Anda di halaman 1dari 5

TUGAS REVIEW ARTIKEL JURNAL

“Short-run and long-run effects of exchange rate change on trade


balance: Evidence from China and its trading partners”

Mata Kuliah: Manajemen Keuangan Internasional


Dosen: Prof. Dr. Drs. Ubud Salim, M.A.

Disusun oleh:
PRIYO PRASETYO - 206020202111008
PRIYO PRIYANTORO - 206020202111007

MAGISTER MANAJEMEN PROGRAM PASCA SARJANA


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2021
Review Journal

“Short-run and long-run effects of exchange rate change on trade


balance: Evidence from China and its trading partners”

1 Jurnal Elsevier, Japan and the World Economy 24 (2012) 266–273


2 Tahun 2012

3 Penulis Chun-Hsuan Wang a,


Chun-Hung A. Lin b,
Chih-Hai Yang c

a Ming Chuan University, Taiwan


b Tamkang University, Taiwan
c National Central University, Taiwan

4 Reviewer Priyo Prasetyo


Priyo Priyantoro

5 Tanggal 16 September 2021

6 Abstrak Sebagai salah satu negara pengekspor terbesar di dunia, China telah mengalami
surplus perdagangan dalam jumlah besar selama satu dekade terakhir. Namun,
kritik yang berkembang telah difokuskan pada manipulasi nilai tukar Yuan
Tiongkok (Renminbi/RMB) oleh pemerintah Tiongkok. Sementara China
menerapkan kebijakan reformasi nilai tukar pada Juli 2005, pertanyaan apakah
mata uangnya undervalued tetap menjadi isu yang bisa diperdebatkan. Berbeda
dari penelitian sebelumnya dengan berfokus pada mitra dagang individu,
makalah ini menguji hipotesis J-Curve jangka pendek dan efek neraca
perdagangan jangka panjang dari nilai tukar riil antara China dan delapan belas
mitra dagang utamanya menggunakan dataset panel selama 2005–2009. Kami
mengadopsi metodologi uji kointegrasi panel, OLS yang dimodifikasi
sepenuhnya untuk panel terkointegrasi heterogen (panel FMOLS) dan model
koreksi kesalahan panel (panel ECM) untuk menyelidiki pemeriksaan di atas.
Hasil empiris kami memberikan dukungan pada hipotesis inverted J-curve
antara China dan mitra dagangnya. Namun, kami menemukan bahwa apresiasi
nyata dari RMB memiliki efek jangka panjang yang menurun pada neraca
perdagangan China hanya di tiga dari delapan belas mitra dagang, sementara
itu memiliki efek jangka panjang yang meningkat di lima dari delapan belas
mitra dagang. Temuan campuran ini, oleh karena itu, mengarah pada bukti
empiris bahwa apresiasi nyata dari RMB tidak memiliki dampak jangka
panjang secara keseluruhan pada neraca perdagangan China.

7 Alur Pikir
a. Reasoning China telah merasakan pertumbuhan ekonomi yang spektakuler selama tiga
dekade terakhir sejak menerapkan kebijakan pintu terbuka pada akhir 1970-an.
Sementara Cina dianggap sebagai ekonomi besar dalam hal populasi, strategi
pengembangannya berkonsentrasi pada pertumbuhan berorientasi ekspor
(Kwan dan Kwok, 1995). Merangkul globalisasi produksi dengan memanfaatkan
keunggulan tenaga kerja murah dan instrumen kebijakan untuk menarik
investasi asing langsung (FDI), Cina menjadi apa yang disebut "Pabrik Dunia" di
pasar internasional untuk berbagai barang manufaktur. Hal ini telah
menyebabkan China mengalami surplus perdagangan dalam jumlah besar dari
mitra dagang utamanya, menyebabkan kritik luas bahwa China mungkin
dengan sengaja memanipulasi nilai tukar Yuan China (Renminbi, RMB) menjadi
undervalued secara substansial. Nilai tukar RMB dengan dolar AS menjadi
sasaran kritik dari Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa.

Depresiasi mata uang dapat memperburuk neraca perdagangan suatu negara


dalam jangka pendek, dan diperkirakan akan meningkatkan neraca
perdagangan pada periode berikutnya, yang menghasilkan apa yang disebut
fenomena kurva-J.1 Untuk mendapatkan daya saing internasional dan
meningkatkan neraca perdagangannya, China menjalankan kebijakan RMB
yang lemah seiring dengan reformasi ekonominya. RMB terdepresiasi dari 1,68
RMB per dolar AS menjadi 8,7 RMB per dolar AS pada tahun 1994, dan
kemudian berfluktuasi dalam interval kecil hingga reformasi nilai tukar pada
tahun 2005. Meskipun nilai nominal RMB tampaknya secara efektif dipatok
terhadap dolar AS pada kurs 8,28 RMB/dolar dari tahun 1997 sampai 21 Juli
2005, nilai tukar riil terus menurun, memberikan keunggulan kompetitif bagi
China dalam perdagangan dunia (Bahmani-Oskooee dan Wang, 2008).

Pesatnya pertumbuhan ekonomi China melalui perdagangan dunia dengan


lonjakan surplus perdagangan yang luar biasa telah menyebabkan
meningkatnya sengketa perdagangan dengan mitra dagang utamanya, terutama
AS. Namun, masalah pertukaran RMB tingkat tetap menjadi pusat perdebatan
yang sedang berlangsung mengenai sumber ketidakseimbangan neraca
berjalan global karena China terus mengalami peningkatan surplus
perdagangan.
b. Penelitian Penelitian terdahulu yang meneliti tentang Short-run and long-run effects of
Terdahulu exchange rate change on trade balance sebagai berikut:

1 Penelitian Brada, J.C., Kutan, A., Zhou, S., 1993. Dengan judul China’s
exchange rate and the balance of trade. Economics of Planning 26, 229–242.
Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar respons terhadap
devaluasi terjadi selama periode satu tahun, tanpa efek kurva-J.
2 Penelitian Wei, W., 1999. Dengan Judul An empirical study of the foreign
trade balance in China. Applied Economics Letters 6, 485–489. Hasil
penelitian menunjukan bahwa telah terjadi efek kurva-J di Cina, dan
devaluasi memiliki efek yang signifikan pada neraca perdagangannya.
3 Penelitian Narayan, P.K., 2006. Dengan judul Examining the relationship
between trade balance and ex- change rate: the case of China’s Trade with
the USA. Applied Economics Letters 13, 507–510. Hasil penelitian
menemukan bahwa baik dalam jangka pendek dan jangka panjang,
devaluasi riil RMB meningkatkan neraca perdagangan; akibatnya, tidak
ada bukti penyesuaian tipe kurva-J.
4 Penelitian dari Groenewold dan He (2007), Baak (2008), Xu (2008), dan
Zhang dan Sato (2008) meneliti dampak nilai tukar riil antara RMB dan
dolar AS pada perdagangan antara kedua negara dan menyimpulkan
bahwa terdapat China perlu menyesuaikan kebijakan nilai tukarnya untuk
membantu mengurangi defisit perdagangan AS yang semakin meningkat
5 Penelitian Bahmani-Oskooee dan Wang (2007, 2008), dengan judul The J-
curve: Indonesia vs. her major trading partners. Journal of Economic
Integration 24 (4), 765–777. Menemukan bahwa tidak ada bukti bahwa
perubahan nilai tukar menyebabkan defisit perdagangan meningkat dalam
jangka pendek. Namun, nilai tukar RMB-dolar riil telah memainkan peran
penting dalam jangka panjang, sehingga bertentangan dengan sebagian
besar penelitian sebelumnya yang menggunakan data perdagangan tingkat
agregat.

c. Tujuan Penelitian ini mencoba mengidentifikasi hipotesis J-Curve jangka pendek dan
Penelitian efek neraca perdagangan jangka panjang dari nilai tukar riil antara China dan
delapan belas mitra dagang utamanya menggunakan dataset panel selama
2005–2009. Perkiraan kami membantu untuk mengidentifikasi apakah sistem
ekonomi Tiongkok telah menjadi responsif terhadap perubahan nilai tukar
setelah reformasi nilai tukar, dan berkontribusi pada perdebatan saat ini
mengenai nilai tukar RMB yang kurang dievaluasi.

8 Data dan Jenis Penelitian


Metodologi Jenis penelitian ini adalah Penelitian kuantitatif
Penelitian Sampel Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah delapan belas mitra dagang utama negara
China, data menggunakan dataset panel selama 2005–2009.

Metodologi yang di gunakan adalah panel cointegration test, OLS yang


dimodifikasi sepenuhnya untuk heterogeneous cointegrated panel (panel
FMOLS) dan panel error correction model (panel ECM).
9 Hasil Penelitian Hasil penelitian ini menyelidiki fenomena kurva-J menggunakan panel dataset
dan data bilateral bulanan selama 2005:8 hingga 2009:9 antara China dan delapan
Pembahasan belas mitra dagang utamanya. Dengan menggunakan prosedur panel ECM,
hasilnya menunjukkan bahwa efek kurva J secara keseluruhan sedikit didukung.
Yang penting, karena apresiasi RMB dapat memperburuk neraca perdagangan
China, temuan ini cenderung mendukung argumen bahwa China memang
mengelola nilai tukar untuk memperlambat apresiasi RMB yang wajar.
Dengan menggunakan prosedur kointegrasi panel untuk mengidentifikasi
hubungan jangka panjang antara RMB dan neraca perdagangan Cina, efek
jangka panjang penurunan apresiasi RMB pada neraca perdagangan, yang
diharapkan oleh teori, hanya ditemukan pada tiga dari delapan belas mitra
dagang, termasuk AS, Inggris, dan Jepang. Sebaliknya, peningkatan efek
apresiasi RMB jangka panjang terhadap neraca perdagangan terjadi di beberapa
negara Eropa, seperti Jerman, Italia, dan Belanda. Pengaruh apresiasi nyata
tidak terjadi antara Cina dan sebagian besar negara berkembang kecuali Rusia
dan Brasil. Oleh karena itu, temuan campuran ini mengarah pada bukti empiris
bahwa apresiasi RMB tidak memiliki dampak jangka panjang secara
keseluruhan pada neraca perdagangan Cina.

Anda mungkin juga menyukai