Anda di halaman 1dari 10

KEHANGATAN PAGI

J eni tidak pernah membayangkan dia akan memiliki teman

dekat selain Tasya. Setiap hari ponselnya tidak pernah berhenti

berdering. Lio, Tasya dan Naren selalu menjadi teman Jeni di berbagai

suasana yang berbeda. Jeni hampir tidak pernah melamun lama seperti

dulu. Hal tersebut tentu saja membuat Ibu dan Sena merasa lebih lega.

Jeni makin sering keluar bersama dengan Lio. Sikap Lio yang sangat

menghargainya sebagai wanita dan kisah-kisah Lio yang berbeda

pandang dengannya membuat hidup Jeni lebih berwarna bersama Lio.

Naren pun semakin dekat dengan Jeni. Mereka juga masih sering pergi

bersama ke toko buku. Beberapa hari setelah kejadian toko buku itu

tutup, Naren sempat berangkat kesana sendiri. Ternyata pemilik toko

buku meninggal dunia sehingga toko tutup selama tiga hari.


Hari ini adalah hari peringatan kematian Ayah yang ke 3 tahun.

Setelah hampir 5 bulan Jeni tidak mengingat kesakitannya, kali ini Jeni

terpaksa harus mengingatnya lagi. Disudut perpustakaan Jeni menangis

dibalik bilik baca. Naren yang sedari tadi mencari Jeni, terheran melihat

Jeni berada disana. Karena jarang sekali Jeni membaca di bilik baca.

Naren pun menghampiri Jeni.

“Keinget lagi ya?”, tanya Naren ketika duduk dibilik sebelah Jeni.

Jeni mengusap air matanya ketika mendengar suara Naren dan terdiam

sejenak.

“Kamu pernah gak menyesali sesuatu?”, tanya Jeni tiba-tiba

“Sering, menyesal kan perasaan yang wajar, bagi orang-orang yang

ingin memperbaiki diri”, jawab Naren

“tapi mungkin yang aku alami ini, yang namanya penyesalan

seumur hidup”, kata Jeni


Naren terdiam. Jika ia ingin berucap kata, pasti kata “Kenapa” yang

akan keluar. Tapi dia sudah berjanji tidak akan bertanya hingga Jeni siap

menceritakan.

Jeni terisak merasakan sakit yang ia kira telah hilang, ternyata semakin

parah.

“Kamu tau kan Ren, Ayahku meninggal karena tertabrak mobil”,

tanya Jeni

“iya”, jawab Naren

“Orang-orang taunya, Ayah tertabrak saat akan menyebrang jalan,

menghampiri aku yang mengantar bekal makan malamnya, saat dia

lembur. Padahal bukan”, tiba-tiba Jeni bercerita

Naren masih terdiam, untuk kali ini dia sedikit kaget.

“saat aku mengantar bekal Ayah diruangannya, aku tidak sengaja

melihat Ayah bersama… wanita lain, dan aku cukup mengerti apa yang

sedang terjadi, meski aku masih kecil”, kata Jeni terbata-bata

Naren terdiam mendengar pengakuan Jeni.


"Lalu aku lari ninggalin mereka, Ayah ngejar aku.. dan kejadian

itu..", Jeni tak kuasa melanjutkan

Naren seketika memeluk Jeni agar Jeni tidak melanjutkan ceritanya.

Naren yang sebenarnya sangat shock dengan pengakuan Jeni mencoba

mencerna cerita itu. Dan ia menyadari mengapa Jeni selalu terluka setiap

mengingat Ayahnya. Jeni tidak pernah sanggup menceritakan itu kepada

Ibu dan kakaknya, saat kejadian Ibunya tengah memarkir mobil. Saat

Ibu keluar mobil, Ibu sudah mendapati Ayah tergeletak di jalan. Ibu

berteriak histeris, dan Jeni kecil terpaku.

Terkadang kita akan merasakan menyesali pilihan kita, ketika

Tuhan berkata itu bukan yang terbaik. Mengapa Tuhan mengizinkan kita

melangkah ke takdir tersebut, jika ternyata takdir yang kita jemput itu

salah?

***

Pelajaran terakhir untuk hari ini telah selesai. Tasya yang dari tadi

mengkhawatirkan kondisi Jeni dengan mata sembab tidak juga mendapat

jawaban, karena Jeni memilih untuk diam.


“Kamu beneran gak apa-apa Jen?, setiap kamu ada masalah aku tu

kayak gak ada gunanya jadi temen. Kamu selalu diem dan bilang gak

apa-apa”, kata Tasya

“Karena kamu temen baikku, bisa bantu aku dengan gak tanya

kenapa”, pinta Jeni

“Baiklah”, Tasya pun menyerah.

“Jen, aku anter pulang yuk”, ajak Lio

“Boleh”, jawab Jeni singkat.

Lio mengantar Jeni pulang dengan mobilnya. Satu bulan ini Lio sudah

mendapat surat izin pertamanya. Jadi dia bisa mengantar Jeni kapan saja.

Didalam mobil Jeni terdiam hingga pertanyaan Lio memecah

lamunannya.

“Nanti malem ada acara Jen?”, tanya Lio

“Hari ini peringatan 3 tahun kematian Ayah, nanti sore aku sama

Ibu dan Mbak Sena mau ziarah ke makam Ayah, malemnya ada

pengajian dirumah”, jelas Jeni


“aku boleh ikut ziarah?”, tanya Lio

“Gak usah gak apa-apa Yo, kita biasa cuma bertiga kesana”, cegah

Jeni

Mobil Lio berhenti didepan rumah Jeni. Saat Lio hendak turun, Jeni

mencegahnya.

“Gak apa-apa gak usah dianter masuk, dirumah sepertinya juga

lagi sibuk nyiapin untuk acara nanti malam”, cegah Jeni

“Oke, salam buat Tante ya”, kata Lio

Jeni pun turun dari mobil Lio dan melambaikan tangan ketika mobil Lio

yang mulai berlalu meninggalkannya. Jeni menghela nafas panjang

sebelum melangkah masuk ke rumahnya. Karena hari ini adalah hari

yang sesungguhnya sangat menyiksa batin Jeni.

***

Saat berziarah, Ibu terlihat masih meneteskan air matanya, dan

Sena terlihat sudah cukup tegar. Jeni semakin merasa hal yang ia ketahui

itu tidak akan dia ungkap kepada keluarganya. Selamanya. Ia tidak ingin
Ibu semakin sedih dan Mbak Sena yang telah tegar menjadi terluka. Jeni

hanya bisa menangis disana, menelan pil pahit itu sendiri, menginginkan

jawaban yang tak mungkin ia dapat.

Setelah puas melepas rindu Ibu kepada Ayah, mereka pulang.

Sesampainya dirumah mereka melihat ada Dirga dan Naren disana.

Dirga memang tidak pernah absen setiap tahunnya saat pengajian

peringatan kematian Ayah. Sedangkan Naren, Jeni tidak menyangka dia

akan datang hari ini. Tapi kedatangan Naren membuat hatinya menjadi

tenang.

Pengajian berjalan dengan khitmat, saat Jeni ingin meneteskan air

mata dia melihat Naren, dan air matanya seolah terhenti. Jeni tak pernah

menyangka keberadaan Naren, teman yang baru ia kenal 5 bulan,

menjadi sangat berpengaruh dalam hidupnya. Selesai pengajian Naren

menghampiri Jeni.

“Kamu hebat”, kata Naren lirih

Jeni tersenyum tipis.

“Makasih ya”, kata Jeni


“Aku yang makasih karena kamu sudah percaya untuk cerita ke

aku”, jelas Naren

Setelah membantu merapihkan rumah setelah pengajian. Dirga dan

Naren pulang.

***

Kebersamaan Jeni dengan Lio memang terjalin sangat baik. Tapi

Jeni lebih merasakan ketenangan ketika bersama dengan Naren. Hingga

Jeni berani mengungkap cerita sedihnya kepada Naren, karena Jeni

merasa Naren adalah dia, mereka terlalu banyak kesamaan.

Beberapa hari setelah hari peringatan kematian Ayah, Naren

mengajak Jeni ke toko buku agar Jeni segera lebih baik. Namun Jeni

menolak ketoko buku, ia ingin ke taman kota dan Naren menyetujui.

Setelah membeli beberapa cemilan, mereka duduk di salah satu bangku

di taman tersebut. Mereka duduk berdua melihat orang berlalu lalang,

lampu kota yang kerlap kerlip warna-warni dan suara nyanyian merdu

para musisi jalanan.


Pertemuan mereka kali ini terasa berbeda. Hati Jeni berdegup

kencang. Jeni merasakan perasaan yang belum ia rasakan sebelumnya.

Naren dan Jeni tiba-tiba merasa canggung. Seperti begitu banyak kata,

tapi tak ada yang terucap.

“Lio baik ya Jen”, kata Naren memecah keheningan

“Iya”, jawab Jeni singkat dan sedikit kecewa, mengapa Naren

justru membuka topik tentang Lio

“Gimana kamu kalau sama dia?”, tanya Naren lagi

“Hmm, seru, dia orangnya beda banget sama aku, jadi setiap dia

cerita sesuatu, jadi seru aja, karena banyak hal-hal baru yang aku tau”,

jelas Jeni

“Beda ya sama kita, Kita bisa sefrekuensi. Sama”, Jawab Naren

yang membuat jantung Jeni tiba-tiba berdegup kencang.

“Kita sama, kayak rel kereta api, jalan lurus sejajar, bersama, tapi

gak bisa saling bertemu”, Lanjut Naren.

Jeni terdiam, tak mengerti apa yang dimaksud Naren.


***

Malam ini Jeni sulit terlelap. Ia masih memikirkan perkataan

Naren. Mengapa Naren berkata seperti itu. Apakah Naren merasa tidak

nyaman dengan kedekatan mereka? Apakah Naren ingin menjauh? Atau

Naren merasa terbebani atau bahkan risih dengan rahasia yang ia tau?

Tapi yang jelas, Jeni merasa Naren tidak memiliki perasaan yang sama

seperti yang ia rasakan.

Anda mungkin juga menyukai