Menurut Ellis dan Biggs (2001), modal dualisme ekonomi menjadi isu strategis
pembangunan perdesaan di negara-negara berkembang pada 1950-an, di mana:
Di lain sisi, menurut Scott, proses pertumbuhan pertanian komersial justru semakin
menjepit posisi petani dari beberapa cara seperti:
1. Kaum tani menjadi tidak terlindungi dari ketidakpastian baru yang disebabkan oleh
ekonomi pasar yang memperbesar variasi penghasilannya.
2. Terjadinya erosi nilai-nilai hidup di desa dan kekerabatan sebagai pemberi perlindungan
dan pemikul resiko secara bersama-sama.
3. Berbagai “katub pengaman” subsistensi tradisional atau pekerjaan tambahan untuk
menyambung hidup menjadi berkurang atau hilang sama sekali.
4. Pemilik tanah yang sebelumnya memikul sebagian risiko pertanian dapat mengutip lebih
banyak lagi dari petani lewat sewa dan memungut bagian penghasilan penggarap.
5. Negara sering menaikkan peneriman pajak melalui pungutan dari kegiatan pertanian.
Kemudian dalam sektor pertanian, ada 3 setidaknya sumber kredit informal di wilayah
perdesaan, yaitu : pemilik tanah sebagai penyakap (tenant), petani penggarap sebagai buruh tani,
dan pelepas pinjaman perdesaan (rentenir/tengkulak).
Pihak-pihak ini biasanya menjalin hubungan yang erat di antara mereka, misalnya antara
penyakap dengan pemilik lahan. Dalam banyak hal, secara sosial dan politik mereka juga
mengikuti apa saja yang diinginkan oleh pemilik lahan. Hubungan ini sengaja dilanggengkan
oleh pemilik lahan demi kepentingan-kepentingan yang bersifat politis. Lembaga keuangan
mikro diyakini akan menjadi instrumen untuk mengatasi kemiskinan, secara khusus mereka
memastikan kelompok miskin mendapatkan suntikan modal atau kredit secara berkelanjutan.
Di Indonesia sendiri, lembaga keuangan formal yang sudah teruji selama puluhan tahun
adalah BRI. Melalui bank ini pemerintah menginisiasi kebijakan pemberian kredit pada masa
Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) pada 1975. Pemberian modal ini beroperasi hingga unit terkecil
yaitu desa. Kewajiban petani adalah mengembalikan modal dan membayarkan bunga sebesar 1%
tiap bulan. Dengan demikian petani untuk menggunakan modal kerja tersebut dengan efisiensi
dan efektivitas yang tinggi (Birowo, 1992:283). Selanjutnya operasi ini jjuga diberikan kepada
petani-petani komoditas lain. Sedangkan untuk sektor semi-formal yang dibenntuk pemerintah
misalnya BKD (Badan Kredit Desa), LDKP (Lembaga Dana Kredit Desa), dan KUD (Koperasi
Unit Desa). Diluar itu, di perdesaan juga terdapat satu keuangan lain yang kerap disebut sebagai
lembaga keuangan swadaya (Holloh, 1996:7). Prinsip lembaga keuangan ini adalah adanya rotasi
tabungan dan asosiasi kredit, dimana setiap anggota kelompok berkontribusi secara reguler
memberikan dana kepada salah satu atau ke beberapa anggota berdasarkan kesepakatan
perputaran yang hal ini berguna untuk membangun kerjasama dana pinjaman melalui pembagian
modal, tabungan, dan pendapatan bersih dari intermediasi keuangan, intermediasi antara
penabung dan peminjam, dan menyediakan pinjaman berdasarkan tingkat bunga eksplisit dan
permintaan eksplisit dari semua anggota. Di Indonesia menurut Clifford Geertz, model arisan
masih merupakan bentuk lembaga keuangan swadaya yang paling populer dan menjadi referensi
setiap studi yang mengupas lembaga keuangan swadaya.
Salah satu hal yang mendukung proses produksi petani adalah ketersediaan sumber
modal (kredit). Dalam kasus petani tebu, faktor kredit dapat membantu petani tebu dan membeli
bibit/pupuk serta pemerintah ikut ambil bagian dalam hal membentuk sebuah koperasi untuk
menyeleksi petani tebu untuk bisa menerima kredit. Namun, akibat keterbatasan dana maupun
persyaratan kredit yang dirasa agak berat bagi sebagian petani, menjadikan tidak seluruh petani
tebu bisa mendapatkan kredit dari program pemerintah tersebut. Petani yang tidak menerima
kredit dari program pemerintah mengandalkan sumber pembiayaan produksinya dari modal
sendiri atau meminjam dari rentenir, yang kemudian mereka dikenal dengan sebutan petani tebu
rakyat mandiri.
Dari deskripsi mengenai sistem kredit bagi petani ada beberapa hal umum yang dijumpai
dalam sistem kreditnya adalah: (i) kredit dari kelembagaan keuangan formal tidak bisa tepat
waktu penyalurannya karena birokrasi yang rumit. Dalam kasus petani tebu keterlambatannya
bisa mencapai dua bulan sehingga menganggu proses produksi. (ii) agunan kredit yang harus
disetorkan oleh petani membuat sebagian (besar) dari mereka tidak mampu mengakses kredit
formal yang membuat adanya petani yang meminjam dana dari rentenir, karena kelembagaan
informal ini tidak mensyaratkan agunan dalam setiap aplikasi kredit walaupun beban bunganya
tinggi. (iii) kelembagaan keuangan formal masih mempraktikkan tindakan manipulatif, misalnya
dalam wujud pengenaan tingkat bunga melebihi peraturan pemerintah, sehingga sangat
merugikan kepentingan petani (kecil). (iv) petani yang langsung berhubungan dengan lembaga
keuangan formal kesulitan melakukan pengembalian karena biasanya menggunakan sistem
bulanan. Padahal petani baru memeroleh penghasilan apabila waktu panen tiba. Selama proses
produksi, petani justru mengeluarkan biaya secara rutin.
Secara singkat sumber kredit petani tebu dapat dikategorikan dalam 3 kelompok, yaitu kredit
yang berasal dai pabrik gula/KUD dimana uang tersebut berasal dari program pemerintahan yang
disalurkan melalui perbankan yang ditunjuk. Selanjutnya kredit yang diperoleh petani berasal
dari tengkulak/rentenir. Terakhir, kredit yang diperoleh berasal dari tetangga (sesama petani
tebu) atau keluarga.
Dalam hal sumber kredit sebagian besar kredit diklasifikasikan berdasarkan jenis petani
tebu, maka petani tebu rakyat kredit sebagian besar sumber kreditnya berasal dari
koperasi/Pabrik gula (85%) dan petani tebu rakyat mandiri berasal dari tengkulak (45%).
Beberapa hal umum yang dijumpai di siistem kredit disektor pertanian, adalah :
Kredit dari kelembagaan keuangan formal tidak bisa tepat waktu penyalurannya karena
birokrasi yang rumit.
Agunan kredit yang harus disetorkan oleh petani membuat sebagian besar dari mereka
tidak mampu mengakses kredit formal.
Kelembagaan keuangan formal masih mempraktikkan tindakan manipulatif, misalnya
dalam pengenaan tingkat biunga melebihi peraturan pemerintah sehingga merugikan
kepentingan petani kecil.
D. Desain Kelembagaan Sektor Finansial
Persoalan lembaga keuangan di perdesaan bisa diidentifikasi dalam tiga aspek berikut.
Pertama, masalah akses kredit. Akibat usaha masyarakat perdesaan yang berskala kecil
menyebabkan mereka tidak memiliki aset yang cukup untuk digunakan sebagai anggunan.
Kedua, posisi tawar dan informasi masyarakat perdesaan yang sangat rendah menyebabkan
rawan terhadap praktik manipulasi dari lembaga keuangan formal maupun semi-formal. Seperti
pengenaan bunga yang lebih tinggi dari kebijakan pemerintah maupun pemberian kredit yang
sangat terlambat. Ketiga, informasi yang asimetris dari pemberi pinjaman/kredit terhadap
peminjam. Setiap lembaga keuangan formal mempunyai keterbatasan untuk mengenali
kemampuan ekonomi dan usaha dari tiap pelaku usaha di perdesaan sehingga mereka cenderung
hati-hati dalam menyalurkan kredit.
Kehadiran lembaga keuangan informal adalah untuk mengisi keterbatasan yang terdapat
di lembaga keuangan formal dan bisa didekati dari dua persepektif. Pertama, pemikiran represi
keuangan. Kedua, pemikiran strukturalis. Pendekatan ini melihat munculnya lembaga keuangan
informal di luar motif ekonomi.
Di luar strategi itu, ada dua langkah lain yang bisa dilakukan.
Pada tahap ini lembaga keuangan informal masuk untuk mengisi keterbatasan yang tidak dapat
diatasi oleh sektor formal/semi-formal. Menurut Soyibo (1997:6) kehadiran lembaga keuangan
informal dapat didekati dari 2 prespektif berikut, pemikiran represi (pendekatan oleh Mckinnon,
1973 dan Shaw 1973) beralasan bahwa pelaku keuangan informal memulai usaha sebagai akibat
dari regulasi pemerintah yang besar-besaran terhadap sektor keuangan formal. Selanjutnya
pemikiran strukturalis, pendekatan ini melihat munculnya lembaga keuangan informal diluar
motif ekonomi (Hugon, 1990). Walaupun begitu sektor keuangan informal bukan berarti tanpa
masalah, lembaga keuangan sektor formal memiliki daya tawar kecil daripada tengkulak dalam
pengenaan suku bunga. Fakta bahwa lembaga keuangan informal adalah menempatkan pelaku
ekonomi kecil dalam posisi tidak setara (dapat dilihat dari pengenaan bungakredit yang tingggi)
sehingga sektor formal harusnya melihat ini sebagai peluan untuk memperkuat posisi petani saat
berhadapan dengan lembaga sektor informal atau pemerintah menyiapkan regulasi batas bunga
maksimal yang dapat dikenakan ke lembaga keuangan infromal kepada peminjam.
Diluar dua strategi tadi, pemerintah dapat melakukan langkah lain, adalah mengaitkan lembaga
keuangan informal dengan lembaga keuangan formal. Asumsi model ini adalah untuk
mengetahui rekam jejak keuangan dari lembaga keuangan informal dari pelaku ekonomi
diperdesaan, sehingga bila ada kegagalan langsung dapat ditangani. Selanjutnya langkah
mendesain kelembagaan keuangan formal berdasarkan struktur atau hirarki masyarakat
perdesaan, baik struktur nilai-nilai maupun stuktur sosial.
Sumber:
Yustika, Ahmad Erani. 2012. Ekonomi Kelembagaan : Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Jakarta.
Erlangga.