Anda di halaman 1dari 15

BAB IV

KONSEP WANITA DALAM AGAMA BUDDHA

A. Konsep Kepemimpinan dalam Agama Buddha


Buddhisme adalah sebuah agama yang bermula pada abad keenam
sebelum Masehi, di masa hidupnya seorang pangeran muda dari Wangsa
Sakya di wilayah Kapilavastu, yang sekarang disebut Nepal. Pangeran itu
bernama Siddharta. Setelah memenuhi segala kewajiban sebagai seorang
pangeran, Siddharta menikahi seorang puteri cantik dan hidup dengan nyaman
dan bahagia, hingga tibalah saat ia melakukan perjalanan keliling kota dan
dibadapkan pada kenyataan adanya rasa sakit, usia tua, dan kematian.
Pangeran Siddharta sangat prihatin menyaksikan kenyataan bahwa manusia,
sekali Ia dilahirkan, tidak bisa melarikan diri dari segala penderitaan itu.
Dihabiskannya waktu untuk merenung-renungkan bagaimana cara mengatasi
penderitaan, dan di usia dua puluh sembilan tahun, sang pangeran
meninggalkan segala miliknya, melepaskan gaya hidup duniawinya, untuk
pergi mencari jalan spiritual yang akan membuatnya mampu menaklukkan
derita rasa sakit, usia tua, dan kematian.
Enam tahun lamanya ia mengembara, mencoba-coba berbagai metode
mati-raga yang dipraktikkan oleh orang-orang bijak di India zaman itu, hanya
untuk menemukan kenyataan bahwa itu semua tidak bisa menjawab
pertanyaan besar yang mengganggunya. Akhirnya ia bersemadi dan
menemukan jawaban yang selama itu dicarinya, dan sejak saat itu ia dikenal
sebagai Sang Buddha yang tercerahkan.1
Lebih dari dua puluh lima abad yang lalu, Buddha sudah memberi
pengarahan kepada para pengikut-Nya agar tidak menggantungkan nasib diri
sendiri kepada orang lain. Ia tidak menginginkan kondisi masyarakat yang
tergantung di tangan seorang pemimpin. Organisasi pengikut-Nya tidak
dibiarkan bersandar pada diri pribadi seorang pemimpin, bahkan pada diri

1
Zakiyuddin Baidhawy, ed., Wacana Teologis Feminis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
1996, hlm. 17

37
38

Buddha sendiri sekalipun, “Ananda Tathagata tidak berpikir bahwa diri-Nya


adalah pemimpin sangha atau bahwa sangha tergantung pada diri-Nya”.
Namun ia mengarahkan agar para siswa-Nya memegang teguh Dharma
sebagai pedoman, “Jadilah pelita bagi dirimu sendiri. Jadilah pelindung bagi
dirimu sendiri. Janganlah menyandarkan dirimu sendiri. Janganlah
menyandarkan nasibmu kepada mahluk lain. Peganglah teguh Dharma sebagai
pelita. Peganglah teguh Dharma sebagai pelindungmu”. Demikian sabda
Buddha menjelang saat-saat akhir hidup Nya, kewibawaan seseorang yang
dituakan diakui bila sesuai dan tidak bertentangan dengan Sutta (kumpulan
ajaran) atau Vinaya (kumpulan peraturan).
Selain itu, Buddha mengingatkan agar para siswa yang yunior
menghargai mereka yang senior, khususnya dengan bagaimana cara mereka
bersikap dan saling memanggil. Senioritas tidaklah diukur dari usia seseorang.
Bagaimana tingkat pencapaian kesucian dan berapa lamanya menjalani
penghidupan suci, itulah yang menjadi ukuran kedudukan seseorang.
Kepemimpinan dalam agama Buddha berorientasi pada fungsi dan
tugas, tetapi tidak bersifat otokratis. Kepemimpinan bukanlah membuat orang
lain terpengaruh, tunduk dan tergantung pada diri sang pemimpin. Sebaliknya
kepemimpinan itu adalah bagaimana membuat seseorang meningkatkan
kualitas dirinya hingga mampu untuk tidak menyandarkan nasib pada orang
lain.2
Faktor kepemimpinan seperti kepada seorang tokoh memang sangat
penting didalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehadiran seorang
Buddha pada massanya pun sangat berperan besar bagi kesejahteraan dan
kebahagiaan masyarakat yang bersangkutan. Namun begitu Buddha berpesan
bahwa sepeninggalnya, beliau tidak mewarisi dan menunjuk seseorang untuk
menjadi pemimpin sebagai penggantinya. Buddha mewarisi pranata berupa
hukum kesunyataan yang hendaknya dipatuhi dan dilaksanakan. Ini
menunjukkan bahwa dalam kehidupan beragama Buddha umat dianjurkannya

2
Wijaya Mukti, Diatas Kekuasaan dan Kekayaan, Yayasan Dharma Pembangunan,
Jakarta, 1993, hlm. 28
39

untuk tidak bersandar kepada seorang pemimpin, meski ketokohan pemimpin


itu dapat berperan besar, melainkan kepada hukum atau darma dan konteks
kehidupan berbangsa dan bernegara adalah pada sistem hukum yang berlaku.
Definisi pemimpin pada umumnya berbeda dengan definisi
berdasarkan, pandangan agama Buddha. Oleh karena itu, kita tidak dapat
menerapkan semua konsep kepemimpinan berdasarkan pandangan duniawi.
Pemimpin yang baik berdasarkan pandangan duniawi adalah seseorang yang
dapat menghasilkan keuntungan maksimum bagi perusahaan yang sedang
dipimpinnya. Namun berdasarkan pandangan agama Buddha, keuntungan
bukanlah motivasi utama kita dan kita tidak dapat melihat kualitas dari
pemimpin kita berdasarkan keuntungan semata saja. Berdasarkan pandangan
agama Buddha, pemimpin adalah seseorang yang kepemimpinannya
menghasilkan kebaikan dan kebijaksanaan yang maksimum
Karakteristik Pemimpin Buddhis yang Baik
Apabila kita berpatokan pada ajaran-ajaran Sang Buddha, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa ciri-ciri pemimpin yang baik, yaitu :3
1. Memiliki visi yang sama dengan visi Sang Buddha
Visi hidup Sang Buddha adalah membina diri agar menjadi pemimpin
yang menyebarkan kebajikan bagi semua mahluk di dunia. Kita sebagai
pemimpin diharapkan untuk selalu mempertimbangkan setiap tindakan
dan keputusan kita agar dapat memberi dampak positif dan kebajikan.
kepada bawahan.
2. Memiliki integritas
Ada beberapa perilaku dalam kehidupan yang harus dihindari berdasarkan
ajaran Sang Buddha karena bersifat merusak dan mengakibatkan kita
masuk kedalam roda samsara. Perilaku yang menyimpang tersebut
misalnya minum-minuman beralkohol, memakai obat terlarang, berjudi,
melakukan tindakan asusila, malas atau menghabiskan waktu secara
percuma dan sia-sia.

3
Denita, Buddhist Leadership, Paramitha, Jakarta, 2004, hlm. 25
40

3. Adil dalam membuat keputusan


Agar keputusan yang diambil dapat bersifat adil, hal yang harus
diperhatikan adalah meniadakan pengaruh-pengaruh yang sifatnya
subyektif seperti rasa benci, marah, ketakutan akan suatu hal. Diperlukan
suatu prinsip yang akan membantu kita dalam mengambil keputusan. Adil
untuk seseorang belum tentu adil bagi orang lain. Untuk memperoleh sifat
yang tidak memihak atau adil kita harus berlatih mengendalikan
kecenderungan pikiran atau tindakan yang didasari oleh :
a. Hasrat atau niat misalnya melindungi seseorang yang kita cintai dari
hukuman walaupun jelas-jelas mereka berbuat salah.
b. Rasa benci, misalnya tidak memihak pada orang yang kita benci tanpa
melihat secara obyektif siapa yang salah dan benar.
c. Rasa ketidaktahuan, misalnya seorang yang menghukum bawahannya
padahal belum mengetahui secara rinci akar permasalahannya dari
kedua belah pihak.
d. Rasa takut, misalnya seorang polisi yang tidak menilang seorang pria
besar yang telah melanggar hukum karena takut akan dihajar.
4. Memiliki tanggungjawab dalam dirinya
Walaupun sikap kita tidak mengambil keuntungan dari orang lain tapi
harus dilihat juga apakah sikap kita itu menghasilkan kebaikan bagi orang
lain atau tidak. Sebagai seorang pemimpin Buddhis tidaklah cukup selalu
menghindari dari perbuatan-perbuatan buruk, tetapi juga memiliki
tanggung jawab untuk selalu melakukan perbuatan-perbuatan baik bagi
sesama.
5. Melatih perbuatan-perbuatan baik
Latihan-latihan yang diperlukan untuk menjadi seorang pemimpin
Buddhis yang baik adalah menumbuhkan sikap murah hati, sabar,
ketabahan, keuletan dan kebijaksanaan dalam dirinya.
6. Melakukan kebajikan yang sesuai dengan ajaran Sang Buddha
Beberapa ajaran Sang Buddha mengenai kebajikan terdapat dalam
Sigalovuda Sutta. Sigalovada Sutta menyebutkan bahwa orang atau
41

pemimpin yang baik adalah seseorang yang jujur dalam menjalankan


aturan-aturan yang berlaku. Pemimpin Buddhis adalah seseorang yang
mampu mengendalikan diri dari perbuatan-perbuatan yang dapat
menimbulkan karma buruk misalnya membunuh, mencuri, menipu dan
melakukan tindakan asusila. Alasan-alasan mengapa kita harus
menghindari perbuatan-perbuatan semacam ini karena dapat merusak
kualitas dan pikiran dan tidak akan mendapatkan kepercayaan dari orang
lain.
Selain karakteristik pemimpin Buddhis di atas, seorang pemimpin
Buddhis juga harus mempunyai 2 kelebihan 1) kebijaksanaan memimpin, dan
2) keahlian dan kemampuan memimpin.4
1. Kebijaksanaan pemimpin
Sang Buddha telah memberikan petunjuk mengenai Dasa Raja Dhamma,
yang berisi pedoman untuk menjadi seorang pemimpin yang bijaksana.
Menghafal isi Dasa Raja Dhamma saja tidak akan mengubah sikap
seseorang. Pedoman ini perlu direnungkan dalam-dalam, dilatih dengan
jujur dan dilaksanakan dengan hati-hati sehingga terbentuklah sikap batin
yang baik sebagai pemimpin.
2. Keahlian pemimpin yang pandai
Dunia selalu berkembang, penduduk dunia selalu bertambah dan teknologi
semakin canggih. Kebijaksanaan seorang pemimpin perlu ditunjang
dengan keahlian dan kemampuannya memimpin. Ada perlu ditunjang
dengan keahlian dam kemampuannya memimpin. Ada keahlian tertentu
yang perlu dimiliki Oleh seorang pemimpin yang pandai, di antaranya
adalah:
a. Utthana-sampada, ahli, disiplin, efektif dan efisien
Ia harus mempunyai keahlian memimpin, tingkat disiplin yang tinggi,
taat jadwal. Ia harus pandai memanfaatkan keahliannya secara efektif
dan efisien. Ia harus mengetahui prioritas tugasnya. Seorang pemimpin

4
Arya Candra, Bagaimanakah Seyogyanya Pemimpin Budhis itu?, Majalah Wandani,
Jakarta, 2005, hlm. 19-20
42

adalah seorang yang sibuk. Ia hams pandai membagi waktu, untuk


kemajuan dirinya dan untuk kemajuan anggotanya.
b. Mempunyai visi dan misi yang realistis
Seorang pemimpin harus mempunyai (visi) pandangan jauh kedepan,
dapat memprediksi apa yang akan terjadi dan bagaimana cara
mencapai tujuannya (misi). Ia pandai menguraikan pandangannya,
sehingga para anggotanya mempunyai keyakinan akan
keberhasilannya, sehingga mau bersama-sama melaksanakan tugasnya.
Seorang pemimpin adalah seorang yang one step ahead, selangkah di
muka.
c. Semangat kreatif
Seorang pemimpin harus pandai mencari jalan, panjang akal, kreatif.
Ada berbagai jalan menuju Roma, kata pepatah. Ia harus pandai
mencari berbagai kemungkinan memanfaatkan berbagai kesempatan
yang sudah ada dan selalu mencari dan membuka kesempatan baru.
d. Berwibawa
Kewibawaan sangat penting bagi seorang pemimpin. Pemimpin yang
tidak berwibawa tidak akan diacuhkan oleh bawahannya. Kewibawaan
muncul bukan karena ditakut-takuti, tetapi karena dihormati.
Penghormatan muncul karena adanya integritas, kesungguhan,
kharisma. Ia dapat bersikap tegas tanpa mempermalukan siapapun.
Bertindak sesuai peraturan yang ada. Faktor penunjang kewibawaan
adalah komunikasi, popularitas.
e. Penampilan
Seorang pemimpin harus mempunyai penampilan yang baik, wajah
yang simpatik, tidak sombong, selalu sehat. Jangan sampai timbul
cacat, baik cacat jasmani maupun cacat mental. Pemimpin yang sakit
selalu kalah dalam pertarungan. Untuk menyembuhkan sakitnya saja
tidak bisa, apalagi memimpin anggotanya.
43

f. Sikap menghargai keahlian orang lain


Seorang pemimpin bukanlah superman, yang serba bisa, serba hebat.
Ia menjadi hebat karena dibantu oleh anggotanya yang setia, karena
jumlahnya yang besar, karena tentaranya yang kuat, karena
peralatannya yang canggih, dan lain-lain. Oleh karena itu ia harus
mempunyai sikap, karakter yang baik, menghargai keahlian dan
kemampuan orang lain. Sifat meremehkan, merendahkan, mencela dan
menghina kemampuan orang lain adalah tanda-tanda kegagalan.
Sebaliknya, sifat menghargai keahlian orang lain adalah tanda-tanda
kemajuan. Sifat ini dapat dilatih sehingga menjadi kebiasaan yang
baik. Kebiasaan yang baik akan berubah menjadi sikap yang baik.
g. Fleksibel menerima perubahan (Anicca)
Seorang pemimpin harus bersifat fleksibel mengikuti perubahan yang
terjadi. Perubahan tidak dapat dilawan. Pemenang bukanlah orang
yang berhasil menghalangi atau menunda perubahan, tetapi orang yang
dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan. Masalah-masalah
memang timbul pada saat terjadi perubahan. Oleh karena itu seorang
pemimpin perlu waspada pada saat perubahan terjadi. Ia perlu
menerima perubahan sebagai sesuatu yang wajar terjadi.
h. Samma vayama (usaha benar)
Seorang pemimpin harus pandai menggunakan cara-cara yang benar
untuk mencapai tujuannya. Ia harus pandai menghindari (to avoid)
timbulnya masalah. Kalau sudah timbul masalah, Ia harus pandai
mengatasinya (to overcome). Ia harus pandai membangkitkan (to
develop) segi-segi positif anggotanya dan pandai pula memelihara (to
maintain) agar segi-segi positif itu terjaga. Contohnya, Ia harus pandai
menyelesaikan perselisihan, perbedaan pendapat dan anggotanya. Ia
harus mengenal sifat setiap pembantunya, mencegah jangan sampai
terjadi perselisihan. Kalau sampai timbul perselisihan, Ia harus pandai
pula mengatasinya. Ia harus pandai memanfaatkan kelebihan setiap
44

pembantunya dan menjaga agar selalu timbul sinergi dari keahlian


pembantunya.
i. Methode Cattari Aniya Saccani
Seorang pemimpin harus pandai mengambil keputusan. Sang Buddha
sudah mengajarkan Methode Empat Kesunyataan Mulia, yaitu Dukkha
(masalah), Sumber Dukkha (sumber masalah), Akhir Dukkhha (akhir
masalah) dan ia menuju Akhir Dukkha (cara penyelesaian). Inilah salah
satu cam facts finding dan problem solving. Seorang pemimpin harus
pandai menemukan masalah dan sumber masalah sehingga dapat
menentukan akhir masalah dan cara penyelesaiannya. Ia harus pandai
menganalisa masalah dengan informasi dari berbagai sumber yang
jujur dan mencari penyelesaian yang optimal.
j. Persiapan pergantian pimpinan
Seorang pemimpin yang baik selalu bersedia digantikan oleh orang
yang lebih baik, lebih mampu dan lebih ahli dari dirinya. Ia harus
menunjukkan bahwa dirinya siap digantikan oleh penggantinya.
Seorang pemimpin mempunyai usia yang terbatas, tenaganya terbatas,
kemampuannya juga terbatas. Setelah melewati masa puncak karirnya,
seorang pemimpin yang bijaksana akan mengundurkan diri pada saat
yang tepat. Untuk itu ia perlu menyiapkan penggantinya. Raja Hayyam
Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada adalah pemimpin bangsa yang
besar, yang mempersatukan Nusantara, tetapi beliau tidak mempunyai
seorang penerus keberhasilannya.

B. Posisi Wanita dalam Agama Buddha


Menurut pandangan ajaran Buddha, seperti yang terdapat dalam
Agganna Sutta, Kutadanta Sutta, semuanya dalam Digha Nikaya, kriteria
seorang pemimpin tidak disebutkan harus pria atau wanita, atau hanya pria
dan tidak boleh wanita. Akan tetapi sangat jelas dikatakan bahwa seorang
pemimpin harus memiliki ciri khas yang dapat dijadikan tauladan bagi rakyat
yang dipimpinnya. Seorang pemimpin dipilih dan diberi kepercayaan oleh
45

rakyatnya karena memiliki kemampuan untuk bertindak dan mengambil


keputusan dalam menyelesaikan masalah yang timbul di masyarakat. Seorang
pemimpin memiliki sifat-sifat yang bisa menjadi contoh bagi rakyatnya.5
Sang Buddha memberikan kebebasan yang sama terhadap bhikkhu,
bhikkhuni, upasaka, upasika. Status dan pecan wanita dalam Buddha Dhamma
adalah sama sebagaimana status pria sama-sama manusia tinggi rendah, lemah
kuatnya ditentukan oleh perilakunya masing-masing bukanlah oleh jenis
kelaminnya. "Kammam satte vidhajati yadidam hinappanittaya (perbedaan
setiap mahluk yang kasar atau halus, ditentukan oleh kamma-nya sendiri
(majjhimakaya).
Sang Buddha mengajarkan Dharma kepada siapapun yang
berkehendak untuk mendengarkannya kepada laki-laki dan wanita dari kasta
apapun, pekerjaan apapun dan agama apapun. Beliau mengajarkan bahwa
pembebasan dari siklus kelahiran dan penderitaan yang tidak ada akhirnya itu
mungkin terjadi pada siapapun yang awas terhadap kebenaran. Seharusnya
tidak ada tingkatan kasta diantara bhikkhu dan bhikhuni, semuanya sama
didalam Dharma. Untuk itu beliau mengatakan bahwa seharusnya tidak ada
penggolongan sosial didalam sangha.
Tercatat bahwa Sang Buddha mengajarkan kepada para pendengarnya
agar menilai orang lain berdasarkan perbuatannya, bukan berdasarkan ke
Dalam Sutra (teks suci), karena beliau bersabda : “Bukan karena
keturunannyalah seseorang tidak diperhitungkan dalam kasta. Bukan karena
keturunan pula orang menjadi Brahmin (kasta tertinggi). Dengan perbuatanlah
seseorang tidak tergolong dalam kasta, karena perbuatanlah seseorang menjadi
Brahmin (kasta tertinggi)6
Seperti didalam sejarah agama Buddha tidak bisa dilupakan jasa besar
Maha Prajapati, ibu asuh Siddharta Gautama yang kelak menjadi Buddha.
Prajapati merupakan pelopor berdirinya sangha bhikkhuni, komunitas wanita
pejalan kesucian atau sangha wanita Prajapati merupakan seorang tokoh

5
Bhikku Cittagutto, Be a Leader Not a Boss, Paramita, Jakarta, 2004, hlm. 11
6
Gilliam Stokes, Seri Siapa Dia? Buddha, Erlangga, Jakarta, 2001, hlm. 82
46

wanita yang menempatkan dirinya menjadi wanita pertama dalam sejarah


agama Buddha yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan kaumnya
untuk dapat menempuh cita-cita kesucian sebagai bhikhhuni.
Prajapati, lengkapnya Maha Prajapati Gotami adalah ibu asuh
Pangeran Siddharta, pengganti Dewi Maha Maya, ibu kandung Pangeran
Siddharta yang meninggal ketika usia Pangeran Siddharta baru tujuh hari.
Prajapati juga menggantikan posisi Dewi Mafia Maya, sebagai isteri dari Raja
Suddhodana. Prajapati memiliki seorang putra bernama Nanda dan seorang
putri bernama Rupananda. Prajapati menanti saat yang tepat untuk
menyampaikan permohonannya menjadi bhikkhuni kepada Sang Buddha.
Prajapati menyampaikan keinginan tersebut tetapi permohonan menjadi
bhikkhuni ini tidak langsung diterima oleh Sang Buddha Kemudian Prajapati,
wanita yang tak kenal menyerah ini, bersama dengan lima ratus wanita lainnya
yang bercita-cita sama menyusul Sang Buddha.7
Prajapati mengajukan permohonan kembali dengan dibantu oleh
Ananda. Ananda menemui para wanita tersebut yang sedang menangis di
depan pintu dan kemudian meneruskan permohonan mereka untuk dapat
diterima menjadi bhikkhuni, kembali Sang Buddha menolak sampai tiga kali.8
Akhirnya setelah Ananda mengubah cara mengemukakan pertanyaannya, dan
setelah mendapat jawaban dari Sang Buddha bahwa seorang wanita juga dapat
menjalani dengan tekun ajaran dan tata tertib kebhikkhuan serta
memungkinkan dapat mencapai tingkat-tingkat kesucian.
Akhirnya setelah menjalani perjuangan yang sangat panjang dan
melelahkan, Maha Prajapati ditahbiskan menjadi bhikkhuni bersama dengan
pengikutnya, Sang Buddha dalam suatu kesempatan di hadapan Bhikkhu
Sangha dan Bhikhhuni Sangha menyatakan bahwa Maha Prajapati adalah
pemimpin dari para bhikkhuni yang terkemuka, Maha Prajapati pemimpin
pertama Sangha Wanita.

7
Jo. Priastana, ed, Buddhadharma dan Kesetaraan Gender, Yasydhara Puteri, Jakarta,
2005, hlm. 178
8
Pandita S. Widyadharma, Riwayat Hidup Buddha Gotama, t.pn, Jakarta, 1985, hlm. 96
47

Sang Buddha menyatakan bahwa wanita dapat mencapai pembebasan


dan kesucian sepenuhnya, dan oleh karenanya sangha juga terbuka untuk
kaum wanita.
1. Peranan Wanita dalam Kehidupan Beragama dan Keluarga
Salah satu kemajuan yang sangat menarik dalam Buddhisme
sebagaimana yang berkembang di Barat adalah munculnya peran penting
dan kaum wanita. Sebelum Zaman Buddhis India, kaum wanita memiliki
status yang sangat rendah dan hidup tanpa kehormatan. Seorang anak
wanita menjadi sumber kecemasan bagi orang tuanya, jika orang tuanya
tidak dapat mencarikan suami untuk puterinya, hal itu akan sangat
memalukan mereka. Satu-satunya penghargaan untuk kaum wanita adalah
perannya sebagai seorang ibu dari kaum laki-laki. Pada masa diskriminasi
terhadap kaum wanita yang demikian ekstrimnya di India, Sang Buddha
muncul dan memberi kebebasan penuh kepada wanita untuk berpartisipasi
dalam kehidupan agama. Sang Buddha merupakan guru agama yang
pertama memberikan agama ini kebebasan kepada wanita. Beliau
mengangkat dan memberikan persamaan status kepada kaum wanita serta
tidak membatasi mereka untuk mencapai tingkat-tingkat kesucian dan
kemajuan bathiniyah. Beliau mengatakan bahwa hina atau mulianya
manusia itu tergantung kepada perbuatannya, bukan pada jenis kelamin
atau kastanya.
Selama masa Buddhis abad ke-6 S.M., terjadi perubahan. Adalah
tidak mungkin bagi kaum pria untuk menyelami bukti nyata yang terus
diperlihatkan oleh kaum wanita dalam hal kekuatan bakti, pengorbanan
diri, keberanian, dan ketahanan menahan derita dalam kehidupan sehari-
hari. Buddha memberikan ajaran-Nya tanpa membedakan antara wanita
dan laki-laki. Sebagaimana ia menentang supremasi kedudukan kaum
intelektual Brahmana dan tidak mengakui sistem kasta atau perbedaan
kelas, Beliau juga meletakkan status yang sama antara wanita dan pria di
dalam Dharma-Nya. Hasilnya kaum wanita dapat menikmati persamaan
hak, penghormatan, dan kedudukan yang lebih dan sebelumnya, dan posisi
48

mereka mengalami kemajuan. Wanita menjadi diakui sebagai kekuatan


membangun didalam masyarakat.9
Kaum wanita telah banyak memberikan kontribusi yang penting
bagi perkembangan Buddhisme, sekalipun mereka sering diabaikan atau
dipandang rendah oleh para Bhikkhu yang banyak menulis sejarah.
Buddhisme. Banyak sangha Bhikkhu yang telah mencapai kesucian pada
zaman Buddha.
Wanita juga dapat berperan besar dan memberi sumbangan
kemanusiaan yang tak terkira. Pannanda Susial, dalam “Nasehat Sang
Buddha Kepada Kaum Isteri”, mengungkapkan bahwa Sang Buddha
sering menggunakan istilah “matugama” yang berarti “ibu rakyat” atau
“perhimpunan kaum ibu" sebagai gambaran betapa besarnya peranan
wanita. Dan juga menunjukkan penghargaan yang tinggi Sang Buddha
terhadap kaum wanita.
Sebagai ibu, wanita memegang peranan terhormat karena seorang
ibu merupakan tangga untuk dapat naik ke surga dan seorang isteri
merupakan sahabat karib suami. Demikian pula dengan ungkapan yang
terdapat di dalam Karaniya Metta Sutta bait VII : “Bagaikan seorang ibu
yang mempertaruhkan jiwanya, demi keselamatan anaknya yang tunggal,
demikian pula ia memancarkan gaya cinta kasih tanpa batas terhadap
sesama mahluk”. Kaum wanita memperoleh pujian sebagai manusia yang
dapat memancarkan cinta kasih tanpa batas terhadap sesama mahluk,
sebagaimana yang terjadi terhadap anaknya yang dilahirkannya. Pujian ini
tentu saja bukan semata sebatas pujian yang dapat melenakan kaum wanita
itu sendiri, karena yang terpenting adalah bahwa wanita dapat
menunjukkan kesetaraannya dan bebas dari perlakuan tidak adil kaum
lelaki, sekalipun itu mungkin harus memperjuangkannya dalam gerakan
feminisme.10

9
Tom Ginsburg, Benih Perdamaian, Visi Buddhis atas Pembaharuan Masyarakat,
Himpunan Mahasiswa Indonesia, Jakarta, 2005, hlm. 112
10
Jo. Priastana, ed, op.cit., hlm. 55
49

Seorang wanita memiliki kedudukan yang tinggi dalam kehidupan


rumah tangga, dan di masalah keduniawian dan spiritual ia dianggap
memiliki kedudukan dan penghargaan yang sama seperti laki-laki. Buddha
mengajarkan murid-murid-Nya untuk memandang seorang ibu sebagai
guru utama mahluk tertinggi (Brahma), dan seorang yang telah mencapai
penerangan sempurna (Arahat). Di bawah Buddhisme, seorang wanita
dapat menjadi seorang individu yang memiliki hak untuk menentukan
kehidupannya sendiri.
Sang Buddha mengajarkan dharma kepada siapapun yang
berkehendak untuk mendengarkannya kepada laki-laki dan wanita dari
kasta apapun, pekerjaan apapun dan agama apapun, tak ada tingkatan atau
kasta diantara Bhikkhu dan Bhikkhuni, semua sama dalam dharma.
Apa yang telah dilakukan oleh Buddha terhadap kaum wanita
bersinar laksana sinar yang menerangi sejarah kebebasan manusia, dan
sinar ini akan terus bersinar selama-lamanya. Kaum wanita telah banyak
memberikan kontribusi yang penting bagi perkembangan Buddhisme,
sekalipun mereka sering diabaikan atau dipandang rendah oleh para
Bhikkhu yang banyak menulis sejarah Buddhisme. Buddha mengakui
bahwa kaum wanita juga memiliki untuk dapat menjalani kehidupan suci
dan memasuki jalan menuju pembebasan.
Banyak sangha Bhikkhuni yang telah mencapai kesucian pada
zaman Buddha adalah para ibu, istri, dan putri dan anggota komunitas
Bhikkhu, dan gerakan mereka semakin kuat dan terkonsolidasi oleh
kekuatan bhakti dan kemurahan hati yang mereka miliki. Tekad mereka
untuk memasuki dan memberi kontribusi pada sangha merupakan suatu
langkah yang penting menuju pembebasan bagi diri mereka sendiri dan
orang lain.11 Seorang wanita sama saja dengan laki-laki mampu menjadi
bijaksana dan baik budi, mampu mencapai tingkat kesucian ataupun
tingkat kesempurnaan tertinggi sebagaimana terbukanya kesempatan untuk
para wanita yang ingin menjalani kehidupan biara.

11
Tom Ginsburg, op.cit., hlm. 115
50

Sejarah mencatat peran wanita yang mencapai puncak sebagai ratu


penguasa dan mengambil keputusan tertinggi. Wanita bukan pelengkap
penderita di dunia yang tergantung pada suami. Dengan penuh kasih
sayang seorang ibu melindungi anaknya dan membesarkannya. Semulia-
mulianya seorang anak laki-laki ia datang melalui ibunya. Seorang wanita
yang berkesempatan menjadi ibu memiliki peran yang tidak kecil artinya.
2. Peranan Wanita dalam Kehidupan Sosial Kemasyarakatan
Secara teori sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab Pali maupun
fakta-fakta kehidupan umat Buddha di tengah masyarakat, akan
mempertimbangkan bahwa agama Buddha jauh dari sikap eskapisme akan
memperlihatkan bahwa agama Buddha jauh dari sikap eskapisme
(melarikan diri) sebaliknya agama Buddha erat berhubungan dengan
segala macam gerakan sosial.
Agama Buddha berpendapat bahwa tujuan hidup tertinggi adalah
pencapaian Nibbana, sedangkan kesejahteraan duniawi dianggap sebagai
sesuatu yang baik. Segala cara yang baik untuk mencapai tujuan yang baik
dinamakan tindakan yang baik (dalam pikiran, ucapan, maupun
perbuatan), yaitu segala tindakan yang bermanfaat untuk kesejahteraan
orang lain maupun diri sendiri. Salah satu usaha dan ajaran sang Buddha
yang terpenting adalah menggantikan keturunan sebagai dasar kedudukan
sosial dengan norma-norma etika sebagai penentu derajat manusia.
Etika sosial agama Buddha menekankan bahwa setiap orang harus
melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab masing-masing sesuai
dengan kedudukan sosialnya, yang ditentukan oleh hubungannya dengan
warga masyarakat lain, berdasarkan prinsip-prinsip moral. Hanya dengan
demikian orang akan mencapai kesejahteraan, kemakmuran dan
kebahagiaan dalam masyarakat. Sebaliknya, orang yang tidak menjalankan
kewajiban kedudukan dan tanggung jawabnya dalam masyarakat tidak
patut diakui atau dihargai kedudukan sosialnya, Misalnya, orang tua yang
51

tidak melaksanakan kewajibannya sebagai orang tua tidak patut dihormati


sebagai orang tua. (Anguttara Nikaya, II hal. 32).12
Sang Buddha merumuskan bagi siswa-siswa beliau suatu cara
hidup, yaitu kebudayaan Buddhis, dan menekankan latihan praktek yang
benar, memperhatikan kesejahteraan mereka dan membangunkan
kesadaran akan kemampuan insani mereka untuk mencapai tujuan masing-
masing. Bagi kehidupan rumah tangga, maupun kehidupan vihara, beliau
menggariskan etika sosial antara manusia dalam hubungan sosial mereka,
dan terus menerus mendorong mereka untuk mengembangkan tenggang
rasa sosial agar mereka dapat hidup berdampingan secara dunia dan
bahagia.

12
Cornelis Wowor, MA, Pandangan Sosial Agama Buddha, Vihara Tanah Putih, 2005,
hlm. 51

Anda mungkin juga menyukai