Anda di halaman 1dari 7

PEMBANGUNAN PEDESAAN DAN KELEMBAGAAN SEKTOR FINANSIAL

A. Modal dan Pembangunan Pedesaan

Dalam pengertian sempitnya, desa digambarkan sebagai suatu kelompok masyarakat


yang terdiri atas para petani yang mencukupi hidup sendiri (swasembada). Oleh karena itu,
pedesaan seringkali dianggap sebagai penyumbang pendapatan negara dari sektor pertanian
(Boeke, 1983:16). Ciri penting dari penduduk di pedesaan ini adalah masalah kepemilikan tanah,
sebab tanah merupakan dasar utama dari kesejahteraan dan kekuatan politik di wilayah dalam
pertanian.

Dari sisi pembangunan, Boeke membuat kesimpulan bahwa perekonomian di Indonesia


(Hindia-Belanda), terkhusus Jawa, terbagi dalam dua sektor yang tidak berhubungan. Dalam
mengatasi ketidakseimbangan akibat perekonomian dualistik tersebut, menurut Boeke sektor
tradisional perlu dirangsang melalui insentif ekonomi dan peningkatan teknologi produksi.
Sementara menurut Scott, persoalan yang berlaku pada masyarakat perdesaan adalah rasionalitas
sosial yang lebih mementingkan kebersamaan daripadapersaingan. Prinsip moral lebih dominan
daripada rasionalitas ekonomi sehingga pendekatan ekonomi akan sulit bekerja pada masyarakat
desa. Ketidakmampuan menangkap kultur dan nilai-nilai masyarakat desa inilah yang membuat
banyak kebijakan pembangunan perdesaan gagal diterapkan di lapangan (Marshus, 1995:20-21).

Menurut Ellis dan Biggs (2001), modal dualisme ekonomi menjadi isu strategis
pembangunan perdesaan di negara-negara berkembang pada 1950-an, di mana:

1. Tujuan pembangunan perdesaan diarahkan dari semula pembangunan komunitas (1950-


an) ke penekanan pertumbuhan usaha tani kecil (1960).
2. Pertumbuhan usaha tani kecil dilanjutkan kepada upaya pembangunan perdesaan yang
teriintegrasi (1960-an), diantaranya melalui kebijakan transfer, mekanisasi, dan
penyuluhan pertanian.
3. Pergeseran pembangunan perdesaan yang dipandu negara (1970-an) menuju liberalisasi
pasar (1980-an) melalui kebijakan penyesuaian struktural dan pasar bebas.
4. Pembangunan perdesaan diarahkan untuk penguatan pendekatan proses, partisipasi,
pemberdayaan, dan pelaku (tahun 1980-an dan 1990-an).
5. Pentingnya penghidupan yang berkesinambungan sebagai sebuah kerangka kerja yang
terintegrasi dalam pembangunan perdesaan (tahun 1990-an), diantaranya lewat penguatan
kredit mikro, jaringan pengamanan perdesaan, dan peran perempuan dalam
pembanngunan.
6. Menempatkan pembangunan perdesaan sebagai strategis untuk mengurangi kemiskinan
(2000-an).

Berdasarkan fase-fase tersebut bisa diidentifikasi bahwa proses komersialisasi sektor


perdesaan (sektor pertanian) sudah terjadi pada tahun 1960-an, melalui serangkaian kebijakan
yang berupaya meningkatkan pertumbuhan sektor pertanian, revolusi hijau, dan penciptaan
petani yang rasional.

Di lain sisi, menurut Scott, proses pertumbuhan pertanian komersial justru semakin
menjepit posisi petani dari beberapa cara seperti:

1. Kaum tani menjadi tidak terlindungi dari ketidakpastian baru yang disebabkan oleh
ekonomi pasar yang memperbesar variasi penghasilannya.
2. Terjadinya erosi nilai-nilai hidup di desa dan kekerabatan sebagai pemberi perlindungan
dan pemikul resiko secara bersama-sama.
3. Berbagai “katub pengaman” subsistensi tradisional atau pekerjaan tambahan untuk
menyambung hidup menjadi berkurang atau hilang sama sekali.
4. Pemilik tanah yang sebelumnya memikul sebagian risiko pertanian dapat mengutip lebih
banyak lagi dari petani lewat sewa dan memungut bagian penghasilan penggarap.
5. Negara sering menaikkan peneriman pajak melalui pungutan dari kegiatan pertanian.

Upaya komersialisasi pertanian tidak selalu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan


petani, terlebih jika sifat dari komersialisasi pasar menempatkan petani dalam posisi subordinat
seperti di atas. Di bebrapa negara berkembang, seringkali upaya modernisasi pertanian justru
meletakkan petani dalam posisi yang kalah dari pemilik modal atau pedagang yang relatif
memiliki posisi tawar lebih tinggi. Salah satu masalah utama di wilayah pedesaan adalah
masalah penyediaan modal yang terbatas, sebagai penyebab kemiskinan. Hal ini
karenapPenyediaan modal di pedesaan sangat berperan dalam memicu aktivitas ekonomi.

B. Sektor Keuangan: Formal dan Informal


Secara umum, lembaga keuangan diperdesaan bisa dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu:

1. Lembaga keuangan formal, yang operasionalnya diatur dalam undang-undang perbankan


dan disupervisi oleh bank sentral, berbentuk bank pemerintah atau bank swasta.
2. Lembaga keuangan semi-formal, yang tidak diatur dalam undang-undang perbankan
tetapi disupervisi dan diregulasi leh agen pemerintah selain bank sentral.
3. Lembaga keuangan informal, beroperasi diluar regulasi dan supervisi lembaga
pemerintah, berisikan kegiatan-kegiatan yang benar-benar diluar kelembagaan keuangan
resmi yang sering kali tidak tercatat. Bukan berarti kegiatannya illegal, hanya saja tidak
diregulasi. Lalu lembaga ini juga memberikan bantuan dalam bentuk barang sehingga
lebih fleksibel dan bertahan lama yang kuat untuk hidup di wilayah perdesaan.

Kemudian dalam sektor pertanian, ada 3 setidaknya sumber kredit informal di wilayah
perdesaan, yaitu : pemilik tanah sebagai penyakap (tenant), petani penggarap sebagai buruh tani,
dan pelepas pinjaman perdesaan (rentenir/tengkulak).

Pihak-pihak ini biasanya menjalin hubungan yang erat di antara mereka, misalnya antara
penyakap dengan pemilik lahan. Dalam banyak hal, secara sosial dan politik mereka juga
mengikuti apa saja yang diinginkan oleh pemilik lahan. Hubungan ini sengaja dilanggengkan
oleh pemilik lahan demi kepentingan-kepentingan yang bersifat politis. Lembaga keuangan
mikro diyakini akan menjadi instrumen untuk mengatasi kemiskinan, secara khusus mereka
memastikan kelompok miskin mendapatkan suntikan modal atau kredit secara berkelanjutan.

Di Indonesia sendiri, lembaga keuangan formal yang sudah teruji selama puluhan tahun
adalah BRI. Melalui bank ini pemerintah menginisiasi kebijakan pemberian kredit pada masa
Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) pada 1975. Pemberian modal ini beroperasi hingga unit terkecil
yaitu desa. Kewajiban petani adalah mengembalikan modal dan membayarkan bunga sebesar 1%
tiap bulan. Dengan demikian petani untuk menggunakan modal kerja tersebut dengan efisiensi
dan efektivitas yang tinggi (Birowo, 1992:283). Selanjutnya operasi ini jjuga diberikan kepada
petani-petani komoditas lain. Sedangkan untuk sektor semi-formal yang dibenntuk pemerintah
misalnya BKD (Badan Kredit Desa), LDKP (Lembaga Dana Kredit Desa), dan KUD (Koperasi
Unit Desa). Diluar itu, di perdesaan juga terdapat satu keuangan lain yang kerap disebut sebagai
lembaga keuangan swadaya (Holloh, 1996:7). Prinsip lembaga keuangan ini adalah adanya rotasi
tabungan dan asosiasi kredit, dimana setiap anggota kelompok berkontribusi secara reguler
memberikan dana kepada salah satu atau ke beberapa anggota berdasarkan kesepakatan
perputaran yang hal ini berguna untuk membangun kerjasama dana pinjaman melalui pembagian
modal, tabungan, dan pendapatan bersih dari intermediasi keuangan, intermediasi antara
penabung dan peminjam, dan menyediakan pinjaman berdasarkan tingkat bunga eksplisit dan
permintaan eksplisit dari semua anggota. Di Indonesia menurut Clifford Geertz, model arisan
masih merupakan bentuk lembaga keuangan swadaya yang paling populer dan menjadi referensi
setiap studi yang mengupas lembaga keuangan swadaya.

C. System Keuangan di Sektor Pedesaan

Salah satu hal yang mendukung proses produksi petani adalah ketersediaan sumber
modal (kredit). Dalam kasus petani tebu, faktor kredit dapat membantu petani tebu dan membeli
bibit/pupuk serta pemerintah ikut ambil bagian dalam hal membentuk sebuah koperasi untuk
menyeleksi petani tebu untuk bisa menerima kredit. Namun, akibat keterbatasan dana maupun
persyaratan kredit yang dirasa agak berat bagi sebagian petani, menjadikan tidak seluruh petani
tebu bisa mendapatkan kredit dari program pemerintah tersebut. Petani yang tidak menerima
kredit dari program pemerintah mengandalkan sumber pembiayaan produksinya dari modal
sendiri atau meminjam dari rentenir, yang kemudian mereka dikenal dengan sebutan petani tebu
rakyat mandiri.

Dari deskripsi mengenai sistem kredit bagi petani ada beberapa hal umum yang dijumpai
dalam sistem kreditnya adalah: (i) kredit dari kelembagaan keuangan formal tidak bisa tepat
waktu penyalurannya karena birokrasi yang rumit. Dalam kasus petani tebu keterlambatannya
bisa mencapai dua bulan sehingga menganggu proses produksi. (ii) agunan kredit yang harus
disetorkan oleh petani membuat sebagian (besar) dari mereka tidak mampu mengakses kredit
formal yang membuat adanya petani yang meminjam dana dari rentenir, karena kelembagaan
informal ini tidak mensyaratkan agunan dalam setiap aplikasi kredit walaupun beban bunganya
tinggi. (iii) kelembagaan keuangan formal masih mempraktikkan tindakan manipulatif, misalnya
dalam wujud pengenaan tingkat bunga melebihi peraturan pemerintah, sehingga sangat
merugikan kepentingan petani (kecil). (iv) petani yang langsung berhubungan dengan lembaga
keuangan formal kesulitan melakukan pengembalian karena biasanya menggunakan sistem
bulanan. Padahal petani baru memeroleh penghasilan apabila waktu panen tiba. Selama proses
produksi, petani justru mengeluarkan biaya secara rutin.
Secara singkat sumber kredit petani tebu dapat dikategorikan dalam 3 kelompok, yaitu kredit
yang berasal dai pabrik gula/KUD dimana uang tersebut berasal dari program pemerintahan yang
disalurkan melalui perbankan yang ditunjuk. Selanjutnya kredit yang diperoleh petani berasal
dari tengkulak/rentenir. Terakhir, kredit yang diperoleh berasal dari tetangga (sesama petani
tebu) atau keluarga.

Dalam hal sumber kredit sebagian besar kredit diklasifikasikan berdasarkan jenis petani
tebu, maka petani tebu rakyat kredit sebagian besar sumber kreditnya berasal dari
koperasi/Pabrik gula (85%) dan petani tebu rakyat mandiri berasal dari tengkulak (45%).

Beberapa hal umum yang dijumpai di siistem kredit disektor pertanian, adalah :

 Kredit dari kelembagaan keuangan formal tidak bisa tepat waktu penyalurannya karena
birokrasi yang rumit.
 Agunan kredit yang harus disetorkan oleh petani membuat sebagian besar dari mereka
tidak mampu mengakses kredit formal.
 Kelembagaan keuangan formal masih mempraktikkan tindakan manipulatif, misalnya
dalam pengenaan tingkat biunga melebihi peraturan pemerintah sehingga merugikan
kepentingan petani kecil.
D. Desain Kelembagaan Sektor Finansial

Persoalan lembaga keuangan di perdesaan bisa diidentifikasi dalam tiga aspek berikut.
Pertama, masalah akses kredit. Akibat usaha masyarakat perdesaan yang berskala kecil
menyebabkan mereka tidak memiliki aset yang cukup untuk digunakan sebagai anggunan.
Kedua, posisi tawar dan informasi masyarakat perdesaan yang sangat rendah menyebabkan
rawan terhadap praktik manipulasi dari lembaga keuangan formal maupun semi-formal. Seperti
pengenaan bunga yang lebih tinggi dari kebijakan pemerintah maupun pemberian kredit yang
sangat terlambat. Ketiga, informasi yang asimetris dari pemberi pinjaman/kredit terhadap
peminjam. Setiap lembaga keuangan formal mempunyai keterbatasan untuk mengenali
kemampuan ekonomi dan usaha dari tiap pelaku usaha di perdesaan sehingga mereka cenderung
hati-hati dalam menyalurkan kredit.

Kehadiran lembaga keuangan informal adalah untuk mengisi keterbatasan yang terdapat
di lembaga keuangan formal dan bisa didekati dari dua persepektif. Pertama, pemikiran represi
keuangan. Kedua, pemikiran strukturalis. Pendekatan ini melihat munculnya lembaga keuangan
informal di luar motif ekonomi.

Di luar strategi itu, ada dua langkah lain yang bisa dilakukan.

 Pertama, mengaitkan lembaga keuangan informal dengan lembaga keuangan formal.


Asumsi dari model ini adalah pelaku lembaga keuangan informal lebih mengetahui jejak
rekam dari pelaku ekonomi di perdesaan, sehingga kemungkinan terjadinya kegagalan
dapat diperkecil.
 Kedua, mendesain kelembagaan keuangan formal berdasarkan struktur atau hirarki
masyarakat (perdesaan), baik struktur nilai-nilai maupun struktur sosial. Jadi lembaga
keuangan formal didesain dengan cara mengadopsi nilai-nilai yang tumbuh dalam
masyarakat lokal, misalnya kasus pengembangan Bank Perkreditan Rakyat. Penelitian
yang pernah dilakukan penulis menunjukkan beberapa BPR yang menyerap sistem dan
adat setempat justru memiliki kinerja lebih bagus, khususnya dalam mencegah terjadinya
kredit macet.

Berdasarkan kasus diatas maka persoalan dari lembaga keuangan di perdesaan


bisa diidentifikasi dari 3 aspek berikut, yaitu : masalah akses kredit, posisi tawar dan
informasi masyarakat perdesaan sangat rendah menyebabkan rawan terhadap praktik
manipulasi dari lembaga keuangan formal maupun semi-formal, akhirnya informasi
asimetris dari pemberi pinjaman/kredit terhadap peminjam.

Pada tahap ini lembaga keuangan informal masuk untuk mengisi keterbatasan yang tidak dapat
diatasi oleh sektor formal/semi-formal. Menurut Soyibo (1997:6) kehadiran lembaga keuangan
informal dapat didekati dari 2 prespektif berikut, pemikiran represi (pendekatan oleh Mckinnon,
1973 dan Shaw 1973) beralasan bahwa pelaku keuangan informal memulai usaha sebagai akibat
dari regulasi pemerintah yang besar-besaran terhadap sektor keuangan formal. Selanjutnya
pemikiran strukturalis, pendekatan ini melihat munculnya lembaga keuangan informal diluar
motif ekonomi (Hugon, 1990). Walaupun begitu sektor keuangan informal bukan berarti tanpa
masalah, lembaga keuangan sektor formal memiliki daya tawar kecil daripada tengkulak dalam
pengenaan suku bunga. Fakta bahwa lembaga keuangan informal adalah menempatkan pelaku
ekonomi kecil dalam posisi tidak setara (dapat dilihat dari pengenaan bungakredit yang tingggi)
sehingga sektor formal harusnya melihat ini sebagai peluan untuk memperkuat posisi petani saat
berhadapan dengan lembaga sektor informal atau pemerintah menyiapkan regulasi batas bunga
maksimal yang dapat dikenakan ke lembaga keuangan infromal kepada peminjam.

Diluar dua strategi tadi, pemerintah dapat melakukan langkah lain, adalah mengaitkan lembaga
keuangan informal dengan lembaga keuangan formal. Asumsi model ini adalah untuk
mengetahui rekam jejak keuangan dari lembaga keuangan informal dari pelaku ekonomi
diperdesaan, sehingga bila ada kegagalan langsung dapat ditangani. Selanjutnya langkah
mendesain kelembagaan keuangan formal berdasarkan struktur atau hirarki masyarakat
perdesaan, baik struktur nilai-nilai maupun stuktur sosial.

Sumber:

Yustika, Ahmad Erani. 2012. Ekonomi Kelembagaan : Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Jakarta.
Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai