Anda di halaman 1dari 18

JSW (Jurnal Sosiologi Walisongo) – Vol 3, No 2 (2019), 145-162

ISSN 2503-3166 (print); ISSN 2503-3182 (online)


DOI: 10.21580/jsw.2019.3.2.3928

Kekerasan dalam Pacaran: Anatomi Konflik dan


Penyelesaiannya

Wahyu Budi Nugroho,1∗∗ Sukma Sushanti2


1,2Universitas Udayana, Bali - Indonesia

Abstract

This article aims to study one of the social relationship forms called “love relationship”. Love
relationships may define as a relation between two individuals, opposite sex generally, in addition,
to adapt to each other before marriage. As one of the social relationship forms, it can not avoid
conflict, even violence. Those concerns are becoming the focus study in this research. Furthermore,
this research using the individual's conflict theory by George Simmel, conflict theory of Lewis A.
Coser, and also existential sociology of Jean-Paul Sartre about love. The method of this research is
qualitative which explanative-descriptive research variant. Based on the research, it is found that
most of the informants lie love relationship in “functional” form. Despite this, most of them are not
realized of love relationship violence which held. Finally, the resolution of all matters took moderate
to radical form, it is reconciliation or broke up, and even not engaged anymore.

Artikel ini berupaya mengkaji salah satu wujud relasi sosial antarindividu yang sering diistilahkan
dengan “pacaran”. Secara sederhana, pacaran adalah relasi intim antara dua individu yang
umumnya berlawanan jenis, yang bertujuan sebagai tahap awal penjajakan sebelum keduanya
memutuskan ke jenjang yang lebih serius, yakni pernikahan. Sebagai salah satu bentuk relasi
sosial, tentunya pacaran tidak terlepas dari konflik, bahkan kekerasan, fenomena inilah yang akan
dikaji lebih jauh dalam penelitian ini. Terkait hal tersebut, penelitian ini menggunakan teori konflik
antarindividu dari George Simmel, teori konflik Lewis A. Coser, serta sosiologi eksistensialisme
Jean Paul Sartre mengenai cinta. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif
dengan jenis penelitian deksriptif-eksplanatif. Melalui penelitian yang telah dilakukan, ditemukan
bahwa sebagian besar informan cenderung menempatkan hubungan pacaran secara “fungsional”.
Di samping itu, seringkali para informan juga tidak menyadari jika telah menuai bentuk-bentuk
kekerasan dalam pacaran. Adapun penyelesaian dari persoalan tersebut mengambil wujud
moderat hingga radikal, yakni dari rekonsiliasi hingga putus dengan pasangan, dan sama sekali
tidak berhubungan lagi.

Keywords: love relationships; conflict anatomy; violence; resolution

__________

Korespondensi Penulis: Wahyu Budi Nugroho (wahyubudinug@unud.ac.id). Kampus Bukit, Jl. Raya Kampus Universitas
Udayana, Jimbaran, Kec. Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Bali, Indonesia 80361.

Copyright © 2019 JSW (Jurnal Sosiologi Walisongo) │ 145


Wahyu Budi Nugroho, Sukma Sushanti

Pendahuluan wajar, akan tetapi hal ini menjadi tidak wajar


apabila konflik menyinggung “tema inti”, berikut
Secara sosiologis, pacaran adalah bentuk relasi
memunculkan kekerasan (Poloma, 1979). Dalam
sosial antarindividu yang memiripkan wujudnya
ranah sosial, pacaran telah menjadi fenomena
dengan hubungan persahabatan, hubungan
mafhum (biasa), bahkan kini tidak hanya dilaku-
antara orangtua dengan anak, hubungan antara
kan oleh orang dewasa dan remaja, tetapi juga
suami dengan istri, dan hubungan-hubungan
anak-anak. Tidak dapat dipungkiri, terdapat
sosial lainnya sejauh ia sekadar melibatkan dua
berbagai motivasi individu dalam menjalin relasi
orang (Sharma, 2015). Sebagai salah satu wujud
pacaran. Bagi individu dewasa, pacaran yang di-
relasi sosial, tentunya hubungan pacaran tidak
lakukan biasanya bersifat serius, sebagai upaya
terlepas dari konflik. Konflik sebagaimana di-
yang dilakukan untuk menemukan pendamping
maksudkan di sini mengambil bentuknya dari
hidup hingga akhir hayat. Bagi remaja dan anak-
moderat hingga ekstrem; dari persaingan, per-
anak, biasanya hubungan pacaran dilandasi oleh
tentangan, perselisihan, kontravensi, diskonfor-
motivasi “senang-senang”, yakni ketika mereka
mitas, hingga kekerasan (Wieviorka 2013).
memiliki ketertarikan seksual, atau kematangan
Meskipun memang secara sosiologis, konflik
seksual.
dapat dibedakan dari kekerasan; sebagaimana
penjelasan Tabel 1. Di lain sisi, pandangan masyarakat pun seolah
terpecah dalam hal ini, ada beberapa elemen
Namun demikian, dapatlah dikatakan, setiap
masyarakat yang bersifat asertif (membolehkan)
kekerasan selalu menemui wujudnya sebagai
terhadap pacaran, namun ada juga yang me-
konflik, dan setiap konflik belum tentu berekses
rekomendasikan untuk tidak melakukan pacaran,
pada kekerasan. Sebagaimana telah disinggung
hingga yang terkonservatif: melarangnya sama
sebelumnya, pacaran sebagai salah satu wujud
sekali. Mereka yang membolehkan pacaran
relasi sosial, tentunya tidak terlepas dari konflik.
umumnya berasal dari keluarga cukup terdidik,
Dalam batas-batas tertentu, konflik dalam proses
dengan pandangan agamis liberal atau moderat,
interaksi antarindividu menjadi sesuatu yang

Tabel 1.
Perbedaan antara konflik dengan kekerasan (tabel diolah penulis)

Konflik Kekerasan
...berdasarkan sifatnya Proses interaksi sosial yang Agresi jahat yang tidak
bersifat negatif dan disosiatif. terprogram.
...sebagai fenomena Hal yang umum di masyarakat Tidak umum, bukan hal yang
dan dalam hubungan wajar, dan memiliki tingkat
antarindividu; fakta sosial yang destruktif yang berbeda-beda.
tidak bisa dihindari.
..implikasinya Dapat berdampak positif. Sama sekali tidak berdampak
positif; skala kekerasan dapat
meningkat dari waktu ke waktu.

146 │ JSW (Jurnal Sosiologi Walisongo) – Volume 3, No. 2, 2019


Kekerasan dalam Pacaran ....

sedangkan mereka yang bersifat mendua (ragu- serius mengingat telah banyak terjadi konflik-
ragu) mengenai ini, biasanya berasal dari keluarga konflik dalam hubungan pacaran yang berekses
dengan basis agama moderat. Sementara, mereka pada kekerasan, bahkan hingga hilangnya nyawa
yang sama sekali menolak pacaran umumnya individu. Sayangnya, hal-hal demikian seringkali
berasal dari keluarga dengan kehidupan agama telah terjadi terlebih dahulu sebelum tindakan
yang sangat konservatif, bahkan bisa juga preventif dilakukan. Serangkaian paparan di atas
dikatakan “garis keras” (Selarani, 2018). kiranya menarik untuk dikaji lebih jauh, yakni
Lebih jauh, hal menarik yang terdapat dalam berkenaan dengan proses-proses sosial yang
relasi pacaran adalah proses sosial yang terdapat berlangsung dalam tahapan-tahapan semenjak
di dalamnya. Pertama, ketika antarindividu individu bersimpati terhadap individu lain hingga
bertemu dan tertarik satu sama lain. Di sini, memutuskan untuk menjalin relasi pacaran, serta
dimensi “simpati” berperan penting di dalamnya. pola-pola interaksi yang terjalin dalam
Tidak hanya itu saja, strategi komunikasi berlangsungnya proses pacaran itu sendiri.
(interaksi) yang dilancarkan antara satu terhadap Terakhir, hal yang juga mengusik untuk dikaji
pihak lain agaknya juga menarik untuk dikaji di adalah bagaimana konflik, bahkan kekerasan baik
mana “dramaturgi” tentu turut berperan. Di fisik maupun verbal justru terjadi dalam relasi
samping itu, apabila individu mengenal “calon dua individu yang saling menyayangi berikut
pasangan” lewat perantara individu lain, maka mencintai.
“modal sosial” turut bekerja pada proses ini. Terdapat beberapa tulisan sebelumnya yang
Kedua, motivasi individu untuk menjalin relasi mengkaji tentang relasi pacaran. Pertama,
pacaran. Motivasi individual ini dapat ditilik lebih Dampak Pacaran terhadap Moralitas Remaja
jauh melalui konsep rasionalitas yang terdiri dari; menurut Ustadz Jefri al-Bukhari oleh Romaeti
rasionalitas formal, instrumental, nilai, ataukah (2011). Kedua, Perspektif Pendidikan Islam
afektif. Ketiga, konsensus atau persetujuan ketika mengenai Pacaran oleh Rahayu (2015). Ketiga,
dua individu berlawanan jenis ini mengikat janji Gambaran Konsep Pacaran dan Perilaku Pacaran
dalam relasi pacaran. Keempat, yakni setelah dua pada Remaja Awal oleh Pratiwi (2012). Keempat,
individu mengikat janji dalam relasi pacaran, Hubungan antara Ekspresi Cinta dengan Perilaku
dalam hal ini, proses interaksi sebelum individu Pacaran Remaja Madrasah Tsanawiyah oleh
berpacaran dan sesudahnya dapat ditinjau kem- Muslimah (2013). Kelima, Perilaku Berpacaran
bali: apakah terdapat perbedaan ataukah tidak; pada Remaja di Desa Batubelah, Kecamatan
dan jika ada, rasionalisasi semacam apa yang Kampar, Kabupaten Kampar oleh Indrayani
menyebabkan perubahan pola-pola interaksi itu. (2016). Artikel ini sama-sama menjadikan feno-
Pada akhirnya, hal yang tidak dapat terhindar- mena pacaran sebagai objek kajian.
kan dalam relasi pacaran adalah konflik yang Adapun perbedaannya antara lain tulisan
terjadi di dalamnya. Konflik dalam relasi ini se- Romaeti (2011) lebih berfokus pada premis-
sungguhnya patut ditempatkan sebagai hal yang premis yang dilontarkan Ustadz Jefri al-Bukhari

JSW (Jurnal Sosiologi Walisongo) – Volume 3, No. 2, 2019 │ 147


Wahyu Budi Nugroho, Sukma Sushanti

mengenai pacaran, khususnya berkaitan dengan berdasarkan takaran nilai, norma, dan budaya
dampaknya terhadap moralitas remaja. Rahayu suatu masyarakat. Terakhir, kekerasan fisik,
(2015) mengkaji relasi pacaran melalui sudut adalah bentuk “ancaman terhadap tubuh”;
pandang pendidikan Islam. Pratiwi (2012) lebih kekerasan fisik menimbulkan rasa sakit terhadap
berfokus pada gambaran dan perilaku pacaran tubuh, dapat membekas ataupun tidak, tetapi
pada fase remaja awal. Muslimah (2013) meng- umumnya membekas (Bourdieu, 2009).
kaji tentang relasi ekspresi cinta dalam pacaran Sementara itu pacaran dapat diartikan sebagai
pada remaja yang menempuh pendidikan di relasi sosial intim (dekat) antara dua individu
Madrasah Tsanawiyah. Indrayani (2016) mem- berlawanan jenis yang bertujuan untuk mencari
bahas mengenai perilaku berpacaran remaja di kesesuaian diri satu sama lain guna menuju
Desa Batubelah, Kecamatan Kampar, Kabupaten kehidupan berkeluarga (Sharma, 2015). Feno-
Kampar. mena pacaran adalah budaya yang awalnya
Lebih jauh artikel ini lebih berfokus pada ditemui pada masyarakat Barat, namun kini turut
anatomi konflik yang terjadi dalam hubungan membudaya pada masyarakat Timur. Umumnya,
pacaran baik pada remaja maupun dewasa. mereka yang menjalin relasi pacaran adalah
Anatomi konflik ini mengambil wujud baik individu yang telah dewasa dan akan me-
kekerasan verbal maupun fisik dalam hubungan langsungkan kehidupan berkeluarga, tetapi kini
pacaran yang akan dikaji lebih jauh. Tidak hanya pacaran juga dilakukan oleh remaja, bahkan
itu saja, tapi juga berupaya menghasilkan anak-anak. Lebih jauh, perkembangan studi
formulasi penyelesaian konflik dari berbagai gender menyebabkan definisi mengenai “pacar-
konflik yang terjadi dalam hubungan pacaran an” saat ini perlu dirubah. Dengan diakuinya
sesuai derajat-derajat tertentu. “jenis kelamin ketiga” yang sedikit-banyak ter-
Secara sosiologis, “kekerasan” diartikan se- representasi lewat hadirnya kelompok sosial
bagai “agresi jahat yang tidak terukur” (Ray, LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender),
2014). Agresi ini seringkali tidak hanya pacaran tidak lagi hanya bisa diasosikan bagi
menimbulkan korban luka, tetapi juga korban mereka dua individu yang berlawanan jenis,
jiwa. Dalam ranah keilmuan sosial-humaniora, tetapi juga sesama jenis (Barker, 2009). Dalam
kekerasan setidaknya mengambil tiga bentuk; artikel ini, definisi pacaran yang digunakan tetap
kekerasan simbolis, kekerasan verbal, serta mengacu pada relasi antara dua individu
kekerasan fisik. Kekerasan simbolis umumnya berlawanan jenis, yaitu laki-laki dan perempuan.
hadir melalui kode-kode atau tanda citra visual, Sedangkan anatomi konflik terdiri dari istilah
sebagai misal, citra-citra yang mengintimidasi diri anatomi dan konflik. istilah “anatomi” berasal dari
kita. Kekerasan verbal mewujud dalam perkataan bahasa Yunani yang berarti “memotong”. Dalam
lisan atau wicara yang menyakiti perasaan, atau ilmu pengetahuan modern, anatomi berkaitan
bisa juga ungkapan-ungkapan yang sesungguh- dengan cabang disiplin biologi yang berkenaan
nya tidak patut dan tidak layak untuk dikatakan dengan struktur berikut organ(isasi) makhluk

148 │ JSW (Jurnal Sosiologi Walisongo) – Volume 3, No. 2, 2019


Kekerasan dalam Pacaran ....

hidup. Lebih jauh, istilah ini kerap diasosiasikan Jean Paul Sartre mengenai cinta. Bagi Simmel,
dengan studi zootomi (anatomi hewan) dan apabila konflik adalah salah satu wujud relasi
fitotomi (anatomi tumbuhan). Dalam ranah ke- sosial, maka seharusnya konflik pun bersifat
ilmuan sosial, istilah anatomi digunakan untuk asosiatif (kerjasama). Dimensi kerjasama dalam
menunjuk struktur dan pola-pola interaksi antar- konflik menurut Simmel adalah upaya setiap
individu. Hal ini sebagaimana pendefinisian pihak untuk mengeliminasi yang lain. Sebagai
sosiologi oleh Walter dan Crook (dalam Usman, misal, apabila dalam perusahaan membutuhkan
2004): “Sociology is the systematic analysis of the satu karyawan baru, sedangkan terdapat tiga
structure of social behavior” [“Sosiologi adalah orang pelamar, maka ketiga orang tersebut
analisis sistematis mengenai struktur perilaku sebetulnya sedang saling bekerjasama untuk
sosial”]. Pola perilaku yang berstuktur sebagai- mengenyahkan yang lain. Di samping itu, keber-
mana dimaksudkan di sini adalah perilaku yang adaan individu lain dalam kompetisi memberikan
diulang-ulang sehingga menunjukkan pola-pola kesempatan bagi individu untuk menunjukkan
tertentu. kelebihan diri dibandingkan individu lain. Hal ini
Secara sosiologis, “konflik” diartikan sebagai tentu tidak dapat terjadi tanpa adanya persaingan
suatu proses sosial antara dua orang atau lebih dengan individu lain, oleh karenanya, konflik pun
(bisa juga kelompok) di mana salah satu pihak adalah bentuk kerjasama menurut Simmel
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara (Zeitlin, 1973; Poloma, 1979).
menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya Pemikiran konflik Coser menyatakan bahwa
(Zeitlin, 1973). Kadar konflik dalam ranah sosial konflik akan berdampak positif sejauh tidak
berbeda-beda, yakni dari persaingan, pertentang- menyinggung “tema inti”. Tema inti yang di-
an, perselisihan, kontravensi, diskonformitas, maksud Coser adalah perihal sensitif, umumnya
hingga kekerasan. Namun dalam ranah sosial, persoalan-persoalan personal yang begitu mem-
konflik menjadi hal yang wajar mengingat setiap bekas bagi individu dan akan menyulut emosi
individu memiliki pemikiran dan perasaannya individu terkait apabila seseorang menyinggung-
tersendiri, sehingga gesekan atau benturan nya. Dengan demikian, tema inti bagi setiap
pemikiran berikut perasaan (baca: kepentingan) individu berbeda-beda, hal ini seperti sebab-
tersebut menjadi tidak terhindarkan. Hanya saja, sebab tertentu dan spesifik yang bisa membuat
konflik yang terjadi menjadi tidak wajar apabila individu tersulut amarahnya. Namun demikian
berekses pada kekerasan mengingat hal tersebut menurut Coser, sejauh konflik yang terjadi tidak
dapat melukai fisik bahkan menghilangkan menyinggung tema inti, ini akan baik bagi relasi
nyawa seseorang. Berdasarkan paparan di atas, antarindividu. Seringkali konflik diperlukan untuk
istilah “anatomi konflik” yang dimaksudkan di sini lebih memahami karakter antarindividu (Zeitlin,
adalah struktur atau pola konflik yang timbul 1973; Poloma, 1979).
dalam relasi pacaran. Pemikiran sosiologi eksistensialisme Jean Paul
Artikel ini memakai perspektif konflik George Sartre mengenai cinta cenderung bersikap
Simmel, Lewis Coser, sosiologi eksistensialisme pesimis atasnya. Sartre mendaulat cinta sebagai

JSW (Jurnal Sosiologi Walisongo) – Volume 3, No. 2, 2019 │ 149


Wahyu Budi Nugroho, Sukma Sushanti

kegagalan individu mempertahankan dirinya Erich Fromm mendaulat cinta sebagai “modus
sebagai subjek. Sartre juga mengatakan bahwa menjadi” ketimbang “memiliki”, serta Thomas
eksistensi cinta tidak lebih sebagai bukti “terjebak Hobbes yang menganggap cinta tidak lebih
pada dunia orang lain”. Bagi Sartre, dimensi ke- sebagai reaksi kimia tubuh manusia semata
tertindasan cinta terletak pada berbagai tuntutan (Martin, 2018). Lebih jauh akan terlihat berbagai
yang dimiliki satu pasangan terhadap pasangan perspektif subjektif mengenai “cinta”. Pendefinisi-
lainnya, inilah mengapa Sartre menyebut cinta an “cinta” tentu sangat penting mengingat cara
sebagai “penjara halus”. Kepesimisan Sartre ter- mendefinsikan sesuatu, berdampak besar pada
hadap cinta juga ditunjukkan lewat pemikirannya bagaimana sikap atau tindakan mengenainya.
ihwal cinta sebagai objektivasi terhadap orang
CMA (21) mendefinisikan cinta sebagai,
lain. Dalam cinta, yang terjadi adalah hukum
“Cinta itu kayak dua orang yang saling suka,
“menindak” ataukah “ditindak” sehingga salah
saling pingin menjaga. Terus cinta itu datang
satu akan lebih dominan terhadap lainnya, dan dengan sendirinya aja gitu, tiba-tiba aja dia,
memang menurut Sartre, sejak awal pertemuan misalnya nih aku suka sama dia, kayak
antarmanusia menemui wujudnya sebagai nyaman terus tiba-tiba aja jatuh cinta gitu.”
konflik (Nugroho, 2013). Uniknya pendefinisian cinta menurut CMA
Artikel ini bersifat deskriptif-eksplanatif yang adalah seolah cinta sebagai perasaan yang
lebih menekankan pada proses dan kedalaman muncul secara tiba-tiba atau begitu saja. Padahal,
analisis atas data. Lebih jauh, deskriptif ber- gejala semacam ini nyaris musykil. Cinta pada
maksud berupaya menggambarkan fenomena pandangan pertama misalkan, faktual juga di-
yang terjadi, sedangkan eksplanatif berupaya sebabkan secara inderawi, karena melihat lawan
menjelaskan fenomena yang ada baik secara jenis yang cantik atau tampan, hanya saja,
sebab-akibat, interpretatif, ataupun diakronik. perasaan cinta seperti itu bisa didaulat lebih
Artikel ini berlatar alamiah, menggunakan narasi didominasi oleh nafsu. Sebetulnya, jatuh cinta
sebagai data, dan interpretasi sebagai teknik selalu memiliki alasan, hanya saja seringkali
analisis. Di samping itu, sebagaimana pemaham- pelaku tidak mengetahui atau tidak menyadari-
an tentang pendekatan kualitatif pada umumnya, nya. Dalam kasus CMA misalkan, perilaku saling
artikel ini tidak ditujukan untuk menggeneralisir suka pastinya diawali oleh sesuatu atau sebab
atau menciptakan premis-premis universal atas tertentu.
suatu fenomena (Moleong 2011).
PPD (21) mendefinisikan cinta sebagai
Cinta Didefinisikan Kembali berikut, “Cinta ya, itu kalau menurut aku tindakan
saling memberi dan saling mengasihi.”
Banyak para figur dan tokoh ilmu sosial-
PPD mengambil definisi cinta yang cukup
humaniora berusaha mendefinisikan kata “cinta”.
umum, yakni sebentuk tindakan saling memberi
Kahlil Gibran misalnya, menyebut cinta sebagai
dan mengasihi. Di sini, cinta menurut PPD
sesuatu yang menggetarkan. Jean-Paul Sartre
sebetulnya cukup bersyarat, yakni ada sesuatu
menyebut cinta sebagai “keyakinan yang buruk”.

150 │ JSW (Jurnal Sosiologi Walisongo) – Volume 3, No. 2, 2019


Kekerasan dalam Pacaran ....

yang diberi, dan ada sesuatu yang diterima. other sesungguhnya tersirat kepentingan untuk
Dengan demikian, cinta menurut pendefinisian memenuhi kebutuhan satu sama lain. Dalam hal
PPD menutup kemungkinan cinta yang tidak ini, “saling memahami” tidak hanya menjadi se-
berpamrih. buah konsep, tetapi “tindakan” untuk dipraktik-
Menurut Munir (21), cinta adalah, kan.

“Pada dasarnya cinta engga boleh terbagi Cinta pada Pasangan, Teman, dan
pada yang lainnya, kita akan terfokus pada
satu orang. Ada kasih, ada sayang, ada
Keluarga
pemurah.” Bahasa Yunani Kuno mempunyai definisi yang
Munir lebih menekankan cinta dalam per- cukup kaya mengenai cinta. Dalam bahasa Yunani
spektif monogami, yakni cinta yang berfokus Kuno, cinta adalah sophein. Lebih jauh, sophein
pada satu lawan jenis. Di samping itu, terdapat dibagi menjadi tiga, yakni; agape, philia, dan eros.
pula syarat cinta menurutnya, yakni; kasih, Agape lebih condong pada cinta terhadap
sayang, dan pemurah. Pendefinisian cinta me- keluarga, agape dinilai bentuk cinta yang paling
nurut Munir menyangkal bentuk-bentuk ke- tinggi karena tidak melihat fisik dan asal-usul
tegasan sebagai salah satu bentuk cinta. Padahal, seseorang. Philia lebih kepada cinta terhadap
pada momen-momen tertentu ketegasan —juga sahabat atau teman, sedangkan eros adalah cinta
kedisiplinan— diperlukan dalam cinta. romantis antarlawan jenis, yakni cinta yang
penuh nafsu (Martin, 2018). Sementara, dalam
Bagi AZM (23) cinta adalah “Saling menerima
bahasa Indonesia, pengertian cinta agaknya tidak
kelebihan dan kekurangan masing-masing.”
terlalu kaya. Umumnya, cinta selalu didefinsikan
AZM turut mengambil pendefinisian cinta
dalam bentuk cinta eros, yakni cinta yang
yang cukup umum. Pendefinisian cinta oleh AZM
ditujukan pada lawan jenis. Lebih jauh, kita akan
dapat dengan mudah ditemui dalam berbagai
melihat bagaimana para informan membedakan
konstruksi budaya pop. Namun, konstruksi cinta
antara cinta dengan pasangan, teman, dan
yang disebutkan AZM dirasa lebih masuk akal
keluarga.
dan dewasa dibandingkan beberapa pendefinsian
CMA (21): “... beda pasti, kalo misalnya
cinta oleh para informan lainnya. Hal ini meng-
keluarga kan kayak dari lahir itu udah
ingat AZM tidak melupakan dimensi “dialog” sayang sama kita, kalo sama pacar kan kayak
dalam cinta. masih masa-masa puber gitu lho baru
mengenal cinta pada lawan jenis. Kan kalau
Menurut Fiqri (24), cinta adalah “Under-
misalnya sama keluarga kan gak cuma lawan
standing other, saling memahami lah karena jenis aja, itu kan kayak keluarga gitu.”
pengertiannya kek gitu yang paling dimengerti.”
Pengertian cinta pada keluarga menurut CMA
Pendefinisian cinta oleh Fiqri memiripkan sedikit-banyak sesuai dengan karakter agape,
bentuknya dengan AZM, yakni menekankan pada yakni cinta yang tidak melihat fisik, jenis kelamin,
aspek dialogis. Di balik kalimat understanding atau asal-usul seseorang. Cinta yang memang

JSW (Jurnal Sosiologi Walisongo) – Volume 3, No. 2, 2019 │ 151


Wahyu Budi Nugroho, Sukma Sushanti

sudah semestinya diarahkan untuk mencintai, Dengan kata lain, terdapat patokan atau ukuran-
atau dengan kata lain: “Cinta untuk cinta”. ukuran tentang bagaimana seharusnya “kegiatan
Menariknya, CMA mendefinisikan cinta eros berpacaran” dilangsungkan. Hal ini juga me-
berdasarkan periodesasi waktu, yakni baru nyiratkan cinta sebagai sesuatu yang bersyarat,
muncul di masa pubertas. yakni; jalan-jalan (ngedate), nonton, dan lain
PPD (21): “...iya beda, kalau sama orangtua ni sejenisnya. Pandangan cinta pada pasangan
kan seandainya kita dimarahain itu artinya menurut Tobel dapat pula disebut “cinta yang
kan rasa cinta orantua terhadap kita. Kalau terbirokrastiskan” dan terukur. Sementara,
sama pacar kan biasanya itu yang saling
pandangan cintanya terhadap keluarga adalah
suka, saling sayang. Terus yang ngebedain
lagi cara orangtua ngerawat itu kan juga ihwal yang tidak bersyarat dan tidak ter-
termasuk rasa cinta.” standarisasi, yakni cinta sebagai cinta.
Pernyataan PPD seolah mengambil garis Munir (21): “... bedanya di proporsi. Mungkin
pemisah yang tegas antara cinta keluarga dengan kalau lebih ke keluarga itu bukan bentuk cinta
pacar, yakni “kemarahan” sebagai ihwal yang tapi bentuk kasih.”
wajar dalam cinta keluarga (orangtua), se- Boleh jadi, apa yang dimaksudkan Munir
mentara hal itu dianggap tidak wajar dalam adalah “porsi” atau besaran jumlah cinta yang
hubungan pacaran. Di sini, PPD menutup ke- dicurahkan. Baginya, secara tersirat, cinta ter-
mungkinan kemarahan sebagai bentuk cinta dan hadap pasangan mempunyai porsi atau batasan-
sayang dalam hubungan pacaran. batasan, sedangkan cinta pada keluarga tidak
Tobel (22): “... ya itu dia.. kan kayak tulus berporsi dan sama sekali tidak terbatas. Per-
banget gitu kan, kayak kalau sama pacar gua nyataan Munir menunjukkan secara jelas bahwa
sendiri ke dia, dibuat-buat aja gitu, ‘oh
ia bisa lebih memilih keluarga ketimbang pasang-
pedoman bercinta itu kayak gini-gini’, ‘jadi
aku harus kayak gitu’ kayak seragam gitu an. Bahkan lewat pernyataannya, kiranya pasang-
kayak orang orang kayak harus jalan, an dianggap sebagai sosok yang asing, dengan
ngedate gitu gitu. (jadi bagi dia pacaran dan demikian agaknya menjadi cukup pesimis meng-
cinta itu cuma sekedar pedoman untuk harapkan cinta yang menyatu dalam pandangan
membuat seragam gimana bertingkah laku
ketika punya pasangan) ... kalau ama Munir, sementara: “In love, one and one are one”,
keluarga mah sih kayak tulus, tulus aja gitu menurut Jean-Paul Sartre.
rasanya. kayak gua demen artinya gua cinta AZM (23): “... membedakan kasih sayang?
sama keluarga gua.”
Bisalah. Yang membedakan mungkin saat
Hal menarik dari perbedaan antara cinta pada ditinggalkan yang paling mencolok.”
pasangan dengan cinta pada keluarga menurut
Ungkapan AZM cukup unik, baginya per-
Tobel di atas adalah, dalam cinta pasangan
bedaan antara cinta pada pasangan dengan cinta
(pacar), ia serasa terdapat standar yang jelas
keluarga barulah diketahui atau bisa diidentifikasi
tentang bagaimana seharusnya seseorang me-
pada momen-momen tertentu, yakni ketika
lakukan hubungan pacaran dengan lawan jenis.
dirinya ditinggal kekasih. Secara tidak langsung,

152 │ JSW (Jurnal Sosiologi Walisongo) – Volume 3, No. 2, 2019


Kekerasan dalam Pacaran ....

AZM hendak berkata bahwa keluarga tidak telah memiliki cinta serius. Ihwal menarik dari
mungkin meninggalkannya, atau memiliki cinta pernyataannya adalah, “... kalau yang ini sudah
yang abadi—tidak lekang waktu. Sementara, satu agama”. Ini artinya, CMA menjadikan agama
cinta kekasih bersifat temporer atau sementara; yang sama sebagai salah satu tolak ukur cinta
sang kekasih tidak lagi mencintainya ketika yang serius. Dengan kata lain, apabila tidak satu
meninggalkannya. Hal ini agaknya juga berlaku agama yang sama, maka cinta itu belumlah serius.
sebaliknya bagi AZM. Cintanya pada keluarga Di samping itu, CMA mengaku juga telah mem-
tidak lekang waktu, sedangkan cintanya pada bicarakan hubungan pacarannya hingga jenjang
pasangan bisa dibatasi oleh waktu. pernikahan. Hal lain yang menurutnya menjadi-
kan hubungan yang sekarang sebagai cinta yang
Cinta Tidak Serius dan Cinta Serius serius adalah adanya kedewasaan. Sebagai misal,
Upaya guna mendefinisikan “cinta tidak dahulu ia harus terlebih dahulu meminta izin
serius” akan lebih baik dilakukan apabila terlebih kepada orangtua, sedangkan sekarang tidak perlu
dahulu kita mendefinisikan apa itu “cinta yang lagi.
serius”. Cinta serius sebagaimana dimaksudkan di PPD (21) untuk pertama kalinya mengalami
sini adalah cinta yang berwawasan ke depan, bisa cinta yang tidak serius saat duduk di bangku SMA.
berupa hubungan pacaran atau bukan pacaran Ia pun mengakui bahwa hubungannya dengan
yang tertuju pada pernikahan untuk membina pasangan kala itu tidaklah serius, bahkan PPD
hubungan keluarga dan berketurunan. Sebalik- secara tegas menyebutnya sebagai “cinta mo-
nya, “cinta tidak serius” dapat diterjemahkan nyet”. Keputusan untuk tidak menyeriusi
sebagai kebalikan dari kualitas-kualitas yang hubungan yang ia jalani dikarenakan melihat
terdapat pada cinta serius. Umumnya, cinta tidak karakter pasangan yang posesif. Sementara untuk
serius urung berwawasan ke depan, bersifat saat ini, PPD sama sekali belum menjalin cinta
dangkal, dan sekadar mengedepankan aspek yang serius. Menurutnya, cinta yang serius adalah
afeksi atau emosi. Dengan demikian, cinta yang cinta yang penuh komitmen, tidak peduli jarak
demikian bersifat irasional, banyak orang jauh/dekat memisahkan. Di samping itu, tolak
menyebutnya sebagai “cinta monyet” atau “cinta ukur cinta yang serius menurut PPD adalah
anak kecil”. keberanian setiap pihak (pasangan) untuk meng-
Cinta serius maupun cinta tidak serius dialami hadap orangtua masing-masing.
dalam waktu yang berbeda-beda. CMA (21) Berbeda dengan CMA dan PPD, Tobel (22)
mengatakan untuk pertama kalinya merasakan telah merasakan cinta yang tidak serius saat
cinta tidak serius pada kelas 2 SMP. Menurutnya, duduk di bangku SD. Dia terkesan cukup
cinta yang tidak serius adalah cinta yang sekadar kesulitan menjelaskan atau mengartikulasi-
disebabkan oleh kekaguman semata, sebagai- kannya. Apa yang ditegaskan olehnya adalah, kala
mana yang dialaminya pada kelas 2 SMP. Namun itu ia sekadar melihat paras cantik dari lawan
saat ini, di bangku kuliah, ia mengatakan bahwa jenis, dan sekadar menyukainya begitu saja. Di

JSW (Jurnal Sosiologi Walisongo) – Volume 3, No. 2, 2019 │ 153


Wahyu Budi Nugroho, Sukma Sushanti

bangku SMP, Tobel juga kembali terlibat hasrat untuk memiliki. Sementara menurutnya,
hubungan cinta yang tidak serius, ia pun masih cinta yang serius adalah cinta yang tidak sekadar
menggunakan tolak ukur yang sama, yakni pacaran, tetapi juga sudah membincangkan pada
kecantikan paras lawan jenis. Namun menurut- jenjang yang lebih tinggi, yakni pernikahan.
nya, cinta yang serius adalah cinta yang telah Pendefinisian AZM tentang cinta serius kiranya
memiliki arah dan tujuan, di samping itu ia juga memiripkan dengan pendefinisiannya secara
mengatakan bahwa cinta yang serius adalah umum. Berbeda halnya dengan beberapa
“cinta yang membuat kita merasa pasangan informan sebelumnya, AZM mengaku telah
menjadi bagian dari diri kita, dan ingin mengalami cinta serius sejak duduk di bangku
menghabiskan hidup bersamanya”. kelas 3 SMP, kemudian juga saat duduk di bangku
Munir (21) untuk pertama kalinya merasakan SMA. Dapatlah ditilik, perspektif cinta menurut
cinta yang tidak serius saat duduk di bangku SMA. AZM agaknya cukup serius, ia menolak
Menurutnya, apa yang ia rasakan kala itu pendefinisian pacaran sebagai tindakan main-
hanyalah kebahagiaan; bahagia menyukai main atau coba-coba. Baginya, apabila demikian,
pasangan, bahagia bertemu pasangan, juga maka itu belumlah disebut pacaran.
bahagia menghabiskan waktu bersama pasangan.
Konflik dalam Pacaran
Namun ia mengatakan jika dalam hubungan itu ia
tidak melibatkan perasaan yang mendalam. Hal Konflik adalah sesuatu yang wajar dalam
ini baru ia lakukan ketika menginjak bangku setiap interaksi sosial. Secara sosiologis, konflik
kuliah, yakni kali pertama pengalamannya diartikan sebagai proses sosial di antara dua
merasakan cinta serius. Akan tetapi, perasaan orang atau lebih di mana salah satu pihak
cinta seriusnya pada lawan jenis faktual tidak berupaya menyingkirkan pihak lain dengan cara
dimotivasi oleh faktor antroposentris semata, menghancurkan atau membuatnya tidak
yakni hubungan antarmanusia an-Sich, melainkan berdaya. Penyebab utama terjadinya konflik
karena ia melihat lawan jenis tersebut begitu taat adalah perbedaan sudut pandang dan ke-
beragama. Di sini, cinta yang serius menurut pentingan. Hal ini umum mengingat setiap
Munir berkaitan dengan tata cara beragama individu memiliki pemikiran dan perasaan yang
kehidupan sehari-hari, yakni ia ingin menikah berbeda-beda, sehingga persinggungan antarsatu
(baca: didampingi) oleh sosok yang juga bisa sama lain pun tidak terhindarkan. Lebih jauh,
membimbingnya dan menjadikannya manusia pacaran sebagai bentuk interaksi antara kedua
lebih baik. belah pihak yang umumnya berlawanan jenis
pun tidak pernah terlepas dari konflik, baik dalam
Perspektif cukup menarik hadir dari AZM
skala kecil maupun skala besar. Skala besar
(23), menurutnya cinta monyet atau cinta yang
semisal hingga membuat pasangan mengakhiri
tidak serius tidaklah bisa dikategorikan sebagai
hubungan, atau ketika konflik berujung pada
cinta. Lebih jauh menurutnya, cinta yang tidak
kekerasan.
serius sekadar didasarkan pada kekaguman dan

154 │ JSW (Jurnal Sosiologi Walisongo) – Volume 3, No. 2, 2019


Kekerasan dalam Pacaran ....

CMA (21) mengatakan bahwa konflik atau ada” melalui kebisuannya. Dengan kata lain,
pertengkaran yang terjadi antara dirinya dengan “diam” sekadar mengambil wujud lain dari
pasangan biasanya disebabkan oleh hal-hal kecil. kemarahan, dan ini seturut dengan ungkapan
Semisal, penggunaan nada tinggi dalam Simmel (dalam Wolff, 1950) tentang konflik
komunikasi sehingga satu sama lain saling sebagai upaya untuk mengeliminasi
berbalas nada tinggi. Lebih jauh ia mengakui, (meniadakan) salah satu pihak.
ketiadaan waktu dirinya bagi pasangan juga Cukup berbeda dari CMA dan PPD, konflik
menjadi sebab pertengkaran yang sering terjadi, yang dialami Tobel (22) dengan pasangan
bahkan hingga pasangannya meminta putus. biasanya dikarenakan saling cemburu. Namun
Namun demikian menurut CMA, pada akhirnya uniknya, Tobel selalu memiliki cara agar
pasangannya lah yang meminta maaf dan pasangan tidak marah berkepanjangan, ia biasa
mengoreksi kata-katanya. Begitu pula yang membuat kejutan-kejutan agar pasangan
dialami PPD (21), konflik yang terjadi antara melupakan kemarahannya. Berbeda dengan
dirinya dengan pasangan umumnya juga pasangan PPD, apabila sedang marah, pasangan
disebabkan oleh persoalan waktu, terutama Tobel terus-menerus membahas persoalan yang
dirinya yang tidak sempat membalas BBM (Black membuatnya marah, inilah mengapa Tobel harus
Berry Messenger). Umumnya, bentuk konflik yang selalu mencari cara agar pasangan melupakan
terjadi antara PPD dengan pasangannya adalah kemarahannya. Berbeda dengan beberapa in-
saling mendiamkan. Dalam hal ini, PPD lah yang forman sebelumnya, konflik yang dialami Munir
harus selalu terlebih dahulu menghubungi (21) lebih sering disebabkan oleh agama yang
pasangannya. berbeda dengan pasangannya. Pada awalnya,
Penggunaan nada keras pada pasangan sudah intensitas konflik cukup keras, namun lama-
tentu menemui wujudnya sebagai konflik. Secara kelamaan tensi konflik dapat menurun dikarena-
sadar maupun tidak sadar, cara tersebut kan pasangan Munir tidak lagi mendengarkan
digunakan untuk menyingkirkan atau membuat “kicauan” orangtuanya ihwal larangan pacaran
tidak berdaya salah satu pihak. Dalam konteks ini dan menikah berbeda agama. Di samping itu,
adalah mengeliminasi argumen atau pendapat konflik yang dialami Munir dan pasangan juga
pihak lain sehingga pendapat pelakulah yang kerap diakibatkan oleh rasa cemburu. Terkait hal
dominan. Di satu sisi, mendiamkan pasangan, ini, Munir menganggapnya wajar karena me-
secara sosiologis, juga termasuk dalam interaksi nurutnya justru cemburu itu menunjukkan rasa
sosial mengingat diam sendiri adalah respon cinta.
terhadap perkataan atau perilaku pihak lain. Apa yang dilakukan Tobel di atas sebagai-
Sikap diam yang dilakukan di sini sesungguhnya mana kajian Sartre (1956) mengenai berbagai
juga tidak terlepas dari agresi, yakni bagaimana “tuntutan dalam cinta”. Meskipun pasangan Tobel
emosi negatif individu mewujud lewat tidak menuntut dirinya untuk memberi hadiah,
kekuataannya membuat orang lain “seakan tidak namun bagaimanapun juga inisiatif Tobel di-

JSW (Jurnal Sosiologi Walisongo) – Volume 3, No. 2, 2019 │ 155


Wahyu Budi Nugroho, Sukma Sushanti

motivasi oleh kemarahan pacaranya. Dengan kata yang diungkap AZM dalam pertengkaran adalah
lain, ia melakukan itu bukan dikarenakan dirinya self restraint atau “menahan diri”. Ia biasa
sendiri, melainkan orang lain—pacarnya. Itulah menahan emosi, dan baru mengungkapnya
mengapa, Sartre mengatakan hubungan antar- ketika bertemu pasangan. Adapun penyebab
individu yang dilandasi cinta sesungguhnya pertengkarannya dengan pasangan biasanya
nausea ‘memuakkan’ karena merubah struktur disebabkan oleh AZM yang merasa terlalu
being for itself (berada bagi dirinya) menjadi being dikekang oleh pasangannya. AZM mengungkap
for others (berada untuk orang lain), tidak jarang, bahwa pasangannya selalu hendak mengikuti
justru membuat eksistensi manusia menjadi kemana pun dirinya pergi; saat hendak pergi
being in itself (berada dalam dirinya) layaknya bersama teman-temannya, ngobrol bersama
sebuah “benda”. teman-temannya; tidak jarang pula ia kerap
Adapun konflik yang sering terjadi antara dilarang pergi, ini-itu, dan lain sebagainya.
Munir dengan pasangannya akibat rasa cemburu Konflik yang dialami AZM tidak hanya bersifat
sebagimana diutarakan Sartre (1956) bahwa realistis dalam pandangan Coser (dalam Poloma,
pada akhirnya cinta akan menjelma menjadi 1979), tetapi bisa juga merambah ke konflik yang
“hasrat untuk memiliki”. Dalam kondisi demikian, bersifat nonrealistis. Konflik realistis dalam hal ini
manusia kehilangan dirinya sebagai subjek dan adalah konflik langsung antara AZM dengan
sekadar menjadi objek orang lain. Dalam kondisi pasangannya, sedangkan konflik nonrealistis
tertentu, hal tersebut dapat sekadar mereduksi adalah potensi konflik yang bisa terjadi antara
manusia sebagai “daging” semata. Ini dikarena- pasangan AZM dengan kawan-kawan AZM.
kan, rasa posesif menyiratkan ketidaksimpatian Dalam hal ini, kawan-kawan AZM yang
terhadap perasaan dan pemikiran orang lain. sesungguhnya tidak memiliki kepentingan atau
Itulah mengapa, Sartre berkata, “Hasrat selalu masalah apa pun dengan pasangan AZM, dapat
gagal menemukan dirinya sebagai subjek”. Subjek menciptakan konflik baru. Apa yang dilakukan
yang dilingkupi hasrat akan memiliki kesadaran AZM dengan cara menahan diri agaknya sudah
nonreflektif, baik bagi dirinya sendiri maupun tepat, karena hal itu akan menggiring pada konflik
orang lain. kesadaran nonreflektif adalah tipe realistis tanpa antagonisme, yakni bagaimana
kesadaran yang selalu meniadakan subjek dan AZM sekadar memainkan status dan perannya
menggantinya dengan objek. sebagai seorang kawan bagi teman-temannya,
AZM (23) mengaku cukup jarang bertengkar dan seorang pacar bagi pasangannya.
dengan pasangannya. Tetapi sama seperti para
Kekerasan dalam Pacaran; Simbolik,
informan sebelumnya, awalnya pertengkarannya
Verbal, dan Fisik
dengan pasangan selalu dimulai lewat chat,
kemudian telpon, dari telpon biasanya kedua Secara sosiologis, kekerasan adalah tindakan
belah pihak sepakat untuk bertemu keesokannya agresi yang dimaksudkan untuk menyebabkan
guna menyelesaikan masalah. Satu hal menarik penderitaan atau menyakiti orang lain. Lebih jauh,

156 │ JSW (Jurnal Sosiologi Walisongo) – Volume 3, No. 2, 2019


Kekerasan dalam Pacaran ....

kekerasan tidak hanya megambil menifestasi pengalaman ini pun dapat memicu kegelisahan
secara fisik, tetapi juga verbal dan simbolik. dan ketakutan setelahnya. Di samping itu, karena
Kekerasan verbal adalah kekerasan yang disebab- tindakan itu dituainya di tempat umum, maka
kan oleh perkataan kasar lawan bicara sehingga CMA pun mengalami momen eksistensial berupa
menyakiti perasaan. Sedangkan kekerasan “rasa malu”. Dalam pandangan Sartre, rasa malu
simbolik mewujud lewat gestur yang meng- muncul lewat tatapan mata orang lain, yakni
intimidasi. Sebagai misal tatapan mata (cara bagaimana lewat tatapan orang-orang di sekitar
menatap), bahasa tubuh, dan lain sejenisnya. CMA, CMA diminta untuk menilai dirinya sendiri.
Dalam subbab ini kita akan menilik dan mengulas Implikasi yang terjadi akibat pengalaman ini
berbagai bentuk kekerasan yang pernah dialami adalah, CMA justru akan semakin intim dengan
informan selama membina hubungan pacaran dirinya sendiri, dan bukan dengan pasangannya.
dengan pasangan. Pada awalnya, PPD (21) menganggap tidak
CMA (21) pernah mengalami kekerasan pernah merasa menuai kekerasan dari pacarnya.
simbolik, yakni ketika pasangan memberinya Memang, ia tidak pernah menuai gestur yang
gestur acuh tidak acuh dikarenakan sedang mengintimidasi dari pacarnya, kata-kata kasar,
bertengkar. Di samping itu, ia pernah pula me- juga kekerasan fisik dalam bentuk apa pun.
nerima kekerasan verbal berupa kata-kata kasar Namun kemudian, ia berpikir jika tindakan
dari pasangannya, yakni ketika pacarnya meluap- posesif sang pacar juga bisa dikategorikan sebagai
kan kemarahan padanya. Bahkan, CMA juga bentuk kekerasan, tepatnya kekerasan psikis. Di
pernah menerima kekerasan fisik dari pacarnya. sini, PPD tidak menganggap perhatian berlebih
Terkait hal ini, pacar CMA menganggapnya dari sang pacar sebagai bentuk cinta dan sayang,
sebagai candaan, namun hal tersebut tidak hal tersebut justru ia terima secara sebaliknya:
sebagaimana penerimaan CMA dan kawan-kawan menyiksa. Terkait kekerasan dalam pacaran, ia
CMA. Pernah suatu kali, sang pacar memukul- berkomentar bahwa jika telah terjadi kekerasan
mukul kepala CMA, sontak tindakan tersebut dalam segala bentuknya, maka hubungan itu
menjadi perhatian orang-orang di sekitarnya. sudah tidak sehat. Lebih jauh menurutnya,
Kekerasan fisik yang dituai CMA dari hubungan cinta atau pacaran tidak sekadar me-
pacarnya, sebagaimana ungkap Sartre (1956) libatkan dua pihak—antara pria dengan wanita
tentang bagaimana individu bisa berubah men- semata—tetapi juga orang-orang di sekitar
jadi objek semata dalam hubungan cinta. Tentu, mereka, yaitu keluarga, teman-teman, dan lain
CMA mengalami penindasan di sini, ia menuai sebagainya.
pengalaman eksistensial berupa keluar dari Tobel (22) pernah mengalami kekerasan
“kemungkinan-kemungkinan diri” karena tidak verbal dari pacarnya, yakni ketika dia menuai
menyangka bakal menuai kekerasan fisik dari kata-kata “Goblok banget sih kamu!” dari
pacarnya di tempat umum. Ia sama sekali pacarnya. Bahkan, ia mengatakan jika kerap
kehilangan kendali atas dirinya dan pacarnya, menuai perkataan kasar dengan nada tinggi dari

JSW (Jurnal Sosiologi Walisongo) – Volume 3, No. 2, 2019 │ 157


Wahyu Budi Nugroho, Sukma Sushanti

pacarnya. Di samping itu, ia juga pernah Marx dengan false consciousness ‘kesadaran
mengalami kekerasan fisik yakni ketika “tabokan” palsu’, Antonio Gramsci dengan “hagemoni”, atau
pacarnya dianggap keterlaluan. Ungkapnya, hal Herbert Marcuse dengan istilah “desublimasi
itu terjadi dikarenakan sang pacar cemburu. represif”; intinya fenomena ketertindasan
Tobel mengakui jika ia cenderung merasa takut individu atau kolektif yang tidak disadari atau
pada pacarnya. Itulah mengapa ia lebih sering tidak dianggapnya sebagai ketertindasan. Sartre
memilih diam ketika pacarnya sedang marah- mengungkap mungkinnya hal ini terjadi akibat
marah. Begitu juga, Tobel lebih banyak “balutan-balutan halus” dalam interaksi antar-
menyerahkan berbagai keputusan pada pacar- manusia, seperti bagaimana cinta dan kasih
nya, sementara dia mengikutinya begitu saja. sayang menjadi selubung yang menyamarkan
Meskipun berbagai pengalaman tidak mengenak- agresi manusia.
kan dituai Tobel, namun ia mengaku tidak pernah Boleh jadi, pengalaman yang menimpa AZM
berniat memutuskan pacaran. “Sudah sama dia, (23) terbilang paling ekstrim. Ia sempat diancam
ya sama dia aja”, ucapnya. akan dipukul dengan botol kaca oleh pacarnya.
Munir (21) pernah menuai kekerasan Pernah pula, pacarnya memegang botol pecah
simbolik dan verbal dari pacarnya, tetapi ia dan mengancam akan bunuh diri apabila AZM
menganggapnya sebagai bentuk “penyadaran” memutuskan hubungan mereka. Di sisi lain,
bagi dirinya. Dengan kata lain, ia menempatkan berbagai problem yang terjadi antara AZM dan
kekerasan verbal yang diberikan pacarnya se- pacarnya dikarenakan sang pacar terlalu menge-
bagai nasehat dan wujud perhatian agar dirinya kang dirinya menurut AZM. Sebagai misal, ke-
menjadi lebih baik. Umumnya, cara pandang harusan pergi keluar ditemani sang pacar, dengan
Munir hanya bisa terjadi pada orang-orang yang kata lain, AZM tidak boleh pergi bersama teman-
mudah merasa bersalah, dan pada batas-batas temannya (boleh asalkan ditemani sang pacar).
tertentu mengidap masokhisme. Di sisi lain, apa Dijelaskan oleh AZM, biasanya setelah sang pacar
yang dilakukan Munir adalah wujud manipulasi meluapkan kemarahan, pacarnya itu sendirilah
dirinya terhadap realitas. Hal ini bisa dijelaskan yang seketika meminta maaf setelahnya. Di sini,
lewat teori “kesadaran yang terbagi” dari Alfred dapat ditilik psikologis pacar AZM cukup meng-
Schutz (1995). Apabila seseorang tidak mampu khawatirkan. Beruntung, AZM pada akhirnya bisa
menerima atau menghadapi realitas puncak, ia memutuskan pacarnya. Namun itu pun ia lakukan
akan membuat “makna-makna khusus” untuk dengan strategi yang sangat matang untuk
menegaskan bahwa semuanya baik-baik saja. menghindari hal-hal di luar prakiraan—di luar
Di sisi lain, apa yang dialami Munir bisa juga akal sehat—yang bisa timbul dari sang pacar.
dijelaskan lewat pemikiran Sartre (1956) me- Apa yang dialami AZM dalam pandangan
ngenai mauvaise foi atau “keyakinan yang buruk”. sosiologi eksistensialisme Sartre (dalam Nugroho,
Sartre menggunakan istilah ini untuk menjelas- 2013) adalah “terjebak pada dunia orang lain”.
kan fenomena serupa seperti yang dimaksudkan Dengan demikian, individu didefinisikan orang

158 │ JSW (Jurnal Sosiologi Walisongo) – Volume 3, No. 2, 2019


Kekerasan dalam Pacaran ....

lain, ia tidak memiliki kuasa untuk menciptakan “Tema inti” yang dimaksudkan Coser (dalam
“narasinya” sendiri. Hampir setuap perilaku AZM Poloma, 1979) adalah suatu isu yang bersifat
terkerangka dalam perilaku pacarnya, dan inilah sangat pribadi (personal) yang membuat
yang memunculkan ketakutan baik itu disadari seseorang begitu sensitif akannya. Dalam hal ini,
ataupun tidak oleh AZM. Ketakutan yang di- “tema inti” pun mengambil bentuk yang berbeda-
maksud di sini adalah ketakutan AZM terhadap beda antarsatu pihak dengan pihak lainnya.
“kebebasannya sendiri”. AZM bisa saja tidak Sebagai misal, terdapat pasangan yang merasa
mengambil pusing ancaman pacarnya, namun ini paling tidak nyaman (baca: tidak suka) apabila
memiliki beberapa konsekuensi; Pertama, bisa pasangannnya mengungkit mantan kekasih.
jadi pacarnya hanya mengancam dirinya. Kedua, Dengan demikian, isu itu menjadi tema intinya.
boleh jadi pacarnya memang akan bunuh diri jika Contoh lain, terdapat pasangan yang paling
AZM meninggalkannya. Inilah mengapa, Sartre merasa tidak nyaman jika dibandingkan dengan
berkata, “Kebebasan adalah pusaran kemungkin- sosok lain, maka hal ini menjadi tema intinya.
an di mana kita dibuat takut olehnya”. Dalam Lebih jauh, apabila konflik yang terjadi
kasus ini, AZM pada awalnya cenderung berusaha menyinggung tema inti, maka konflik ini takkan
lari dari kebebasannya, meskipun pada akhirnya memiliki dampak positif bagi setiap pihak,
ia memenangkan kebebasannya dengan cara melainkan dapat mengakhiri hubungan kedua-
memutuskan pacarnya. nya.
Tema inti dari setiap pasangan pacaran rupa-
Anatomi Konflik dan Resolusinya
rupanya berbeda-beda sebagaimana diungkap-
Lewis A. Coser mengatakan bahwa konflik kan Coser. Terdapat pasangan yang menempat-
dapat berdampak positif bagi interaksi. Hal kan kurangnya perhatian sebagai tema inti, dan
serupa sebelumnya juga telah dikemukakan ada pula pasangan yang menempatkan ke-
George Simmel, “Apabila interaksi dapat ditempat- posesifan pasangan lain sebagai tema intinya.
kan sebagai kerjasama, maka begitu pula Tegas dan jelasnya, sejauh konflik yang terjadi
seharusnya dengan konflik”, ungkap Simmel dalam hubungan pacaran tersebut tidak me-
(dalam Wolff, 1950). Hal ini dikarenakan, konflik nyinggung tema inti, maka konflik yang terjadi
sesungguhnya juga merupakan bentuk interaksi, selalu dapat dicarikan resolusinya. Sementara,
hanya saja mengambil bentuk dan pola berlainan. apabila telah menyinggung tema inti, maka
Baik menurut Simmel maupun Coser, konflik konflik yang terjadi mengakhiri hubungan
dapat membantu masing-masing pihak lebih keduanya. Sebagai misal, terdapat remaja yang
memahami kebutuhan satu sama lain, hal terkait menempatkan agama sebagai tema inti, maka ia
pada gilirannya dapat memperkuat ikatan yang pun pada akhirnya harus merelakan kekasihnya
terjalin. Namun sebagaimana telah disinggung yang berbeda agama bersama orang lain.
sebelumnya, apabila sejauh konflik tersebut tidak Lebih jauh, Coser (dalam Poloma, 1979) juga
menyinggung “tema inti”. mengemukakan berbagai tipe konflik, antara lain;

JSW (Jurnal Sosiologi Walisongo) – Volume 3, No. 2, 2019 │ 159


Wahyu Budi Nugroho, Sukma Sushanti

konflik realistis, konflik nonrealistis, serta konflik sosok orang lain, bertindak layaknya orang lain,
realistis tanpa antagonisme. Konflik realistis dan lain sejenisnya. Meskipun bersifat sementara,
adalah konflik yang bersifat langsung dan konkret, namun hal ini dapat memicu konflik antar-
dalam arti, subjek konflik mengemukakan ke- pasangan. Akan tetapi, konflik tipe ini selalu bisa
pentingan atau ketidakpuasannya secara langsung diredam, dan tidak sampai mengakhiri hubungan
pada objek konflik utamanya. Konflik nonrealistis pasangan.
adalah konflik yang bersifat tidak langsung dan Hal lain yang diungkapkan Coser (dalam
abstrak, yakni subjek konflik mengemukakan Poloma, 1979) dalam teori konfliknya adalah
ketidakpuasannya pada objek perantara konflik, keberadaan safety valve atau “katup penyelamat”.
dan bukannya objek konflik utama. Sementara, Katup penyelamat yang dimaksud adalah pihak
konflik realistis tanpa antagonisme adalah konflik ketiga yang bisa menengahi konflik. Dengan kata
yang terjadi karena masing-masing pihak sekadar lain, katup penyelamat berfungsi sebagai tempat
menempatkan diri pada status dan perannya. di mana konflik dikelola. Katup penyelamat di sini
Ketiga tipe konflik di awal ditemui dalam dapat pula didaulat sebagai sarana untuk men-
konflik hubungan pacaran. Konflik realistis terjadi damaikan kedua belah pihak yang sedang bertikai,
apabila salah satu pasangan menjadi penyebab atau mencegah terjadinya skala konflik yang lebih
konflik secara langsung. Sebagai misal, ketika besar.
pasangan lebih memilih pergi bersama teman- Katup penyelamat antarpasangan ternyata
temannya, atau kurangnya perhatian, pun berbeda-beda. Terdapat pasangan yang me-
berbagai bentuk kekerasan yang dilakukan salah nempatkan sahabatnya sebagai penengah,
satu pasangan. Adapun konflik nonrealistis terjadi saudaranya, bahkan orangtuanya. Namun uniknya,
ketika terdapat pihak ketiga yang menyebabkan katup penyelamat seringkali justru tidak menjalan-
terjadinya ketegangan (konflik), namun pasangan kan fungsinya sebagai resolusi konflik. Pihak ketiga
justru melampiaskan langsung satu sama lain. justru membuat skala konflik semakin luas dan
Sebagai contoh, konflik yang disebabkan ketidak- tidak terukur. Dengan kata lain, katup penyelamat
setujuan orangtua terhadap hubungan, hal ini yang umumnya ditemukan justru tidak berperan
seringkali justru memicu konflik antarpasangan. mendamaikan konflik, melainkan membuat
Seyogiyanya, objek konflik langsung dari per- pasangan mengakhiri hubungannya.
soalan ini adalah orangtua pasangan, bukannya
pasangan sendiri. Simpulan
Di samping kedua tipe di awal, konflik realistis Dalam hubungan pacaran setidaknya pelaku
tanpa antagonisme dimisalkan dengan masing- pernah menuai satu dari tiga bentuk kekerasan
masing pasangan yang berupaya menjalankan dalam interaksi sosial, yakni; simbolik, verbal, dan
peran masing-masing sebagai pasangan yang fisik. Terdapat pula kondisi kejiwaan yang cukup
“baik”. Peran yang dijalankan ini lebih tampak mengkhawatirkan diakibatkan oleh trauma
sebagai permainan, sebagai misal, bagaimana hubungan pacaran yang dijalaninya. Namun
salah satu pasangan menempatkan diri pada demikian, terdapat pula yang memaklumi ber-

160 │ JSW (Jurnal Sosiologi Walisongo) – Volume 3, No. 2, 2019


Kekerasan dalam Pacaran ....

bagai bentuk kekerasan yang diterimanya dari Nugroho, Wahyu Budi. 2013. Orang Lain Adalah
pasangan, hal ini dikarenakan ia menempat- Neraka: Sosiologi Eksistensialisme Jean
Paul Sartre. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
kannya sebagai “nasehat” bagi dirinya untuk
memperbaiki diri—menjadi pribadi yang lebih Poloma, Margaret M. 1979. Contemporary
baik. Lebih jauh, dapat disimpulkan bahwa: 1) Sociological Theory. MacMillan: University
of Virginia:
Masih banyaknya pihak yang belum memahami
berbagai bentuk kekerasan dalam interaksi sosial, Pratiwi, Nindyastuti Erika. 2012. “Gambaran
terutama dalam hubungan pacaran, serta 2) Konsep Pacaran dan Perilaku Pacaran
pada Remaja Awal.” Skripsi tidak dipubli-
Masih diperlukannya sosialisasi dan pemahaman
kasikan. Universitas Indonesia, Jakarta.
pada khalayak luas ihwal berbagai bentuk ke-
kerasan dalam interaksi sosial, yaitu kekerasan Rahayu, Gusni. 2015. “Perspektif Pendidikan
Islam tentang Pacaran: Menguak Pemikir-
simbolik, verbal, dan fisik.[]
an Ustadz Felix Y. Siauw.” Skripsi tidak
dipublikasikan. Universitas Islam Negeri
Daftar Pustaka Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Barker, Chris. 2009. Cultural Studies. Yogyakarta: Romaeti, Siti. 2011. “Dampak Pacaran terhadap
Kreasi Wacana. Moralitas Remaja Menurut Ustadz Jefri Al-
Bukhari.” Skripsi tidak dipublikasikan. UIN
Bourdieu, Pierre. 2009. Arena Produksi Kultural. Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Sartre, Jean-Paul. 1956. Being and Nothingness.
Indrayani, Wiwit dan Ashaluddin Jalil. 2016. New York: Philosophical Library.
“Perilaku Berpacaran pada Remaja di Desa
Batubelah Kecamatan Kampar, Kabupaten Selarani, Katrin. 2018. “Fenomena Pacaran
Kampar.” JOM Fisip Universitas Riau Berbeda Agama di Kalangan Muda/i Kota
3(1):1–15. Denpasar.” Skripsi tidak dipublikasikan.
Universitas Udayana, Denpasar.
Kilby, Jane dan Larry Ray. 2014. “Violence and
Society: Toward a New Sociology Intro- Sharma, Daisy. 2015. “Role of Love in Relation-
duction.” Sociological Review Journal 6(2). ship Satisfaction.” The International Jour-
nal of Indian Psychology 3(1).
Martin, Adrienne M. 2018. The Routledge Hand-
book of Love in Philosophy. London: Usman, Sunyoto. 2004. Pengantar Sosiologi.
Routledge. Yogyakarta: CIRED.

Moleong, Lexy. J. 2011. Metodologi Penelitian Wieviorka, Michel. 2013. “Social Conflict.” Current
Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sociology 61(5–6):696–713.

Muslimah, Siti. 2013. “Hubungan Antara Ekspresi Wolff, Kurt H. 1950. The Sociology of Georg
Cinta dengan Perilaku Pacaran Remaja Simmel. Illnois: The Free Press.
Madrasah Tsanawiyah.” Tesis tidak di- Zeitlin, Irving M. 1973. Rethinking Sociology: A
publikasikan. Universitas Muhammadiyah Critique of Contemporary Theory. New
Surakarta, Surakarta. Jersey: Prentice-Hall.

JSW (Jurnal Sosiologi Walisongo) – Volume 3, No. 2, 2019 │ 161


Wahyu Budi Nugroho, Sukma Sushanti

162 │ JSW (Jurnal Sosiologi Walisongo) – Volume 3, No. 2, 2019

Anda mungkin juga menyukai