Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

MENDESKRIPSIKAN KONSERVASI PADA TINGKAT KOMUNITAS


Untuk memenuhi tugas mata kuliah Biologi Konservasi
Dosen pengampu: Adi Nestiadi, M. Pd. dan Dr. Suroso Mukti Leksono, M.Si.

Disusun oleh:
Kelompok 4
Kelas 6A

Amalia Syarifa Arum 2224180066

Dhian Widya Astuti 2224180047

Erika Juli Agustin 2224180060

Muhamad Hambali 2224180070

Neisya Linggadhellya Dyva 2224180058

Nur Syifa Maulinda 2224180057

JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA


2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur tim penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan
makalah Biologi Konservasi yang berjudul “Mendeskripsikan konservasi pada
tingkat komunitas” dengan lancar dan tepat waktu. Makalah ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Biologi Konservasi. Tim penulis
mengucapkan terimakasih kepada Bapak Adi Nestiadi, M.Pd. selaku dosen
pengampu mata kuliah Biologi Konservasi, teman-teman kelompok serta pihak
yang terlibat dan mendukung hingga selesainya pembuatan makalah ini.
Penulisan makalah ini tentunya masih banyak terdapat kesalahan dan
kekurangan, sehingga tim penulis sangat terbuka dan mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca untuk perbaikan makalah ini. Harapan
tim penulis terhadap makalah ini adalah agat bisa bermanfaat dan dapat
memberikan wawasan baru kepada para pembaca dan pihak-pihak yang
membutuhkan.

Serang, 06 Mei 2021

Tim Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

I. Latar Belakang 1

II. Rumusan Penulisan 1

III. Tujuan Penulisan 1

BAB II ISI

A. Kawasan yang dilindungi...........................................................................

B. Pendekatan prioritas konservasi

C. Perjanjian Internasional Tentang Konservasi


BAB III PENUTUP

I. Kesimpulan
II. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Keanekaragaman hayati disebut juga “Biodiversitas”. Biologi konservasi
adalah ilmu yang berorientasi pada tujuan yang mencari penyelesaian untuk
menghadapi krisis keanekaragaman biologis (biodiversity crisis), yaitu
penurunanan yang sangat cepat dalam keanekaragaman kehidupan bumi saat ini.
Ancaman utama terhadap kelangsungan hidup biodiversitas di dunia mencakup
faktor-faktor sebagai berikut: Pertumbuhan populasi manusia dan konsumsi
sumber, pemanasan global, konversi habitat, spesies eksotik dan invasif,
perburuan berlebih dan eksploitasi komersial, dan degradasi lingkungan.
Diseluruh biosfer, aktivitas manusia mengubah struktur trofik, aliran energi,
siklus bahan kimia, dan gangguan alamiah. Manusia berkembang dalam
kehidupan ekosistem diatas bumi ini, dan sangat mungkin dapat bertahan hidup
dengan biodiversitas yang kurang beragam, tetapi harus disadari bahwa manusia
bergantung pada ekosistem dan spesies lain. Dengan membiarkan kapunahan
spesies dan perusakan habitat yang berlangsung terusmenerus sebetulnya kita
sedang mengambil resiko yang sangat tidak bijaksana terhadap kelangsungan
hidup spisies kita sendiri, untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya konservasi. Cara
paling efektif untuk melestarikan seluruh keanekaragaman Hayati adalah
melestarikan komunitas. Makalah ini menulis tentang mendeskripsikan konservasi
pada tingkat komunitas.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan kawasan dilindungi?
2. Bagaimana pendekatan prioritas konservasi dan perjanjian internasional
tentang konsevasi?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kawasan dilindungi.
2. Untuk mengetahui pendekatan prioritas konservasi dan perjanjian
internasional tentang konsevasi.
BAB II
ISI
2.1 Kawasan yang dilindungi
Kawasan perlindungan atau kawasan yang dilindungi adalah kawasan atau
wilayah yang dilindungi karena nilai-nilai lingkungan alaminya, lingkungan sosial
budayanya, atau karena hal-hal lain yang serupa dengan itu. Berbagai macam
kawasan yang dilindungi terdapat di berbagai negara, sangat bervariasi baik dalam
aras atau tingkat perlindungan yang disediakannya maupun dalam undang-undang
atau aturan (internasional, nasional, atau daerah) yang dirujuknya dan yang
menjadi landasan operasionalnya. Beberapa contohnya adalah taman
nasional, cagar alam, cagar alam laut, cagar budaya, dan lain-lain.
Menurut definisi IUCN, kawasan yang dilindungi adalah suatu ruang yang
dibatasi secara geografis dengan jelas, diakui, diabdikan dan dikelola, menurut
aspek hukum maupun aspek lain yang efektif, untuk mencapai tujuan pelestarian
alam jangka panjang, lengkap dengan fungsi-fungsi ekosistem dan nilai-nilai
budaya yang terkait. Selanjutnya IUCN membedakan aneka macam kawasan yang
dilindungi ke dalam enam kategori, yakni:
Ia - Strict Nature Reserve (Cagar Alam Murni)
Merupakan kawasan-kawasan yang melindungi biota dan proses alami
dalam keadaan (relatif) utuh. Tujuannya, melestarikan cuplikan yang mewakili
keanekaragaman hayati (representative samples of biological diversity) untuk
penelitian ilmiah, pendidikan, pemantauan lingkungan dan sumber kekayaan
genetika.
Ib - Wilderness Area
Wilayah daratan atau lautan yang masih liar atau hanya sedikit diubah,
yang masih memiliki atau mempertahankan karakter dan pengaruh alaminya,
tanpa adanya hunian yang permanen atau signifikan; dilindungi dan dikelola
untuk mempertahankan kondisi alaminya.
II - National Park
Wilayah daratan dan lautan yang masih alami, yang ditunjuk untuk (i)
melindungi integritas ekologis dari satu atau beberapa ekosistem di dalamnya,
untuk kepentingan sekarang dan generasi mendatang; (ii)
menghindarkan/mengeluarkan kegiatan-kegiatan eksploitasi atau okupasi yang
bertentangan dengan tujuan-tujuan pelestarian kawasan; (iii) menyediakan
landasan bagi kepentingan-kepentingan spiritual, ilmiah, pendidikan, wisata dan
lain-lain, yang semuanya harus selaras secara lingkungan dan budaya.
III - Natural Monument
Wilayah yang memiliki satu atau lebih, kekhasan atau keistimewaan alam
atau budaya yang merupakan nilai yang unik atau luar biasa; yang disebabkan
oleh sifat kelangkaan, keperwakilan, atau kualitas estetika atau nilai penting
budaya yang dipunyainya.
IV – Habitat/Species Management Area
Wilayah daratan atau lautan yang diintervensi atau dikelola secara aktif
untuk memelihara fungsi-fungsi habitat atau untuk memenuhi kebutuhan spesies
tertentu.
V - Protected Landscape/Seascape
Wilayah daratan atau lautan, dengan kawasan pesisir di dalamnya, di mana
interaksi masyarakat dengan lingkungan alaminya selama bertahun-tahun telah
membentuk wilayah dengan karakter yang khas, yang memiliki nilai-nilai estetika,
ekologis, atau budaya yang signifikan, kerap dengan keanekaragaman hayati yang
tinggi. Menjaga integritas hubungan timbal-balik yang tradisional ini bersifat vital
bagi perlindungan, pemeliharaan, dan evolusi wilayah termaksud.

A. Sistem kawasan yang dilindungi di Indonesia


Pelestarian alam di Indonesia secara legal mengacu kepada dua undang
undang (UU) induk, yakni UU no 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya; serta UU no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
(jo. UU no 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan).

B. Kategori Kawasan Dilindungi Dalam Konservasi.


Kategori klasifikasi kawasan dilindungi, dimana kategori pegelolaan harus
dirancang agar pemanfaatan agar seimbang, tidak lebih mementingkan salah satu
fungsi dengan meninggalkan fungsi lainnya.
Adapaun kategori penetapan kawasan dilindungi yang tepat harus
mempertimbangkan beberapa hal, yaitu :
a. Karakteristik atau ciri khas kawasan yang didasarkan pada kajian ciri-ciri
biologi
dan ciri lain serta tujuan pengelolaan.
b. Kadar perlakuan pengelolaan yang diperlukan sesuai dengan tujuan pelestarian.
c. Kadar toleransi atau kerapuhan ekosistem atau spesies yang terdapat di
dalamnya.
d. Kadar pemanfaatan kawasan yang sesuai dengan tujuan peruntukan kawasan
tersebut.
e. Tingkat permintaan berbagai tipe penggunaan dan kepraktisan pengelolaan.
Sedangkan secara umum, ciri-ciri suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan
dilindungi adalah:
1. Karakteristik/keunikan ekosistem, misalnya ekosistem hutan hujan dataran
rendah, fauna endemik, ekosistem pegunungan tropika, dan lain-lain.
Spesies khusus yang diminati, mencakup nilai/potensi, kelangkaan atau
terancam, misalnya menyangkut habitat jenis satwa seperti badak,
harimau, beruang, dan lain-lain.
2. Tempat yang memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi.
Lanskap/ciri geofisik yang bernilai estetik, dan penting untuk ilmu
pengetahuan misalnya glasier, mata air panas, kawah gunung berapi dan
lain-lain.
3. Tempat yang berfungsi sebagai perlindungan hidrologi, tanah, air dan
iklim mikro.
4. Tempat yang potensial untuk pengembangan rekreasi alam dan wisata,
misalnya danau, pantai, pegunungan, satwa liar yang menarik, dan lain-
lain.
5. Tempat peninggalan budaya, misalnya candi, galian purbakala, situs, dan
lain-lain.
Secara umum, tujuan utama dari pengelolaan kawasan dilindungi adalah:
1.Penelitian ilmiah.
2. Perlindungan daerah liar/rimba.
3. Pelestarian keanekaragaman spesies dan genetic.
4. Pemeliharaan jasa-jasa lingkungan.
5. Perlindungan fenomena-fenomena alam dan budaya yang khusus.
6. Rekreasi dan wisata alam.
7. Pendidikan (lingkungan).
8. Penggunaan lestari dari sumberdaya alam yang berasal dari ekosistem
alami.
9. Pemeliharaan karakteristik budaya dan tradisi.
Di Indonesia jenis kawasan yang dilindungi beserta kriterianya dapat
dijabarkan sebagai berikut (MacKinnon dkk. 1990):
1. Cagar alam: umumnya berukuran kecil, habitat rapuh yang tak terganggu
dengan kepentingan pelestarian yang tinggi, keunikan alam, habitat spesies
langka tertentu, dan lain-lain. Kawasan ini memerlukan perlindungan
mutlak.
2. Suaka margasatwa: umumnya kawasan berukuran sedang atau luas dengan
habitat yang relatif utuh serta memiliki kepentingan pelestarian sedang
hingga tinggi.
3. Taman Nasional: Kawasan luas yang relatif tidak terganggu yang
mempunyai nilai alami yang menonjol dan disertai kepentingan pelestarian
yang tinggi, berpotensi besar untuk rekreasi, mudah dicapai pengunjung,
dan memberikan manfaat yang besar bagi wilayah tersebut.
4. Taman Wisata: Kawasan alam atau lanskap yang kecil atau tempat yang
menarik dan mudah dicapai pengunjung, di mana nilai pelestarian relatif
rendah, atau tidak terganggu oleh kegiatan pengunjung dan pengelolaan
yang berorientasi rekreasi.
5. Taman Buru: Habitat alam atau semi alami berukuran sedang sampai besar
yang memiliki potensi satwa yang boleh diburu, yaitu jenis-jenis satwa
besar (babi hutan, rusa, sapi liar, ikan dll.) yang populasinya cukup besar;
di mana terdapat minat untuk berburu, tersedianya fasilitas buru yang
memadai, dan lokasinya mudah dijangkau oleh pemburu. Cagar semacam
ini harus memiliki kepentingan dan nilai pelestarian yang relatif rendah
yang tidak akan terancam oleh kegiatan perburuan atau pemancingan.
6. Hutan lindung: Kawasan alami atau hutan tanaman berukuran sedang
sampai besar, pada lokasi yang curam, tinggi, mudah tererosi, serta tanah
yang terbasuh hujan, di mana penutup tanah berupa hutan adalah mutlak
diperlukan untuk melindungi kawasan tangkapan air, mencegah longsor
dan erosi. Prioritas pelestarian hutan lindung tidak begitu tinggi untuk
diberi status “cagar alam”.
2.2 Pendekatan prioritas konservasi
2.3 Perjanjian Internasional Tentang Konservasi
Konvensi serta perjanjian internasional merupakan salah satu hal yang
penting untuk melindungi keanekaragaman hayati. Konvensi dan perjanjian
internasional dibutuhkan karena berbagai alasan seperti: spesies seringkali
berpindah melintasi perbatasan negara, perdagangan produk hayati telah mencapai
tingkat dan tatanan internasional, manfaat keanekaragaman hayati telah menjadi
kepentingan internasional, dan ancaman keanekaragaman hayatipun sering terjadi
pada tingkat internasional. Beberapa badan internasional seperti United Nations
Environment Programme (UNEP), FAO, dan World Conservation Union (IUCN)
memiliki pengaruh dalam melestarikan keanekaragaman hayati dunia. Badan
tersebut mendorong negara yang tergabung untuk menjalankan kesepakatan
internasional. Perjanjian initelah diratifikasi oleh lebih dari 150 negara.
Perlindungan flora dan fauna menjadi penting saat ini, apalagi untuk jenis
tertentu menjadi semakin kritis kare na diburu dan diperdagangkan secara
illegal. Diperlukan tindakan tegas melalui perangkat hukum internasional dan
sebagai dasar hukumnya salah satunya adalah melalui ketentuan-ketentuan
dalam perjanjian internasional. Namun perjanjian internasional yang berfokus
pada perlindungan flora dan fauna sangat sedikit dan lebih banyak yang
bersifat komersil. Berikut ini adalah beberapa perjanjian internasional tentang
konvensi keaanekaragaman hayari, yaitu :
1. Convention on Biological Diversity 1992 (CBD). CBD merupakan bagian
dari sejumlah kesepakatan yang dihasilkan dari Pertemuan KTT Bumi pada
tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. CBD adalah perjanjian multilateral
negara-negara anggota konvensi dalam penyelesaian masalah global
mengenai keanekaragaman hayati. Pada prinsipnya setiap negara memiliki
hak berdaulat untuk memafaatkan sumber daya hayati sesuai dengan
kebijakan pembangunan lingkungannya masing-masing dan juga mempunyai
tanggung jawab bahwa kegiatan tersebut tidak menimbulkan dampak
terhadap negara lain. Negara-negara yang meratifikasi CBD bertanggung
jawab melakukan konservasi dan pembangunan berkelanjutan
keanekaragaman hayatiKonvensi Keanekaragaman Hayati mendefinisikan
Keanekeragaman Hayati sebagai variabilitas pada makhluk hidup dari segala
sumber yang meliputi, antara lain, ekosistem darat, laut dan akuatik lainnya
serta kompleks ekologi tempat mereka menjadi bagian. Hal ini termasuk
dalam satu spesies, antarspesies dan ekosistem. Tujuan dari CBD secara
eksplisit dijelaskan dalam Pasal 1 CBD, yaitu:
 Konservasi keanekaragaman hayati;
 Pemanfaatan komponen-komponennya secara berkelanjutan; dan
 Membagi keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaan sumber
daya genetik secara adil dan merata, termasuk melalui akses yang
memadai terhadap sumber daya genetik dan dengan alih teknologi
yang tepat guna, dan dengan memperhatikan semua hak atas sumber-
sumber daya dan teknologi itu, maupun dengan pendanaan yang
memadai.
Selain itu, terdapat beberapa poin penting yang terdapat dalam Pembukaan CBD,
antara lain:
 Sadar akan nilai instrinsik (bawaan) keanekaragaman hayati dan nilai
ekologi, genetik, sosial, ekonomi, ilmiah, pendidikan, budaya, rekreasi
dan estetika keanekaragaman hayati dan komponen-komponennya;
 Sadar juga akan pentingnya hayati keanekaragaman hayati bagi
evolusi dan untuk memelihara sistem-sistem kehidupan di biosfer
yang berkelanjutan;
 Menegeskan bahwa konservasi keankeragaman hayati merupakan
kepedulian bersama seluruh umat manusia;
 Menegaskan kembali bahwa Negara-negara mempunyai hak berdaulat
atas sumber daya hayatinya;
 Menegaskan kembali juga bahwa Negara-negara bertanggung jawab
terhadap konservasi keanekaragaman hayati dan terhadap
pemanfaatan sumber daya hayatinya secara berkelanjutan;
 Memperdulikan bahwa keanekaragaman hayati sedang mengalami
pengurangan yang nyata karena kegiatan tertentu manusia; dst.
2. Cagar Biosfer, ditetapkan oleh UNESCO sebagai bagian dari program
Man and Biosphere, tujuannya untuk mencapai keseimbangan antara
melestarikan keanekaragaman hayati, pembangunan ekonomi dan
kebudayaan.
3. ASEAN Heritage Parks (AHPs), merupakan konservasi di wilayah
ASEAN yang penting karena memiliki keunikan keanekaragaman,
ekosistem, kehidupan liar dan nilai-nilai yang tinggi. Tujuannya untuk
memelihara proses ekologis dan sistem pendukung kehidupan;
mengawetkan keanekaragaman genetik; memastikan pemanfaatan spesies
dan ekosistem berkelanjutan, serta menjaga kondisi ekosistem yang
memiliki nilai-nilai keindahan alam, budaya, pendidikan, penelitian dan
wisata.
4. Konvensi Ramsar (Convention on Wetlands of International Importance
Especially as Waterfowl Habitat 1971), bertujuan sebagai konservasi dan
pemanfaatan lahan basah secara bijaksana melalui aksi nasional untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan di seluruh dunia.
5. Cartagena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological
Diversity (Cartagena Protocol), disusun berdasarkan prinsip kehati-hatian
(precautionary approach) sebagaimana tercantum dalam Prinsip 15
Deklarasi Rio 1992 yang berkaitan dengan persinggahan, penanganan,
pemanfaatan, dan perpindahan lintas batas negara dari Living Modified
Organisms (LMOs / Organisme Hail Modifikasi / OHM) untuk menjamin
tingkat perlindungan yang memadai dan aman bagi lingkungan hidup dan
kesehatan manusia.14 Sedangkan ruang lingkup protokol ini sebagaimana
tercantum dalam Pasal 4 meliputi perpindahan lintas batas, persinggahan,
penanganan dan pemanfaatan semua LMOs yang dapat mengakibatkan
kerugian terhadap konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan
keanekaragaman hayati. Dalam pengaturan protokol, LMOs dikategorikan
menjadi tiga jenis pemanfaatan yaitu LMOs yang diintroduksi ke
lingkungan; LMOs yang ditujukan untuk pemanfaatan
langsung sebagai pangan atau pakan atau untuk pengolahan; dan
LMOs untuk pemanfaatan terbatas (penelitian).
6. Nagoya Protocol on Acces and Benefit Sharing from their Utilization,
tujuannya untuk mengikat para pihak dalam mengatur akses atas sumber
daya genetik dan pembagian keuntungan yang adil dan merata yang timbul
dari pemanfaatan sumber daya genetik. Sumber daya genetik tersebut tidak
secara bebas diperjual belikan, namun dalam mengakses harus memenuhi
ketentuan yang diatur dalam protokol yaitu berdasarkan persetujuan atas
dasar informasi awal (Prior Informed Consent) dan kesepakatan bersama
(Mutually Agreed Terms), serta keterlibatan masyarakat adat/tradisional
dan untuk mencegah pencurian keanekaragaman hayati (Biopiracy).
Protokol Nagoya tidak hanya mengatur tentang akses sumber daya genetik
tetapi juga produk turunan (derivative) dan pemanfaatannya (Latuputty,
M. 2018).
7. Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) yang
dibentuk tahun 1973. CITES yang berpusat di Swiss menyusun daftar
(dikenal sebagai Appendix atau lampiran) spesies perdagangan yang
dipantau. Negara anggota telah menyetujui untuk membatasi perdagangan
dan eksploitasi yang merusak dari spesies tersebut. Apendiks I terdiri atas
827 spesies hewan dan tumbuhan yang dilarang untuk diperdagangkan.
Apendiks II terdiri atas sekitar 4.400 spesies hewan dan 28.000 spesies
tumbuhan yang perdagangannya diatur dan dipantau. Untuk tumbuhan,
Apendiks I dan II mencakup berbagai spesies yang ditanam seperti
anggrek, pakis, kaktus, tumbuhan karnivor, paku pohon. Belakangan ini
pohon penghasil kayu dan juga biji yang dikumpulkan dari alam semakin
banyak diperhatikan dan dimasukkan dalam daftar-daftar tersebut. Untuk
satwa, yang diawasi dengan ketat adalah berbagai spesies burung paruh
bengkok, kucing besar, paus, penyu, burung pemangsa, badak, beruang
dan primata. Spesies yang dikoleksi untuk kepentingan kebun binatang
dan akuarium serta yang diperdagangkan sebagai hewan peliharaan juga
diawasi dengan ketat. Demikian juga halnya dengan spesies yang diambil
untuk bulu, kulit, dan produk komersil lainnya. Perjanjian internasional
seperti CITES dilaksanakan oleh negara yang meratifikasinya, dengan
berdasarkan hukum yang berlaku di negara tersebut. Bantuan termasuk
pertimbangan teknis dalam melaksanakan CITES diberikan oleh
organisasi non-pemerintah seperti Wildlife Trade Specialist Group dari
World Conservation Union (IUCN), jaringan TRAFFIC-WWF dan
Wildlife Trade and Monitoring Unit dari World Conservation Monitoring
Centre (WCMC). Setiap negara juga dapat memiliki Red Data Books bagi
spesies terancam dari negara tersebut. Red Data Books ini merupakan
versi negara setempat terhadap Red Lists versi internasional yang dibuat
oleh IUCN. Peraturan perundangan pada tingkat nasional akan melindungi
spesies yang terdaftar dalam CITES serta Red Data Books. Aparat
keamanan seperti polisi, bea cukai, petugas pemerintah berhak menahan
pihak yang terlibat perdagangan spesies yang dilindungi CITES, serta
dapat menahan produk maupun organismenya. Salah satu keberhasilan
CITES adalah menerapkan pencegahan perdagangan internasional (global
ban) terhadap gading, ketika jumlah gajah Afrika secara drastis akibat
kegiatan perburuan
8. Convention on Conservation of Migratory Species of Wild Animals
(CMWA, perjanjian internasional bagi pelestarian spesies satwa liar
bermigrasi, dengan fokus utama beragam spesies burung) pada tahun
1979, yang juga dikenal dengan nama Konvensi Bonn. Konvensi tersebut
merupakan pelengkap penting dari konvensi CITES yang mendukung
pelestarian spesies burung yang berpindah melintasi perbatasan
internasional. Konvensi ini menekankan pendekatan terhadap penelitian,
pengelolaan, dan pengaturan perburuan (Indrawan, M.,Dkk. 2007).
9. Interim Convention on Conservation of North Pasific Fur Selas pada tahun
1931. perjanjian ini berfungsi dalam memberi perlindungan terhadap
Anjing Laut.
10. Agreement Between Norway and Findland Regarding New Fishing
Regulations of the Fishibf Area of the Tana River pada tahun 1960.
Perjanjian ini berfungsi damam memberi perlindungan terhadap jenis ikan
di Sungai Tana.
11. Agreement on the Protection of the Salmon in the Balitic Sea pada tahun
1962. Perjanjian ini memberi perlindungan terhadap Ikan Salmon.
12. Agreement Between Canada and Norwey on Sealing and the Conservation
of the Seal Stock in the North-West Atlantic pada tahun 1971. Perjanjian
ini memberi perlindungan terhadap Anjing Laut.
13. Convention Between Japan and the USA for the Protection of Migratory
Birds in Danger of Extinction and Their Environment pada tahun 1972.
Perjanjian ini memberi perlindungan terhadap Burung Migran.
14. European Convention for the Protection of Animal Kept for Farming
Purposes pada tahun 1976. Perjanjian ini memberi perlindungan terhadap
satwa peliharaan untuk pertanian.
15. Convention for the Prohibition of Fishing with Long Driftnests in the
South Pasific pada tahun 1989. Perjanjian ini memberi perlindungan
terhadap ikan dan mamalia laut dari penangkapan yang menggunakan
jaring yang berukuran luas.
16. Agreement on The Conservation of African-Eurasian Migratory
Waterbirds pada tahun 1995. Perjanjian ini memberikan perlindungan
terhadap berbagai jenis unggas.
17. Convention on the Conservation and Management of High Seas Fisheries
Resources in the North Pacific Ocean pada tahun 2012. Perjanjian ini
memberi perlindungan terhadap sumberdaya perukanan di Laut Lepas
(Pramudianto, A. 2020).
BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
II. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Indrawan, M.,Dkk. (2007).Biologi Konservasi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia


Latuputty, M. (2018). Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on
Biological Diversity) dan Konvensi Perdagangan Internasional untuk
Tumbuhan dan Satwa Liar yang Terancam Punah (Convention on
International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna). http:
file:///C:/Users/Downloads/Konvensi_Keanekaragaman_Hayati_Conventi
o.pdf. Diakses pada : Rabu, 5 Mei 2021 Pukul 18:19 WIB.
Pramudianto, A. (2020). Identifikasi Perjanjian Internasional Global dan Regional
Tentang Perlindungan Flora dan Fauna.Jurnal Ekologi, Masyarakat &
Sains. Vol. 1 (1) : 5-16

Anda mungkin juga menyukai