Anda di halaman 1dari 6

Ujian Tengah Semester

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul fiqh

Dosen Pengampu:

Drs. H. Ayi Sofyan, M. Si.

H. Yayan Khairul Anwar, M. Ag.

Disusun Oleh:

Ilma Nadiatul Fadillah

NIM: 1213050092

ILMU HUKUM (2B)

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM 2021


1. Apa yang dimaksud hukum taklifi dan hukum wad’i serta sebutkan bagian
bagiannya!
Secara umum, aturan hukum dalam syariat Islam terbagi menjadi dua macam, yaitu
hukum taklifi (hukum untuk penugasan) dan hukum  wadh'i (hukum kondisional).
Para ahli usul fikih membagi hukum taklifi menjadi 3 kategori:
Perintah
larangan
Hukum Pilihan (menjalankan sesuatu atau meninggalkannya)
Dari ketiga kategori itu, mereka kemudian membaginya lagi menjadi 5 macam, yaitu:
 Wajib
 Haram
 Mandub(sunnah)
 Mubah
 Makruh
Suatu perintah tergolong wajib atau fardhu apabila perintah itu diiringi dengan
janji pemberian pahala bagi yang menjalankan dan ancaman siksaan bagi yang
meninggalkan. Perintah wajib ini didasarkan pada dalil-dalil yang sudah  qath'i atau
pasti, yang tidak diragukan lagi kesahihannya.
Untuk itu, sebagian ulama berpendapat, orang yang mengingkari perintah wajib ini
tergolong orang yang kufur.
Contohnya adalah: orang mukalaf (yang telah dibebani tugas agama) yang menolak
menegakkan shalat, tidak mengerjakan puasa Ramadhan, atau menolak membayar
zakat.
Kebalikan dari wajib adalah haram. Yaitu, perintah untuk meninggalkan sesuatu
dengan disertai janji pahala bagi yang mematuhinya dan dosa bagi yang
melanggarnya. Menurut Imam Hanafi, hukum ini juga didasarkan pada dalil-dalil  qath'i
(pasti) yang tidak mengandung keraguan sedikit pun. 
Contohnya adalah: perbuatan yang diharamkan sangat banyak, di antaranya
memakan bangkai, membunuh tanpa sebab, berzina, dan mencuri.
Adapun perbuatan yang  mandub adalah perbuatan yang pelakunya akan
diberikan pahala, sedangkan yang meninggalkannya tidak mendapatkan siksa.
Dengan kata lain, yang mengerjakan amalan tersebut lebih baik daripada yang tidak
mengerjakannya. 
Contohnya adalah: dari amalan yang  mandub di antaranya adalah shalat sunah
dua rakaat sebelum dan sesudah shalat wajib.
Menurut Imam Asy-Syatibi dalam kitabnya  Al-Muwafaqat , setiap amalan  mandub
(sunah) yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dapat menyempurnakan ibadah-ibadah
wajib, di samping juga mendorong pelakunya agar secara berkelanjutan melaksanakan
ibadah-ibadah wajib. ''Barang siapa yang senantiasa melaksanakan ibadah sunah, pasti ia
juga menjalankan ibadah-ibadah wajib,'' kata Imam Asy-Syatibi.
Sementara itu, mubah adalah suatu hukum di mana Allah memberikan kebebasan
kepada orang-orang  mukalaf untuk memilih antara mengerjakan atau tidak.
Menurut Imam Asy-Syaukani, orang yang mengerjakan atau meninggalkan amalan yang
mubah tidak dikenakan dosa, seperti makan, minum, tertawa, dan lain-lain.
Kategori terakhir dari hukum  taklifi adalah makruh. Seperti halnya haram adalah
lawannya wajib, makruh adalah lawannya  mandub . Menurut para ahli usul fikih,
makruh merupakan larangan yang apabila dikerjakan tidak menimbulkan dosa,
tetapi bagi yang mampu meninggalkannya akan mendapatkan pahala. Dengan kata
lain, orang yang meninggalkannya lebih baik daripada yang melakukannya.
Contohnya adalah: orang yang diam lebih baik daripada orang yang banyak
membicarakan hal-hal yang tidak berguna.

Hukum wad’i
Pembahasan hukum dalam ilmu ushul fiqh tidak berhenti pada hukum taklifi saja.ada pula
hukum yang menghubungkan dua hal dan disebut dengan hukum  wadh'i atau hukum
kondisional. Yang dimaksud dengan menghubungkan dua hal di sini adalah kondisi
yang satu menjadi sebab, syarat, atau halangan bagi yang lain.
Contoh hubungan yang menjadi sebab adalah:
Ketika seseorang telah menyaksikan hilal pada 1 Ramadhan, diwajibkan baginya untuk
berpuasa Ramadhan. Berarti, melihat hilal menjadi sebab bagi wajibnya puasa. Rasulullah
SAW bersabda, ''Berpuasalah kalian karena melihat bulan (1 Ramadhan) dan berbukalah
karena melihat bulan (1 Syawwal).''
Adapun contoh hubungan yang menjadi syarat bagi yang lain adalah:
mengambil air wudhu menjadi syarat bagi sahnya shalat adanya saksi menjadi syarat bagi
sahnya pernikahan niat menjadi syarat bagi sahnya puasa, dan lain-lain.
Sedangkan, contoh hubungan yang menjadi penghalang ( mani' ) adalah:
pembunuhan atau murtad (keluar dari Islam) menjadi halangan bagi seseorang untuk
memperoleh harta warisan. Nabi SAW bersabda, ''Seorang pembunuh tidak berhak atas
pembagian harta warisan.'' Demikian pula dengan gila dan tidak sadar diri yang menjadi
penghalang bagi wajibnya shalat.
2. Berikan contoh proses penggalian/penemuan hukum yang menggunakan
pendekatan kaidah kebahasaan dan yang menggunakan teori teori ushul fiqh!
Terdapat tiga rumpun ilmu dalam kajian hukum Islam yang saling berkait kelindan satu
sama lain, yakni:
 Ushul fikih,
 fikih,dan
 kaidah fikih
Secara istilah fikih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat
praktis yang diperoleh melalui proses istinbat (menggali dan menelaah) dari dalil-dalil
syar’i. Ungkapan yang sangat populer dalam pembahasan fikih, nahu nahkumu
biddhawahir (kita memutuskan dan menghukumi secara luar saja, apa yang tampak).
Sehingga, fokus sorotan fikih atau objek kajiannya adalah perbuatan orang mukallaf. Oleh
karena itu, yang dihukumi oleh fikih harus berbentuk perbuatan, bukan persoalan
keyakinan yang menjadi garapan tauhid, atau soal rasa (dzauq) yang digarap oleh ilmu
tasawuf.

Sedangkan ushul fikih secara sederhana adalah cara atau metode yang dijadikan
perantara untuk memproduksi sebuah hukum. Pengetahun tentang metode dan tata cara
memproduksi hukum-hukum syar’i melalui dalilnya itu yang disebut dengan ushul fikih.
Misalnya, membasuh muka dalam wudlu’ merupakan kewajiban dan salah satu unsur
yang harus ada (rukun). Bagaimana metode dan cara menghasilkan hukum wajib
membasuh muka dalam wudlu’ itulah garapan ushul fikih. Proses apa yang harus
ditempuh oleh seorang mujtahid melalui sumber-sumber hukum atau dalil-dalil syar’i
sehingga menghasilkan hukum wajib.

Sementara rumpun ilmu yang terakhir adalah kaidah fikih. Secara bahasa kaidah
berarti rumusan yang menjadi patokan dan asas. Kaidah fikih didefinisikan sebagai
ketentuan umum (dominan) yang dapat diterapkan terhadap kasus-kasus yang menjadi
cakupannya agar kasus tersebut dapat diketahui status hukumnya. Kaidah fikih
menghimpun persoalan-persoalan fikih dalam satu naungan berupa rumus dan ketentuan
umum. Contoh kaidah fikih yang berbunyi: keyakinan tidak bisa dikalahkan oleh
keraguan. Kaidah ini mencakup setiap persoalan hukum yang terkait dengan keyakinan.
Bahwa keyakinan seseorang tentang suatu perbuatan tertentu tidak dapat dikalahkan
dengan munculnya keraguan.

Ketiga disiplin ilmu di atas dipertemukan dan bersinggungan dalam satu term hukum
syar’i. Secara sederhana perbedaan antara tiga rumpun ilmu tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:
Ushul fikih adalah rumah produksi atau pabrik, sementara fikih merupakan
produknya, sedangkan kaidah fikih adalah pengikat yang menghubungkan produk-
produk yang bertebaran dan memiliki kesamaan jenis dalam produksi.
Pendek kata, fikih adalah hasil atau produk, ushul fikih adalah cara (proses) bagaimana
memproduksi, sedangkan kaidah fikih adalah media untuk menata dan mengkaitkan
sekaligus merawat produk yang dihasilkan.
Andaikan fikih adalah roti, maka ushul fikih adalah cara membuat roti, sementara kaidah
fikih mengelompokkan jenis-jenis produk roti.  
3. Buatlah sebuah skema yang menunjukan di dalamnya terdapat hukum taklifi
dan hukum wad’i terkait salah satu hukum syara shalat,waris,haji,misalnya dll!

Secara umum, hukum taklifi terdiri dari tiga kategori, yaitu:


 Perintah
 Larangan
 Hukum pilihan
Dari ketiga kategori ini, para ulama membaginya menjadi lima macam yaitu:
 Wajib,
 haram,
 sunah (mandub),
 makruh,
 dan mubah.
Wajib: perkara wajib dalam Islam adalah perintah salat lima waktu, puasa, serta zakat dan
haji bagi yang mampu.
Sunnah: perkara sunah adalah mengerjakan salat rawatib, salat duha, puasa Senin-Kamis, dan
sebagainya
Haram: perilaku haram adalah minum khamar, berzina, mencuri, dan lainnya
Makruh: perbuatan makruh adalah lebih baik diam daripada membicarakan hal-hal tak
berguna.
Mubah:contoh perkara mubah adalah tertawa, berdagang, dan lain sebagainya.

Secara umum, hukum wadh'i terdiri dari 5 macam, yaitu:


 sebab,
 syarat,
 penghalang (mani'),
 azimah dan rukhsah,
 serta sah dan batal.

Contoh hukum wadh'i berkaitan dengan sebab lainnya adalah:


Ketika seseorang menyaksikan hilal 1 Ramadan, umat Islam diwajibkan berpuasa.
Berdasarkan hal itu, hilal adalah sebab bagi kewajiban puasa.
Syarat adalah hukum wadh'i yang menjadi pengiring suatu ibadah atau sahnya hukum
syariat Islam tersebut.
Sebagai misal, saksi adalah syarat sahnya pernikahan dan niat menjadi syarat sahnya puasa.
Tanpa saksi atau niat, maka kedua perkara tadi batal dan dianggap tidak sah.
Jenis hukum wadh'i lainnya adalah penghalang atau  mani'. 
Sebagai misal, seorang anak berhak memperoleh warisan, namun apabila ia murtad, warisan
itu tidak boleh ia terima. Murtad adalah penghalang dari hak warisannya dalam ketentuan
Islam.
Suatu ibadah dalam kondisi azimah maksudnya berada dalam hukum asli perkara
tersebut. Hukum asal yang belum berubah.
Misalnya, hukum salat lima waktu adalah wajib bagi seluruh mukalaf. Saking wajibnya,
orang sehat dan sakit pun tetap wajib salat. Jika tak bisa salat berdiri, bisa salat duduk,
berbaring, hingga salat dengan isyarat saja.
Sebaliknya, kondisi rukhsah adalah keringanan sebagai pengecualian dari kondisi
azimah.
Sebagai misal, seseorang haram memakan bangkai atau daging babi. Namun, jika tidak
ditemukan makanan lain sehingga seseorang terancam mati kelaparan, ia memperoleh
rukhsah boleh memakan bangkai atau daging babi.
Suatu perkara syariat dianggap sah apabila sesuai dengan perintah syariat dan
mendatangkan pahala di akhirat. 
Sebagai misal, apabila ibadah wajib sudah sah dilakukan, kewajibannya gugur dan mukalaf
terbebas dari tanggung jawabnya.
Sementara itu, apabila perkara syariat dianggap batal, ibadah itu tidak mendatangkan pahala
di akhirat.

Anda mungkin juga menyukai