Anda di halaman 1dari 46

PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

(Ringkasan buku pembaharuan hukum pidana di Indonesia, karangan Dr. Jimly Asshiddiqie.SH)

Di susun oleh :

ABD KHOLID (12020414591)

DOSEN PENGAMPU

RAHADINI, S.H.,M.H.

PRODI HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU 2022
KATA PENGANTAR

1
Puji syukur kehadiran allah SWT atas segala rahmat dan hidayah nya penulis dapat
menyelesaikan Ringakasan Buku Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia (Karangan Jimly
Asshiddiqie) dengan tepat waktu. Ringkasan ini di susun sebagai syarat untuk mengikuti
perkuliahan mata kuliah Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. selain itu ringkasan ini
bertujuan menambah wawasan bagai para pembaca dan penulis.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada bapak RAHADINI, S.H.,M.H. sebagai dosen pengampu
mata kuliah Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. Penulis menyadari makalah ini masih
jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi

kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, 16 Maret 2022

Penulis

ABD KHOLID.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .....................................................................................................

2
DAFTAR ISI ...................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1

A. Latar belakang masalah........................................................................................ 1


B. KERANGKA TEORITIS DAN METODE PENELAAHAN......................................... 8

BAB II PEMBAHASAN ...............................................................................................

A. Pembaharuan KUHP di Indonesia......................................................................... 13


B. Perspektif Hubungan Agama dengan Hukum Pidana......................................... 15
C. Kebijakan Mengenal Agama dalam Pembaharuan Bentuk Pidana....................................
17

BAB lll : BENTUK-BENTUK PIDANA DALAM TRADISI ISLAM.............................................18

A. Tradisi pidana sebelum islam.................................................................................. 18


B. Bentuk-bentuk Pidana Dalam al-Qur'an dan Hadits .............................................. 23
C. Hakikat Pemidanaan Dalam Islam.......................................................................... 29
D. Asas dan Metode Perubahan Hukum...................................................................... 29

BAB IV : RELEVANSI BENTUK PIDANA ISLAM

A. Pengertian Umum Relevansi Bentuk Pidana .......................................................... 30


B. Teori Modren Mengenai Pemidanaan..................................................................... 30
C. Relevansi Juridis dan Filosofis................................................................................ 32
D. Relevansi Sosiologis........................................................................................... 35
E. Beberapa Pilihan Bentuk Pidana..........................................

BAB V : RANGKUMAN AKHIR

A. Politik Hukum dan Pembaharuan Bentuk Pidana................................................ 47


B. Deskripsi Mengenai Bentuk-bentuk Pidana dalam Fikih (Islam)......................... 48
C. Relevansi Bentuk Pidana Islam di Indonesia......................................................... 48
D. Beberapa Pilihan Bentuk Pidana............................................................................ 49

3
E. Jenis-jenis Sanksi Dalam Konsep Perancangan RUU KUHP Baru..................... 50

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 52

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

Di Indonesia,dewasa ini, sedag berlangsung usaha untuk memperbaharui kitab undang-


undang hukum pidana (KUHP) sebagai bagian dari usaha pembaharuan hukum nasional yang
menyeluruh. Usaha pembaharuan itu dilakukan tidak hanya karena alasan bahwa KUHP yang
sekarang ini diberlakukan dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan
masyarakat,tetapi juga karena KUHP tersebut tidak lebih dari produk warisan penjajahan

4
Belanda, dan karenanya tidak sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia yang merdeka
dan berdaulat. Bahkan, dapat dikatakan bahwa perlunya KUHP itu diperbaharui,bertolak dari
alasan-alasan yang bersifat politis,filosofis,sosiologis, dan bahkan alasan yang bersifat praktis
karena adanya kebutuhan dalam peraktek.¹1

Oleh karena itu, pembaharuan KUHP itu merupakan suatu keharusan yang tak dapat ditawar,
Berbagai negara lain bahkan juga banyak yang terlibat dalam usaha pembaharuan kodifikasi
hukum pidana masing-masing, terutama setelah perang dunia ll, baik negara-negara seperti
Jerman, Polandia, Swedia, Jepang, Yugoslavia, maupun negara-negara yang baru tumbuh
setelah PD ll seperti Korea Selatan, Mali dan lain sebagainya. Korea Selatan misalnya, telah
memberlakukan KUHP produk sendiri sejak tahun 1953, menggantikan warisan penjajahan
Jepang sebelumnya. Sedangkan Mali mengesahkan KUHP sendiri pada tahun 1963 2. Karena itu,
Indonesia yang telah memproklamasikan diri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat pada
tahun 1945, dalam hubungan ini dapat dianggap sangat lambat dalam usaha pembaharuan
KUHP ya. Hingga kini, KUHP warisan penjajahan Belanda yang diberlakukan belum juga kunjung
digantikan dengan yang baru, meskipun konsep Rancangan KUHP barunya telah dirumuskan
berkali-kali.

Namun demikian, betapapun juga, usaha perancangan KUHP yang baru itu,
sebenarnya,telah dilaksanakan secara cukup intensif. Konsep rancangan yang pertama dalam
rangka menggantikan KUHP warisan Hindia Belanda, khususnya untuk menggantikan buku l
KUHP adalah konsep rancangan tahun 1964 yang diajukan oleh departemen kehakiman. Konsep
ini berjudul rancangan Undang-undang tentang “Asas-Asas dan dasar-dasar pokok Tata Hukum
Pidana dan Hukum Pidana Indonesia”.3 Akan tetapi, konsep rancangan yang pertama inj
mendapat kritik yang tajam dan keras dari berbagai ahli hukum, khususnya dari Moeljatno, guru
besar hukum pidana pada Universitas Gadjah Mada ketika itu. Kritik tersebut diungkapkan
secara luas oleh moeljatno dalam makalah yang disampaikannya pada kongres PERSAHI

1
Soedarto menyebutkan tiga alasan yaitu alasan politik, sosiologi, dan praktis (kebutuhan dalam praktik) BPHN. “Pembaharuan
hukum pidana di Indonesia”

2
Soedarto op.cit hlm.27.

3
Ibid., Hlm. 57

5
(persatuan Sarjana Hukum Indonesia) di Surabaya tahun 1964 yang berjudul “ atas dasar atau
asas-asas apakah hukum pidana kita dibangun”. Menurut Sudarto, karena kritik yang Pedas dan
tajam dari Moeljatno inilah, maka konsep tahun 1964 ini, kemudia tidak pernah terdengar lagi.

Masalah ini baru menjadi hangat kembali dibicarakan, setelah LPHN (Lembaga Pembinaan
Hukum Nasional) mengeluarkan konsep Rancangan Buku 1 KUHP pada tahun 1968 4. Konsep
rancangan KUHP tahun 1968 ini, kemudian diperbaiki kembali oleh komisi yang bernama “ Tim
Peninjau Kembali Rancangan KUHP Buku 1” berdasarkan surat keputusan menteri kehakiman
tanggal 17 April, 1972. Peninjauan kembali yang dilakukan oleh tim ini berhasil diselesaikan
dalam waktu 1 (satu)tahun, sehingga konsep rancangan KUHP buku 1 tersebut dapat
diwujudkan pada tahun 1972 itu juga. Karena itu pula, konsep rancangan ini bisa dikenal
dengan “konsep rancangan Buku l KUHP tahun 1971/1972”.

Konsep rancangan 1971/1972 itu, direvisi lagi menjadi Konsep Rancangan yang dikeluarkan
secara stensilan oleh LPHN pada tahun 1975. Konsep ini, selanjutnya, direvisi lagi oleh Tim
Pengkajian Bidang Hukum Pidana Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang sebelumnya
bernama Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) pada tahun 1982. Konsep ini dikenal
dengan sebutan konsep 1982/1983, yang kemudian mengalami beberapa kali perubahan lagi
oleh Tim, setelah melalui berbagai seminar dan simposium hingga tahun 1987. Bahkan, hingga
kini,konsep yang “final" belum lagi dapat diwujudkan karena secara terus menerus masih
mengalami perubahan dan perbaikan. Di antara berbagai hal yang mengalami perubahan dalam
konsep Rancangan KUHP itu dari waktu ke waktu, adalah masalah bentuk pidana. Terlihat
adanya kecenderungan kuat dikalangan para perancang, untuk meninjau secara total dan
mendasar ketentuan mengenai jenis-jenis pidana dalam pasal 10 KUHP lama.

Gagasan perubahan demi perubahan itu sendiri, seperti disebut dimuka, pada dasarnya tidak
terlepas dari pertimbangan-pertimbangan politis,filosofis,sosiologis, dan pertimbangan praktis
yang menjadi alasan dilakukannya pembaharuan KUHP itu. Salah satu implikasi dari
pertimbangan-pertimbangan itu adalah bahwa perumusan ketentuan dalam KUHP baru itu

4
Usaha pembaharuan bahkan sudah dimulai sejak didirikannya LPHN (lembaga Pembinaan Hukum Nasional) yang dibentuk
dengan keputusan Presiden tahun 1958. Salah satu komisi yang dibentuk dalam Lembaga ini adalah komisi yang membidangi
usaha pem

6
seyogyanya merupakan produk kesadaran Hukum masyarakat Indonesia sendiri atau,paling
tidak,merupakan perumusan yang dekat dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu, salah satu masalah yang kemudian timbul dalam hubungan ini, adalah dari
manakah sumber perumusan KUHP baru itu harus diambil. Dengan menghindari idealisasi
peranan Hukum adat yang merupakan produk pengamalan historis kesadaran hukum
masyarakat Indonesia sendiri dalam arti sempit, dalam kenyataannya, selama ini telah
berkembang berbagai "sistem hukum" pada saat yang bersamaan. Paling kurang, kehidupan
hukum di Indonesia dewasa ini merupakan gabungan dari berbagai macam hukum, baik yang
datang dari barat, dari sumber hukum adat, tradisi Islam, maupun dari sumber lainnya.
Sehubungan dengan itu, mau tidak mau, usaha pembaharuan KUHP haruslah dilengkapi dengan
kegiatan studi mengenai berbagai sumber tersebut. Bagaimanapun, hukum barat, hukum adat,
maupun hukum fiqh itu, mempunyai kedudukan yang sama sebagai sumber norma bagi upaya
pembentukan hukum nasional. Hanya saja, yang perlu dicatat adalah bahwa sekali suatu norma
yang berasal dari aneka sumber itu ditetapkan, maka ia tidak disebut sebagai hukum
barat,hukum adat, atau hukum Islam, tetapi ia menyandang predikat sebagai norma hukum
nasional. Dengan adanya perubahan tersebut, dapat timbul kesan bahwa kecenderungan untuk
memberikan tempat yang utama kepada faktor agama dalam perumusan hukum pidana
nasional justru mengalami kemunduran. Oleh karena itu, perlu diadakan penelitian sejauh
mana politik pembaharuan hukum pidana nasional itu sebenarnya dalam melihat peranan
agama, khususnya peranan tradisi hukum fiqh sebagai sumber perumusan KUHP baru.

B. KERANGKA TEORITIS DAN METODE PENELAAHAN

1. Kerangka Teoritis
Secara teoritis, sumber-sumber hukum adat, hukum Islam, hukum barat, dan lain-lain,
mempunyai nilai kemungkinan yang sama sebagai sumber bagi usaha Pembaharuan Hukum
Pidana Nasional. Oleh karena itu, yang menjadi masalah adalah bagaimana mengembangkan
penelitian dari sumber-sumber di atas untuk tujuan pembentukan dan pembaharuan hukum
nasional. Sesuatu norma dari salah satu sumber tersebut, dapat ditarik untuk dijadikan
rumusan dalam rangka hukum Indonesia baru adalah sejauh mana ia relevan untuk itu. Ini

7
berarti bahwa tradisi pidana fiqh itu haruslah relevan untuk dijadikan bentuk pidana dalam
rangka KUHP baru.
Pengertian relevan itu sendiri dapat dilihat dari beberapa ukuran teoritis mengenai keberlakuan
hukum yang zalim dipakai dalam penelitian ilmu hukum. Secara teoritis hukum yang dianggap
berlaku itu selalu harus memenuhi beberapa ukuran sebagai berikut.5

1.1 keberlakuan Juridis,yakni :

a. Apabila penentuan berlakunya didasarkan pada hirarki norma hukum yang tingkatnya
lebih tinggi seperti dalam teori Hans kelsen.
b. Apabila kaedah hukum tersebut dibentuk menurut cara-cara yang telah ditetapkan
seperti dalam teori W.Zevenbergen

1.2 Keberlakuan Secara Sosiologis :

a. Apabila kaedah hukum itu diberlakukan atas dasar kekuasaan umum, terlepas dari
diterima atau tidaknya oleh masyarakat (Macht-theorie)
b. Apabila kaedah hukum tersebut benar-benar diterima dan diakui oleh warga
masyarakat (Anerkennungs-theorie).6

1.3 Keberlakuan Secara Filosofis

Suatu kaedah hukum itu dapat dikatakan berlaku secara filosofis apabila kaedah itu sesuai atau
tidak bertentangan dengan cita-cita hukum suatu masyarakat sebagi nilai positif tertinggi dalam
falsafah hidup masyarakat itu. Dalam hal falsafah hidup masyarakat Indonesia, misalnya, yang
dijadikan ukuran tentunya adalah falsafah Pancasila yang dalam studi Hukum dikenal sebagai

5
Kriteria ini digunakan juga misalnya oleh Soerjono dalam menilai keberlakuan hukum adat di Indonesia, lihat masalah
kedudukan dan peranan Hukum adat Academica, Jakarta ,1979, hlm.5-6. tentang istilah “relevan” dan"relevacy"

6
Teori ini beranggapan bahwa sesuatu itu disebut hukum, bukan karena ia telah diundangkan secara resmi, tetapi karena ia
memang senyatanya diakui berlakunya oleh warga masyarakat (faksitas hukum).lihat.Frans Magnis Suseno, etika politik,
Gramedia, Jakarta, 1987,hal.73-74.

8
sumber dari segala sumber hukum dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara di Indonesia.

Disamping itu, dalam hubungaannya dengan studi mengenai bentuk-bentuk pidana fiqh,
maka pemberlakuan suatu norma hukum dari sumber tradisi hukum fiqh ke dalam kerangka
hukum pidana nasional, tentunya juga harus memperhatikan teori pemidanaan yang secara
umum berkembang dalam kelaziman ilmiah di dunia ilmu hukum. Kelaziman ilmu itu,betapan
juga, harus diakui telah banyak berperan dalam membentuk jalan pikiran masyarakat hukum,
khususnya para ahli hukum di Indonesia yang tentu saja mempengaruhi pandangan mengenai
ukuran keberlakuan dan relevansi keberlakuan suatu norma Hukum.

Dengan demikian, adopsi bentuk pidana dari sumber tradisi hukum fiqh itu, dalam rangka
pembaharuan KUHP nasional, Harus diukur dengan kriteria:

1. Relevansi yuridis, yaitu bahwa proses adopsi itu harus mengikuti cara-cara dan prosedur
yang berlaku
2. Relevansi sosiologis, yaitu bahwa adopsi bentuk pidana fiqh itu harus didasarkan kepada
penerimaan sosiologis dari masyarakat dan/atau benar-benar dilegitimasikan oleh
kekuasaan negara.
3. Bentuk tradisi fiqh, sesuai dan tidak bertentangan dengan cita-cita hukum bangsa
Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
4. Bentuk-bentuk pidana fiqh harus dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah apabila
dilihat dari perspektif teori-teori pemidanaan dewasa ini.

2. Konsep dan Metode Penelaahan

Atas dasar kerangka teori di atas, pokok permasalahan yang menjadi perhatian buku ini, akan
didekati sebagai masalah kebijakan pidana, khususnya menyangkut kebijakan pengundangan
atau legislatif (legislative policy approach). Artinya, masalah pilihan bentuk pidana apa dan
bagaimana yang dianggap relevan untuk ditetapkan dalam perumusan perundang-undangan

9
pidana, pada dasarnya adalah masalah pilihan politik (kebijakan) masyarakat dimana peraturan
perundang-undangan itu ditetapkan.

Demikian pula halnya dengan bentuk-bentuk pidana fiqh, meskipun secara filosofis tidak
dapat dipisahkan dari kerangka Islam sebagai "agama" dan karena itu mempunyai
kecendrungan untuk selalu dipahami dalam konteks doktrin keagamaan yang bersifat imperatif
dan mutlak.

2.1. Bentuk Pidana

a. Bentuk pidana adalah pidana (hukuman pidana) yang dilihat sebagai unit-unit hukuman
yang masing-masing atau keseluruhan merupakan entitas struktural hukuman dalam hukum
pidana.
b. " Bentuk pidana" ( strafen) juga harus dibedakan dari "bentuk tindakan" (maatregelen).
c. Penggunaan istilah " pidana" itu sendiri disini, dipahami sebagai sanksi pidana.

2.2 Tradisi Hukum Fiqh:

a. Istilah "tradisi" di sini tidak sama dengan istilah "tradition" yang sering dipergunakan oleh
kaum orientalis dan ahli-ahli barat mengenai hukum fiqh untuk menunjuk pengertian
"hadits" atau "Sunnah Rasulullah" sebagai tradisi Nabi.
b. Pengertian tradisi hukum di sini telah menunjuk kepada tradisi, baik yang menyangkut
pemikiran maupun menyangkut praktek hukum di dalam sejarah seperti yang dapat dibaca
dari kitab-kitab fiqh.

2.3 Pembaharuan Hukum Pidana:

a. Secara komprehensif, ruang lingkup pengertian pembaharuan hukum pidana sebenarnya


meliputi pembaharuan terhadap bidang hukum pidana baik yang menyangkut substansinya
(hukum pidana materil), hukum acaranya (hukum pidana formil), maupun terhadap
ketentuan-ketentuan yang menyangkut pelaksanaan pidananya (straf-vollstreckungs-
geaetz).

10
b. Dalam pembaharuan hukum pidana itu, tercakup pula pengertian kitab Undang-undang
hukum pidana (KUHP) maupun Undang-undang pidana di luar KUHP.

11
BAB II

PEMBAHARUAN BENTUK PIDANA DI INDONESIA

A. PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

1. Pembaharuan Substansi KUHP lama:

Seperti disebutkan dimuka, proses pembaharuan KUHP di Indonesia, pada dasarnya, sudah
berlangsung sejak lama. Terutama sejak Indonesia merdeka, usaha yang sistematis dalam
rangka mengganti KUHP warisan Hindia Belanda dengan kitab undang-undang yang lebih sesuai
dengan falsafah hidup dan kesadaran hukum masyarakat Indonesia, tidak putus-putusnya
dilakukan. Sekurang-kurangnya sudah ada 16 undang-undang yang dapat dianggap sebagai
produk perundangan-undangan yang bersifat pembaharuan 7

1) UU No.1 tahun 1946 tentang pengaturan hukum pidana,


2) UU No.20 tahun 1946, yakni UU yang menambah pidana pokok baru terhadap
ketentuan dalam pasal 10 KUHP, berupa. "pidana tutupan"
3) UU No.8 tahun 1951 tentang penangguhan Pemberian Surat Izin kepada Dokter Gigi.
4) UU No. 7 tahun 1955 pengusutan, penuntutan, dan peradilan tindak pidana ekonomi
5) UU darurat No. 8 tahun 1955 tentang Tindak pidana imigrasi yang menghapus pasal 241
sub 1 dan pasal 527 KUHP (WvS).
6) UU No. 73 tahun 1958, tentang berlakunya UU.No. 1 tahun 1946 untuk seluruh wilayah
RI.
7) UU No. 1 tahun 1960, yang menaikkan ancaman pidana menjadi maksimum 5 tahun
penjara atau 1 tahun kurungan terhadap 3 delik culpa (kealpaan) yaitu kealpaan yang
menyebabkan kebakaran, peletusan atau banjir, kealpaan yang menyebabkan kematian
seseorang, dan kealpaan yang menyebabkan orang lain luka berat atau mengahalagi
pekerjaan atau pencaharian selama waktu tertentu.

7
Dalam tulisannya, Soedarto hanya menyebut 14 undang-undang,lihat pembaharuan hukum pidana di Indonesia, BPHN,
Simposium Pembaharuan hukum pidana nasional, binacipta, Bandung, 1986, hlm.36-55.

12
8) PERPU ( peratiran pemerintah pengganti Undang-undang), No 16 tahun 1960, yang
mengubah kriteria untuk beberapa jenis kejahatan ringan dalam KUHP
9) PERPU No. 18 tahun 1960, yang menetapkan sanksi pidana denda harus dibaca dalam
mata uang rupiah dan jumlahnya dilipat gandakan menjadi lima belas kali.
10) UU No. 11 PNPS 1963 pemeberantasan subversi.
11) UU No. 1 PNPS tahun 1965 yang berjutuan melindungi agama terhadap ucapan dan
praktek yang dipandang dapat mengurangi kesucian agama.
12) UU No. 3 /1965 tentang lalu lintas jalan raya, menggantikan Weverkeer-verordening
dan Wegverkeers-ordonanntie yang diubah dengan PP No. 28/1951.
13) UU No.3. tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
14) UU No. 7 tahun 1974 tentang penertiban perjudian.
15) UU No. 4. Tahunb1976 yang berkenan dengan penerbangan sipil.
16) UU No. 9 tahun 1976 mengenai kejahatan narkotika.

2. Proses Pembentukan KUHP Baru :

Seperi diuraikan terdahulu, kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) yang dewasa ini masih
berlaku, merupakan produk warisa penjajahan Belanda di Indonesia. Malahan dapat dikatakan
bahwa KUHP Indonesia itu sebenarnya sama sekali berasal dari KUHP kerajaan Belanda yang
diberlakukan di Indonesia dengan beberapa penyesuaian di sana-sini, kemudian diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia secara tidak resmi oleh para ahli hukum di Indonesia.

Usaha yang lebih khusus dalam rangka pembentukan KUHP yang baru, yang secara total
diharapkan dapat menggantikan kedudukan warisan Hindia Belanda itu, suda pula dimulai
secara sistematis dengan didirikannya LPHN (Lembaga Pembinaan Hukum Nasional) pada tahun
1961. Bahkan keinginan itu, sebenarnya sudah terlihat sejak berlakunya Undang-undang Dasar
sementara 1950.

Untuk keperluan penyusunan Rancangan KUHP nasional yang baru itu, sebagai bagian dari
badan Perencana dalam lembaga ini dibentuk suatu panitia kerja hukum yang terdiri dari para
teoritisi dan praktisi hukum pidana. Usaha penyusunan oleh LPHN sendiri sejak tahun 1961,
baru menampakkan hasilnya 6 tahun kemudian. Meskipun cukup lama, komisi hukum pidana

13
LPHN terus berusaha mempersiapkan konsep KUHP baru, sehingga pada tahun 1968 8 berhasil
mengeluarkan konsep rancangan KUHP Buku 1 yang terdiri dari lima bab dan 82 pasal.

Kemudia, setelah LPHN berubah menjadi BPHN (badan pembinaan hukum Nasional) tahun
1979, konsep rancangan KUHP buku ll juga dapat diselesaikan. Hingga tahun 1979, lengkaplah
konsep rancangan KUHP yang baru.

B. PERSPEKTIF HUBUNGAN AGAMA DENGAN HUKUM PIDANA

Untuk melihat hubungan antara agama dengan hukum pidana, kita perlu memahami terlebih
dahulu pandangan umat beragama itu sendiri mengenai hukum. Apabila ditinjau dari sudut
ilmu perbandingan Agama (Comparative Relogions), khususnya diantara tiga agama semitis
yakni Yahudi, Nasrani, dan Islam, perbedaan pemahaman secara konseptual mengenai hukum
dalam hubungannya dalam agama itu, nampak dengan jelas. Agama Yahudi dikenal dengan
menekankan ajaran yang bersifat sangat eksoteris dalam bentuk hukum-hukum yang pasti.
Sebaliy, agama Nasrani justru lebih menekankan perbedaan aspek-aspek isoteris yang sarat
dengan ajaran etika dan moral. Kedua ini, pada Gilirannya, melahirkan perbedaan watak umum
dari para penganut kedua agama ini, yang tercermin dalam berbagai cerita mengenai
perbedaan penampilan Nabi Musa yang Gagah dan keras dengan nabi Isa (Yesus) yang lembut,
penyabar, dan baik hati.

Kedua perbedaan ini juga berpengaruh dalam hubungannya dengan perkembangan hukum
di masing-masing masyarakat penganutnya. Kaum Yahudi terkenal berwatak keras dan kaku,
karena pemikiran hukum mereka sangat berkaitan dengan sikap keberagamaan. Sedangkan
pemeluk agama Nasrani sangat mengangungkan sifat-sifat kasih sayang dan kedamaian. Soal
hukum tidak terlalu ditekankan. Karena itu, perkembangan pemikiran hukum mereka tidaklah
sekuat tradisi agama Yahudi. Sebaliknya,Islam sebagai agama semitis yang terakhir, menurut
berbagai ahli perbandingan agama, justru berisikan ajaran yang bersifat eksoteris maupun
isoteris sekaligus. Islam meliputi semua ciri agama-agama monoteis sebagaimana tercermin

8
Dokumen perpustakaan Babinkumnas, Jakarta.

14
dalam agama yang diturunkan kepada nabi Ibrohim yang juga menjadi sumber historis dari
ajaran Yahudi maupun Nasrani..

Apabila perbedaan hubungan antara agama dan negara itu diperinci lebih lanjut, dapat
dikemukakan perbedaan pandangan sebagai berikut:

1. Dalam pandangan pertama, yang melihat keduanya dalam satu kesatuan, hukum
dipahami sebagai turunan norma dari ajaran agama. Karena, di dalam kitab suci seperti
Al-Qur'an sendiri, norma hukum itu secara konkret di atur.
2. Sedangkan dalam pandangan kedua, yaitu yang memisahkan antara agama dan hukum,
hukum dan agama dianggap merupakan lapangan yang sama sekali berbeda, dan
karenanya harus dipisahkan satu sama lain. Hukum bersifat horizontal, sedangkan
agama bersifat vertikal.

Di Indonesia kedudukan agama itu dalam sistem hukum jauh lebih berarti mengingat banyak
hal. Ini menunjukkan bahwa pandangan hukum bangsa Indonesia sebenarnya sangat religius.
Apabila pernyataan-pernyataan itu didalami konteks dan maknanya, tidak ada yang dapat
menyangkal bahwa pandangan hukum bangsa Indonesia secara ideal bertitik tolak dari
pandangan akan pri-ke-ketuhanan yang maha esa itu yang merupakan prima causa dari
Pancasila. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan teori mengenai hubungan antara agama
dan hukum, dapat dikemukakan beberapa kemungkinan teoritis sebagai berikut. Kemungkinan-
kemungkinan itu adalah :

1. Teori keterpisahan antara agama dan hukum (separasi).


2. Teori inklusivisme hukum sebagai bagaian dari agama.
3. Teori turunan hukum yang nisbi dari agama yang mutlak (derivasi).

Pandangan pertama melihat keduanya sebagai norma-norma yang setara sekaligus terpisah
antara satu dengan yang lain, hukum dilihat sebagai sesuatu yang empiris dan bersifat internal,
sedangkan agama dilihat sebagai sesuatu eksternal dan dari "atas". Pandangan kedua
memandang agama itu sendiri sebagai hukum atau sebaliknya hukum sebagai agama, sehingga

15
pandangan keberagamaan di satu pihak dengan paham mengenai hukum di pihak lain, berbaur
menjadi satu. Pandangan begini banyak mewarnai ajaran agama Yahudi, dan juga kaum legalis
Islam, terutama karena kuatnya pengaruh ajaran "fiqh" dalam sejarah di dunia Islam, dalam
pandangan Islam, sebenarnya hukum itu,termasuk juga hukum pidana, lahir sebagai usaha
intelektual manusia dalam memahami petunjuk Tuhan dalam Al-Qur'an dan teladan Nabi yang
dikenal sebagai Sunnah di bidang hukum untuk mengatur kehidupan manusia di dunia.
Sedangkan pandangan ketiga melihat hubungan antara hukum dan agama itu dalam garis
vertikal di mana hukum berada di bawah agama. Pandangan yang terakhir inilah yang
disebutkan di atas sebagai pandangan derivasi hukum yang nisbi dari agama yang mutlak.
Hubungan antara hukum, agama, dan kenyataan dalam masyarakat berada dalam garis lurus
yang vertikal.

C. KEBIJAKAN MENGENAI AGAMA DALAM PEMBAHARUAN BENTUK PIDANA

Sehubungan dengan uraian di atas, menjadi persoalan kemudian adalah bagaimana


sesungguhnya kedudukan agama dalam proses pembaharuan hukum pidana, khususnya dalam
rangka pembentukan KUHP Nasional. Meskipun secara ideal, konstitusi menghendaki sifat
hukum nasional yang tidak sekuler, namun demikian pelaksanaan gagasan ideal itu masih harus
dijabarkan dan dilaksanakan ke dalam semua bidang hukum, termasuk juga bidang hukum
pidana. Penelitian terhadap proses pembentukan KUHP nasional itu diaggap strategis, karena
KUHP itu sendiri diharapkan merupakan kitab kodifikasi yang baru mengenai hukum pidana
positif yang akan diberlakukan secara nasional, guna menggantikan KUHP warisan Hindia
Belanda yang masih diberlakukan. Dalam hubungan itulah, pertanyaan mengenai kedudukan
agama dalam proses pembaharuan itu menjadi penting, karena masyakarat Indonesia dikenal
sangat relegius9.

Sehubungan dengan itu, khususnya berkenaan dengan ketentuan mengenai bentuk pidana,
perlu dicatat bahwa dalam proses perancangan KUHP nasioanal sejak tahun 1963, agama
pernah dijadikan bahan pertimbangan perumusan bentuk pidana.

9
Bahkan sering dikatakan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang religius sosialisasi.

16
Dalam konsep-konsep awal Rancangan Buku 1 KUHP itu, memang terlihat adanya
kecenderungan untuk menjadikan agama juga sebagai sumber untuk menentukan bentuk
sanksi Pidana dalam Rangka KUHP baru. Ini berarti bahwa agama tidak hanya dianggap dalam
rangaka menentukan suatu perbuatan sebagai "jahat";(proses kriminalisasi), tetapi juga dalam
rangka menentukan bentuk sanksi terhadap "jahat" itu sendiri.

BAB III

BENTUK-BENTUK PIDANA DALAM TRADISI ISLAM

A. Tradisi pidana sebelum Islam


Secara umum, tradisi hukum pidana berkembang dalam praktek setiap masyarakat yang
mengenal struktur kekuasaan. Praktek memberikan hukuman kepada setiap pelanggaran yang
bersifat publik terdapat dalam setiap masyarakat. Karena itu, sebelum agama Islam diturunkan,
bentuk-bentuk pidana yang digunakan dan diterapkan oleh berbagai penguasa Arab untuk
menindak para pelanggar hukum, juga sudah ada sejak lama. Hal ini merupakan konsekwensi
logis dari kenyataan bahwa di mana ada masyarakat, di sana ada hukum.
Pada umumnya, peraktek hukum sebelum Islam itu bersifat sangat keras dan berorientasi
kepada pembalasan terhadap setiap tingkah laku yang dianggap menyimpang dari keharusan
umum. Bahkan, untuk sebagian, dapat dikatakan bahwa tradisi hukum pidana sebelum Islam
lebih mencerminkan kepentingan elite dari pada rakyat banyak. Ketimpangan demikian juga
terjadi dalam praktek penerapan hukum yang bersifat religius sekalipun seperti yang nampak
dalam praktek hukum Yahudi di kalangan masyarakat Arab sebelum Islam. Berbagai bentuk
pidana dipraktekkan oleh masyarakat Arab sebelum Islam, meskipun bersumber dari ajaran
agama sebelumnya. Praktek pidana yang yang diterapkan seringkali lebih mencerminkan

17
kepentingan kelas kaum aristokrat dari pada pada kepentingan rakyat banyak. Dapat dikatakan
bahwa bentuk-bentuk pidana yang diterapkan cendrung berpungsi sebagai alat bagi para
penguasa kaya untuk menjamin status quo dan menindas setiap tindakan menyimpang dari
ukuran-ukuran yang sesuai dengan kepentingan mereka.
Bentuk-bentuk pidana yang sudah dikenal ketika itu misalnya, pidana qisas, pidana rajam, dan
pidana mati lainnya yang diterapkan sangat keras dan kadang-kadang berada di luar
kemanusiaan, terutama jika hal itu dilakukan terhadap warga kelas hamba sahaya tersebut
dibatas. Yang dimaksudkan dengan pidana qisas, misalnya benar-benar merupakan pembalasan
yang persis sama dengan bentuk kerugian yang diderita akibat kejahatan yang dilakukan oleh
pelaku. Misalnya, seseorang dibutakan matanya, maka ia berhak membalas membuat
penyerangnya menjadi buta pula, jika memecahkan kepala orang lain maka kepalanya boleh
dipecahkan oleh keluarga korban, dan demikian seterusnya.
Dala keadaan demikian inilah, ajaran Islam diturunkan melalui Nabi Muhammad yang kemudian
membawa suatu perubahan besar-besaran di bidang hukum, dengan memperkenalkan suatu
gagasan ketuhanan, prinsip-prinsip kemanusiaan dan cita-cita keadilan dan kedamaian yang
baru. Hukum pidana (dalam Islam) antara lain misalnya, dengan adanya penyesuaian-
penyesuaian dalam berbagai ketentuan mengenai penerapan pidana qishash, pidana diyat,
pidana rajam, Dan pidana cambuk, baik yang menyangkut delik-delik perzinaan, tuduhan palsu
(zina), pembunuhan karena sengaja, maupun menyangkut pembunuhan karena kelalaian.
Untuk menggambarkan kesederhanaan dan keringanan yang diperkenalkan oleh Islam itu,
dapat dikemukakan bahwa dalam hukum Islam, secara khusus dikembangkan adanya prinsip
hukum yang bersifat semakin meringankan yang dipandang sebagai asas yang penting. Dalam
salah satu teori yang dikembangkan, misalnya dikenal adanya prinsip atau asas yang biasa
dinamakan asas pembebanan hukum (taklif hukum). Setiap subjek hukum selalu mengandung
tigas asas penting, yaitu:
1. Asas meniadakan kesulitan ('adam al-kharaj)
2. Asas pembebanan berangsur-angsur (al-tadrijb al-tasyri')
3. Asas meringankan beban (taqlil-al-takalif)10

10
Muhammad khudhari beik, tarikh al-tasyri' al-islamy Tijariyat al-kubro, Kairo-mesir, 1954, hlm.72.

18
1. Delik perzinaan dan Tuduhan Palsu
Dalam hukum Yahudi, hubungan seksual antara orang-orang yang terikat dengan
perkawinan yang sah, seperti dalam hukum Islam, sangat dilarang. Setiap kali terjadi kausus
perzinaan, proses peradilannya sangat mudah untuk sampai kepada penjatuhan pidana yang
sangat keras. Di dalam debut 17:6, ditentukan bahwa: " at the mouth of two witnesses, or three
witnesses, shall he that is to die, be put to death; at the mouth of one witness he shall not be
put to death". Artinya, dengan dua atau tiga orang saksi, sudah cukup bagi pihak penguasa
untuk menjatuhkan sanksi pidana kepada para pelaku perzinaan. Sedangkan dalam tradisi Islam
yang diperkenalkan kemudian, meskipun delik semacam itu sangat terlarang, tetapi hal ini
dianggap sebagai sesuatu yang sangat peribadi sifatnya, sehingga sebagaimana dinyatakan
dalam QS.4:19, setiap tuduhan bahwa seorang wanita telah berbuat mesum dengan seorang
laki-laki, haruslah diperkuat dengan 4 orang saksi. Jika bukti yang dipersyaratkan itu tidak
dipenuhi, maka tuduhan itu dianggap tidak terbukti. Dalam hal demikian, si penuduh dianggap
telah membuat tuduhan palsu. Untuk itu, dia diancam dengan pidana 80 kali cambukan, dan
untuk selanjutnya tidak dapat lagi dipercaya sebagai saksi untuk selama-lamanya, kecuali jika
kemudian ia bertaubat. (QS.24 : 4,5).
Jika tuduahan perzinaan itu, berasal dari suami sendiri tetapi tanpa ada kesaksian, maka
berdasarkan ketentuan QS. 24:6, cukup bagi sang suami dengan mengajukan bukti dengan
sumpah. Pernyataan sumpah ini dapat diterima sebagai bukti, kecuali si isteri mengeluarkan
pernyataan bantahan bahawa ia tidak bezina dengan sumpah pula. Dalam hal ini terjadi
sumpah ganda (double swearing), si isteri dibebaskan dari tuntutan pidana, tetapi perkawinan
antara keduanya menjadi putus karena dianggap tidak mungkin lagi meneruskan hubugan
suami-istri dengan harmonis.
Di satu pihak, para penuduh yang tidak dapat memberikan bukti yang sah justru diancam
hampir sama beratnya dengan pezina itu sendiri, di pihak lain pada pezina yang melapor dan
mengaku secara terus terang pun tidak segera dipercaya sehingga pengakuannya segera dapat

19
dijadikan bukti untuk dilakukannya pemidanaan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa kasus
perzinaan itu sebagai delik pidana bukanlah kasus yang umum dalam sistem masyarakat Islam.

2. Pembunuhan Dengan Sengaja

Terhadap delik pembunuhan dengan sengaja ini, ancaman pidananya adalah pidana mati
sebagai pembalasan (qishash) kepada pembunuh korban. Sebagaimana akan diuraikan
kemudian, orang yang merdeka dipidana mati karena membunuh orang yang merdeka, budak
karena budak, dan perempuan karena perempuan. Setiap pembunuhan tanpa hak dilakukan,
nilainya sama dengan pembunuhan terhadap kemanusiaan seluruhnya. Karena itu,
pembunuhan tanpa hak terhadap setiap jiwa manusia dianggap sebagai kejahatan yang besar.
Untuk itu kepada setiap keluarga korban diberi hak menuntut pelaksanaan qishash itu, kecuali
apabila memaaafkan sesuai dengan anjuran moral dalam Al-Qur'an. Dalam mereka memberi
maaf, maka kepada pembunuh hanya dibebani kewajiban membayar diyat (denda) pengganti.
Ketentuan mengenai lembaga permaafan dan diyat (denda) pengganti ini, sama sekali berbeda
dengan tradisi yang berkembang sebelum Islam yang menerapkan ketentuan pembalasan
secara mutlak.

3. Moderasi Dalam Penerapan Pidana Qishash.


Sebagaimana diterangkan di atas, Nabi Muhammad mengizinkan pengikutnya untuk
menerapkan prinsip pidana qishash (Lex talionis), guna meneruskan tradisi hukum Yahudi.
Ketentuan mengenai qishash ini bahkan dicantumkan dalam Al-Qur'an, seperti dalam QS.
2:173. Apabila ditelusuri lebih jauh, tradisi pembalasan darah atas darah (tradisi pidana
qishash) ini memang bukanlah merupakan sesuatu yang baru dalam sejarah umat manusia.
Kecendrungan untuk pembalasan darah ini, juga bukanlah kecendrungan masyarakat Arab
dan Israel saja, tetapi merupakan kecendrungan umum hampir semua bangsa-bangsa lalu,
terutama sebelum berkembangnya tradisi bernegara.
Praktek pembalasan darah itu sendiri, di zaman Arab jahiliyah, berlangsung dengan sangat
keras dan kejam. Konsep mengenai darah ini berkaitan dengan pandangan masyarakat Arab
jahiliah mengenai dewa dalam suku/keluarga sedarah (khinship) mereka masing-masing.
Karena itu, darah dari keluarga adalah suci dan tidak boleh diganggu. Jika darah keluarga itu

20
tertumpah, maka hal itu harus dibalas dengan darah pula. Akibatnya, konsep pembalasan
darah itu menjadi sesuatu yang bersifat religius. Bahkan menuntut balas darah keluarga
menjadi sesuatu yang dianggap suci.
Sedangkan terhadap kasus delik pembunuhan karena kelalaian, tidak dikenakan pidana
pembalasan darah. Selain itu,semua jenis kejahatan seperti delik pembunuhan dengan
sengaja, pembunuhan karena kelalaian, dan delik pelukaan, diperhalus pula dengan
kemungkinan penggantian bentuk pidananya dengan denda (diyat) yang dikaitkan dengan
konsep permaafan. Setiap korban dan keluarga korban, lebih dan bahkan sangat dianjurkan
untuk memberikan maaf daripada menuntut qishash. Dalam hal ini mereka mengikuti anjuran
moral ini, maka kepada para pelanggar hukum hanya diwajibkan untuk membayar diyat
(denda ganti rugi). Penghalusan yang dilakukan oleh hukum Islam, baik terhadap ketentuan-
ketentuan hukum yang berlaku sebelumnya, maupun terhadap praktek masyarakat pra Islam
(jahiliah) yang cendrung menerapkan praktek pidana pembalasan darah itu secara keras dan
ekstrim, dapat dikatakan merupakan sikap yang moderat mengenai pewarisan penerapan
tradisi pidana qishash ini. Oleh karena itu, diteruskannya tradisi pidana qishash itu oleh Islam
haruslah dipahami dalam konteks sejarah.
Kemudian, lebih jauh lagi, setelah konsep hukum dan kekuasaan tumbuh semakin
berkembang, mulai pula dikenal adanya gagasan hukum yang harus dilegitimasikan oleh
kekuasaan negara. Yang terakhir inilah yang kemudian dikenal dengan Undang-undang atau
"qanun". Sehingga, dalam perkembangannya, konsep Islam mengenai hukum itu mengalami
perluasan makna sedemikian rupa, sehingga mulai dari Al-Qur'an yang tadinya berfungsi
sebagai kitab hukum berubah menjadi kitab sumber hukum.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada pokoknya praktek pemidanaan sebelum
Islam, mencerminkan pandangan retributif yang ekstrim. Sedangkan tradisi mengenai bentuk
pidana diperkenalkan kemudian, sebagiannya merupakan kelanjutan saja dari tradisi
sebelumnya, dengan penghalusan dan penyederhanaan penerapannya, seperti terhadap
tradisi pidana qishash dan tradisi pidana rajam.

21
B. BENTUK-BENTUK PIDANA DALAM AL-QUR'AN DAN HADITS
Dalam al-Qur'an, terdapat kurang lebih tujuh ayat yang secara langsung sering dikaitkan
dengan bentuk-bentuk hukuman yang harus dilaksanakan oleh kekuasaan umum terhadap
setiap kejahatan yang dilakukan oleh warga masyarakat 11. Ketujuh ayat itu adalah :
1. QS. 2 : 178 (al-Baqoroh).12
Dalam ayat ini disebutkan,
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu Hukum qishash atas
pembunuhan (orang merdeka degan orang yang merdeka, sahaya dengan sahaya,
perempuan dengan perempuan). Barangsiapa yang memperoleh maaf dari saudara
(keluarga)korban, maka hendaklah ia mengikuti aturan yang patut berupa kebajikan
dengan memberikan sesuatu kepada saudaranya (keluarga) itu dengan baik. Yang demikian
itu merupakan keinginan dan Rahmat dari Allah bagimu. Maka barangsiapa yang berbuat
aniaya lagi sesudah itu, akan mendapat hukum yang berat". Dari kutipan ayat di atas, dapat
ditarik beberapa pengertian.
1. Bagi yang beriman yakni umat Islam, hukum qishash itu wajib dilaksanakan (bersifat
umum)
2. Sebagai Rahmat Allah, pelaksanaan hukum qishash itu dapat mengalami peringanan
apabila pihak korban atau keluarganya memberikan maaf.
3. Barangsiapa yang masih berbuat aniaya sesudah memperoleh keringanan dengan
dimaafkan tersebut ( artinya menjadi residivist dengan mengulangi perbuatan jahat
yang serupa pada kesempatan selanjutnya), maka ia akan mendapatkan hukuman yang
berat.
2. QS. 4: 92 (an-Nisa')13
Dalam ayat ini dinyatakan,
"Tidak patut seorang mukmin membunuh orang mukmin kecuali karena kelalaian; dan
barangsiapa membunuh (mukmin) karena kelalaian, maka hendaklah ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang mukmin dan membayar diyat (denda) seratus ekor unta
11
Jumlah ayat tentang ini tentu saja lebih dari 7

12
Lih. Departemen agama RI, Al-Qur'an dan terjemahan, proyek penerjemahan Al-Qur'an, edisi 1983/84.hlm.107

13
Departemen Agama RI.,Op.cit., Hlm. 164

22
kepada keluarga korban, kecuali jika dimaafkan dengan kewajiban bersedekah. Jika yang
terbunuh itu berasal dari kaum yang menjadi musuhmu, tetapi ia juga beriman, maka yang
bersangkutan dihukum dengan kewajiban memerdekakan seorang hamba sahaya saja,
tanpa harus membayar denda (diyat). Jika menjadi korban itu adalah orang kafir yang
terikat dalam tali perjanjian dengan kamu, maka yang bersangkutan dipidana denda (diyat)
yang harus dibayar kepada keluarga korban, memerdekakan seorang hamba sahaya yang
mukmin, dan berpuasa dua bulan berturut-turut, sebagai syarat penerimaan tobat dari
Allah atas kejahatan itu; dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana". Dalam hal
demikian itu, maka;
1. Dalam kasus pertama, pidana yang ditentukan adalah memerdekakan seorang hamba
sahaya yang mukmin dan membayar denda (diyat) seratus ekor unta kepada kuluarga
korban.
2. Dalam kasus kedua, pidananya adalah memerdekakan seorang hamba sahaya saja tanpa
membayar denda.
3. Dalam kasus ketiga, ancaman pidananya hanya dengan memerdekakan hamba sahaya.
4. Dalam kasus keempat, pidananya adalah denda, memerdekakan seorang hamba sahaya
yang mukmin, dan berpuasa selama dua bulan berturut-turut.
5. Pidana tersebut di atas dapat ditiadakan, apabila keluarga Korban memberikan maaf
kepada pelaku delik.
3. QS. 5:33 (al-Maidah)14
Dalam ayat ini dinyatakan,
"Bahwa sesungguhnya balasan bagi orang yang memerangi Allah dan Rasulnya dan
membuat kerusakan dimuka bumi (huru-hara), hanyalah mereka itu dibunuh dan disalib,
atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negri
kediamannya. Yang demikian itu merupakan penghinaan untuk mereka di dunia, dan di
akhirat mereka akan memperoleh siksaan yang berat".

Dari kutipan diatas, dapat dipahami bahwa terhadap jenis-jenis kejahatan yang biasa
disebut sebagai delik "muharibah" yaitu memerangi Allah dan rasulnya atau membuat

14
Departemen Agama RI., Op cit., Hlm. 164

23
kerusuhan di masyarakat, tersedia 4(empat) kemungkinan bentuk pidana. Pertama dana kedua
sama-sama merupakan pidana atas jiwa atau Pidana mati yaitu dibunuh atau disalib (dalam
keadaan mati atau sampai mati). Sedangkan bentuk ketiga dan keempat, masing-masing
merupakan pidana terhadap badan dengan pemotongan aggota badan (tangan dan kaki secara
bertimbal balik) dan pidana terhadap kemerdekaan yaitu dengan dibuang dari tempat
kediaman.

4. QS. 5:38 (al-Maidah)15


Dalam ayat ini disebutkan,
"Laki-laki yang mencuri maupun perempuan yang mencuri potonglah tangan keduanya
sebagai pembalasan bagi apa yang mereka lakukan dan sebagai siksa dari Allah. Dan Allah
maha perkasa lagi maha bijaksana".

Bentuk pidana potong tangan tersebut dalam ayat di atas berbeda dengan pidana potong
tangan dan kaki dalam delik muharibah dalam QS. 5: 33. Dalam Delik muharibah, pelaksanaan
pidananya dilakukan secara kumulatif antara tangan tangan kanan dan kaki kiri, dan bila
bersangkutan mengulangi perbuatannya maka yang dipotong adalah tangan kiri dan kaki kanan.
Sedangkan dalam delik pencurian (syariqah) pelaksanaan pidananya bersifat gradul.

5. QS. 5 : 45 (al-Maidah).
Dalam QS. 5:4516ini dijelaskan,
"Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (al-Taurat) bahwa jiwa dibalas
dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga gigi dengan
gigi, dan luka (pun) ada qishashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishash)nya, maka
melepaskan hak itu menjadi penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah,maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim".

Disini diterangkan:

15
Ibi., hlm.165. lihat komentar A.yusuf Ali,op.cit.hlm.254.(perhatikan juga penomoran ayatnya yang berbeda).

16
Ibid., Hlm.167

24
1. Pidana qishash itu dilaksanakan secara setimpal sesuai dengan derita yang dialami oleh
korban akibat perbautan pelaku delik.
2. Qishash itu diancamkan terhadap delim atas jiwa dan delik pelukaan aggota badan
3. Qishash adalah hak korban atau keluarganya
4. Secara moral korban dianjurkan untuk memberikan maaf kepada pelaku delik dengan
cara melepaskan hak.
6. QS. 24 :2 (al-Nuur)
Ayat ini berbunyi, yang artinya:
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus deraan, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu
untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kiamat, dan
hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka itu disaksikan oleh sekumpulan orang-orang
yang beriman".

Dari ayat ini dapat diketahui bahwa:

i. Pelaku delik perzinaan, baik laki-laki maupun perempuan, secara tegas diancam dengan
pidana badan seratus deraan.
ii. Pelaksanaan pidana badan itu, harus dipersaksikan oleh masyarakat yang beriman
7. QS. 24 : 4 (al-Nuur)
Kutipan arti ayat ini adalah:
"Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina), sedangkan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
dengan delapan puluh deraan; dan janganlah kamu kesaksian mereka buat selama-
lamanya; dan mereka itulah orang-orang yang fasik"17

Dari kutipan diatas dapat diketahui bahwa

i. Pelaksanaan ancaman pidana terhadap delik perzinaan sebagaimana diterangkan dalam


QS 24 : 2 diatas, mempersyaratkan adanya 4 orang saksi

17
Ibid.,hlm. 543-544

25
ii. Apabila tuduhan mengenai perzinaan itu tidak didukung oleh 4 orang saksi, maka
penuduh dipidana dengan 80 deraan, dan yang bersangkutan dianggap sebagai "saksi
palsu" yang tidak pernah lagi dapat dipercaya.
a. Pidana Atas Jiwa
Pidana atas jiwa itu dapat terdiri dari bermacam-macam bentuk. Secara teoritis bentuk-
bentuk operasional dari pidana atas jiwa itu merupakan pidana mati yang pelaksanaannya
dapat saja dilakukan melalui kursi listrik, ditembak dengan senjata api, ditusuk dengan
senjata tajam, dipancung dengan pedang, minum racun, digantung, di cambuk sampai mati,
dan lain-lain sebagainya.
b. Pidana Atas Aggota Badan
Pidana atas aggota badan juga terdiri dari bermacam-macam bentuk. Bentuk-bentuk
operasional pidana badan ini meliputi pidana potong tangan/kaki, pidana potong tangan
dan kaki, pidana dera atau cambuk, pidana pemukulan, dan terutama pidana qishash
pelukaan anggota badan, serta pidana rajam yang pada dasarnya merupakan gabungan
antara pidana atas jiwa dan pidana atas badan.
c. Pidana Atas Kemerdekaan.
Menurut Hazairin, dalam al-Qur'an memang disebut adanya cerita mengenai lembaga
penjara itu, yaitu dalam cerita mengenai lembaga penjara di zaman Nabi Yusuf a.s. dalam
QS. 12 :32,33 dan 35, yang disebut dengan istilah "al-jinu". Akan tetapi, tidak terdapat
keterangan yang menunjukkan bahwa sistem kepenjaraan seperti itu perlu diterapkan
dalam rangka hukum Islam yang harus diterapkan oleh Nabi Muhammad. Oleh karena itu,
Hazairin menolak gagasan kepenjaraan itu sebagai gagasan Islam. Namun demikian,
sebenarnya, di dalam al-Qur'an sendiri ayat QS.5 : 33 sebagaimana diterangkan di atas,
terdapat indikasi yang jelas mengenai pidana atas kemerdekaan, yaitu dengan sebutan
"yunfau min al-ardhi" yang berarti dibuang dari bumi, dari tempat kediaman yang
bersangkutan.
d. Pidana Atas Harta
Selain pidana atas jiwa, atas badan, dan atas kemerdekaan di atas, dalam Islam juga
terdapat pidana atas harta kekayaan. Maksudnya adalah bahwa seseorang dapat dijatuhi

26
pidana akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya, dengan cara membebani
yang bersangkutan untuk membayar suatu kewajiban tertentu dari harta kekayaan yang
dimilikinya. Dalam al-Qur'an, kewajiban ini disebut sebagai "diyat" atau denda ganti rugi.
Namun demikian, yang dimaksud dengan denda di sini berbeda dari denda dalam
pengertian hukum barat modren. Dalam hukum barat dewasa ini, denda itu harus
dibayarkan kepada negara, sedangkan denda (diyat) dalam tradisi hukum Islam adalah
denda ganti rugi yang harus dibayarkan kepada korban atau keluarganya.
e. Pidana Kewajiban "Kaffarah"
Kewajiban Kaffarah ini pada dasarnya adalah juga "hukuman". Hukuman Kaffarah ini
mempunyai tiga bentuk, yaitu ; berpuasa, memerdekakan hamba sahaya, dan bersedekah
dengan memberi makan kepada fakir miskin. Dalam kasus perceraian yang bersifat perdata,
ketiga bentuk Kaffarah diatas dikenakan bersama-sama secara alternatif. Akan tetapi dalam
kasus pembunuhan yang bersifat pidana, Kaffarah yang diwajibkan terhadap pelaku delik
adalah kewajiban puasa atau memerdekakan hamba sahaya saja.

Menurut kalangan ulama Syafi'i kewajiban Kaffarah itu dikenakan dalam semua kasus
pembunuhan, baik terhadap pelaku delik pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan serupa
sengaja (syibhu al-amd), maupun pembunuhan karena kelalaian. Sedangkan menurut ulama
Hanafi, kewajiban itu hanya dikenakan terhadap kasus pembunuhan karena kelalaian dan yang
menyerupai sekengajaan (syibhu-al'amd).

C. HAKIKAT PEMIDANAAN DALAM ISLAM


Dari gambaran bentuk-bentuk pidana dalam al-Qur'an dan hadits di atas, dapat disimpulkan
bahwa konsep pemidanaan dalam tradisi Islam itu meliputi pidana atas jiwa, atas aggota badan,
atas harta, dan atas kemerdekaan. Keempat konsep pidana itu, merupakan sanksi yang bersifat
hukum. Akan tetapi, sebagai sanksi hukum, keempat jenis pidana di atas, tidak murni bersifat
pidana seperti yang dipahami dalam konsep barat modern. Dalam konsep qishash dan diyat,
misalnya, seperti yang diuraikan di atas, hak korban untuk menuntut diterapkannya sanksi
pidana, sangat diperhatikan. Karena itu, konsep sanksi dalam Islam, selain mengandung sifat
pidana, dianggap juga mempunyai sifat perdata. Selain itu, ada pula sanksi "Kaffarah" yang

27
semata-mata bersifat religius18.dan dapat dikenakan baik dalam kasus pelanggaran yang
bersifat pidana,perdata, maupun dalam kasus-kasus yang sama sekali tidak bersifat hukum
seperti kasus hubugan sexual dengan isteri sehingga membatalkan puasa, dan sebagainya.
Selain itu, yang juga menarik diperhatikan adalah mengenai pengelompokan (klasifikasi)
bentuk-bentuk sanksi pidananya. Seperti diuraikan di atas, bentuk-bentuk sanksi pidana Islam
itu dikelompokkan menjadi pidana Qishash dan diyat, pidana Had atau Hudud, dan Pidana Ta'zir
dan Hukumah.
1. Konsep Qishash dan Diyat
Dalam berbagai literatur hukum (Islam) klasik maupun modren, pada umumnya masalah
bentuk sanksi qishash dan sanksi diyat ini dibahas secara terpisah dari masalah sanksi
Hudud (Hadd). Pembahasan mengenai qishash dan diyat biasanya tempatkan dalam bab
yang tersendiri dengan judul "kitab Jinayat". Sedangkan masalah Hadd atau huduud,
dibahas dalam bab yang lain dengan diberi judul "kitab Hudud".
Mengenai praktek hukum qishash itu dalam masyarakat Arab jahiliah, sudah sering Dibahas
dalam berbagai buku sejarah sebagai tradisi yang sudah berlangsung sejak lama dan
malahan telah berkembang menjadi praktek-praktek yang cendrung tidak menusiawi.
Hukum pembalasan (qishash) yang diperaktekkan di zaman itu sudah cendrung menjadi
hukum "balas dendam" untuk dendam itu sendiri, sehingga tak ubahnya sebagai hukum
yang melegitimasi kan budaya Kekerasan, kekesaran, kebencian, dan penindasan. Ajaran
pemberian maaf itu, dilengkapi pula dengan suatu konsep hukum yang baru yang disebut
diyat (denda), mengiringi pemberian maaf itu. Artinya, setiap korban kejahatan dianjurkan
untuk bersabar dan memaafkan pelaku delik dengan diberikan hak menuntut denda (diyat)
sebagai ganti rugi akibat penderitaan yang dialami akibat kejahatan yang dilakukan si pelaku
delik. Karena itu, di zaman Nabi Isa, kedua konsep hukum itu, qishash dan diyat, dapat
berjalan dengan secara seimbang dan saling melengkapi. Nabi Isa ditugaskan untuk
menyempurnakan kekurangan yang ada dalam hukum Taurat.
Namun demikian, dalam perjalanan waktu, sepeninggal Nabi Isa, baik tradisi qishash
maupun diyat berkembang dalam praktek-praktek yang dekaden. Berbagai tradisi hukum
yang dikembangkan oleh Islam, bersifat lebih ringan dari praktek sebelumnya. Karena itu,
18
Hasbi Ashshiddieqiy, Islam, pp.cit. h.230-231

28
dalam studi filsafat hukum Islam (Ushul-fiqh), dikenal adanya prinsip "taqlil al-takalif"
(meringankan beban) sebagai salah satu dari tiga prinsip pembebanan hukum (taklif
hukum).
2. Konsep Pidana Hadd Atau Hudud
Berbeda dengan konsep pidana qishash dan diyat, maka konsep Hudud adalah murni
bersifat pidana, dan tradisi pidana Hadd yang diterangkan dalam al-Qur'an sama sekali
merupakan sesuatu yang baru di zaman Rasulullah. Sebagai produk asli al-Qur'an, seperti
disebutkan di atas, pengertian asal dari kata "Had" itu sendiri adalah "mencegah"
percampuran atau membatasi percampuran antara dua hal, dalam hal ini yaitu "kebenaran"
dan "kebatilan". Karena itu, berbeda dengan pidana qishash yang cendrung bersifat
"retributif" dan back-ward looking (melihat ke belakang), pidana Hadd ini lebih
menunjukkan sifat "preventif". Penjatuhan pidana hadd, dimaksudkan untuk mencegah
terjadi kejahatan lebih lanjut dalam masyarakat dengan cara melindungi kebaikan dan
memberikan ganjaran kepada penjahat dengan perspektif untuk membela orang yang
tertindas dan menjadi korban. Dalam al-Qur'an hanya di terangkan mengenai 7 (tujuh)
bentuk pidana hadd, yaitu:
1. Pidana salib, yaitu untuk delik "muharibah" atau "qat'u Al-thariq" (QS. 5:33)
2. Pidana mati (QS. 5:33
3. Pidana potong dan kaki secara bertimbal balik (5:33)
4. Pidana buang (QS. 5:33)
5. Pidana penjara seumur hidup (QS. 4:15).
6. Pidana potong tangan, yaitu untuk delik pencurian (QS. 5: 38)
7. Pidana cambuk (dera), yaitu untuk delik perzinaan dan tuduhan palsu (QS. 24:2, dan 4).
3. Pidana Ta'zir dan Hukumah
Dalam perkembangan sejarah dikenal pula adanya bentuk pidana lain sebagai hasil dari
pengalaman empiris praktek umum pidana Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad, yaitu
yang secara umum dinamakan "Ta'zir" dan khususnya yang berkenaan dengan jiwa dan
aggota badan dinamakan "Hukumah" sebagai pengganti diyat. Perkataan "Ta'zir" itu sendiri
berasal dari kata azzara yang berarti penolakan, sama dengan kata raddu dan man'u yang

29
juga berarti menolak. Sedangkan perkataan "Hukumah" berasal dari kata hakama yang
berarti menghukumkan atau menetapkan hukum.

Konsep Ta'zir

Ta'zir adalah kata benda yang mempunyai sifat adhdad (besar), dan menunjukkan sifat-sifat
agung yang berkaitan dengan pengertian pelajaran (takdid) dan pukulan. Oleh karena itu,
dalam ilmu hukum, secara teknis istilah Ta'zir dipergunakan untuk menyebut tindakan yang
bersifat pelajaran atau pengajaran yang diberikan terhadap orang yang melakukan kesalahan
yang tidak diatur oleh ketentuan hukum had 19. Dapat dikatakan bahwa bentuk pidana Ta'zir ini
merupakan pengemban lebih lanjut dari gagasan pemidanaan dalam al-Qur'an dan al-Sunnah,
khususnya terhadap bentuk-bentuk delik yang tidak atau belum diatur dalam kedua sumber
hukum itu, tetapi dalam kenyataannya memerlukan pengaturan tertentu yang bersifat pidana.

Konsep Hukumah

Berbeda dengan pidana Ta'zir di atas, Hukumah hanyalah variasi dari bentuk pidana ayat,
yang menurut para ahli hukum (fiqh) berkaitan dengan delik atas jiwa atau delik atas badan
yang diancam dengan pidana diyat. Akan tetapi mengenai hal ini, belum ada ketentuan yang
pasti mengenai bentuk dan/atau kadar pidananya menurut al-Qur'an dan al-Sunnah, maka
hakim atau pejabat hukum pembentuk undang-undang, berwewenang menentukan pidananya
melalui ijtihad, dan ini dinamakan "Hukumah".

Hukumah itu diwajibkan sebagai pengganti diyat atas jiwa, dalam hal terjadi suatu kasus
pembunuhan yang diancam dengan pidana diyat, tetapi kadar ancamannya tidak ditentukan di
dalam al-Qur'an dan al-Sunnah.

D. ASAS DAN METODE PERUBAHAN HUKUM

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa konsepsi hukum islam mengandung dasar-dasar
perubahan yang inheren sifatnya. Artinya, di dalam sistem pidana Islam itu terdapat pranata
hukum yang memungkinkannya untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan kebutuhan

19
Haliman, Op.cit., hlm. 458-459.

30
menurut ruang dan waktu. Hal ini dimungkinkan karena di dalam konsepsi pidana Islam itu
terdapat konsep ta'zir yang bersifat sangat terbuka untuk pengembangan itu.

Secara fundamental, kemungkinan dilakukannya perubahan atau penyesuaian itu mempunyai


kaitan erat dengan konsep "ijtihad" (inovasi). Dengan adanya konsep ijtihad ini, maka
dimungkinkan untuk melakukan tajdid (reformasi) terhadap berbagai ketentuan hukum. Dasar
hukum mengenai kemungkinan ini, terlihat dalam hadits Nabi yang sangat terkenal yang
diriwayatkan oleh Mu'az bin Jabal mengenai sumber menentukan hukum, yaitu : al-Qur'an,
Sunnah Rasul, dan ijtihad bi-ra'yi (pemikiran yang dipertimbangkan sendiri) secara berurutan.
Secara religius, setiap ijtihad yang dilakukan apabila benar dibahas dengan ganjaran 2 (dua)
pahala, dan apabila keliru tetap diberi ganjaran yaitu 1 (satu) pahala.

Dengan dimungkinkannya ijtihad bi-ra'yi yang merupakan prinsip perubahan itu, kemungkinan
dikembangkan pula metodologi yang bersifat khas dalam hukum Islam, yang kemungkinan
dilakukannya penyesuaian hukum secara terus-menerus sesuai dengan perubahan menurut
ruang dan waktu. Metodologi yang dikembangkan dalam rangka ijtihad bi-ra'yi (pengembangan
berdasarkan pemikiran bebas dan bertanggung jawab) itu antara lain adalah qiyas (analogi),
istihsan (metode memilih suatu dalil mengenai suatu kasus dengan mengesampingkan dalil
yang lain), istishlah atau mashalih al-mursalah ( kepentingan umum atau kemaslahatan umat
manusia), urf atau adat istiadat20, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
metode-metode ini, baik secara sendiri-sendiri maupun secara totalitas menggambarkan
adanya dinamika dalam penafsiran hukum Islam yang memungkinkannya menyesuaikan diri
dengan perubahan masyarakat.

20
Lihat Abdul Wahhab Khallaf,pp.cit

31
BAB IV

RELEVANSI BENTUK PIDANA ISLAM

A. PENGERTIAN UMUM RELEVANSI BENTUK PIDANA

Yang menjadi persoalan selanjutnya adalah, adakah relevansi dan sejauh mana relevansi tradisi
pidana Islam itu dengan usaha pembaharuan terhadap ketentuan mengenai bentuk-bentuk
pidana di Indonesia dewasa ini. Dalam bab ll, telah diuraikan adanya perkembangan kebutuhan
untuk mengadakan usaha-usaha pembaharuan terhadap ketentuan hukum pidana di Indonesia,
khususnya mengenai pemidanaan. Kebutuhan itu tidak hanya menyangkut ketentuan-
ketentuan yang bersifat teknis fraktis, tetapi juga menyangkut aspek-aspek yang bersifat
filosofis dan teoritis.

Dalam hubungan inilah, deskripsi mengenai bentuk-bentuk pidana dalam tradisi Islam
sebagaimana diuraikan dalam Bab III dapat dijadikan bahan perbandingan untuk menilai sejauh
mana kebutuhan akan pembaharuan itu dapat dipenuhi melalui sumbangan sistem hukum
Islam.

B. TEORI MODREN MENGENAI PEMIDANAAN

1. Tujuan, Makna, Dan Hakikat Pemidanaan

32
Seperti telah disebutkan di atas, relavan tidaknya tradisi pidana Islam itu untuk dijadikan bahan
bagi perumusan bentuk-bentuk pidana dalam rangka KUHP Baru, menyangkut kriteria-kriteria
hukum, sosiologi, sejarah, dan filsafat. Karena, setiap hukum yang itu selalu menuntut
persyaratan keberlakuan Juridis, sosiologis, filosofis, dan bahan historis 21.

Selain itu, dalam rangka studi ilmu hukum pidana, relevan tidaknya bentuk-bentuk pidana Islam
itu dalam rangka KUHP baru, perlu juga dilihat dari kacamata teori peminadaan modren yang
dewasa ini sudah sangat berkembang. Dalam dunia ilmu hukum dewasa ini, dapat dikatakan
bahwa pembahasan mengenai peminadaan itu cenderung berkembang dari prinsip
"menghukum" yang berorientasi ke belakang ke arah gagasan "membina" yang lebih
berorientasi ke depan. Dari pandangan yang melihat tersangka, terdakwa, atau terpidana
sebagai objek yang "berdosa" dan "jahat" ke arah pandangan yang lebih melihat tersangka,
terdakwa, atau terpidana itu sebagai subjek, sebagai manusia biasa sebagaimana umumnya
para polisi, jaksa, hakim, dan penegak hukum lainnya. Di dalam perbincangan teoritis mengenai
pemidanaan itu sendiri, menurut Herbert L.Packer 22, terlibat dua pandangan konseptual yang
masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda antara satu sama lain. Yang pertama
adalah pandangan retributif (Retributive view) yang mengandaikan "pidana" sebagai ganjaran
negatif terhadap setiap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat; yang
kedua adalah pandangan utilitarian (Utilitarian View) yang lebih melihat pidana itu dari segi
manfaat atau kegunaannya.

Pada umumnya, pandangan kedua inilah yang justru dianggap lebih ideal dalam rangka
penerapan gagasan peminadaan. Pandangan yang bersifat preventif dan membina ini dewasa
dianggap lebih modren, dan karena itu banyak mempengaruhi kebijaksanaan politik kriminal di
berbagai negara di dunia.

a. Pandangan Retribusi (pengimbalan atau pembalasan):

21
Artinya, secara Juridis hukum itu harus sah, tetapi keberlakuannya didukung oleh masyarakat, dan sesuai dengan nilai-nilai
dan cita-cita hidup masyarakat yang bersangkutan, serta memiliki relevansi dengan tradisi hukum masyarakat itu sendiri, lihat
juga Soerjono Soekanto, masalah kedudukan dan peranan hukum adat, Jakarta: Academica 1979,hlm . 5-6

22
Ibid.

33
Pandangan yang bersifat retributif ini dianggap sebagai pandangan yang paling klasik
mengenai konsepsi pemidanaan. Dalam pandangan ini, diandaikan bahwa setiap individu
manusia itu bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Setiap perbuatan dengan
sendirinya mengandung konsekuensi untuk mendapatkan respons positif atau negatif. Jika
perbuatan itu bersifat sosial, maka ganjaran yang diperoleh pelakunya positif, seperti
berupa penghargaan atau pujian dan sebagainya. Tetapi jika perbuatannya yang antisosial
itu, maka ganjarannya bersifat negatif. Karena itu, pandangan retributif ini, menurut
Herbert L. Packer "can Take either of two main versions" sebagai berikut:
a. Teori pembalasan
b. Teori penderitaan dan penebusan/penghapusan dosa
Pandangan utilitarian prevention (derterrence):
b. Pandangan Behavioral Prevention
Pandangan utilitarian ini dapat dianggap sebagai reaksi terhadap pandangan klasik yang
bersifat retributif. Pandangan kedua ini melihat punishment sebagai cara untuk mencegah
atau mengurangi kejahatan. Pandangan ini disebut dinamakan utilitarian prevention, yang
oleh pecker disebut juga "deterrence" yang juga berarti pencegahan. Karena itu, kedua kata
ini sering di kacaukan penggunaannya.
Sebenarnya, sifat pencegahan dalam pandangan ini agak berbeda dari pencegahan yang
dimaksud dalam pandangan kaum behaviorist. Pencegahan dalam pandangan utilitarian ini
lebih dikaitkan dengan tindakan-tindakan yang bersifat menakuti seperti dengan ancaman
sehingga orang menjadi takut untuk melakukan pelanggaran. Karena itu teori deterrence ini
dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu23:
1. Deterrence theory yang efek pencegahan diharapkan timbul sebelum pidanaan
dilakukan.
2. Intimidation theory yang memandang bahwa pemidanaan itu merupakan sarana
untuk mengintimidasi mental si terpidana
c. Pandangan Behavioral Prevention
Seperti halnya dengan pandangan utilitarian klasik yang sudah dijelaskan di atas, dewasa ini
juga berkembang variasi lain dari pandangan yang bersifat preventif (pencegahan)
23
Packer. Ibid

34
mengenai pemidaan itu, yang oleh packer dinamakan "Paham Behavioral" sebagai paham
yang mengambil posisi yang sama sekali bertentangan secara diametral dengan pandangan
retributif. Akan tetapi, berbeda dengan dari pandangan utilitarian yang cendrung idealistis
melihat tujuan pemidanaan, maka pandangan Behavioral ini cenderung bertitik tolak dari
tingkah laku pribadi si terpidana itu sendiri. Di antara teori-teori yang dikembangkan dalam
rangka pandangan Behavioral Prevention atau yang dapat dikategorikan sebagai teori yang
berasal (derivasi) dari pandangan ini adalah:
1. Incapacitation theory. Denga. Dijatuhinya hukum pidana maka yang bersangkutan
tidak lagi berada dalam kapasitas untuk melakukan kejahatan.
2. Rehabilitation theory. Di sini, pemidanaan dilakukan untuk memudahkan
dilakukannya pembinaan.
2. Perspektif Terpidana dan Perspektif Korban
Perkemabangan pemikiran seperti yang diutarakan di atas, pada pokoknya, merupakan
gambaran kecendrungan umum perkembangan rasa kemanusiaan masyarakat dunia untuk
semakin memperhatikan kepentingan terpidana. Terpidana yang dalam kurun perkembangan
sebelumnya dianggap cenderung diperlakukan sebagai objek dan dilihat melulu dengan
"kacamata" negatif, mulai diperlakukan dengan cara yang lebih manusiawi dan lebih positif.
Orang-orang yang terpidana atau nara-pidana, tidak lagi dilihat semata-mata sebagai
penjahat, tetapi mulai dilihat sebagai manusia yang perlu diberi kesempatan untuk
mengembangkan diri dan memiliki serta mengusahakan masa depan yang lebih baik.
Demikian pula dengan tersangka dan terdakwa, juga diperlakukan secara positif sedemikian
rupa sehingga sikap-sikap apriori yang dapat mempengaruhi penerapan asas praduga tak
bersalah (presumption of innocence), benar-benar dapat dihindarkan dalam praktek.
Pihak-pihak yang dianggap terlibat dalam proses pradilan pidana hanya terdiri dari unsur
pelanggar dan kekuasaan umum (negara) itu saja. Para pelanggar (penjahat) itu sendiri disebut
sebagai tersangka, terdakwa, tertuduh, atau terpidana tergantung kepada tahap penyelesaian
yang dilakukan dalam proses peradilan. Sementara itu, kekuasaan umum (negara), dalam
proses peradilan itu diwakili oleh pejabat-pejabat seperti polisi, jaksa, hakim, dan petugas
pemasyarakatan.

35
Karena itu, nampak seolah-olah ilmu hukum (hukum pidana) agak mengabaikan pembahasan
mengenai korban. Apalagi, dalam studi hukum pidana itu sendiri dikenal pula adanya
pengertian kejahatan tanpa korban (crime without victim) 24 sebagai sala bentuk kejahatan yang
akhir-akhir ini sering dikembangkan dalam berbagai pembahasan. Kenyataan ini, apabila
dihubungkan dengan kecenderungan untuk semakin memperhatikan kepentingan tersangka,
terdakwa, atau terpidana, terasa agak "ironis" jika kepentingan korban kejahatan itu sendiri
ternyata tidak mendapatkan perhatian yang sepadan. Oleh karena itu, perspektif mengenai
dalam studi hukum pidana juga harus dikembangkan secara bersamaan. Pendekatan baru ke
arah perhatian kepada korban itu dalam studi ilmu hukum dewasa ini juga sudah berkembang.
Karena pengaruh aliran kriminologis dalam studi hukum, para sarjana hukum juga mulai
memberikan perhatian dan mengembangkan gagasan mengenai perspektif korban.

C. RELEVANSI JURIDIS DAN FILOSOFIS

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa dari segi perkembangan teori dan pemikiran
mengenai pidana dan pemidanaan, tradisi pidana Islam itu, masih memilki relevansi yang kuat
untuk dikembangkan pada zaman modren sekarang ini. Namun, untuk situasi di Indonesia
relevansi tradisi pidana fiqh (Islam) masih perlu dilihat lebih jauh, masih perlu ditelaah lebih
jauh kesesuaiannya dengan alam pikiran hukum dan filsafat hidup bangsa Indonesia. Seperti
dimaklumi, tolak-ukur praktis mengenai filsafat hukum nasional Indonesia tidak lain adalah
Pancasila, yang didalamnya terkandung cita-cita hukum bangsa 25. Dengan demikian sistem
hukum berdasarkan Pancasila itu, pertama-tama adalah sistem hukum yang religius. Seperti
halnya negara Indonesia yang sering dikatakan sebagai bukan negara sekuler dan bukan pula
negara agama dalam arti negara dari suatu agama tertentu. Maka sistem hukumnya juga bukan
sistem hukum suatu agama tertentu, tetapi juga bukan sistem hukum yang mengabaikan agama
atau sekuler.

Makana dari filosofis dari pernyataan ini adalah bahwa cita-cita ke-Tuhanan yang Maha Esa
dalam Pancasila itu, harus tercermin secara jelas dalam sistem hukum di Indonesia, termasuk

24
Sudarto, hukum dan hukum pidana, Bandung : Alumni, 1986, hlm. 158-159.

25
Ibid.

36
juga sub-sistem hukum pidananya26. Prinsip ke-Tuhanan yang Maha Esa itu harus dipahami
sebagai sila pertama dan sekaligus utama dan karena itu, kedudukan sangat penting.

D. RELEVANSI SOSIOLOGIS

Secara sosiologis, tradisi hukum Islam mengenai bentuk-bentuk pidana itu juga mempunyai
relevansi yang kuat. Denngan jumlah pemeluk sebesar 87,10 dari 185 juta jiwa, Indonesia
tercatat sebagai negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Karena itu, adalah
beralasan jika pengaruh Islam itu sendiri di Indonesia juga sangat besar Bahkan seperti
dikatakan oleh Paul Wolfowitz-duta besar Amerika serikat di jakarta-di dalam rangka Studium
General di IKIP Muhammadiyah Jakarta Oktober 1987 yang lalu, adalah mustahil orang dapat
mengenal Indonesia tanpa memahami Islam di Indonesia. Akan tetapi, ada-tidaknya atau besar-
tidaknya pengaruh Islam itu di Indonesia, tentu saja belumlah dapat dipergunakan sebagai
alasan yang memadai untuk mengatakan bahwa tradisi bentuk pidana Islam itu relevan untuk
situasi sosio-kultural masyarakat Indonesia. Ada tidak relevansi sosiologis itu harus dilihat dari
sejauh mana masyarakat menilai mengenai kemungkinan berlakunya unsur-unsur tradisi pidana
islam di Indonesia.

Sehubungan dengan itu, seperti disebutkan dalam pendahuluan, dalam rangka pendekatan
sosiologis ini, perlu dicatat adanya dua teori yang biasa dikenal dengan teori pengakuan
(recognition theory atau machts-theorie). Kedua teori ini, sebagaimana dipergunakan oleh
Soerjono Soekanto dalam menilai keberlakuan hukum ada di Indonesia, juga akan dipergunakan
di sini dalam rangka menilai sejauh mana norma hukum pidana Islam itu berlaku atau dapat
diberlakukan atau tidak dalam masyarakat Indonesia.

1. Pengakuan Masyarakat dan Faksitas Hukum


Dalam pandangan pertama, yaitu teori pengakuan masyarakat, seperti disebut di atas,
berlakunya suatu norma hukum tidak ditentukan oleh kekuatan sanksinya dan bukan pula
karena legitimasinya kekuasaan yang mendukung atau yang menegakkannya. Norma hukum itu
dikatakan berlaku hanya apabila norma itu diterima dan diakui oleh warga masyarakat yang

26
Jimly Asshiddiqie"cita ketuhanan dalam hukum di Indonesia", majalah hukum dan pembangunan, fakultas hukum UI, Jakarta,
1984.

37
diaturnya. Bahkan secara ekstrim, menurut pandangan ini, suatu ketentuan hukum baru boleh
dianggap sebagai hukum apabila ia diakui sebagai sah oleh masyarakatnya sendiri. Ciri khas dari
norma hukum adalah suatu pelanggaran tidak akan dibiarkan begitu saja.
Paham pengakuan masyarakat berkembang dalam beberapa variasi mengenai efektivitas dan
validitas suatu norma hukum. Menurut Snouck, secara empiris, hukum Islam sebenarnya tidak
berlaku efektif di Indonesia. Yang berlaku secara efektif dalam masyarakat Nusantara adalah
hukum adat lokal masing-masing lingkungan masyarakat adat. Kalaupun ada unsur-unsur
hukum Islam yang diberlakukan, hal itu bukan disebabkan karena hukum Islam itu sendiri.
Unsur-unsur hukum Islam itu berlaku karena ia memang secara efektif sudah dianggap sebagai
bagian dari hukum adat setempat. Apabila jalan pikiran yang mendasarkan diri kepada
pandangan teori pengakuan masyarakat b(recognition theory) di atas diikuti, maka untuk
menilai sejauh mana suatu norma hukum dari tradisi pidana Islam berlaku, dan karena itu
relevan untuk dikembangkan dalam rangka pembentukan hukum pidana nasional, harus
diadakan penelitian sejauh mana unsur-unsur bentuk pidana Islam itu diterima sebagai bagian
dari pandangan hukum masyarakat nasional.
Dari fakta-fakta historis mengenai berlakunya hukum Islam, di tengah-tengah masyarakat
pribumi Indonesia pada masa lalu itu, dapat disimpulkan bahwa tidak ada kesulitan bagi tradisi
hukum Islam untuk berlaku dalam situasi masyarakat Indonesia.
2. Teori Kekuasaan atau Kekuatan Hukum
Selain dari pandangan yang didasarkan pada teori pengakuan masyarakat di atas, relevansi
tradisi hukum pidana Islam itu dapat pula dilihat dari perspektif legalitas kekuasaan hukum
(mach-theori). Menurut teori ini, Berlakunya suatu norma hukum didasarkan pada kekuatan
yang memberlakukan norma hukum itu sendiri. Sebenarnya, pandangan teoritis yang
menganggap pentingnya unsur faktisittas dalam melihat berlakunya tidak suatu norma hukum
itu, justru muncul sebagai reaksi terhadap pandangan yang melihat hukum sebagai perintah
yang cendrung mutlak dan kaku. Karena itu seperti dikatakan misalnya oleh Franz Magnis
Suseno, berlaku tidaknya norma hukum itu bukanlah karena ia memang nyatanya ditaati dan
berlaku dalam masyarakat27. Namun demikian kesimpulan yang demikian, menimbulkan kesan
bahwa norma hukum itu bersifat sangat tergantung kepada penerimaan bebas dari masyarakat
27
Magnis, Ibid

38
yang diaturnya. Dalam praktek, apakah mungkin hal ini memang demikian adaya? Persepsi
masyarakat sendiri menurut Soerjono Soekanto,sangat beragam mengenai arti dari hukum itu
sendiri.
Menurut logika teori Kekuasaan ini, berlaku tidaknya atau berpengaruh tidaknya tradisi hukum
pidana Islam dalam situasi Indonesia dewasa ini sehingga dapat dikatakan relevan untuk
dijadikan bahan bagi usaha pembentukan hukum pidana nasional, harus dilihat dari segi
kekuatan moral dan politik dari hukum Islam itu sendiri.

E. BEBERAPA PILIHAN BENTUK PIDANA

Dari uraian panjang lebar mengenai relevansi bentuk-bentuk pidana di atas, akhirnya perlu
dikemukakan beberapa pilihan bentuk pidana yang sekiranya relevan untuk dijadikan bahan
dalam rangka pembaharuan hukum pidana di Indonesia.

1. Pengelompokan Bentuk Pidana


Dari segi yang pertama, yaitu teknik pengelompokan bentuk pidana, sistem Pidana Islam
membedakan bentuk-bentuk pidana qishash dan diyat di satu pihak, dan Pidana hadd dan
ta'zir di pihak yang lain. Pengelompokan bentuk pidana ini dibedakan atas dasar bentuk
atau jenis kejahatan yang dilanggar. Kejahatan atas jiwa dan badan, misalnya diancam
dengan pidana qishash dan diyat (ganti rugi), sedangkan kejahatan lainnya diancam dengan
pidana had atau Ta'zir.
2. Pengkhususan Pidana Mati
Seperti disebutkan di atas, dalam konsep KUHP, bentuk pidana mati itu dianggap bersifat
khusus. Pengkhususan ini, apabila diperhatikan, bersifat total dan menyeluruh. Artinya
konsep pidana mati itu secara total diusahakan sedemikian rupa sehingga ia tidak mudah
diterapkan dalam setiap kasus kejahatan yang diancam dengan pidana mati. Hal ini
dilakukan karena pertimbangan bahwa dewasa ini pidana mati dianggap tidak lagi mampu
memenuhi rasa keadilan masyarakat modern karena menyerahkan ketentuan mengenai
kehidupan individu manusia ke tangan seorang hakim.

39
3. Pidana Diyat Ganti Rugi
Perhatian terhdap kepentingan korban dalam perancangan KUHP nasional, sebenarnya, juga
sudah mulai nampak sesuai dengan perkembangan ilmu hukum itu sendiri. Hal ini dapat
dilihat, dengan dicantumkannya "pidana pengenaan kewajiban ganti rugi" terhadap pelaku
tindak pidana untuk kepentingan korban atau keluarganya. Akan tetapi, dalam konsep
Rancangan KUHP di atas, pidana pengenaan kewajiban ganti rugi ini diklasifikasi sebagai
pidana tambahan saja, bukan pidana pokok. sedangkan pidana mati yang ditentukan secara
khusus sehingga tidak mudah untuk dijatuhkan oleh hakim, betapapun adalah pidana pokok.
4. Pidana Fisik atau Anggota Badan
Pidana atas aggota fisik ini di dalam tradisi Islam dilaksanakan melalui beberapa bentuk, yaitu
potong tangan atau kaki, potong tangan dan kaki, pidana cambuk, pidana pengajaran (Ta'zir)
dengan pemukulan tertentu, dan bahkan pidana rajam yang merupakan pidana kumulatif
antara pidana mati dan pidana pelemparan batu. Ke Lima bentuk pidana di atas, memang dapat
dipersoalkan relevansinya. Karena, efektivitasnya sebagai pidana yang mengandung maksud-
maksud prevensi sulit dibuktikan.
5. Pidana Atas Kemerdekaan
Khusus mengenai pidana atas kemerdekaan seperti pidana penjara, pidana kurungan, pidana
tutupan, atau yang semacamnya, sejauh menyangkut tradisi Islam, tidak diperoleh keterangan
yang melarang penerapannya. Didalam prakteknya, ada tidaknya lembaga kepenjaraan itu
dalam tradisi hukum Islam tidak ditentukan secara normatif.
6. Pidana Pengenaan Kewajiban Agama
Perumusan bentuk pidana pengenaan kewajiban agama secara tersendiri, sebenarnya didorong
oleh semangat untuk menempatkan agama dalam posisi yang penting dalam hukum pidana.
Akan tetapi, semangat keagamaan ini, hendaknya tidak dilihat secara dikotomis sehingga
mengharuskan pidana agama berdiri sendiri. Semangat keagamaan itu harus diterjemahkan
dalam kenyataan bahwa sumber-sumber tradisi pidana agama, dalam hal ini tradisi Islam, dapat
dijadikan sumber yang penting dalam rangka perumusan ketentuan hukum pidana, baik dalam
rangka menentukan perbuatan apa yang harus diancam dengan pidana maupun dalam
menentukan bentuk pidananya itu sendiri.

40
7. Implikasi Gagasan Pidana Ta'zir
Seperti sudah diterangkan terdahulu, pengertian pertama mengenai pidana ta'zir itu dapat
dipahami sebagai pidana tambahan terhadap pidana pokok tertentu. Selain itu, dalam
pengertian kedua, pidana ta'zir itu juga dapat dilihat sebagai konsep pidana Islam yang
memungkinkan dilakukannya usaha pengembangan tradisi hukum Islam. Bentuk-bentuk
pidana yang dapat dikembangkan dalam rangka pengertian kedua dari pidana ta'zir itu
misalnya pidana penjara atau pemasyarakatan sebagai pengembangan dari pidana penjara
atau pemasyarakatan sebagai pengembangan dari pidana pembuangan, pidana kurungan,
tutupan, pembinaan b(pembimbingan), pidana peringatan (tegoran), dan pidana
perserikatan.

BAB V

RANGKUMAN AKHIR

41
Dari uraian panjang lebar dalam Bab ll,lll, dan lV mengenai bentuk-bentuk tradisi pidana Islam
dan relevansinya bagi usaha pembaharuan hukum pidana di Indonesia, sekurang-kurangnya
kita dapat mengambil kesimpulan mengenai tiga hal sebagai berikut. Pertama, mengenai
gambaran politik hukum dan pembaharuan hukum pidana dalam hubungannya dengan agama
pada umumnya maupun bentuk pidana agama pada khususnya. Kedua, menyangkut gambaran
kritis mengenai bentuk-bentuk pidana dalam tradisi Islam. Ketiga, mengenai relevansi bentuk
pidana dari tradisi Islam dalam rangka usaha pembentukan KUHP Baru.

A. POLITIK HUKUM DAN PEMBAHARUAN BENTUK PIDANA


Dari segi yang pertama, yaitu gambaran umum mengenai politik hukum nasional dalam
hubungannya dengan agama, dapat dikemukakan dua hal, sebagai berikut :
1. Secara fundamental, agama dan prinsip ketuhanan yang Maha Esa menempati
kedudukan yang dominan dalam sistem hukum nasional sebagai keseluruhan
2. Kedudukan yang diminan dari agama dan prinsip ketuhanan yang Maha Esa itu, juga
diakui pentingnya dalam proses peradilan pidana.
3. Pentingnya arti agama itu, secara umum, juga menjadi pertimbangan utama dalam
usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia, khususnya dalam rangka pembentukan
KUHP (kitab undang-undang Hukum Pidana).
4. Bahkan, secara khusus, usaha untuk mengembangkan gagasan keagamaan dalam
hukum pidana itu tidak hanya dalam rangka menentukan perbuatan apa yang
seharusnya dianggap jahat dan karena itu harus di pidana.
5. Namun demikian, kemauan politik yang besar dari pihak pemerintah untuk menjadikan
tradisi hukum agama, khususnya tradisi pidana Islam sebagai sumber perumusan
hukum nasional, belum didukung oleh informasi yang memadai mengenai tradisi
hukum agama itu sendiri.
6. Kesimpulan di atas, semakin memperkuat keperluan untuk melakukan studi yang relatif
mendalam mengenai bentuk-bentuk pidana dalam tradisi Islam itu, khususnya dalam
rangka usaha pembentukan KUHP nasional.
B. DESKRIPSI MENGENAI BENTUK-BENTUK PIDANA DALAM FIQH (ISLAM)

42
Dari segi yang kedua, Pengkajian diarahkan untuk memahami bentuk-bentuk tradisional
mengenai pidana Islam sebagaimana ditentukan dalam al-Qur-an dan al-Sunnah serta dinamika
penafsiran inovatif yang dilakukan oleh para ahli hukum, serta berbagai kumungkinan inovasi
atau pengembangan bentuk-bentuk pidana Islam itu.
C. RELEVANSI BENTUK PIDANA ISLAM DI INDONESIA
1. Menurut tinjauan pertama teori pimadanaan modren.
Dilihat dari segi pendekatan teori modren mengenai peminadaan, maka bentuk-bentuk
tradisi pidana Islam itu dapat dikatakan mempunyai relevansi untuk dijadikan bahan bagi
usaha pembentukan KUHP nasional.
2. Menurut tinjauan Juridis dan filosofis
Secara filosofis, tradisi pidana dari sumber fiqh Islam yang akrab di kalangan mayoritas
penduduk Indonesia, mempunyai landasan filosofis yang kuat untuk dijadikan sumber bagi
usaha pembaharuan hukum pidana nasional.
3. Ditinjau dari segi sosiologis
a. Dari kacamata kekuasaan
Apabila dilihat dari sudut di teori kekuasaan, maka relevansi tradisi pidana Islam itu
tergantung kepada kekuasaan politik yang mendukung sistem pidana Islam itu sendiri
b. Dari kacamata teori pengakuan
Diterapkan atau tidaknya, dan diadopsi tidaknya sistem pidana fiqh itu tergantung kepada
sejauh mana warga masyarakat mengakui dan telah menerimanya sebagai bagian dari
kehidupan mereka.
4. Relevansi metodologi
Selain itu, sebagaimana dibahas dalam bab-bab terdahulu, secara teoritis metodologi tradisi
pidana Islam itu juga sangat relevan untuk dijadikan salah satu sumber penting dalam
pengkajian dan pembaharuan hukum pidana di Indonesia.
D. Beberapa pilihan bentuk pidana

Beberapa pilihan mengenai bentuk pidana Islam yang relevan untuk dipertimbangkan dalam
rangka usaha pembentukan KUHP baru, antara lain adalah :

43
1. Pidana Mati
Bentuk pidana mati sebagai pidana pokok, dapat saja diatur tersendiri sehingga
pelaksanaannya bersifat limitatif dan merupakan alternatif terakhir.
2. Pidana Ganti Rugi
Untuk memperlihatkan keseimbangan perhatian terhadap kepentingan pelaku maupun
korban kejahatan, pidana ganti rugi dapat dirumuskan, baik sebagai pidana pokok
maupun pidana tambahan.
3. Pidana Pengenaan kewajiban Agama
Mengetahui pidana pengenaan kewajiban agama yang pernah dirumuskan dalam
konsep Rancangan KUHP, disarankan untuk tetap tidak dicantumkan dalam konsep
Rancangan "final" akan tetapi, argumentasi mengenai penghapusan bentuk pidana ini
dari konsep Rancangan KUHP hendaknya dikembangkan secara lebih mendasar
dengan.melihat pengertian-pengertian agama itu sendiri mengenai kewajiban dalam
hubungannya dengan pidana.
4. Teknik pengelompokan Bentuk Pidana
Berbeda dari teknik pengelompokan pidana dalam konsep Rancangan KUHP yag terdiri
dari pidana pokok dan pemidanaan tambahan, pengelompokan dalam tradisi Islam
dilakukan berdasarkan jenis kejahatan yang diancam oleh bentuk pidana itu sendiri.

E. Jenis-jenis Sanksi dalam konsep perancangan RUU KUHP Baru

1. Pidana Mati dalam Rancangan KUHP Nasional


Di dalam naskah Rancangan Undang-Undang tentang Kitab UndangUndang Hukum
Pidana (RKUHP) yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-
undangan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia tahun 2004, di dalam Bagian
Kedua Pidana Paragraf I Jenis Pidana Pasal 62 ayat (1) Pidana Pokok terdiri atas:
a. pidana penjara;
b. pidana tutupan;
c. pidana pengawasan;
d. pidana denda; dan

44
e. pidana kerja sosial.

Dari isi Pasal 62 ayat (1) tersebut tidak ditemukan pidana mati sebagai pidana pokok.
Hal ini tentunya sebagai sesuatu yang sangat berbeda, apabila dibandingkan dengan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang di dalam Bab II Hukuman-Hukuman
Pasal 10: Hukuman-hukuman ialah: a. hukuman-hukuman pokok:

1. hukuman mati;
2. hukuman penjara;
3. hukuman kurungan;
4. hukuman denda.

karena dengan tegas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan pidana mati
sebagai salah satu pidana pokok. Apakah karena tidak mencantumkan pidana mati di dalam
Bagian Kedua Pidana Paragraf I Jenis Pidana Pasal 62 ayat (1) pidana pokok, berarti sudah tidak
ada tempatnya lagi pidana mati di dalam RKUHP Nasional? Jawabannya adalah tidak! Karena
pidana mati ada diatur di dalam pasal tersendiri, yaitu Pasal 63.

Pasal 63

Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara
alternatif

Dengan adanya pengaturan pidana mati di dalam Pasal 63, maka para penyusun RKUHP
Nasional (istilah yang dipergunakan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A.) masih
berpegang prinsip bahwa hingga sekarang atau minimal hingga RKUHP Nasional produk 2004,
pidana mati masih diperlukan sebagai bagian dari sanksi pidana yang dapat dijatuhkan oleh
hakim.

45
DAPTAR PUSTAKA

Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung : Angkasa, 1996.

46

Anda mungkin juga menyukai