Anda di halaman 1dari 13

UJIAN AKHIR SEMESTER

SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM LOKAL

Nama : Abdul Aziz


NIM : 190105010516
Lokal : E2019
Dosen Pengampu : Drs. H. Muhammad Arief Budiman, S.E.I.,M.Sy

Review Jurnal 1

Link : http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/
article/view/166/117

Judul : Hubungan Islam dan Budaya dalam Tradisi Ba-Ayun Maulid di Masjid
Banua Halat Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan

Jurnal : Patanjala

Volume dan halaman : Vol. 6 No. 3, Halaman. 349-366

Tahun : 2014

Penulis : Wajidi

Tujuan penulisan :

Adapun tujuan penulisan jurnal ini di antaranya untuk mengetahui gambaran


pelaksanaan upacara ba-ayun maulid di Masjid Banua Halat. Dan untuk mengetahui pengaruh
tradisi Pra-Islam dalam upacara ba-ayun maulid di Masjid Banua Halat. Serta mengetahui
latar belakang munculnya pengaruh tradisi Pra-Islam pada upacara ba-ayun maulid di Masjid
Banua Halat..

Ringkasan :

Upacara ba-ayun maulid sebenarnya berasal tradisi lama yakni upacara bapalas bidan
atau ma-ayun anak sebagai sebuah tradisi yang berlandaskan kepada kepercayaan
Kaharingan. Ketika Islam masuk dan berkembang di Banua Halat, upacara bapalas bidan
tidak lantas hilang dan malah mendapat pengaruh unsur Islam sebagaimana terlihat pada
upacara baayun maulid yakni upacara mengayun anak sambil membaca syair maulid yang
dilaksanakan bersamaan dengan perayaan maulid Nabi Besar Muhammad SAW.

Pada masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan, tradisi ba-ayun maulid bukan sekadar
budaya yang diwarisi dan dipraktikkan secara turun temurun, melainkan kini juga menjadi
atraksi wisata yang menarik seperti yang berlangsung di Masjid Al-Mukarromah Banua Halat
(seterusnya disebut Masjid Banua Halat), Kabupaten Tapin. Sebagai bagian dari upacara daur
hidup, tradisi ba-ayun maulid di Masjid Banua Halat menarik untuk dikaji karena
memperlihatkan adanya interaksi atau persinggungan antara Islam dan budaya (kepercayaan
lama).

Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana gambaran hubungan antara Islam dan
budaya pada upacara ba-ayun maulid?

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, kajian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui gambaran pelaksanaan upacara ba-ayun maulid di Masjid Banua Halat;.


2. Mengetahui pengaruh tradisi Pra-Islam dalam upacara ba-ayun maulid di Masjid
Banua Halat.
3. Mengetahui latar belakang munculnya pengaruh tradisi Pra-Islam pada upacara ba-
ayun maulid di Masjid Banua Halat.

Untuk memahami bagaimana gambaran hubungan antara Islam dan budaya dalam
tradisi ma-ayun maulid dapat dilihat dengan mengikut kepada kerangka teori berkenaan
dengan interaksi atau dialektika antara agama dan budaya sebagaimana yang dijelaskan oleh
Kuntowijoyo, Clifford Geertz, dan Koentjaraningrat.

Upacara ba-ayun maulid adalah sebuah tradisi yang diwarisi dari masa lalu. Basis
tradisi adalah kaitan antara masa kini dan masa lalu yang dilalui melalui proses yang tidak
terputus, sehingga tradisi demikian disebut juga dengan tradisi sejarah. Jika dikaitkan dengan
ba-ayun maulid, sebuah upacara yang sebelumnya dipraktikkan berdasarkan kepercayaan
lama dapat menjadi sebuah tradisi dalam agama Islam karena dalam pelaksanaanya dilakukan
sesuai dengan syariat Islam.

Opini reviewer :

Dari isi jurnal di atas, reviewer berpandangan bahwa ba-ayun maulid adalah tradisi
islami yang bagus dan merupakan tradisi yang perlu kita jaga dan kembangkan, karena selain
sebagai sebuah tradisi, ba-ayun maulid juga sebagai bentuk ketakwaan kita Allah dan
kecintaan kita kepada Rasulullah SAW. serta dapat mempererat tali silaturrahmi dan
persatuan antar keluarga. Sehingga diharapkan tradisi ini dapatterus berjalan dan
berkembang.

Kekurangan dan Kelebihan :

Kelebihan : kelebihan yang terdapat pada jurnal ini jurnal adalah pembahasan yang detail
serta terdapat foto yang membantu pembaca lebih mudah memahami artikel ini. Teori yang
dimuat oleh penulis artikel juga sangat relevan dengan permasalahan yang diteliti.

Kekurangan :

Kekurangan : Kekurangan yang terdapat dalam jurnal ini adalah ada beberapa bahasa yang
cukup sulit untuk dipahami sehingga dapat mengurangi minat seseorang untuk membaca
jurnal ini.

Kesimpulan :
Kesimpulan yang dapat diambil oleh reviewer dari jurnal ini adalah ba-ayun maulid
yang ada di Kalimantan Selatan khususnya di masyarakat Banjar bukan sekadar budaya yang
diwarisi dan dipraktikkan secara turun temurun, namun kini juga menjadi atraksi wisata yang
menarik seperti yang dilakukan di Masjid Al-Mukarromah Banua Halat atau yang disebut
Masjid Banua Halat, yang berada di Kabupaten Tapin.

Review Jurnal 2

Link : https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/idajhs/article/view/329

Judul : Islam dan Budaya Lokal: Kajian terhadap Interelasi Islam dan Budaya Sunda

Jurnal : Ilmu Dakwah

Volume dan halaman : Vol. 6 No. 19

Tahun : 2012

Penulis : Deden Sumpena

Tujuan penulisan :

Tulisan ini akan mencoba untuk menguraikan sebuah kerangka konseptual tentang
Islam dan pergumulannya di ranah Tatar Sunda. Dominasi Islam bagi masyarakat Sunda telah
menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam mengarungi peradaban manusianya. Telaah ini
juga akan memaparkan tentang kelayakan Islam Tatar Sunda dianggap sebagai sebuah
mazhab dari sekian mazhab, baik yang telah ataupun yang akan lahir dan berkembang yang
sampai hari ini masih bertahan di belahan masyarakat dunia. Namun, pembahasan yang lebih
awal akan dicoba dari Islam sebagai sistem nilai dan system symbol, yang kemudian
mencoba memformulasikan internalisasi Islam dengan Budaya Sunda.

Ringkasan :

Berbicara Islam dan budaya lokal, tentu merupakan pembahasan yang menarik,
dimana Islam sebagai agama universal merupakan rahmat bagi semesta alam, dan dalam
kehadirannya di muka bumi ini, Islam berbaur dengan budaya lokal (local culture), sehingga
antara Islam dan budaya lokal pada suatu masyarakat tidak bisa dipisahkan, melainkan
keduanya merupakan bagian yang saling mendukung.

Islam sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT untuk semua umat manusia
telah memainkan peranannya di dalam mengisi kehidupan umat manusia di muka bumi ini.
Namun demikian, Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam tetap menjadi
ujung tombak di dalam suatu masyarakat muslim, sehingga Islam begitu identik dengan
keberagaman.

Berdasarkan hal tersebut, maka kebenaran dalam Islam yang dikatakan kebenaran
yang mutlak itu bersumber dari Allah, sedangkan kebenaran yang parsial itu hadir pada
realitas sosial suatu masyarakat yang kebenarannya akan relatif. Dengan demikian pula,
bahwa Islam tetap menghargai keberagaman kebenaran yang ada dalam masyarakat,
termasuk keberagaman budaya yang dimiliki suatu masyarakat.

Menurut Hooker, Robert Hefner, John L. Esposito, dan William Liddle, keberadaan
Islam di Nusantara bercorak sangat spesifik dimana ekspresinya secara intelektual, cultural,
social, dan politik bisa jadi, dan kenyataannya memang berbeda dengan ekspresi Islam yang
berada di belahan dunia yang lain. Islam Indonesia merupakan perumusan Islam dalam
konteks sosio-budaya bangsa yang berbeda dengan pusat-pusat Islam di Timur Tengah.

Memperhatikan pernyataan di atas, yang secara substansi tidak jauh berbeda, maka
timbul suatu fakta sosial bahwa keberadaan Islam dan umat Muslim di bumi Nusantara telah
menjadi "ikon" yang memiliki kelebihan yang sangat unik dan spesifik bila dibandingkan
dengan Islam dan umat Muslim di belahan bumi lainnya. Telaah ini juga akan memaparkan
tentang kelayakan Islam Tatar Sunda dianggap sebagai sebuah mazhab dari sekian mazhab,
baik yang telah ataupun yang akan lahir dan berkembang yang sampai hari ini masih bertahan
di belahan masyarakat dunia. Namun, pembahasan yang lebih awal akan dicoba dari Islam
sebagai sistem nilai dan system symbol, yang kemudian mencoba memformulasikan
internalisasi Islam dengan Budaya Sunda.

Sistem Nilai dan Sistem Simbol Islam sebagai ajaran keagamaan yang lengkap,
memberi tempat pada dua jenis penghayatan keagamaan, Pertama, eksoterik (zhahiri), yaitu
penghayatan keagamaan yang berorientasi pada formalitas fiqhiyah atau pada norma-norma
dan aturan-aturan agama yang ketat. Selanjutnya di dalam Islam kita mengenal adanya
konsep tauhid, suatu konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat dari segala
sesuatu, dan bahwa manusia harus mengabdikan diri. Demikian pula dengan ekspresi
simbolis dari karya-karya Muslim, seperti kesenian, kesusastraan dan hasil-hasil budaya
lainnya. Kebudayaan sebagai suatu system budaya, aktivitas dan hasil karya fisik manusia
yang berada dalam suatu masyarakat dimana kemunculannya itu diperoleh.

Opini reviewer :

Dari isi jurnal di atas, reviewer berpandangan bahwa keberadaan Islam di Tatar Sunda
membuat kehidupan orang Sunda berlandaskan nilai Islam dengan kata lain Islam menjadi
bagian dari kehidupan orang Sunda. Sehingga kebudayaan Sunda yang ada membungkus
ajaran Islam. Setelah Islam masuk pula, Islam membentuk jati diri kesundaan orang Sunda.

Kekurangan dan Kelebihan :

Kelebihan : Kelebihan dari jurnal ini adalah penjelasan yang sangat detail dan gamblang
yang membuat pembaca lebih mudah memahami dan teori yang digunakan juga sesuai
dengan permasalahan yang diteliti.

Kekurangan : adapun kekurangan dari jurnal ini adalah tidak disertakan foto di penjelasan
yang memang perlu adanya foto.

Kesimpulan :

Keberadaan Islam di Tatar Sunda bukan hanya sekedar agama ataupun fenomena saja.
Namun, Islam di Tatar sunda memiliki kepribadian yang lebih. Oleh karena itu Islam di Tatar
Sunda layak menjadi mazhab, mazhab di sini bukan lah mazhab-mazhab hukum Islam.
Namun dikatakan mazhab karena keberadan islam di Tatar Sunda dikatakan sebagai Islam
yang mendasarkan cara pandangnya kepada ajaran-ajaran Islam yang masuk ke dalam tradisi
masyarakat Sunda sehingga menghasilkan tradisi Islam yang bercorak lokal akibat dari
perpaduan antara ajaran-ajaran Islam dengan kultur dan tradisi masyarakat Sunda.

Review Jurnal 3

Link : https://journal.uii.ac.id/Millah/article/view/5233/4672

Judul : Islam dan Tradisi Lokal dalam Perspektif Multikulturalisme

Jurnal : Millah

Volume dan halaman : Vol. VIII No. 2

Tahun : 2009

Penulis : M. Zainal Abidin

Tujuan penulisan :

Tulisan ini bermaksud melihat secara lebih saksama mengenai kompatibilitas Islam
sebagai sebuah agama universal dengan tradisi lokal, dari sudut pandang multikulturalisme.
Sebagai bahasan awal, untuk lebih memahami persoalan, akan dikemukakan terlebih dahulu
perbincangan mengenai wacana agama dan multikulturalisme. Selanjutnya akan dikupas
mengenai relasi Islam dengan tradisi lokal, yang kemudian dilanjutkan uraian terkait
perspektif multikulturalisme terhadap relasi Islam dan tradisi lokal

Ringkasan :

Dalam diskursus mengenai relasi antara agama dan multikulturalisme di Indonesia,


yang belakangan menjadi satu wacana yang ramai dibicarakan, ada satu problem mendasar
yang tampaknya belum ada jawaban memuaskan, yakni sejauh mana kompatibilitas agama
dalam mengapresiasi wacana multikulturalisme. Sampai saat ini, masih sering muncul dilema
bagi agama dengan klaim universalitasnya untuk menerima kenyataan pluralitas budaya yang
harus diposisikan pada level yang sejajar tanpa ada diskriminasi antara satu dengan lainnya,
sebagaimana dikehendaki dalam ide multikulturalisme.

Maksud agama di sini, tentu saja bukan agama pada level normatif (normative
religion), tetapi agama yang telah menyejarah (historical religion) sebagai buah dari
interpretasi terhadap ajaran yang normatif (interpretative religion). Maka, gagasan-gagasan
seperti ortodoksi dan ortopraksi selalu diusung dalam merespons pertautan antara agama dan
tradisi lokal suatu masyarakat. Dalam konteks totalitas tradisi dan spektrum Islam, gagasan
ortodoksi dan ortopraksi tersebut dapat dipahami sebagai kondisi keberadaan di jalan yang
benar (straight path).

Karena adaya unsur sakral dan mutlak tersebut, maka acapkali terasa sulit bagi suatu
agama untuk dapat menoleransi atau hidup berdampingan dengan tradisi kultural yang
dianggap bersifat duniawi (profan). Dalam Islam misalnya, ada terma bid'ah yang akan
"menghadang" mereka yang mencoba melakukan kompromi dan apresiasi terhadap budaya
lokal, yang bukan budaya 'asli' Islam

Wacana Agama dan Multikulturalisme Gagasan multikulturalisme merupakan suatu


isu yang relatif baru apabila dibandingkan dengan konsep pluralitas (plurality) maupun
keragaman (diversity). Terlebih yang secara khusus melihat kompatibilitas antara agama atau
Islam secara spesifik dengan gagasan multikulturalisme. Secara sederhana, multikulturalisme
kemudian dipahami sebagai suatu konsep keanekaragaman budaya dan kompleksitas
kehidupan di dalamnya.

Opini reviewer :

Dari isi jurnal di atas, reviewer berpandangan bahwa Islam adalah agama yang terbuka yang
dapat menerima pemikiran dari luar. Sifat keterbukaan tersebut dapat menjadi modal dalam
menciptakan pemikiran baru dalam Islam. Nah, dari Ajaran normatif dan sejarah Islam yang
sangat terbuka dan mengapresiasi tradisi lokal kiranya bisa menjadi modal bagi umat Islam
dalam memasuki era multikulturalisme.

Kekurangan dan Kelebihan :

Kelebihan : Kelebihan dari jurnal ini adalah teori yang digunakan sesuai dengan
permasalahan yang diteliti, sehingga penyelesaian masalahnya begitu baik.

Kekurangan : adapun kekurangan dari jurnal ini adalah terdapat bahasa yang sulit untuk
dipahami, yang membuat pembaca harus mencari terjemahan terlebih dahulu agar bisa
memahami.

Kesimpulan :

Islam merupakan agama yang benar, walaupun di era modern ini banyak orang yang
beranggapan bahwa Islam sudah ketinggalan zaman. Namun, bagi orang-orang yang memang
memahi betul terhadap Islam mereka tidak akan terpengaruh. Bahkan, bagi mereka yang
sudah yakin terhadap Islam, mereka mampu menjadikan tradisi lokal yang sesuai dengan
syariat Islam. Oleh karena itu, Islam tidak akan ketinggalan zaman.

Review Jurnal 4

Link : http://journal.iaincurup.ac.id/index.php/JDK/article/view/77/28

Judul : Akulturasi Islam dan Budaya Lokal Kajian Historis Sejarah Dakwah Islam di
Wilayah Rejang

Jurnal : Dakwah dan Komunikasi

Volume dan halaman : Vol. 1 No. 1

Tahun : 2016
Penulis : Mabrur Syah

Tujuan penulisan :

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan, (1) Asal Rejang (2) masuknya Sejarah Islam di
wilayah Rejang (3) studi akulturasi Islam dengan Budaya Rejang.

Ringkasan :

Ada dua Pendapat tentang asal-usul Rejang, Pertama Rejang berasal dari suku Indian
Belakang (Semenajung Vietnam) terinspirasi oleh nenek moyang Indonesia dari perahu orang
yang datang dari India Belakang mencari daerah baru ke Nusantara. Asimilasi antara Islam
yang Universal dengan budaya itu adalah kenyataan, melahirkan akulturasi budaya yang khas
dalam Islam, Akulturasi meliputi hampir seluruh tatanan sosial Rejang mulai dari sikap,
perilaku dan kebiasaan yang telah diwarnai dengan nilai-nilai Islam. Dalam konsep tersebut
Islam diposisikan sebagai kebudayaan asing dan masyarakat lokal sebagai penerima
kabudayaan asing tersebut.Rejang Lebong dominan dengan kekuatan adat yang terbentuk
dari perpaduan antara unsur-unsur masa lalu suku Rejang, bila dibandingkan dengan daerah-
daerah lainnya di Bengkulu.

Suku Rejang adalah sekelompok orang yang bermula dan menetap di Lebong.
Indikasi yang menunjukkan Wilayah Lebong sebagai asal usul Suku Rejang diantaranya
William Marden, Residen Ingggris di Lais (1775-1779) yang memberitakan tentang adanya
empat Petulai Rejang yaitu; juru Kalang, Bermani, Selupu dan Tubai. Menurut Sawab
Kontolir sebagimana yang dikutip oleh Abdulah Sidik, Belanda di Lais menyatakan Marga
Merigi terdapat diwilayah Rejang bukan wilayah Lebong. Jika Lebong dianggap sebagai
wilayah asal Suku Rejang maka Merigi berasal dari Lebong. Kenyataan menunjukkan Merigi
berasal dari Lebong, karena orang-orang Merigi di wilayah Rejang berasal dari Tubai, dan
terdapat larangan menari antara bujang gadis Merigi dengan bujang gadis Tubai di waktu
kejei karena dianggap satu keturunan yaitu Petulai Tubai. Penuturan para ahli tentang Lebong
sebagai wilayah asal Suku Rejang diperkuat dengan tambo-tambo dan cerita-cerita dengan
tradisi lisan yang diwarisi secara turun temurun dari orang tua-tua suku Rejang.

Pada awalnya suku Rejang menempati wilayah Lebong dalam kelompok kecil
mengembara dan berpindah-pindah (nomandent). Menurut sejarah yang tidak tertulis, suku
bangsa Rejang berasal dari empat petulai, masing-masing petulai dipimpin oleh seorang Ajai.
Karena dalam tembo Suku Rejang dikatakan bahwa empat Biku datang dari Mapahit, tetapi
sebenarnya mereka datang dari Melayu yang merupakan bagian dari Majapahit.

Penelitian tentang asal usul, dan adat istiadat suku Rejang, telah dilakukan oleh para
peneliti diantaranya adalah ; William Marsden dengan Bukunya History of Sumatera tahun
1977, Hazairin dengan Disertasinya De Rejang tahun 1932, M.A Yaspan seorang sarjana
Australian National University dengan karyanya From Patriliny to Matriliny : Structural
Change Amongst the Rejang of Southwese Sumatera tahun 1961-1963, Muhammad Hoesein
menulis sebuah naskah tentang Tambo dan Adat Rejang Ting IV 7. Syafrudin, Nilai-Nilai
Pendidikan Dalam Budaya Rejang Lebong: Studi Terhadap "Patang" Sebagai Metode
Pendidikan Akhlak,( Palembang : Thesis IAIN Raden Fatah, 2006),59 8. M. Joustra,
Minangkau, Overzich van Land, Geschiedenis en Volk, (Gravenhag : 1932), 42 Mabrur Syah:
Akulturasi Islam dan Budaya Lokal | 25 tahun 1932, Richard Mc Ginn Guru Besar Ohio
University USA tahun 2006, yang memfokuskan tentang asal-usul Suku Rejang, dan Zayadi
Hamzah Dengan Diserta.

Opini reviewer :

Dari isi jurnal di atas, reviewer berpandangan bahwa pembauran Islam di suku Rejang yang
bersifat Universal dengan budaya yang bersifat realitas, melahirkan akulturasi kebudayaan
yang khas Islam, Akulturasi meliputi hampir seluruh tatanan masyarakat Suku Rejang mulai
dari sikap, perilaku dan adat istiadat yang telah terwarnai dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Kekurangan dan Kelebihan :

Kelebihan : Penggunaan kata yang sederhana membuat pembaca lebih mudah memahami

Kekurangan : penulis tidak memuat gambar garis kordinat

Kesimpulan :

Kebiasan (adat) dalam setiap daerah tentunya berbeda-beda, walaupun berbeda sebagai umat
makhluk sosial harus saling menghargai, harus dapat menerima adat di suatu daerah yang
sesuai dengan ketentuan syariat Islam dan tidak melanggarnya.

Review Jurnal 5

Link : https://jurnaliainpontianak.or.id/index.php/Almaslahah/article/download/
926/500

Judul : ISLAM DAN TRADISI LOKAL DI NUSANTARA (Telaah Kritis Terhadap


Tradisi Pelet Betteng Pada Masyarakat Madura dalam Perspektif Hukum Islam)

Jurnal : Al-Maslahah

Volume dan halaman : Vol. 13 No. 2

Tahun : 2017

Penulis : Buhori

Tujuan penulisan :

Untuk menguraikan sikap akomodatif ajaran Islam terhadap budaya lokal dalam konteks
kehidupan keberagamaan pada sebagian besar masyarakat di nusantara ini, dengan salah satu
contoh studi kasus pada tradisi Pelet Betteng(peringatan empat bulan dan tujuh bulan
kehamilan) yang lazim dilakukan oleh masyarakat Madura, atau pada masyarakat Jawa
dikenal dengan sebutan tingkeban yang teridiri dari ngupati dan mitoni

Ringkasan :
Salah satu tradisi lokal yang melekat erat dalam kehidupan masyarakat Indonesia,
khususnya suku Madura adalah Pelet Betteng,atau terkadang dikenal dengan sebutan Pelet
Kandhung atau Peret Kandung atau Salameddhen Kandhungan, yang secara sederhana
diartikan sebagai pijat kandungan atau selamatan kehamilan. Tradisi ini merupakan upacara
selamatan yang dilakukan dengan cara pembacaan do`a-do`a dan sedekah, ketika seorang
wanita tengah mengandung pertama kalinya (Madura: seriyang) pada saat usia kehamilan
mencapai empat bulan atau tujuh bulan. Dalam persepektif hukum Islam, ternyata ajaran
Islam sangat memperhatikan tradisi (Arab: `adah) dan konvensi masyarakat untuk dijadikan
sumber bagi jurisprudensi hukum Islam dengan penyempurnaan dan batasan-batasan
tertentu.Terma `adat yang memiliki kesamaan makna dengan `uruf telah menjadi salah satu
landasan dalam istinbat hukum Islam.

Budaya maupun tradisi lokal pada masyarakat Indonesia tidak hanya memberikan
warna dalam percaturan kenegaraan, tetapi juga berpengaruh dalam keyakinan dan praktek-
praktek keagamaan masyarakat. Islam sebagai sebuah agama yang dianut oleh mayoritas
masyarakat Indonesia, memiliki hubungan erat dengan kebudayaan atau tradisi-tradisi lokal
yang ada di nusantara. Dalam ranah ini, hubungan antara Islam dengan anasis-anasir lokal
mengikuti model keberlangsungan (al-namudzat al-tawashuli), ibarat manusia yang turun-
temurun lintas generasi, demikian juga gambaran pertautan yang terjadi antara Islam dengan
muatan-muatan lokal di nusantara.

Agama dan budaya merupakan dua unsur penting dalam masyarakat yang saling
mempengaruhi. Proses adaptasi antara ajaran Islam (wahyu) dengan kondisi masyarakat
dapat dilihat dengan banyaknya ayat yang memiliki asbâb al-nuzûl. Asbâb al-nuzûl
merupakan penjelasan tentang sebab atau kausalitas sebuah ajaran yang diintegrasikan dan
ditetapkan berlakunya dalam lingkungan sosial masyarakat. Islam yang hadir di Indonesia
juga tidak bisa dilepaskan dengan budaya dan tradisi yang melekat erat pada masyarakat
Indonesia. Sama seperti Islam di kawasan Arab, Arabisme dan Islamisme bergumul
sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah sehingga kadang-kadang orang sulit membedakan
mana yang nilai Islam dan mana yang simbol budaya Arab.

Tradisi Keberagamaan Muslim Indonesia 1. Budaya dan Tradisi Sebelum memulai


pembahasan tentang tradisi Pelet Betteng yang terdiri dari acara pakbulenan dan
petongbulenan yang lazim dilaksanakan di kalangan masyarakat Madura di Indonesia, atau
masyarakat Jawa mengenalnya dengan istilah Tingkeban (ngupati dan mitoni) sebagai
peringatan atau syukuran atas kehamilan seorang istri, penulis terlebih dahulu akan
memaparkan mengenai ulasan tentangbudaya dan tradisi

Opini reviewer :

Dari isi jurnal di atas, reviewer berpandangan bahwa Islam tidak menolak tradisi atau budaya
yang berkembang di lingkungan masyarakat. Dalam Islam juga kaidah artinya “adapun
kebiasaan (adat) dapat dijadikan hukum”, sehingga Islam sangat memperhatikan adat istiadat
yang berkembang di tengah masyarakat.

Kekurangan dan Kelebihan :

Kelebihan : penulis mendiskripsikan sangat detail

Kekurangan : Jurnal ini tidak mendiskripsikan secara lengkap dengan disertai gambar
Kesimpulan :

Tradisi di suatu daerah yang beragam membuat umat Islam harus pandai menyaring, tradisi
yang sesuai dengan syariat Islam ataupun yang tidak, sehingga dapat terhindar dari kesesatan
yang membuat keperibadian seseorang menjadi buruk.
Eksistensi Tradisi Batasmiyah di Kalangan Suku Banjar

Masuknya Islam ke tanah Banjar pada abad ke-14 M membawa nilai-nilai yang
dianggap baru oleh masyarakatnya. Para pendakwah menyiarkan ajaran Islam dengan cara
mengakulturasikannya dengan budaya, tradisi, dan kesenian yang hidup di tengah
masyarakat. Di antara kesenian yang merupakan hasil dari akulturasi tersebut adalah tradisi
Batasmiyah yang masih sering kita jumpai hingga saat ini.

Anak adalah tanggung jawab yang dipercayakan Allah kepada orang tua. Di antara
kewajiban orang tua terhadap anak yang pertama adalah memberikan nama yang baik.
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya kamu sekalian akan dipanggil pada hari Kiamat
dengan nama-nama kamu sekalian, maka perbaguslah nama kalian.” (HR, Abu Dawud).
Nama adalah doa bagi orang yang menyangdang nama itu. Oleh karena itulah, orang tua
harus memberikan nama yang baik bagi anak-anak mereka.

Tradisi pemberian nama bagi seorang anak di masyarakat Banjar menjadi budaya
yang cukup menarik. Tradisi ini biasa disebut dengan nama “Batasmiyah”. Kata tasmiyah
berasal dari bahasa Arab yang berarti memberi nama kepada seorang anak yang baru lahir.
Biasanya, tradisi ini dilaksanakan bersamaan dengan acara aqiqah dan pemotongan seekor
kambing.

Nama yang diberikan pada seorang anak biasanya diperoleh dari pihak kakek
neneknya atau dari orang tuanya sendiri apabila memiliki pilihan nama sendiri. Namun, tidak
jarang juga masyarakat Banjar meminta pendapat dari habaib atau tuan guru (ulama) yang
ada disekitar mereka.

Tradisi Batasmiyah biasanya diawali dengan pembacaan ayat suci Alquran oleh
seorang Qari’. Pembacaan ini dimaksudkan agar anak tersebut mengenal Alquran sejak dini
dan mampu menjadikannya sebagai pedoman dalam kehidupan. Setelah pembacaan ayat
Alquran, acara dilanjutkan dengan peresmian nama yang dilakukan oleh tuan guru atau
pemuka agama yang telah dipilih. Usai pemberian nama anak diucapkan, rambut anak
dipotong sedikit dan pada bibirnya diusapkan madu, garam, atau air kelapa. Seorang anak
yang telah diberi nama tersebut kemudian dibawa berkeliling oleh sang ayah untuk di-tapung
tawari dengan minyak likat baboreh oleh beberapa orang tua yang menghadiri acara tersebut,
terutama kakeknya dengan disertai doa untuk anak tersebut.

Pada pelaksanaannya kini, ada beberapa hal yang diganti atau mungkin ditambah pada
pelaksanaan acara Batasmiyah. Yakni anak dibawa berkeliling sambil di-tapung tawari
dengan iringan pembacaan syair-syair maulid al-habsyi. Adapun minyak baboreh yang
digunakan pada saat itu juga diganti dengan minyak wangi.

Jadi, tradisi Batasmiyah pada masyarakat Banjar masih eksis hingga saat ini.
Meskipun ada beberapa hal yang mengalami perubahan ataupun penambahan. Adanya hal
tersebut tentu saja tidak memengaruhi masyarakat untuk tetap melestarikannya di tengah
gempuran globalisasi dan modernisasi.

Anda mungkin juga menyukai