Anda di halaman 1dari 21

Nama : Fadzil Sauqi

NIM : 200200349
MK : HUK Dagang
Grup : G

RESUME JURNAL

JURNAL 1

PENGELOLAAN YAYASAN MENURUT ASAS


KETERBUKAAN DAN AKUNTABILITAS (STUDI PADA
YAYASAN KEMANUSIAAN DI ACEH)

Keberadaan yayasan di Indonesia, bukanlah sesuatu hal yang baru. Yayasan di 
Indonesia telah, Pasal 900, Pasal 1680, Pasal 1852, dan Pasal 1854 Kitab Undang
Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata).Terdapat penyebutan  yang
berbeda tentang yayasan,antara lain, “stichting”, “stichngen”,“gesticnen”, dan diakui
sejak zaman Belanda. Istilah yayasan dapat dijumpai dalam Pasal 365, Pasal 899 
armenenrichtingen”. Sebelum Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan  yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas  Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (selanjutnya
disebut UU  Yayasan),belum ada undang-undang yang mengatur secara khusus tentang
yayasan di  Indonesia, tetapi diatur secara sporadik diatur dalam beberapa peraturan
perundang undangan yang mengatur tentang yayasan.
Yayasan bergerak dalam berbagai aspek kegiatan diantaranya, di sektor pendidikan, 
agama, dan sosial atau kemanusiaan. Keberadaan yayasan juga tidak luput dari
keinginan  masyarakat untuk memiliki suatu wadah atau lembaga yang bersifat dan
bertujuan  sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Oleh Karena itu, perlu dibentuk
yayasan yang  dalam menjalankan roda kegiatannya dapat memberikan manfaat dan
kesejahteraan  bagi masyarakat banyak. Yayasan adalah badan hukum yang didirikan
untuk mencapai  tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
Pendirian yayasan  diawali dengan pemisahan harta kekayaan pendiri untuk dimasukkan
sebagai kekayaan  yayasan. Pemisahan harta kekayaan pendiri ke dalam yayasan
tersebut tidak dapat  diberi makna investasi, karena secara filosofi pendirian yayasan
bersifat nirlaba.
Yayasan sebagai badan hukum mempunyai karakter yang khas. Jenis badan hukum 
ini lahir karena adanya suatu perbuatan hukum, yakni pemisahan sejumlah kekayaan 
dari pendiri dengan tujuan tertentu. Untuk Mencapai tujuan yayasan, diperlukan 
organisasi. Dalam UU Yayasan diatur organ organ yayasan, yakni : pembina, pengurus 
dan pengawas. Tiga organ inilah yang mempunyai tanggung jawab dan kewenangan 
dalam pengelolaan yayasan agar tujuan yayasan tercapai sesuai dengan maksud 
pendiriannya.
Di Aceh terdapat sejumlah yayasan yang bergerak dibidang sosial dan kemanusiaan, 
diantaranya Yayasan Aksi Cepat tanggap, Yayasan PKPU, Yayasan Daarut Tauhiid, 
dan Yayasan PAHAM, yang menghimpun dana sosial dari publik. Disamping itu, juga 
terdapat yayasan yang bergerak dibidang sosial dan pendidikan, seperti pasantren atau 
pendidikan dayah dan panti asuhan yang menerima dana publik, termasuk dana yang 
berasal dari anggaran pemerintah daerah. Namun, kenyataaan tidak semuanya telah 
secara penuh menerapkan asas keterbukaan dan akuntabilitas sesuai Alinea ke 4
(empat)  Penjelasan Umum UU Yayasan yang berbunyi “Yayasan tetap dapat berfungsi
dalam  usaha mencapai maksud dan tujuannya di bidang sosial, keagamaan, dan
kemanusiaan  berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas”. Hal tersebut dapat
dalam tabel  hasil rekapitulasi jumlah yayasan di Aceh yang belum sesuai dengan asas
keterbukaan  dan akuntabilitas. 

Penerapan Asas keterbukaan dan akuntabilitas penting dalam rangka mencapai 


tujuan yayasan. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, 
maka penulis tertarik untuk mengkaji “Apakah yayasan kemanusiaan bertanggung 
jawab secara perdata apabila tidak melaksanakan secara penuh asas keterbukaan dan 
akuntabilitas?” 
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum 
yuridis normatif dan penelitian hukum empiris.
Penelitian dengan hukun normatif  memiliki ciri mempelajari obyek penelitian
hukum dalam bentuk asas hukum, kaidah  hukum, dalam arti nilai (norm), peraturan
hukum konkret, berupa doktrin, peraturan  perundang-undangan, dan sistem hukum atau
das sollen.
Penelitian hukum empiris  adalah penelitian yang dilakukan dengan cara mengetahui
kenyataan-kenyataan yang  terjadi tentang penerapan asas keterbukaan dan akuntablitas
pada pengelolaan yayasan  kemanusiaan di Banda Aceh. Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini terutama  dilakukan dengan menggunakan pendekatan Undang-
undang (statute approach),  Pendekatan Kasus (Case Approach) dan pendekatan
sosiologi hukum (sociology law  approach).

Konsep Tanggung Jawab Perdata 


Dalam perspektif hukum tanggung jawab adalah suatu keseharusan bagi seseorang 
untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya. 7 Tanggung jawab hukum 
dalam hukum perdata berupa tanggung jawab seseorang terhadap perbuatan yang 
melawan hukum. Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas 
dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya 
mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja, akan  tetapi
jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan bahkan 
dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. 

Konsep tanggung jawab dalam perbuatan melanggar hukum (tort liability) dibagi 
menjadi beberapa teori, yaitu :
1. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan
sengaja  (intertional tort liability), tergugat harus sudah melakukan perbuatan
sedemikian rupa  sehingga merugikan penggugat atau mengetahui bahwa apa yang
dilakukan tergugat  akan mengakibatkan kerugian. 
2. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan karena
kelalaian  (negligence tort lilability), didasarkan pada konsep kesalahan (concept of
fault) yang  berkaitan dengan moral dan hukum (interminglend). 
3. Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa
mempersoalkan  kesalahan (stirck liability), didasarkan pada perbuatannya baik secara
sengaja maupun  tidak sengaja, artinya meskipun bukan kesalahannya tetap bertanggung
jawab atas  kerugian yang timbul akibat perbuatannya.
Dalam ilmu hukum dikenal 3 katagori  dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai
berikut:(a) Perbuatan melawan hukum  karena kesengajaan; (b) Perbuatan melawan
hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur  kesengajaan maupun kelalaian); dan (c) Perbuatan
melawan hukum karena kelalaian. 
Pertanggungjawaban yang tertuang dalam Pasal 1365 KUHPerdata dan Pasal 1366 
KUHPerdata mewajibkan adanya unsur kesalahan artinya seseorang tersebut harus 
bersalah (liability based on fault). Asas pertanggungjawaban secara kesalahan (fault)
didasarkan pada prinsip bahwa tidak ada pertanggungjawaban apabila tidak ada unsur 
kesalahan dalam ilmu hukum disebut Tortious Liability atau Liability Based on Fault.
Dalam pertanggung jawaban perdata apabila seseorang dirugikan karena perbuatan 
seseorang sedang diantara mereka itu tidak terdapat sesuatu perjanjian(hubungan 
hukum perjanjian), maka berdasarkan undang undang juga timbul atauterjadi hubungan 
hukum antara orang tersebut yang menimbulkan kerugian itu.  
Hal tersebut diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata, sebagai berikut: “Tiap perbuatan 
melanggar hukum yang membawa kerugian padaorang lain, mewajibkan orang yang 
karena salahnya menerbitkan kerugian itu,mengganti kerugian tersebut”.

Perbuatan melawan hukum dapat  diklasifikasikan dalam dua katagori berdasarkan


subyek hukum yang terlibat yakni : 1. Perbuatan yang ditujukan kepada diri sendiri,
yaitu apabila menimbulkan kerugian  
fisik maupun kerugian non fisik misalnya luka-luka atau cacat tubuh yang disebabkan 
oleh kesengajaan atau ketidakhati-hatian pihak lain maka menurut undang-undang 
pihak yang menderita kerugian dapat meminta ganti rugi; 
2. Perbuatan yang ditujukan kepada badan hukum, pada umumnya yang melibatkan 
kesalahan organ perusahaan, yayasan dan sebaginya seperti Pembina, pengurus, dan 
pengawas dengan catatan bahwa harus ada hubungan sebab akibat antara perbuatan 
dengan lingkup kerja dari organ tersebut. 

Tanggung Jawab Perdata Yayasan 

Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan 
diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan, dan 
kemanusiaan. Dalam rangka untuk mencapai tujuannya, yayasan mempunyai organ 
yang terdiri atas Pembina, pengurus, dan pengawas. Ketentuan UU Nomor 16 tahun 
2001 tentang Yayasan mengatur tentang kewajiban organ yayasan yaitu, Pembina
wajib  mengadakan rapat sekurang-kurangnya sekali dalam setahun dan dalam rapat
tahunan  tersebut Pembina melakukan evaluasi tentang kekayaan, hak dan kewajiban
guna  pembenahan dan perkembangan yayasan (Pasal 30 UU Nomor 16 tahun 2001
tentang  Yayasan).
Penyelenggaraan yayasan dilakukan oleh organ yayasan yang terdiri atas pengurus, 
pengawas dan Pembina. Pasal 35 UU Yayasan mengatur bahwa; (1) Pengurus Yayasan 
bertanggung jawab penuh atas kepengurusan Yayasan untuk kepentingandan tujuan 
Yayasan serta berhak mewakili Yayasan baik di dalam maupun di luar Pengadilan.(2) 
Setiap Pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik, dan penuh tanggung jawab 
untukkepentingan dan tujuan Yayasan.(3) Dalam menjalankan tugas sebagaimana 
dimaksud dalam ayat (2), Pengurus dapat mengangkatdan memberhentikan
pelaksana  kegiatan Yayasan.(4) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan
dan  pemberhentian pelaksana kegiatanYayasan diatur dalam Anggaran Dasar Yayasan.
(5)  Setiap Pengurus bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang
bersangkutan  dalammenjalankan tugasnya tidak sesuai dengan ketentuan Anggaran
Dasar, yang  mengakibatkan kerugian yayasan dan pihak ketiga. Kemudian untuk
pengawas, yang dimaksud dengan Pengawas adalah organ yayasan  yang bertugas
melakukan pengawasan serta memberinasihat kepada pengurus dalam  menjalankan
kegiatanyayasan supaya tidak terjadi kerugian. Pengawasdiangkat oleh  pembina
berdasarkan keputusan rapatpembina selama 5 tahun, dan dapat diangkat  kembali
sesuai dengan Anggaran Dasar.
Organ yayasan yang terakhir adalah Pembina. Yang dimaksud dengan Pembina 
adalah organ yayasan yang tertinggi, memiliki hak veto. Kewenangan pembina yaitu:  a.
Keputusan mengenai perubahan Anggaran Dasar;  
b. Pengangkatan dan pemberhentian anggota pengurus dan anggota pengawas;  c.
Penetapan kebijakan umum yayasan berdasarkan anggaran dasar yayasan;  d.
Pengesahan program kerja dan rancangan tahunan yayasan; dan e. Penetapan keputusan
mengenai penggabungan atau pembubaran yayasan Pembina  
adalah orang perseorangan selaku pendiri atau orang yang dinilai mempunyai dedikasi 
tinggi untuk mencapai tujuan yayasan. 
Pada pasal 48 UU Yayasan diatur mengenai tanggung jawab pengurus untuk
membuat  laporan tahunan.  

“Pengurus wajib membuat dan menyimpan catatan atau tulisan yang berisi keteran
gan mengenai hak dan kewajiban serta hal lain yang berkaitan dengan kegiatan usa ha
Yayasan. Selain kewajiban itu Pengurus wajib membuat danmenyimpan dokumen 
keuangan Yayasan berupa bukti pembukuan dan data pendukung administrasi keuan
gan”

Selain tanggung jawab untuk membuat laporan tahunan, pengurus Yayasan juga 
mempunya tanggung jawab lain, yaitu mengumumkan laporan tahuna yayasan baik  itu
dikantor yayasan maupun di surat kabar harian berbahasa Indonesia bagi Yayasan  yang
memperoleh bantuan Negara, bantuan luar negeri, atau pihak lain sebesar 
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih; ataumempunyai kekayaan di  luar
harta wakaf sebesar Rp 20.000.000.000,00 (dua puluhmiliar rupiah) atau lebih. 
Ketentuan lain yang juga harus dipenuhi adalah kewajiban audit oleh Akuntan Publik 
bagi yayasan yang memperoleh bantuan atau jumlah kekayaan sesuai dengan ketentuan 
diatas. 

Prinsip yang  paling mendasar dalam pengelolaan yayasan yaitu :


1) Organ yayasan dalam melaksanakan tugasnya harus beritikad baik. 
2) Pengelolaan yayasan harus dilakukan dengan transparan atau terbuka 
3) Laporan keuangan yayasan harus dibuat dengan mengindahkan standar akuntansi 
yang benar.
4) Menerapkan prinsip pertanggung jawaban hukum sesuai dengan yang diamatkan
oleh  AD/ART dan Undang-Undang Yayasan
5) Jabatan organ yayasan tidak boleh rangkap.
Dalam konteks hukum perdata, tidak melaksanakan ketentuan undang-undang  atau
melakukan suatu perbuatan yang melannggar prinsip-prinsip yang diatur oleh  hukum
dan kesusilaan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.  Konsep
perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas dengan adanya keputusan Hoge 
Raadtanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindebaum lawan Cohen. Hoge Raad telah 
memberikan pertimbangan antara lain sebagai berikut :

“bahwa dengan perbuatan melawanhukum (onrechmatige daad) diartikan suatu per


buatan atau kealpaan, yangatau bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentan
gan dengan kewajibanhukum si pelaku atau bertentangan, baik dengan kesusilaan
baik,  pergaulan hidupterhadap orang lain atau benda, sedang barang siapa karena
salahn ya sebagaiakibat dari perbuatannya itu telah mendatangkan kerugian pada
orang  lain,berkewajiban membayar ganti kerugian”.

Disisi lain organ yayasan dalam melaksanakan tugasnya harus dengan itikad yang 
baik serta menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan 
keuangan yayasan, tetapi pada kenyataannya tidaklah demikian, sebab bisa saja salah 
satu organyayasan melakukan perbuatan melawan hukum yang tentunya merugikan 
pihak yayasan maupun pihak ketiga, sehingga atas perbuatan melawan hukum yang 
dilakukan tersebut organ yayasan dapat dimintakan pertanggung jawaban hukum baik 
secara pidana jika terdapat unsur pidana seperti penggelapan keuangan yayasan atau 
tindak pidana korupsi terkait adanya sumbangan yang berasal dari negara, sanksi
perdata  yang mengandung unsur ganti kerugian serta sanksi administratif berupa
pencabutan  SK badan hukum yayasan.
Amanat Undang-Undang No 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan jelas tertera bahwa 
pengawas dalammenjalankan tugas dan kewenangannya harus beritikad baik, artinya 
dalam melakukan pengawasan makapengawas harus dituntut secara objektif melakukan 
pengontrolan serta memberkan nasihat yang baik dalamhal pengelolaan yayasan, hal in 
diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang No 21 Tahun 2001 Tentang Yayasan.
Dalam pengelolaan yayasan, ada yang disebut dengan pertanggung jawaban intern. 
Yang dimaksud dengn pertanggung jawaban intern adalah pertanggung jawaban
yayasan  terhadap tercapainya tujuan sebagaimana yang diatur dalam Anggaran
Dasarnya.  Yayasan hadir untuk memebrikan kepastian hukum, ketika prinsip
akuntabilitas dan  keterbukaan tidak bisa dicapai oleh yayasan, maka itu telah
melanggar tujuan pendirian  yayasan dan juga melanggar Anggaran Dasar.  

Menurut ketentuan prinsip akuntabilitas dan keterbukaan, pengurus yayasan dalam 


pengelolaan kekayaan dan pelaksanaan kegiatan diwajibkan untuk membuat laporan 
tahunan, membuat dan menyimpan catatan atau tulisan yang berisi keterangan
mengenai  hal dan kewajiban serta hal lain yang berkaitan dengan kegiatan yayasan
termasuk  kegiatan usaha. Laporan tahunan itu kemudian harus mendapatkan
pengesahan oleh  Rapat Pembina dan ditandatangani oleh pengurus dan pengawas.  
Jika ada anggota pengawas yang tidak mau menandatangani laporan tahuna tersebut, 
maka berdasarkan ketentuan pasal 50 UU Yayasan harus memberikan alasan tertulis 
mengenai keberatannya menandatangani laporan tahuna tersebut. Laporan tahunan  juga
harus dibuat secara benar baik secara formil maupun materil. Jika laporan tahuna 
tersebut tidak benar, maka pengurus bertanggung jawab secara bersama-sama terhadap 
pihak-pihak yang dirugikan. 
Dalam pengelolaan yayasan diperlukan adanya sosial kontrol dari berbagai pihak, 
yang dilakukan melalui pemeriksaan terhadap yayasan. Pemeriksaan terhadap yayasan 
dilakukan melalui permintaan tertulis dari pihak ketiga atau pihak kejaksaan dalam  hal
mewakili kepentingan umum keepada pengadilan negeri untuk mendapatkan  penetapan
pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan untuk medapatkan data-data dan  keterangan jika
terdapat dugaan bahwa yayasan telah melakukan perbuatan melawan  hukum, atau
bertentangan dengan Anggaran Dasar, lalai dalam melaksanakan tugas,  serta
melakukan perbuatan yang merugikan yayasan dan pihak ketiga. 
Terkait dengan ketentuan diatas, maka pelaksanaan prinsip akuntabilitas dan 
keterbukaan merupakan tanggung jawab yayasan sebagaimana yang diatur dalam  UU
Yayasan dan Anggaran Dasarnya. Ketika prinsip tersebut tidak dilaksanakan  oleh organ
yayasan, maka hal itu dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan  dengan
Anggaran Dasar dan lalai dalam melaksanakan tugas. Sehingga akibat hukum  yang
ditimbulkan dari perbuatan tersebut yayasan bias diajukan ke pengadilan untuk 
permintaan pemeriksaan.  
Apabila organ yayasan diduga melakukan perbuatan tersebut pengadilan dapat 
menolak atau mengabulkan permohonan pemeriksaan. Jika pengadilan mengabulkan 
maka pengadilan mengeluarkan penetapan pemeriksaan dan sekaligus mengangkat 
paling banyak tiga orang ahli sebagai pemeriksa. Hasil pemeriksaan itu kemudian 
disampaikan kepada pengadilan, salinan pemeriksaan tersebut disampaikan pengadilan 
kepada pemohon atau kejaksaan dan kepada yayasan yang bersangkutan. 
Adapun untuk pengawas yayasan, dapat dikenai tanggung gugat dalam hal laporan 
tahunan yang dibuat dan ditanda tangani pengawas ternyata tidak benar, maka 
berdasarkan pasal 52 UU Nomor 16 tahun 2001 tentang yayasan pengawas dan 
pengurus secara tanggung renteng bertanggung jawab terhadap pihak yang dirugikan. 
Dalam konteks perdata, kesalahan yang dilakukan oleh pengurus yayasan karena tidak 
melaksanakan ketentuan Anggaran Dasar, dan ketentuan undang-undang termasuk 
tidak menerapkan prinsip akuntabilitas dan keterbukaan kemudian melahirkan 
tanggung jawab hukum. Tanggung jawab hukum itu, kemudian berimplikasi terhadap 
munculnya perbuatan melawan hukum sebagai kosekuensi yuridis terhadap adanya 
kesalahan. Suatu perbuatan yang dikategorikan kesalahan atau kelalain agar dapat 
dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, maka harus memenuhi berberapa 
syarat yang diantaranya adalah adanya kerugian, dan unsur kausalitas. 
SIMPULAN 
Pelaksanaan prinsip akuntabilitas dan keterbukaan merupakan tanggung jawab 
yayasan sebagaimana yang diatur dalam UU Yayasan dan Anggaran Dasarnya. 
Berdasarkan ketentuan prinsip akuntabilitas dan keterbukaan, pengurus yayasan  dalam
pengelolaan kekayaan dan pelaksanaan kegiatan diwajibkan untuk membuat  laporan
tahunan, membuat dan menyimpan catatan atau tulisan yang berisi keterangan 
mengenai hal dan kewajiban serta hal lain yang berkaitan dengan kegiatan yayasan 
termasuk kegiatan usaha. Ketika prinsip tersebut tidak dilaksanakan oleh organ
yayasan,  maka hal itu dikategorikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan
Anggaran  Dasar dan lalai dalam melaksanakan tugas. Sehingga akibat hukum yang
ditimbulkan  dari perbuatan tersebut yayasan dapat diajukan ke pengadilan untuk
permintaan  pemeriksaan.  

JURNAL 2

A. Dasar Hukum Yayasan Menjalankan Kegiatan Usaha 

Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan merupakan dasar
hukum  Yayasan dalam menjalankan kegiatan usaha dengan cara mendirikan suatu
badan usaha.  sebagaimana penegasan tersebut berbunyi sebagai berikut : “Yayasan
dapat melakukan  kegiatan usaha untuk mendukung pencapaian maksud dan tujuannya
dengan cara  mendirikan badan usaha dan/ikut serta dalam suatu badan usaha”. Dan
dalam  penjelasan sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 2004 Tentang
Perubahan atas  UU No. 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan menjelaskan bahwa
ketentuan ayat (1)  dimaksud untuk mengaskan bahwa Yayasan tidak digunakan sebagai
wadah usaha dan  juga tidak untuk melakukan kegiatan usaha secara langsung, namun
Yayasan dalam  menjalankan kegiatan usaha tersebut dengan cara mendirikan suatu
badan usaha lain  dimana Yayasan mernyertakan kekayaan didalam badan usaha
tersebut.

Kegiatan usaha yang bisa dijalankan oleh Yayasan adalah kegiatan yang
memiliki  kesesuaian dengan maksud dan tujuan pendirian suatu Yayasan, hal ini di
tegaskan  dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2001, selain itu
undang-undang  membatasi jumlah modal yang digunakan untuk penyertaan dalam
badan usaha yaitu  tidak lebih dari 25% dari seluruh kekayaan yang dimiliki oleh
Yayasan. Lebih lanjut  pada Pasal 8 menegaskan bahwa kegiatan usaha dari badan
usaha yang sesuai dengan  maksud dan tujuan Yayasan serta tidak bertentangan
dengan ketertiban umum,  kesusilaan, dan/atau peraturan perundang - undangan
yang berlaku. Dan dalam  penjelasannya menyatakan bahwa kegiatan usaha dari
badan usaha yayasan mencakup  antara lain HAM, kesenian, olah raga,
perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan  hidup, kesehatan dan ilmu
pengetahuan.  
Sebagaimana dasar hukum pengaturan Yayasan dalam kegiatan usaha
sebagaimana  diatas dapat disimpulkan batas-batas sebagai berikut : 1). Yayasan
tidak boleh digunakan  sebagai wadah melakukan kegiatan usaha. 2). Kegiatan
usaha dilakukan diluar Yayasan  dalam wadah usaha secara terpisah yakni dengan
mendirikan badan usaha. 3). Yayasan  dapat ikut serta dengan badan usaha lain di
luar Yayasan. 4). Kegiatan usaha yang  diikuti oleh Yayasan adalah yang bersifat
prospektif. 5). Kekayaan yang digunakan  dalam penyertaan kegiatan usaha tidak
lebih dari 25% dari seluruh kekayaan Yayasan.  
Berdasarkan pada uraian diatas maka Yayasan dalam menjalankan kegiatan
usaha  yayasan dapat berperan atau berkedudukan sebagai :  
a. Yayasan berkedudukan sebagai Pendiri Badan Usaha.  
b. Yayasan berkdudukan sebagai investor pada badan usaha lain. 

B. Badan Usaha di Indonesia 


Menurut Chidir Ali menjelaskan tentang badan usaha dengan penekanan
memiliki  unsur-unsur sebagai berikut : 1). Badan usaha merupakan perwujudan
dan  pengejawantahan organisasi perusahaan, yang memilik komponen bentuk cara
kerja,  bentuk wadah kerja dan bentuk / besar kecilnya tanggung jawab pengurus
serta para  anggota.; 2). Badan usaha menghasilkan laba yang diperoleh dari hasil
pemasaran  berupa barang dan atau jasa yang dihasilkan oleh suatu perusahaan.; 3).
Suatu badan  usaha yang merupakan perwujudan dari suatu perusahaan yang
terorganisir.; 4). Badan  usaha berbentuk abstrak (bahwa pada hakikatnya badan
usaha merupakan organisasi  dari suatu perusahaan, yang diketahui umum, dan
untuk pembedanya teletak pada  bentuk badan usaha sebagaimana yang tertulis
didepan namanya seperti: CV. Fa. PT dan  sebagainya. Sedangkan hal yang terlihat
secara konkret dari suatu badan usaha adalah  perusahaannya. 
Pada sisi tentang apa yang dimaksud dengan perusahaan, Chidir Ali memberi 
penekanan bahwa perusahaan memiliki unsur-unsur sebagai berikut : 1). adalah
suatu  daya ikhtiar atau pekerjaan yang teratur dan dilaksanakan sebagai mata
pencaharian  sehari-hari, 2). bentuk yang dihasilkan oleh perusahaan berupa barang
dan atau jasa  yang selanjutnya dipasarkan oleh badan usaha, 3). bentuk konkret
perusahaan terlihat  seperti toko, restoran, bengkel, bioskop, hotel, persewaan
gundang, tempat pemangkas  rambut, tempat berobat umum dan sebagainya.
Dalam hukum perusahaan di Indonesia, badan usaha di klasifikasi dalam dua 
bentuk yaitu badan usaha bukan badan hukum dan bentuk badan usaha badan
hukum.  Bentuk badan usaha bukan badan hukum meliputi : Perusahaan
Perorangan, Firma (Fa),  Comanditter Vennootschap atau disebut Persekutuan
komanditer (CV), Persekutuan  Perdata (Maatschap), bentuk kegiatan usaha
tersebut diatur dalam Kitab Undang-Undang  Hukum Dagang (KUHD), dan selain
itu terdapat juga badan usaha yang didirikan oleh  perorangan perusahaan
perseorangan atau pada umumnya disebut usaha dagang (UD).  Sedangkan badan
usaha yang berbadan hukum meliputi Perseroan Terbatas dan  Koperasi.16 Selain itu
dengan diterbitkannya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja  diatur tentang
Perseroan Terbatas Perseorangan. Berikut pendiri dari masing-masing  badan usaha
dimaksud : 
a. Pendirian Perusahaan Perorangan 
Perusahaan perorangan ini didirikan oleh satu orang, perusahaan perorangan
belum  diatur dalam undang-undang, tetapi eksistensinya diakui oleh pemerintah
sebagaimana  berdasarkan pada Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang
Wajib Daftar  Perusahaan bahwa perusahaan yang berkedudukan di Indonesia
wajib mendaftarkan  perusahaannya.
b. Pendirian Firma (Fa) 
Firma (Fa) adalah persekutuan perdata yang didirikan untuk menjalankan 
perusahaan dengan nama bersama (Pasal 16 KUHD), adapun persekutuan perdata 
adalah perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk 
menyetorkan sesuatu kepada pesekutuan dengan tujuan untuk memperoleh manfaat 
atau keuntungan (Pasal 1618 KUH Perdata). Pasal 16 KUHD menyatakan bahwa
untuk  menjalankan perusahaan dengan memakai nama bersama. Jelasnya jika
beberapa orang  mendirikan firma, maka firma itu harus memakai nama bersama.
Dalam pengertian  “nama bersama” itu bukan sekadar dalam arti dipergunakannya
“suatu nama” untuk  bersama tetapi lebih dari itu, yaitu nama para sekutu itulah
yang dipergunakan untuk  nama perusahaan. Setidak – tidaknya nama salah seorang
sekutu. Sebab itulah acapkali  timbul “Fa Jan De Boer & Co” umpamanya, atau
misalnya “Fa Hong & Zoon” yang  menunjukkan usaha bersama dari Tuan Hong
bersama putranya. Mengapa demikian,  karena menurut doktrinnya, persekutuan
firma itu adalah asosiasi orang.
b. Pendirian Koperasi 
Koperasi, istilah koperasi berasal dari bahasa latin coopere atau corporation
dalam  bahasa Inggris. Secara etimologi koperasi berasal dari kata cooperation, co
yang memiliki  arti bersama dan operation artinya adalah bekerja atau berusaha.
Sehingga cooperation adalah bekerja bersama-sama untuk kepentingan bersama.
Oleh karena itu, koperasi  adalah suatu perkumpulan yang beranggotakan orang-
orang atau badan-badan yang  memberikan kebebasan masuk dan keluar sebagai
anggota, dengan bekerjasama secara  kekeluargaan menjalankan usaha, untuk
mempertinggi kesejahteraan jasmaniah para  anggotanya. 
c. Pendirian Perseroan Terbatas 
Berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan 
Terbatas, Perseroan Terbatas didefinisikan sebagai suatu badan hukum yang
merupakan  persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan
kegiatan usaha dengan  modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan
melalui persyaratan yang  ditetapkan dalam Undang-undang ini serta peraturan
perlaksanannya.
Perseroan terbatas didirikan berdasarkan pada perjanjian para pendiri, yang
pada  awalnya merupakan aturan main yang mengatur hubungan internal antara
para pendiri  atau pemegang saham (setelah perseroan terbatas berbadan hukum),
Direksi dan  anggotanya, Dewan Komisaris dan para anggotanya. Akta tersebut
harus dibuat dalam  bentuk notariil, dan dikenal dengan nama akta pendirian
perseroan terbatas. Sebagai  suatu perjanjian perseroan terbatas yang didirikan
berdasar pada kesepakatan dua atau  lebih pihak, yakni baik dapat orang pribadi
maupun badan hukum sebagaimana hal ini  diatur dalam ketentuan Pasal 8 ayat (2)
huruf a UU No. 40 Tahun 2007.  

d. Pendirian Perseroan Terbatas Perorangan 


Cipta Kerja, lahirnya undang-undang cipta kerja memberi kemudahan berusaha di 
Indonesia, pendirian PT dapat dilakukan oleh 1 (satu) orang saja, dan pendirian tidak 
perlu dengan membuat Akta pendirian, namun cukup dengan pernyataan pendirian 
perseroan yang disahkan secara elektronik oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi 
Manusia. Dengan syarat perseorangan dimaksud adalah badan usaha perorangan yang 
memenuhi kriteria sebagai usaha mikro dan kecil. Dengan demikian lahirnya UU No. 
11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja di Indonesia terdapat 2 (dua) Perseroan Terbatas 
yakni 1). Perseroan Terbatas, dan, dan 2). Perseroan Terbatas Perseorangan. Yang 
menjadi pembeda dari Perseroan Terbatas tersebut adalah terletak dari pendiri
Perseroan  Terbatas, dan pada karakter khusus dari perseroan terbatas perorangan
terletak pada  karakter Usaha Mikro dan Kecil, sementara Perseroan Terbatas memiliki
karakteristik di  luar itu.  
Karakteristik kegiatan usaha mikro dan kegiatan usaha kecil dibedakan dari sisi 
besarnya kekayaan yang digunakan untuk kegiatan usaha tersebut, dengan kriteria 
jumlah kekayaan sebagai berikut : pada kegiatan usaha mikro memiliki kekayaan
bersih  paling banyak Rp. 50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah), kekayaan ini
tidak termasuk  nilai tanah dan bangunan tempat dilakukannya usaha atau memiliki
hasil penjualan per  tahun paling banyak Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah).
Sedangkan kriteria usaha  kecil memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)  sampai dengan paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk  tanah dan bangunan tempat
usaha; atau memiliki hasil penjualan thunan lebih dari Rp.  300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 2.500.000.000,00  (dua milyar
lima ratus juta rupiah). 
Sementara menurut Badan Pusat Statistik (BPS), standar definisi tentang usaha
Mikro  dan Kecil, BPS membedakan mengolongkannya berdasarkan pada jumlah
tenaga kerja  yang dimiliki oleh suatu badan usaha, yang pertama adalah industri
rumah tangga  apabila memiiki tenaga kerja antara 1 sampai 4 orang. Dan kedua
adalah industri kecil  dengan jumlah tenaga kerja antara 5 sampai dengan 9 orang,
ketiga disebut dengan  industri sedang/menengah apabila memiliki tenaga kerja
antara 10 hingga 99 orang, dan  yang ke empat, industri besar apabila memiliki
jumlah tenaga kerja lebih dari 100  orang.
C. Undang-Undang Lain Yang Mengatur Yayasan Sebagai Badan
Penyelenggara Suatu  Kegiatan.  
Undang-undang yang memberi legalitas peran Yayasan dalam mensejaterakan 
masyarakat, di temukan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun
2009 Tentang Rumah Sakit. Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang 
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan  pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat,25 yang
diselenggarakan berasaskan  Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika
dan profesionalitas, manfaat,  keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi,
pemerataan, perlindungan dan  keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial.
Rumah sakit publik dapat dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan badan 
hukum yang bersifat nirlaba. Badan hukum nirlaba dimaksud adalah badan hukum 
yang sisa hasil usahanya tidak dibagikan kepada pemilik, melainkan digunakan untuk 
meningkatkan pelayanan yaitu antara lain Yayasan, Perkumpulan dan Perusahaan 
Umum.
Rumah sakit privat dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang
berbentuk  Perseroan Terbatas atau Perseroan. Berdasarkan pada UU RI No. 44
Tahun 2009 tentang  Rumah Sakit, badan hukum Yayasan sebagai pengelola
Rumah Sakit dengan mendirikan  badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas.  
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan 
Fakir Miskin. Di jelaskan bahwa yang dimaksud kategori fakir miskin menurut undang
undang ini yaitu seseorang yang tidak memiliki sumber mata pencaharian sama sekali, 
atau seseorang yang memiliki sumber pencaharian namun sumber pencaharian yang 
dimilikinya tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan dasarnya secara layak baik bagi 
kehidupan dirinya sendiri maupun keluarganya. Dan yang dimaksud penanganan fakir 
miskin dari undang-undang ini yaitu tentang upaya yang dijalankan secara terarah, 
terpadu dan secara berelanjutyan yang kesemuanya itu dilakukan oleh Pemerintah, 
Pemerintah Daerah, atau masarakat, dalam bentuk berupa kebijakan, progaram dan 
kegiatan pemberdayaan, pemberian pendampian, serta pemberian fasilitas guna 
memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan 
Sosial. Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, 
dan sosial warga negara agar dapat hidup secara layak dan mampu mengembangkan 
diri, serta dapat melaksanakan fungsi sosialnya.Penyelenggaraan kesejahteraan sosial 
ditujukan bagi kepada perseorangan, keluarga, suatu kelompok; dan/atau kepada 
masyarakat. Dan diutamakan bagi mereka yang memiliki kehidupan yang tidak layak 
secara kemanusiaan, dengan memiliki kriteria masalah sosial, meliputi hal-hal berikut :
a.  kemiskinan; b. ketelantaran; c. kecacatan; d. keterpencilan; e. ketunaan sosial dan 
penyimpangan perilaku; f. korban bencana; dan/atau g. korban tindak kekerasan, 
eksploitasi dan diskriminasi.

D. Bentuk Badan Usaha yang Dapat Didirikan oleh Yayasan dan Legalitas
Kegiatan  Usaha Yayasan yang Dijalankan atas Nama Para Organ Yayasan  
Yayasan merupakan badan hukum yang didirikan atas kekayaan yang dipisahkan 
dari pemiliknya dan diperuntukkan untuk maksud dan tujuan Yayasan, oleh karena itu 
merujuk pada teori kekayaan bertujuan, tidak ada subyek hukum sebagai pemilik dari 
kekayaan suatu Yayasan kecuali Yayasan itu sendiri. Sebagaimana hal tersebut 
ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1 butir 1 UU No. 16 Tahun 2001 juncto UU No. 28 
Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yaitu 
menyatakan sebagai berikut : “Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan 
Yayasan dipisahkan dan diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, 
keagamaan, dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota”.
Kemajuan dan peningkatan pembangunan nasional pada umumnya dan 
perkembangan kegiatan ekonomi pada khsusunya yang menyebabkan
berkembangnya  dunia usaha dan perusahaan. Suatu perusahan memerlukan adanya
legalitas perusahaan  yang merupakan sumber informasi resmi untuk semua pihak
yang berkepentingan  menganai identitas dan hal-hal yang menyangkut dunia usaha
dan perusahaan yang  didirikan, bekerja serta berkedudukan di wilayah Negara
Republik Indonesia. Legalitas  suatu perusahaan atau badan usaha adalah
merupakan unsur yang terpenting, karena  legalitas merupakan jati diri yang
melegalkan atau mengesahkan suatu badan usaha di  tengah masyarakat. 
Dengan kata lain, legalitas perusahaan harus sah menurut undang-undang dan 
peraturan, dimana perusahaan tersebut dilindungi atau dipayungi dengan berbagai 
dokumen hingga sah di mata hukum dari pemerintahan yang berkuasa saat itu.

Badan usaha yang dapat didirikan oleh Yayasan meliputi berbentuk PT dan 
Koperasi, selebihnya tidak dapat didirikan oleh Yayasan karena seperti UD, CV, Fa
pada  prinsipnya hanya dapat didirikan oleh orang per orangan, sementara Yayasan 
merupakan badan hukum. Selain itu diluar yang diatur dalam hukum perusahaan, 
Yayasan dapat mendirikan kegiatan usaha berdasar pada undang-undang yang 
menyatakan Yayasan sebagai badan penyelenggara, misalnya bidang kesehatan
dan  pendidikan. Legalitas bagi badan usaha yang didirikan atas nama salah seorang
organ  Yayasan dengan menggunakan kekayaan Yayasan, maka legalitas
kepemilikan badan  usaha tersebut terletak nama orang yang tercantum dalam akta
pendirian badan usaha  tersebut dan bukan yayasan.  
Perlu diatur payung hukum bentuk badan usaha yang lebih fleksibel dan tidak 
memberatkan Yayasan yakni semacam Perseroan Terbatas Perorangan namun
khusus  bagi yayasan, sehingga dengan kemudahan berusaha bagi Yayasan, selain
dapat  meningkatnya sumber pendapatan dan menciptakan kemandirian Yayasan,
juga untuk  mengatasi kebocoran kekayaan Yayasan sebagaimana amanat Pasal 5
Undang-undang  Yayasan. 

JURNAL 3

KESADARAN BADAN HUKUM YAYASAN PENDIDIKAN DI


INDONESIA
(Persepsi dan Kesadaran Hukum Masyarakat)

A. Pemahaman Terhadap UU Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas


UU Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan

Di samping orang-orang (manusia), telah nampak pula di dalam hukum ikut sertanya
badan- badan atau perkumpulan-perkumpulan yang dapat juga memiliki hak-hak dan
melakukan perbuatan- perbuatan hukum seperti seorang manusia. Badan-badan dan
perkumpulan-perkumpulan itu, mempunyai kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu
lintas hukum dengan perantaraan pengurusnya, dapat digugat dan dapat jug menggugat
dimuka hakim. Pendek kata diperlakukan sepenuhnya sebagai seorang manusia. Badan
atau perkumpulan yang demikian itu, dinamakan badan hukum atau rechts persoon,
artinya orang yang diciptakan oleh hukum (Subekti, 1985 : 21).
Di Indonesia setelah hampir 70 tahun merdeka baru mempunyai peraturan mengenai
yayasan, yaitu UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, yang diundangkan pada
tanggal 6 Agustus 2001 dalam Lembaran Negara RI Tahun 2001 No. 112 dan
Tambahan Lembaran Negara RI No. 4132, dan mulai berlaku sejak tanggal 6 Agustus
Tahun 2002. Pemberlakuan undang-undang yayasan satu tahun setelah pengundangan
dimaksudkan agar masyarakat mengetahui dan memahami peraturannya dan dapat
mempersiapkan segala sesuatunya yang berhubungan dengan yayasan. Setelah Undang-
undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 tersebut berjalan kurang lebih dua tahun,
diubah dengan UU Nomor 28 tahun 2004, yang diundangkan pada tanggal 6 Oktober
2004 dalam Lembaran Negara RI Tahun 2004 No. 115 dan Tambahan Lembaran
Negara RI No. 4430 dan mulai berlaku sejak tanggal 6 Oktober 2005, satu tahun setelah
diundangkan. Perubahan Undang- undang Yayasan sesuai dengan konsideran UU
Nomor 28 Tahun 2004 disebabkan karena UU Nomor 16 Tahun 2001 dalam
perkembangannya belum menampung seluruh kebutuhan dan perkembangan hukum
dalam masyarakat, serta terdapat beberapa sustansi yang menimbulkan berbagai
penafsiran (Supramono, 2003 : 10).

Undang-undang Yayasan pada prinsipnya mengehndaki yayasan bersifat terbuka dan


pengelolaannya bersifat profesional. Dengan adanya Undang-undang Yayasan sangat
menggembirakan masyarakat, karena sudah ada kaidah hukum yang menjadi pegangan
bagi mereka yang berkecimpung dalam yayasan dan sebagai pegangan bagi masyarakat
pada umumnya. Masyarakat dapat melihat bagaimana kehidupan yayasan di Indonesia
setelah berlakunya Undang- undang Yayasan. Mengenai yayasan dikehendaki bersifat
terbuka, dapat dilihat dari sejumlah aturan mainnya dalam UU Nomor 16 Tahun 2001 jo
UU Nomor 28 Tahun 2004, antara lain:

1. Cara mencari dana

Yayasan tidak dapat menjalankan usaha secara langsung karena yayasan


kedudukannya bukan sebagai badan usaha atau perusahaan, dan yayasan tidak
sebagai lembaga yang tujuannya mencari keuntungan. Namun yayasan dapat
mencari dana untuk kepentingan yayasan, dengan jalan mendirikan badan usaha.
Disini yayasan hanya mendirikan badan usaha, dan kedudukannya juga semata-
mata sebagai pendiri usaha. Yayasan selaku pendiri, tidak dapat mengelola badan
usaha itu. Pasal 7 ayat (3) melarang dengan tegas kepada anggota Pembina,
pengurus dan pengawas yayasan merangkap menjadi anggot direksi (pengurus)
atau komisaris (pengawas) badan usaha yang didirikan yayasan.

2. Cara mengelola kekayaan

Kekayaan yayasan yang berasal dari kegiatan usaha maupun dari sumbangan
pihak ketiga, merupakan milik yayasan dan sesuai dengan Pasal 3 ayat (2) dan
Pasal 5 ayat (1) tidak boleh dibagikan atau dialihkan kepada Pembina, pengurus
maupun pengawas yayasan. Aturan main yang demikian, tuajuannya untuk
menghidari agar sebuah yayasan jangan sampai disalahgunakan untuk mencari
dana atau keuntungan bagi para personel organ yayasan. Juga untuk melindungi
yayasan tetap dapat mencapai tujuan yang dicita-citakan.
3. Akta pendirian diumumkan

Setiap yayasan diharuskan mempunyai akta pendirian dan akta tersebut


disahkan

oleh Menteri Hukum dan HAM, kemudian diumumkan dalam Berita Negara RI
(Pasal 24). Dengan pengumuman tersebut masyarakat telah dianggap mengetahui setiap
ada yayasan yang baru didirikan. Dengan mengajukan permohonan pengesahan kepada
Menteri dan mengumumkan dalam Bertia Negara, maka perbuatan tersebut dapat
dikatakan perbuatan hukum sekaligus sikap keterbukaan dari sebuah yayasan, karena
angaran dasarnya diketahui oleh pemerintah dan keberadaannya diakui oleh Negara dan
masyarakat.

4. Organ yayasan

Setiap yayasan wajib memiliki alat perlengkapan yang berupa Pembina, pengurus
dan pengawas. Kemudian setiap alat perlengkapan dapat memiliki lebih dari seorang
anggota. Untuk mengisi atau mengangkat anggota organ yayasan tersebut, tidak harus
personel yang berasal dari dalam yayasan melainkan dapat diisi oleh orang dari luar
yayasan (Pasal 28 ayat (30, Pasal 31 ayat (2), Pasal 40 ayat (3) Undang-undang
yayasan.

4. Mengumumkan laporan keuangan

Setiap tahunnya pengurus yayasan mem- punyai kewajiban untuk membuat laporan
tahunan yang berisi dua hal yaitu laporan keadaan dan kegiatan yayasan dan laporan
keuangan. Laporan tersebut disahkan dalam rapat Pembina yayasan (Pasal 50 ayat (3)
Undang-undang yayasan).

5. Pemeriksaan yayasan oleh pihak ketiga

Yayasan yang diduga melakukan perbuatan yang kurang atau tidak baik, yaitu
organnya: melakukan perbuatan melanggar hukum, lalai dalam menjalankan tugasnya,
perbuatan merugikan yayasan atau pihak ketiga, atau perbuatan yang merugikan
Negara, dapat dilakukan pemeriksaan berdasarkan penetapan pengadilan. Pengadilan
mengeluarkan penetapan pemeriksaan atas dasar permintaan pihak ketiga, kecuali
perbuatan yayasan yang merugikan Negara atas permintaan kejaksaan.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa perubahan suatu undang-undang


tiada lain tujuannya adalah untuk memperbaiki sekaligus penyempurnaan undang-
undang terdahulu agar sesuai dengan perkembangan zaman. Disisi lain perubahan suatu
undang-undang akan membawa pengaruh kepada masyarakat dan semua pihak yang
terkait (stakeholders). Oleh karenanya pemahaman secara dini atas perubahan substansi
suatu undang-undang menjadi hal yang penting. Masyarakat yang terkena dampak
langsung dari UU Yayasan harus mengetahui mana pasal-pasal yang diubah dan mana
pasal-pasal yang tetap. Biasanya pasal-pasal yang diubah tidak berurutan, sehingga
dalam mempelajari undang-undang yang mengalami perubahan tergolong agak rumit
dan harus teliti supaya terhindar dari kekeliruan.
Memang sebaiknya dengan adanya perubahan undang-undang, pemerintah atau
swasta dapat menuangkan perubahan undang-undang dalam satu naskah, sehingga
masyarakat dapat dengan mudah mempelajarinya. Dengan kata lain undang- undang
yang mengalami perubahan mudah disosialisasikan.

Pengetahuan responden atas keberadaan perubahan UU Yayasan kurang berbanding


lurus dengan pengetahuannya atas substansi pasal-pasal UU Yayasan yang dirubah.
Dari 19 responden tidak seluruhnya mengetahui substansi UU Yayasan. Meskipun
mayoritas responden yaitu 12 responden (63,16%) menjawab memahami, tetapi masih
ada

yang menjawab kurang memahami sebanyak 1 responden (5,20%) dan yang


menjawab belum sama sekali sebanyak 2 responden (10,52%). Kecenderungan ini
menunjukkan bahwa pemahaman atas keberadaan UU Yayasan belum seluruhnya
sampai kepada hal-hal yang sifatnya substantif.

Salah satu dari substansi UU Yayasan adalah mewajibkan yayasan untuk


menyesuaikan anggaran dasarnya yang berdiri sebelum tahun 2001, baik yang sudah
terdaftar di Pengadilan Negeri maupun yang belum. Ketika hal ini ditanyakan kepada
responden, terkait dengan siapa yang bertanggung jawab untuk menyesuaikan anggaran
dasar yayasan terdapat perimbangan data mayoritas. Sebanyak 6 responden (30,00%)
menjawab pembina yayasan, 5 responden. (25,00%) menjawab pengurus yayasan dan 6
responden (30,00%) menjawab pengurus yayasan melalui notaris. Kecenderungan ini
menunjukkan pihak-pihak terkait (yayasan dan notaris) belum mengetahui secara pasti
siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab untuk menyesuaikan anggaran dasar
yayasan. Sekaligus dapat diasumsikan bahwa teknis pelaksanaan UU Yayasan
dimaksud belum disosialisasikan secara konkrit.

Dari persebaran data-data diatas dapat dianalisis bahwa pada prinsipnya perubahan
suatu undang-undang bertujuan untuk memperbaiki sekaligus menyempurnakan
undang-undang terdahulu agar sesuai dengan perkembangan zaman. Disisi lain
perubahan suatu undang-undang akan membawa pengaruh kepada masyarakat dan
semua pihak yang terkait (stakeholders). Oleh karenanya pemahaman secara dini atas
perubahan substansi suatu undang-undang menjadi hal yang penting. Masyarakat yang
terkena dampak langsung dari sebuah undang-undang harus mengetahui mana pasal-
pasal yang diubah dan mana pasal-pasal yang tetap. Biasanya pasal- pasal yang diubah
tidak berurutan, sehingga dalam mempelajari undang-undang yang mengalami
perubahan tergolong agak rumit dan harus teliti supaya terhindar dari kekeliruan.
Memang sebaiknya dengan adanya perubahan undang-undang, pemerintah atau swasta
dapat menuangkan perubahan undang-undang dalam satu naskah, sehingga masyarakat
dapat dengan mudah mempelajarinya. Dengan kata lain undang- undang yang
mengalami perubahan mudah disosialisasikan. Terkait dengan keberadaan yayasan yang
bergerak dibidang pendidikan.

UU Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 16 Tahun 2001


tentang yayasan menyatakan bahwan setiap yayasan adalah sebuah badan hukum yang
sudah barang tentu harus mengikuti prosedur dan mekanisme yang sudah diatur dalam
undang-undang dimaksud. Salah satunya adalah mewajibkan setiap yayasan untuk
mendaftar dan menyesuaikan anggaran dasarnya sekaligus mendapatkan pengesahan
dari Kementerian Hukum dan HAM. Sehingga kapasitasnya dapat dianggap sebagai
badan hukum dan sebagai salah satu bentuk pertanggung jawaban terhadap publik.
Konsekuensinya adalah setiap yayasan pendidikan dan atau melalui notaris yang
membuat akta pendiriannya harus menyesuaikan anggaran dasarnya sesuai dengan
ketentuan UU Yayasan. Hal inilah tentunya yang harus dipahami oleh setiap satuan
penyelengga pendidikan termasuk juga oleh para pejabat notaris.

B. Kesadaran Anggaran Pengurus Menyesuaikan Dasar Yayasan Pendidikan

Suatu pembicaraan dengan acara hukum dan masyarakat tidak dapat menghindarkan
diri dari pembahasan tentang bagaimana hukum itu berkaitan dengan perubahan-
perubahan sosial di luarnya. Sekaligus hukum itu merupakan sarana untuk mengatur
kehidupan sosial, namun suatu hal yang menarik adalah bahwa justru ia selalu dan
senantiasa tertinggal dibelakang obyek yang diaturnya. Dengan demikian akan selalu
terdapat gejala bahwa antara hukum dan perikelakuan sosial terdapat suatu jarak
perbedaan yang menyolok maupun tidak. Di dalam suatu negara modern dengan
munculnya lembaga legislatif yang mengemban fungsi yang eksklusif, maka pembuatan
peraturan-peraturan menjadi lebih lancar. Peningkatan fungsi pembuatan peraturan ini
sekaligus meningkatkan pula bekerjanya hukum secara lebih meluas dan jauh memasuki
bidang-bidang kehidupan individu maupun sosial, sehingga peraturan-peraturan itu
menjadi semakin kompleks sifatnya. Justru dengan semakin meluasnya pengaturan oleh
hukum itu, sehingga hubungan-hubungan sosial lebih banyak dituangkan ke dalam
bagan-bagan yang abstrak, maka semakin besar pula kemungkinan bagi tertinggalnya
hukum di belakang peristiwa dan pemberlakuan yang nyata (Rahardjo, 1980: 99).

Pembicaraan tentang hukum dan perubahan sosial masyarakat tentunya akan


membawa kita kepada pembicaraan tentang ilmu sosiologi hukum. Filsafat hukum dan
ilmu hukum adalah dua hal besar yang mempengaruhi lahirnya sosiologi hukum. Akan
tetapi, hukum alamlah yang menjadi basis intelektual dari sosiologi hukum. Hal ini
terjadi karena teori tersebut menjadi jangkar dari hukum modern, yang semakin menjadi
bangunan yang artifisial dan teknologis. Teori hukum alam selalu menuntut kembali
semua wacana dan institusi hukum kepada basisnya yang asli, yaitu dunia manusia dan
masyarakat. Ia lebih memilih pencarian keadilan secara otentik daripada terlibat ke
dalam wacana hukum posisif yang ber konsentrasi kepada bentuk prosedur, serta proses
formal dari hukum. Kebenaran hukum tak dapat dimonopoli atas nama otoritas para
pembuatnya (seperti aliran positivisme), melainkan kepada asalnya yang otentik.
Kapanpun hukum tetap akan dilihat sebagai asosiasi manusia yang asli, bukan yang
lain. Asosiasi yang otentik itu tidak akan mati, melainkan akan selalu mengikuti
perkembangan dan perubahan hukum sehingga hukum akan tetap memiliki dimensi-
dimensi manusia dan masyarakat (Anwar dan Adang, 2015: 119).

Menurut Lawrence W. Friedman ada 3 (tiga) elemen hukum yang harus berjalan
dengan baik untuk mencapai terciptanya sistem hukum, yaitu: substansi hukum, struktur
hukum dan budaya hukum (legal culture). Sebagai salah satu elemen dari sistem
hukum, faktor budaya hukum masyarakat memegang peranan sangat penting. Budaya
hukum adalah sikap masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum, meliputi
kepercayaan, pandangan-pandangan, pikiran-pikiran dan harapan-harapan yang
berhubungan dengan sistem hukum tadi. Budaya masyarakat tidak hanya mengacu pada
satu budaya hukum tertentu saja, tetapi juga tergantung dari sifat masyarakat, baik kelas
maupun statusnya. Budaya hukum masyarakat terdiri dari sub kultur hukum yang
dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: tingkat ekonomi, pendidikan dan strata sosial.
Faktor- faktor ini mungkin sedikit mudah untuk dijelaskan karena dapat diukur.
Berbeda halnya dengan faktor adat istiadat yang sulit dijelaskan -karena sulit
mengukurnya- apalagi seperti Indonesia dimana antara satu daerah dengan daerah lain
berbeda-beda. Secara umum ada 2 (dua) budaya hukum masyarakat yang dikenal yaitu
budaya hukum masyarakat tradisional dan budaya hukum masyarakat industri. Dalam
masyarakat yang sederhana aturan hukum hanya terdiri dari kebiasaan dan norma, yang
apabila dilanggar akan

mendapat sanksi sosial dari komunitas masyarakat itu sendiri. Ketika masyarakat itu
berkembang, baik dari segi jumlah maupun kualitas permasalahan yang terjadi, barulah
sikap dan tingkah laku diatur dalam bentuk yang formal. Formalitas pengaturan tersebut
dapat berupa undang-undang atau keputusan pengadilan. Dalam sebagian masyarakat
hukum yang sederhana seperti Indonesia, yang komunitas masyarakatnya cenderung
bersifat sederhana dan homogen. Sedangkan di sebagian masyarakat industri hukum
cenderung bersifat kompleks dan variatif cenderung khusus yang ditandai dengan
pengaturan-pengaturan, seperti pembuatan sistem kontrak, kerjasama, joint ventura,
waralaba dan lain sebagainya. Dalam budaya hukum masyarakat Indonesia, dikaitkan
dengan kesadaran para pemangku kepentingan dibidang pendidikan, untuk
menyesuaikan status hukum yayasan (pendidikan), kecenderungannya masih realtif
rendah. Hal ini ditentukan banyak faktor, diantaranya kurangnya informasi dari
pemerintah atau rendahnya kesadaran masyarakat itu sendiri.

Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa sesuai dengan UU Yayasan, setiap
yayasan wajib menyesuaikan anggaran dasarnya. Namun demikian di lapangan masih
ada yayasan yang belum menyesuaikan anggaran dasarnya. Tentu ada banyak alasan
yang mungkin dikemukakan, salah satunya adalah kurangnnya sosilaisasi dari instansi
terkait. Hal ini dapat dilihat bahwa masih kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh
Kementerian Hukum dan HAM atas keberadaan UU Yayasan. Dari hasil penelitian 11
responden (55,00%) menjawan Kementerian Hukum dan HAM tidak pernah melakukan
sosialisasi atas keberadaan UU Yayasan. Sedangkan 8 responden (40,00%) menjawab
Kementerian Hukum dan HAM pernah mensosialisasikan UU Yayasan.

Mengingat bahwa keberadaan UU Yayasan, terutama yayasan-yayasan yang


bergerak dibidang pendidikan, melibatkan beberapa pemangku kepentingan seperti
Notaris, Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Hukum dan HAM, maka
perlu ada kesepakatan tentang siapa/instansi mana sebenarnya yang paling berkewajiban
mensosialisasikan keberadaan UU Yayasan tersebut. Dari hasil penelitian sebanyak 8
responden (40,00%) menjawab Ditjen AHU Kementerian Hukum dan HAM. Sebanyak
8 responden (40,00%) menjawan Kanwil Kementerian Hukum dan HAM dan hanya 4
responden (20,00%) yang menjawab instansi terkait sesuai dengan bidang yang dikelola
yayasan. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa, menurut pendapat responden, yang
paling berkewajiban untuk melaksanakan sosialisasi keberadaan UU Yayasan adalah
Kementerian Hukum dan HAM. Mengingat bahwa pengadministrasian badan hukum
yayasan merupakan salah satu bentuk pelayanan publik, maka diharapkan Kanwil lebih
mengambil peran untuk mensosialisasikannya. Hak ini untuk lebih mendekatkan
pelayanan publik dimkasud dengan masyarakat.

Dari 20 responden yang dijadikan sampel dalam penelitian ini didapat data belum
semua responden menyesuaikan anggaran dasar yayasan dengan UU Yayasan.
Kecenderungan ini menunjukkan bahwa amanat Pasal 71 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun
2004 Tentang Perubahan UU Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan belum
sepenuhnya dapat dilaksanakan. Mayoritas responden (55,00%) menjawab baru
sebagian saja yang sudah menyesuaikan anggaran dasarnya dengan UU Yayasan.
Meskipun porsentasenya kecil, tetapi ada juga responden yang menjawab sama sekali
belum menyesuaikan anggaran dasarnya dengan UU Yayasan yaitu sebanyak 2
responden (10,00%).

Dari persebaran data-data diatas dapat dianalisis bahwa secara umum setiap yayasan
pendidikan (pendiri, pengawas dan pengurus) mengetahui keberadaan dari UU nomor
28 Tahun 2004 Tentang Perubahan UU Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan.
Namun pemahaman dimaksud belum sampai kepada hal-hal yang bersifat substantif
terutama kewajiban untuk menyesuaikan anggaran dasar dan pengesahannya kepada
Kementerian hukum dan HAM.

C. Kendala-kendala yang Dihadapi

Terkait dengan yayasan-yayasan pendidikan yang sudah berdiri sebelum


dikeluarkannya UU Yayasan, maka persoalan mendasar dari keberadaannya adalah
belum menyesuaikan anggaran dasar sesuai dengan UU Yayasan. Kenyataan ini
diperparah lagi dengan limitasi waktu penyesuaian yang sudah berakhir. Artinya secara
hukum yayasan-yayasan dimaksud dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan,
permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan dan tidak dapat lagi
menggunakan kata ”yayasan” didepan namanya. Hal ini sebagaimana diatur dalam
Pasal 71 UU Nomor 28 Tahun 2004:

b. telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan


dari instansi terkait; tetap diakui sebagai badan hukum dengan ketentuan dalam jangka
waktu paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal undang- undang ini mulai
berlaku, yayasan tersebut wajib menyesuaikan anggaran dasarnya dengan ketentuan
undang- undang ini.

(2) Yayasan yang telah didirikan dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh status badan hukum dengan cara
menyesuaikan anggaran dasarnya dengan ketentuan undang- undang ini, dan
mengajukan permohonan kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu)
tahun terhitung sejak tanggal undang-undang ini mulai berlaku.

(3) Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib diberitahukan kepada
Menteri paling lambat 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian.
(4) Yayasan yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
tidak dapat menggunakan kata ”yayasan” di depan namanya dan dapat dibubarkan
berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang
berkepentingan.

Dari 2 responden yang menjawab belum sama sekali menyesuaikan anggaran


dasarnya dengan UU Yayasan, menarik untuk dicermati. Salah satu alasannya adalah
karena menganggap akta pendirian yayasan yang dikeluarkan oleh notaris adalah bentuk
badan hukum. Kecenderungan ini menunjukkan keberadaan yayasan yang berbadan
hukum setelah mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM belum
sama sekali dipahami. Alasan lain yang juga dikemukakan adalah adanya tarik menarik
kepentingan antar pendiri yayasan -yang patut diduga- terkait dengan aset-aset yayasan.

Pada prinsipnya yayasan dibidang pendidikan mempunyai kesadaran menyesuaikan


anggaran dasarnya sebagai bentuk akuntabilitas dan pertanggung jawaban terhadap
publik. Namum bagaimana teknis pelaksanaan penyesuaian anggaran dasar dimaksud
pengurus yayasan belum begitu memahaminya. Hal ini diakibatkan karena belum
maksimalnya penyebarluasan informasi dan sosialisasi dari instansi terkait tentang
bagaimana mekanisme penyesuaian anggaran dasar tersebut.

Kendala yang dihadapi pengurus yayasan pendidikan adanya anggapan bahwa akta
pendirian yayasan yang dikeluarkan oleh notaris adalah bentuk badan hukum. Di
samping itu adanya tarik menarik kepentingan antar pendiri yayasan, yang patut diduga,
terkait dengan aset-aset yayasan dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh
yayasan untuk menyesuaikan anggaran dasarnya.

KESIMPULAN

Persepsi dan pengetahuan masyarakat (pengurus yayasan) atas keberadaan Undang-


undang Yayasan belum berbanding lurus dengan pengetahuannya atas substansi yang
dirubah. UU Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 16 Tahun
2001 tentang yayasan menyatakan bahwa setiap yayasan adalah sebuah badan hukum
yang mengikuti prosedur dan mekanisme yang sudah diatur dalam undang-undang
dimaksud. Salah satunya adalah mewajibkan setiap yayasan untuk mendaftar

Anda mungkin juga menyukai