Anda di halaman 1dari 14

TREN DALAM AKUNTANSI SEBAGAI AKIBAT DARI PERKEMBANGAN SOSIAL

EKONOMI, BUDAYA DAN POLITIK BANGSA

TRI RIZKY AMELIA NOFIANTI

(19013089)

Dosen Pengampu

Rima Lanaula,SE.,M.Ak.

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

UNIVERSITAS MAHAKARYA ASIA

2022
A. PENDAHULUAN

Akuntansi sebagai ilmu terus beradaptasi dengan lingkungan sosial ekonomi dimna ia
berada, sehingga perkembangan sosial ekonomi juga mempengaruhi perkembangan ilmu
ekonomi itu sendiri. Teori akuntansi merupakan guidance yang mengarahkan perkembangan itu
sendiri sehingga tetap berada dalam kerangka teoritis yang sudah disepakati. Kejadian itupun
dengan terjadinya revolusi ilmu pengetahuan seperti yang digambarkan oleh Kuhn maupun
popper bisa saja muncul perkembangan yang sama sekali keluar dari kerangka teori yang sudah
menjadi konvensi.

Perkembangan akuntansi dipengaruhi oleh berbagai macam faktor ekonomi, sosial, dan politik.
Perubahan lingkungan ekonomi seperti perubahan model kepemilikan perusahaan, tingkat
industrialisasi, pertumbuhan ekonomi, hingga aspek politik dan hukum dalam suatu masyarakat
akan sangat mempengaruhi perkembangan akuntansi di masyarakat tersebut (Noravesh, et al.,
2007). Juga munculnya bursa saham yang menyebabkan kepemilikan perusahaan melibatkan
banyak orang sehingga semakin banyak pihak yang berkepentingan dalam perkembangan
akuntansi yang lebih baik (Sudarwan, 1994).

Selain pengaruh lingkungan ekonomi, perkembangan akuntansi juga dipengaruhi oleh


lingkungan sosial dan aspek perilaku dari penggunanya. Karena pengguna akuntansi dapat
membentuk dan dibentuk oleh lingkungan, akuntansi dapat dilihat sebagai realitas yang dibentuk
secara sosial dan subyek dari tekanan politik, ekonomi, dan sosial (Chariri, 2009). Dalam
beberapa tahun belakangan, ketertarikan untuk mempelajari akuntansi dari sisi keperilakuan dan
sosial semakin meningkat. Penelitian mengenai keperilakuan dalam akuntansi telah memperkaya
disiplin akuntansi itu sendiri dan memperlihatkan bahwa akuntansi tidak hanya masalah teknis
semata, tetapi melihat akuntansi lebih luas dari pertimbangan psikologis yang mempengaruhi
persiapan laporan akuntansi hingga pertimbangan peran sosiopolitik akuntansi dalam organisasi
dan masyarakat. Berdasarkan penelitian ini, evolusi dalam akuntansi dipengaruhi oleh faktor
lingkungan yang berbeda, dimana budaya adalah faktor sosial yang paling penting (Noravesh, et
al. 2007). Namun, penelitian akuntansi di Indonesia masih didominasi oleh masalah teknis dan
cenderung mengabaikan nilai-nilai budaya yang melekat di Indonesia (Chariri, 2009).
Budaya adalah suatu sistem, karena budaya adalah suatu paket perilaku yang terjadi terus
menerus dan tidak memerlukan sistem lain untuk terus berfungsi (Redfield, 1956). Budaya
mencerminkan norma, nilai, dan perilaku masyarakat yang menganut budaya tersebut. Selain itu,
budaya juga didefinisikan sebagai “way of life of society” (Siegel dan Marconi, 1989).
Akuntansi sebagai ilmu dan perangkat yang bertujuan untuk memudahkan manusia tentu saja
harus tunduk terhadap “bagaimana masyarakat menjalani hidupnya”, karena kalau tidak, maka
akuntansi tidak akan berguna bagi masyarakat penggunanya. Masalahnya adalah, tiap
masyarakat di dunia mempunyai cara pandang yang berbeda terhadap bagaimana mereka harus
menjalani hidupnya. Karena itulah budaya sebagai aspek sosial sangat mempengaruhi
perkembangan akuntansi, dimana akuntansi itu sendiri adalah bagian dari ilmu sosial.

Pada tahun 1970-an, Hofstede melakukan penelitian komprehensif di lebih dari lima puluh
negara untuk meneliti struktur budaya tiap negara (Hofstede, 1997; 2005). Penelitian Hofstede
menghasilkan empat dimensi budaya, yaitu individualisme/kolektivitas, jarak kekuasaan
lebar/jarak kekuasaan pendek, penghindaran ketidakpastian kuat/penghindaran ketidakpastian
lemah, dan maskulinitas/feminitas. Pada tahun 1988, Hofstede memasukkan dimensi ke lima,
yaitu orientasi jangka pendek/orientasi jangka panjang berdasarkan penelitian terhadap nilai-nilai
yang berlaku di China (Hofastede, 2005). Kerangka struktur nilai budaya Hofstede sedikit
banyak menunjukkan nilai budaya universal yang ada untuk tiap masyarakat dan negara.

Beberapa penelitian telah mulai menaruh perhatian pada pengaruh interaksi antara budaya,
politik, dan ekonomi nasional dengan proses perubahan praktik akuntansi di satu negara.
Berbagai penelitian tersebut berusaha mengungkap hubungan antara budaya nasional dan budaya
organisasi, dengan pengungkapan akuntansi perusahaan seperti pada Gray, 1988; Perera, 1989;
Gibbins et al, 1990 (Sudarwan, 1994). Dan dimensi nilai budaya Hofstede mulai banyak
digunakan dalam beberapa bidang seperti manajemen akuntansi, pengauditan, akuntansi
keuangan, dan standar akuntansi (Noravesh , et al 2007). Tetapi, lanjut Noravesh, et al. (2007),
penelitian-penelitian ini hanya mengembangkan pandangan teoritis dan tidak mengembangkan
penelitian empiris dan sistematik terhadap hubungan budaya dan akuntansi.

Gray (1988) memperluas kerangka teoritis Hofstede untuk mengembangkan model yang
menunjukkan hubungan antara budaya dan nilai akuntansi. Faktor lingkungan yang terus
berubah-ubah dan dengan semakin tingginya permintaan masyarakat akan akuntansi yang
berkualitas dan dapat diandalkan selanjutnya menuntut profesi akuntansi untuk lebih profesional
dan terbuka, tapi dengan tingginya tingkat ketidakpastian dalam ekonomi, muncul pemikiran
apakah akuntansi harus dilakukan secara konservatif atau optimis. Dan muncul juga
pertimbangan apakah praktik akuntansi harus dibuat seragam atau fleksibel mengikuti situasi dan
kondisi. Hal-hal diatas bermanifestasi menjadi dimensi nilai akuntansi, yaitu kendali
profesional/menurut undang-undang, keterbukaan/ketertutupan, konservatif/optimis, dan
seragaman/fleksibel (Gray, 1988). Namun penelitian Gray, seperti penelitian-penelitian
sebelumnya, hanyalah berupa kerangka teoritis, dan tidak menguji hipotesis ataupun menerapkan
uji empiris.

Penelitian empiris mengenai hubungan antara budaya dengan akuntansi masih sangat sedikit, dan
hasilnya juga sangat bervariasi. Sudarwan (1994) menguji hipotesis Gray di Indonesia selama
periode dua belas tahun pada tahun 1981-1992 dengan mengembangkan teori menggunakan
proksi variabel untuk menggambarkan dimensi nilai budaya Hofstede dan

nilai akuntansi Gray. Penelitian Sudarwan menunjukkan bahwa walaupun ada hubungan yang
signifikan antara nilai budaya Hofstede dengan nilai akuntansi Gray, Sudarwan hanya berhasil
mengonfirmasi empat hipotesis.

Noravesh et al. (2007) sendiri meneliti pengaruh budaya pada akuntansi di Iran dengan
menggunakan nilai budaya Hofstede sebagai variabel independen dan nilai akuntansi Gray
sebagai variabel dependen, menggunakan data 247 perusahaan pada tahun 1993 hingga 2002.
Noravesh et al. hanya berhasil mengonfirmasi delapan dari ketiga belas hipotesis Gray.
Penelitian Noravesh menunjukkan hanya sedikit dari hipotesis Gray yang mencerminkan kondisi
di Iran. Lebih lanjut, Noravesh et al. (2007) menunjukkan dalam penelitianya bahwa model Gray
cenderung tidak seragam dan bervariasi untuk tiap masyarakat.

Penelitian ini akan mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Noravesh, et al (2007) yang
berjudul “The impact of culture on accounting; does Gray’s model apply to Iran?”. Penelitian ini
menggunakan proksi variabel untuk menggambarkan nilai budaya Hofstede sebagai variabel
independen dan nilai akuntansi Gray sebagai variabel dependen yang dikembangkan oleh
Sudarwan (1994) dan digunakan pula oleh Noravesh, et al (2007).
Oleh karena obyek yang diteliti pada penelitian ini sama dengan obyek yang diteliti oleh
Sudarwan (1994), yaitu Indonesia, salah satu kelebihan dalam penelitian ini adalah
pemutakhirkan hasil penelitian Sudarwan, yang menggunakan data jauh sebelum reformasi pada
saat keterbukaan informasi masih sangat terbatas. Selain itu juga sekaligus membandingkan
dengan penelitian Noravesh, et al. (2007) untuk menunjukkan apakah hipotesis Gray dapat
menggambarkan kondisi di Indonesia.

B. PEMBAHASAN

a. Paradigma Praktik Akuntansi dalam Politik

Paradigma ini memberikan gamabaran bahwa akuntansi mempunyai hubungan relevan


dengan praktik akuntansi ataupun sebaliknya. Watskin and Arrington (2005) memberikan
wacana bahwa transisi dalam kepepimpinan kelompok politik mengubah paradigma akuntansi.
Mereka memberikan contoh NPR (National Performance Review) di Amerika. NPR merupakan
pengembangan dari NPM (New Public Management) dalam teori akuntansi. NPR merupakan
sebuah inisiatif untuk mereformasi birokrasi pemerintah federal Amerika Serikat (AS) pada era
pemerintahan Clinton – Al Gore (1993 – 2001). Tujuannya adalah membentuk birokrasi
pemerintah federal yang lebih efektif dan efisien, atau dalam bahasa orisinilnya “to create a
government that works better and costs less”. Untuk mencapai tujuan ini, pada bulan Maret 1993
presiden Clinton membentuk sebuah gugus tugas (task force) antar instansi pemerintah federal
yang disebut National Performance Review (NPR) atau Tinjauan Ulang Kinerja Nasional dan
menunjuk wakilnya Al Gore sebagai pemimpin NPR. NPR fokus pada masalah bagaimana
pemerintah seharusnya bekerja, bukan apa yang seharusnya mereka lakukan. Mereka mengukur
kinerja birokrasi pemerintah dengan mengacu pada kinerja yang terbaik di bisnis alias sektor
swasta. Walaupun NPR merupakan bentuk manifestasi janji politik, namun hasil dari NPR
adalah budaya kerja yang mengutamakan kepuasan pelanggan serta budaya organisasi yang
mengutamakan kinerja dan produktivitas pada instansi-instansi pemerintah federal.
Bila ada ideologi politik yang berubah pada suatu negara akan diikuti dengan perubahan
penerapan praktik akuntansinya. Hal itu sejalan dengan penelitian Ezzamel, Xiao and Pan (2007)
yang meneliti hubungan antara ideologi politik dan akuntansi menunjukkan bahwa di setiap era
ideologi politik di cina menciptakan konteks yang kurang lebih diberikan secara kompatibel
dengan penerapan konsep akuntansi tertentu. Pada era Ideologi Mao, akuntansi politik bertumpu
pada prinsp : class struggle primacy(perjuangan kelas utama), public ownership(kepemilikan
publik) and central planning(ekonomi terencana). Namun ideologi dari Mao ini tidak pernah
berhasil diterapkan karena banyak menimbulkan kontroversi. Dimulai tahun 1978, ideologi deng
mulai menggeser ideologi mao, prinsip perjuangan kelas utama digantiikan oleh keunggulan
pembangunan ekonomi bersinambungan, ekonomi terencana digantikan oleh ekonomi pasar
(Deng, 1992), dan terakhir segala kepemilikan dipandang sebagai sarana untuk mengembangkan
sosialisme dan kepemilikan pribadi (Jiang, 1997). Yang pada akhirnya ideologi akuntansi Deng
ini menjadi dominan.

Akuntansi manajemen berkembang dari yang konvesional atau tradisional ke modern atau yang
juga sering dikenal dengan istilah akuntansi manajemen kontemporer. Pada paradigma ini, untuk
menjadi unggul dalam persaingan, maka para pelaku bisnis harus mengubah cara/gaya berfikir
(the way of thinking) tentang bisnis. Menurut Johnson (1992), kajian tentang bagaimana
informasi pada level proses dapat memungkinkan para karyawan untuk mencapai atau
menjadikan perusahaan, yang mempunyai fleksibilitas dan pertanggungjawaban untuk bersaing
di tingkat bisnis global. “Bottom-Up Empowerment Cycle” berfokus pada konsumen dan proses,
dan bukan pada hasil keuangan saja. Informasi dari konsumen dan proses digabung/dikumpulkan
dan digunakan oleh orang-orang yang terlibat dalam suatu tim kerja (work force) yang
menghadapai konsumen dan menjalankan proses.

Praktik akuntansi kontemporer ini meluas ke dalam ranah sektor Pubik. Namun masih terdapat
keragaman dalam impelementasi. Studi dari Boczko (2000) yang merupakan tentang klasifikasi
akuntansi kontemporer, menunjukkan bahwa akuntansi kontemporer internasional masih ada
keragaman. Boczko menggunakan teori ekonomi politik neo marxisme dan mengeksplorasi
bagaimana gagasan struktur dan hirarki kelembagaan ekonomi liberalisme, klasifikasi prioritas
sosial, dan pemahaman keanekaragaman akuntansi kontemporer. Hasil menunjukkan bahwa
studi klasifikasi tersebut berdampak pada pengaturan sosial, politik dan ekonomi oleh karena
perubahan yang berprioritas modal.

b. Political Economy of Accounting (PEA)

Belum banyak ditemukan penelitian yang secara teknis menggali tentang akuntansi
politik, namun penelitian dilakukan melalui pengembangan penerapan prinsip-prinsip akuntansi
yang dinamis pada ranah politik. Tidak ditemukan dua gabungan kata “Akuntansi Politik” dalam
berbagai penelitian bidang akuntansi.

Adalah mungkin sumber yang bisa dijadikan acuan sebagai metodologi penelitian akuntansi
politik merujuk pada teori Political Economy Accounting, PEA didefinisikan sebagai sebuah
pendekatan normatif, deskriptif, dan kritis terhadap penelitian akuntansi. Pendekatan PEA
mencoba untuk menjelaskan dan menerjemahkan peran dari laporan akuntansi dalam
pendistribusian laba, kekayaan, dan kekuatan dalam masyarakat. Dalam pelaksanaannya, suatu
pendekatan PEA akan menjadikan struktur institusional dari masyarakat sebagai model yang
akan membantu melaksanakan peran tersebut dan memberikan suatu kerangka kerja untuk
memeriksa seperangkat institusi, akuntansi, dan laporan akuntansi yang baru.

Fakta yang merujuk pada pandangan ideologi masyarakat terdapat kelompok-kelompok yang
saling bertentangan dengan kekuatan yang bermacam-macam dan berusaha untuk meraih
dominasi, yang mungkin selanjutnya akan mengarah pada bentuk-bentuk eksploitasi,
pengasingan, dan ketidakadilan. Dalam hal ini akuntansi memainkan sebuah peranan ideologis
dalam melegitimasi ideologi dari prinsip pengorganisasian dasar dan dalam hubungan antara
golongan-golongan di dalam masyarakat dan memperkuat kembali distribusi kekuatan yang tidak
merata. Akuntansi sebagai suatu ideologi berada di dalam bidang akuntansi ekonomi politis.

Herman menjelaskan pendekatan PEA dengan menekankan pada institusional masyarakat dan
menggunakan sebuah model konflik di masyarakat dapat menghasilkan kerangka untuk studi
yang berusaha mempelajari pengaruh kepentingan seksional sempit dalam mendefinisikan
masalah akuntansi dan pilihan cara untuk menyelesaikan masalah yang ada. Riset tentang proses
penemuan masalah akuntansi juga mempertimbangkan bagaimana sponsorship finansial bisa
memicu beberapa tipe riset akuntansi.
c. Karasteristik dari PEA

Riset dengan menggunakan pendekatan akuntansi ekonomi politik dapat memperluas


penelitian yang melihat fungsi akuntansi dalam struktur dan lingkungan institusional dimana
akuntansi dipraktekkan. Penelitian tentang akuntansi akan bermanfaat jika menggunakan
pendekatan yang menekankan pada sisi institusional dan pengaruhnya, investigasi antar berbagai
disiplin ilmu, dan penelitian tentang proses menuju keseimbangan yang dinamis.

Meskipun terdapat banyak perbedaan variasi ekonomi politik (Frey, 1978), kebanyakn variasi
tersebut menekankan pada hubungan antara kekuatan politik dan ekonomi dalam masyarakat.
Dalam hubungannya dengan penaksiran nilai dari laporan akuntansi perusahaan, PEA
menyatakan bahwa nilai akan muncul sebagaimana nilai tersebut terbentuk (dan membentuk)
baik dalam arena politik maupun ekonomi. Beberapa bentuk-bentuk dari pendekatan ekonomi
politik akuntansi, yaitu 1). Penelitian tentang akuntansi harus memperhatikan kekuatan dan
konflik dalam masyarakat, 2) sejarah spesifik dan lingkungan institusional masyarakat di mana
PEA dipraktikkan, 3) Pandangan emansipatif atas motivasi manusia dan peraturan akuntansi
dalam masyarakat.

D.J. Cooper dan M.J. Sherer bahkan menyajikan tiga karakteristik dari akuntansi
ekonomi politis.

1. PEA hendaknya mengakui kekuatan dan konflik yang terjadi dalam masyarakat dan maka dari
itu hendaknya berfokus pada dampak-dampak dari laporan akuntansi pada pembedaan laba,
kekayaan, dan kekuatan dalam masyarakat. Fitur ini secara langsung bertentangan dengan
konsep pluralis yang cenderung untuk memiliki pandangan bahwa masyarakat dikendalikan oleh
kaum elite yang terdefinisi dengan jelas atau terdapat konflik sosial yang terus-menerus antara
golongangolongan yang pada dasarnya antagonistis.

2. PEA hendaknya mengakui lingkungan historis dan institusional yang spesifik dari masyarakat
di mana ia beroperasi, yaitu bahwa (a) ekonomi didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar,
(b) ketidaksetaraan (disequilibrium) merupakan suatu fitur permanen dari ekonomi, dan (c)
negara memainkan peran yang sangat penting dalam mengelola ekonomi, dalam
ketidakmampuan untuk mengendalikan tingkat pembelanjaannya, dalam melindungi
kepentingan-kepentingan komersial dari perusahaan-perusahaan besar, dalam menjaga
keharmonisan sosial dan legitimasinya sendiri, dan pada saat yang bersamaan ikut campur
tangan dalam menentukan kebijakan-kebijakan akuntansi.

3. PEA hendaknya menerapkan pandangan yang lebih emansipatif akan motivasi manusia dan
peranan dari akuntansi. Akuntansi hendaknya diakui sebagai pelaku (agen) yang memengaruhi
dan menjadi penyebab dari baik motivasi maupun pengasingan dalam pekerjaan dan pencarian
kepentingan diri sendiri serta memainkan fungsi yang aktif secara sosial daripada fungsi pasif.
Misalnya: Dalam cara yang sama seperti profesi medis memiliki perhatian yang logis berkaitan
dengan perumahan, kondisi sosial dan kesehatan umum dari masyarakat, begitu pula profesi
akuntansi memiliki perhatian yang logis berkaitan dengan lingkungannya secara langsung
(misalnya, sektor perdagangan dan keuangan dari ekonomi). Usaha-usaha untuk mengatasi
permasalahan-permasalahan teknik tanpa mempertimbangkan lingkungan ini dapat
menghasilkan pemecahan yang tidak sempurna dan tidak lengkap dikarenakan adanya
penerimaan'dari institusi-institusi dan praktik-praktik yang ada saat ini.

d. Mana yang lebih baik ? Akuntansi Politik atau Politik Akuntansi

Akuntansi politik dapat diartikan secara harfiah bagaimana praktik akuntansi dapat
digunakan untuk mendukung kegiatan politik. Seperti yang dijelaskan pada esai Watskin and
Arriington (2004), memberikan penafsiran tentang bagaimana akuntansi memiliki kekuatan luar
biasa dalam memegang peranan dalam pengambilan kebijakan politik. Akuntansi yang
dipandang sebagai akuntansi politik ini bertujuan untuk menghindari penyimpangan kegiatan
politik, yang dinilai melalui penilaian kinerja. Dalam esainya Watskin and Arrington 2004, juga
menjelaskan bahwa karakteristik politik postmodern (Wolin) dan pencabangan liberalisme
(Connolly) dapat dipahami sebagai transisi perubahan pengembangan akuntansi dalam praktik-
praktik politik yang menyimpang. Hal itu terlihat bahwa akuntansi dapat “mengarahkan”
kehidupan politik ke kehidupan yang lebih baik. Dimana melalui teknik akuntansi fenomena
politik dan ekonomi (seperti prestasi kerja, biaya, efisiensi, output, kekayaan, pengangguran, dll.)
harus di ukur dan dipertanggungjawabkan kepada. Sehingga legitimasi politik dan ekonomi
dipandang tergantung pada fenomena kritik akuntansi.
Berbeda dengan definisi akuntansi politik, politik akuntansi dapat didefinisikan sebagai ekspansi
kegiatan politik untuk menggagalkan praktik akuntansi yang telah berjalan dan merubah praktik
akuntansi. Bisa juga akuntansi dijadikan sebagai alat untuk janji manifestasi politik. Atau bahkan
akuntansi dijadikan sebagai senjata untuk menjatuhkan lawan politik. Satu dari contoh riset yang
mengkaji budaya politik dan ekonomi mampu menggagalkan penerapan akuntansi manajemen
adalah riset dari Wickramasinghe and Hopper (2003). Dengan menggunakan teori Mode of
Production (MOP) dalam pengembangan studi, dan budaya antropologi. Peneliti mencoba
mengkaji studi kasus longitudinal pengendalian manajemen di Mill tekstil di sebuah desa
tradisional Sinhala di Sri Lanka. Dimana upaya-upaya untuk memaksakan akuntansi manajemen
konvensional gagal karena perlawanan buruh. The Mill sebagai perusahaan publik yang didirikan
oleh pemerintah, menerapkan akuntansi manajemen sebagai perwujudan dari MOP Kapitalis dan
Budaya Industri Modern. Namun akuntansi manajemen ini mendapatkan perlawanan dari budaya
tradisional pedesaan, karena terjadi kesenjangan sosial antara buruh dan pemilik asing.

Suatu ideologi politik dapat mempengaruhi penerapan akuntansi di sebuah negara, sehingga
terlihat peran politik dalam mempengaruhi penerapan prinsip-prinsip akuntansi. Sebagai contoh
penerapan prinsip-prinsip akuntansi di Indonesia yang berubah sesuai dengan perkembangan
ideologi dan akuntansi di dunia barat yang memang menjadi sebuah tuntutan dalam kerjasama
perekonomian antar negara. Pertama, penerapan prinsip akrual yang sudah berjalan kurang lebih
sepuluh tahun semenjak dikeluarkannya PP 24 Tahun 2005, merupakan esensi teknik akuntansi
yang mendapat pengaruh dari perkembangan akuntansi dunia barat. Keunggulan penggunaan
basis akrual ini adalah informasi yang disajikan dalam Neraca akan lebih komprehensif karena
mempresentasikan seluruh sumber daya yang dimiliki entitas. Kedua, Prinsip Value for Money
yaitu sebuah sistem pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu sistem yang bertujuan untuk
membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan
nonfinansial. Prinsip ini bertujuan memenuhi kehendak masyarakat mencakup
pertanggungjawaban mengenai pelaksanaan kegiatan pemerintahan yaitu: ekonomis (hemat
cermat) dalam pengadaan dan alokasi sumber daya, efisien (berdaya guna) dalam penggunaan
sumber daya dalam arti penggunaannya diminimalkan dan hasilnya dimaksimalkan (maximizing
benefits and minimizing costs), serta efektif (berhasil guna) dalam arti mencapai tujuan dan
sasaran. Prinsip ini sudah diterapkan di berbagai instansi publik di Pemerintah Indonesia melalui
sistem remunerasi, dan juga diterapkan pada kabinet kerja jokowi yaitu kabinet profesional dan
mengurangi bagi-bagi kursi menteri dengan mitra koalisi.

Hal tersebut sejalan dengan temuan penelitian Anh and Nguyen (2013), mereka melakukan studi
analisis yang memberikan kajian komprehensif tentang perubahan yang terjadi dalam peraturan
akuntansi di Vietnam sejak pertangahan 1980. Kerjasama Vietnam dengan negara barat selama
dua dekade terakhir, serta penerapan prinsip liberalisasi ekonomi merubah sistem akuntansi
sesuai dengan perkembangannya. Walaupun sistem saat ini yang berjalan adalah adalah
campuran unsur konseptual dan formal yang diambil dari akuntansi Barat, namun beberapa fitur
dasar dan praktik dipertahankan dari sistem yang lama (Gaya Soviet dan Prancis).

Dalam teori hegemoni yang merupakan gagasan dari Antonio Gramsci(1891-1937), bahwa
hegemoni didefinisikan sebagai dominasi satu kelompok terhadap kelompok lainnya dengan atau
ancaman kekerasan, sehingga ide-ide yang disampaikan oleh kelompok dominan terhadap
kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar. Fakta menunjukkan bahwa
dominasi dunia barat dalam perkembangan ilmu akuntansi secara tak langsung memaksa negara
berkembang untuk merubah sistem akuntansinya. Sebagai contoh penerapan IFRS. Hal ini
menunjukkan akuntansi sering menjadi konstituitif dan transformatif dalam mengikuti
perkembangan hegemoni politik, sejalan dengan penelitian Watskin and Arrington (2004) dan
Alawattage dan Wickramasinghe (2006).

Alawattage dan Wickramasinghe (2006). Dalam esainya membahas studi empiris : peran non-
konstitutif akuntansi dalam hegemoni politik di perkebunan teh Sri Lanka. Hasil menunjukkan
bagaimana kontrol buruh dalam praktik akuntansi diwujudkan dalam konteks sejarah dan sosial
politik yang kompleks yang membentuk pada hegemoni politik sebagai modus dominan kontrol
di perkebunan teh. Yang berbeda dengan pengalaman Barat bahwa akuntansi memainkan peran
konstitutif dalam kontrol tenaga kerja, peran konstitutif hegemoni politik yang direpresentasikan
dengan perhitungan 'Benar' atau 'alami'.
C. PENUTUP

Kesimpulan

Akuntansi dalam perspektif politik merupakan studi alternatif dari penelitian akuntansi
yang memahami dan mengevaluasi fungsi akuntansi dalam konteks lingkungan politik. Telah
banyak berbagai studi akuntansi yang terkait dengan politik. Dalam berbagai studi akuntansi
tersebut, definisi akuntansi berkembang yang semula hanya pelaporan pencatatan keuangan
menjadi sebuah definisi yang kompleks yang dapat digunakan sebagai pisau bermata dua dalam
kegiatan politik pemerintahan. Akuntansi disini menjadi dua peran yang berbeda, akuntansi yang
hanya menjadi alat untuk pelaporan sebagai implikasi dari kegiatan politik dan akuntansi yang
menjadi alat untuk mendominasi kekuasaan. Sisi baik dari akuntansi ini adalah jika akuntansi
diterapkan sebagai alat untuk meningkatkan kinerja politik, namun sisi buruknya adalah
akuntansi diterapkan untuk tujuan pengembangan kegiatan politik dalam teori hegemoni yang
hal itu dianggap wajar. Namun penerapan semua itu tergantung dari fungsi dan tujuan
pemerintah dalam kegiatan berpolitik, apakah fokus pada kesejahteraan rakyatatau hanya untuk
keuntungan kaum kapitalis tertentu.
DAFTAR PUSTAKA

Abeysekera, I. 2003. Political economy of accounting in intellectual capital reporting. Research


Online. University of Wollongong

Anh, Doan Ngoc Phi And Nguyen, Duc-Tho. 2013. Accounting in a developing transitional
economy: the case of Vietnam. Asian Review of Accounting. Vol. 21 pp. 74 - 95

Ann L. Watskins And C. Edward Arrington. 2007. Accounting, New Public Management and
American Politics: Theoretical Insights into the National Performance Review. Critical
Perspectives on Accounting. Vol. 18 pp. 33–58

Boczko, T. 1997. Social Change and the Regulation of Accounting Knowledge. Research Paper
1. University of Lincolnshire and Humberside

Boczko, T. And Willmott, H. 1998. Preserving a Myth: a Critique of Classifications of


Contemporary Accounting Systems. Paper Presented at the Workshop on Accounting
Regulation. March. Sienna. Italy

Cooper C. 1995. Ideology, hegemony and accounting discourse: a case study of the National
Union of Journalists. Critical Perspectives on Accounting. Vol. 6 pp. 175–209

Danture Wickramasinghe, D. And Hopper, T. 2005. A cultural political economy of management


accounting controls: a case study of a textile Mill in a traditional Sinhalese village.Critical
Perspectives on Accounting. Vol.16 pp. 473–503

Ezzamel, M., Zezhong X. J. And Pan, Aixiang. 2007. Political ideology and accounting
regulation in China. Accounting, Organizations and Society . Vol. 32 pp. 669–700

Hayashi, T. 1989. On Islamic Accounting: Its Future Impact on Western Accounting. The
Institute of Middle Eastern Studies. International University of Japan. Japan

Haque, F., Arum, T., And Kirkpatrick, C. 2011. The political economy of corporate governance
in developing economies: The case of Bangladesh. Research in International Business and
Finance. Vol 25 pp 169–182
http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2014/04/16/definisi-akuntansi-menurut-para-ahli-
648201.html. Diakses Desember 2014

http://hermandarwis.blogspot.com/2012/02/akuntansi-ekonomi-politik-alternatif.html. Diakses
Desember 2014

Ramanna, K. 2008. The implications of unverifiable fair-value accounting: Evidence from the
political economy of goodwill accounting. Journal of Accounting and Economics. Vol. 45 pp.
253–281

Robert Ochoki Nyamori. 2009. Making development accountable : A critical analysis of the
systems of accounting and accountability for the Constituency Development Fund in Kenya.
Journal of Accounting & Organizational Change. Vol. 5 pp. 197 – 227

Rosenau, Pauline Marie. 1992. Post-Modernism and the Social Sciences: insigts, Inroads, and
Instruction. Princeston, NJ : Princeton University Press

Rosser, A., 1999. The political Economy of Accounting Reform in Developing Countries: The
Case of Indonesia, Asia Research Centre Working Paper No. 93, Murdoch University, Australia.

Walter T. Harrison And Charles T. Horngren. 2008. Financial Accounting (7th Edition). Prentice
Hall

Watts, Ross L. And Jerold L. Zimmerman. 1986. Positive accounting Theory. Englewood Cliffs:
Prentice-Hall Inc

Wickramasinghe, D. And C. Alawattage.2008. Appearance of accounting in a political


hegemony. Critical Perspectives on Accounting . Vol. 19 pp. 293–339

Zhang, G. , Ahmed, K. And Boyce, G. 2013. Institutional changes in university accounting


education in post-revolutionary China : From political orientation to internationalization. Critical
Perspectives on Accounting

Anda mungkin juga menyukai