Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
JENIS HPLC
Pemisahan dengan HPLC dapat dilakukan dengan fase normal (jika fase diamnya lebih
polar dibanding dengan fase geraknya) atau fase terbalik (jika fase diamnya kurang nonpolar
dibanding dengan fase geraknya). Berdasarkan pada kedua pemisahan ini, sering kali HPLC
dikelompokkan menjadi HPLC fase normal dan HPLC fase terbalik. Selain klasifikasi di
atas, HPLC juga dapat dikelompokkan
berdasarkan pada sifat fase diam dan atau berdasarkan pada mekanisme absorpsi solut,
dengan jenis-jenis HPLC sebagai berikut:
a) Kromatografi Adsorbsi
Prinsip kromatografi adsorpsi telah diketahui sebagaimana dalam kromatografi kolom dan
kromatografi lapis tipis. Pemisahan kromatografi adsorbsi biasanya menggunakan fase
normal dengan menggunakan fase diam silika gel dan alumina, meskipun demikian
sekitar 90% kromatografi ini memakai silika sebagai fase diamnya. Pada silika dan
alumina terdapat gugus hidroksi yang akan berinteraksi dengan solut. Gugus silanol pada
silika mempunyai reaktifitas yang berbeda, karenanya solut dapat terikat secara kuat
sehingga dapat menyebabkan puncak yang berekor.
b) Kromatografi Fase Terikat
Kebanyakan fase diam kromatografi ini adalah silika yang dimodifikasi secara
kimiawi atau fase terikat. Sejauh ini yang digunakan untuk memodifikasi silika adalah
hidrokarbon-hidrokarbon non-polar seperti dengan oktadesilsilana, oktasilana, atau dengan
fenil. Fasediam yang paling populer digunakan adalah oktadesilsilan (ODS atau C18) dan
kebanyakan pemisahannya adalah fase terbalik.Sebagai fase gerak adalah campuran
metanol atau asetonitril dengan air atau dengan larutan bufer. Untuk solut yang bersifat
asam lemah atau basa lemah, peranan pH sangat krusial karena kalau pH fase gerak tidak
diatur maka solut akan mengalami ionisasi atau protonasi. Terbentuknya spesies yang
terionisasi ini menyebabkan ikatannya dengan fase diam menjadi lebih lemah dibanding
jika solut dalam bentuk spesies yang tidak terionisasi karenanya spesies yang mengalami
ionisasi akan terelusi lebih cepat.
c) Kromatografi Penukar Ion
KCKT penukar ion menggunakan fase diam yang dapat menukar kation atau anion
dengansuatu fase gerak. Ada banyak penukar ion yang beredar di pasaran, meskipun
demikian yangpaling luas penggunaannya adalah polistiren resin. Kebanyakan pemisahan
kromatografi ion dilakukan dengan menggunakan media air karena sifat ionisasinya.
Dalam beberapa hal digunakan pelarut campuran misalnya air-alkohol dan juga pelarut
organik. Kromatografi penukar ion dengan fase gerak air, retensi puncak dipengaruhi oleh
kadar garam total atau kekuatan ionik serta oleh pH fase gerak. Kenaikan kadar garam
dalam fase gerak menurunkan retensi solut. Hal ini disebabkan oleh penurunan
kemampuan ion sampel bersaing dengan ion fase gerak untuk gugus penukar ion pada
resin.
d) Kromatografi Pasangan Ion
Kromatografi pasangan ion juga dapat digunakan untuk pemisahan sampel- sampel
ionik danmengatasi masalah-masalah yang melekat pada metode penukaran ion. Sampel
ionikditutup dengan ion yang mempunyai muatan yang berlawanan.
e) Kromatografi Eksklusi Ukuran
Kromatografi ini disebut juga dengan kromatografi permiasi gel dan dapat
digunakan untuk memisahkan atau menganalisis senyawa dengan berat molekul
> 2000 dalton. Fase diam yang digunakan dapat berupa silika atau polimer yang bersifat
porus sehingga solut dapat melewati porus (lewat diantara partikel), atau berdifusi lewat
fase diam.Molekul solut yang mempunyai BM yang jauh lebih besar, akan terelusi terlebih
dahulu,kemudian molekul-molekul yang ukuran medium, dan terakhir adalah molekul
yang jauh lebih kecil. Hal ini disebabkan solut dengan BM yang besar tidak melewati
porus, akan tetapi lewat diantara partikel fase diam. Dengan demikian, dalam pemisahan
dengan eksklusi ukuran ini tidak terjadi interaksi kimia antara solut dan fase diam seperti
tipe kromatografi yang lain.
f) Kromatografi Afinitas
Dalam kasus ini, pemisahan terjadi karena interaksi-interaksi biokimiawi yang
sangat spesifik. Fase diam mengandung gugus-gugus molekul yang hanya dapat menyerap
sampel jika ada kondisi-kondisi yang terkait dengan muatan dan sterik tertentu pada
sampel yangsesuai (sebagaimana dalam interaksi antara antigen dan
antibodi).Kromatografi jenis ini dapat digunakan untuk mengisolasi protein (enzim) dari
campuranyang sangat
Nilai Rs harus mendekati atau lebih dari 1,5 karena akan memberikan pemisahan puncak yang
baik (base line resolution).
Sedangkan untuk kromatografi lapis tipis (KLT) atau elektroforesis planar, resolusi dapat
dihitung dengan:
Yang mana:
D = jarak antar 2 pusat zona
W1 dan W2 = rata-rata lebar zona
Penentuan Sistem Presisi
Setelah larutan baku diinjeksikan beberapa kali, simpangan baku relatif (relative
Standard deviation, RSD) respon puncak dapat diukur, baik sebagai tinggi puncak atau luas
puncak. Menurut monograp Farmakope Amerika, selain dinyatakan lain, sebanyak 5 kali
injeksi harus dilakukan jika dinyatakan nilai RSD yang disyaratkan adalah ≤ 2,0 %;
sementara itu jika dinyatakan nilai RSD boleh lebih besar dari 2,0 %, maka dilakukan 6 kali
replikasi injeksi.
Faktor asimetri (Faktor pengekoran)
Jika puncak yang akan dikuantifikasi adalah asimetri (tidak setangkup), maka suatu
perhitungan asimetrisitas merupakan cara yang berguna untuk mengontrol atau
mengkarakterisasi sistem kromatografi. Puncak asimetri muncul karena berbagai factor.
Peningkatan puncak yang asimetri akan menyebabkan penurunan resolusi, batas deteksi, dan
presisi.
Gambar tersebut menunjukkan bagaimana menghitung nilai faktor pengekoran (tailing factor,
TF). Kromatogram yang memberikan harga TF =1 menunjukkan bahwa kromatogram
tersebut bersifat setangkup atau simetris. Harga TF > 1 menunjukkan bahwa kromatogram
mengalami pengekoran (tailing). Semakin besar harga TF maka kolom yang dipakai semakin
kurang efisien. Dengan demikian harga TF dapat digunakan untuk melihat efisiensi kolom
kromatografi.
Efisiensi Kolom
Ukuran efisiensi kolom adalah jumlah lempeng (plate number, N) yang didasarkan pada
konsep lempeng teoritis pada distilasi. Jumlah lempeng (N) dihitung dengan:
Yang mana:
tR : waktu retensi solut
σt : simpangan baku lebar puncak
Wh/2 : lebar setengah tinggi puncak
Wb : lebar dasar puncak
Gambar dibawah menjelaskan bagaimana cara menghitung tR; Wh/2; Wb; dan σ suatu
puncak kromatogram.
k’ = faktor kapasitas
tR = merupakan waktu retensi solut; tM = waktu retensi fase gerak (waktu retensi solut
yang tidak tertahan sama sekali).
Volume retensi yang bersesuaian juga dapat digunakan karena volume retensi berbanding
lurus dengan waktu retensi. Volume retensi kadang-kadang terpilih dibanding waktu retensi
karena tR bervariasi dengan kecepatan alir. Volume retensi selanjutnya dihitung dengan
rumus:
V = (Vr-Vm)/Vm
Yang mana Vr= volume retensi solut; Vm = volume retensi fase gerak (waktu retensi solut
yang tidak tertahan sama sekali).
Berbagai metode untuk menentukan kapasitas kolom telah diusulkan antara lain untuk
KLT:
k’ = (1-Rf)/Rf
Yang mana Rf merupakan jarak yang ditempuh oleh analit terhadap jarak fase geraknya
atau:
COFFEIN
Kafein merupakan turunan metilxantin yang terdapat dalam teh, kopi, dan coklat.
Alkaloid xantin kemungkinan besar merupakan kelompok alkaloid yang paling
dikenal, sebagai unsur pokok minuman harian yang populer, seperti teh (Camellia
sinensis) dan kopi (Coffea arabica). Kafein merupakan stimulan ringan, dan
ditambahkan pada banyak sediaan analgesik untuk meingkatkan aktivitas,
meskipun tidak ada dasar ilmiah untuk praktik ini. Dosis tinggi dapat
menyebabkan insomnia dan perasaan cemas, serta dapat menginduksi sindrom
henti obat pada kasus yang parah. Dari turunan xantin yang ada dalam tanaman
yaitu kafein, teofilin, dan teobromin, kafein memiliki kerja psikotonik yang paling
kuat.
TUJUAN
1. Menjamin bahwa sistem yang digunakan untuk analisis dapat memberikan performa yang
sesuai dan memadai.
2. Memastikan kesesuaian dan keefektifan sistem yang digunakan agar diperoleh kondisi
operasional dan kromatogram yang baik
PRINSIP
Pemisahan analit berdasarkan kepolarannya, alatnya terdiri dari kolom (sebagai fase diam)
PROSEDUR KERJA
Alat Bahan
1. KCKT 1. Baku parasetamol 500 mg
2. HPLC Shimadzu LC-20 AD 2. Baku kafein
PROSEDUR
Pembuatan Fase Gerak Standar
Fase Gerak = Asetonitril : air (10 : 90 )
kosentrasi Asetonitril = (10 %, 15%, 20% )
Pembuatan Larutan Standar
larutan A
50ml
pipet 1 ml
larutan A
masukan 1 ml larutan A
10 ml
larutan B
diambil 1 ml
10 ml
larutan B masukan 1 ml larutan B
ad sampai tanda batas
30%
10% 20%
0 0
. .
pipet 15 ml l pipet 20 ml
0
. 4 2
4 0 0
pipet 10 ml
0 . .
. 6 4
6
0
0 .
. 2
2
0 0
0 . .
. 8 6
8 1 0
1 . .
. 0 8
0 1
.
0
30%
10% 20%
10 ml
larutan
asetonitril 15 ml 20 ml
larutan larutan
asetonitril larutan
asetonitril asetonitril
10% 15% 20%
100 ml 100 ml
100 ml
20 tablet ditimbang
dilarutkan dengan
Fase gerak
komposisi terpilih
larutan A
100 ml
larutan a dilakukan
campuran dihomogenkan
pengenceran
dan disaring dengan filter
100 ml holder, membran filter 0,2
50 kali
milimkro
KCKT
diperoleh kromatogram
Metode tersebut digunakan untuk mengamati pengaruh konsentrasi fase gerak dan
laju alir terhadap waktu retensi dan resolusi dari 2 zat aktif, yaitu parasetamol dan
kafein
HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN
1. Data Grafik Sampel
Fase gerak dan Tipe eluennya Pelarut dan fase gerak Asetonitril air
( 10 :90), dan tipe elusinya isokratik
Laju alir 1,0 ml / menit
Kolom Sebelum optimasi persulit agilen C18 (125 x 4
mm, 5pm)
Detektor PDA ( Photo diode array) 270 mm
Waktu retensi Analit Parastamol
Kaffein
3. Hasil Perhitungan Pengujian Terhadap Senyawa A
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa data Retention Time (Tr),
Luas Area (AUC), dan Tailling Factor (Tf) nilai faktor kapasitas (K') dan untuk
pengujian kesesuaian sistem parasetamol dengan KCKT telah memenuhi persyaratan,
namun jumlah lempeng teoritis (N) tidak memenuhi persyaratan
4. Hasil Perhitungan Pengujian Terhadap Senyawa B
konsentrasi PCT
Konsentrasi (ppm) Luas area
30 2352378
60 5307112
70 5805372
90 9221095
120 11699501
Bobot PCT cs x fp x lu
264184,1055 MCG
264,1841055 mg
bobot pct 2 cs x fp x lu
270527,7343 mcg
270,5277343 mg
% kadar 54,10554685 %
KAFEIN
Konsentrasi (ppm) Luas area
2 121830,8
4 185549,5
6 254087,6
10 434265,6
18 1376411,1
Caffein
Luas area Linear (Luas area)
1600000
1400000
1200000 f(x) = 79070.52625 x − 158135.29
1000000 R² = 0.933581427961957
Axis Title
800000
600000
400000
200000
0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20
Axis Title
Caffeine sampel 1
Y 79071 X -158135
446907 79071 X -158135
X 7,651882485 PPM
BOBOT CAFFEIN CS X FP X LU
38259,41243 MCG
38,25941243 MG
% KADAR 58,8606345 %
Coffein sampel 2
Y 79071 X -158135
215374 79071 X -158135
X 4,72371666 ppm
bobot CS X FP X LU
23618,5833 mcg
23,6185833 mg
% kadar 36,336282 %
PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini dilakukan uji kesesuaian system (UKS) HPLC dengan
menngunakan parasetamol dan kafein. High performance liquid chromatography (HPLC)
atau yang sering disebut kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) adalah jenis
kromatografi yang penggunaannya paling luas. Kegunaan umum HPLC adalah untuk
pemisahan dan pemurnian senyawa obat serta untuk analisis kuantitatif senyawa obat dalam
sediaan farmasetika. Disamping itu, HPLC juga digunakan untuk identifikasi kualitatif
senyawa obat berdasarkan pada parameter waktu retensi senyawa obat standar serta senyawa
obat dalam sampel.
Prinsip dasar HPLC adalah pemisahan komponen-komponen terjadi karena perbedaan
kekuatan interaksi antara solut-solut terhadap fase diam keunggulan menggunakan HPLC
dibandingkan kromatografi gas yaitu tertak pada suhu tinggi.
Dalam melakukan analisis menggunakan instrument KCKT, terdapat beberapa sistem
yang dapat diatur yang dapat disesuaikan agar diperoleh hasil analisis yang baik, seperti laju
alir, penyesuaian tipe dan komponen dari fase gerak, dan penyesuaian kolom yang
digunakan. Sistem yang digunakan haruslah tepat dan sesuai pada kondisi optimum agar
dapat memberikan hasil yang baik dan valid. Oleh karena itu, sebelum melakukan analisis
sampel kualitatif maupun kuantitatif dengan HPLC perlu dilakukan uji kesesuaian sistem
terlebih dahulu.
Untuk mengetahui apakah sistem yang digunakan telah sesuai dapat diketahui
berdasarkan beberapa parameter, seperti resolusi, waktu retensi, luas puncak, tailing factor,
faktor kapasitas dan nilai lempeng teoritis. Tiap parameter pengujian ini memiliki batas
syarat yang harus dipenuhi agar sistem dapat dikatakan sesuai untuk analisis sampel tertentu.
Sebelum dilakukan uij kesesuaian sistem analisis parasetamol dengan metode HPLC,
pertama-tama dilakukan pengkondisian kolom. Pengkondisian kolom HPLC meliputi
pengaturan tekanan kolom, laju alir fase gerak, serta pencucian kolom dengan menggunakan
metanol-air. Proses ini dilakukan untuk meningkatkan kepekaan kolom dan menghindari
pengotor atau sisa analit yang masih tertahan pada kolom pada analisis sebelumnya agar
tidak mengganggu analisis dan tidak merusak kolom.
Selanjutnya dilakukan analisis sampel. Fase diam (kolom) yang digunakan pada kolom
reverse phase (fase terbalik) HPLC pada praktikum ini adalah perssuit agilent C-18.
Penggunaan kolom reverse phase ini karena parasetamol merupakan senyawa polar yang
dapat dipisahkan dengan baik oleh kolom reverse phase ini. Kolom reverse phase perssuit
agilent C-18 yang digunakan memiliki gugus oktadesil silika (ODS atau C-18) yang mampu
memisahkan senyawa-senyawa dengan kepolaran yang rendah, sedang, maupun tinggi
dengan baik, termasuk parasetamol. Selain itu, kolom C18 memiliki jumlah C yang banyak
yang membuat sifat fase diam ini cenderung bersifat non polar (kebalikan dari parasetamol
yang cenderung polar), sehingga pemisahan terhadap parasetamol akan semakin baik.
Penggunaan fase terbalik ini juga memiliki keuntungan lain, seperti senyawa yang mudah
terionkan yang tidak dapat terpisahkan pada HPLC fase normal dapat terpisahkan
menggunakan sitem HPLC fase terbalik.
Untuk fase gerak yang digunakan adalah kebalikan dari sifat fase diam, fase gerak
bersifat polar. Fase gerak yang digunakan adalah fase gerak pada awalnya merupakan
campuran asetonitril : air (10:90). Tipe fase gerak yang digunakan dalam praktikum kali ini
adalah fase gerak gradien, dimana terjadi perubahan faea gerak yang digunakan karena
selama analisis terjadi perubahan konsentrasi dari komponen fase gerak yang digunakan.
Selama proses analisis, konsentrasi asetonitril mengalami peningkatan dari 10%, menjadi 10
%; 15 %; dan 20 %. Fase gerak ini berfungsi membawa komponen-komponen campuran
menuju detektor PDA (Photo diode array) sehingga dapat terdeteksi pemisahan senyawa
yang terjadi. Fase gerak ini akan bereaksi dengan solut-solut dalam sampel, sehingga fase
gerak dalam HPLC ini merupakan salah satu factor penentu keberhasilan proses pemisahan.
Metode untuk menentukan kondisi optimum (kesesuaian sistem) penetapan kadar
parasetamol dan kafein dengan 2 faktor sebagai perubah bebas, yaitu konsentrasi fase gerak
(%v/v) dan laju alir (mL/menit). Respons yang diamati adalah waktu retensi (menit),
resolusi, luas puncak, tailing factor, faktor kapasitas dan nilai lempeng teoritis. Optimasi
dapat dilihat dari banyak kriteria atau kategori seperti selektivitas, resolusi, ketangguhan, dan
efisiensi. Menurut Andrade dkk (2008), beberapa parameter yang dapat mempengaruhi
kriteria tersebut ialah fase diam, suhu, komposisi fase gerak, dan tipe organik fase gerak.
Pada percobaan ini digunakan dua variabel bebas yang disesuakan dengan perubahan
kondisi, konsentrasi fase gerak asetonitril mengalami perubahan dari 10 %; 15 %; dan 20 %,
dan laju alirnya pun disesuaikan dengan kecepatan 0,5; 1,0; dan 1,5 mL/menit.
Modifikasi hanya dilakukan terhadap komposisi fase gerak dan laju alir, sedangkan
parameter yang lainnya dibuat tetap. Berdasarkan pada jurnal Nopita, dkk (2018), parameter
yang biasa digunakan untuk kondisi KCKT sebelum modifikasi yaitu :
Metode ini digunakan untuk mengamati pengaruh konsentrasi fase gerak dan laju alir
terhadap parameter-parameter uji kesesuaian sistem dari dua zat aktif, yaitu parasetamol dan
kafein.
Cara kerja HPLC adalah pertama, fasa gerak (Asetonitril : Air 10 : 90). Dialirkan melalui
kolom ke detector dengan bantuan pompa kemudian cuplikan dimasukkan ke dalam aliran
fase gerak dengan cara penyuntikan. Di dalam kolom terjadi pemisahan komponen-
komponen campuran karena perbedaan kekuatan interaksi antara solute- solut terhadap fase
diam. Solute-solut yang kurang kuat interaksinya dengan fasa diam akan keluar dari kolom
terlebih dahulu. Setiap komponen yang keluar kolom deteksi oleh detector kemudian di
rekam dalam bentuk kromatogram.
Berdasarkan hasil, parasetamol yang sifatnya lebih polar dibandingkan kafein terelusi
lebih dulu sehingga memiliki waktu retensi yang lebih singkat dibandingkan dengan kafein.
Senyawa polar keluar lebih dulu dikarenakan fase gerak yang digunakan pun cenderung
polar. Mengikuti atuan like-dissolve-like senyawa polar akan lebih tertarik pada senyawa
polar juga, begitu pula sebaliknya sehingga parasetamol lebih mudah terbawa oleh fase
gerak yang juga cenderung polar. Perubahan konsentrasi fase gerak dan laju alir berpengaruh
terhadap perubahan waktu retansi parasetamol dan kafein serta resolusi. Laju alir yang
digunakan adalah 1,0 mL/menit serta menggunakan detektor PDA 270 nm. Laju alir 1,0
mL/menit dapat dikatakan merupakan laju alir yang lebih tepat untuk digunakan. Laju alir
yang lebih tinggi dari 1,0 mL/menit dapat menyebabkan tekanan dalam kolom meningkat
sehingga mempercepat kerusakan kolom. Oleh karena itu, dilakukan pemilihan komposisi
lain yang masih mendekati kondisi optimum yaitu pada laju alir 1,0 dan 1,5 mL/menit.
Semakin cepat laju alir, waktu retensi akan semakin pendek dan resolusinya pun akan
semakin kecil.
Cara yang digunakan dalam mengukur efisiensi kolom kromatografi yaitu salah satunya
dengan menentukan jumlah pelat teori (N), yaitu banyaknya distribusi keseimbangan dinamis
yang terjadi didalam suatu kolom. Jumlah pelat teori digunakan untuk mengetahui koefisien
kolom. Persamaan ini membandingkan lebar puncak dengan lamanya komponen berada
dalam kolom, Jadi kolom yang efisien mencegah pelebaran pita dan/atau menghasilkan
puncak yang sempit, memberikan hasil kromatogram yang diinginkan. Semakin tinggi nilai
N, maka semakin kecil pelebaran puncak, maka semakin baik kinerja kolom dalam proses
pemisahan, dengan syarat nilai N yang baik yaitu > 2000. Berdasarkan hasil pengujian
diperoleh nilai N untuk pengujian parasetamol sebesar 3937,33 dan untuk pengujian kafein
sebesar 3496,5. Dari dua hasil nilai N ini keduanya lebih dari 2000, menunjukkan bahwa
untuk parameter nilai lempeng teoritis keduanya memenuhi syarat, yang berarti bahwa
kolom yang digunakan sudah efisien (efisiensi kinerja kolom dalam memproses pemisahan
senyawa yang dihasilkan baik). Jika nilai N ini tidak memenuhi syarat, langkah yang dapat
dilakukan adalah dengan menyeseuaikan kolom, dapat diubah ukuran panjangnya ataupun
diganti.
Selain nilai lempeng teoritis, parameter berikutnya ada faktor kapasitas. Faktor kapasitas
ini menggambarkan kemampian alat untuk berinteraksi dengan kromatografi dan
menentukan retensi dari senyawa yang terlarut. Jika nilai faktor kapasitas kecil, menujukkan
elusi cepat sehingga retensi kolom sedikit. Untuk faktor kapasitas dari pengujian dua
senyawa ini menunjukkan nilai lebih besar dari 2, yang
berarti memenuhi syarat, yang berarti elusi yang dihasilkan tidak terlalu rapat dan dapat
memberikan retensi yang baik.
Untuk parameter resolusi, menggambarkan kemampuan memisahnya senyawa yang
terdapat dalam sampel. Ketika nilai resolusi besar menunjukkan bahwa pemisahan antara
senyawa baik dan puncak yang diperoleh berjauhan (tidak bertumpuk atau saling
mempengaruhi) sehingga memberikan hasil kromatogram yang baik. Semakin besar resolusi,
menunjukkan pemisahan yang semakin baik dengan batas nilai 1,5. Dari kedua pengujian dua
senyawa parasetamol dan kafein, menunjukkan resolusi yang baik dengan nilai 4,51 yang
menunjukkan pemisahan yang baik.
Untuk mengetahui pemisahan yang baik selain dari resolusi juga dapat diketahui dari
tailing factor atau dapat disebut juga faktor pengekoran. Ketika terjadi pengekoran (tailing)
menunjukkan pemisahan tidak berjalan dengan baik, karena dari puncak yang diperoleh
senyawa ada pengaruh dari puncak senyawa lain sehingga memberikan kromatogram yang
buruk. Faktor pengekoran ini dilihat dari kesimetrisan bentuk puncak, dimana ketika puncak
yang diperoleh simetris menunjukkan senyawa tersebut murni dan tidak ada pengaruh
senyawa lain, namun ketika tidak simetris menggambarkan pemisahan yang kurang baik.
Dari hasil pemisahan kedua senyawa, diperoleh untuk kedua puncak senyawa ini memiliki
nilai faktro pengerkoran kurang dari 2, menunjukkan puncak yang diperoleh masih simetris
dan memenuhi syarat.
Dilihat dari puncak, parameter yang dapat dilihat selanjutnya dalam penentuan uji
kesesuaian sistem adalah luas puncak yang terbentuk (Area Under Curve). Luas puncak ini
dapat digunakan untuk analisis kuantitatif dalam penentuan kadar. Jika standar deviasi dari
beberapa replikasi masih mendekati dengan batas nilai < 2% menunjukkan bahwa puncak
yang diperoleh sudah baik. Dari kedua senyawa yang diuji pun menunjukkan memenuhi
syarat.
Parameter berikutnya adalah waktu retensi. Waktu retensi menggambarkan waktu yang
dibutuhkan senyawa dalam sampel untuk mencapai detektor. Waktu retensi yang
diinginkan adalah tidak terlalu cepat agar pemisahan dapat berjalan baik dan juga tidak
terlalu lama agar proses pengerjaan efisien. Untuk waktu retensi dari kedua senyawa dapat
dikatakan cukup dengan waktu sekitar 3 dan 5 menit, menunjukkan waktu yang dibutuhkan
senyawa untuk terdeteksi oleh detektor sudah efisien.
Dari seluruh hasil parameter pengujian ini menunjukkan bahwa sistem yang digunakan
sudah dalam kondisi optimum yang efisien karena seluruh parameter memenuhi syarat.
Standar devuasi atau penyimpangan dari hasil replikasi pun masih saling mendekati denngan
nilai di bawah 2, menunjukkan hasil yang presisi. Dengan kondisi yang sudah optimum maka
dalam analisis senyawa parasetamol dan kafein dapat digunakan sistem ini tanpa perlu
adanya pengubahan sistem. Pengubahan sistem dapat dilakukan ketika dari hasil parameter
uji kesesuaian sistem yang dilakukan ini tidak memenuhi syarat. Pengubahan sistem yang
dapat dilakukan diantatanya pengubahan fase gerak, kolom, maupun laju alir.
REFERENSI
Kenkel, J.2002. Analytical Chemistry for Technicians 3 th Edition., CRC Press: U.S.A.
Meyer, F.R..2004.Practical High-Performance Liquid Chromatography 4th Ed. JohnWiley
& Sons : New York
Munson, J.W. 1981.Pharmaceutical Analysis: Modern Methods, Part A and
B,diterjemahkan oleh Harjana dan Soemadi, Airlangga University Press: Surabaya.
Settle, F (Editor). 1997. Handbook of Instrumental Techniques for Analytical Chemistry.
Prentice Hall PTR, New Jersey: USA.
Skoog, D.A., West, D.M., Holler, F.J., Crouch, S.R., 2014, Fundamentals of Analytical
Chemistry, Boston: Cengage Learning