“Saya… tidak… akan… mengulanginya… lagi….” Aku sedang menulis rangkap terakhir surat intropeksi diri, mulutku tidak bisa diam dan terus membacakan sembari menyesuaikannya dengan kecepatan tulisanku. Detakan jam dinding mengiringi suaraku terdengar begitu keras di ruang konseling ini. Tidak ada orang lain lagj selain aku di sini, hanya aku yang masih di sekolah. Aku sudah menulis hukuman yang diberikan Mr. Liam padaku dari, entahlah aku tidak memperhatikan waktu. Padahal jari manisku sudah berbenjol dan mataku lelah karena terbuka terus di ruangan dengan lampu redup ini. Ada kalanya mataku seperti berputar cepat sesaat dan tanganku sedikit lari saat menulis. Itu membuatku tambah lama karena salah menulis—ada beberapa halaman yang penuh dengan coretan. Sedangkan jarum jam terus bergerak dan ketika kulihat sudah di angka tujuh, sungguh mengejutkan. Sejak tadi aku menulisnya dengan santai, sengaja membaca kata-katanya, bahkan mengubahnya menjadi lagu—tujuanku menghilangkan kebosanan. Ini bisa dibilang cepat. Sejujurnya, ini bukan pertama kalinya, ini sudah kesekian kalinya, saking seringnya sampai tidak bisa dihitung. Awal mula aku dihukum semenjak semester baru dimulai bersama Mr. Liam, saat aku pertama kali tidur di kelasnya dan ini sudah pertengahan semester, dengan kata lain aku dihukum setiap hari. Benar, kenapa setiap hari ada pelajaran Mr. Liam? Entah kenapa ini seperti takdir. Takdir yang buruk. Aku masih ingat hari pertama aku dihukum, rangkapannya masih sedikit. Lalu, setelah hari pertama, Mr. Liam mulai menyuruhku menulis lebih banyak lagi. Pernah, suatu hari, aku disuruh menulis surat intropeksi diri 10 lembar kertas ukuran F4. Waktu itu, aku kewalahan menulisnya, jadi kubawa pulang. Tetapi, besoknya, aku ketahuan dan disuruh menulis dua kali lebih banyak dari itu. Apa kau pernah pulang jam 5 pagi? Hari itu sangat melelahkan, pulang ke rumah, aku mengurus diriku dan harus kembali ke sekolah lagi, tidak sempat tidur. Sebenarnya aku nyaris tidak pulang, tapi saat mendekati 5 pagi, beberapa halaman terakhir kutulis satu kalimat memakan setengah halaman—aku beruntung Mr. Liam tidak memeriksa. Karena itu, aku mulai terbiasa. “Selesai!” aku mencampakkan penaku lalu meregangkan badan. Hari ini aku mencetak rekor tercepat menulis 50 halaman dalam 3 jam. Semalam- semalam aku selalu pulang larut juga tidur larut karena mengerjakan tugas sekolah, lelahnya masih terasa, aku mau langsung tidur setibanya di rumah. “Nah, Mr. Liam, aku cepat, ‘kan?” aku berbicara sendiri sambil mengumpulkan 25 lembar hukuman itu di atas tumpukan kertas yang ada di meja. Walau hanya sekumpulan tulisan cakar ayam, asalkan selesai, itu sudah cukup. Entah dilihat Mr. Liam, asal aku mengerjakannya, dia tidak peduli. Aku menyusun barang-barangku, memakai tasku, mematikan lampu, dan berjalan menuju pintu. Saat tanganku baru saja menyentuh gagang pintu, aku membeku, teringat sesuatu. “Oh, ini lagi.” Aku mengetuk pelan gagang pintu itu dengan jari telunjukku. Aku menatap kosong gagang pintu itu dengan keraguan memenuhi pikiranku sambil mengumpulkan keberanianku sejenak sampai aku siap membuka pintu ini. Karena, kau tahu, saat kubuka, dibalik pintu ini, meskipun ada seberkas cahaya menerangi lorong ini lewat jendela, tapi tetap saja di sekelilingku itu, ada satu hal yang paling dan sangat kubenci, gelap gulita. Walaupun aku sudah menjalani hukuman ini selama setengah tahun, aku masih tidak terbiasa dengan gelapnya sekolah ini di malam hari. Berjalan keluar dari sekolah, cukup menakutkan sampai membuat tubuhku gemetaran. Memang ada beberapa jendela yang bisa menggantikan lampu, tetapi apa jadinya kalau ada tempat yang tidak ada jendela sama sekali dan kau harus melewatinya karena itu satu-satunya jalan pulang? Kakiku pasti akan bergerak sangat lambat karena bergetar terus yang dimana membuatku lebih menderita lagi di tengah kegelapan. Dan terkadang kau mendengar suara-suara aneh entah dari mana asalnya atau angin kencang yang tiba-tiba terasa di belakang leher. Itu menakutkan, benar-benar mengerikan. Tapi, yah, bagaimana lagi, aku harus pulang. Keinginanku untuk pulang ditambah rasa lelahku yang menumpuk lebih penting daripada ketakutan. Mau tak mau, daripada aku menetap di sini. Aku tidak bisa lihat hantu lagian. Aku hanya akan buka pintunya dan berjalan seperti tidak ada apa-apa, fokus saja dengan pintu keluar sekolah ini.
“K-kakek, tenanglah. . .,” pintaku dengan nada panik, “kakek berlebihan.”
Aku kewalahan menenangkan kakek. Tidak ada gunanya. Suaraku tidak akan mencapainya, sedekat apapun microphone telepon dengan mulutku dan receiver telepon dengan telinganya. Kakek tetap mengabaikanku dan terus mengomel. Tidak ada pilihan lagj selain mendengar omelan itu. Yah, aku memang mendengarkan kakek dengan serius, maksudku, tidak sopan bukan, mengabaikan orang tua? “Karena itu, kakek, cucumu sudah bersikap patuh, gagang telepon masih tepat di samping telinganya. Jadi, kumohon pelankan suaramu sedikit. Kakek bicara di telepon, kenapa harus berteriak? Telingaku panas, gendang telingaku seperti mau pecah. . ..” Itu yang mau kukatakan, tapi tidak jadi. Aku sadar aku tidak berhak melawan. Aku yakin siapapun juga akan melakukan hal yang sama.