijakan sosial adalah bantuan sosial, bantuan sosial
merupakan bantuan yang dapat bersifat tunai maupun non tunai, ini biasanya ditujukan
bagi kelompok miskin dan rentan seperti janda dan yatim piatu. Skema pemberiannya
bersifat mean-tested, artinya penerimanya harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu
seperti yang ditetapkan oleh pemerintah. 38 Di Indonesia, pemerintah beberapa kali
pernah membuat kebijakan dalam bentuk bantuan sosial, misalnya dalam bentuk
beasiswa bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu, beras untuk rakyat miskin
(raskin), Jaring Pengaman Sosial (JPS) pada saat krisis ekonomi 1998, dan Bantuan
Langsung Tunai (BLT) atau BLSM (Bantuan Langsung Tunai Sementara) sebagai
kompensasi atas kenaikan harga BBM. Kebijakan sosial yang diberikan dalam skema
bantuan sosial biasanya bersifat ad hoc.
Indonesia sebenarnya telah menginisiasi kebijakan jaminan sosial sejak lama.
Dalam beberapa hal, kebijakan di masa Orba ini paralel dengan yang dilakukan oleh
negara-negara industry Asia Timur, terutama sejak Perang Dunia II sampai dengan
tahun 1980-an. Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan membentuk
corak negara kesejahteraan yang dalam literatur disebut sebagai negara kesejahteraan
produktivis atau developmentalis. Dalam model negara kesejahteraan ini, kebijakan
kesejahteraan sosial ditempatkan di bawah orientasi pertumbuhan ekonomi.
Penyediaan jaminan sosial tidak didasarkan pada prinsip kesetaraan sosial atau
redistribusi ekonomi, namun lebih pada investasi modal SDM demi produktivitas
ekonomi. Untuk itu negara hanya memberikan jaminan kesejahteraan bagi sekelompok
kecil pekerja yang bekerja di dalam sektor- sektor yang berperan penting dalam
menggenjot pertumbuhan seperti pegawai negeri, personel militer, pekerja industri
besar, dan guru. Sementara bagi mereka yang bekerja di sektor-sektor marjinal,
jaminan kesejahteraannya diserahkan kepada keluarga masing-masing.
Setelah krisis melanda Indonesia pada 1997 yang diikuti dengan pergantian
rezim dan proses demokratisasi setahun sesudahnya, semakin disadari bahwa skema
kebijakan sosial yang ada di Indonesia tidak mencukupi, baik bila dilihat dari jumlah
peserta, cakupan dan kualitas manfaat, maupun tata kelola. Untuk itu, mulai dilakukan
reformasi kebijakan dalam rangka untuk membangun sistem jaminan sosial yang lebih
bersifat sistemis dan inklusif. Legitimasi untuk melakukan reformasi tersebut
mendapatkan penguatan melalui amandemen UUD 1945 Pasal 28H ayat 3 (“Setiap
orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara
utuh sebagai manusia yang bermartabat”) dan Pasal 34 ayat 2 (“Negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”). MPR
juga telah menetapkan Ketetapan MPR-RI No. X/MPR-RI/2001 yang mengamanatkan
presiden membentuk sistem jaminan sosial yang terpadu dan komprehensif. pada tahun
2011 lalu dibentuklah UU 24/2011 tentang BPJS. Di dalamnya, ditentukan bahwa
penyelenggaraan jaminan sosial nasional akan dijalankan oleh dua BPJS, yakni BPJS
Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Untuk itu, dua BUMN, yaitu PT Askes dan PT
Jamsostek, akan bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan
mulai 1 Januari 2014 dengan status badan hukum publik. BPJS Ketenagakerjaanakan
menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan
pensiun, dan jaminan kematian bagi pekerja selambatnya 1 Juli 2015. Adapun BPJS
Kesehatan bertugas menyelenggarakan jaminan kesehatan per 1 Januari 2014 dengan
menerima pelimpahan peserta jaminan kesehatan dari Jamsostek, TNI/Polri, PNS,
Jamkesmas, dan Jamkesda. Selain melayani pekerja formal, BPJS Kesehatan juga akan
melayani pekerja informal dan penganggur. Bagi mereka yang tidak mampu mengiur,
pemerintahlah yang akan mengiuri. Pelaksanaannya dilakukan secara bertahap hingga
pada 2019 diharapkan sudah melayani seluruh warganegara.
BAB IV
KEBIJAKAN KESEJAHTERAAN
SOSIAL DI INDONESIA
1. Kebijakan Ketenagakerjaan
Pasal 27 ayat 2: Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak. Kebijakan ketenagakerjaan merupakan kebijakan yang paling utama
dalam negara kesejahteraan Pemerintah tidak hanya berkewajiban untuk
menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga negara di satu sisi, disisi lain
lapangan pekerjaan yang disediakan pemerintah harus mampu
mensejahterakan.
2. Kebijakan Pendidikan
Pasal 31 terdiri dari 4 ayat berikut: (1) setiap warga negara berhak mendapatkan
pendidikan; (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya; (3) pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang; (4) negara
memperioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen
dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan
dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan Pendidikan
nasional.
3. Kebijakan Ekonomi
Sebelum diamandemen dengan menambahkan dua ayat yang merupakan
pendetailan dari ayat asli sehingga pada hemat penulis tidak mengubah roh yang
terkandung di dalamnya, Pasal 33 terdiri dari tiga ayat berikut: (1) perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) cabang-
cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi dan air dan kekayaan
alamyang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
4. Kebijakan Sosial
Setelah krisis melanda Indonesia pada 1997 yang diikuti dengan pergantian
rezim dan proses demokratisasi setahun sesudahnya, semakin disadari bahwa
skema kebijakan sosial yang ada di Indonesia tidak mencukupi, baik bila dilihat
dari jumlah peserta, cakupan dan kualitas manfaat, maupun tata kelola. Untuk
itu, mulai dilakukan reformasi kebijakan dalam rangka untuk membangun sistem
jaminan sosial yang lebih bersifat sistemis dan inklusif. Legitimasi untuk
melakukan reformasi tersebut mendapatkan penguatan melalui amandemen UUD
1945 Pasal 28H ayat 3 “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang
memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat” dan Pasal 34 ayat 2 “Negara mengembangkan sistem jaminan
sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan
tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. MPR juga telah
menetapkan Ketetapan MPR-RI No. X/MPR-RI/2001 yang mengamanatkan
presiden membentuk sistem jaminan sosial yang terpadu dan komprehensif.