Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Dasar Psikologi

2.1.1. Definisi Psikologi

Menurut (Fitrah,2014) psikologi merupakan sebuah bidang ilmu pengetahuan dan

ilmu terapan yang mempelajari perilaku dan fungsi mental manusia secara ilmiah. Dari segi

bahasa psikologi berasal dari perkataan psyche yang berarti jiwa dan perkataan logos yang

berarti ilmu pengetahuan. Dilihat dari istilah psikologi memiliki arti yang sama sehingga

psikologi dapat di artikan sebagai ilmu jiwa.

Menurut (Prawira, 2012) dalam mitologi yunani psyche digambarkan sebagai gadis cantik

bersayap kupu-kupu yang dalam hal jiwa dapat diartikan sebagai symbol keabadian. Tetapi

diketahui istilah jiwa dalam bahasa indoneisa seringkali di hubungkan dengan masalah mistik,

kebatinan, dan kerohanian maka dari itu para ahli lebih suka menggunakan istilah psikologi.

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan psikologi adalah ilmu pengetahuan yang

mempelajari perilaku manusia dan proses mental. Psikologi juga diartikan ilmu pengetahuan

yang mempelajari sifat, hakikat dan hidup jiwa manusia.

2.1.2. Psikologi Dalam Pernikahan

Psikologi dalam pernkahan merupakan masa transisi atau masa perubahan dari masa

kanak-kanak ke masa dewasa yang di awali dengan pubertas. Pada masa ini terjadi berbagai

perubahan baik dari segi fisik, sosial, maupun emosional yang di awali oleh datangnya haid

bagi perempuan dan mimpi basah pertama bagi laki-laki. Kesiapan ini bukan hanya dari segi

fisik, tetapi juga sosial dan emosional (Nika,2011). Pernikahan yang masih muda atau

pernikahan dini juga banyak menyebabkan masalah yang tidak diinginkan karena dari segi
10
11

psikologinya belum siap terutama bagi wanita. Secara fisik biologis yang normal

seorang remaja yang sudah pubertas telah mampu mendapatkan keturunan tetapi dari segi

psikologi remaja masih sangat kurang mampu menjalankan kehidupan rumah tangga.

2.1.3. Dampak Psikologi Dalam Pernikahan Dini

Dalam kehidupan rumah tangga pasti tidak luput dari permasalahan-permasalahan

yang terjadi. Salah satu penyebabnya adalah pasangan-pasangan yang belum dewasa. Faktor

ketidakdewasaan sering terlihat pada pasangan yang menikah pada usia dini. Pernikahan yang

terlalu muda atau pernikahan pada usia dini banyak menyebabkan masalah yang tidak

diharapkan, hal ini diakibatkan karena psikologinya belum matang seperti cemas, stress dan

depresi (Dariyono, 1999 dalam Anita, 2016). Dampak psikologi dari pernikahan dini antara

lain:

a. Kecemasan

Kecemasan adalah proses emosi yang bercampur yang terjadi ketika seseorang sedang

mengalami tekanan atau ketegangan. Gejala yang muncul pada kecemasan ada yang bersifat

fisik adapula yang bersifat psikologis. Gejala fisik yang muncul yaitu pada ujung jari terasa

dingin, pencernaan tidak teratur, berkeringat, nafsu makan berkurang, sesak nafas

(Prasetiyono, 2010).

Gejala psikologi seperti sangat takut merasakan ditimpa bahaya atau kecelakaan, hilang

kepercayaan tidak bisa memfokuskan perhatian, memiliki rasa ingin lari dari kenyataan.

Kecemasan yang terjadi pada keluarga pasangan pernikahan dini disebabkan karena takut

akan adanya bahaya yang mengancam dan persepsi menyebabkan perasaan menjadi tertekan.

Keadaan tersebut dapat menyebabkan kegelisahan yang berlebihan yang kadang membawa
12

perilaku yang menyimpang. Jadi kecemasan yang dialami keluarga yang menikah usia dini

dapat diartikan sebagai perasaan takut dan khawatir dalam menghadapi masalah-masalah

yang timbul dalam keluarga.

b. Stres

Stress psikologi adalah hubungan antara individu dengan lingkungan yang dinilai oleh

individu tersebut sebagai hal yang membebani atau melebihi kemampuan seseorang dan

membahayakan kesejahteraannya (Kartono, 2003 dalam Anita, 2016). Penyebab stress

(stressor) dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu biokologis, psikososial dan kepribadian.

a. Biokologis

Stress yang muncul karena keadaan biologis seseorang yang dipengaruhi oleh tingkah

laku. Stress biokologis terdiri dari bioritme biasanya makan, minum, obat-obatan

b. Psikososial

Stress yang muncul karena keadaan lingkungan. Stress psikososial adalah keadaan atau

peristiwa yang merupakan perubahan dalam kehidupan seseorang (anak, remaja,

dewasa) sehingga orang tersebut sengaja beradabtasi pada stressor yang muncul. Pada

umumya stressor psikologi sosial digolongkan sebagai faktor perkawinan, problem

orang tua, pekerjaan, lingkungan dan keuangan

c. Kepribadian

Stress yang muncul diakibatkan oleh kepribadian orang tersebut


13

d. Depresi

Depresi akibat pernikahan dini bisa terjadi pada kondisi kepribadian yang berbeda pada

pribadi introvert (tertutup) akan menyebabkan remaja menarik diri dari pergaulan,

remaja tersebut akan menjadi pendiam, tidak mau bergaul bahkan bisa membuat

kejiwaannya terganggu akibat depresi berat. Mayoritas orang yang telah menikah akan

menutup diri dan membatasi gerak agar aktivitasnya hanya didalam rumah. Hal ini

sering terjadi pada ibu muda yang mempunyai anak masih kecil. Ketika masih lajang,

banyak aktivitas sosial yang diikuti. Namun ketika memutuskan untuk menikah

seseorang tersebut akan merasa terpenjara dalam rumah. Hal ini yang menyebabkan

terjadinya konflik batin tersendiri bagi ibu muda tersebut. Kebutuhan aktualisasi diri

dan kebutuhan sosialnya tidak terpenuhi, sehingga sering merasa stress karena hanya

melakukan pekerjaan rumah tangga dan menjadi rutinitas sehari-hari (Chomaria, 2012)

2.1.4. Dampak Fisik Wanita Yang Menikah Dini

Pernikahan dini pada remaja pada dasarnya berdampak pada segi fisik maupun psikis.

Dalam beberapa budaya pernikahan dini bukanlah menjadi sebuah kebiasaan, namun dalam

konteks perkembangan pernikahan dini akan memberikan dampak psikologi yang besar.

Dampaknya pun ada yang negatif dan positif, untuk contoh dampak negarif misalnya remaja

yang hamil akan lebih muda menderita anemia, adanya tindakan kekerasan dalam rumah

tangga yang diakibatkan tingkat berfikir dan emosional yang belum matang, dan mengalami

kesulitan ekonomi dalam kehidupan berumah tangga. (http://kompasiana.com ) diakses

pada tanggal 05 mei 2020

Banyak dampak yang terjadi salah satunya rendahnya kualitas keluarga yang dilihat

dari ketidaksiapan secara fisik dalam menghadapi persoalan sosial atau ekonomi rumah

tangga, maupun kesiapan fisik bagi calon ibu remaja dalam mengandung dan melahirkan
14

bayinya (Novianty, 2013). Adapun dampak fisik yang dapat terjadi akibat pernikahan dini

antara lain :

1. Kanker leher rahim

Perempuan yang menikah di bawah usia 20 tahun memiliki resiko terkena kanker rahim

pada usia remaja dan sel-sel leher rahim belum matang jika terpapar human papilloma

virus (HPV) pertumbuan sel akan menyimpang menjadi kanker.

2. Resiko tinggi ibu hamil

Pasangan yang menikah pada usia muda dapat berpengaruh pada tingginya angka

kematian ibu yang melahirkan, kematian bayi serta mempengaruhi rendahnya derajat

kesehatan ibu dan anak. Perempuan yang hamil dibawah usia 20 tahun berpotensi

keguguran dan sering mengalami prematuritas (lahir sebelum waktunya) dan akan

berdampak pada bayi, seperti cacat bawaan baik fisik maupun mental.

3. KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)

Secara fisik dampak dari kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan adalah

mengalami skit fisik, tekanan mental, menurunya rasa percaya diri dan harga diri,

mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan kepada suami yang sudah

menyiksanya, mengalami stress pascatrauma, mengalami depresi dan memiliki

keinginan untuk mengakhiri hidup (Rosyidah, 2019)


15

2.1.5. Aspek Psikologis

Pernikahan dini yang dilakukan oleh perempuan yang berada pada proses

perkembangan remaja, maka aspek-aspek psikologi pun dapat di pengaruhi dari tiga tugas

perkembangan remaja, antara lain :

1) Perkembangan kognitif. Pada remaja awal, perkembangan otak yang belum matang

dapat membuat perasaan atau emosi mengalahkan akal sehat (Papalia dkk, 2009 dalam

Cahyani, 2015)

2) Perkembangan emosi. Casmini (2002) mengungkapkan tentang emosionalitas laki-laki

dan perempuan, bahwa usia remaja merupakan usia kelabilan pada emoinya yang

terkadang berakibat kepda keputusan untuk menikah dengan tergesa-gesa tanpa melalui

pertimbangan yang matang. Remaja selalu memikirkan sesuatu yang enak-enak dan

menyenangkan serta terkadang tidak realitis.

3) Perkembangan sosial. Sifat-sifat keremajaan ini seperti emosi yang tidak stabil, belum

mempunyai kemampuan yang matang untuk menyelesaikan konflik-konflik yang

dihadapi, serta belum mempunyai pemikiran yang matang tentang masa depan yang

baik. Hal ini akan sangat mempengaruhi perkembangan psikososial anak dalam

kemampuan konflik (Yulianti, 2010 dalam Cahyani, 2015).

2.2. Konsep Dasar Pernikahan

2.2.1. Definisi Pernikahan

Menurut Undang-Undang Pernikahan Pasal 1 No 1 tahun1974 menyatakan bahwa

pernikahan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami
16

istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa. Sigelman (2003:37) mendefinisikan pernikahan sebagai sebuah hubungan

antara dua orang yang berbeda jenis kelamin dan dikenal dengan suami istri. Dalam

hubungan tersebut terdapat peran serta tanggung jawab dari suami dan istri yang di

dalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang, pemenuhan

seksual, dan menjadi orang tua.

Pernikahan merupakan suatu wujud nyata dari kehidupan manusia dan didasarkan

atas ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku. Disamping

itu juga pernikahan ialah untuk mewujudkan kelangsungan generasi dan memberikan

harta bendanya yang dimiliki sepenuhnya diwariskan kepada anak-anaknya. Menurut

Dariyo (2003) menikah merupakan hubungan yang bersifat suci atau sakral antara

pasangan dari seorang pria dan seorang wanita yang telah menginjak atau dianggap telah

memiliki umur cukup dewasa dan hubungan tersebut telah di akui secara sah dalam

hukum dan secara agama. Menurutnya, kesiapan mental untuk menikah mengandung

pengertian kondisi psikologis emosional untuk siap menanggung berbagai resiko yang

timbul selama hidup dalam pernikahan, misalnya pembiayaan ekonomi keluarga,

memelihara dan mendidik anak-anak, dan membiayai kesehatan keluarga.

Pernikahan yang ideal untuk perempuan adalah 21–25 tahun sementara laki-laki 25–

28 tahun. Karena di usia itu organ reproduksi perempuan secara psikologis sudah

berkembang dengan baik dan kuat serta siap untuk melahirkan keturunan secara fisik

pun mulai matang. Sementara laki-laki pada usia itu kondisi psikis dan fisiknya sangat

kuat, hingga mampu menopang kehidupan keluarga untuk melindungi baik secara psikis

emosional, ekonomi dan sosial. Melakukan pernikahan tanpa kesiapan dan pertimbangan
17

yang matang dari satu sisi dapat mengindikasikan sikap tidak affresiatif terhadap makna

nikah dan bahkan lebih jauh bisa merupakan pelecehan terhadap kesakralan sebuah

pernikahan. Sebagian masyarakat yang melangsungkan perkawinan usia muda ini

dipengaruhi karena adanya beberapa faktor-faktor yang mendorong mereka untuk

melangsungkan perkawinan usia muda atau di bawah umur (Mohammad, 2015).

Teori Benokraitis dalam Mohammad (2015) yang menyatakan bahwa bertambahnya

usia seseorang menyebabkan emosinya akan semakin terkontrol dan matang, sehingga

diharapkan dengan bertambahnya usia seseorang dapat mengatasi perubahan normatif

yang terjadi dalam kehidupan diantaranya adalah adanya perubahan peran sebagai orang

tua. Semakin muda usia ibu maka semakin tinggi resiko terjadinya gangguan karena tidak

bisa menerima perubahan peran sebagai orang tua. Pada fase dependen-mandiri,

kemampuan ibu untuk menguasi tugas-tugas sebagai orang tua merupakan hal yang

penting. Bila ibu sulit menyesuaikan diri, secara psikologis ibu akan merasakan perasaan

mudah tersinggung, jenuh, menyesal, kecewa, menarik diri, menangis, dan kehilangan

perhatian terhadap sekeliling.

2.2.2. Batasan Usia Pernikahan

Di dalam Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab 2 pasal 7 ayat 1

yaitu: Batas pernikahan hanya diijinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai umur 19

tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur diatas 16 tahun. Selanjutnya dalam

Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah Bab IV pasal 8

yaitu: Apabila seorang calon sumi belum mencapai umur 19 tahun dan seorang calon

isteri belum mencapai umur 16 tahun, harus mendapat dispensasi dari pengadilan. Pasal-

pasal tersebut diatas sangat jelas sekali hampir tidak ada alternatif penafsiran, bahwa usia
18

yang diperbolehkan menikah di Indonesia untuk laki-laki 19 tahun dan untuk wanita 16

tahun. Namun itu saja belum cukup, dalam tataran implementasinya masih ada syarat yang

harus ditempuh oleh calon pengantin, yakni jika calon suami dan calon istri belum

genap berusia 21 tahun maka harus ada ijin dari orang tua atau wali nikah, hal itu sesuai

dengan Peraturan Menteri Agama No.11 tahun 2007 tentang Pencatatan nikah Bab IV

pasal 7 yaitu: Apabila seorang calon mempelai belum mencapai umur 21 tahun, harus

mendapat ijin tertulis dari kedua orangtua. Ijin ini sifatnya wajib, karena usia itu

dipandang masih memerlukan bimbingan dan pengawasan orang tua atau wali. Jadi

tetap batasan usia pernikahan adalah, minimal usia 19 tahun untuk laki-laki, dan 16

tahun untuk perempuan. Apa bila usia belum mencapai persyaratan (usia 19 – 16 tahun),

makaharus mendapat dispensasi dari pengadilan dan tetap didampingi oleh kedua orang

tua (Alga 2012)

2.2.3. Rukun dan Syarat Pernikahan

Dalam sebuah pernikahan terdapat rukun dan syarat yang tidak boleh tertinggal hal

ini juga merupakan suatu perbuatan hukum terutama yang menyangkut dengan sah atau

tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Tetapi rukun dan syarat mempunyai

pengertian yang berbeda, rukun adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan

merupakan bagian atau unsur yang mewujudkan sedangkan syarat adalah sesuatu yang

berada diluarnya dan bukan merupakan unsur dari pernikahan tersebut (Syafiruddin,

2009).

a. Rukun Nikah

Rukun nikah adalah sebagai berikut:


19

1) Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk

menikah; 2) Adanya ijab, yaitu kalimat yang diucapkan oleh wali atau yang

menggantikan posisi wali; 3) Adanya qabul, yaitu kalimat yang diucapkan oleh suami

atau yang mewakilinya; 4) Wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu

menikah atau orang yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki; dan 5) Dua

orang saksi, adalah orang yang menyaksikan sah atau tidaknya suatu pernikahan.

b. Syarat Nikah

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang pernikahan tercantum syarat

pernikahan, yaitu :

1) Pernikahan harus dilakukan menurut hukum agama; 2) Pernikahan harus dicatat

menurut peraturan perundang-undangan; 3) Pernikahan harus didasarkan atas

persetujuan kedua calon mempelai; dan 4) Untuk melangsungkan pernikahan seseorang

yang belum mencapai usia 21 tahun harus mendapat izin dari orangtua.

2.2.4. Fungsi Pernikahan

Menurut Soewondo (2001:154), dalam sebuah pernikahan perlu adanya fungsi-fungsi

yang harus dijalankan dan bila fungsi-fungsi tersebut tidak berjalan atau tidak terpenuhi

maka tidak ada perasaan puas dan bahagia pada pasangan. Menurut Duvall dan Miller

(1986:21), setidaknya terdapat enam fungsi penting dalam pernikahan antara lain :

1) Menumbuhkan dan memelihara cinta serta kasih sayang. Pernikahan memberikan

cinta dan kasih sayang antara suami dan isteri, orangtua dan anak, dan antar anggota

keluarga lainnya. Idealnya pernikahan dapat memberikan kasih sayang kedua orangtua

kepada anaknya sehingga berkontribusi terhadap perkembangan anak


20

2) Menyediakan rasa aman dan penerimaan. Mayoritas orang mencari rasa aman dan

penerimaan, serta saling melengkapi bila melakukan kesalahan sehingga dapat belajar

darinya dan dapat menerima kekurangan pasangannya

3) Memberikan kepuasan dan tujuan. Berbagai tekanan yang terdapat pada dunia kerja

terkadang menghasilkan ketidakpuasan. Ketidakpuasan tersebut dapat diatasi dengan

pernikahan melalui kegiatan yang dilakukan bersama-sama anggota keluarga. Dengan

pernikahan seseorang juga dipaksa untuk memiliki tujuan dalam hidupnya

4) Menjamin kebersamaan secara terus-menerus. Melalui pernikahan rasa kebersamaan

diharapkan selalu didapatkan oleh para anggota keluarga

5) Menyediakan status sosial dan kesempatan sosialisasi. Sebuah keluarga yang terikat

oleh pernikahan memberikan status social pada anggotanya. Anak yang baru lahir

secara otomatis mendapatkan status social sebagai seorang anak yang berasal dari

kedua orang tuanya

6) Memberikan pengawasan dan pembelajaran tentang kebenaran. Dalam pernikahan,

individu mempelajari mengenai peraturan-peraturan, hak, kewajiban serta tanggung

jawab. Pada pelaksanaannya individu tersebut akan mendapatkan pengawasan dari

aturan-aturan tersebut. Individu dalam pernikahan juga mendapatkan pendidikan

moral mengenai hal yang benar atau salah.

2.2.5. Perkembangan Remaja Saat Menikah

Remaja yang menikah baik itu remaja putra maupun remaja putri akan mengalami

masa remaja yang diperpendek, sehingga ciri dan tugas perkembangan mereka juga ikut

diperpendek dan masuk pada masa dewasa (Monks, 2001).


21

1) Remaja yang telah menikah akan mengalami suatu periode peralihan yang cukup

signifikan. Peralihan yang terjadi adalah beralih dari masa anak-anak menuju masa

dewasa, dimana remaja harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekanak-

kanakan dan harus mempelajari pola dan sikap baru terutama dalam pernikahan.

2) Remaja yang telah menikah akan mengalami periode perubahan, yaitu meliputi

perubahan fisik, emosional, perubahan pola dan minat, perubahan nilai-nilai yang

berlaku, dan sikap ambivalen terhadap setiap perubahan.

3) Remaja yang telah menikah, mereka di haruskan masuk pada masa dewasa, tidak lagi

pada ambang masa dewasa. Masa remaja mereka menjadi di perpendek dan mereka

harus meninggalkan stereotip belasan tahun dan menjadi dewasa


22

2.3. Konsep Dasar Pernikahan Dini

2.3.1. Definisi Pernikahan Dini

Pernikahan Usia dini adalah pernikahan yang dilakukan pada usia remaja (Pohan,

2017). Pernikahan yang dilangsungkan pada usia remaja umumnya akan menimbulkan

masalah baik secara fisiologis, psikologis maupun sosial ekonomi. Pernikahan dini adalah

pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang belum cukup umur (Nurkhasanah, 2012).

Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan dengan usia yang masih muda dan

belum memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah diatur oleh undang-undang.

Pernikahan dini juga disebut sebagai pernikahan anak yang menimbulkan efek-efek

berbahaya pada anak-anak terutama pada perempuan (UNICEF, 2012). Pernikahan

sendiri memiliki tujuan memperoleh keturunan yang baik. Dengan pernikahan pada usia

yang terlalu muda sangat sedikit kesempatan memperoleh keturunan yang berkualitas.

Kedewasaan ibu juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak, karena ibu yang

telah dewasa secara psikologis akan lebih terkendali emosi maupun tindakannya, bila

dibandingkan dengan para ibu muda.

2.3.2. Faktor yang Memengaruhi Pernikahan Usia Dini

Pernikahan yang dilakukan pada usia dini bukanlah suatu permasalahan yang

jarang untuk dibicarakan, tetapi pernikahan dini merupakan permasalahan yang telah

dikaji sejak lama. Pada umumnya pernikahan yang dilakukan pada usia ini disebabkan

oleh kehamilan diluar nikah dan faktor-faktor lain yang mendukung hal tersebut. Pada

masyarakat yang tinggal di pedesaan pernikahan yang dilakukan dibawah umur sering

terjadi karena berbagai faktor. Pihak yang paling rentan sebagai korban dari pernikahan
23

dini adalah adalah pada remaja perempuan. Faktor yang yang memengaruhi pernikahan

usia dini yaitu faktor ekonomi keluarga, kehendak orang tua, kemauan anak, pendidikan,

adat dan budaya. Sedangkan menurut Hanggara (2010) faktor yang memengaruhi

pernikahan usia dini antara lain:

1) Pendidikan

Pendidikan turut menyebabkan sebagian masyarakat melakukan pernikahan dini,

karena sebagian masyarakat yang berpendidikan dasar atau menengah lebih cenderung

untuk dinikahkan oleh orang tuanya, di bandingkan dengan masyarakat yang

berpendidikan tinggi, dalam kekosongan waktu tanpa pekerjaan membuat mereka

akhirnya melakukan hal-hal yang tidak produktif, salah satunya adalah menjalin

hubungan dengan lawan jenis, yang jika diluar kontrol membuat kehamilan diluar

nikah.

2) Pengetahuan

Remaja-remaja didesa tidak dibekali dengan pengetahuan yang cukup, dan karena

akibat dari pernikahan usia muda kepada remaja adalah sebagai salah satu upaya

pencegahan perilaku pergaulan seks bebas.

3) Sosial Ekonomi

Pernikahan usia muda terjadi karena keadaan keluarga yang hidup di bawah garis

kemiskinan, untuk meringankan beban orang tuanya maka anak wanitanya dinikahkan

dengan orang-orang yang dianggap mampu. Sosial ekonomi merupakan penyebab

terjadinya pernikahan pada usia dini. Karena banyak orang tua yang beralasan
24

menikahkan anaknya karena desakan ekonomi, kehidupan orang didesa sangat

membutuhkan ekonomi keluarga, jika tidak mencukupi uang upaya untuk memenuhi

kebutuhan keluarga terhambat.

4) Budaya

Penyebab dilakukan pernikahan terlalu dini adalah karena adanya pengaruh budaya

yang berkembang di masyarakat bahwa anak perempuan itu harus segera dinikahkan

agar tidak menjadi perawan tua. Dalam budaya setempat mempercayai apabila anak

perempuannya tidak segera menikah itu akan memalukan keluarga, dengan tidak

memandang usia atau status pernikahan kebanyakan orang tua menerima lamaran

tersebut karena menganggap masa depan anak akan lebih baik dan keluarga diharapkan

bisa mengurangi beban orang tua, orang tua didesa sering kita lihat menikahkan

anaknya terlalu cepat dibandingkan anak remajanya berpacaran. Dalam masyarakat

perdesaan kebiasaan terjadi pada keluarga yang merasa malu mempunyai anak gadis

yang belum menikah diusia muda, gaya berfikir masyarakat perdesaan sangatlah

sederhana, masyarakat perdesaan lebih suka melihat sesuatu dari bentuk lahirnya saja.

2.3.2. Dampak Pernikahan Usia Dini

Masaroh (2013) secara luas menjelaskan dampak dari pernikahan usia dini antara lain:

1) Dampak Fisik atau Biologis

Secara biologis alat reproduksi remaja masih dalam proses menuju kematangan

sehinggabelum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika

sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma,
25

perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan organ reproduksinya, sampai

membahayakan jiwa anak. Menikah muda beresiko tidak siap melahirkan dan merawat

anak. Pernikahan dini juga mempunyai potensi terjadinya kekerasan oleh pasangan dan

apabila terjadi kehamilan yang tidak diinginkan.

2) Dampak Psikologis

Secara psikis, remaja juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks, sehingga

akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa remaja yang sulit

disembuhkan. Remaja akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir pada

pernikahan yang Ia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain itu, ikatan

pernikahan akan menghilangkan hak remaja untuk memperoleh pendidikan (wajib 9

tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat

dalam usia remaja. Dampak psikologis juga ditemukan, dimana pasangan muda tersebut

secara mental belum siap menghadapi masalah perubahan peran dan menghadapi

masalah rumah tangga sehingga seringkali menimbulkan penyesalan akan kehilangan

masa sekolah dan remaja. Selain itu pasangan yang melakukan pernikahan dini sangat

rentan terkena masalah karena tingkat emosi yang tidak stabil

3) Dampak Sosial

Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki

yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya

dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran &

norma apapun termasuk agama. Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki

yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.


26

4) Dampak Ekonomi

Pernikahan dini sering kali menimbulkan adanya siklus kemiskinan yang baru. Anak

remaja yang melakukan pernikahan dini sering kali belum mapan atau tidak memiliki

pekerjaan yang layak dikarenakan tingkat pendidikan mereka yang rendah. Hal tersebut

menyebabkan anak yang sudah menikah masih menjadi tanggungan keluarga. Akibatnya

orangtua memiliki beban ganda.

5) Tingginya Angka Perceraian

Pernikahan yang berujung dengan perceraian banyak juga dialami oleh pasangan yang

secara usia terbilang masih muda, dan dalam usia pernikahannya yang masih sangat muda

pula. Pernikahan pada usia dini, dimana seseorang belum siap mental maupun fisik,

sering menimbulkan masalah dikemudian hari. Bahkan tidak sedikit berakhir ditengah

jalan dan akhirnya berujung dengan perceraian dini

2.4. Perbedaan Psikologi Wanita Yang Melakukan Pernikahan Dini dan Pernikahan

Cukup Usia

Pernikahan bukan hal yang mudah untuk dilalui perlu adanya kesiapan mental dan

fisik bagi para pasangan untuk menjadi sebuah keluarga yang sakinah, mawadah dan

warohmah. Dengan adanya pernikahan maka akan terbentuk sebuah identitas keluarga

yang kuat. Namun pada kenyataannya saat ini banyak terjadi permasalahan sosial salah

satunya yaitu pernikahan dini atau pernikahan di bawah umur. Berdasarkan teori UU No

1 tahun 1974 pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan dibawah usia 18

tahun. Menurut anjuran BKKBN memberikan batasan usia pernikahan 21 tahun untuk

wanita dan 25 tahun untuk laki-laki, berdasarkan ilmu kesehatan umur ideal yang matang
27

secara biologis dan psikologis 20-25 bagi wanita dan 25-30 bagi laki-laki. Usia tersebut

dianggap sebagai usia yang sudah matang dan bisa berfikir secara dewasa. Pada penelitian

yang dilakukan Ueeker dan Stone (dalam Hurriyah, 2008) pernikahan usia muda biasa

dilakukan oleh 16% laki-laki dan 25% perempuan sebelum berusia 23 tahun. Jumlah dari

perempuan muda berusia 15-19 yang menikah lebih besar jika dibandingkan dengan laki-

laki muda berusia 15-19 tahun. Umumnya pasangan yang menikah di saat usia masih

dibawah umur cenderung lebih buruk dalam melakukan penyesuaian pernikahan dan ini

terlihat pada tingginya tingkat perceraian pada pasangan yang menikah di saat usia remaja

(Hurlock, 1999 dalam Permata, 2014). Dibalik pernikahan dini sendiri ada persoalan

psikologi yang harus diperhatikan, yaitu mengenai psikis dan mental dari kedua pasangan

yang menikah, terutama wanita karena menikah berkaitan dengan organ reproduksi yang

matang untuk siap menjadi orangtua. Permasalahan dalam pernikahan sendiri sebenarnya

sudah ada pada tahun-tahun pertama pernikahan. Masalah tersebut meliputi masalah

yang berkaitan dengan keuangan, penyelesaian konflik dan dalam pembagian peran.

Pernikahan merupakan sebuah proses yang perlu mendapat pertimbangan yang panjang

dan matang bagi seorang perempuan. Perubahan peran dari seorang perempuan sendiri

menjadi istri yang siap mengurus rumah tangga adalah suatu tahap yang memang sangat

membutuhkan penyesuaian. Terlebih lagi bila perannya berkembang menjadi seorang

ibu, perlu adanya proses penyesuian lagi (Hurlock, 1980 dalam Muchlisah, 2012). Satoto

(2008 dalam Muchlisinah, 2012) menjelaskan lebih terperinci bahwa secara psikologi,

seseorang yang usianya tergolong dewasa akan lebih siap secara emosional untuk

menikah disbanding seseorang yang usianya jauh lebih muda. Psikologi perkembangan

dalam hal ini juga membahas mengenai perubahan individu secara bertahap seiring

usianya, yang berarti semakin dewasa maka semakin stabil dan matang mentalnya.
28

Berdasarkan hasil penelitian dari Muchlisah pada tahun 2012 terdapat perbedaan tingkat

penyesuaian penikahan antara perempuan yang menikah pada usia dini dan yang menikah

pada usia dewasa atau usia cukup. Dimana perempuan yang menikah pada usia dewasa

atau usia cukup lebih cenderung memiliki tingkat penyesuaian pernikahan yang lebih

tinggi dibandingkan dengan perempuan yang menikah usia dini.

Anda mungkin juga menyukai