Anda di halaman 1dari 22

Makalah

Sejarah perumusan pancasila di Indonesia

DIBUAT OLEH :

Nama : Muhammad Naufal


NIM : (2111023)
Kelas : IFB1A

FAKULTAS ILMU KOMPUTER


PROGRAM STUDI S1 INFORMATIKA
TAHUN 2021/2022
[Type here]

Kata Pengantar

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga dengan semangat yang
ada penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sejarah
Perumusan Pancasila Di Indonesia”. Shalawat serta salam semoga
senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta para
pengikutnya. Penulis mengucapkan Alhamdulillah, puji syukur kehadirat
Allah SWT.yang selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini dengan lancar. Penulis
menyadari karya tulis ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai
pihak. Semoga dengan selesainya makalah ini dapat menambah ilmu kita
khususnya dalam hal menulis karya tulis ilmiah.

Balikpapan,03-1102021

Penulis
[Type here]

Daftar Isi

Kata Pengantar.............................................................................................................................................. 2
Daftar Isi.......................................................................................................................................................... 3
BAB 1 Pendahuluan...................................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang........................................................................................................................................ 4
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................................................... 5
1.3 Tujuan.......................................................................................................................................................... 5
Bab 2 Pembahasan....................................................................................................................................... 6
2.1 Apa itu Pancasila.................................................................................................................................... 6
2.2 Soekarno Pencetus Pancasila............................................................................................................. 7
2.3 Piagam jakarta....................................................................................................................................... 10
2.4 Toleransi pemimpin Islam.................................................................................................................. 13
BAB 3 Penutup............................................................................................................................................ 20
3.1 Kesimpulan............................................................................................................................................ 20
[Type here]

BAB 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang

Sejarah telah mengungkapkan bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat


Indonesia, yang memberi kekuatan hidup kepada bangsa Indonesia serta
membimbingnya dalam mengejar kehidupan lahir batin yang makin baik, di
dalam masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.
Bahwasanya Pancasila yang telah diterima dan ditetapkan sebagai dasar
negara seperti tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa, yang telah diuji
kebenaran, kemampuan dan kesaktiannya, sehingga tak ada satu
kekuatan manapun juga yang mampu memisahkan Pancasila dari
kehidupan bangsa Indonesia.
Menyadari bahwa untuk kelestarian kemampuan dan kesaktian Pancasila
itu, perlu diusahakan secara nyata dan terus menerus penghayatan dan
pengamamalan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya oleh setiap
warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara serta setiap
lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun
di daerah.

Pancasilan telah disahkan secara yuridis konstitusional pada tanggal 18


Agustus 1945 sebagai dasar Negara Republik Indonesia. Pada masa Orde
baru Pancasila melalui P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila) disamping dasar negara juga diberi sebutan pandangan hidup,
perjanjian luhur bangsa, tujuan yang hendak di capai, moral pembangunan,
kepribadian bangsa indonesia, dan lain-lain.
[Type here]

Namun, dewasa ini masih banyak yang belum bahkan tidak mengetahui
bagaiman
Sejarah perumusan terbentuknya pancasila. Pancasila terbentuk melalui
proses
yang sangat panjang dan dalam proses itu banyak polemik serta
kontroversi yang akut dan berkepanjangan baik mengenai siapa pengusul
pertama sampai dengan pencetus istilah Pancasila. Di dalam rumusan-
rumusan Pancasila terdapat nilai-nilai yang dapat kita ambil dari
pengambilan keputusan para tokoh karena menyangkut seluruh bangsa
Indonesia agar tidak kembali terpecah belah.

1.2 Rumusan Masalah

1.Apa yang dimaksud dengan Pancasila?

2.Siapa orang yang pertama kali mencetuskan Pancasila?

3.Apa peran piagam Jakarta bagi perumusan Pancasila?

4.Bagaimana cara menyelesaikan masalah toleransi agama dalam awal


perumusan Pancasila ?

1.3 Tujuan

1.Untuk mengerti apa yang dimaksud dengan Pancasila

2.Untuk mengetahui Siapa orang yang pertama kali mencetuskan Pancasila

3.Untuk Mengetahui peranan piagam Jakarta dalam perumusan awal Pancasila

4.Untuk mengetahui solusi apa saja yang diberikan oleh pemimpin agama dalam
menyelesaikan masalah toleransi agama dalam awal perumusan Pancasila.
[Type here]

Bab 2 Pembahasan

2.1 Apa itu Pancasila

Pancasila adalah ideologi modern. Ia merangkum nilai-nilai universal dan


merefleksikan jatidiri Indonesia sebagai bangsa yang agamis. Pancasila
merupakan ideologi untuk memandu perjalanan bangsa dan negara
melangkah ke depan dan bukan ideologi yang membawa mundur ke
belakang. Dalam pandangan tokoh intelektual militer dan mantan Gubernur
Lemhannas Letnan Jenderal TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo dalam
bukunya Pancasila, Islam dan ABRI (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1996), nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila itu merupakan hal
yang relatif baru dalam perjalanan sejarah bangsa kita yang panjang.
Bahwa ia mempunyai akar-akarnya dalam seluruh sejarah bangsa kita
sebelumnya adalah benar. Tetapi tidaklah benar bahwa Pancasila sebagai
konsep sudah ada dalam ketatanegaraan Sriwijaya atau Majapahit.

Penempatan lima prinsip dasar negara di dalam mukaddimah konstitusi


mempunyai  makna bahwa nilai-nilai substantif Pancasila harus tercermin
[Type here]

dalam setiap keputusan negara dan melandasi segala kebijakan


pemerintah. Pancasila berfungsi sebagai kompas penunjuk arah dan alat
koreksi pembangunan agar tidak melenceng dari tujuan bernegara dan
cita-cita perjuangan kemerdekaan.

Dalam perjalanan sejarah bangsa yang penuh warna, Pancasila pernah


mengalami distorsi makna dan penafsiran menurut kepentingan penguasa.
Di masa lalu pernah terjadi “politisasi Pancasila”, dimana Pancasila
dijadikan alat politik penguasa untuk mengekang demokrasi dan
kedaulatan rakyat . Pengalaman kelam masa lampau  menjadi pelajaran
berharga untuk generasi sekarang dan generasi mendatang. Bung Karno
mengatakan, ”Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”

2.2 Soekarno Pencetus Pancasila

Sejarah lahirnya Pancasila tidak dapat dipisahkan dari peran Soekarno


sebagai arsitek ideologi negara dan pencetus Pancasila. Bagaimanapun
orang berbeda pendapat dan berlawanan dengan politik Soekarno pada
waktu berkuasa, namun semua mengakui jasa Bung Karno sebagai
Perintis Kemerdekaan, Proklamator dan Presiden Pertama Republik
Indonesia, serta Pemimpin Besar Bangsa Indonesia, di samping Bung
Hatta. Soekarno di masa revolusi kemerdekaan mempunyai peran besar
dalam pembentukan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang tak dapat dilupakan sampai kapan pun.

Soekarno adalah yang pertama kali mengenalkan istilah Pancasila dalam


pidato 1 Juni 1945. Sejarah Pancasila berproses melalui tiga
fase. Pertama, dimulai dari 1 Juni 1945. Kedua, tanggal 22 Juni 1945,
dan Ketiga, mencapai bentuk final pada 18 Agustus 1945. Dalam semua
rangkaian proses sejarah pembentukan dasar negara, Soekarno memiliki
[Type here]

peran sentral sebagai Ketua Panitia Sembilan Badan Penyelidik Usaha-


Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang melahirkan
Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan sebagai Ketua Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dengan Mohammad Hatta sebagai wakil
ketua yang mengesahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tanggal 18 Agustus 1945 .

Substansi Pancasila merujuk kepada isi pidato Soekarno di depan rapat


besar BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 di Gedung Tyuuoo Sangi-In, sekarang
Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri Jalan Pejambon, Jakarta.
Soekarno menyampaikan pidatonya tanpa teks untuk memenuhi
permintaan Ketua BPUPKI Dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat:
apa philosofische grondslag daripada Negara Indonesia Merdeka yang
akan kita bentuk ini?”

Soekarno sebagai anggota BPUPKI dengan kecakapannya sebagai orator


dan agitator yang hampir tak ada bandingnya di masa itu, mengajukan
usulan lima prinsip dasar negara Indonesia, yaitu: Kebangsaan
Indonesia, Internasionalisme atau Peri-kemanusiaan, Mufakat atau Demokr
asi, Kesejahteraan sosial dan Ketuhanan. Pidato Soekarno disambut oleh
hampir seluruh peserta rapat dengan tepuk tangan riuh.

Soekarno menyebutnya lima prinsip, azas atau dasar. Simbolik angka,


Rukun Islam lima jumlahnya, jari kita lima setangan, kita mempunyai panca
indera. Bukan Panca Dharma, tapi menurutnya, atas saran seorang ahli
bahasa dianggap lebih tepat istilah “Pancasila”. Pada saat itu, Soekarno
menawarkan, barangkali ada yang tidak suka akan bilangan lima itu,
sehingga boleh diperas tinggal tiga saja, Tri Sila, ialah socio-
nationalisme, socio-democratie, dan ke-Tuhanan. Jikalau yang tiga menjadi
satu, menjadi perkataan “gotong royong”. Pancasila menjadi Tri Sila, Tri
Sila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah mana yang tuan-tuan pilih, Tri Sila,
Eka Sila ataukah Pancasila, demikian Soekarno.
[Type here]

Prinsip dasar yang dipaparkan Soekarno merupakan  gagasan awal


Pancasila dan  bukan rumusan Pancasila yang resmi dan mengikat.
Pancasila yang diterima secara resmi sebagai dasar negara terdiri dari lima
sila yang saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Mohamad Roem dalam buku Ketuhanan Y.M.E dan Lahirnya Pancasila,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1977) mengatakan pidato Soekarno sewaktu
diucapkan belum diberi nama. Pada tahun 1947 diterbitkan sebagai buku
kecil diberi judul Lahirnya Pancasila.

Sekilas kita tinjau arti penting pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 dalam
perspektif perjalanan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara.
Sebelum Soekarno mendapat giliran menyampaikan pokok-pokok pikiran
tentang dasar negara, rapat besar BPUPKI telah menyimak beberapa
pidato tentang rancangan dasar negara, antara lain dari Mr. Muhammad Yamin
pada 29 Mei 1945 dan Mr. Soepomo pada 31 Mei 1945. Muhammad Yamin
mengemukakan lima asas yang kemudian dimuat dalam Naskah Persiapan
Undang-Undang Dasar 1945, ialah peri kebangsaan, peri ketuhanan,
kesejahteraan rakyat, peri kemanusiaan, dan peri kerakyatan.

Selain itu, juga ada pidato tokoh Islam yang juga Ketua PB Muhammadiyah Ki
Bagus Hadikusumo pada 31 Mei 1945. Ki Bagus mengemukakan agar negara
Indonesia baru yang akan datang itu berdasarkan agama Islam, di atas
petunjuk-petunjuk Al Quran dan Hadits, agar menjadi negara yang tegak dan
teguh serta kuat dan kokoh. Ki Bagus Hadikusumo mengingatkan bahwa sudah
enam abad Islam menjadi agama kebangsaan Indonesia dan tiga abad sebelum
Belanda menjajah di sini, hukum Islam sudah berlaku di Indonesia. Dalam
pidato Soekarno sepuluh kali menyebut nama Ki Bagus Hadikusumo.

Menurut Mohammad Hatta, uraian Soekarno tentang lima sila yang bersifat
kompromistis, dapat meneduhkan pertentangan yang mulai tajam antara
pendapat yang mempertahankan Negara Islam dan mereka yang menghendaki
dasar negara sekuler, bebas dari corak agama. Sebelum sidang pertama ini
berakhir, dibentuk suatu panitia kecil untuk:
[Type here]

 Pertama, merumuskan kembali Pancasila sebagai dasar negara


berdasarkan pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni
1945.
 Kedua, menjadikan dokumen itu sebagai teks untuk
memproklamasikan Indonesia Merdeka.

Dalam panitia kecil, dipilih 9 orang untuk menyelenggarakan tugas itu dan
disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 yang kemudian diberi nama “Piagam
Jakarta.

Panitia Kecil atau Panitia Sembilan BPUPKI yang diketuai Soekarno


menyempurnakan rumusan Pancasila 1 Juni 1945. Prinsip kelima, yaitu
“Ketuhanan” yang dalam pidato Soekarno diletakkan paling akhir diubah
menjadi urutan pertama dengan tambahan kata, “Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” serta penyempurnaan
pada keempat sila lainnya.

2.3 Piagam jakarta

Prawoto Mangkusasmito dalam buku Pertumbuhan Historis Rumus Dasar


Negara dan Sebuah Proyeksi (Jakarta: Bulan Bintang, 1970)
menulis. “Pancasila sebagai dasar negara untuk pertama kali mendapatkan
rumusnya yang lengkap pada tanggal 22 Juni 1945 dalam satu dokumen
yang disusun dan ditandatangani oleh sebuah panitia terdiri dari 9 orang
anggota Badan Penyelidik, yaitu Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr.
A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Mudzakkir, Haji Agus
Salim, Mr. Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Mr. Muhammad Yamin.
Panitia kecil dibentuk oleh rapat yang dihadiri 38 anggota Badan Penyelidik
yang ada di Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 itu dan rapat tersebut
dipimpin Ir. Sukarno. Rumusan Pancasila yang pertama itu kemudian
terkenal dengan nama Piagam Jakarta atau Jakarta Charter.”
[Type here]

Piagam Jakarta disebut sebagai dokumen historis dan dokumen politik.


Piagam Jakarta memuat gentlemen’s agreement (istilah dari Dr. Soekiman
Wirjosanjojo) atau istilah Soekarno “persetujuan antara pihak Islam dan
pihak kebangsaan” tentang dasar negara Republik Indonesia.

Mr. Muhammad Yamin yang memberikan nama Piagam Jakarta terhadap


Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar hasil kerja Panitia
Sembilan. Rumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945
berbunyi: Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya menurut dasar  kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Menurut Mohammad Hatta dalam buku Pengertian Pancasila, Panitia


Sembilan mengubah urutan fundamen Pancasila itu, meletakkan fundamen
moral di atas, fundamen politik di bawahnya. “Dengan meletakkan dasar
moral di atas, negara  dan pemerintahannya memperoleh dasar yang
kokoh, yang memerintahkan berbuat benar, melaksanakan keadilan,
kebaikan dan kejujuran serta persaudaraan ke luar dan ke dalam. Dengan
politik pemerintahan yang berpegang kepada moral yang tinggi diciptakan
tercapainya suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Prof. Mr. Kasman Singodimedjo, mantan anggota PPKI dalam ceramah


Ramadhan tanggal 17 Agustus 1979 di Masjid Arief Rahman Hakim
Kampus UI di Salemba Jakarta mengatakan, “Kemerdekaan RI dicetuskan
tanggal 17 Agustus 1945 jam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta
atas nama bangsa Indonesia. Apa yang tersedia pada tanggal 17 Agustus
1945 itu? Yang tersedia adalah Rancangan UUD dan Piagam Jakarta
(Jakarta Charter), karena piagam sudah dibuat pada tanggal 22 Juni 1945
oleh Panitia Sembilan.” (Lukman Hakiem, editor. Dari Muhammadiyah
Untuk Indonesia; Pemikiran dan Kiprah Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman
[Type here]

Singodimedjo, dan KH Abdul Kahar Mudzakkir. Jakarta: PP


Muhammadiyah, 2013).

Mengenai Piagam Jakarta, Pahlawan Nasional Mahaputera Prof. Dr. Mr. H.


Muhammad Yamin menegaskan, “Piagam Jakarta berisi garis-garis
pemberontakan melawan imperialisme-kapitalisme dan fascisme, serta
memuat dasar pembentukan Negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta
yang lebih tua dari Piagam Perdamaian San Franscisco (26 Juni 1945) dan
Kapitulasi Tokyo (15 Agustus 1945) itu ialah sumber berdaulat yang
memancarkan Proklamasi Kemerdekaan dan Konstitusi RI. Piagam Jakarta
itulah yang menjadi Mukaddimah (preambule) Konstitusi RI serta Undang-
Undang Dasar 1945, disusun menurut filosofi-politik yang ditentukan di
dalam piagam persetujuan itu. Piagam Jakarta berisi pula kalimat
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang dinyatakan tanggal 17 Agustus
1945 itu. Piagam Jakarta itulah yang melahirkan Proklamasi dan
Konstitusi.” (Mr. Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik
Indonesia. Djakarta: Djambatan, 1952).

Piagam Jakarta merupakan konsensus nasional tentang dasar negara


Republik Indonesia. Piagam Jakarta merupakan hasil kompromi antara
golongan nasionalis islami yang menginginkan negara Indonesia dibangun
di atas dasar-dasar ajaran Islam dan golongan kebangsaan netral agama
yang menginginkan negara nasional dengan pemisahan secara mutlak
agama dari kehidupan bernegara.

Dalam Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 tentang Kembali Ke Undang-


Undang Dasar 1945, pada konsiderannya menegaskan “Bahwa kami
berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai
Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian
kesatuan dengan Konstitusi tersebut”.  Dekrit Presiden yang menyebut di
dalamnya Piagam Jakarta, bukan sekadar dokumen sejarah, tetapi sebuah
dokumen hukum dalam riwayat ketatanegaraan yang sampai sekarang
masih berlaku.
[Type here]

Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Menteri Agama periode 1962 – 1967 dan tokoh
Nahdlatul Ulama, dalam Kata Pengantar buku Piagam Jakarta karya
Endang Saifuddin Anshari berpendapat, “Piagam Jakarta tidak kehilangan
fungsinya maupun peranannya sebagai alat pemersatu seluruh bangsa
Indonesia seperti yang pernah diucapkan oleh Presiden Soekarno dalam
rapat peringatan lahirnya Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1965 di Istora
Jakarta. Dan, 9 tokoh nasional yang menandatangani Piagam Jakarta itu
sendiri pun merupakan perekat persatuan bangsa Indonesia. Salah satu
tokoh Masyumi Dr. H. Anwar Harjono, SH ketika menanggapi
kesalahpahaman banyak kalangan tentang Piagam Jakarta, menyatakan,
“Piagam Jakarta kerapkali diidentikkan dengan gagasan Negara Islam,
dalam pengertian yang tidak tepat pula. Penulis sependapat dengan Ismail
Suny yang mengatakan bahwa orang tidak perlu menjadi Guru Besar
Hukum Tata Negara dahulu, karena cukup jelas, bahwa dengan ketentuan
tujuh kata-kata dalam Piagam Jakarta sama sekali tidak berarti telah
terbentuk Negara Islam. Dengan tujuh kata-kata itu hanya dapat diartikan
bahwa hukum Islam berlaku bagi pemeluk-pemeluk Islam sebagai halnya
politik Hindia-Belanda sebelum tahun 1929.

2.4 Toleransi pemimpin Islam

Sore hari 17 Agustus 1945, sekitar pukul 17.00 Mohammad Hatta


menerima tilpon dari Nishiyama, pembantu Admiral Maeda, menanyakan
kesediaan untuk menerima tamu seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut
Jepang). Tamu itu hendak menyampaikan suatu hal yang amat penting
bagi Indonesia. Opsir dimaksud – Bung  Hatta sendiri lupa namanya –
mengaku datang sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan bahwa
wakil-wakil Protestan dan Katolik di daerah yang dikuasai oleh Angkatan
Laut Jepang berkeberatan terhadap bagian dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar yang berbunyi: “Ke-Tuhanan dengan kewajiban
[Type here]

menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Jika bagian kalimat


itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia.

Siapakah opsir Kaigun yang datang ke rumah Mohammad Hatta di Jalan


Diponegoro No 57 Jakarta tanggal 17 Agustus 1945 pukul 17.00 sore itu,
masih menjadi “pertanyaan sejarah”. Dalam buku Lahirnya Satu Bangsa
dan Negara (Jakarta: UI Press, 1997) disebut, utusan yang datang
menemui Bung Hatta saat itu adalah aktifis mahasiswa Ika
Daigaku (Sekolah Kedokteran) dari Asrama Prapatan 10 Jakarta. Mereka
yang datang tiga orang memiliki postur tubuh tidak tinggi dan berpakaian
seragam Angkatan Laut Jepang, sehingga mirip seperti orang Jepang.
Saya pernah menanya pendapat Prof. Dr. Taufik Abdullah mengenai hal
itu. Menurut Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
tersebut, “Memangnya Bung Hatta itu bodoh, sehingga tak bisa
membedakan antara orang Jepang dan orang pribumi yang mirip Jepang?”

Mohammad Hatta mengungkapkan bahwa ia tidak menerima begitu saja


keberatan dimaksud, “Saya katakan bahwa itu bukan suatu diskriminasi,
sebab penetapan itu hanya mengenai rakyat yang beragama Islam. Waktu
merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar itu, Mr. Maramis yang
ikut serta dalam Panitia Sembilan, tidak mempunyai keberatan apa-apa
dan pada tanggal 22 Juni ia ikut menanda-tanganinya.

Mohammad Hatta akhirnya menerima keberatan dimaksud dan berjanji


akan menyampaikan kepada rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945, esok
harinya. Pagi hari 18 Agustus 1945 menjelang dimulainya rapat PPKI
dengan agenda pengesahan Undang-Undang Dasar, Bung Hatta melobi
tiga orang anggota PPKI mewakili golongan Islam yang ada ketika itu, yaitu
Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan Teuku M. Hasan.
Dalam keterangan Prawoto, K.H.A.Wahid Hasjim tidak hadir dalam
pertemuan 18 Agustus 1945 karena sedang perjalanan ke Jawa Timur.
[Type here]

Mohammad Hatta meminta tiga tokoh Islam itu bersedia menghapus tujuh
kata dalam rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar dan
menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ki Bagus Hadikusumo,
pucuk pimpinan Muhammadiyah, satu-satunya eksponen perjuangan Islam
yang paling senior waktu itu semula keberatan, mengingat rumusan kalimat
mengenai kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
merupakan hasil musyawarah-mufakat dalam rapat BPUPKI  22 Juni 1945.
Kasman Singodimedjo dan Teuku M. Hasan membujuk Ki Bagus agar
menerima saran Mohammad Hatta, karena keputusan terakhir ada pada Ki
Bagus Hadikusumo.

Ki Bagus Hadikusomo waktu itu juga mengusulkan perubahan kalimat: “Ke-


Tuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab”. Ki Bagus meminta kalimat “menurut dasar” dihapus, sehingga
berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, kemanusiaan yang adil dan
beradab, dan seterusnya.  Perubahan lain pada Rancangan UUD 1945
yaitu pasal 6 ayat 1 bahwa  “Presiden ialah orang Indonesia asli yang
beragama Islam”, bagian kalimat “yang beragama Islam” dihapus.

Dalam bukunya Sekitar Proklamasi Mohammad Hatta menjelaskan, “Pada


waktu itu kami dapat menginsafi, bahwa semangat Piagam Jakarta tidak
lenyap dengan menghilangkan perkataan ‘Ke-Tuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’ dan menggantinya
dengan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Dalam Negara Indonesia yang
memakai kemudian semboyan Bhineka Tunggal Ika, tiap-tiap peraturan
dalam kerangka Syariat Islam, yang hanya mengenai orang Islam dapat
dimajukan sebagai rencana Undang-Undang ke DPR, yang setelah
diterima oleh DPR mengikat umat Islam Indonesia. Dengan cara begitu
lambat laun terdapat bagi umat Islam Indonesia suatu sistem Syariat Islam
yang teratur dalam Undang-Undang, berdasarkan Quran dan Hadis, yang
sesuai pula dengan keperluan masyarakat Islam sekarang.”
[Type here]

Salah satu pelaku sejarah Prof. Mr. Kasman Singodimedjo


menyatakan, “Perubahan tujuh kata rumus “Ke-Tuhanan” itu amat penting,
karena “Yang Maha Esa” menentukan arti dari Ketuhanan. Pancasila yang
kini secara geruisloos menjadi filsafat negara kita itu, tidak mengenal Ke-
Tuhanan sembarang ketuhanan. Sekali lagi bukan ketuhanan sembarang
ketuhanan, tetapi yang dikenal oleh Pancasila ialah Ke-Tuhanan Yang
Maha Esa. Bung Hatta sendiri pada bulan Juni dan Agustus 1945
menjelaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, tidak lain
kecuali Allah.

Kesediaan Ki Bagus Hadikusumo menghapus tujuh kata mengenai syariat


Islam sekaligus menjadi “kunci” pengesahan Pembukaan UUD 1945 yang
memuat prinsip-prinsip dasar negara Pancasila. Prawoto Mangkusasmito,
sebagaimana dikutip  Endang Saifuddin Anshari, beberapa tahun
kemudian bertanya kepada Ki Bagus Hadikusumo tentang arti istilah
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Jawab Ki Bagus singkat saja, yaitu “Tauhid”.
Hal yang sama dikonfirmasi pula kepada Mr. Teuku M. Hasan, saksi
sejarah yang hadir dalam pertemuan 18 Agustus 1945, tokoh asal Aceh itu
tidak membantahnya.

Perintis kemerdekaan dan pahlawan nasional dari keturunan Arab


Abdurrahman Baswedan dalam artikelnya Siapa Yang Sebenarnya Musuh
Pancasila (Mingguan Islam Populer Hikmah No 23 Tahun 1954)
mengungkapkan, ”Karena adanya ajaran-ajaran Islam itulah maka prinsip-
prinsip Pancasila itu sebelum lahirnya Pancasila telah menjadi filsafat
hidup bangsa Indonesia umumnya! Walaupun umum bangsa kita itu tidak
dapat merumuskannya dalam kata-kata yang dipakai dalam perumusan
Pancasila itu. Riwayat terjadinya perumusan Pancasila dapat
menceritakan bahwa kalau Pancasila itu dikatakan suatu hasil kompromis
di antara beberapa pihak yang berbeda-beda ideologi, toh bagi pihak Islam
tiada satupun dari sila-sila yang lima itu yang tidak dapat diterimanya!
Terutama atas dasar keyakinan bahwa sila yang pertama itu, yaitu
[Type here]

Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah sebagai dasar daripada sila-sila yang
lain.”

Keputusan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia sehari setelah


proklamasi kemerdekaan tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan Piagam
Jakarta sebagai Pembukaan UUD 1945 dengan perubahan tujuh kata
sebagaimana disebut di atas. Mohammad Hatta menyebut hal itu sebagai
“toleransi pemimpin-pemimpin Islam”.

Perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tidak menghilangkan


substansi hubungan negara dan agama yang telah terpatri dalam konstitusi
negara kita.  Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 29 ditegaskan; (1)
Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, dan (2) Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.

Mohammad Hatta dalam pidato memperingati lahirnya Pancasila tanggal 1


Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta mengingatkan seluruh
bangsa Indonesia tentang makna sila Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak
sekadar hanya dasar hormat menghormati agama masing-masing,
melainkan jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan,
kebaikan, kejujuran dan persaudaraan. Pemerintahan negara pada
hakikatnya tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai
kebahagiaan rakyat dan keselamatan masyarakat, perdamaian dunia serta
persaudaraan bangsa-bangsa. Manakala kesasar sewaktu-waktu dalam
perjalanan, karena kealpaan atau digoda hawa nafsu, ada terasa
senantiasa desakan ghaib yang membimbing kembali ke jalan yang benar

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila,


merefleksikan amanat perjuangan umat Islam dan elemen bangsa lainnya.
Umat Islam, – kata Mohammad Natsir, Pemimpin Masyumi dan Perdana
Menteri RI tahun 1950-1951 – sejak awal kemerdekaan sadar bahwa kita 
[Type here]

hidup dalam masyarakat yang majemuk (pluralistik) dan umat Islam


Indonesia tidak pernah menohok teman seiring.

Presiden Soekarno, sebagai tokoh penggali Pancasila, dalam Kuliah


Umum berjudul “Negara Nasional dan Cita-cita Islam” di Universitas
Indonesia tanggal 7 Mei 1953 atas permintaan Ketua Umum PB HMI
(Himpunan Mahasiswa Islam) A. Dahlan Ranuwihardjo menegaskan,
“Tentang kedudukan Pancasila dan Islam, aku tidak bisa mengatakan lebih
daripada itu dan mensitir Saudara Pemimpin Besar Masyumi, Mohammad
Natsir. Di Pakistan, di Karachi, tatkala beliau mengadakan ceramah di
hadapan Pakistan Institute for International Relation beliau mengatakan
bahwa Pancasila dan Islam tidak bertentangan satu sama lain.”

Dalam kaitan itu sangat beralasan ketika Alamsjah Ratu Perwiranegara,


Menteri Agama periode 1978 – 1983 menegaskan, “Pancasila adalah
pengorbanan dan hadiah terbesar umat Islam untuk persatuan dan
kemerdekaan Indonesia.

Sejalan dengan penegasan Alamsjah di atas, patut digaris-bawahi para


pemimpin dan umat Islam menerima dasar negara Pancasila bukan karena
alasan politis dan taktis, melainkan karena alasan teologis dan prinsip.
Sebab, tidak satu pun di antara kelima sila yang bertentangan dengan
akidah dan syariat Islam. Begitulah gambaran umum
pandangan mainstream umat Islam Indonesia terhadap Pancasila dari
dahulu sampai sekarang.

Mengutip Dr. Muhammad ‘Imaduddin ‘Abdulrahim, M.Sc, “Kelima sila yang


tertera dalam Pancasila itu memanglah merupakan saripati dan ajaran
agama Islam yang telah digali oleh para tokoh pendiri republik ini dahulu.
Oleh karena itu tepatlah jika dikatakan, bahwa Pancasila adalah
sumbangsih termulia umat Islam Indonesia kepada bangsanya
[Type here]

Dalam dinamika kehidupan bernegara relasi Pancasila dan Islam bisa


terusik ketika Pancasila dibenturkan atau diperhadapkan dengan agama.
Kesetiaan umat Islam kepada Pancasila bisa kendor kalau Pancasila
dijauhkan dari agama atau Pancasila diisi dengan paham yang tidak
sejalan dengan agama.  Di sisi lain,  tantangan paling berat dalam
pengamalan Pancasila adalah menjalankan sila keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Uniknya, dalam hukum Indonesia, pelanggaran
terhadap dasar negara, misalnya suatu peraturan perundang-undangan
atau kebijakan bertentangan dengan salah satu sila Pancasila,  tidak bisa
digugat atau dikenakan delik hukum secara langsung. Orang bisa
mengatakan apakah ini suatu kelebihan atau kelemahan dalam sistem
bernegara dan berpemerintahan.

Pada akhirnya, semua elemen dan elite bangsa harus mampu berpikir
jernih dan bebas dari beban sejarah atau dendam masa lalu dalam
membaca kedudukan Pancasila dan kedudukan agama secara
konstitusional di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu amat penting
untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara di atas landasan ideologis
konstitusional.
[Type here]

BAB 3 Penutup

3.1 Kesimpulan

Pancasila adalah pandangan hidup bangsa dan dasar negara Republik


Indonesia. Pancasila juga merupakan sumber kejiwaan masyarakat dan
negara Republik Indonesia. Maka manusia Indonesia menjadikan
pengamalan Pancasila sebagai perjuangan utama dalam kehidupan
kemasyarakatan dan kehidupan kengaraan. Oleh karena itu
pengalamannya harus dimulai dari setiap warga negara Indonesia, setiap
penyelenggara negara yang secara meluas akan berkembang menjadi
pengalaman Pancasila oleh setiap lembaga kenegaraan dan lembaga
kemasyarakatan, baik dipusat maupun di daerah.

Dalam mengoperasikan Pancasila ini bangsa Indonesia menghadapi dua


hal yang terus menerus diberi perhatian penuh. Pertama menyesuaikan
transformasi Pancasila dengan perkembangan dunia modern dan kedua
menciptakan kreasi-kreasi yang tepat untuk mengembangkan kehidupan
bernegara, berbangsa dan bermasyarakat diseluruh wilayah Indonesia
sesuai dengan Pancasila, yang sebelumnya belum dikenal dalam tradisi.

Pancasila dapat dikatakan sebagai hasil proses ideifikasi dan idealisasi


lewat sejarah dan pemikiran, yang kemudian merupakan nilai-nilai budaya
[Type here]

ideal yang sedang di operasionalisasikan dalam kehidupan bernegara,


berbangsa dan bermasyarakat untuk seluruh
manusia Indonesia yang mendiami wilayah indonesia sekarang.

DAFTAR PUSAKA
https://jejakislam.net/pancasila-perjalanan-sebuah-ldeologi-dan-
dasar-negara/
A.M. Fatwa, Pancasila Karya Bersama Milik Bangsa, Jakarta:  The
Fatwa Center, 2010).
Lukman Hakiem, editor. Dari Muhammadiyah Untuk Indonesia;
Pemikiran dan Kiprah Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman
Singodimedjo, dan KH Abdul Kahar Mudzakkir. Jakarta: PP
Muhammadiyah, 2013
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Bandung:
Pustaka – Perpustakaan Salman ITB, 1401 H – 1981 M
Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila, Jakarta: Yayasan Idayu,
1981
[Type here]

Anda mungkin juga menyukai