Anda di halaman 1dari 141

i

Daftar Isi

Daftar Isi............................................................................................................................. i
BAB I URAIAN PENGANTAR PROFESI KEPENDIDIKAN.........................................1
A. Berbagai Masalah yang Berpengaruh pada Pendidikan.............................................1
B. Isu yang Berkembang di Masyarakat......................................................................... 3
C. Perubahan Paradigma................................................................................................ 4
D. Visi Pendidikan......................................................................................................... 5
E. Keberhasilan Pendidikan Dewasa Ini......................................................................... 8
F. Masalah yang Perlu Diatasi........................................................................................ 9
BAB II PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA BIDANG PENDIDIKAN .10
A. Pendahuluan......................................................................................................... 10
B. Peran Pendidikan Dalam Upaya Peningkatan Sumber Daya Manusia..................10
C. Pengembangan Sumber Daya Manusia Yang Berorientasi Pada Peningkatan
Kualitas Dan Ketercapaian Tujuan Pendidikan Nasional.............................................12
BAB III PROFESIONALISME GURU........................................................................... 20
A. Pendahuluan......................................................................................................... 20
B. Hakikat Profesi Guru............................................................................................ 22
C. Guru Sebagai Contoh (Suri Teladan).................................................................... 24
D. Kompetensi dan Tugas Guru................................................................................ 26
E. Peranan Guru dalam Pembelajaran Tatap Muka................................................... 33
BAB IV............................................................................................................................ 36
MEREKONSTRUKSI MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN MELALUI
PENGUBAHAN SISTEM PENGELOLAAN PENDIDIKAN DI SEKOLAH................36
A. Misi Pendidikan Persekolahan.............................................................................. 36
B. Sekolah Sebagai Sarana Rekonstruksi Masyarakat............................................... 37
C. Pengaruh Eksternal dan Internal dalam Pengelolaan Pendidikan..........................38
D. Pendidikan di Sekolah dengan Sistem Desentralisasi........................................... 39
E. Program Kegiatan yang Perlu Dikedepankan....................................................... 39
BAB V USAHA PENGEMBANGAN GURU SEBAGAI TENAGA PENDIDIKAN....41
A. Usaha-Usaha Pengembangan Guru....................................................................... 41
B. Dasar Pengembangan Profesi Guru......................................................................... 43
C. Perlunya preservice, inservice-training dan upgrading dalam pendidikan..............46
BAB VI KOMPETENSI PROFESIONALISME GURU................................................. 54
A. Pendahuluan......................................................................................................... 54
B. Kompetensi Profesionalisme Guru....................................................................... 54

ii
C. Uji Kompetensi Guru............................................................................................. 68
BAB VII REFORMASI PENDIDIKAN.......................................................................... 71
A. Pendahuluan......................................................................................................... 71
B. Manajemen Berbasis Sekolah Sebagai Paradigma Baru Pengelolaan Pendidikan 73
C. Menuju Otonomi Pada Tingkat Sekolah – sekolah............................................... 78
D. Pengelolaan Pendidikan Pada Tingkat Sekolah.................................................... 84
E. Pemberdayaan Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan....................................... 86
BAB VIII PERAN TEKNOLOGI DALAM PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI
INDONESIA.................................................................................................................... 96
A. Pengertian Dan Perkembangan Teknologi Dalam Dunia Pendidikan...................96
B. Implementasi Teknologi Dalam Perkembangan Pendidikan Di Indonesia...........99
C. Dampak Teknologi Informasi Dalam Perkembangan Pendidikan Di Indonesia . 104
BAB IX PERAN GURU DALAM PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN DI
ERA TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN INFORMASI............................................. 108
A. Teori-teori yang Berkaitan dengan Sumber Belajar............................................ 108
B. Pengertian Media................................................................................................ 113
C. Jenis dan Klasifikasi Media................................................................................ 114
D. Peran Media........................................................................................................ 116
E. Media yang Tidak Diproyeksikan....................................................................... 120
F. Media yang Diproyeksikan (Projected Media)................................................... 127
Format Video............................................................................................................ 132
G. Internet Dan E-Mail.............................................................................................. 135
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 137

iii
BAB I
URAIAN PENGANTAR PROFESI KEPENDIDIKAN

A. Berbagai Masalah yang Berpengaruh pada Pendidikan

Dewasa ini bangsa Indonesia dilanda berbagai krisis, baik krisis ekonomi, krisis
moneter, krisis politik, maupun krisis kepercayaan. Hal ini mengundang berbagai
gejolak dalam masyarakat, misalnya kurang terjaminnya kemanan diri apalagi di
daerah pertikaian antasuku, antaragama yang dikhawatirkan menjadi awal
kehancuran dan runtuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Gejolak
lain adalah munculnya tuntutan masyarakat dalam berbagai demonstrasi yang
menuntut hak dan keadilan. Berbagai tuntutan dan demonstrasi ini seakan menjadi
fenomena yang lumrah di negara kita.

Pendidikan sebagai suatu sistem pencerdasan anak bangsa, dewasa ini dihadapkan
pada berbagai persoalan, baik ekonomi, sosial, dan budaya, maupun politik. Pada
arus global, kita dihadapkan dengan tantangan globalisasi berupa peniadaan sekat-
sekat ideologis, politik, budaya, informasi, dan sebagainya. Kita menyaksikan
pesona peradaban yang disatukan oleh corak budaya yang sama, ekonomi yang
sama, bahkan substansi kehidupan yang nyaris sama yang disebut globalisasi.
Istilah global seolah mengajak kita berhadapan dengan suatu media globe yang
akan terlihat seluruh daratan dan lautan, negara, serta pulau yang tidak dibatasi
olesh sesuatu apapun. Demikian globalisasi, yang dalam perspektif perjalanannya
menawarkan sebah fenomena baru di rentang sejarah peradaban manusia. Dahulu
peradaban manusia tidak dapat diketahui, sekarang dengan perkembangan
teknologi di era globalisasi, apa yang terjadi di belahan bumi timur terakses
kemana-mana dalam batas waktu relatif singkat. Ini menjadi tugas kita agar dapat
memecahkan berbagai masalah yang berkembang di era globalisasi melalaui
pendidikan.

Berkenaan dengan hal tersebut, kita memiliki agenda masa depan ,untuk membuat
tatanan internal baru dalam tubuh bangsa Indonesia yaitu reformasi. Reformasi
menjadi bentuk pertaubatan kita secara total terhadap berbagai kesalahan yang kita

1
lakukan selama ini. Reformasi harus berjalan hikmat, sistematis, dan tepat pada
sasaran yang diinginkan. Reformasi berarti perubahan dengan tetap meperhatikan
pendahulu kita. Apapun bentuknya, pembangunan merupakan jalan menuju
sebuah perubahan, dan dalam konteks sosiologis perubahan harus berjalan seiring
dengan berbagai sistem yang menjadi komponen perubahan itu sendiri.

Apabila pendidikan diposisikan sebagai alat memecahkan masalah bangsa sekarang


ini, hal ini tidak efektif. Dengan kata lain terjadi keterlambatan memposisikan
pendidikan sebagai alat untuk mengatasi masalah. Dikatakan demikian karena untuk
mengarahkan pendidikan kita yang dapat mengatasi masalah bangsa selama ini
diperlukan produk pendidikan yang bukan otoritarisme, melainkan pendidikan yang
dibangun pada budaya bangsa Indonesia yang mendunia atau kita meminjam istilah
tokoh pendidikan Ki Hadjar Dewantoro, pendidikan harus dibangun dengan strategi
Tri-Kon yaitu Konvergen, Konsentris, dan Kontinuitas).

~ Konvergen maksudnya agar pendidikan di Indonesia dapat berkembang dengan


baik, dapat setara dengan kualitas pendidikan negara-negara maju, maka
sebaiknya ada adopsi nilai yang dipinjam dari budaya barat, meskipun demikian
perlu diadakan filter penggunaannya. Strategi konvergensi paling banyak
dipengaruhi oleh pergolakan dunia yang apabila tidak diantisipasi dengan baik,
dapat menjadi ancaman terhadap kelangsungan pendidikan di Indonesia. Apalagi
kita mencermati wacana sosial saat ini, tampaknya tiga bentuk masyarakat
sebagaimana disebut-sebut dalam Buku Alvin Tofler benar-benar menjadi
kenyataan yaitu masyarakat agraris, masyarakat industri, dan masyarakat
informasi. Model-model masyarakat itu membawa kosekuensi logis manakala
terjadi pergeseran dari satu bentuk masyarakat ke bentuk lainnya.

~ Konsentris, maksudnya bahwa untuk mengembangkan pendidikan di Indonesia


haruslah bertolak dari kebudayaan yang meng-Indonesia sehingga nilai-nilai luhur
bangsa tetap tertanam dalam generasi bangsa.

~ Kontinuitas, maksudnya bahwa pendidikan di Indonesia haruslah dilakukan


secara terus-menerus

2
Agar pengembangan pendidikan dengan strategi Tri-Kon dapat berjalan,
pelaksanaan otonomi pendidikan merupakan tawaran yang perlu diterapkan dan
dikembangkan dengan baik.

Khusus menyongsong era globalisasi yang makin tidak terbendung, terdapat


beberapa hal yang secara khusus memerlukan perhatian dalam bidang pendidikan.
Santoso S. Hamijoyo mengemukakan lima strategi dasar dalam era globalisasi
tersebut yaitu:

~ Pendidikan untuk pengembangan iptek dipilih terutama dalam bidang yang


vital. Seperti manufakturing pertanian.

~ Pendidikan untuk pengembangan keterampilan manajemen, termasuk


penguasaan bahasa asing.

~ Pendidikan untuk pengolahan kependudukan, lingkungan, keluarga berencana,


dan kesehatan sebagai penangkal terhadap menurunnya kualitas hidup dan
hancurnya sistem pendukung kehidupan manusia.

~ Pendidikan untuk pengembangan sistem nilai.

~ Pendidikan untuk mempertinggi mutu tenaga kependidikan dan pelatihan.

B. Isu yang Berkembang di Masyarakat

Desentralisasi, demokrasi, dan otonomi merupakan isu yang populer akhir-akhir


ini. Walaupun isu tersebut telah lama dikemukakan seiring dengan keinginan
mengganti sistem pemerintahan otoriter yang melanda Erpa Tengah dan Timur
akhir tahun 1989 dan awal 1990.

Sekarang telah terjadi perubahan paradigma dalam menata manajemen


pemerintahan, termasuk di dalamnya menata manajemen pendidikan. Dalam
manajemen pemerintahan, salah satu aspek yang amat menonjol yang dapat
dijadikan indikator apakah manajemen pemerintahan itu dijalankan secara otoriter
atau demokratis adalah dilihat sampai seberapa jauh fokus kekuasaan itu

3
diaplikasikan. Di sisi lain, indikator peran rakyat atau masyarakat juga ikut
menentukan tentang demokratisasi manajemen pemerintahan. Kekuasaan dan
peran masyarakat amat menentukan corak dan demokrasi atau pelaksanaan sistem
desentralisasi.

Dalam manajemen pendidikan kita harus melihat seberapa jauh kekuasaan


pembuatan kebijaksanaan pendidikan itu tersentralisasi atau terdesentralisasi. Kita
juga harus mengamati seberapa jauh masyarakat terlibat dan ikut berperan dalam
proses pengelolaan pendidikan. Berperannya masyarakat dalam pendidikan berarti
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengontrol pelaksanaan
pendidikan.

C. Perubahan Paradigma

Sekarang sedang berlangsung perubahan paradigma manajemen pemerintahan.


Perubahan itu sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman yang semakin hari
semakin maju dan dinamis. Beberapa perubahan tersebut antara lain:

a. Perubahan paradigma dan orientasi manajemen pemerintahan yang sarwa


negara menjadi berorientasi pasar. Selama ini manajemen pemerintahan lebih
berorientasi untuk kepentingan dan ditentukan oleh negara. Kepentingan negara
menjadi pertimbangan pertama dalam mengatasi berbagai persoalan yang timbul.
Rakyat, masyarakat, atau pasar menjadi pertimbangan yang kesekian kalinya.
Sekarang sistem ini dibalik, orientasi manajemen pemerintahan diarahkan pada
pasar. Aspirasi masyarakat menjadi pertimbangan pertama dalam mengatasi
berbagai persoalan yang timbul. “ putting customers first” menjadi kebijaksanaan,
slogan, dan tindakan dalam mengatasi berbagai persoalan manajemen
pemerintahan yang timbul.

b. Perubahan dan orientasi manajemen pemerintahan yang otoritarian menjadi


berorientasi kepada demokrasi. Kecenderungan orientasi yang mementingkan aspirasi
negara bisa melahirkan sistem yang bersifat otoritarian. Pendekatan kekuasaan yang
terkonsentrasi kepada negara menjadikan aspek kepentingan rakyat terabaikan.
Pemerintahan yang otoriter telah banyak ditinggalkan dan diganti

4
dengan sistem yang mengutamakan kepentingan rakyat. Kedaulatan rakyat menjadi
pertimbangan pertama jika menginginkan tatanan pemerintahan yang demokratis.

c. Perubahan paradigma dari sentralisasi kekuasaan menjadi desentralisasi


kewenangan. Selama ini kekuasaan pemerintahan lebih condong dilakukan secara
sentral. Upaya mulai dari pembuatan kebijaksanaan, implementasi, dan evaluasi
kebijaksanaan dilakukan secara terpusat dan dilakukan oleh aparat pemerintahan
pusat. Sekarang kecenderungan yang kencang ialah dilakukannya desentralisasi
kewenangan. Sistem pemerintahan tidak boleh lagi hanya berada pada satu pusat
kekuasaan, melainkan bisa berada pada beberapa pusat kekuasaan. Kekuasaan
tidak lagi terpusat di satu tangan, melainkan disebarkan ke beberapa pusat
kekuasaan. Masing-masing memiliki keseimbangan kekuasaan dan kewenangan
yang saling melakukan cross check. Sistem pemerintahan yang demokratis
menjadi ganti dari sistem yang otoriter, dan dalam sisteme pemerintahan yang
baru ini peranan kedaulatan rakyat menjadi penting untuk diterapkan.

d. Perubahan sistem pemerintahan yang membatasi pada batas dan aturan yang
mengikat suatu negara yang jelas menjadi tatanan pemerintahan yang cenderung
Boundaryless Organization (pengorganisasian tanpa batas). Sering kali
dikemukakan bahwa sekarang ini merupakan zamannya tata manajemen
pemerintahan yang cenderung dipengaruhi oleh tata aturan global. Ada yang
menyatakan hal ini merupakan paradigma akhir dari negara nasional/ The End of
National State.

Berdasarkan perubahan paradigma di atas, maka pengelolaan pendidikan perlu


menyesuaikan terhadap arus perubahan tersebut. Di bidang pendidikan dilakukan
repositioning bagaimana sebaiknya pendidikan dikelola. Perumusan dan
implementasi kebijaksanaan pendidikan yang tersentralisasi dengan
mengedepankan pendekatan yang berorientasi pada sarwa negara, otoritarian, dan
kurang memperhatikan arus modernisasi kiranya tidak perlu dianut dan diganti ke
arah sebaliknya.

D. Visi Pendidikan

5
Sehubungan dengan situasi yang disebutkan di atas, sekaligus sebagai dorongan
permasalahan di bidang pendidikan, maka visi pendidikan hendaknya diarahkan
untuk menyesuaikan terhadap perubahan paradigma tesebut. Pelaksanaan
pendidikan selama ini yang banyak diwarnai dengan pendekatan sarwa negara
(state driven) di masa yang akan datang harus berorientasi pada aspirasi
masyarrakat (putting customers first). Pendidikan harus mampu mengenali siapa
pelanggannya, dan dari pengenalan ini pendidikan memahami apa aspirasi dan
kebutuhannya (need assessment). Setelah mengetahui aspirasi dan kebutuhan
mereka, baru ditentukan sistem pendidikan, macam kurikulumnya, dan
persyaratan pengajarnya.

Pendekatan sarwa negara mengakibatkan terjadinya sentralisasi sistem pendidikan.


Untuk masa depan, visi pendidikan tidak lagi berorientasi pada sentralisasi
kekuasaan, melainkan desentralisasi dan memberikan otonomi kepada satuan di
bawah atau di daerah. Berperannya masyarakat dalam bidang pendidikan
menunjukkan bahwa negara bukan satu-satunya penyelenggara pendidikan.
Desentralisasi dan otonomi pendidikan merupakan isu masa depan yang harus
diwujudkan dalam visi pendidikan di masa-masa yang akan datang. Di masa
depan demokrasi dalam bidang pendidikan harus menjadi rujukan bagi praktik di
Indonesia. Kita harus mampu hidup dalam suasana schooling and working in
democratic state. Visi ini harus ditempuh melalui sistem pendidikan kita diwaktu-
waktu yang akan datang. Pendidikan mulai dari tingkat dasar harus ditanamkan
dan diajarkan pemahaman demokrasi dan bagaimana praktik demokrasi dalam
kehidupan sehari-hari. Kurikulum mengajar harus mencerminkan praktik
demokrasi pada setiap pokok pelajaran di sekolah. Esensi demokrasi yang di
dalamnya terkandung pemahaman perbedaan pendapat harus ditanamkan pada
kurikulum dan proses pengajarannya.

Visi pendidikan berikutnya yang perlu memperoleh perhatian ialah meletakkan


information technology, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam proses
pendidikan. Hal ini berarti mulai dari jaringan tingkat pendidikan rendah sampai
perguruan tinggi merupakan jalur linier pendidikan, pengenalan, pemahaman, dan
pengamalan ilmu dan teknologi di lembaga pendidikan. Sehingga

6
bangsa Indonesia tidak akan ketinggalan dengan percaturan perkembangan ilmu
pengetahuan yang ada di belahan dunia luar Indonesia.

Dengan memperhatikan visi pendidikan masa depan tersebut dan juga


memperhatikan prospek otonomi daerah seperti yang telah dijelaskan, maka
proses dan sistem pendidikan di negara kita harus melakukan repositioning.
Dengan kata lain, kita tidak bisa mempertahankan sistem lama yang telah
ketinggalan bersamaan dengan munculnya paradigma baru pendidikan.

Sesuai Ketentuan Umum Penjelasan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003


tentang Sistem Pendidikan Nasional, Departemen Pendidikan Nasional
berkewajiban untuk mencapai Visi Pendidikan Nasional. Adapun Visi Pendidikan
Nasional yaitu “ Terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat
dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia
berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif
menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.

Dalam rangka mewujudkan Visi Pendidikan Nasional dan sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Misi
Pendidikan Nasional adalah:

a) Mengupayakan perluasan danpemerataan kesempatan memperoleh pendidikan


yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia.

b) Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh


sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar.

c) Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk


mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral.

d) Meningkatkan profesionalisme dan akuntabilitas lembaga pendidikan dan


pengelolanya sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan,
pengalaman, sikap,dan nilai berdasarkan standar nasional dan global.

7
e) Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks NKRI.

Adapun yang menjadi tujuan Pendidikan Nasional menurut Undang-Undang


Sisdiknas adalah:

a) Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan


yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia.

b) Membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh


sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar.

c) Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk


mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral.

d) Meningkatkan profesionalisme dan akuntabilitas lembaga pendidikan dan


pengelolanya sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan,
pengalaman, sikap,dan nilai berdasarkan standar nasional dan global.

e) Memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan


berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks NKRI.

E. Keberhasilan Pendidikan Dewasa Ini

Secara kuantitatif kita dapat mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia telah


mengalami kemajuan. Indikator keberhasilan pendidikan ini dapat dilihat dari
peningkatan kemampuan baca tulis masyarakat sebagai dampak dari program
pemerataan pendidikan. Namun demikian, keberhasilan dari segi kualitatif
pendidikan di Indonesia belum berhasil membangun karakter bangsa yang cerdas,
kreatif, apalagi unggul.

Banyaknya lulusan lembaga pendidikan formal, baik dari tingkat sekolah menengah
maupun dari perguruan tinggi, terkesan belum mampu mengembangkan kreatifitas
dalam kehidupan mereka. Lulusan sekolah menengah sukar untuk bekerja di sektor
formal, karena belum memiliki keterampilan khusus. Bagi sarjana, mereka yang

8
dapat berperan secara aktif dalam bekerja di sektor formal terbilang hanya sedikit.
Keahlian dan profesionalisasi yang melekat pada lembaga pendidikan tinggi
terkesan hanyalah simbol belaka.

Lembaga industri baik swasta, BUMN, pemerintah sering menuntut persyaratan


tertentu terhadap lulusan pendidikan formal untuk bekerja di lembaga tersebut.
Keterampilan dan kemampuan yang dimiliki semisal penguasaan Bahasa Inggris,
keterampilan komputer, dan pengalaman bekerja merupakan syarat utama yang
diminta. Sementara Ijazah yang diperoleh selama puluhan tahun dari lembaga
pendidikan formal terabaikan. Hal ini memberi indikasi kapada kita bahwa kualitas
lulusan pendidikan kita belum layak pakai di dunia kerja. Melihat kenyataan ini, maka
dapat diduga bahwa terjadi kesenjangan antara tujuan yang ingin dicapai dalam
menghasilkan output pendidikan formal dengan pengelolaan pendidikan.

F. Masalah yang Perlu Diatasi

Memperhatikan berbagai kondisi pendidikan dewasa ini, maka hal yang perlu
dikedepankan yaitu :

a. Bagaimana memberdayakan lembaga pendidikan agar menjadi lembaga human


investment.

b. Hal-hal apa yang perlu dilakukan agar otonomisasi penyelenggaraan pendidikan


dapat dilakukan dengan baik.

Dua hal ini merupakan persoalan yang memerlukan pencerahan dari berbagai
pakar dan praktisi serta akademisi pendidikan.

9
BAB II
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA
BIDANG PENDIDIKAN

A. Pendahuluan

Sumber daya manusia (SDM) menjadi faktor dominan dalam suatu


institusi, tidak terkecuali pada bidang pendidikan. Pendidikan memerlukan SDM
berkualitas untuk melaksanakan perannya dalam melayani kebutuhan pendidikan
masayarakat. Kebutuhan pendidikan tersebut meliputi kebutuhan yang bersifat
praktis situasional maupun bersifat prediktif antisipatif bagi transformasi sosial.
Untuk itu, sangat penting upaya pengembangan SDM bagi terwujudnya SDM
bidang pendidikan yang berkualitas.

B. Peran Pendidikan Dalam Upaya Peningkatan Sumber Daya Manusia

Pendidikan diyakini sebagai salah satu bidang yang memiliki peran penting
dan strategis dalam pembangunan suatu bangsa. Bahkan menjadi faktor dominan
di dalam proses peningkatan kecerdasan bangsa. Betapa penting dan strategis
peranan pendidikan di dalam pembangunan bangsa, hal tersebut telah diakuai
sejak dirumuskannya UUD 1945. Tanpa bangsa yang cerdas tidak mungkin
bangsa itu ikut serta dalam percaturan global.
Secara umum, terdapat dua orientasi pendidikan dalam pembangunan
bangsa, yaitu orientasi individual dan orientasi masyarakat. Orientasi individual,
pendidikan berperan dalam pembentukan insan terdidik (educated person) yaitu
melalui proses pengembangan potensi diri. Kemampun yang dimiliki oleh insan
terdidik merupakan sarana bagi pemahaman diri dan lingkungan, upaya adaptasi
dan partisipasi dalam perubahan, pelaku utama bagi perubahan (inovator), dan
memiliki orientasi prediktif dan antisipatif. Dengan demikian, manusia terdidik

10
dapat menjadi anutan bagi yang lainya (reference behavior) dan memiliki andil
dalam membangun masyarakat (society building). Untuk itu, manusia terdidik
harus memiliki keunggulan partisipatif bagi terwujudnya transformasi sosial yang
menyeluruh.
Sedangkan orientasi masyarakat, pendidikan memiliki tiga peran utama
yakni sebagai agen konservatif (agent of conservation), agen inovatif (agent of
innovation), dan agen perubahan (agent of change). Sebagai agen konservatif,
pendidikan secara operasional praktis melalui kegiatan pembelajaran yang
berorientasi pada penanaman dan pelestarian nilai-nilai sosial-budaya asli
(indigeneous) yang memiliki ketangguhan dan ketahanan (homeostatic). Dengan
demikian, masyarakat akan memiliki jati diri dalam menyikapi arus globalisasi.
Sebagai agen inovatif, pendidikan memiliki peran dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan, mendesiminasikan, mensosialisasikan, dan
mengaplikasikannya. Melalui perannya tersebut, pendidikan akan menghasilkan
masyarakat pembelajar (learning society) yang diekspresikan dengan gemar
mencari informasi, menggunakan, dan mengkomunikasikannya. Sedangkan
sebagai agen perubahan, pendidikan memiliki konsekuensi terhadap aplikasi dari
produk inovasi pendidikan, sehingga pendidikan menjadi katalisator bagi
terjadinya transformasi sosial. Pendidikan tidak hanya berorientasi pada masa
sekarang, melainkan bersifat dinamis dan antisipatif bagi terjadinya perubahan.
Dengan beberapa peran yang dimilikinya tersebut, pendidikan dituntut
memiliki sumber daya pendidikan untuk mempersiapkan pelaku-pelaku
perubahan yang tangguh, unggul, partisipatif, dan kompetitif. Sumber daya
pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam penyelenggaraan
pendidikan yang meliputi tenaga kependidikan, masyarakat, dana, sarana, dan
prasarana (UURI No. 20 Tahun 2003). Selanjutnya dinyatakan bahwa tenaga
kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat
untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan. Selanjutnya, dalam pembahasan
ini, tenaga kependidikan dipakai istilah sumber daya manusia pada bidang
pendidikan.
Mengingat peran penting dan strategis bidang pendidikan, maka
pengembangan sumber daya manusia pada bidang ini menjadi tuntutan, baik

11
tuntutan yuridis formal dan teknis operasionalnya maupun tuntutan penguasaan
teoretis dan praktik empiris. Pertanyaannya adalah bagamana pengembangan
sumber daya manusia yang berorientasi pada peningkatan kualitas dan
ketercapaian tujuan pendidikan nasional?

C. Pengembangan Sumber Daya Manusia Yang Berorientasi Pada


Peningkatan Kualitas Dan Ketercapaian Tujuan Pendidikan Nasional

Pengembangan dan pendidikan merupakan dua konsep yang berbeda, tetapi


memiliki keterkaitan yang saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam konstelasi
tulisan ini, pengembangan dapat dilakukan melalui pendidikan, sehingga pendidikan
menjadi wahana bagi pengembangan. Untuk itu, maka pendidikan memerlukan SDM
yang kompeten sebagai aset bagi proses pengembangan dan SDM yang kompeten
tersebut dicapai melalui proses pengembangan. Dengan demikian, SDM menjadi
bagian penting dalam pengembangan dan pendidikan.
Pendidikan merupakan suatu sistem yang terdiri atas komponen-komponen
saling yang saling terkait secara fungsional bagi tercapainya pendidikan yang
berkualitas. Setidaknya terdapat empat komponen utama dalam pendidikan, yaitu:
SDM, dana, sarana, perasarana, dan kebijakan. Komponen SDM dapat dikatakan
menjadi komponen strategis, karena dengan SDM berkualitas dapat
mendayagunakan komponen lainnya, sehingga tercapai efektivitas dan efisiensi
pendidikan. Di mana SDM berkualitas dapat dicapai dengan pengembangan SDM.
Pengembangan adalah upaya meningkatkan sesuatu agar lebih bertambah baik.
Pengembangan SDM dapat dilakukan melalui pendidikan dan latihan. Seperti
dikemukakan Sikula (1981: 38):
development in reference to staffing and personnel matters, is a long term
educational process utilizing a systematic and organized procedure by
which managerial personel learn conceptual and theoetical knowledge for
general purpuses. Training is a short term educational process utilizing a
systematic and orgenized procedure by which nonmanagerial personnel
learn technical knowledge and skill for a definite purpose.

12
Selain itu, Hasibuan (2007: 69) mengemukakan bahwa pengembangan
adalah suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan teknis, teoretis, konseptual,
dan moral karyawan sesuai dengan kebutuhan pekerjaan/jabatan melalui
pendidikan dan latihan. Sedangkan menurut Bella, pendidikan dan latihan sama
dengan pengembangan yaitu merupakan proses peningkatan keterampilan kerja,
baik secara teknis maupun manajerial. Dimana, pendidikan berorientasi pada teori
dan berlangsung lama, sedangkan latihan berorientasi pada praktek dengan waktu
relatif singkat.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secra aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UURI No. 20 Th. 2003: 2). Sedangkan
latihan, secara implisit menjadi bagian dari pendidikan.
SDM adalah kemampuan terpadu dari daya pikir dan daya fisik yang
dimiliki individu (Hasibuan, 2007:243). Selanjutnya dijelaskan bahwa daya pikir
adalah kecerdasan yang dibawa lahir (modal dasar) sedangkan kecakapan adalah
diperoleh dari usaha pendidikan. Daya fisik adalah kekuatan dan ketahanan
seseorang untuk melakukan pekerjaan atau melaksanakan tugas yang diembannya.
Dengan demikian, SDM bidang pendidikan adalah kompetensi fungsional yang
dimiliki tenaga kependidikan dalam melaksanakan tugasnya.
Di dalam melaksanakan tugasnya, SDM dituntut mengaktualisasikan
kemampuannya, baik daya fikir maupun daya fisik secara terintagrasi. Namun
demikian, kedua kemampuan tersebut saja tidak cukup, melainkan harus
diimbangi dengan kecerdasan emosional (Emotional Intellegence). Manakala kita
memandang duni pekerjaan adalah sebagai suatu masyarakat, maka kecerdasan
emosional sangat diperlukan untuk mengenal dan memahami diri sendiri serta
rekan kerja. Menurut Goleman (1996), kecerdasan emosional memiliki
keunggulan dibandingkan kecerdasan intelektual, jika dasar penentunya adalah
keberhasilan hidup di tengah masyarakat.
SDM yang berkualitas yang dibutuhkan diperoleh melalui proses, sehingga
dibutuhkan suatu program pendidikan dan pelatihan untuk mempersiapkan dan

13
pengembangan kualitas SDM yang sesuai dengan transformasi sosial. Menurut
Tilaar (1998), terdapat tiga tuntutan terhadap SDM bidang pendidikan dalam era
globalisasi, yaitu: SDM yang unggul, SDM yang terus belajar, dan SDM yang
memiliki nilai-nilai indigeneous. Terpenuhinya ketiga tuntutan tersebut dapat
dicapai melalui pengembangan SDM.
Dalam upaya pengembangan SDM hendaknya berdasarkan kepada prinsip
peningkatan kualitas dan kemampuan kerja. Terdapat beberapa tujuan
pengembangan SDM, di antaranya adalah: (1) meningkatkan kompetensi secara
konseptual dan tehnikal; (2) meningkatkan produktivitas kerja; (3) meningkatkan
efisiensi dan efektivitas; (4) meningkatkan status dan karier kerja; (5)
meningkatkan pelayanan terhadap klient; (6) meningkatkan moral-etis; dan (7)
meningkatkan kesejahteraan.
Berdasarkan penuturan Hasibuan (2007: 72-73), terdapat dua jenis
pengembangan SDM, yaitu: pengembangan SDM secara formal dan secara
informal. Pertama, pengembangan SDM secara formal yaitu SDM yang
ditugaskan oleh lembaga untuk mengikuti pendidikan atau latihan, baik yang
dilaksanakan oleh lembaga tersebut maupun lembaga diklat. Pengembangan SDM
secara formal dilakukan karena tuntutan tugas saat ini maupun masa yang akan
datang. Dengan demikian, jenis pengembangan ini dapat memenuhi kebutuhan
kompetensi SDM yang bersifat empirical needs dan predictive needs bagi
eksistensi dan keberlanjutan lembaga.
Kedua, pengembangan SDM secara informal yaitu pengembangan kualitas
SDM secara individual berdasarkan kesadaran dan keinginan sendiri untuk
meningkatkan kualitas diri sehubungan dengan tugasnya. Banyak cara yang dapat
dilakuklan SDM untuk meningkatkan kemampuannya, namun jenis
pengembangan ini memerlukan motivasi intrinsik yang kuat dan kemampuan
mengakses sumbersumber informasi sebagai sumber belajar.
Terdapat lima domain penting dalam pengembangan SDM bidang pendidikan,
yaitu: profesionalitas, daya kompetitif, kompetensi fungsional, keunggulan
partisipatif, dan kerja sama. Dimilikinya kemampuan terhadap kelima domain
tersebut merupakan modal utama bagi SDM dalam menghadapi masyarakat ilmu

14
(Knowledge Society) yang dinamis. Asumsi yang mendasari pentingnya kelima
domain tersebut adalah sebagai berikut.

a) Profesionalitas
Profesionalitas adalah tingkatan kualitas atau kemampuan yang
dimiliki SDM dalam melaksanakan profesinya. Sedangkan
profesionalisme adalah penyikapan terhadap profesi dan profesionalitas
yang dimilikinya. SDM yang profesional adalah mereka yang memiliki
keahlian dan keterampilan melalui proses pendidikan dan latihan.
Kemampuan tersebut meliputi kemampuan teknik dan kemampuan
konseptual dalam memberikan layanan formal sesuai dengan profesi dan
keahliannya. Berdasarkan kemampuan SDM dalam melaksanakan
tugasnya tersebut, maka masyarakat akan mengakui dan menghargainya.
Dengan kata lain, penghargaan dan pengakuan masyarakat bergantung
kepada keprofesionalan SDM.
Pengakuan masyarakat terhadap suatu profesi bersifat merit,
sehingga menuntut SDM yang berkualitas. SDM bidang pendidikan,
mereka bekerja dalam suatu masyarakat profesional (profesional
community) yang menuntut kejujuran profesional agar dapat memberikan
layanan profesi sesuai dengan harapan masyarakat. Namun demikian,
kejujuran profesional perlu disikapi dengan upaya meningkatkan
profesionalitas. Untuk itu, pengembangan SDM ke arah profesional
merupakan langkah strategis.
SDM yang melaksanakan profesinya berlandaskan profesionalisme
memiliki kemampuan untuk menyelaraskan kemampuan dirinya dengan
visi dan misi lembaga. Artinya, SDM tersebut akan mengaktualisasikan
seluruh potensi yang ada dan mendayagunakannya dalam memberikan
layanan kepada masyarakat, sehingga masyarakat merasakan manfaat dan
mengakui keberadaannya.

15
b) Daya Kompetitif
SDM yang memiliki daya kompetitif adalah mereka yang memiliki
kemampuan ikut serta dalam persaingan. Apabila kita memandang bahwa
melaksanakan tugas adalah suatu persaingan, maka SDM yang memiliki
daya kompetitif adalah mereka yang dapat berfikir kreatif dan produktif.
SDM yang berfikir kreatif dapat bersaing dan dapat memunculkan kreasi-
kreasi baru. Berfikir kreatif dilandasi dengan kemampuan berfikir
eksponensial dan mengeksplorasi berbagai komponen secara tekun dan
ulet hingga menghasilkan suatu inovasi.
SDM yang inovatif tidak hanya terbatas pada kemampuan
melaksanakan pekerjaan sesuai dengan tugasnya, melainkan kemampuan
mencari dan menggunakan cara baru dalam menyelesaikan tugasnya
tersebut. Sikap tekun dan ulet dalam melaksankan tugas hanya dapat
menghasilkan prestasi temporer, sedangkan tekun dan ulet dalam berfikir
kreatif akan menghasilkan pertasi berkelanjutan.
Salah satu sifat SDM yang inovatif adalah mereka yang tidak
merasa puas dengan apa yang telah dikerjakan dan dihasilkannya,
melainkan merasa penasaran atas kinerjanya. SDM yang inovatif hanya
dapat dihasilkan melalui proses pengembangan kemampuan berfikir
kreatif (creative thinking). Artinya, SDM yang memiliki daya kompetitif
harus memiliki kecerdasan intelektual agar dapat memiliki banyak
alternatif dalam memilih dan menentukan strategi yang tepat.

c) Kompetensi fungsional
Kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk
melaksanakan profesinya. Sesungguhnya kompetensi tersebut merupakan
suatu sistem pengetahuan yang terdiri atas pengetahuan konseptual,
pengetahuan teknik, pengetahuan menyeleksi, dan pengetahuan
memanfaatkan. Apabila seluruh pengetahuan tersebut diaktualisasikan
secara simultan, maka manfaatnya dapat dirasakan baik oleh yang
bersangkutan maupun oleh masayarakat.

16
Kompetensi pada tiga tataran pertama, yaitu kemampuan:
konseptual, teknik, dan memutuskan merupakan kompetensi potensial.
Sedangkan kompetensi pada tataran aplikasi tepat waktu dan tepat
sasaran, itulah kompetensi fungsional. Kompetensi fungsional akan
menunjukkan efektivitasnya manakala SDM memiliki motivasi yaitu
motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik berkaitan
erat dengan etos kerja, sedangkan motivasi ekstrinsik dapat berasal dari
rekan kerja, lembaga, dan masyarakat.
SDM yang memiliki kompetensi fungsional adalah mereka yang
memiliki kemampuan dalam mendayagunakan potensi diri (kompetensi
potensial) yang disumbangkan (kemampuan mengaplikasikan secara
tepat) dalam melaksanakan tugas atau profesinya. Untuk itu,
pengembangan SDM bidang pendidikan dengan memberikan motivasi
merupakan salah satu strategi yang dapat dipilih. Motivasi tersebut
mungkin berupa posisi atau salary. Menurut Tilaar ( 1996: 343),
pengembangan SDM selain meningkatkan kemampuan profesional juga
meningkatkan posisi dan pendapatan.

d) Keunggulan partisipatif
SDM unggul adalah SDM berkualitas yang memiliki kemampuan
lebih dibandingkan dengan yang lainnya. Mereka dapat mengembangkan
potensi diri dan sumber daya lainnya seoptimal mungkin. Dengan
kemampuannya tersebut, SDM yang unggul dapat mencapai prestasi
untuk kemajuan dirinya, lembaga, bangsa dan negara. Mereka yang
memiliki keunggulan dapat survive dalam kehidupan yang kompetitif,
karena mereka memiliki banyak pilihan dan kecerdasan untuk mengambil
keputusan yang tepat. Terapat dua jenia SDM unggul, yaitu: keunggulan
individualistik dan keunggulan partisipatoris.
SDM unggul secara individualistik adalah mereka yang
memanfaatkan kemampuan dirinya untuk kepentingan pribadi. Hal ini
sangat berbahaya, karena SDM yang unggul individualistik dapat
melahirkan manusia tipe homo homini lupus. Sedangkan SDM unggul

17
secara partisipatoris adalah mereka yang memiliki keunggulan dalam
mengembangkan potensi diri untuk ikut berpartisipasi dalam kehidupan,
baik yang bersifat kompetitif maupun kooperatif dan solidaritas sosial.
Dengan demikian, pengembangan SDM bidang pendidikan adalah
upaya peningkatan kualitas SDM yang unggul partisipatoris. Untuk itu,
sangat penting kecerdasan emosional dan kecerdasan intelektual
dikembangkan secara terintegratif, karena akan menjadi kekuatan sinergis
dalam melaksanakan tugas.

e) Kerja Sama
Kemampuan kerja sama (teamwork) sangat penting di era
globalisasi, karena dengan kemampuan tersebut akan menjadi kekuatan
potensial bagi suatu organisasi atau institusi. Sesungguhnya, era
globalisasi bersifat potensial yang menuntut kemampuan menyeleksi dan
mendayagunakannya agar teraktualisasikan hingga bernilai guna. Salah
satu upaya mengatualisasikan potensi tersebut adalah melalui kerja sama.
Namun demikian, aspek penting dalam proses seleksi dan
memanfaatkan potensi tersebut adalah kemampuan menyelaraskannya
dengan nilai-nilai indigeneous. Pada tataran praktis operasional, SDM
yang memiliki nilai-nilai indigeneous tersebut adalah memahami visi dan
misi lembaga, serta merefleksikannya dalam pelaksanaan tugas.
SDM yang memiliki kemampuan kerja sama harus diimbangi
dengan kemampuan untuk mengembangkan jaringan-jaringan kerja sama
(network). Pentingnya jaringan kerja sama dan kerja sama menjadi
katalisator bagi tercapainya efektivitas dan efisiensi kerja. Kemampuan
yang dibutuhkan dalam kerja sama adalah mengembangkan kemampuan
untuk mengintegrasikan kemampuan diri dengan kemampuan mitra kerja
terhadap orientasi kerja sama.
Untuk itu, pengembangan pada aspek dedikasi, disiplin, dan
kejujuran sangat mutlak dalam suatu kerja sama, termasuk jujur terhadap
kemampuan diri. Pentingnya sikap jujur dalam suatu kerja sama

18
dikemukakan Fukuyama (1996), tanpa kejujuran tidak mungkin seseorang
dapat melakukan bekerja sama dengan baik.
Pengembangan SDM bidang pendidikan pada domain ini adalah
peningkatan kemampuan mencari jaringan kerja sama dan melaksanakan
kerja sama dengan berlandasankan kepada dedikasi, disiplin, dan jujur
serta moral-etis. Dengan demikian, SDM memiliki jati diri sesuai dengan
visi dan misi lembaga.

Pengembangan SDM pada lima domain tersebut merupakan upaya


mewujudkan SDM berkualitas untuk mempersiapkan masyarakat dan bangsa dalam
menghadapi transformasi sosial yang kompetitif. Di mana pendidikan dan latihan
menjadi wahana efektif bagi terwujudnya SDM berkualitas tersebut. Namun
demikian, disinyalir banyak pihak bahwa pada tataran empiris, SDM yang telah
melalui proses pendidikan dan latihan belum signifikan peningkatan kualitasnya.
Untuk itu, terhadap pengembangan SDM pada kelima domain di atas
masih diperlukan upaya pengendalian mutu terpadu atau total quality control
(TQC) dari pihak yang memiliki wewenang (authority), pada lembaga di mana
SDM bertugas. Selain itu, pendidikan dan latihan sebagai wahana pengembangan
SDM diperlukan suatu program diklat terpadu agar tercapai efektivitasnya.
Pengembangan SDM bidang pendidikan hendaknya tidak hanya sebatas pada
peningkatan kemampuan untuk mempersiapkan masyarakat dalam mengikuti
perubahan, melainkan lebih jauh ke depan adalah kemampuan mempersiapkan
insan inovator bagi perubahan. SDM yang memiliki kemampuan tersebut menjadi
aset strategis dalam merealisasikan peran pendidikan sebagai agent of innovation
dan agent of changes. Selain itu, dapat menghasilkan insan-insan yang memiliki
daya kompetitif yang tidak meninggalkan nilai-nilai indigeneous, sehingga
mampu menunjukkan jati diri yang bermoral-etis dan identitas lembaga pada
percaturan global.

19
BAB III
PROFESIONALISME GURU
A. Pendahuluan

Guru merupakan salah satu faktor strategis dalam menentukan


keberhasilan pendidikan karena gurulah yang meletakkan dan
mempersiapkan dasar perkembangan potensi peserta didik untuk masa
depan bangsa. Untuk melaksanakan itu, tentu diperlukan guru yang
memiliki profesionalisme tinggi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), profesionalisme
adalah ‘mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi
atau orang yang profesional’. Dengan demikian, profesionalisme guru
adalah mutu, kualitas, dan tindak tanduk dari seorang guru yang profesional.
Sedangkan profesional Dalam KBBI berarti (1) ‘bersangkutan dengan
profesi’; (2) ‘memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya’; (3)
‘mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya (lawan amatir)’.
Berdasarkan makna rersebut, dapat disimpulkan bahwa guru yang
profesional adalah guru yang memiliki keahlian khusus dalam mengajar dan
memiliki pendapatan yang layak sesuai dengan kebutuhan hidupnya.
Profesionalisme memang menjadi hal yang kerap dituntut dan
diharapkan dalam berbagai profesi, tak terkecuali guru. Di kalangan guru,
istilah profesionalisme sering dihubungkan dengan program sertifikasi guru.
Program pemerintah yang dilahirkan melalui Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ini bertujuan untuk (1) menentukan
kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai pendidik profesional, (2)
meningkatkan proses dan hasil pembelajaran, (3) meningkatkan
kesejahteraan guru, serta (4) meningkatkan martabat guru dalam rangka
mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.
Guru yang telah diakui kecakapan dan keahliannya serta dinyatakan
lulus dalam program sertifikasi ini akan diberikan tunjangan gaji tambahan
dalam pendapatannya. Pemberian tunjangan yang cukup menggiurkan tadi
tentu memberikan tambahan pendapatan bagi guru. Berdasarkan hal
tersebut, guru yang telah lulus sertifikasi dapat dikatakan sebagai guru yang

20
profesional karena telah terbukti memiliki kecakapan yang layak dan
memperoleh pendapatan yang layak pula.
Program sertifikasi guru untuk menciptakan profesionalisme tentu
dapat dikatakan tidak berhasil apabila dalam pelaksanaannya guru tidak
enganggap tujuan utama program ini sebagai upaya untuk meningkatkan
kualitas pendidikan nasional, tetapi hanya menganggap sebagai suatu tujuan
untuk memiliki sertifikat demi mendapatkan tunjangan profesi.
Jika guru memiliki pemikiran seperti itu, tentu seorang guru tidak akan
memiliki komitmen untuk meningkatkan kualitas dan keahliannya. Bahkan,
idak menutup kemungkinan seorang guru akan mengejar sertifikasi melalui
perbuatan yang tidak terpuji dengan cara yang tidak jujur dan menghalalkan
segala cara.
Harapan kita, peningkatan kecakapan dan keahlian guru demi
kemajuan pendidikan nasional tetap menjadi prioritas utama dalam program
sertifikasi. Peningkatkan kecakapan dan keahlian seorang guru dapat
diupayakan dengan berbagai cara: melanjutkan pendidikan, membiasakan
gemar membaca, mengikuti seminar, melaksanakan Penelitian Tindakan
Kelas, atau mengaktifkan diri dalam kegiatan Kelompok Kerja Guru. Satu
hal yang sangat penting, seorang guru harus memiliki visi, misi, dan
kemauan yang kuat untuk menjadikan profesi guru sebagai profesi yang
dihargai dan disejajarkan dengan profesi mulia lainnya.
Guru harus mampu membuktikan bahwa profesinya layak untuk
dihargai dan dihormati karena guru merupakan tulang punggung dalam
mencerdaskan bangsa. Profesionalisme guru harus dibangun oleh dua pihak
secara bersama-sama, yaitu guru sebagai pihak yang dituntut memiliki
kecakapan dan keahlian serta pemerintah sebagai pihak yang dituntut untuk
memberikan penghasilan yang layak kepada guru. Intinya, guru dan
pemerintah harus memberikan kontribusi positif ke arah perbaikan mutu
pendidikan.
Hal yang dibutuhkan sekarang adalah kemauan dan kemampuan guru
dalam memacu potensi dirinya agar sesuai dengan standar kecakapan yang
telah ditetapkan. Kemudian adanya kemauan, kemampuan, serta keseriusan

21
pemerintah dengan segala kebijakannya dalam upaya meningkatkan mutu
dan mewujudkan standar penghasilan yang layak bagi guru. Satu hal yang
tidak boleh dilupakan juga bahwa keprofesionalismean seorang guru tentu
akan terwujud jika dilandasi sikap yang bertanggung jawab dan jujur.

B. Hakikat Profesi Guru

Profesi secara harfiah berasal dari kata profession (Inggris) yang


berasal dari bahasa Latin profesus yang berarti “Mampu atau ahli dalam
suatu bentuk pekerjaan” (Sanusi, dalam Alma, Buchari 2010: 115). Profesi
dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut
keahlian, yang didapat melalui pendidikan dan latihan tertentu, menuntut
persyaratan khusus, memiliki tanggung jawab dan kode etik tertentu.
Pekerjaan yang bersifat profesional berbeda dengan pekerjaan lainnya
karena suatu profesi memerlukan kemampuan dan keahlian khusus dalam
melaksanakan profesinya. Webstar dalam Kunandar (2007: 45) mengartikan
profesi sebagai suatu bidang pekerjaan yang ingin ditekuni seseorang. Profesi
juga diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan
pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis
yang intensif. Jadi, profesi adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut
keahlian tertentu. Artinya suatu pekerjaan atau jabatan yang disebut profesi
tidak dapat dipegang oleh sembarang orang, tetapi memerlukan persiapan
melalui pendidikan dan pelatihan secara khusus.
Profesi menunjukkan lapangan yang khusus dan mensyaratkan studi dan
penguasaan pengetahuan khusus yang mendalam, seperti bidan hukum, militer,
keperawatan, kependidikan, dan sebagainya. Profesi berarti pekerjaan yang
hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang khusus dipersiapkan untuk itu dan
bukan pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang karena tidak dapat memperoleh
pekerjaan lain. Profesi seseorang yang mendalami hukum adalah

22
ahli hukum, seperti jaksa, hakim, dan pengacara. Profesi seseorang yang
mendalami keperawatan adalah perawat. Sementara itu, seseorang yang
menggeluti dunia pendidikan (mendidik dan mengajar) adalah guru, dan
berbagai profesi lainnya.
Mengingat tugas dan tanggung jawab guru yang begitu kompleks,
maka dari itu profesi memiliki ciri khusus dalam pelaksanaannya. Glenn
Langford dalam Alma Buchari, (2010: 120) mengemukakan ciri profesi
sebagai berikut:
1) Payment (bersifat bayaran)
2) Knowledge and skill (memiliki pengetahuan dan keterampilan yang
luas)
3) Responsibility purpose (memiliki tanggung jawab sebagai agen,
pribadi, sosial dan tanggung jawab sebagai pengembang misi untuk
mencapai tujuan)
4) The profession ideal services (memberi pelayanan yang tepat)
5) Unity (memiliki kesatuan dalam upaya mencapai tujuan)
6) Recognition (memperoleh pengakuan dari masyarakat)
Berdasarkan definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa profesi
adalah suatu keahlian (skill) dan kewenangan dalam suatu jabatan tertentu
yang mensyaratkan kompetensi (pengetahuan, sikap, dan keterampilan)
tertentu secara khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang
intensif. Profesi dapat didapatkan melalui pendidikan dan latihan dengan
waktu yang lama. Dengan demikian, profesi guru adalah keahlian dan
kewenangan khusus dalam bidang pendidikan, pengajaran, dan pelatihan
yang ditekuni untuk menjadi mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan
hidup yang bersangkutan. Guru sebagai profesi berarti guru sebagai
pekerjaan yang mensyaratkan kompetensi (keahlian dan kewenangan) dalam
pendidikan dan pembelajaran agar dapat melaksanakan pekerjaan tersebut
secara efektif dan efisien serta berhasil guna.
Syarat-syarat khusus diperlukan untuk mejadi seorang guru, terutama
untuk menjadi seorang guru yang profesional harus menguasai seluk beluk
pendidikan dan pengajaran dengan berbagai ilmu pengetahuan lainnya yang

23
perlu dibina dan dikembangkan melalui masa pendidikan tertentu atau
pendidikan prajabatan. Usman (2011: 6), mengatakan bahwa guru adalah
profesi atau jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru.
Pekerjaan ini tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak memiliki keahlian
untuk melakukan kegiatan atau pekerjaan sebagai guru.
Guru dituntut mampu mengelola proses belajar-mengajar yang dapat
memberikan rangsangan kepada siswa, sehingga siswa memiliki keinginan
yang tinggi untuk belajar. Mulyasa (2010: 35), mengatakan bahwa minat,
bakat, kemampuan, dan potensi-potensi yang dimiliki siswa tidak akan
berkembang secara optimal tanpa bantuan guru. Dalam kaitan ini guru perlu
memperhatikan siswa secara individual, karena antara satu siswa dengan
siswa lainnya memiliki perbedaan yang mendasar. Guru pula yang
memberikan dorongan agar siswa berani berbuat benar, dan membiasakan
mereka bertanggung jawab terhadap setiap perbuatannya. Untuk itu profesi
guru ini sangat menuntut kesabaran, kreatifitas dan profesionalisme.

C. Guru Sebagai Contoh (Suri Teladan)

Pada dasarnya perilaku yang dapat di tunjukan oleh peserta didik di


pengaruhi oleh latar belakang pendidikan dan pengalaman yang dimiliki
oleh seorang guru. Atau dengan kata lain guru mempunyai pengaruh
terhadap perubahan peserta didik. Untuk itulah guru harus dapat menjadi
contoh suri teladan bagi peserta didik, karena guru adalah representatif dari
sekelompok orang pada suatu komunitas atau masyarakat yang diharapkan
dapat menjadi teladan, yang dapat di gugu dan ditiru.
Keteladanan adalah making something as example, Provident a model
yang artinya, menjadikan sesuatu sebagai teladan. Teladan adalah segala
sesuatu yang terkait dengan perkataan, perbuatan, sikap dan perilaku seorang
yang dapat di tiru atau di teladani oleh pihak lain. Sedangkan guru atau
pendidik adalah pemimpin sejati, pembimbing dan pengarah yang bijak sana,
pencetak para tokoh dan pemimpin umat ( Isa, 1994 ). Jadi ke teladan guru yang
baik adalah contoh yang baik dari guru baik yang berhubungan dengan

24
sikap, perilaku, tutur kata, mental, maupun yang terkait dengan akhlak yang
moral yang patut dijadikan contoh peserta didik.
Lebih jauh Abdullah Nashi Ulwan dalam Dwi astuti (2006)
memberikan resep untuk membentuk keteladanan guru dan orang tua dalam
membentuk kepribadian anak, keteladanan anak meliputi kejujuran, amanah,
ifah ( menjaga diri dari perbuatan yang tidak di Ridhoi ), pemberian kasih
sayang, perhatian, menyediakan sekolah yang cocok, dan memilihkan teman
bagi anaknya.
Guru sebagai teladan bagi siswa adalah guru yang harus mempunyai
keteladanan yang lebih dari siswanya, guru juga harus memiliki sikap,
perilaku, moral yang baik, sopan santun, etitut, dan bersikap baik, semua itu
akan di contoh oleh pendidik kita. Guru juga harus selalu mengajarkan
kepada siswa sifat – sifat keteladanan yang baik tetapi bukan hanya guru
saja yang mengajarkan tetapi orang tua juga harus terlibat tentang anaknya.
Pengajaran orang tua ke anaknya sama besar guru mengajarkan anak didik
di sekolahan. Ciri – ciri guru yang baik, yaitu:
a) Memahami dan menghormati anak didik.
b) Menghormati bahan belajar yang diberikannya.
c) Menyesuaikan metode mengajar dengan bahan pelajaran.
d) Menyesuaikan bahan pelajaran dengan kesanggupan individu.
e) Mengaktifkan siswa dalam konteks belajar.
f) Member pengertian dan bukan hanya kata – kata belakang.

Guru yang baik bercirikan sebagai berikut :


a) Memiliki kesadaran dan tujuan.
b) Memiliki harapan dan keberhasilan bagi semua siswa.
c) Mentelerir ambiguitas.
d) Melanjutkan kemauan beradaptasi dan berubah untuk memenuhi
kebutuhan siswa.
e) Merasa tidak nyaman jika kurang mengetahui.

25
f) Mencerminkan komitmen pada pekerjaan mereka.
g) Belajar dari berbagai modal.

D. Kompetensi dan Tugas Guru

1. Kompetensi Guru
Perbedaan pokok antara profesi guru dengan profesi lainnya terletak
dalam tugas dan tanggung jawabnya. Tugas dan tanggung jawab tersebut
erat kaitannya dengan kemampuan-kemampuan yang di syaratkan untuk
memangku profesi tersebut. Kemampuan tersebut tidak lain ialah
kompetensi guru.
Di dalam bahasa Inggris terdapat tiga peristilahan yang mengandung
makna apa yang dimaksudkan dengan perkataan kompetensi itu. Berikut
tiga peristilahan tersebut:
• “competence (n) is being competent, ability (to do the work)”
• competent (adj.) refers to (persons) having ability, power, authority,
skill, knowledge, etc. (to do what is needed)
• “competency is rational performance which satisfactorily meets the
objectives for a desired condition”
Dijelaskan dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 2005 tentang guru dan dosen bahwa, “kompetensi adalah seperangkat
pengetahuan, keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan
dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas
keprofesionalannya.” Maka dari itu kompetensi dapat dilihat dalam dua
konteks, yang pertama merupakan indikator kemampuan yang menunjukkan
kepada perbuatan yang dapat diobservasi. Kedua, kompetensi sebagai
konsep yang mencakup aspek-aspek kognitif dan afektif sesuai dengan tahap
pelaksanaannya istilah kompetensi sebenarnya memilik banyak makna
sebagaimana yang dikutip oleh Mulyasa.E dalam bukunya yang berjudul
Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru dari beberapa pendapat, antara lain
Broke dan Stone “kompetensi adalah descriptive of qualitative nature or
teacher behavior appear to be entirely meaningfull” merupakan

26
gambaran hakikat kualitatif dari perilaku guru yang tampak berarti,
sementara Charles mengemukakan bahwa “kompetensi merupakan perilaku
yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan
kondisi yang diharapkan”.
Dari uraian di atas, nampak bahwa kompetensi mengacu pada
kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh melalui pendidikan.
Kompetensi guru merujuk kepada performance dan perbuatan yang rasional
untuk memenuhi spesifikasi tertentu di dalam pelaksanaan tugas-tugas
pendidikan. Dikatakan rasional karena mempunyai arah dan tujuan,
sedangkan performance merupakan perilaku nyata dalam arti tidak hanya
dapat diamati, tetapi mencakup sesuatu yang tidak kasat mata.
Kompetensi merupakan komponen utama dari standar profesi di
samping kode etik sebagai regulasi perilaku profesi yang ditetapkan dalam
posedur dan sistem pengawasan tertentu. Kompetensi diartikan dan
dimaknai sebagai perilaku efektif yang terkait dengan eksplorasi dan
investigasi, menganalisis dan memikirkan, serta memberikan perhatian yang
mengarahkan seseorang menemukan cara-cara untuk mencapai tujuan
tertentu secara efektif dan efisien.
Kompetensi dipandang sebagai pilar atau teras kinerja dari suatu
profesi. Hal ini mengandung implikasi bahwa seorang profesional yang
kompeten itu harus dapat menunjukkan karakteristik utamanya, antara lain:

a) Mampu melakukan sesuatu pekerjaan tertentu secara rasional.


b) Menguasai perangkat pengetahuan (teori dan konsep, prinsip dan
kaidah, hipotesis dan generalisasi, data dan informasi, dan sebagainya)
tentang seluk beluk apa yang menjadi bidang tugas pekerjaannya.
c) Menguasai perangkat keterampilan (strategi dan taktik, metode dan
teknik prosedur dan mekanisme, sarana dan instrumen, dan
sebagainya) tentang cara bagaimana dan dengan apa harus melakukan
tugas pekerjaanya.
d) Memahami perangkat persyaratan ambang (basic standards) tentang
ketentuan kelayakan normatif minimal kondisi dari proses yang dapat

27
ditoleransikan dan kriteria keberhasilan yang dapat diterima dari apa
yang dilakukannya (the minimal acceptable performances).
e) Memiliki daya (motivasi) dan citra (aspirasi) unggulan dalam
melakukan tugas pekerjaannya.
f) Memiliki kewenangan (otoritas) yang memancar atas penguasaan
perangkat kompetensinya yang dalam batas tertentu dapat
didemonstrasikan dan teruji, sehingga memperoleh pengakuan pihak
berwenang.
Kompetensi guru merupakan perpaduan antara kemampuan
personal,keilmuan, teknologi, sosial, dan spiritual yang secara kaffah
membentuk kompetensi standar profesi guru. Kompetensi standar guru
mencakup penguasaan materi, pemahaman terhadap siswa, pembelajaran
yang mendidik, pengembangan pribadi dan profesionalisme.
Dari berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
kompetensii adalah gambaran kualifikasi seseorang, baik yang sifatnya
kualitatif maupun yang kuantitatif dalam melaksanakan profesi yang
digelutinya berdasarkan pendidikannya secara bertanggung jawab dan
profesional.
Berangkat dari keyakinan adanya perubahan peningkatan status guru
menjadi tenaga profesional, dan apresiasi lingkungan yang tinggi. Tentunya
kompetensi merupakan langkah penting yang perlu ditingkatkan.
Kompetensi intelektual merupakan berbagai perangkat pengetahuan
dalam dirii individu, diperlukan untuk menunjang berbagai aspek unjuk
kerja sebagai guru profesional. Tertulis pada Undang-Undang RI Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dalam Bab IV Bagian kesatu pasal 8,
bahwa “guru wajib memiliki kualifikasi, kompetensi, dan sertifikat
pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Seorang guru harus memiliki
kompetensi agar dapat menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan
baik. Kompetensi guru merupakan kemampuan seorang guru dalam
melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak.
Kompetensi dapat dipahami sebagai kecakapan atau kemampuan.

28
Kompetensi guru adalah seperangkat penguasaan kemampuan yang
harus ada dalam diri guru agar dapat mewujudkan kinerjanya secara tepat
dan efektif (Kunandar, 2007:55). Kompetensi juga diartikan sebagai
kepemilikan, penugasan, keterampilan dan kemampuan yang dituntut
jabatan seseorang, maka seorang guru harus menguasai kompetensi guru.
Sagala (2011: 23), kompetensi guru adalah seperangkat pengetahuan,
keterampilan dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh
guru untuk dapat melaksanakan tugas-tugas profesionalnya. Kunandar
(2007: 46) menyatakan profesionalisme guru merupakan kondisi, arah, nilai,
tujuan, dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan dalam bidang
pendidikan dan pengajaran yang berkaitan dengan pekerjaan seseorang yang
menjadi mata pencaharianya.
Kompetensi profesionalisme guru merupakan kemampuan seorang
guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab.
Oleh karena itu, tingkat profesionalisme seorang guru dapat dilihat dari
keahlian dan kemampuan-kemampuan yang dimilikinya. Dalam hal ini
Muhibbin Syah (2008: 250) mengutip pendapat Gagne bahwa setiap guru
berfungsi sebagai:
a) Designer of Instruction (perancang pengajaran)
b) Manager of Instruction (pengelola pengajaran)
c) Evaluator of Student Learning (penilai pestasi belajar)
Pembahasan kompetensi profesionalisme guru ini erat kaitannya
dengan pembahasan tentang standar keilmuan yang dimiliki guru itu sendiri.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa guru profesional harus memiliki
standar keilmuan sesuai bidangnya. Standar keilmuan guru
mengacu kepada kompetensi guru profesional. Pemerintah telah memutuskan empat jenis
kompetensi guru sebagaimana tercantum dalam Peraturan

Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan


yaitu kompetensi profesional, sosial, pedagogic dan kepribadian.
Demikian pula dijelaskan dalam UU RI Nomor 14 Tahun 2005 dan
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan

29
Angka Kreditnya bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi profesional,
kompetensi sosial, kompetensi pedagogik, dan kompetensi kepribadian yang
diperoleh melalui pendidikan profesi.
Guru adalah salah satu faktor penting dalam penyelenggaraan pendidikan
di sekolah. Oleh karena itu, meningkatkan mutu guru bukan hanya dari segi
kesejahteraannya, tetapi juga profesionalitasnya. Undang Undang Nomor 14
Tahun 2005 Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi siswa pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah. Guru sebagai seorang profesional harus memiliki kompetensi
keguruan yang cukup. Kompetensi keguruan itu tampak pada kemampuannya
menerapkan sejumlah konsep, asas kerja sebagai guru, mampu
mendemonstrasikan sejumlah strategi maupun pendekatan pengajaran yang
menarik dan interaktif, disiplin, jujur, dan konsisten.
Seorang guru profesional harus memiliki kompetensi keguruan yang
cukup. Kompetensi keguruan itu tampak pada kemampuannya dalam
menerapkan sejumlah konsep, asas kerja sebagai guru, mampu
mendemonstrasikan sejumlah strategi maupun pendekatan pengajaran yang
menarik dan interaktif, disiplin, jujur, dan konsisten (Sagala, 2011: 39).

2. Peran dan Tugas Guru


Pengelolaan pendidikan dan pengajaran diharapkan dapat
mengkontribusikan keluaran pendidikan yang berkualitas melalui guru yang
benar-benar profesional. Peranan guru dalam konteks proses belajar
mengajar meliputi banyak hal antara lain, guru sebagai pengajar, pemimpin
kelas, pembimbing, pengatur lingkungan, partisipan, ekspeditor, perencana,
supervisor, motivator, dan konselor, Adams dkk dalam Usman (2011: 9).
Peran guru yang paling dominan diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Guru Sebagai Demonstrator
Peranan guru sebagai demonstrator, lecturer atau pengajar hendaknya
senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan

30
diajarkannya, serta senantiasa mengembangkannya dalam arti
meningkatkan kemampuannya dalam hal ilmu yang dimilikinya. Hal
ini sangat menentukan hasil belajar yang diperoleh oleh siswa. Ilmu
pengetahuan merupakan bekal bagi guru dalam melaksanakan
tugasnya sebagai pengajar dan demonstrator sehingga mampu
memperagakan apa yang diajarkan secara didaktis.
b. Guru Sebagai Pengelola Kelas
Peran guru sebagai pengelola kelas (learning manager), guru
hendaknya mampu mengelola kelas sebagai lingkungan belajar.
c. Guru Sebagai Mediator dan Fasilitator
Guru sebagai mediator hendaknya memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang cukup tentang media pendidikan karena media
pembelajaran merupakan alat komunikasi guna lebih mengefektifkan
proses belajar mengajar. Guru sebagai fasilitator guru hendaknya
mampu mengusahakan sumber belajar yang kiranya berguna serta
dapat menunjang pencapaian tujuan dan proses belajar mengajar.
d. Guru Sebagai Evaluator
Guru hendaknya menjadi seorang evaluator yang baik. Kagiatan ini
dimaksudkan untuk mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan,
penguasaan siswa terhadap pelajaran, serta ketepatan atau keefektifan
metode belajar. Tujuan lain dari penilaian diantaranya ialah untuk
mengetahui kedudukan siswa di dalam kelas atau kelompoknya.
Fungsi guru sebagai evaluator hendaknya terus menerus mengikuti
hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa dari waktu ke waktu.
Informasi yang diperoleh melalui evaluasi ini merupakan umpan balik
(feedback) terhadap proses belajar mengajar. Umpan balik ini akan
dijadikan titik tolak untuk memperbaiki dan meningkatkan proses
belajar mengajar selanjutnya.
Peranan merupakan aspek dinamis kedudukan atau status. Kedudukan
diartikan sebagai serangkaian perilaku yang harus dikerjakan seseorang
sebagai taggapan harapan orang lain. Seseorang yang menempati kedudukan
tertentu dituntut dapat memenuhi harapan dalam menjalankan perannya.

31
Undang-Undang Nomor 20. Tahun 2003 Bab 1 pasal 1 ayat 5 menyebutkan
bahwa tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan
diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.
Sehubungan dengan hal di atas guru memiliki tugas dalam bentuk
pengabdian, baik yang terikat oleh dinas maupun di luar dinas. Usman (2011:
6) menyatakan bahwa tugas guru dapat dibagi menjadi tiga jenis tugas guru.
Tugas tersebut terdiri dari tugas dalam bidang profesi, tugas kemanusiaan,
dan tugas dalam bidang kemasyarakatan.
Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar, dan melatih.
Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai. hidup.
Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-
keterampilan pada siswa.
Pada hakikatnya guru merupakan komponen strategis yang memiliki
peran penting dalam menentukan gerak maju kehidupan bangsa. Keberadaan
guru dalam kehidupan bangsa sejak dulu bahkan sampai pada era
kontemporer ini tidak dapat digantikan oleh komponen lainnya. Guru
menjadi komponen yang penting bagi suatu bangsa, terutama bagi bangsa
yang sedang membangun.
Guru merupakan kunci keberhasilan pendidikan dengan tugas
profesionalnya dalam membantu siswa untuk mengembangkan prestasinya.
Sejalan dengan hal tersebut Supriadi dalam Mulyasa. E, (2007: 9)
mengungkapkan bahwa mutu pendidikan yang dinilai dari prestasi belajar
siswa sangat ditentukan oleh guru, yaitu 34% pada negara sedang
berkembang dan 36% pada negara maju. Ungkapan ini mengisyaratkan
bahwa guru merupakan salah satu indikator yang menentukan kualitas
pendidikan. Bagus tidaknya kualitas pendidikan akan terlihat dari kinerja
dan kompetensi yang dimiliki oleh guru sebagai pendidik.
Guru harus menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik sehingga
mampu menciptakan seseorang yang siap untuk bersaing di era
pembangunan. Potret dan wajah diri bangsa dimasa depan tercermin dari
potret diri para guru masa kini, jarak maju dinamika kehidupan bangsa

32
berbanding lurus dengan citra para guru di masyarakat, (Usman, 2011: 7).
Kedudukan guru yang demikian itu senantiasa relevan dengan
perkembangan zaman.
Tugas dan peran guru sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan
pendidikan di sekolah. Dalam konteksnya guru sebagai pendidik hendaknya
memiliki kestabilan emosi, bersikap realistik, jujur dan terbuka, peka
tehadap perkembangan, terutama inovasi pendidikan. Dengan demikian
dapat diketahui bahwa tugas dan peran guru sangat berat, baik yang
berkaitan dengan dirinya, dengan siswanya, dengan teman sejawatnya,
dengan kepala sekolah, dengan wali murid maupun dengan yang lainnya.

E. Peranan Guru dalam Pembelajaran Tatap Muka

Terdapat beberapa peran guru dalam pembelajaran tatap muka yang


dikemukakan oleh Moon Uno, 2008:22-26, yaitu sebagai berikut :
1. Guru sebagai perancang pembelajaran designer of instruction
a) Membuat dan merumuskan TIK.
b) Menyiapkan materi yang relevan dengan tujuan, waktu, fasilitas
perkembangan ilmu, kebutuhan dan kemampuan siswa,
komprehensif, sistematis dan fungsional efektif
c) Merancang metode yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi
siswa.
d) Menyediakan sumber belajar atau fasilitator dalam pengajaran
e) Berperan sebagai mediator dengan memperhatikan relevansi,
efektif dan efisien, kesesuaian dengan metode, serta
pertimbangan praktis.
2. Guru sebagai pengelola pembelajaran manager of instruction
Guru mengembangkan kemampuan siswa menggunakan alat-alat
belajar, menyediakan kondisi-kondisi yang memungkinkan siswa bekerja
dan belajar, serta membantu siswa memperoleh hasil yang diharapkan.
Guru juga berperan dalam membimbing pengalaman sehari-hari ke arah
pengenalan tingkah laku dan kepribadiannya sendiri.
3. Guru sebagai pengarah pembelajaran

33
Dalam hal ini, guru mempunyai fungsi sebagai motivator dalam hal :
a. Membangkitkan dorongan siswa untuk belajar.
b. Menjelaskan secara konkrit apa yang dapat dilakukan pada akhir
pengajaran.
c. Memberikan ganjaran terhadap prestasi yang dicapai hingga dapat
merangsang pencapaian prestasi yang lebih baik di kemudian hari.
d. Membentuk kebiasaan belajar yang baik.
4. Guru sebagai evaluator evaluator of student learning
Sebagai evaluator, guru hendaknya secara terus-menerus mengikuti
hasil belajar yang dicapai peserta didik dari waktu ke waktu. Informasi
yang diperoleh melalui evaluasi ini akan menjadi umpan balik
terhadap proses pembelajaran. Umpan balik akan dijadikan titik tolak
untuk memperbaiki dan meningkatkan pembelajaran selanjutnya
secara optimal.
5. Guru sebagai konselor

a. Dapat menolong peserta didik memecahkan masalah-masalah


yang timbul antara peserta didik dengan orang tuanya
b. Bisa memperoleh keahlian dalam membina hubungan yang
manusiawi dan dapat mempersiapkan untuk berkomunikasi dan
bekerja sama dengan bermacam-macam manusia. Pada akhirnya,
guru akan memerlukan pengertian tentang dirinya sendiri, baik itu
motivasi, harapan, prasangka, ataupun keinginannya.
6. Guru sebagai pelaksana kurikulum
Kurikulum adalah seperangkat pengalaman belajar yang akan didapat
oleh peserta didik selama ia mengikuti suatu proses pendidikan.
Berhasil atau tidaknya kurikulum itu terletak di tangan sang guru, oleh
karena itu peranan guru dalam pembinaan dan pengembangan
kurikulum secara aktif adalah sebagai berikut :
a. Dalam perencanaan kurikulum Terlibat dalam memberikan
masukan berupa saran, ide, danatau tanggapan terhadap
kemungkinan pelaksanaannya di sekolah.

34
b. Dalam pelaksanaan di lapangan Universitas Sumatera Utara
Bertanggung jawab sepenuhnya dalam pelaksanaan kurikulum,
baik keseluruhan maupun tugas penyampaian mata pelajaran
sesuai kurikulum.
c. Dalam proses penilaian Selama pelaksanaan kurikulum akan
dinilai seberapa jauh tingkat ketercapaiannya. Biasanya guru
diminta saran atau pendapat maupun menilai kurikulum yang
sedang berjalan guna melihat kebaikan dan kelemahan yang ada,
dilihat dari berbagai aspek.
d. Pengadministrasian Guru harus menguasai tujuan kurikulum, isi
program pokok bahasansubpokok bahasan yang harus diberikan
kepada peserta didik.
e. Perubahan kurikulum Guru sebagai pelaku kurikulum mau tidak
mau tentu akan selalu terlibat dalam pembaruan yang sedang
dilakukan sebagai suatu usaha untuk mencari format kurikulum
yang sesuai perkembangan zaman.

35
BAB IV
MEREKONSTRUKSI MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN MELALUI
PENGUBAHAN SISTEM PENGELOLAAN PENDIDIKAN DI SEKOLAH

A. Misi Pendidikan Persekolahan

Kita ketahui bahwa setiap sekolah memiliki misi pendidikan yang berbeda, namun
dari misi setiap sekolah tersebut tujuannya hanya satu yaitu, menjadikan anak
bangsa ini agar memiliki kepribadian yang bermartabat.Dimana kita ketahui misi
pendidikan lembaga sekolah itu ada tiga macam, yaitu sebagai berikut:
i. Pendidikan Kepribadian
Untuk misi pendidikan kepribadian ini sekolah membantu dan bekerja
sama dengan keluarga dan lembaga agama.
ii. Pendidikan Kewarganegaraan
Dalam hal pendidikan kewarganegaraan, sekolah bekerja sama dengan
lembaga-lembaga pemerintahan dan masyarakat.
iii. Pendidikan Intelektual
Dalam hal pendidikan intelektual, sekolah melakukan sendiri walaupun
memperoleh bantuan dari lembaga lain sebab misi pendidikan intelektual
adalah kekhususan sekolah, misi pendidikan intelektual tersebut dilakukan
secara berangkai sejak pembelajar memasuki Taman Kanak-Kanak sampai
Pendidikan Tinggi.
Untuk tercapainya misi pendidikan tersebut, tentu saja kaum terpelajarlah yang
harus berperan aktif, baik itu mahasiswa maupun guru. Karena secara tidak
langsung kaum terpelajar itu harus mengetahui atau memahami prilaku manusia
dalam masyarakat dan ikut serta memperbaiki prilaku warga masyarakat. Dengan
demikian barulah masyarakat bisa menilai tentang bagaimana peran sekolah
dalam membentuk pribadi kaum terpelajar.
Untuk menciptakan kepribadian anak menjadi kaum terpelajar, itu bukanlah hal
yang mudah karena kegiatan yang seperti itu harus memiliki landasan. karena
kegiatan pendidikan ini merupakan peristiwa sosial, gejala rohani, dan tindakan
manusiawi dalam hubungannya dengan alam, manusia, dan sistem nilai.

36
Unsur material pendidikan pada umumnya terhimpun dalam satuan tindak
mendidik yang secara mikro dikenal sebagai situasi pendidikan, atau secara makro
dikenal sebagai kegiatan pendidikan terprogram. Analisis keilmuan tentang
kegiatan pendidikan di sekolah secara makro itu harus memiliki landasan
interdisiplinier, karena kegiatan pendidikan sebagai objek ilmiah merupakan
gejala rohani, peristiwa sosial dan hubungan nilai norma.
Sedangkan muatan pendidikan yang diberikan di sekolah dapat di akumulasikan
dalam enam materi keilmuan, yaitu:
1. Ide abstrak
2. Benda fisik
3. Jasad hidup
4. Gejala rohani
5. Peristiwa sosial
6. Dunia tanda

B. Sekolah Sebagai Sarana Rekonstruksi Masyarakat

Sekolah akan berhasil apabila ada kerjasama dengan masyarakat, karena sekolah
merupakan lembaga pendidikan yang berada di tengah-tengah yang mana sebagai
satu kesatuan dari masyarakat dan keluarga yang saling berinteraksi, sehingga
terbentuklah suatu sistem sekolah. Sistem sekolah ini bisa terwujud jika adanya
cara interaksi sosial yang khas.
Adapun analisis perwujudan sistem sekolah sebagai organisasi sosial dicirikan
sebagai berikut:
a. Memiliki suatu penghuni yang tetap
b. Memiliki struktur politik atau kebijakan umum tentang kehidupan sekolah
c. Memiliki inti jaringan hubungan sosial
d. Mengembangkan perasaan atau semangat kebersamaan sekolah
e. Memiliki suatu jenis kebudayaan atau subkebudayaan tersendiri
Menurut Malindoski ada tujuh sistem nilai atau kebudayaan yang secara universal
dikembangkan, yaitu:
1) Bahasa
2) Sistem teknologi

37
3) Sistem mata pencaharian hidup dan ekonomi
4) Organisasional
5) Sistem pengetahuan
6) Religi
7) Kesenian

C. Pengaruh Eksternal dan Internal dalam Pengelolaan Pendidikan

Penyelenggaraan Pendidikan Nasional yang dilaksanakan secara terus-menerus dan


berkelanjutan, tentu saja ada beberapa faktor yang mempengaruhi, diantaranya:
1) Pengaruh Internal
Yang dimaksud dengan pengaruh internal adalah pengaruh kebudayaan dan
kehidupan masyarakat bangsa Indonesia.
2) Pengaruh eksternal
Pengaruh eksternal yaitu pengaruh akibat adanya perkembangan dunia yang
mengglobal yang berlaku dalam dasawarsa ini.
Akibat adanya pengaruh tersebut, secara tidak langsung memberikan kontribusi
terhadap pembentukan watak dan kreatifitas anak bangsa. Untuk menghadapi
kondisi seperti itu, Ki Hajar Dewantara mengingatkan agar menerapkan strategi
“Trikon” dalam pengelolaan pendidikan. Adapun strategi Trikon itu sebagai
berikut:
a. Konvergen, maksudnya agar pendidikan di Indonesia dapat berkembang
dengan baik, artinya dapat seibang dengan kualitas pendidikan negara-
negara maju. Maka sebaiknya adanya adopsi nilai yang di pinjam dari
budaya barat, meskipun harus diadakan filter dalam penggunaannya.
b. Konsentris, maksudnya bahwa untuk mengembangkan pendidikan di
Indonesia haruslah bertolak dari kebudayaan yang meng-Indonesia,
sehingga nilai-nilai luhur bangsa tetap tertanam dalam generasi bangsa.
c. Kontinuitas, maksudnya bahwa pendidikan di Indonesia haruslah
dilakukan secara terus-menerus.

38
D. Pendidikan di Sekolah dengan Sistem Desentralisasi

Desentralisasi pendidikan merupakan upaya untuk mendelegasikan sebagian atau


seluruh wewenang di bidang pendidikan yang seharusnya dilakukan oleh unit atau
pejabat pusat kepada unit atau pejabat dibawahnya, atau dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah, atau dari pemerintah ke masyarakat. Kewenangan di bidang
pendidikan bisa dirinci mulai dan kewenangan merumuskan atau membuat
kebijaksanaan nasional di bidang pendidikan, melaksanakan kebijaksanaan nasional,
dan mengevaluasi atau memonitor kebijaksanaan nasional tersebut.
Namun tidak semua kewenangan itu disentralisasikan. oleh karena itu,
desentralisasi pendidikan berusaha untuk mengurangi campur tangan atau
intervensi pejabat atau unit pusat terhadap persoalan-persoalan pendidikan yang
sepatutnya bisa diputus dan dilaksanakan oleh unit di tataran bawah atau
pemerintah daerah, atau masyarakat.
Adapun upaya disentralisasi pandidikan salah satunya yaitu pemberian
otonomi kepada perguruan tinggi.

E. Program Kegiatan yang Perlu Dikedepankan

Setelah terjadinya orde baru, ternyata sektor pendidikan turut tereformasi.


Reformasi pendidikan adalah sebuah rekayasa besar, yang tidak mungkin
dikerjakan setengah-setengah, juga tidak cukup dengan terpenggal-penggal, dan
melimpahkan kesalahan pada berbagai faktor yang menjadi objek kritikan.
Adapun jalan yang harus dilakukan untuk meniti jalan reformasi pendidikan
adalah sebagai berikut
a. Membongkar berbagai tabu
b. Meluruskan jalan dan praktik yang serong
c. Mengikis habis mitos yang mengesalkan.
Selain itu ada 13 hal yang harus diperhatikan untuk pertimbangan bagi reformasi
pendidikan, yaitu:
1) Perlu disadari bahwa setiap orang adalah pribadi yang unik, dan
mempunyai bakat yang berbeda-beda.

39
2) Pendidikan tidak dimulai selepas sekolah menengah, yaitu pada tingkat
universitas.
3) Perlunya sebuah sistem penilaian yang mencerminkan prestasi murid
dengan melihat berbagai kelebihan dan kekurangannya.
4) Perlu disadari bahwa (sistem) pendidikan tidak bebas nilai.
5) Sekolah bukalah suatu tempat semacam “bengket reparasi” bagi semua
kerusakan masyarakat.
6) Perlu dikoreksi keyakinan bahwa isi pendidikan bisa diatur lewat
birokrasi, dan sedapat mungkin harus diseragamkan.
7) Tidak tepat bahwa lembaga pendidikan yang baik, selalu pendidikan milik
negara.
8) Sistem pendidikan, sebaiknya berorientasi pada nilai (wert orientied).
9) Sistem pendidikan sebaiknya terkait dengan dunia praksis
(praxisbezogen).
10) Sistem pendidik sebaiknya tetap beragam.
11) Diperlukan sebuah sistem pendidik yang memberikan ruang bagi anak
didik untuk bersaing dan berkreasi secara fair.
12) Dibutuhkan sebuah sistem yang efisien dalam pengelolaan waktu.
13) Sistem pendidikan sebaiknya bersifat internasional.

40
BAB V
USAHA PENGEMBANGAN GURU SEBAGAI TENAGA PENDIDIKAN

A. Usaha-Usaha Pengembangan Guru

Guru sebagai tenaga pendidik, harus ada usaha untuk menjadikannya


berkembang sesuai pekembangan zaman yang semakin maju. Usaha-usaha itu
adalah:

1. Program Pre-service Education


Usaha pengembangan guru yang dilakukan sebelum seseorang menduduki
jabatan/menjadi seorang guru. Misalnya PGSD dan FKIP. Selama program pre-
service education , seoarang calon guru akan belajar bagaimana menggunakan
pengetahuan mereka untuk menyusun rencana pembelajaran untuk mengajar di
kelas. Topik umum meliputi manajemen kelas, rencana pelajaran, dan
pengembangan profesional. Fokus utama selama program pendidikan tersebut
adalah praktikum dimana guru pre-service ditempatkan dalam setting sekolah
(baik SD, atau senior) dan bayangan seorang guru berpengalaman. Disini
seoarang calon guru akan diberikan kesempatan untuk mengembangkan
keterampilan melalui rencana pelajaran, mengajar pelajaran dan manajemen
kelas.
2. Program In-service Education
Program in service education adalah program pengajaran atau pelatihan
yang disediakan oleh badan atau lembaga untuk karyawannya. Program ini
diadakan di lembaga atau instansi dan dimaksudkan untuk meningkatkan
keterampilan dan kompetensi karyawan di bidang tertentu.
Di dunia pendidikan, program ini dijalani bagi guru yang memiliki jabatan
dengan melanjutkan pendidikan. Good Carter(1945:103) menyatakan in service
education adalah suatu usaha member kesempatan kepada guru-guru untuk
mendapatkan penyegaran atau menurut istilah Jacobson sebagai penyegaran
yang membawa guru-guru kearah up to date.
3. Program In-service Training

41
Pelatihan pendidikan bagi guru untuk membantu mereka mengembangkan
ketrampilan mereka dalam disiplin khusus bidang keguruan. Pelatihan terjadi
setelah seorang individu sudah menjadi seorang guru. Kebanyakan bisaanya,
in-service training dilakukan selama istirahat dalam jadwal kerja individu.
Kelebihan dari program ini adalah Peserta pelatihan dapat menarik dari
pengalaman kerja mereka. Sedangkan kekurangannya adalah para guru akan
terganggu kegiatan mengajarnya selama mengikuti program ini.
Berikut adalah beberapa situasi di mana in-service training dapat
dilaksanakan dengan tepat:
a. Trainer perlu pengalaman praktis sebelum mereka bisa atau akan
mendapatkan keuntungan dari pelatihan dimaksud.
b. Jika tugas yang cukup kompleks, trainee mungkin perlu diulang pelatihan
sehingga mereka tahu bagaimana melakukan tugas dengan benar;
c. Jika pengawasan sedikit atau tidak tersedia, pelatihan in-service dapat
membantu mengisi kebutuhan ini.
d. Memperkenalkan material baru atau metode kepada orang-orang
berpengalaman dengan tugas.
Contoh dari program ini adalah penataran, seminar, work shop dan
sebagainya. Ada tiga macam penataran:
1. Penataran penyegaran, yaitu usaha peninkatan keampuan guru agar sesuai
dengan kemajuan IPTEK serta pemantapan tenaga kependidikan agar
dapat melaksanakan tugas sehari-harinya dengan lebih baik.
2. Penataran peningkatan kualifikasi, yaitu usaha meningkatkan
kemampuan guru sehingga mereka memperoleh kualifikasi formal
tertentu sesuai standar yang ditentukan.
3. Penataran penjenjangan, yaitu suatu usaha untuk meningkatkan
kemampuan guru ssehingga dipenuhi persyaratan suatu pangkat atau
jabatan tertentu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
e. Strategi Pengembangan Profesi Guru(strategi datang dan pergi) Strategi
datang(come structure), yaitu para peserta datang dari berbagai
daerah ke ibu kota kabupaten, kotamadya atau ibu kota RI(Jakarta) untuk
mengikuti kegiatan pengembangan profesi mereka.

42
Strategi pergi(go structure), yaitu program pengembangan profesi yang
mendatangkan penatar/fasilitator/narasumber dari pusat ke daerah-daerah.
f. Dasar Pengembangan Profesi Guru

Sebagai suatu profesi, guru harus berkembang sesuai dengan persyaratan


profesionalnya. Karena profesi guru memberikan layanan kepada
masyarakat dan anak didik, maka diperlukan pengetahuan, keterampilan,
dan sikap serta kemampuan yang selalu berkembang.

B. Dasar Pengembangan Profesi Guru

Banyak ahli yang menyebutkan bahwa guru merupakan salah satu profesi
dalam dunia kependidikan. Profesi adalah jabatan atau pekerjaan yang
mempersyaratkan keahlian sebagai hal yang melatarbelakangi, memiliki etika dan
organisasi profesi yang mewadahinya.

Michael D. Bayles (1981) mengemukakan beberapa ciri profesi


sebagai berikut:

1. Perlunya training atau pendidikan untuk mempraktekkan profesi.

2. Training atau pendidikan mencakup komponen intelektual yang memadai

3. Kemampuan yang telah terlatih memberikan layanan penting dalam


masyarakat.

4. Adanya sertifikasi atau lisensi untuk status profesional.

5. Adanya organisasi profesional yang menampung para anggota.

6. Adanya otonomi dalam melaksanakan pekerjaan.

7. Memiliki kode etik profesi

Ketujuh persyaratan tersebut harus dipenuhi jika suatu pekerjaan dikatakan


sebagai suatu profesi. Guru sebagai suatu profesi juga harus memenuhi persyaratan
itu. Sebagai profesi, guru harus dibentuk dengan pendidikan atau latihan di
bidangnya. Hal ini sebagai dasar untuk memperkuat landasan gurunya. Jika seorang
guru tidak disiapkan melalui pendidikan guru, maka pelaksanaan kerjanya tidak

43
didasari oleh wawasan guru. Bisa jadi pelaksanaan tugasnya hanya didasarkan
pada instink atau belajar dari pengalaman. Setiap langkah pelaksanaan
pekerjaannya bukan didasarkan atas pertim- bangan profesional. Hal ini terkait
dengan komponen intelek- tual yang selalu dijadikan landasan kerjanya.

Guru sebagai profesi juga memberikan layanan penting kepada masyarakat.


Tanpa guru, pendidikan yang berlangsung dalam lembaga pendidikan formal tidak
dapat berjalan. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang layanannya diberikan
kepada subyek didik sebagai anggota masyarakat. Ada manfaat ganda atas layanan
guru kepada subyek didik, yaitu di samping manfaat langsung bagi subyek didik di
masa mendatang, juga bagi keluarga yang dapat memetik manfaat karena anaknya
dididikoleh guru. Di samping itu masyarakat pemakai tenaga kerja juga
memperoleh manfaat dari layanan guru.

Sebagai suatu profesi, guru harus berkembang sesuai dengan persyaratannya


sebagai profesi. Karena profesi guru memberikan layanan kepada masyarakat dan
anak didik, maka diperlukan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap serta
kemampuan yang selalu berkembang. Adapun dasar yang digunakan mengapa
profesi guru harus dikembangkan adalah:

1. Dasar Filosofis.
Guru pada hakekatnya adalah pendidik yang bertugas sebagai pemimpin atau
pelayan (agogos). Sebagai pemimpin dan pelayan, guru harus dapat memberikan
pimpinan dan layanan kepada masyarakat sebaik-baiknya kepada anak didik.
Sementara tuntutan jaman dan tuntutan anak didik selalu berkembang dari waktu
ke waktu. Untuk itu profesi guru harus selalu dikembangkan agar tidak tertinggal
dari kemajuan zaman.

2. Dasar psikologis.
Guru selalu berhadapan dengan individu lain yang memiliki keunikan dan
kekhasan masing-masing. Setiap individu memiliki pikiran, perasaan, kehendak,
keinginan, fantasi, inteligensi, cita-cita, instink, perangai, dan performansi yang
berbeda dengan individu lain. Jika guru tidak selalu meningkatkan pemahaman
terhadap individu lain (anak didik), maka ia tidak akan dapat menerapkan strategi

44
pelayanannya sesuai dengan keunikan anak didik. Di sinilah pentingnya guru
mengembangkan pemahaman aspek psikologis individu lain.

3. Dasar pedagogis.
Tugas profesional utama guru adalah mendidik dan mengajar. Untuk dapat
menjalankan tugas mendidik dan mengajar dengan baik, guru harus selalu membina
diri untuk mengetahui dan menerapkan strategi mengajar baru, metode baru, teknik-
teknik mendidik yang baru, menciptakan suasana pembelajaran yang bervariasi, dan
kemampuan mengelola kelas dengan baik. Guru yang tidak mengembangkan
kemampuan pembelajarannya akan selalu menerapkan cara pembelajaran yang telah
puluhan tahun digunakan, dan sudah ketinggalan jaman. Guru akan selalu mengikuti
perkembangan inovasi di bidang metode pembelajaran.

4. Dasar Ilmiah.
Ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (Ipteks) selalu berkembang dengan
pesat. Guru harus dapat mengembangkan cara berpikir ilmiah agar dapat selalu
mengikuti perkembangan IPTEKS tersebut. Dalam melaksanakan tugas sehari-
hari pun prinsip- prinsip ilmiah selalu dipegang teguh, agar tercipta keadilan,
kejujuran, dan keobyektifan dalam menyikapi perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi ini. Penggunaan sumber belajar yang monoton dan ketinggalan
jaman harus dihindarkan. Salah satu ciri orang ilmiah adalah adanya rasa ingin
tahu yang besar terhadap IPTEKS yang ditekuninya.

5. Dasar sosiologis.

Masyarakat modern dewasa ini menuntut guru untuk melakukan hubungan


dengan orang, organisasi dan masyarakat dengan cara-cara modern juga. Profesi guru
dituntut untuk selalu dikembangkan mengikuti teknik-teknik komunikasi yang multi
sistem ini. Perkembangan sarana komunikasi lisan dan tertulis melalui media grafis,
media massa, media elektronik, media organisatoris, dan media proses kelompok yang
serba canggih harus dikenal dan diterapkan dalam proses mendidik. Guru harus
pandai-pandai mengadakan hubungan sosial dengan mendayagunakan

45
sarana dan media yang berkembang begitu pesat ini. Hal inilah yang
mengharuskan profesi guru dikembangkan.

C. Perlunya preservice, inservice-training dan upgrading dalam pendidikan

Di dalam mempersiapkan tenaga-tenaga kependidikan untuk memperoleh


pengetahuan, ketrampilan-ketrampilan, dan sikap-sikap yang dibutuhkan sebelum
bertugas/berdinas ada beberapa fase yang perlu diperhatikan. Fase-fase itu adalah:

1. Preservice Dalam Pendidikan


Untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu, salah satu instrumen
penentunya adalah keberadaan guru yang bermutu, yakni guru yang
profesional, bermartabat dan tentunya sejahtera. Selanjutnya, keberadaan guru
yang bermutu merupakan syarat mutlak hadirnya sistem dan praktik
pendidikan yang berkualitas. Dan hampir semua bangsa di dunia ini selalu
mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan guru yang berkualitas
lebih lanjut sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, pendidikan yang
bermutu merupakan syarat utama untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang
maju, modern dan sejahtera. Adapun upaya pemerintah untuk persiapan guru,
salah satu langkah pemerintah bersama Peningkatan Mutu Pendidik dan
Tenaga Kependidikan (PMPTK) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
Dan professionalism guru adalah dengan mengadakan sertifikasi guru Dan
adanya Pendidikan Profesi Guru (PPG). PPG merupakan program pendidikan
setelah S-1 yang mencangkup keahlian khusus yang terkait dengan kompetensi
guru.PPG ini bertujuan untuk meningkatkan mutu para tenaga pendidik. a.
Pengertian pre-service
Program pre-service education adalah program pendidikan yang dilakukan
pada pendidikan sekolah sebelum peserta didik mendapatkan tugas tertentu
dalam suatu jabatan. Lembaga penyelenggaraan program pre-service
education adalah pendidikan tinggi.
Universitas yang menyediakan program ini berkenaan dengan kurikulum
pendidikan guru Dan kemitraan dengan sekolah dengan membekali
mahasiswa calon guru dengan pengetahuan Dan keterampilan formal
kependidikan Dan pengetahuan tentang sekolah.

46
Untuk mengembangkan profesi atau kecakapan dalam masa jabatannya ini
diperlukan pendidikan atau latihan “in-service”.

b. Model –model pre-service pendidikan guru


Menurut nurul paik yang dikutip oleh umi Chotimah (2009), berkenaan
dengan model pendidikan atau penyelenggaraan pendidikan bagi guru selama
ini dikenal ada dua model yaitu concurrent model dan consecutive model.
Secara rinci terkait dengan dua model tersebut, dapat dijabarkan sebagai
berikut :
1. Model Konkuren (Model Seiring) Pre Service Pendidikan Guru
Model konkuren yaitu suatu model penyelenggaraan pendidikan guru yang
menyiapkan calon guru yang dilakukan dalam satu napas, satu fase, antara
penguasaan bidang studinya (subjek matter) dengan kompetensi pedagogi
(ilmu kependidikan). Model inilah yang dipakai selama lebi h dari 50 tahun
dalam penyelenggaraan pendidikan guru di Indonesia. PTPG, fkiP, ikiP, SGb,
SGa, SPG, SGo, PGa, sebagai bentuk lPTk yang pernah ada di indonesia
menggunakan model ini. Model ini mengasumsikan bahwa seorang calon guru
sejak awal sudah mulai memasuki iklim, menjiwai, menyadari akan dunia
profesinya. Seorang guru tidak hanya dituntut menguasai bidang studi yang
akan diajarkannya, melainkan juga kompetensi pedagogi, sosial, akademik,
dan kepribadian sebagai pendidik. kompetensi tersebut bukan sesuatu yang
terpisah, melainkan jadi ramuan komposisi yang khas yang dijiwainya. kalau
guru diasumsikan sebagai petugas profesional, harus disiapkan secara
profesional, secara sengaja untuk jadi guru, juga di lembaga yang sengaja
dibuat dan dipersiapkan untuk mendidik calon guru. kritik terhadap model ini,
penguasan subject matter (bidang ilmu) dianggap lemah karena perolehan
kemampuan bidang ilmu yang diajarkannya dianggap kurang dari sarjana
bidang ilmu (murni). ini dianggap kelemahan dan dinisbahkan sebagai salah
satu faktor yang menyebabkan rendahnya kompentensi guru yang selama ini
dipersiapkan di LPTK.
➢ Kelebihan Model Konkuren

a. Guru konkuren lebih menguasai ilmu pendidikan daripada guru

47
konsekutif
b.Guru konkurn mempunyai peluang untk menjadi guru profesional
➢ Kelemahan Model Konkuren
a. Guru konkuren tidak menguasai materi belajar karena hanya belajar
sebagian dari disiplin ilmu yang harus diajarkannya di sekolah. Hal ini
dapat diatasi dengan guru konkuren lebih mempelajari bahan/ materi ajar
b. Guru konkuren terancam menjadi pengangguran karena lahan
pekerjaannya diambil alih oleh guru konsekutif
2. Model Konsekutif (Model berlapis) Pre Service Pendidikan Guru
Asumsi yang dipakai dalam model ini menghendaki penyiapan guru
dilakukan dalam napas atau rangkaian yang berbeda. artinya, calon guru
sebelumnya tidak dididik dalam setting LPTK. Mereka adalah para sarjana
bidang ilmu, kemudian setelah itu menempuh pendidikan lanjutan di LPTK
untuk memperoleh akta kependidikan yang selama ini diposisikan sebagai
lisensi profesi guru. Model ini menghendaki sarjana dulu di bidangnya
kemudian mengikuti pendidikan akta kependidikan sebagai sertifkasi profesi
kependidikan. Keunggulan model ini dianggap memiliki penguasaan bidang
studi lebih baik unggul, tetapi lemah dari aspek kompetensi ilmu pendidikan
(pedagogis), sosial, dan kepribadian sebagai calon guru.
➢ Kelebihan Model Konsekutif
a. Guru konsekutif lebih menguasai materi belajar
b. Para lulusan dari ilmu murni mempunyai peluang untuk menjadi guru,
dengan syarat melalui pendidikan strata

➢ Kelemahan Model Konsekutif

a. Guru konsekutif tidak menguasai ilmu pendidikan karena guru


konsekutif hanya belajar ilmu murni. Hal ini dapat diatasi dengan guru
konkuren mempelajari ilmu pendidikan supaya menjadi guru yang
profesional
b. Guru konsekutif akan bersaing dengan guru konkuren.

48
2. Inservice-Training Dalam Pendidikan
a. Pengertian Program Pendidikan In-Service Education
Pendidikan "In-service Education" (pendidikan dalam-jabatan) atau
latihan-latihan semasa berdinas, dimaksudkan untuk meningkatkan dan
mengembangkan secara kontinu pengetahuan, ketrampilan ketrampilan dan
sikap-sikap para guru dan tenaga-tenaga kependidikan lainnya guna
mengefektifkan dan mengefisiensikan pekerjaan/jabatannya. Program
pendidikan atau latihan tersebut dapat diselenggarakan secara formal oleh
Pemerintah, berupa penataran-penataran atau lokakarya-lokakarya baik
sscara lisan atau tertulis, dapat pula diselenggarakan sscara informal oleh
yang berkepentingan baik secara individual, maupun secara berkelompok.
Dapat pula diadakan secara sentral tingkat nasional, regional atau lokal.
Demikian dapat diselenggarakan secara sentral oleh Pusat atau Daerah atau
dibagi menurut Wilayah-wilayah Kantor Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan atau oleh kelompok (kompleks) sekolah- sekolah yang
berdekatan, atau dapat pula diselenggarakan oleh masing- masing sekolah.
b. Program Pendidikan In Service Education
Guru sebagai tenaga profesional bukan saja melakukan tugas
pembelajaran dalam ruang lingkup mikro akan tetapi juga dalam ruang lingkup
makro, yaitu; melaksanakan amanah bangsa Indonesia menjalankan fungsi
pendidikan sebagaimana Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional nomor
20 tahun 2003, bab II, pasal 3; mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan berbangsa.

Berikut ini dijelaskan mengenai program pendidikan atau latihan program


in-service education direncanakan secara komprehensif antara orang-orang
yang ada di sekolah dan lembaga tersebut dapat diselenggarakan secara formal
oleh Pemerintah guna membentuk insan guru yang profesional, yaitu berupa
penataran-penataran atau lokakaryalokakarya baik secara lisan atau tertulis,
dapat pula diselenggarakan secara informal oleh yang berkepentingan baik
secara individual, maupun secara berkelompok.

49
a. Untuk kategori sistem pelatihan dapat diambil langkah-langkah
sebagai berikut:
1) Perlunya revitalisasi pelatihan guru yang secara khusus dititikberatkan
untuk memperbaiki kinerja guru dalam meningkatkan mutu pendidikan
dan bukan untuk meningkatkan sertifikasi mengajar semata-mata;
2) Perlunya mekanisme kontrol penyelenggaraan pelatihan guru untuk
memaksimalkan pelaksanaannya;
3) Perlunya sistem penilaian yang sistemik dan periodik untuk mengetahui
efektivitas dan dampak pelatihan guru terhadap mutu pendidikan
4) Perlunya desentralisasi pelatihan guru pada tingkat kabupaten/kota
sesuai dengan perubahan mekanisme kelembagaan otonomi daerah
yang dituntut dalam UU No. 22/1999.
b. Untuk kategori kemampuan profesional dapat diambil langkah-langkah
sebagai berikut :
1) Perlunya upaya-upaya alternatif yang mampu meningkatkan kesempatan
dan kemampuan para guru dalam penguasaan materi pelajaran.
2) Perlunya tolok ukur (benchmark) kemampuan profesional sebagai
acuan pelaksanaan pembinaan dan peningkatan mutu guru.
3) Perlunya peta kemampuan profesional guru secara nasional yang
tersedia di Depdiknas dan Kanwil-kanwil untuk tujuan-tujuan
pembinaan dan peningkatan mutu guru.
4) Perlunya untuk mengkaji ulang aturan/kebijakan yang ada melalui
perumusan kembali aturan/kebijakan yang lebih fleksibel dan mampu
mendorong guru untuk mengembangkan kreativitasnya.
5) Perlunya reorganisasi dan rekonseptualisasi kegiatan Pengawasan
Pengelolaan Sekolah, sehingga kegiatan ini dapat menjadi sarana
alternatif peningkatan mutu guru.
6) Perlunya upaya untuk meningkatkan kemampuan guru dalam
penelitian, agar lebih bisa memahami dan menghayati
permasalahanpermasalahan yang dihadapi dalam proses pembelajaran.
7) Perlu mendorong para guru untuk bersikap kritis dan selalu berusaha
meningkatkan ilmu pengetahuan dan wawasan.

50
c. Untuk kategori profesi, jenjang karier dan kesejahteraan dapat diambil
langkah-langkah sebagai berikut :
1) Memperketat persyaratan untuk menjadi calon guru pada Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
2) Menumbuhkan apresiasi karier guru dengan memberikan kesempatan
yang lebih luas untuk meningkatkan karier.
3) Perlunya ketentuan sistem credit point yang lebih fleksibel untuk
mendukung jenjang karier guru, yang lebih menekankan pada aktivitas
dan kreativitas guru dalam melaksanakan proses pengajaran.
4) Perlunya sistem dan mekanisme anggaran yang ditujukan untuk
meningkatkan pendapatan guru.
3. Upgrading Dalam Pendidikan
Upgrade yang dilakukan guru dalam pembelajarannya dilakukan dengan
tujuan untuk memberi peningkatan dalam proses belajar mengajarnya, karena
perkembangan zaman yang identik dengan perubahan-perubahan, harus
senantiasa dibarengi dengan peningkatan dalam dunia pendidikan yang
dilakukan oleh guru sebagai penggerak utama dalam proses belajar mengajar.
Update pun perlu dilakukan oleh guru, karena ilmu pengetahuan senantiasa
berkembang. Jadi guru tidak mungkin mengajar dengan menggunakan ilmu
pengetahuan lama yang dulu beliau pelajari di sekolah-sekolah atau pun ketika
kuliah.
Apa saja yang perlu di-upgrade dan di-update oleh guru untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia.
a. Metode Pembelajaran
Sebuah metode pengajaran ditentukan oleh seorang guru setelah
melihat bagaimana materi yang akan diberikan, tujuan pembelajaran,
kemampuan akademik dan karakteristik peserta didik serta fasilitas belajar
mengajar yang dimiliki oleh sekolah. Dengan senantiasa meng-upgrade
metode pembelajaran yang dimiliki, seorang guru akan mampu memilah
dan memilih metode terbarukan yang tepat digunakan pada peserta
didiknya sesuai dengan kondisi di dalam kelas.

51
b. Materi Pelajaran
Materi pelajaran yang diberikan kepada siswa akan senantiasa
mengalami peningkatan sesuai dengan perkembangan zaman, oleh karena
itu, seorang guru yang berperan sebagai pentransfer ilmu kepada peserta
didik, harus memiliki keluasan ilmu yang lebih banyak daripada yang dibaca
dari buku paket yang dimiliki siswa. Maka, update informasi terbarukan
harus selalu dilakukan oleh guru agar tidak tergerus oleh kemajuan zaman.
c. Penanganan Peserta Didik
Permasalahan yang dilakukan oleh peserta didik selalu berganti sesuai
dengan kemajuan yang ada di sekitar mereka. Maka, apabila seorang guru
memiliki siswa yang cerdik dalam memanipulasi tugas karena kemudahan
informasi yang didapat dari internet, maka seorang guru harus lebih cerdik
dalam menyiasati pemeberian tugas agar siswa tidak asal mengumpulkan
agar tidak dihukum saja, tetapi siswa juga mendapatkan ilmu dari tugas yang
dikerjakan. Upgrade ini perlu didapatkan oleh guru agar suasana kelas
kondusif.

d. Rutin Tiap Semester Guru


Upgrade atau update yang hendak diberikan kepada seorang guru
hendaknya diberikan secara rutin untuk memaksimalkan hasil peningkatan
kualitas sumber daya guru. Pada akhirnya pemerataan kemampuan guru
pun dapat tercapai tanpa ada ketimpangan materi atau kebijakan, karena
segala kesulitan yang dialami guru selama satu semester akan dicarikan
solusinya bersama-sama dalam pertemuan rutin tersebut.
e. Mendadak
Upgrade dan update mendadak pun perlu dilakukan apabila ada
kebijakan baru yang ditetapkan oleh pemerintah. Penyamaan dan
penyetaraan antara kebijakan lama dengan kebijakan baru yang terkadang
belum terkoordinir dengan rapi dapat dilakukan dalam pertemuan
mendadak tersebut.
Demikianlah sebagian upgrade dan update yang perlu dilakukan guru dalam
menghadapi perkembangan dunia pendidikan. Kemampuan guru yang selalu ter-

52
upgrade dan ter-update akan menghasilkan proses belajar mengajar yang
kondusif dan menghasilkan siswa-siswa yang selalu inovatif di semua mata
pelajaran.

53
BAB VI
KOMPETENSI PROFESIONALISME GURU
A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan sesuatu yang penting dan utama dalam konteks
pembangunan bangsa dan negara. Hal ini dapat terlihat dari tujuan nasional
bangsa Indonesia yang salah satunya yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa
yang menempati posisi yang strategis dalam pembukaan UUD 1945. Dalam
situasi pendidikan, khususnya pendidikan formal di sekolah, guru merupakan
komponen yang penting dalam meningkatkan mutu pendidikan. Ini disebabkan
guru berada di barisan terdepan dalam pelaksanaan pendidikan.

Dengan kata lain, guru merupakan komponen yang paling berpengaruh


terhadap terciptanya proses dan hasil pendidikan yang berkualitas. Dengan
demikian upaya perbaikan apapun yang dilakukan untuk meningkatkan
pendidikan tidak akan memberikan sumbangan yang signifikan tanpa
didukung oleh guru yang profesional dan berkompeten. Oleh karena itu,
diperlukanlah sosok guru yang mempunyai kualifikasi, kompetensi dan
dedikasi yang tinggi dalam menjalankan tugas profesionalnya.

Satu kunci pokok tugas dan kedudukan guru sebagai tenaga professional
menurut ketentuan pasal 4 UU Guru dan Dosen adalah sebagai agen
pembelajaran (Learning Agent) yang berfungsi meningkatkan kualitas
pendidikan nasional. Sebagai agen pembelajaran guru memiliki peran sentral
dan cukup strategis antara lain sebagai inspirasi belajar bagi peserta didik.
Guru yang profesional pada intinya adalah guru yang memiliki kompetensi
dalam melakukan tugas pendidikan dan pembelajaran. fasilitator, motivator,
pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta
didik. Guru yang profesional pada intinya adalah guru yang memiliki
kompetensi dalam melakukan tugas pendidikan dan pembelajaran.

B. Kompetensi Profesionalisme Guru


1. Pengertian Kompetensi Profesionalisme Guru
Kompetensi merupakan kemampuan dan berwenangan guru dalam
melaksanakan profesi keguruannya. Kata “profesional” berasal dari kata sifat

54
yang berarti pencaharian dan sebagai kata benda yang berarti orang yang
mempunyai keahlian seperti guru, dokter, hakim, dan sebagainya. Dengan kata
lain pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat
dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan
pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh
pekerjaan lain (Uzer Usman, 1995: 14).

Dengan bertitik tolok pada pengertian ini, maka pengertian guru


profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus
dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya
sebagai guru dengan kemampuan maksimal.

Dengan kata lain guru profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih
dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya bidangnya, (Uzer Usman,
1995: 15). Yang dimaksud dengan terdidik dan terlatih bukan hanya
memperoleh pendidikan formal tetapi juga harus menguasai landasan-landasan
kependidikan.

2. Karakteristik Kompetensi Guru Profesional


Menurut Oemar Hamalik (2002: 38), jabatan guru adalah suatu jabatan
profesi. Guru dalam tulisan ini adalah guru yang melakukan fungsinya
sekolah. Dalam pengertian tersebut, telah terkandung suatu konsep bahwa guru
profesional yang bekerja melaksanakan fungsi dan tujuan sekolah harus
memiliki kompetensi -kompetensi yang dituntut agar guru melaksanakan
tugasnya dengan sebaik-baiknya. Tanpa mengabaikan kemungkinan adanya
perbedaan tuntutan kompetensi profesional yang disebabkan oleh adanya
perbedaan lingkungan sosial kultural dari setiap institusi sekolah sebagai
indikator, maka guru dinilai kompeten secara profesional, apabila:

a. Guru tersebut mampu mengembangkan tanggung jawab dengan


sebaikbaiknya
b. Guru tersebut mampu melaksanakan peran-perannya secara berhasil
c. Guru tersebut mampu bekerja dalam usaha mencapai tujuan pendidikan
(tujuan intruksional) sekolah

55
d. Guru tersebut mampu melaksanakan perannya dalam proses mengajar dan
belajar dalam kelas.
Karakteristik itu akan kita tinjau dari berbagai segi tanggung jawab guru,
fungsi, dan peranan guru, tujuan pendidikan sekolah, dan peranan guru dalam
proses belajar mengajar.

a. Tanggung jawab dan kompetensi guru


Oemar Hamalik (2002: 39) manusia dapat disebut sebagai manusia yang
bertanggung jawab apabila dia mampu membuat pilihan dan membuat
keputusan atas dasar nilai-nilai dan norma-norma tertentu, baik yang
bersumber dari dalam dirinya maupun yang bersumber dari lingkungan
sosialnya. Dengan kata lain manusia bertanggung jawab apabila dia mampu
bertindak atas dasar keputusan moral atau moral dicision.

Oemar Hamalik (2002: 39) setiap guru profesional harus memenuhi


persyaratan sebagai manusia yang bertanggung jawab dalam bidang
pendidikan, tetapi di pihak laindia juga mengemban sejumlah tanggung jawab
mawariskan nilai-nilai dan norma-norma kepada generasi muda sehingga
terjadi proses konservasi nilai, bahkan melalui proses pendidikan diusahakan
terciptanya nilai-nilai baru. Dalam konteks ini pendidikan berfungsi mencipta,
memodifikasi, dan menkrontuksi nilai-nilai.

Guru akan mapu melaksanakan tanggung jawabnya apabila dia memiliki


kompetensi yang diperlukan untuk itu setiap tanggung jawab memerlukan
sejumlah kompetensi. Setiap kompetensi dapat dijabarkan menjadi sejumlah
kompetensi yang lebih kecil dan lebih khusus.

b. Tanggung jawab moral


Oemar Hamalik (2002: 39) mengungkapkan bahwa setiap guru profesional
berkewajiban menghayati dan mengamalkan Pancasila dan bertanggung jawab
mewariskan moral Pancasila itu serta nilai-nilai Undang-Undang Dasar 1945
kepada generasi muda. Tanggung jawab ini merupakan tanggung jawab moral
bagi setiap guru di Indonesia. Dalam hubungan ini, setiap

56
guru harus memiliki kompetensi dalam bentuk kemampuan menghayati dan
mengamalkan Pancasila.

Kemampuan menghayati berarti kemampuan menerima, mengingat,


memahami, dan meresapkan ke dalam pribadinya sehingga moral Pancasila
mendasari semua aspek kepribadiannya. Dengan demikian, moral Pancasila
bukan saja sekedar menjadi pengetahuan, pemahaman, dan kesadarannya,
akan tetapi menjadi sikap dan nilai serta menjadi keterampilan
psikomotorisnya.

c. Tanggung jawab dalam bidang pendidikan di sekolah


Oemar Hamalik (2002: 41) berpendapat bahwa guru bertanggung jawab
melaksanakan kegiatan pendidikan di sekolah dalam arti memberikan
bimbingan dan pengajaran kepada para siswa. Tanggung jawab ini
direalisasikan dalam bentuk melaksanakan pembinaan kurikulum, menuntun
para siswa belajar, membina pribadi, watak, dan jasmaniah siswa,
menganalisis kesulitan belajar, serta menilai kemajuan belajar para siswa.

Agar guru mampu mengemban dan melaksanakan tanggung jawab ini, maka
setiap guru harus memiliki berbagai kompetensi yang relevan dengan tugas
dan tanggung jawab tersebut. Dia harus menguasai cara belajar yang efektif,
harus mampu membuat model satuan pelajaran, mampu memahami kurikulum
secara baik, mampu mengajar dikelas, mampu menjadi model bagi siswa,
mampu memberikan nasehat dan petunjuk yang berguna, menguasai
teknikteknik memberikan bimbingan dan penyuluhan, mampu menyusun dan
melaksanakan prosedur penilaian kemajuan belajar, dan sebagainya.

d. Tanggung jawab guru dalam bidang kemasyarakatan


Menurut Oemar Hamalik (2002: 41), guru profesional tidak dapat
melepaskan dirinya dari bidang kemasyarakatan. Di situ pihak guru adalah
warga masyarakatnya dan di lain pihak guru bertanggung jawab turut serta
memajukan kehidupan masyarakat. Guru turut bertanggung jawab memajukan
kesatuan dan persatuan bangsa, menyukseskan pembangunan

57
nasional, serta menyukseskan pembangunan daerah khususnya yang dimulai
daerah di mana dia tinggal.

Untuk melaksanakan tanggung jawab turut serta memajukan persatuan dan


kesatuan bangsa, guru harus mengusai atau memahami semua halyang
bertalian dengan kehidupan nasional misalnya tentang suku bangsa, adat
istiadat, kebiasaan, norma-norma, kebutuhan, kondisi lingkungan, dan
sebagainya. Selanjutnya, dia harus mampu bagaimana cara menghargai suku
bangsa lainnya, menghargai agam yang dianut oleh orang lain, menghargai
sifat dan kebiasaan dari suku lain, dan sebaginya. Pengetahuan dan sikap itu
hendaknya dicontohkan kepada anak didik dalam pergaulannya sehari - hari
dalam proses pendidikan di sekolah.

e. Tanggung jawab dalam bidang keilmuan


Oemar Hamalik (2002: 42) menjelaskan bahwa guru selaku ilmuwan
bertanggung jawab turut memajukan ilmu, terutama ilmu yang menjadi
spesialisnya. Tanggung jawab in dilaksanakan dalam bentuk mengadakan
penilitian dan pengembangan. Untuk dapat melaksanakan tanggung jawabnya
dalam bidang penelitian, guru harus memiliki kompetensi tentang cara
mengadakan penelitian, seperti cara membuat disain penelitian, cara
merumuskan masalah, cara menentukan alat pengumpul data dengan teknik
statistik yang sesuai, selanjutnya dia mapu menyusun laporan hasil penilitian
agar dapat disebarluaskan.

3. Kompetensi Guru
Dewasa ini perhatian bertambah besar sehubungan dengan kemajuan
pendidikan dan kebutuhan guru yang semakin meningkat, baik dalam mutu
maupun jumlahnya, secara gamblang dapat kita lihat, bahwa program
pendidikan guru mendapat prioritas pertama dalam program pembangunan
pendidikan di negara kita. Ada beberapa kompetensi penting yang dimiliki
oleh guru diantaranya sebagai berikut.

a. Pentingnya Kompetensi Guru


Oemar Hamalik (2002: 34-35) berpendapat bahwa masalah kompetensi
profesional guru merupakan salah satu dari kompetensi yang harus dimiliki

58
oleh setiap guru dalam jenjang pendidikan apa pun. Kompetensi-kompetensi
lainnya adalah kompetensi kepribadian dan

kompetensi kemasyarakatan. Secara teoritis ketiga jenis kompetensi tersebut


dapat dipisah-pisahkan satu sama lain, akan tetapi secara praktis sesungguhnya
ketiga jenis kompetensi tersebut tidak mungkin dapat dipisah-pisahkan.
Diantara ketiga jenis kompetensi itu saling menjalin secara terpadu dalam diri
guru. Guru yang terampil mengajar tentu harus pula memiliki
pribadi yang baik dan mampu melakukan social adjusment dalam masyarakat.
Ketiga kompetensi tersebut terpadu dalam karakteristik tingkah laku guru.

b. Kompetensi Guru sebagai Alat Seleksi Penerimaan Guru


Menurut Oemar Hamalik (2002: 34) perlu ditentukan secara secara umum
jenis kompetensi apakah yang perlu dipenuhi sebagai syarat agar seseorang
dapat diterima sebagai guru. Dengan adanya syarat sebagai penerimaan calon
guru, maka akan terdapat pedoman bagi para administrator dalam memilih
mana guru yang diperlukan untuk satu sekolah.

Asumsi yang mendasari kriteria ini adalah bahwa setiap calon guru yang
memenuhi srayat tersebut, diharapkan atau diperkirakan bahwa guru tersebut
akan berhasil mengemban tugasnya selaku pengajar di sekolah. Dengan
demikian, pemilihan guru tidak didasarkan atas suka atau tidak suka, atau
karena alasan yang bersifat subjektif, melainkan atas dasar yang objektif, yang
berlaku secara umum untuk semua calon guru.

c. Kompetensi Guru Penting dalam Rangka Pembinaan Guru


Menurut Oemar Hamalik (2002: 35), para guru yang telah memiliki
kompetensi penuh sudah tentu perlu dibina terus agar kompetensinya tetap
mantap. Kalau terjadi perkembangan baru yang memberikan tututn baru
terhadap sekolah, maka sebelumnya sudah dapat direncanakan jenis
kompetensi apa yang kelak akan diberikan agar guru tersebut memiliki
kompetensi yag serasi.

59
d. Kompetensi Guru Penting dalam Rangka Penyusuran Kurikulum
Oemar Hamalik (2002: 36) menjaskan bahwa secara lebih spesifik, apakah
suatu LPTK berhasil mendidik para cal on guru akan ditentukan oleh berbagai
komponen dalam institusi tersebut. Salah satunya komponen kurikulum.

Kurikulum pendidikan guru harus disusun atas dasar kompetensi yang


diperlukan oleh setiap guru. Tujuan, program pendidikan, sistem
penyampaian, evaluasi, dan sebagainya hendaknya direncanakan sedemikian
rupa agar relevan dengan tuntutan kompetensi guru secara umum. Dengan
demikian diharapkan guru tersebut mampu menjalankan tugas dan tanggung
jawabnya sebaik mungkin.

e. Kompetensi Guru Penting dalam Hubungan dengan Kegiatan dan Hasil


Belajar siswa
Menurut Oemar Hamalik (2002: 36), proses belajar dan hasil belajar para
siswa bukan saja ditemukan oleh sekolah, pola, struktur, dan isi kurikulumnya,
akan tetapi sebagian besar ditentukan oleh kompetensi guru yang mengajar
dan membimbing mereka. Guru yang kompeten akan lebih menciptakan
lingkungan belajar yang efektif, menyenangkan, dan akan lebih mampu
mengelola kelasnya, sehingga belajar para siswa berada pada tingkat optimal.

f. Kriteria Profesional
Hasil lokakarya pembinaan Kurikulum Pendidikan Guru UPI Bandung
(Oemar Hamalik, 2002: 37-38) menjelaskan bahwa guru adalah jabatan
profesianal yang memerlukan berbagai keahlian khusus. Sebagai suatu profesi,
maka harus memenuhi kriteria profesional, sebagai berikut.

1) Fisik
a. Sehat jasmani dan rohani
b. Tidak mempunyai cacat tubuh yang bisa menimbulkan ejekan/
cemoohan atau rasa kasihan dari anak didik.
2) Mental/ kepribadian
a. Berkipribadian/ berjiwa Pancasila

60
b. Mampu menghayati GBHN
c. Mencintai bangsa dan sesama manusia dan kasih sayang
kepada anak didik
d. Berbudi pekerti yang luhur
e. Berjiwa kreatif, dapat memanfaatkan rasa pendidikan yang ada
secara maksimal
f. Mampu menuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa

g. Mampu mengembangkan kreativitas dan tanggung jawab yang


besar akan tugasnya
h. Mampu mengembangkan kecerdasan yang tinggi
i. Bersifat terbuka, peka, dan inovatif
j. Menunjukan rasa cinta kepada profesinya
k. Ketaatannya akan disiplin
l. Memiliki sense of humor
3) Keilmiahan/ pengetahuan
a. Memahami ilmu yang dapat melandasi pembentukan pribadi
b. Memahami ilmu pendidikan dan keguruan dan mampu
menerapkannya dalam tugasnya sebagai pendidik
c. Memahami, menguasai, serta mencintai ilmu pengetahuan yang
akan diajarkan
d. Memiliki pengetahuan yang cukup tentang bidangbidang yang
lain
e. Senang membaca buku-buku ilmiah
f. Mampu memecahkan persoalan secara sistematis, terutama
yang berhubungan dengan bidang studi
g. Memahami prisip-prisip kegiatan belajr mengajar
4) Keterampilan
a. Mampu berperan sebagai organisator proses belajar mengajar
b. Mampu menyususn bahan pelajaran atas dasar pendekatan
struktural, interdisipliner, fungsional, behavior, dan teknologi
c. Mampu menyusun garis besar program pengajaran (GBPP)

61
d. Mampu memecahkan dan melaksanankan tekknik-teknik
mengajar yang baik dalam mencapai tujuan pendidikan
e. Mampu merencanakan dan melaksanakan evaluasi pendidikan

f. Memahami dan mampu melaksanakan kegiatan dan


pendidikan luar sekolah
Kompetensi profesional guru, selain berdasarkan pada bakat guru, unsur
pengalaman dan pendidikan memegang peranan yang sangat penting.
Pendidikan guru, sebagai suatu usaha yang berencana dan sistematis melalui
berbagai program yang kembangkan oleh LPTK dalam rangka usaha
peningkatan kompetensi guru.

4. Profesionalisme Guru
a. Pengertian Profesionalisme Guru
Adapun mengenai kata Profesional Uzer Usman (2011: 14-15) memberikan
suatu kesimpulan bahwa suatu pekerjaan yang bersifat profesional
memerlukan beberapa bidang ilmu yang secara sengaja harus dipelajari dan
kemudian diaplikasikan bagi kepentingan umum. Kata prifesional itu sendiri
berasal dari kata sifat yang berarti pencaharian dan sebagai kata benda yang
berarti orang yang mempunyai keahlian seperti guru, dokter, hakim, dan
sebagainya. Dengan kata lain, pekerjaan yang bersifat profesional adalah
pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan
untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak
dapat memperoleh pekerjaan lain.

b. Perlunya Guru Profesional


Dalam pendidikan, guru adalah seorang pendidik, pembimbing, pelatih, dan
pemimpin yang dapat menciptakan iklim belajar yang menarik, memberi rasa
aman, nyaman dan kondusif dalam kelas. Keberadaannya di tengah-tengah
siswa dapat mencairkan suasana kebekuan, kekakuan, dan kejenuhan belajar
yang terasa berat diterima oleh para siswa. Kondisi seperti itu tentunya
memerlukan keterampilan dari seorang guru, dan tidak semua mampu
melakukannya. Maka keberadaan guru professional sangat diperlukan.
keberadaan guru profesional selain untuk

62
mempengaruhi proses belajar mengajar, guru profesional juga diharapkan
mampu memberikan mutu pendidikan yang baik sehingga mampu
menghasilkan siswa yang berprestasi. Untuk mewujudkan itu, perlu
dipersiapkan sedini mungkin melalui lembaga atau sistem pendidikan guru
yang memang juga bersifat profesional dan memeliki kualitas pendidikan dan
cara pandang yang maju.

c. Aspek-aspek Kompetensi Guru Profesional


Dalam buku yang ditulis oleh E. Mulyasa (2011: 75) menjelaskan bahwa
kompetensi yang harus dimiliki seorang guru itu mencakup empat aspek
sebagai berikut:

1. Kompetensi Pedagogik.
E. Mulyasa (2011: 75) mengungkapkan dalam Standar
Nasional Pendidikan, penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir a
dikemukakan bahwa kompetensi pedagogik adalah
kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang
meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan
pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan
pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan
berbagai potensi yang dimilikinya.

Lebih lanjut, dalam RPP tentang guru (E. Mulyasa, 2011:


75) mengungkapkan bahwa kompetensi pedagogik merupakan
kemampuan guru dalam pengelola pembelajaran peserta didik
yang sekurang-kurangnya meliputi hal-hal sebagai berikut.

a) Pemahaman wawasan atau landasan pendidikan

b) Pemahaman terhadap peserta didik

c) Pengembangan terhadap kurikulum/ silabus

d) Perencanaan pembelajaran

e) Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis

63
f) Pemanfaatan teknologi pembelajaran

g) Evaluasi Hasil Belajar (EHB)

h) Pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan


berbagai potensi yang dimilikinya

2. Kompetensi Kepribadian
E. Mulyasa (2011: 117) menjelaskan kompetensi
kepribadian dalam Standar Nasional Pendidikan, yang
tercantum dalam Pasal 28 ayat (3) butir b, dikemukakan
kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa,
menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia.

Menurut Abdul Hadis dan Nurhayati (2010: 27-28)


menjabarkan kompetensi profesional menjadi subkompetensi
dan pengalaman belajar yang berdasarkan LPTKI (Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan Indonesia) di Unesa
Surabaya tahun 2006 sebagai berikut.

a) Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil,


dewasa, arif dan berwibawa:
(1) Berlatih membiasakan diri untuk menerima dan
memberi kritik dan saran
(2) Berlatih membiasakan diri untuk menaati peraturan
(3) Berlatih membiasakan diri untuk bersikap dan
bertindak secara konsisten
(4) Berlatih mengendalikan diri dan berlatih membiasakan
diri untuk menempatkan persoalan secara profesional
(5) Berlatih membiasakan diri melaksanakan tugas secara
mandiri dan bertanggung jawab
b) Menampilkan diri sebagai pribadi yang berakhlak mulia
dan sebagai teladan bagi peserta didik dan masyarakat:
(1) Berlatih membiasakan diri berperilaku yang
mencerminkan keimanan dan ketakwaan

64
(2) Berlatih membiasakan diri berperilaku santun
(3) Berlatih membiasakan diri berperilaku yang dapat
diteladani oleh peserta didik dan masyarakat
c) Mengevaluasi kinerja sendiri:
(1) Berlatih dan mengevaluasi kekuatan dan kelemahan
sendiri
(2) Berlatih mengevaluasi kinerja sendiri
(3) Berlatih menerima kritikan dan saran dari peserta didik
d) Mengembangkan diri secara berkelanjutan:
(1) Berlatih memanfaatkan berbagai sumber belajar belajar
meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan
kepribadian
(2) Mengikuti berbagai kegiatan yang menunjang
pengembangan profesi
(3) Berlatih mengembangkan dan menyelenggarakan
kegiatan yang menunjang profesi guru

Oleh sebab itu, guru adalah panutan bagi peserta didik


dan menjadi sosok seorang guru haruslah memiliki kekuatan
kepribadian yang positif yang dapat dijadikan sumber inspirasi
bagi peserta didik. Seperti yang diungkapkan oleh Ki Hajar
Dewantara dalam sistem pendidikan yang diinginkan yaitu
guru harus “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa,
tut wuru handayani” yang artinya bahwa guru harus menjadi
contoh dan teladan yang baik, membangkitkan motivasi
belajar sisiwa serta mendorong/ memberikan dukunagan dari
belakang.

3. Kompetensi Profesioanal.
E. Mulyasa (2011: 135) menjelaskan kompetensi
profesional dalam Standar Nasional Pendidikan, yang
tercantum dalam Pasal 28 ayat (3) butir c dikemukakan
bahwa yang dimaksud kompetensi profesional adalah

65
kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas
dan mendalam yang memungkinkan membimbing pesrta
didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam
Standar Nasional Pendidikan.

Secara umum, ruang lingkup kompetensi profesional


guru menurut E. Mulyasa (2011: 135) adalah:

a) Mengerti dan dapat menerapkan landasan kependidikan


baik filosofi, psikolgis, sosiologis, dan sebagainya;

b) Mengerti dan dapat menerapkan teori belajar sesuai taraf


perkembangan peserta didik

c) Mampu menangani dan mengembangkan bidnag studi


yang menjadi tanggungjawabnya

d) Mengerti dan dapat menerapkan metode pembelajaran


yang bervariasi

e) Mampu mengembangkan dan menggunakan berbagai


alat, media dan sumber belajar yang relevan

f) Mampu mengorganisasikan dan melaksanakan program


pembelajaran

g) Mampu melaksanakan evaluasi hasil belajar peserta


didik

h) Mampu menumbuhkan kepribadian peserta didik.

Sedangkan secara khusus, kompetensi profesionalisme


guru dapat dijabarkan oleh E. Mulyasa (2011: 136) sebagai
berikut:

a) Memahami Standar Nasional Pendidikan

b) Mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

c) Menguasai materi standar

66
d) Mengelola program pembelajaran

e) Mengelola kelas

f) Menggunakan media dan sumber pembelajaran

g) Menguasai landasan-landasan kependidikan

h) Memahami dan melaksanakan pengembangan peserta


didik

i) Memahami dan menyelenggarakan administrasi


sekolah

j) Memahami penelitian dalam pembelajaran

k) Menampilkan keteladanan dan kepemimpinan dalam


pembelajaran

l) Mengembangkan teori dan konsep dasar kependidikan

m) Memahami dan melaksanakan konsep pembelajaran


individual.

4. Kompetensi Sosial.
E. Mulyasa (2011: 173) menjelaskan tentang
kompetensi sosian dalam Standar Nasional Pendidikan,
penjelasan Pasal 28 ayat (3) butir d dikemukakan bahwa
yang dimaksud dengan kom petensi sosial adalah
kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk
berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta
didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang
tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.

Kompetensi sosial guru merupakan kemampuan guru


untuk menyesuaikan diri kepada tuntunan kerja di
lingkungan sekitar pada saat menjalankan tugasnya sebagai
seorang guru. Dalam menjalani perannya tersebut guru,
sebisa mungkin harus dapat menjadi sosok

67
pencetus dan pelopor pembangunan di lingkungan sekitar
terutama yang berkaitan erat dengan pendidikan. Melalui
interaksinya yang baik dengan peserta didik, sesama
pendidik, tenaga pendidik dan wali peserta didik tentunya
akan sangat mendukung proses pendidikan sehingga
mencapai tujuan pendidikan yang lebih baik.

C. Uji Kompetensi Guru

Menurut E. Mulyasa (2011: 187-188), mengingatkan kualitas guru, perlu


dilakukan suatu sistem pengujian terhadap kompetensi guru sejalan dengan
kebijakan otonomi daerah, beberapa daerah telah melakukan uji kompetensi
guru, mereka melakukannya terutama untuk mengetahui kemampuan guru di
daerahnya, untuk kenaikan pangkat dan jabatan, serta untuk mengangkat
kepala sekolah dan wakil kepala sekolah. Uji kom petensi guru, baik secara
teoritis maupun praktis memiliki manfaat yang sangat penting, terutama dalam
rangka meningkatkan kualitas pendidikan melalui peningkatan kualitas guru.

1. Alat untuk Mengembangkan Standar Kemampuan Profesional Guru


E. Mulyasa (2011: 188) menjelaskan bahwa uji kompetensi guru dapat
dapat digunakan untuk mengembangkan standar kemampuan profesional guru.
Berdasarkan hasil uji dapat diketahui kemampuan ratarata para guru, aspek
mana yang perlu ditingkatkan dan siapa yang perlu mendapat pembinaan
secara kontinu, serta siapa yang telah mencapai standar kemampuan minimal.

2. Alat Seleksi Penerimaan Guru


Menurut E. Mulyasa (2011: 188), dengan uji kompetensi yang digunakan
sebagai alat seleksi, penerimaan guru baru dapat dilakukan secara profesional,
tidak didasarkan suka dan tidak suka, atau alas an subjektif lain, yang
bermuara pada korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), tetapi berdasarkan
standar kompetensi yang objektif, dan berlaku secara umum untuk semua
calon guru.

68
Uji kompetensi ini digunakan secara profesional dalam penerimaan guru
baru, maka akan membantu peningkatan kualitas pendidikan, karena akan
terjaring guru-guru yang kompeten dan siap melaksanakan tugasnya secara
kreatif, profesional dan menyenangkan

3. Untuk Pengelompokan Guru


E. Mulyasa (2011: 189) berpendapat bahwa berdasarkan uji kompetensi, guru-
guru dapat dikelompokkan berdasarkan hasilnya, misalnya kelompok tinggi,
kelompok sedang dan kelompok kurang. Untuk kelompok kurang merupakan
kelompok yang harus mendapatkan

perhatian dan pembinaan agar dapat meningkatkan kompetensinya.

4. Sebagai Bahan Acuan dalam Mengembangkan Kurikulum


Keberhasilan pendidikan tercermin dalam kualitas pembelajaran, dan
keterlibatkan peserta didik dalam pembelajaran E. Mulyasa (2011: 189). Hal
ini harus dijadikan acuan oleh lembaga pendidikan untuk mempersiapkan
calon guru atau calon tenaga kependidikan (LKTK), karena keberhasilan
tersebut terletak pada berbagai komponen dalam proses pendidikan di lembaga
pendidikan.

Secara khusus keberhasilan lembaga pendidikan dalam mempersiapkan calon


guru ditentukan oleh berbagai komponen dalam lembaga tersebut, antara lain
kurikulum. Oleh karena itu, kurikulum lembaga pendidikan yang
mempersiapkan calon guru harus dikembangkan berdasarkan kompetensi guru.

5. Alat Pembinaan Guru


Menurut E. Mulyasa (2011: 190), untuk memperoleh guru yang kreatif,
profesional, dan menyenangkan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, perlu
ditetapkan jenis kompetensi yang perlu dipenuhi sebagai syarat agar seseorang
dapat diterima sebagai guru. Dengan adanya syarat yang menjadi kriteria calon
guru, maka akan terdapat pedoman bagi para administrator dalam

69
memilih, menyeleksi dan menempatkan guru sesuai dengan karaktiristik dan
kondisi, serta jenjang sekolah.

6. Mendorong kegiatan dan hasil belajar


Menurut E. Mulyasa (2011: 190), Kegiatan pembelajaran dan hasil belajar
peserta didik saja ditentukan oleh manajemen sekolah, kurikulum, sarana dan
prasarana pembelajaran, tetapi sebagi besar ditentukan oleh guru. Oleh karena
itu, uji kompetensi akan mendorong terciptanya kegiatan dan hasil belajar
yang optimal, karena guru yang teruji kompetensinya akan senantiasa
menyesuaikan kompetensinya dengan perkembangan kebutuhan dan
pembelajaran.

Guru yang teruji kompetensinya akan lebih mampu menciptakan suasana


yang kondusif, kreatif, efektif dan menyenangkan, sehingga mampu
mengembangkan potensi seluruh peserta didiknya secara optimal. Dengan
demikian, uji kompetesi guuru merupakan sesuatu yang penting dilakukan
untuk setiap guru dan calon guru. Hal ini penting, terutama untuk
mempersiapkan guru kreatif, profesional, dan menyenangkan.

70
BAB VII
REFORMASI PENDIDIKAN
A. Pendahuluan
Sejak bergulirnya reformasi pertengahan tahun 1998, telah terjadi
gelombang perubahan dalam segala sendi kehidupan, baik kehidupan
bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Perubahan mendasar dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara saat ini merupakan
pergeseran terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan. Selama ini
penggunaan pradigma sentralistik terjadi pergeseran orientasi menuju
paradigma desentralistik. Perubahan orientasi paradigma ini diberlakukan
melalui penetapan perundang-undangan mengenaai Pemerintah Daerah,
yang lebih sering kita dengar dengan istilah otonomi daerah.
Perubahan orientasi paradigma tersebut telah melahirkan sistem
penyelenggaraan pemerintahan yang lebih dinamis. Seluruh aktivitas yang
dilakukan cenderung berdasarkan aspirasi setempat (kedinasan), sehingga
sasaran dalam pengelolaan sekolah diharapkan lebih terjamin
pencapaiannya.
Salah satu implementasi dari penerapan paradigma desentralisasi
itu adalah di sektor pendidikan. Sektor pendidikan selama ini terabaikan
dan dianggap hanya sebagai bagian dari aktivitas sosial, budaya, ekonomi
dan politik. Akibatnya, sektor pendidikan dijadikan komoditas berbagai
variabel di atas oleh para pengambil kebijakan, baik oleh eksekutif maupun
legislatif ketika mereka menganggap perlu mengangkat isu-isu
kependidikan yang dapat meningkatkan perhatian publik terhadap mereka.
Memang ironis dan memprihatinkan ketika bangsa lain justru menjadikan
pendidikan sebagai leading sector pembangunannya, menuju keadilan dan
kesejahteraan masyarakatnya.
Pendidikan merupakan salah satu instrumen paling penting dalam
kehidupan manusia dan merupakan bentuk strategi budaya tertua bagi
manusia untuk mempertahankan berlangsungnya eksistensinya (Wahono
2000, hlm. iii). Oleh karenanya, upaya untuk memperbaiki dan
meningkatkan kualitasnya harus dilakukan secara terus menerus. Melalui

71
pendidikan diharapkan pemberdayaan, kematangan, dan kemandirian serta
mutu bangsa secara menyeluruh dapat terwujud.
Dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, kita
semua sepakat bahwa pendidikan memegang peran yang sangat penting.
Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan mutu manusia Indonesia
melalui pendidikan, dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif
dan efisien, sesuai dengan kebutuhan yang semakin mendesak. Salah satu
pendekatan yang dipilih di era desentralisasi sebagai alternatif peningkatan
kualitas pendidikan persekolahan adalah pemberian otonomi yang luas di
tingkat sekolah serta partisipasi masyarakat yang tinggi dalam kerangka
kebijakan pendidikan nasional. Pendekatan tersebut dikenal dengan model
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau School Based Management.
MBS sebagai terjemahan dari School Based Managment (SBM)
merupakan suatu pendekatan praktis untuk mendesain pengelolaan sekolah
dengan memberikan kekuasaan kepada Kepala Sekolah dan meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang
mencakup guru, Kepala Sekolah, orangtua siswa, dan masyarakat (Fattah
2004, hlm.17). Dalam (Buku Panduan Depdiknas, 2003, hlm. 15) MBS
didefenisikan sebagai: Model manajemen yang memberikan otonomi lebih
besar pada sekolah, memberikan fleksibelitas atau keluwesan lebih besar
pada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah, dan mendorong
sekolah meningkatkan partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan nasional.
Oleh karena itu, esensi MBS
= otonomi sekolah + fleksibilitas+partisipasi untuk mencapai sasaran mutu
sekolah.
Manajemen Berbasis Sekolah yang bertanggung jawab lebih besar
harus diberikan kepada Kepala Sekolah dalam pemanfaatan sumber daya
dan pengembangan strategi-strategi berbasis sekolah sesuai dengan kondisi
setempat. Kepala Sekolah, pola kepemimpinannya sangat menentukan
terhadap kemajuan sekolah. Oleh karena itu, dalam pendidikan modern
kepemimpinan Kepala Sekolah perlu mendapat perhatian secara serius.

72
Berdasarkan paparan tersebut maka penulis memfokuskan
permasalahan pada apakah pengelolaan sekolah dengan manajemen
berbasis sekolah dapat meningkatkan mutu pendidikan.

B. Manajemen Berbasis Sekolah Sebagai Paradigma Baru Pengelolaan


Pendidikan
1. Makna Reformasi Pendidikan
GBHN 1988 (BP 7 Pusat, 1990:105 dalam Tirtarahardja & La Sulo,
2010:36) memberikan batasan tentang pendidikan nasional sebagai berikut:
Pendidikan Nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan
berdasarkan Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk
meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan
manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas, dan mandirii sehingga mampu
membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat memenuhi
kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas
pembangunan bangsa.
Sedangkan Ki Hajar Dewantara menyebutkan bahwa pendidikan
sebagai upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak,
agar dapat memajukan kesempurnaan hidup dan menghidupkan anak yang
selaras dengan alam dan masyarakatnya (fc4pentingers.wordpress.com).
Sehingga pendidikan dapat diartikan sebagai upaya atau proses untuk
meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan
manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas, dan mandirii sehingga mampu
membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat memenuhi
kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas
pembangunan bangsa.
Reformasi sendiri secara umum berarti perubahan terhadap suatu
sistem yang telah ada pada suatu masa ( wikipedia.org ). Jadi dapat
disimpulkan bahwa makna dari reformasi pendidikan yaitu sebuah
perubahan sistem dalam pendidikan sebagai upaya atau proses untuk

73
meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bangsa, mewujudkan
manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas, dan mandirii sehingga mampu
membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat memenuhi
kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas
pembangunan bangsa.
Perlu diketahui bahwa reformasi merupakan bagian dari dinamika
masyarakat, dalam arti bahwa perkembangan akan menyebabkan tuntutan
terhadap pembaharuan dan perubahan untuk menyesuaikan diri dengan
tuntutan perkembangan tersebut. Dalam hal ini, proses reformasi bukanlah
hal yang radikal dan berlangsung dalam waktu singkat, tetapi merupakan
proses perubahan yang terencana dan bertahap.

2. Pengertian Reformasi Pendidikan


Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan padanan kata dari
School-Based Management (SBM). Dalam hal ini Bank Dunia (The Wolrd
Bank) telah memberikan pengertian bahwa “school-Based Management is
the centralization of levels of authority to the school level. Responsibility
and decision-making over school operations is transferred to principals,
teachers, parents, sometimes students, and other school community
members. The school-level actors, however, have to confor to, or operate,
within a set of centrally determined policies”. (“MBS adalah desentralisasi
level otoritas penyelenggaraan sekolah kepada level sekolah. Tanggung
jawab dan pengambilan keputusan terhadap pelaksanaan atau
penyelenggaraan sekolah telah diserahkan kepada kepala sekolah, guru-
guru, para orang tua siswa, kadang-kadang peserta didik atau siswa, dan
anggota komunitas sekolah yang lainnya”) (Suparlan, 2013:49).
Berdasarkan pengertian tersebut, penerapan MBS disatuan pendidikan
sekolah sesungguhnya terkait dengan bagaimana prooses penentuan kebijakan
sekolah harus ditetapkan oleh sekolah. Dengan konsep MBS proses penentuaj
kebijakan harus ditetapkan oleh semua pemangku kepentingan (stakeholders)
pendidikan di sekolah.inilah sesungguhnya

74
yang dikenal sebagai indikator atau karakteristik utama MBS. Jika
sebelumnya kepala sekolah menentukan semua kebijakan sekolah sebagai
pemegang kekuasaan tertinggi dalam menentukan kebijakan sekolah, maka
dengan MBS kepala sekolah harus menerapkan kepemimpinan partisipatif,
yaitukepemimpinan dengan prinsip memberikan pelibatan secara luas
keppada semua pemangku kepentingan yang terkait dengan
penyelenggaraan pendidikan di sekolah secara demokratis. Otokrasi
(kekuasaan diri-sendiri) kepala sekolah harus berubah menjadi demokrasi
(kekuasaan rakyat) atau keterlibatan semua pihak yang terkait dengan
penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Akibatnya, keberhasilan atau
kegagalan dari pelaksanaan kebijaksanaan tersebut nanti akan menjadi
keberhasilan atau pun kegagalan bersama (Suparlan, 2013: 50).

3. MBS Sebagai Paradigma Baru


Pergeseran paradigma pengelolaan pendidikan dasar dan menengah
telah tercermin dalan visi pembangunan pendidikan nasional yang
tercantum dalam GBHN (1999): “mewujudkan sistem dan iklim
pendidikan nasional yang demokratis dan berkualitas guna mewujudkan
bangsa yang berahklak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan,
cerdas, sehat, disiplin, bertanggungjawab, terampil, serta menguasai ilmu
pengetahuan dan tegnologi”. Amanat GBHN ini menyiratkan suatu
kekhawatiran yang mendalam dari berbagai komponen bangsa terhadap
prestasi sistem pendidikan nasional yang kini tampak mulai menurun
dalam mempersiapkan SDM yang tangguh dan mampu bersaing di era
tanpa batas ke depan (Hamzah, 2012:84).
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) memang bisa disebut suatu
pergeseran paradigma dalam pengelolaan pendidikan, namun tidak berarti
paradigma ini “baru” sama sekali, karena sebelumnya kita pernah memiliki
Inpres No. 10/1973. Sekolah – sekolah dikelola secara mikro dengan
sepenuhnya diperankan oleh kepala sekolah dan guru-guru sebagai
pengelola dan pelaksana pendidikan pada setiap sekolah yang juga tidak
terpisahkan dari lingkungan masyarakatnya. MBS bermaksud

75
“mengemmbalikan” sekolah kepada pemiliknya, yaitu asyarakat, yang
diharapkan akan merasa bertanggungjawab kembali sepenuhnya terhadap
pendidikan yang diselenggarakan di sekolah-sekolah (Hamzah, 2012:84).
Sisi moralnya adalah bahwa hanya sekolah dan masyarakatnyalah
yang paling mengetahui berbagai persoalan pendidikan yang dapat
menghambat peningkatan mutu pendidikan. Dengan demikian, merekalah
yang seharusnya menjadi pelaku utama dalam membangun pendidikan
yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan masyarakatnya. Hanya kepala
sekolah yang mengetahui apakah guru bekerja baik, apakah buku-buku
kurang, apakah perpustakaan digunakan, apakah sarana pendidikan masih
layak pakai, dan sebagainya. Kepala sekolah dapat “berunding” dengan
masyarakatuntuk memecahkan berbagai persoalan pendidikan bersama-
sama termasuk mengatasi kekurangan sarana-prasarana pendidikan
(Hamzah, 2012:85).
Di sisi lain, hanya guru-gurulah yang paling memahami, mengapa
prestasi belajar murid-muridnya menurun, mengapa sebagian murid bolos
atau putus sekolah, metode belajar apakah yang efektif, apakah
kurikulumnya dapat dilaksanakan dan sebagainya. Guru-guru bersama
kepala sekolah dapat beerja sama untuk memecahkan masalah – masalah
menyangkut proses pembelajaran tersebut. Untuk itu, kepala sekolah dan
guru-guru harus dikembangkan kemampuannya dalam melakukan kajian
serta analisis agar semakin peka dan memahami dengan cepat cara-craa
pemecahan masalah pendidikan di sekolahnya masing-masing (Hamzah,
2012:85).
Dengan MBS, pemecahan masalah internal sekolah, baik yang
menyangkut proses pembelajaran maupun sumber daya pendukungnya
cukup dibicarakan di dalam sekolah dengan masyarakatnya, sehingga tidak
perlu diangkat ke tingkat pemerintah daerah apalagi ke tingkat pusat yang
“jauh panggang dari api” itu. Tugas pemerintah (pusat dan daerah) adalah
memberikan fasilitas dan bantuan pada saat sekolah dan masyarakat
menemui jalan buntu dalam suatu pemecahan masalah. Fasilitas ini
mungkin berbentuk Capacity building, bantuan teknis pembelajaran atau

76
manajemen sekolah, subsidi bantuan sumber daya pendidikan, serta
kurikulum nasional dan pengendalian mutu pendidikan, baik tingkatan
daerah maupun nasional. Agar dapat memberikan fasilitas secara objektif,
pemerintah perlu didukung oleh sistem pendataan dan pemetaan mutu
pendidikan yang andal dan terbakukan secara nasional Hamzah, 2012:85).
Pada intinya sebagai sebuah paradigma “baru” MBS didukung oleh
berbagai sisi, yaitu (1) sisi regulasi, (2) sisi moral, dan (3) sisi lainnya
(kepala sekolah, guru, siswa dan stakeholders. Dari sisi regulasi kita dapat
mengetahui bahwa sistem pendidikan yang sekarang ini disebut sebagai
MBS, ternyata sudah pernah diterapkan jauh sebelum ditetapkannya UU
No.32 tahun 2004 tentang Otda. Buktinya adalah Instruksi Presiden SDN
No. 10/1973 yang merupakan titik awal dari keterpurukan sistem
pendidikan, terutama sistem persekolahan ditanah air. Melalui Inpres
tersebut pemerintah telah mengambil alih “kepemilikan” sekolah yang
sebelumnya milik masyarakat menjadi milik pemerintah dan dikelola
sepenuhnya secara birokratik bahkan sentralistik. Sejak saat itu, perlahan
namun pasti rasa memiliki masyarakat mulai pudar bahkan menghilang.
Lebih jauh lagi jika kita menengok sejarah bangsa, banyak sekali
madrasah – madrasah yang berdiri dari kepedulian akan pendidikan, kerja
sama dan gotong royong masyarakat. Seperti Podok Pesantren Tebuireng
yang didirikan oleh K.H Hasyim Asy’ari pada tahun 1899.
Terlahir dengan nama Muhammad Hasyim, K.H Hasyim Asy’ari
termasuk dalam keturunan ningrat dan ulama. Pada tahun 1899,
sekembalinya dari belajar di mekkah selama 7 tahun, ia mulai mendirikan
sebuah pondok pesantren di Jombang, Jawa Timur. Pondok pesantren itu
diberi nama Tebuireng. Dalam mengajar, ia tidak hanya mendidik murid-
murid dengan ilmu agama dan bahasa Arab, tetapi juga membaca dan
menulis latin, berorganisasi, pengetahuan umum, dan lain-lain (Ajisaka,
2010:50).

77
C. Menuju Otonomi Pada Tingkat Sekolah – sekolah
1. Pengertian Otonomi Daerah
Istilah Otonomi Daerah, baru dikenal oleh banyak orang setelah
jatuhnya rezim pemerintahan Soeharto. Pada masa pemerintahan Ir.
Soekarno dan masa Pemerintahan Soeharto tidak dikenal dengan Istilah
Otonomi daerah (Desentralisasi). Hal ini disebabkan oleh system dan gaya
kepemrintahan Soeharto yang lebih banyak dipengaruhi oleh gaya birokrat
yang otoriter dan bahkan bisa dikatakan dengan anti demokrasi. Hal ini
disebabkan tidak berkembangnya system demokrasi padamasa itu.
Sedangkan Otonomi daerah ini adalah suatu bentuk system pemerintahan
di mana sebahagian kekuasaan di serahkan ke daerah-daerah. Di bawah ini
akan diuraikan beberapa defenisi dari Otonomi Daerah menurut beberapa
pendapat.
1. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Desentraliasi atau
Otonomi Daerah adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah
pusat yang berada di ibu Kota Negara baik melalui cara
dekonsentrasi, misalnya pendelegasian kepada pejabat di bawahnya
maupun melalui pendelegasian kepada pemerintah atas perwakilan
daerah.
2. Rondinelli dkk (1988), dalam Civic Education menjelaskan,
menjelaskan Otonomi Daerah sebagai transfer tanggung jawab
dalam perencanaan, manajemen dan alokasi sumber-sumber dari
pemerintah pusat dan agenagennya kepada unit kementerian pusat ,
unit yang ada di bawah level pemerintah, otoritas atau korporasi
public.
3. Pengertian otonomi dalam konteks desentralisasi pendidikan, menurut
Tilaar dalam Salman (2010) mencakup enam aspek, yakni:
1) Pengaturan perimbangan kewenangan pusat dan daerah,
2) Manajemen partisipasi masyarakat dalam pendidikan,
3) Penguatan kapasitas manajemen pemerintah daerah,
4) pemberdayaan bersama sumber daya pendidikan,
5) hubungan kemitraan “stakeholders” pendidikan

78
6) pengembangan infrastruktur sosial.

2. Otonomi pendidikan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional


Nomor 20 Tahun 2003 adalah terungkap pada Bab Hak dan
Kewajiban Warga Negara, Orang tua, Masyarakat dan Pemerintah. Pada
bagian ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal 8 disebutkan bahwa
“Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan evaluasi program pendidikan; Pasal 9 Masyarakat
berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan” . Begitu juga pada bagian keempat Hak dan Kewajiban
Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pasal 11 ayat (2) “Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh
sampai lima belas tahun” . Khusus ketentuan bagi Perguruan Tinggi, pasal
24 ayat (2) “Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri
lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian
ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat”. (Salman Educa: 2010)
3. Peran Masyarakat Dalam Otonomi Pendidikan
Sebelum era otonomi digulirkan, masyarakat tidaklah dapat berbuat
banyak untuk perkembangan di daerahnya baik dibidang pemerintahan
maupun di bidang pendidikan, bahkan masyarakat hampir sama sekali
termarjinalkan. Hal ini disebabkan oleh system pemerintahan pada masa
itu (fase Soeharto) yang bersifat sentralistik Jakarta, dimana semua
kebijakan-kebijakan bermuara dari pusat. Pusatlah yang menentukan baik
dan buruknya daerah daerah yang ada di
Nusantara ini. Padahal Pemerintah pusat tidaklah mengetahui
bagaimana kondisi riil di daerah yang terdiri dari beribu-ribu pulau. Mulai
dari daerah yang sudah maju dan berkembang sampai ke daerah yang
terpencil yang kadang-kadang sama sekali tidak terjamahkan oleh
pemerintah daerah apalagi pemerintah pusat. Masyarakat tidak bisa berbuat
banyak, mereka hanyalah sebagai patung yang dipermainkan oleh
pemerintah pusat. Padahal pemerintah daerah yang lebih mengetahui

79
bagaimana kondisi daerah yang sebenarnya. Kini sudah saatnya untuk
menata menjadi lebih baik,ketidak adilan terhadap masyarakat harus
dikikis habis-habis. Pemerintah daerah telah diberikan kepercayaan penuh
oleh pemerintah pusat dalam mengatur daerahnya.
Pemerintah daerah harus bisa berperan dalam pemberdayaan dan
pengelolaan pendidikan. Masayakat (wali murid) yang merupakan objek
daripada proses pendidikan tidak hanya sekedar boneka yang hanya
sebagai penyumbang, atau hanya sebagai dana penambah bagi sekolah
yang terlembagakan dalam sebuah suatu organisasi yang disebut dengan
BP3. Dengan kata lain ketidakseimbangan dan ketimpangan antara hak dan
kewajiban anggota BP3 yang terdiri dari masyarakat yang merupakan
kumpulan para wali/orang tua siswa (peserta didik) dalam manejemen
sekolah harus ditiadakan. Masyarakat tidak bisa lagi dijadikan sapi perahan
oleh pemerintah, terutama oleh pemerintah pusat. Wali murid (masyarakat)
harus bisa menjadikan BP3 sebagai organisasi yang bisa menampung
aspirasi masyarakat lainnya yang pada akhirnya bisa membuat kebijakan
untuk kepentingan sekolah. Maka ketika otonomisasi digalakkan adalah
sudah saatnya masyarakat (orang tua) diikutsertakan dalam pengambilan
keputusan di sekolah dalam berbagai hal. Tapi, tidak hanya sekedar
sebagai formalitas belaka, yang artinya, orang tua ketika diikutsertakan
dalam musyawarah dengan pihak sekolah tidak hanya sebagai objek atau
hanya sebagai pendengar saja (only learner). Melainkan harus benar-benar
di libatkan secara langsung.
Begitu pula sebaliknya. Pihak sekolah dan BP3 yang biasanya
sudah terlebih dahulu merencanakan dan menganggarkan SPP (misalnya)
untuk siswa tidak melibatkan para orang tua/ wali siswa. Orang tua/ wali
siswa (peserta didik) hanya dijadikan pihak kedua (the second man) dalam
masalah tersebut. Yang pada gilirannya musyawarah tersebut hanya
menjadi ''guyonan belaka'' atau sekedar formalisme.
4. Dukungan Masyarat Terhadap Otonomi Pendidikan
Di era otonomi saat ini, sudah saatnya dirubah dan dibuang jauh-
jauh dari paradigma berpikir yang tidak kritis demi untuk membangun

80
sebuah masyarakat yang berpendidikan, humanis, demokratis dan
berperadaban. Agar masyarakat yang selama ini termarjinalkan dalam
lubang berpikir ortodoks tidak lagi ada dalam bangunan dan tatanan
masyarakat yang dinamis dan progresif. Dan dapat bersama-sama
membangun pendidikan yang maju dan qualified dalam percaturan
internasional. Sehingga nantinya dapat terwujud masyarakat edukatif,
pembelajar-bahasa Andreas Hafera-dan demokratis yang dapat turut serta
menciptakan ''Masyarakat Madani'' sebagaimana yang kerap muncul dalam
wacana kekinian dalam upaya membangun bangsa. Bila yang terjadi
demikian, maka masyarakat juga akan merasa bangga dengan dirinya
sendiri dan pada gilirannya akan respek terhadap kemajuan dan
perkembangan yang terjadi dalam lingkungan pendidikan sendiri. Karena
masyarakat telah diberikan penghargaan yang tiada tara sebagai makhluk
sosial dan sebagai hamba Tuhan. Sehingga pendidikan masyarakat yang
mencakup seluruh komponen masyarakat dan sekolah itu sendiri (baik
orang tua/ wali).
5. Otonomi Pendidikan
siswa/ peserta didik, peserta didik sendiri, sekolah dan juga
pemerintah) dapat berjalan sinergis, beriringan dan selaras. Akan tetapi, hal
itu tentu saja tidak begitu mudah untuk dilakukan. Karena berbagai elemen
dan perangkat untuk menunjang itu semua haruslah dapat dengan tegas bahwa
semua itu diimplementasikan hanya untuk mempertegas bahwa otonomisasi
pendidikan sudah benar-benar dijalankan dalam kehidupan masyarakat
terutama dalam meningkatkan pendidikan di daerahnya masingmasing. Upaya
ke arah itu pun sudah sedang dan mesti digalakkan, agar dapat mencapai hasil
yang maksimal dan dapat memenuhi target yang telah ditentukan. Oleh karena
itu, untuk mempertegas otonomisasi pendidikan itu tidak hanya membutuhkan
perangkat bantuan yang berupa materil saja, melainkan juga perlu dukungan
moril dan kontribusi pemikiran dan ide-ide segar sangat dibutuhkan. Tetapi,
itu semua tidak hanya cukup diberikan oleh segelintir masyarakat saja. Justru,
dukungan seluruh komponen masyarakat kita pun juga amat menentukan
proses

81
keberlangsungan itu semua. Maka tidak heran bila Suyanto menyatakan
Otonomi Pendidkan harus perlu mendapat dukungan dari para anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Karena DPRD-lah yang
merupakan penentu dan yang mengesahkan kebijakan yang di buat oleh
pemerintah di tingkat daerah (Propinsi, Kabupaten, Kota) dalam rangka
otonomi pendidikan tersebut.
Hal itu selaras dengan apa yang termaktub dalam pasal 14 UU Otonomi
Daerah. No. 22/ 1999; di setiap daerah otonomi memiliki sistem
pemerintahan yang terdiri dari DPRD sebagai badan legislatif daerah.
Pemerintah daerah (Pemda) sebagai badan eksekutif daerah uga harus bisa
memainkan peranannya sebagai pembuat kebijakan, terutama kebijakan yang
berkaitan dengan kebijakan pendidikan. Oleh karena itu, setiap insititusi yang
terkait harus dapat bekerja sama secara seimbang antara eksekutif dan
yudikatif agar daerah yang melaksanakan otonomi daerah, terutama otonomi
di bidang pendidikan dapat berfungsi secara efektif dan demokratik bagi
semua warga masyarakat. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang
mempunyai kedudukan yang strategis harus bisa memainkan perannya, dan
mempunyai keinginan yang kuat dalam membangun serta menumbuhkan
paradigma dan visi pendidikan di daerahnya masing-masing. Oleh karena itu,
badan legistlatif daerah ini harus diberdayakan dan memberdayakan diri agar
mampu menjadi mitra yang baik, serta memiliki kesetaraan dalam kinerja
legislasinya. Dengan adanya kerjasama yang baik antara pemerintah dan DPR,
maka semua kesulitan dalam membangun daerah, terutama dalm
memnciptakan pendidikan.. Sejalan dengan semangat Otonomi Daerah, maka
otonomi pendidikan juga telah memberikan ruang untuk pikirkan secara
bersama, terutama oleh wakil rakyat (DPR), yang tentu dapat memberikan
warna dalam membuat keputusan politik di bidang otonomi pendidikan
daerah. Bupati/Wali Kota, harus diberikan masukan secara sistematis dan
berkelanjutan dalam membangun pendidikan daerah. Karena bila tidak, maju
dan mundurnya pendidikan di era otonomi daerah adalah tergantung dari dan
kebijakan politik yang diambil oleh anggota Dewan perwakilan Rakyat
Daerah

82
(DPRD). Bahkan dikatakan Eko Budiharjo, berkaitan dengan
diimplementasikannya otonomi pendidikan, sudah barang tentu peran dari
lembaga pendidikan sebagai pusat pengetahuan (central of science), ilmu
teknologi, dan budaya menjadi lebih penting dan sangat strategis. Dan hal
itu dilakukan adalah dalam rangka pemberdayaan daerah, untuk
mempertegas otonomi yang sedang berjalan. Disebabkan kebanyakan
pemerintah daerah tingkat satu (propinsi) apalagi tingkat dua (kabupaten
dan kotamadya) tidak memiliki sumber daya manusia (sdm) yang cukup
handal dan potensial untuk mengelola dan mengatur daerahnya secara
optimal. Kerja sama yang lebih erat antara lembaga pendidikan di daerah
dengan pemerintah daerahnya sangat diperlukan. Lebih lanjut Eko
Budiharjo menegaskan, tokoh-tokoh ilmuwan dan pakar dari kampus lebih
didayagunakan sebagai braint trust atau think thank untuk pembangunan
daerahnya, tidak hanya sekedar sebagai pemerhati, kritikus, atau pengecam
kebijakan daerah. Sebaliknya, lembaga pendidikan yang ada juga harus
dapat membuka diri, lebih banyak mendengar opini publik, kinerjanya, dan
tentang tanggung jawabnya dalam turut serta memecahkan masalah
(problem solving) yang dihadapi oleh rakyat. Selain itu, pemerintah pusat
tidak diperkenankan mencampuri urusan pendidikan daerah. Pemerintah
pusat hanya diperbolehkan dan dipersilahkan untuk memberikan
kebijakan-kebijakan dalam persoalan tersebut. Namun itupun harus atas
dasar persetujuan bersama pemerintah-pemerintah daerah. Atau dengan
lain perkataan, keterlibatan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan
ini hanya mencakup dua aspek; mutu dan pemerataan.
Pemerintah menetapkan standar mutu pendidikan, dan berupaya
agar semua siswa dapat berprestasi setinggi dan sebaik mungkin. Agar
semua sekolah dapat mencapai standar minimum mutu pendidikan, dengan
keragaman prestasi antarsekolah dalam suatu lokasi sekecil mungkin.
Pendeknya, pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan katalisator
bukan regulator. Karena otonomi pengelolaan pendidikan berada di tingkat
sekolah. Maka peran lembaga pemerintah adalah memberi pelayanan dan
dukungan kepada sekolah. Agar proses pendidikan berjalan efektif dan

83
efisien (Indra Djati Sidi; 2001). Sehingga, Masyarakat Berbasis Sekolah
(MBS) yang kerap dibicarakan dapat menemukan konteks dan
momentumnya, yang pada gilirannya dapat terwujudkan.
D. Pengelolaan Pendidikan Pada Tingkat Sekolah
Pengelolaan Pendidikan adalah kriteria mengenai perencanaan,
pelaksanaan,dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan
pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi
dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan. Standar Pengelolaan adalah
Standar nasional pendidikan yang berkaitan dngan perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan
pendidikan, kabupaten/kota, propinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi
dan efektifitas penyelenggaraan pendidikan. Standar Pengelolaan
Pendidikan disajikan pada Diklat Peningkatan Profesi Pengawas TK/SD
dan Kepala Sekolah Dasar Kab. Wonosobo Tahun 2007 Berdasarkan
Peraturan Mendiknas Nomor 19 Tanggal 23 Mei Tahun 2007.
Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan
dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas.
Pengelolaan sekolah didasarkan pada perencanaan program, pelaksanaan
rencana kerja, pengawasan dan evaluasi, kepemimpinan sekolah, dan
sistem informasi manajemen. Sekolah mengembangkan perencanaan
program mulai dari penetapan visi, misi, tujuan, dan rencana kerja.
Pelaksanaan rencana kerja sekolah didasarkan pada struktur organisasi dan
pedoman pengelolaan secara tertulis di bidang kesiswaan, kurikulum dan
kegiatan pembelajaran, pendidikan dan tenaga kependidikan, sarana dan
prasarana, keuangan dan pembiayaan Di samping itu pelaksanaannya juga
mempertimbangkan budaya dan lingkungan sekolah, serta melibatkan
peran serta masyarakat.

1. Konsep Standart Pengelolaan Pendidikan


Standar Pengelolaan terdiri dari 3 (tiga) bagian, yakni Standar
Pengelolaan oleh satuan pendidikan, Standar Pengelolaan oleh Pemerintah
Daerah dan Standar Pengelolaan oleh Pemerintah. Berikut ini, Peraturan

84
Menteri pendidikan Nasional Republik Indonesia yang berkaitan dengan
Standar Pengelolaan. Peraturan Menteri pendidikan Nasional Republik
Indonesia No 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan pendidikan
oleh Satuan pendidikan Dasar dan Menengah.
a. Standar Pengelolaan oleh satuan pendidikan, menurut pasal 49
pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasasr dan
menengah menerapkan managemen berbasis sekolah yang
ditunjukan dengan kemandirian, partisipsi, keterbuakaan, dan
akuntabilitas pengelolaan suatu pendidikan pada jenjang pendidikan
tinggi menerapkan otonomi perguruan tinggi.
b. Standar Pengelolaan Oleh Pemerintah
Menurut Pasal 60-Pemerintah menyusun rencana kerja
tahunan bidang pendidikan dengan memprioritaskan program: wajib
belajar; peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang
pendidikan menengah dan tinggi; penuntasan pemberantasan buta
aksara; penjaminan mutu pada satuan pendidikan,baik ysng
diselengarakan oleh pemerintah maupun masyarakat; peningkatan
status guru sebagai profesi;
1) peningkatan mutu guru/dosen;
2) standarisasi pendidikan;
3) akreditasi pendidikan;
4) peningkatan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan
lokal,nasional,dan global;
5) pemenuhan Standar Pelayanan Minima (SPM ) bidang
pendidikan; dan
6) Penjaminan mutu pendidikan nasional.

2. Standar Pengelolaan Oleh Pemerintah Daerah


Pasal 59-(1) Pemerintah daerah menyusun rencana kerja tahunan bidang
pendidikan dengan memprioritaskan program:
1. Wajib belajar;
2. Peningkatan angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan

85
menengah;
3. Penuntasan pemberantasan buta aksara;
4. Penjaminan mutu pada satuan pendidikan,baik yang diselengarakan oleh
Pemerintah
Daerah maupun masyarakat;
5. peningkatan status guru sebagai profesi;
6. Akreditasi pendidika;
7. peningkatan relevansi pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat;dan
8. pemenuhan Standar pelayanan minimal (SPM) bidang pendidikan.

3. Beberapa Aspek Standar Pengelolaan Sekolah yang Harus Dipenuhi


Adalah Meliputi:
1. perencanaan program
2. pelaksanaan rencana kerja
3. pengawasan dan evaluasi
4. kepemimpinan sekolah/madrasah
5. sistem informasi manajemen.
Pedoman Pengelolaan Sekolah / Madrasah Meliputi :
1. Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan
2. Kalender pendidikan /akademik
3. Struktur organisasi sekolah/madrasah
4. Pembagian tugas di antara pendidik
5. Pembagian tugas di antara tenaga kependidikan
6. Peraturan akademik
7. Tata tertib sekolah/madrasah
8. Kode etik sekolah/madrasah
9. Biaya operasional sekolah/madrasah
E. Pemberdayaan Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan
1. Strategi Mengefektifkan Kinerja Komite Sekolah
Sekolah adalah sebuah pranata sosial yang bersistem, terdiri atas
komponen-komponen yang saling terkait dan pengaruh mempengaruhi.
Komponen utama sekolah adalah siswa, pendidik dan tenaga kependidikan

86
lainnya, kurikulum, serta fasiltias pendidikan. Selain itu, pemangku
kepentingan (stakeholder) juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap
proses penyelenggaraan dan peningkatan mutu pendidikan. Dalam hal ini
orangtua dan masyarakat merupakan pemangku kepentingan yang harus dapat
bekerja sama secara sinergis dengan sekolah (Modul 3: 2006;4). Salah satu
tujuan bangsa Indonesia yang tertera dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD
1945 adalah “…..mencerdaskan kehidupan bangsa….” Dari
penggalan alinea tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan
prioritas bagi seluruh insan dimuka bumi, tidak terkecuali Indonesia.
Sangat mutlak pendidikan menjadi bekal utama untuk melanjutkan
kehidupan. Peran serta orang tua dan masyarakat tentunya sangat
menentukan masa depan pendidikan. Suparlan (2005 dalam Modul
3:2006;11) menyebutkan bahwa orangtua dan masyarakat serta elemen
pemangku kepentingan (stakeholder) merupakan masukan lingkungan
yang ikut berpengaruh terhadap kinerja sekolah sebagai suatu sistem.
Dewan Pendidik, khususnya Kepala Sekolah bekerjasama dengan
masyarakat, baik lingkungan sekitar maupun orangtua/wali murid. Oleh
karena itu diperlukan adanya suatu perangkat pelaksana sistem pendidikan,
suatu wadah yang menampung aspirasi masyarakat yang peduli terhadap
pendidikan. Perangkat atau wadah inilah yang disebut sebagai Komite
Sekolah (school board). Komite Sekolah merupakan wakil bagi
masyarakat atau orangtua/wali murid yang menjadi mitra bagi sekolah
dalam membantu penyelenggaraan program pendidikan. Komite Sekolah
dibentuk sesuai dengan konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan salah satu cara
pengelolaan sekolah yang pada saat ini sedang digalakkan Pemerintah,
sebagai konsekuensi kebijakan desentralisasi yang melimpahkan sebagian
besar kewenangan Pemerintah Pusat ke Pemerintahan Daerah di berbagai
bidang termasuk bidang pendidikan.

Konsep MBS dapat dipandang sebagai langkah untuk meningkatkan


kemandirian dan profesionalisasi setiap satuan pendidikan (sekolah).

87
Keberhasilan MBS ditentukan dengan meningkatnya partisipasi
masyarakat, dengan jalan menggali aspirasi, dan menggali potensi
masyarakat untuk menjamin demokratisasi dan transparansi pendidikan.
Upaya tersebut dapat dilakukan melalui Komite Sekolah sebagai
“perwakilan” masyarakat di tingkat satuan pendidikan. Dalam konsep
MBS, sekolah memiliki kewenangan untuk mengelola penyelenggaraan
pendidikannya sendiri dengan azas partisipasi dari masyarakat. MBS
menekankan agar pihak sekolah mengikutsertakan masyarakat secara
intensif dan ekstensif sesuai dengan peran dan potensi masing-masing.

Komite Sekolah ini sendiri sebenarnya mulai dikenal sekolah-sekolah di


Indonesia dengan nama Persatuan Orangtua Murid dan Guru (POMG) pada
tahun 1950-an. Organisasi ini selanjutnya dibubarkan dan pada tahun 1970-an,
kemudian terbentuk lembaga baru yaitu Badan Pembantu Penyelenggara
Pendidikan (BP3). Organisasi BP3 kemudian dibubarkan dan muncul
organisasi baru dengan nama Komite Sekolah. Komite Sekolah umumnya
dibentuk atas dasar Peraturan Pemerintah No 44/U/2002. Ketua dan Anggota
Komite ditunjuk sesuai dengan mekanisme sekolah masing-masing antara lain
ditunjuk atas dasar musyawarah orangtua/wali murid, ditunjuk langsung oleh
rapat, poling dalam rapat sekolah dan pengurus disesuaikan dengan kondisi
masing-masing sekolah. Sebagian besar komite mempunyai pengurus 3 orang
dengan jumlah anggota 20 orang. Anggota dan kepengurusan yang telah
dibentuk umumnya dari kalangan masyarakat atau orangtua/wali murid yang
peduli pendidikan. Lingkungan kerja dan anggota yang berkualitas sangat
penting sehingga Komite Sekolah dapat bekerja secara efektif bersama-sama
dengan sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu belajar mengajar.

2. Peran, Tugas, Dan Fungsi Komite Sekolah


Berbeda dengan organisasi-organisasi sebelumnya, yaitu POMG
dan BP3, Komite Sekolah memiliki tingkat kemandirian yang lebih tinggi.
POMG dan BP3 bertugas membantu penyelenggaraan pendidikan di
sekolah khususnya dalam bidang pendanaan, dalam arti kedua organisasi

88
tersebut baru bergerak apabila sekolah membutuhkan peranannya. Seperti
dijelaskan dalam Kepmendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah, peran Komite Sekolah tidak sekedar
membantu sekolah dalam penggalangan dana. Komite sekolah mempunyai
peran yang jauh lebih luas, yaitu:

1. Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan


pelaksanaan kebijakan pendidikan;
2. Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud financial,
pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan;
3. Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan
akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan;
4. Mediator antara pemerintah (eksekutif) dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (legislatif) dengan masyarakat.
Untuk menjalankan peran yang demikian besar, Komite Sekolah berjalan
secara mandiri, dalam arti tidak di bawah koordinasi kepala sekolah,
melainkan berkerjasama dengan kepala sekolah untuk memajukan sistem
pendidikan di sekolahnya. Perbedaan prinsip antara BP3 dengan Komite
Sekolah adalah dalam peran dan fungsi, keanggotaan serta dalam pemilihan
dan pembentukan kepengurusan. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010
tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Pasal 196 secara jelas
mengatur fungsi dan tugas Komite Sekolah/Madrasah.

➢ Pasal 196 ayat (1): Komite Sekolah/Madrasah berfungsi


dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan
memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana
dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan
pendidikan.

➢ Pasal 196 ayat (2): Komite Sekolah/Madrasah menjalankan


fungsinya secara mandiri dan profesional.

➢ Pasal 196 ayat (3): Komite Sekolah/Madrasah


memperhatikan dan menindaklanjuti terhadap keluhan, saran,
kritik, dan aspirasi masyarakat terhadap satuan pendidikan.

89
Dari butir-butir ayat tersebut jelas bahwa Komite Sekolah memiliki
peran penting dalam upaya memajukan dunia pendidikan di tingkat
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Komite Sekolah juga turut
memberikan pertimbangan mengenai berbagai isu pendidikan. Posisi ini
menjadikan Komite Sekolah sebagai mitra strategis dan sejajar bagi
sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan. Komite Sekolah sebagai wakil
masyarakat sedianya menyuarakan kepentingan dan kebutuhan masyarakat
dalam berbagai kebijakan pendidikan yang diambil sekolah.

Komite Sekolah berfungsi sebagai berikut:

1. Membantu sekolah mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan


Pendidikan (sesuai dengan UU Sisdiknas Pasal 36 Ayat 2);
2. Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat
terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu;
3. Melakukan kerjasama dengan masyarakat
(perorangan/organisasi/dunia usaha/dunia industri) dan pemerintah
berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu;
4. Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai
kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat;
5. Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada
satuan pendidikan mengenai:
1) Kebijakan dan program pendidikan;
2) Rencana Anggaran Pendidikan dan Belanja Sekolah
(RAPBS);
3) Kriteria kinerja satuan pendidikan;
4) Kriteria tenaga kependidikan;
5) Kriteria fasilitas pendidikan; dan
6) Hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan;
7) Mendorong orangtua dan masyarakat berpartisipasi dalam
pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan
pemerataan pendidikan;

90
8) Menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan
penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan;
9) Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan,
program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di
satuan pendidikan.

3. Kinerja Komite Sekolah


Pada saat ini, secara formal hampir seluruh sekolah di pelosok
tanah air telah membentuk Komite Sekolah. Komite Sekolah yang
diharapkan dapat menjadi organisasi yang memberi pertimbangan,
mendukung, mengontrol pengelolaan pendidikan di sekolah, serta menjadi
mediator bagi masyarakat dengan pihak sekolah, maupun pihak sekolah
dengan pemerintah. Namun, jika ditinjau, banyak pihak-pihak yang
berhubungan dengan pendidikan (orang tua, masyarakat sekitar, bahkan
guru) kurang mengetahui tentang peran dan fungsi Komite Sekolah.
Banyak dari mereka yang menyebutkan bahwa Komite Sekolah tidak ada
bedanya dengan Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3), hanya
nama saja yang berubah. Hal seperti ini menunjukkan bahwa sosialisasi
tentang Komite Sekolah masih sangat kurang sehingga terjadi miss
understanding antara mereka.

Pada umumnya peran Komite Sekolah di berbagai sekolah di


Indonesia menunjukkan bahwa mereka hanya berperan sebagai “alat
perlengkapan” yang wajib dimiliki oleh setiap sekolah. kebanyakan Komite
Sekolah hanya berperan dalam pengesahan dana-dana yang terkait dengan
pendidikan. Peran yang mendominasi Komite Sekolah yaitu sebagai pemberi
pertimbangan atau penasehat (advisory) mengenai sejumlah dana, dan
penghubung (mediator). Sedangkan peran lainnya yaitu pengontrol
(controlling) dan pendukung (supporting) menjadi peran yang tertutupi,
mengapa demikian? Kenyataan di lapangan menyebutkan bahwa program-
program yang dikembangkan dalam setiap pertemuan cenderung

91
hanya difokuskan pada perbaikan kondisi fisik sekolah. Apabila dicermati
lebih jauh, maka diperoleh fakta bahwa komite sekolah sangat jarang
melaksanakan fungsi-fungsi manajemen pendidikan dalam hal berikut:

1. Memberikan masukan terhadap proses pembelajaran kepada para


guru.
2. Mengidentifikasi sumber daya dan potensi sumber daya pendidik
dalam masyarakat.
3. Memberikan pertimbangan tentang tenaga kependidikan yang dapat
diperbantukan di sekolah.
4. Memobilisasi guru sukarelawan untuk menanggulangi kekurangan
guru di sekolah.
5. Memobilisasi tenaga kependidikan nonguru untuk mengisi
kekurangan di sekolah.
6. Memantau angka bertahan dan angka mengulang di sekolah.
7. Mengidentifikasi kondisi sumber daya sekolah.
8. Mengkomunikasikan pengaduan dan keluhan terhadap kebijakan dan
program sekolah. (Paduppai:4)
Fakta lain yang ditemukan di lapangan, mengenai keanggotaan
Komite Sekolah/Madrasah yang masih belum luas. Kebanyakan dari mereka
berasal dari orang terpandang, tokoh setempat, guru, maupun pensiunan guru.
Di samping itu adanya diskriminasi masih umum terjadi dalam penyusunan
keorganisasian pengurus Komite Sekolah. Di berbagai sekolah, masih sangat
jarang perempuan yang menjadi anggota di dalamnya. Dalam kepengurusan
Komite Sekolah, sekalipun menjadi pengurus biasanya mereka dipilih atau
memposisikan diri sebagai sekretaris atau bendahara. Selain itu, kurangnya
pengetahuan dan wawasan pengurus Komite Sekolah dalam manajemen
pendidikan juga menjadi kendala bagi mereka dalam menjalankan peran,
tugas, dan fungsi masing-masing. Komite Sekolah dipilih karena
keterampilan-keterampilan mereka dan jaringan hubungan yang mereka
miliki, bukan karena pengetahuan mereka

92
mengorganisir pendidikan. Kenyataan seperti ini terjadi karena kurang atau
bahkan tidak adanya peranan pemerintah melakukan pembinaan terhadap
Komite Sekolah. Bahkan pemerintah tidak melakukan pengawasan dan
evaluasi terhadap program kerja Komite Sekolah. Pada akhirnya hal
semacam ini menimbulkan negative images dan big questions bagi kinerja
Komite Sekolah. Bagaimana pemahaman pengurus Komite Sekolah
mengenai peran dan fungsi dalam manajemen pendidikan? Bagaimana
kinerja Komite Sekolah selama ini? Apakah Komite Sekolah sudah
berperan dan berfungsi dalam pelaksanaannya sesuai dengan
Kepmendiknas No. 044/2002?

4. Strategi Mengefektifkan Kinerja Komite Sekolah


Berbagai kendala yang dialami oleh Komite Sekolah dalam
melaksanakan peran, tugas, dan fungsi yang menjadi amanatnya. Mulai dari
faktor internal yaitu dari pengurus organisasi yang masih memerlukan adanya
penegasan terhadap manajemen pendidikan hingga faktor eksternal yaitu dari
lingkungan sekitar yang belum mengetahui sepenuhnya mengenai Komite
Sekolah. Kurangnya wawasan dan pengetahuan pengurus Komite Sekolah
menjadikan kendala bagi Komite Sekolah dalam melaksanakan amanatnya.
Pemerintah perlu mengadakan sosialisasi dan training terhadap Komite
Sekolah mengenai peran, tugas, dan fungsi Komite Sekolah, pemberdayaan
kinerja Komite Sekolah, serta yang lebih menjadi priority yaitu manajemen
pendidikan. Dengan menguasai manajemen pendidikan, diharapkan Komite
Sekolah mampu menjadi mitra dan rekan kerja yang baik bagi sekolah dan
Dewan Pendidik. Optimalisasi pembinaan Dewan Pendidikan di tingkat
kabupaten/kota terhadap Komite Sekolah di tingkat satuan pendidikan juga
perlu diterapkan. Jika Komite Sekolah sudah mempunyai program kerja, maka
agar lebih matang dalam pelaksanaannya program-program Komite sekolah
harus dievaluasi dan di monitoring, koordinasi dengan sekolah begitu juga
sebaliknya, sehingga kemitraan yang selama ini jadi acuan dapat memberikan
kualitas/ mutu sekolah itu sendiri.

93
Faktor eksternal yaitu dari lingkungan sekitar yang kurang
mengerti dan memahami mengenai Komite Sekolah. Menanggapi kendala
tersebut diperlukan adanya sosialisasi tentang Komite Sekolah. Komite
Sekolah memang seharusnya mengadakan sosialisasi kepada orangtua/wali
murid, masyarakat, serta pemangku kepentingan (stakeholder) yang
mempunyai pengaruh besar terhadap proses penyelenggaraan dan
peningkatan mutu pendidikan. Hal ini dimaksudkan agar pihak-pihak yang
berhubungan dengan sekolah dapat memahami peran Komite Sekolah dan
selanjutnya dapat bekerjasama untuk mewujudkan pendidikan yng lebih
berkualitas. Komite Sekolah merupakan wadah yang independen, wadah
yang setara dengan Dewan Pendidik. Dengan sifatnya yang independen
tersebut Komite Sekolah mempunyai peluang yang lebih besar untuk
menjadi wadah aspirasi masyarakat dalam memajukan sekolah. Oleh
karena itu Komite Sekolah harus mengembangkan kinerja, membentuk
program kerja sebagai pegangan dalam menjalankan peran, tugas, dan
fungsinya sesuai dengan aturan yang sudah di tetapkan. Peran Komite
Sekolah dapat ditingkatkan melalui pengembangan program yang baik,
penguatan struktur kepengurusan, serta pemilihan pengurus organisasi dan
komposisi anggota sesuai dengan ketentuan. Bagaimanapun juga, setiap
anggota Komite Sekolah harus benar-benar memahami peran, tugas, dan
fungsi masing-masing dalam memajukan pendidikan bangsa. Peran dan
fungsi Komite sekolah sebaiknya tidak difokuskan pada pengembangan
kondisi fisik sekolah melalui pertemuan-pertemuan, namun lebih kepada
pengembangan kualifikasi siswa dan guru bidang akademik.

Fungsi-fungsi manajemen pendidikan yang semula diabaikan harus


diperhatikan oleh Komite Sekolah, seperti berikut:

1. Memberikan masukan terhadap proses pembelajaran kepada para


guru.
2. Mengidentifikasi sumber daya dan potensi sumber daya pendidik
dalam masyarakat.

94
3. Memberikan pertimbangan tentang tenaga kependidikan yang
dapat diperbantukan di sekolah.
4. Memobilisasi guru sukarelawan untuk menanggulangi
kekurangan guru di sekolah.
5. Memobilisasi tenaga kependidikan nonguru untuk mengisi
kekurangan di sekolah.
6. Memantau angka bertahan dan angka mengulang di sekolah.
7. Mengidentifikasi kondisi sumber daya sekolah.
8. Mengkomunikasikan pengaduan dan keluhan terhadap kebijakan
dan program sekolah.
Kesetaraan gender dalam pemilihan anggota pengurus Komite
Sekolah juga perlu diterapkan, sehingga tidak ada diskriminasi dalam
organisasi Komite Sekolah. Adanya keseimbangan dalam kepengurusan
struktur organisasi Komite Sekolah dapat memperlancar kinerja Komite
Sekolah yang bermitra dengan Dewan Pendidikan. Pemilihan dan
pembentukannya pun harus sesuai dengan aturan yang telah diterapkan
oleh pemerintah. Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 2010 tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan Pasal 197 ayat 1
menyebutkan bahwa:

Anggota komite sekolah/madrasah berjumlah paling banyak 15


(lima belas) orang, terdiri atas unsur:

1. Orang tua/wali peserta didik paling banyak 50% (lima puluh


persen);
2. Tokoh masyarakat paling banyak 30% (tiga puluh persen); dan
3. Pakar pendidikan yang relevan paling banyak 30% (tiga puluh
persen).

95
BAB VIII
PERAN TEKNOLOGI DALAM PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI
INDONESIA

A. Pengertian Dan Perkembangan Teknologi Dalam Dunia Pendidikan


Sebagai suatu disiplin ilmu yang relatif masih baru, teknologi
pendidikan masih terus mencari bentuk dan berusaha mencari jati dirinya
secara lebih tepat. Usaha ini dilakukan oleh teknologi sejak tahun 1960an
sampai yang saat ini yang masih berlangsung dan terus berlangsung dimasa
akan datang.
Pandangan umum tentang teknologi pendidikan sangat mempengaruhi
teknologi pendidikan. Awal dari kebutuhan teknologi pendidikan untuk dunia
pendidikan karena pengaruh teknologi produk yang makin banyak diminati
masyarakat. Secara umum, konsep teknologi menyumbang pondasi keilmuan
teknologi pendidikan. Satu hal yang perlu dicermati adalah orang yang
bergerak atau mengkaji disiplin ilmu teknologi pendidikan dituntut untuk
bersifat terbuka dan dinamis.
Teknologi memang sudah lama menjadi bagian dari kehidupan sehari-
hari. Kita terbiasa dan cendrung menganggap teknologi sebagai peralatan dan
berkaitan dengan mesin, komputer, dan serba elektronik. Padahal arti
teknologi sangat luas dan tergantung peran teknologi itu sendiri bagi manusia
sebagai pengguna dari teknologi itu. Kehadiran teknologi biasa mengacu
kepada suatu produk bersifat canggih, seperti komputer. Padahal teknologi
dapat pula bersifat abstrak, tidak terwujud.
Siapapun yang bergerak dalam bidang teknologi apapun dituntut
bersifat terbuka, berwawasan luas, dan dinamis. Setiap individu teknologi
dengan mudah menerima inovasi, dan mempromosikan inovasi itu agar dapat
dimanfaatkan oleh dunia pendidikan dan masyarakat. Teknologi itu
diciptakan untuk mempermudah hidup manusia.

96
a. Pengertian Teknologi Pendidikan
• Pengertian secara umum
Teknologi pendidikan dalam istilah bahasa Inggris disebut dengan
“instructional technology” atau “Education technology”. Pendidikan
semacam ini yang diutamakan ialah media komunikasi yang berkembang
secara pesat sekali yang dapat dimanfaatkan dalam pendidikan. Alat-alat
teknologi ini lazim disebut “hardware” antara lain berupa TV, radio, video,
tape, computer, dan lain-lain. Selain dari itu pendidikan juga menggunakan
teknologi yang disebut dengan “software” antara lain menganalisis dan
mendesain urutan atau langkah-langkah belajar berdasarkan tujuan yang
ingin dicapai dengan metode penyajian yang serasi dan penilaian
keberhasilannya.
• Pengertian menurut beberapa ahli
➢ Definisi Pertama (Ely, 1963)

Komunikasi Audio visual adalah cabang dari teori dan


praktek pendidikan terutama berkepentingan dengan mendesain
dan menggunakan pesan guna mengendalikan proses belajar.
Kegiatannya meliputi :
a. Mempelajari kelemahan dan kelebihan yang unik
maupun yang relatif dari pesan, baik yang diungkapkan dalam
bentuk gambar maupun yang bukan dan yang digunakan untuk
tujuan apapun dalam proses belajar.
b. Penstrukturan dan sistematisasi pesan oleh orang
maupun intsrumen dalam lingkungan pendidikan. Kegiatan ini
meliputi perencanaan, produksi, pemilihan manajemen, dan
pemanfaatan dari komponen maupun keseluruhan sistem
pendidikan.
Tujuannya ialah pemanfaatan metode dan media
komunikasi secara efektif untuk membantu pengembangan potensi
belajar (orang yang belajar) secaram eksimal.

97
➢ Definisi kedua (komisi TP, 1970)

Teknologi pembelajaran merupakan usaha sistematik dalam


merancang, melaksanakan, mengevaluasi keseluruhan proses
belajar dan mengajar untuk suatu tujuan khusus, serta didasarkan
pada penelitian tentang proses belajar dan komunikasi pada
manusia yang menggunakan kombinasi sumber manusia dan non
manusia agar belajar berlangsung secara efektif.
➢ Definisiketiga (Kenneth Silber, 1970)

Teknologi pembelajaran adalah pengembangan (riset,


desain, produksi, evaluasi, dukungan, pasokan, pemanfaatan)
komponen sistem pembelajaran (pesan, orang, bahan, peralatan,
teknik, dan lingkungan) serta pengelolaan usaha pengembangan
(organisasi dan personil) secara sistematis dengan tujuan untuk
memecahkan masalah belajar.

b. Perkembangan Teknologi Di Dunia Pendidikan


Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah
memberikan pengaruh terhadap dunia pendidikan khususnya dalam proses
pembelajaran. Menurut Rosenberg dalam G. Gunawan (2009) dalam
Sudibyo (2011), dengan berkembangnya penggunaan teknologi informasi
dan komunikasi maka ada lima pergeseran dalam proses pembelajaran,
yaitu: 1) dari pelatihan kepenampilan, 2) dari ruang kelas ke di mana dan
kapan saja, 3) dari kertas ke "on line" atau saluran, 4) dari fasilitas fisik ke
fasilitas jaringan kerja, 5) dari waktu siklus ke waktu nyata.

Dalam proses pendidikan, komunikasi dilakukan dengan


menggunakan media-media komunikasi seperti telepon, komputer, internet, e-
mail, dan sebagainya. Interaksi antara guru/dosen dan siswa/mahasiswa tidak
hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka, tetapi juga dilakukan dengan
menggunakan media-media tersebut. Dengan adanya teknologi informasi
sekarang ini guru/dosen dapat memberikan layanan tanpa harus berhadapan
langsung dengan siswa/mahasiswa. Demikian pula siswa dapat memperoleh
informasi dalam lingkup yang luas dari berbagai sumber

98
melalui cyber space atau ruang maya dengan menggunakan komputer atau
internet. Hal yang paling mutakhir adalah berkembangnya apa yang
disebut "cyber teaching" atau "pengajaranmaya", yaitu proses pengajaran
yang dilakukan dengan menggunakan internet. Istilah lain yang makin
popular saatini ialah e-learning, yaitu suatu model pembelajaran dengan
menggunakan media teknologi komunikasi dan informasi, khususnya
internet.

Teknologi informasi dalam pendidikan bisa dipahami sebagai suatu


proses yang kompleks, dan terpadu yang melibatkan orang, ide, peralatan, dan
organisasi untuk menganilisis masalah, mencari jalan untuk mengatasi
permasalahan, melaksanakan, menilai, dan mengelola pemecahan masalah
tersebut yang mencakup semua aspek belajar manusia (Sukadi, 2008) dalam
Sudibyo (2011). Sejalan dengan itu, maka lahirnya teknologi informasi dalam
pendidikan diawali adanya masalah dalam pendidikan itu sendiri.
Permasalahan pendidikan yang mencuat saat ini adalah meliputi pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan, peningkatan kualitas/mutu pendidikan,
relevansi dan efisiensi pendidikan. Permasalahan serius yang masih dirasakan
oleh dunia pendidikan di Indonesia mulai pendidikan dasar sampai pendidikan
tinggi adalah masalah "kualitas/mutu". Untuk itu ada tiga prinsip dasar dalam
teknologi pendidikan sebagai acuan untuk pengembangan dan
pemanfaatannya, yaitu: pendekatan sistem, berorientasi pada
siswa/mahasiswa, dan pemanfaatan sumber belajar.

B. Implementasi Teknologi Dalam Perkembangan Pendidikan Di Indonesia Di


zaman modernisasi seperti sekarang, manusia sangat bergantung
pada teknologi. Hal ini membuat teknologi menjadi kebutuhan dasar setiap
orang. Dari orang tua hingga anak muda, para ahli hingga orang awam pun
menggunakan teknologi dalam berbagai aspek kehidupannya. Teknologi di
masa kini telah berkembang dengan pesat. Tak seperti waktu dulu,
Teknologi sangatlah berpengaruh dalam aspek kehidupan manusia dan ikut
berperan dalam kehidupan masyarakat luas khususnya peran teknologi di
bidang pendidikan. Dalam pendidikan sendiri teknologi kini memiliki
peranan tersendiri dalam proses belajar mengajar.

99
Hasil teknologi sejak lama dimanfaatkan dalam pendidikan.
Penemuan kertas, mesin cetak, radio, film, TV, komputer dan lain-lain itu
dimanfaatkan bagi pendidikan. Pada hakekatnya alat-alat tersebut tidak
dibuat khusus untuk keperluan pendidikan, akan tetapi alat-alat tersbut
ternyata dapat dimanfaatkan dalam dunia pendidikan.

Perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat di era


globalisasi saat ini tidak bisa dihindari lagi pengaruhnya terhadap dunia
pendidikan. Tuntutan global menuntut dunia pendidikan untuk selalu dan
senantiasa menyesuaikan perkembangan teknologi terhadap usaha dalam
peningkatan mutu pendidikan, terutama penyesuaian penggunaan
teknologi informasi dan komunikasi bagi dunia pendidikan khususnya
dalam proses pembelajaran.

Menurut H. Hamzah B. Uno dan Hj. Nina Lamatenggo, (2011, 61)


dalam Budiman (2017). Mengatakan bahwa kecendrungan pendidikan di
Indonesia di masa mendatang adalah sebagai berikut :

a. Berkembangnya pendidikan terbuka dengan modus belajar


jarak jauh (distance learing). Kemudian untuk menyelenggarakan
pendidikan terbuka dan jarak jauh perlu dimasukkan sebagai
strategi utama.
b. Shareng resource bersama antar lembaga pendidikan/latihan
dalam sebuag jaringan perpustakaan dan istrumen pendidikan
lainnya (guru, laboraturiom) berubah fungsi menjadi sumber
informasi daripada sekedar rak buku.
c. Penggunaan perangkat teknologi informasi interaktif,
seperti CD-ROM multimedia dalam pendidikan secara bertahap
menggantuikan televisi dan vedio. Dengan adanya perkembangan
teknologi dan informasi dalam dunia pendidikan, maka pada saat
itu sudah dimungkinkan untuk diadakan belajar jarak jauh dengan
menggunakan media internet untuk menghubungkan antara
mahasiswa dengan dosennya, melihat nilai mahasiswa secara

100
online, mengecek keuangan, melihat jadual kuliah, mengirimkan
berkas tugas yang diberikan dosen dan sebaganya.

Perubahan akan tuntutan itulah yang menjadikan dunia pendidikan


memerlukan inovasi dan kreativitas dalam proses pembelajarannya karena
banyak orang mengusulkan dalam pendidikan khususnya pembelajaran,
akan tetapi sedikit sekali orang berbicara tentang solusi pemecahan
masalah tentang proses belajar dan mengajar yang sesuai dengan tuntutan
global abad ke 21 saat ini.

Selain guru, teknologi juga memiliki peran tersendiri terhadap


siswa siwi , Sebagai contoh peranan teknologi untuk siswa dan siswi :

1) Sebagai media pembelajara daring(online)


2) Sebagai media belajar online dengan cangkupan yang lebih luas
sebagai pengganti buku dan digantikan teknologi buku elektronik.
3) Sebagai media belajar kelompok , Karena teknologi smartphone
yang dilengkapi aplikasi messenger seperti whatsap dapat membuat
grub antar siswa agar lebih mudah dalam melakukan diskusi
berkelompok tanpa harus berkumpul.
4) Dengan adanya teknologi untuk metode belajar siswa akan
memiliki pengetahuan yang lebih luas sebagai contoh mesin
penulusur google yang memiliki banyak sekali artikel dan ilmu
didalamnya yang dapat kita akses secara gratis.
5) Peran teknologi terhadap siswa lainya sebagai media untuk
mendapatkan pengumuman dari seorang guru atau ketua kelas jika
ada PR ataupun pengumuman untuk libur memalui smartphone via
sms ataupun online messenger atau whatsap
6) Lebih ringkas dalam pembelajaran karena materi yang tertera pada
teknologi mesin telusur google menunjukan apa yang sedang kita
cari dan sangat memudahkan kita dalam menemukan suatu jawaban
tanpa memakan waktu lama dan dapat mempersingkat waktu dalam
pencarian artikel atau wacana untuk para siswa siswi belajar

101
Secara umum, peranan e-learning atau teknologi dalam proses
pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: komplementer dan
substitusi. Komplementer mengandaikan bahwa cara pembelajaran dengan
pertemuan tatap muka masih berjalan, tetapi ditambah dengan model
interaksi berbantuan teknologi informasi (TI). Sedangkan yang subtitusi,
sebagian besar proses pembelajaran dilakukan berbantuan teknologi
informasi (TI). Saat ini regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah juga
telah memfasilitasi pemanfaatan e-learning sebagai substitusi proses
pembelajaran konvensional. Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nsional
No. 107/U/2001 dengan jelas membuka koridor untuk menyelenggarakan
pendidikan jarak jauh, di mana elearning dapat masuk memainkan peran.
Enam prinsip di atas sangat penting untuk diingat agar e-learning betul-
betul tepat sasaran dan mampu menggugah semangat belajar peserta didik
dalam mengarungi samudra ilmu pengetahuan.

Berikut beberapa contoh implementasi atau peranan teknologi


dalam pendidikan di Indonesia:

1) Media pembelajaran
Kata media merupakan bentuk jamak dari kata medium.
Medium dapat didefinisikan sebagai perantara atau pengantar
terjadinya komunikasi dari pengirim menuju penerima (Heinich
et.al, 2002). Sedangkan media pembelajaran adalah sesuatu yang
dapat digunakan untuk menyalurkan pesan (bahan pembelajaran),
sehingga dapat merangsang perhatian, minat, pikiran, dan perasaan
siswa dalam kegiatan belajar untuk mencapai tujuan belajar
(Santyasa, 2007). Penggunaan teknologi sebagai media
pembelajaran sudah tidak asing lagi, mulai dari teknologi yang
sangat sederhana sampai teknologi yang canggih. Teknologi dapat
dimanfaatkan untuk menarik minat siswa dalam belajar sehingga
pembelajaran menjadi lebih efektif dan efisien.
Perkembangan ilmu pengetahuan telah membawa teknologi
memasuki dunia digital. Menurut Selwyn (2011), penggunaan
teknologi digital memiliki peran dalam mendukung dan

102
meningkatkan proses kognitif peserta didik dan keterampilan berpikir.
Salah satu contoh teknologi digital adalah internet. Internet dapat
memungkinkan guru untuk menyajikan pelajaran menjadi lebih
menarik bagi para peserta didik. Saat ini pembelajaran berbasis
internet, seperti web-learning, e-learning atau pembelajaran online
(pembelajaran jarak jauh) sudah banyak dilakukan. Pembelajaran-
pembelajaran ini memanfaatkan internet sebagai media. Selain
pembelajaran menjadi lebih fleksibel dari segi waktu, tempat dan usia,
peserta didik juga dapat mengakses informasi yang dibutuhkan dalam
pembelajaran dengan bebas. Karena pembelajaran menjadi lebih
individual, maka hal ini dapat meningkatkan proses kognitif
peserta didik dan keterampilan berpikirnya. Contoh lain
penggunaan teknologi sebagai media pembelajaran adalah radio,
televisi, video yang dapat dimanfaatkan untuk memfasilitasi gaya
belajar peserta didik yang berbeda-beda dan juga menarik minat
siswa untuk dapat lebih termotivasi lagi dalam belajar. Penggunaan
perangkat presentasi interaktif seperti papan tulis elektronik dapat
membuat materi pembelajaran menjadi lebih menarik untuk peserta
didik.
2) Alat administrative
Teknologi juga dapat dimanfaatkan sebagai alat
administratif. Seperti yang dikatakan Selwyn (2011) bahwa salah
satu manfaat teknologi digital adalah sebagai perbaikan keefektifan
pengorganisasian lembaga pendidikan. Dengan menggunakan
komputer, sebagai salah satu produk teknologi digital, lembaga
pendidikan dapat lebih mudah untuk mengelola data administrasi,
meliputi data siswa, data guru, maupun data sekolah itu sendiri.
3) Sumber belajar
Selwyn (2011) mengatakan teknologi digital dapat
membantu guru untuk memproduksi bahan-bahan pelajaran dan
memungkinkan mereka untuk menghabiskan waktu dengan peserta
didik. Dengan tersedianya komputer, guru dapat menyusun rencana

103
pembelajaran dan materi-materi yang dibutuhkan oleh peserta didik
untuk dipelajari. Selain itu, tersedianya internet juga
memungkinkan peserta didik untuk mengakses informasi dengan
mudah dari sumber yang berbeda.
Saat ini, dengan menggunakan teknologi digital, peserta
didik banyak mendapatkan kemudahan-kemudahan dalam belajar.
tersedianya e-book merupakan salah salah satu salah satu
kemudahan tersebut. Peserta didik tidak perlu membeli buku di
toko-toko untuk mendapatkan sumber belajar. Peserta didik cukup
hanya mendownload e-book yang sudah banyak tersedia di internet.

C. Dampak Teknologi Informasi Dalam Perkembangan Pendidikan Di


Indonesia
Teknologi pembelajaran terus mengalami perkembangan seiring
dengan perkembangan zaman. Dalam pelaksanaan pembelajaran, kita
sering menjumpai adanya pemanfaatan dari perkembangan teknologi
dalam dunia pendidikan. Seperti yang sering dilakukan oleh guru atau
dosen yaitu mengkombinasikan alat teknologi dalam peroses
pembelajaran. Namun demikian, teknologi itu tidak hanya mendatangkan
manfaat positif, melainkan juga akan dapat mendatangkan dampak negatif.
Berikut pemaparan dampak positif dan negatif teknologi informasi dalam
perkembangan pendidikan di Indonesia :

a. Dampak Positif Teknologi dalam Perkembangan Pendidikan Di Indonesia


Pengembangan dan penerapan teknologi informasi juga
bermanfaat untuk pendidikan (Suripto dkk, 2014: 3) dalam Yohannes,
2018: 50-51, antara lain:
• Munculnya Media Massa, khususnya media elektronik sebagai
sumber ilmu dan pusat Pendidikan. Seperti jaringan Internet, Lab.
Komputer Sekolah dan lain-lain. Dampak dari hal ini yaitu guru
bukanlah satu-satunya sumber ilmu pengetahuan, sehingga siswa
dalam belajar tidak perlu terlalu terpaku terhadap Informasi yang
diajarkan oleh guru, tetapi juga bisa mengakses materi pelajaran

104
langsung dari internet, olehnya itu guru disini bukan hanya sebagai
pengajar, tetapi juga sebagai pembimbing siswa untuk
mengarahkan dan memantau jalannya pendidikan, agar siswa tidak
salah arah dalam menggunakan media informasi dan komunikasi
dalam pembelajaran.
• Munculnya metode-metode pembelajaran yang baru, yang
memudahkan siswa dan guru dalam proses pembelajaran. Dengan
kemajuan teknologi terciptalah metode-metode baru yang membuat
siswa mampu memahami materi-materi yang abstrak, karena materi
tersebut dengan bantuan teknologi bisa dibuat abstrak, dan dapat
dipahami secara mudah oleh siswa.
• Sistem pembelajaran tidak harus melalui tatap muka. Selama ini,
proses pembelajaran yang kita kenal yaitu adanya pembelajaran
yang disampaikan hanya dengan tatap muka langsung, namun
dengan adanya kemajuan teknologi, proses pembelajaran tidak
harus mempertemukan siswa dengan guru, tetapi bisa juga
menggunakan jasa pos internet dan lain-lain.
• Adanya sistem pengolahan data hasil penilaian yang menggunakan
pemamfaatan teknologi. Dulu, ketika orang melakukan sebuah
penelitian, maka untuk melakukan analisis terhadap data yang
sudah diperoleh harus dianalisis dan dihitung secara manual.
Namun setelah adanya perkembangan IPTEK, semua tugasnya
yang dulunya dikerjakan dengan manual dan membutuhkan waktu
yang cukup lama, menjadi sesuatu yang mudah untuk dikerjakan,
yaitu dengan menggunakan media teknologi, seperti Komputer,
yang dapat mengolah data dengan memamfaatkan berbagai
program yang telah di installkan.
• Pemenuhan kebutuhan akan fasilitas pendidikan dapat dipenuhi
dengan cepat. Dalam bidang pendidikan tentu banyak hal dan bahan
yang harus dipersiapkan, salah satu contoh, yaitu; Penggandaan soal
Ujian, dengan adanya mesin foto copy, untuk memenuhi kebutuhan
akan jumlah soal yang banyak tentu membutuhkan waktu yang lama

105
untuk mengerjakannya kalau dilakukan secara manual. Tapi dengan
perkembangan teknologi semuanya itu dapat dilakukan hanya dalam
waktu yang singkat. Khususnya dalam kegiatan pembelajaran, ada
beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari perkembangan IPTEK,
yaitu: 1) Pembelajaran menjadi lebih efektif dan menarik. 2) Dapat
menjelaskan sesuatu yang sulit / Kompleks. 3) Mempercepat proses
yang lama. 4) Menghadirkan peristiwa yang jarang terjadi. 5)
Menunjukkan peristiwa yang berbahaya atau diluar jangkauan.

b. Dampak Negatif Teknologi dalam Perkembangan Pendidikan Di Indonesia


Disamping dampak positif yang ditimbulkan oleh perkembangan IPTEK, juga
akan muncul dampak negatif yang akan ditimbulkan oleh perkembangan
IPTEK dalam proses pendidikan, (Sudibyo, 2011:182)
dalam dalam Yohannes, 2018: 51 antara lain:
• E-learning yang dapat menyebabkan pengalih fungsian guru dan
mengakibatkan guru jadi tersingkirkan, atau juga menyebabkan
terciptanya individu yang bersifat individual karena system
pembelajaran dapat dilakukan dengan hanya seorang diri. Bahkan
dimungkinkan etika dan disiplin peserta didik susah atau sulit untuk
diawasi dan dibina, sehingga lambat laun etika dan manusia
khususnya para peserta didik akan menurun drastis, serta hakikat
manusia yang utama yaiu sebagai makhluk sosial akan tergerus.
• Seringnya mengakses internet dikhawairkan siswa/mahasiswa
bukannya benar-benar memanfaatkan teknologi informasi dengan
optimal, tetapi malah mengakses hal-hal yang tidak baik, seperti
pornografi, game online. Bahkan dapat terkena cyber-relational
addiction ialah keterlibatan yang berlebihan pada hubungan yang
terjalin melalui internet (seperti melalui chat room dan virtual
affairs) sampai kehilangan kontak dengan hubungan-hubungan
yang ada dalam dunia nyata.
• Peserta didik bisa terkena information overload, yakni menemukan
informasi yang tidak habis-habisnya yang tersedia di internet,
sehingga rela menghabiskan waktu berjam-jam untuk

106
mengumpulkan dan mengorganisir informasi yang ada, yang
akhirnya dapat membuat seseorang kecanduan, terutama
menyangkut pornografi dan dapat menghabiskan uang karena
hanya untuk melayani kecanduan tersebut.
• Pelajar atau juga mahasiswa menjadi pecandu dari keberadaan
dunia maya secara berlebihan. Hal ini bisa terjadi ketika
siswa/mahasiswa tidak memiliki sikap skeptic serta kritis terhadap
sesuatu hal yang baru. Apalagi dalam konteks dunia maya (internet)
mereka secara tidak langsung telah masuk di dalam dunia yang over
free, maka sangat penting adanya kedua sikap di atas untuk menjadi
benteng atau filter dari segala sumber informasi yang ada. Selain
itu, yang tidak kalah pentingnya ialah perhatian dari orang tua juga
sangat berperan dalam menanamkan nilai-nilai tentang sebuah
norma agama sebagai landasan hidup.
• Tindakan kriminal (Cyber Crime), didalam dunia pendidikan hal ini
dapat terjadi, misalnya pencurian dokumen atau asset penting tentang
sebuah tatanan pendidikan yang sesungguhnya dirahasiakan (dokumen
mengenai ujian akhir atau negara) dengan media internet.
• Menimbulkan sikap yang apatis pada masingmasing individu, baik
bagi pelajar/siswa/ mahasiswa maupun pengajar/guru/dosen. Hal
ini dapat dilihat misalnya pada system pembelajaran yang bersifat
virtual maupun e-learning. Di mana system pembelajaran yang
tidak saling bertemu antara peserta didik dengan pengajar, maka
dapat terjadi peserta didik kurang aktif dalam sistem pembelajaran
dan hasilnya tidak maksimal (Asmani, 2011: 149).

107
BAB IX
PERAN GURU DALAM PENGEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN
DI ERA TEKNOLOGI KOMUNIKASI DAN INFORMASI.

Media pembelajaran merupakan salah satu faktor yang


menentukan keberhasilan proses pembelajran. Dalam proses belajar
mengajar, dua unsur yang amat penting adalah metode mengajar dan media
pembelajaran. Media sangat bermanfaat sebagai penyampai informasi yang
dapat menunjang proses pengajaran semakin enak dan tidak bosen. Media
juga telah dikenal sebagai alat bantu mengajar yang seharusnya
dimanfaatkan oleh pengajar, namun kerap kali terabaikan. Tidak
dimanfaatkannya media dalam proses pembelajaran, pada umumnya
disebabkan oleh berbagai alasan, seperti waktu persiapan mengajar yang
terbatas, sulit mencari media yang tepat, biaya yang tersedia, ataupun
alasan lain. Hal tersebut sebenarnya tidak perlu muncul apabila
pengetahuan akan ragam media, karakteristik, serta kemampuan masing-
masing oleh para pengajar. Media sebagai alat mengajar berkembang
demikian pesatnya sesuai dengan kemajuan teknologi. Ragam dan jenis
media pun cukup banyak sehingga dapat dimanfaatkan sesuai dengan
kondisi, waktu, keuangan, maupun materi yang akan disampaikan. Setiap
jenis media memiliki karakteristik dan kemampuan dalam menayangkan
pesan dan informasi (Kemp. 1985). Karakteristik dan kemampuan masing-
masing media perlu mendapat perhatiian dari para pengajar sehingga
mereka dapat memilih media yang sesuai dengan kondisi yang dihadapi.

A. Teori-teori yang Berkaitan dengan Sumber Belajar

Sumber belajar bahwasannya mencakup apa saja yang dapat


digunakan untuk membantu tiap orang untuk belajar dan menampilkan

108
kompetensinya. (H. karwono dan H. Mularsih, 2010). Pembelajaran
diupayakan mencakup semua variabel pembelajaran yang dirasa turut
mempengaruhi belajar. Ada tiga variable yang perlu dipertimbangkan dalam
merancang pembelajaran. Ketiga variabel tersebut adalah variabel kondisi,
variabel metode, dan variabel hasil pembelajaran. Kondisi pembelajaran
adalah mencakup semua variabel yang tidak dapat dimanipulasi oleh
perencana pembelajaran, dan harus diterima apa adanya. Yang termasuk
dalam variabel ini adalah tujuan pembelajaran, karakteristik bidang studi, dan
karakteristik siswa. Variabel metode pembelajaran adalah mencakup semua
cara yang dapat dipakai untuk mencapai tujuan pembelajaran dalam kondisi
tertentu. Yang termasuk dalam variabel ini adalah strategi pengorganisasian
pembelajaran, strategi penyampaian pembelajaran, dan strategi pengelolaan
pembelajaran. Sedangkan variabel hasil pembelajaran mencakup semua
akibat yang muncul dari penggunaan metode tertentu pada kondisi tertentu,
seperti keefektifan pembelajaran, efisiensi pembelajaran, dan daya tarik
pembelajaran.

Inti dari rencana pembelajaran adalah menetapkan metode


pembelajaran yang optimal untuk mencapai hasil pembelajaran yang
diinginkan. Fokus utama dalam perancangan pembelajaran adalah pada
pemilihan, penetapan, dan pengembangan variabel metode pembelajaran.
Pemilihan metode pembelajaran harus didasarkan pada analisis kondisi dan
hasil pembelajaran. Analisis akan menunjukkan bagaimana kondisi
pembelajarannya, dan apa hasil pembelajaran yang diharapkan. Setelah itu,
barulah menetapkan dan mengembangkan metode pembelajaran yang
diambil dari perancang pembelajaran setelah mempunyai informasi yang
lengkap mengenai kondisi nyata yang ada dan hasil pembelajaran yang
diharapkan.
Ada tiga prinsip yang perlu dipertimbangkan dalam upaya menetapkan
metode pembelajaran, yaitu :
1. Tidak ada satu metode pembelajaran yang unggul untuk semua
tujuan dalam semua kondisi ;

109
2. Metode (strategi) pembelajaran yang berbeda memiliki pengaruh
yang berbeda dan konsisten pada hasil pembelajaran.
3. Kondisi pembelajaran yang berbeda bisa memiliki pengaruh yang
konsisten pada hasil pembelajaran.
Berkenaan dengan menyusun rencana pembelajaran, Reigeluth
dan Merril dalam Reigulth telah mengembangkan model pembelajaran
secara komperhensif yang terdiri dari tiga variabel utama, yaitu : (1)
kondisi pembelajaran (instructional conditions), (2) metode pembelajaran
(instructional methods), dan (3) hhasil pembelajaran (instructional
outcomes). Interaksi antara ketiga variabel tersebut dihasilkan dua teori
pembelajaran, yaitu teori pembelajaran diskriptif, dan teori pembelajaran
preskriptif, yaitu secara diagram dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar : interrelasi variabel kondisi pembelajaran, metode pembelajaran,


dan hasil pembelajaran.

Pada teori pembelajaran diskriptif, variabel kondisi pembelajaran


dan metode pembelajaran merupakan variabel bebas, dn hasil
pembelajaran sebagai variabel terikat. Kedua variabel bebas berinteraksi
untuk menghasilkan efek hasil pembelajaran. Sedangkan pada teori
pembelajaran preskriptif, variabel kondisi pembelajaran dan hasil
pembelajaran merupakan variabel bebas, dan metode pembelajaran sebagai
variabel terikat.

110
Kedua variabel bebas tersebut berinteraksi untuk menetapkan
metode pembelajaran yang optimal. Dengan bahasa yang lebih mudah
dapat dikatakan bahwa teori pembelajaran yang yang bersifat preskriptif
membahas bagaimana mengelola faktor-faktor eksternal agar orang yang
belajar dapat belajar dengan sebaik-baiknya. Sedangkan teori belajar
dekriptif membahas bagaimana proses belajar terjadi pada diri orang yang
belajar.

Degeng memberikan contoh kedua teori pembelajaran tersebut.

Pada teori pembelajaran deskriptif, apabila isi bidang studi (kondisi)


diorganisasikan dengan menggunakan model elaborasi (metode), akan
diperoleh hasil belajar yang meningkat. Sedangkan pada teori pembelajaran
preskriptif, agar diperoleh hasil belajar yang meningkat, maka isi bidang studi
(kondisi) perlu diorganisasikan dengan menggunakan model elaborasi.
Selanjutnya, Degeng mengungkapkan bahwa kondisi pembelajaran
merupakan faktor yang mempengaruhi efek metode dalam meningkatkan hasil
belajar. Metode pembelajaran merupakan cara yang berbeda untuk mencapai
hasil pembelajaran yang berbeda di bawah kondisi yang berbeda pula. Hasil
pembelajaranmerupakan semua efek yang dapat digunakan sebagai indikator
tentang nilai dari penggunaan metode pembelajaran pada kondisi yang
berbeda. Selanjutnya, permasalahan yang berkaitan dengan masing-masing
variabel pembelajaran dapat dijelaskan melalui diagaram taksonomi variabel
pembelajaran Reigeluth dan Merril, seperti berikut.
Berdasarkan diagram tersebut, tampak bahwa pembelajaran

111
memiliki variabel yang saling berhubungan. Variabel kondisi berhubungan
dengan variabel strategi dan variabel hasil, demikian pula hubungan variabel
lainnya yang dapat dibolak-balik. Hal ini memberikan gambaran bahwa
pembelajaran merupakan suatu sistem yang saling berkaitan satu sama lain
dan tidak dapat dipisahkan. Atau dengan kata lain, dalam merancang rencana
pembelajaran perlu diperhitungkansistem yang saling berpengaruh.

Gagne dalam Suparman mengatakan bahwa sistem pembelajaran


adalah suatu set peristiwa yang mempengaruhi anak didik sehingga terjadi
proses belajar. Kegiatan pembelajaran ini harus terencana secara sistematis
untuk dapat disebut sebagai kegiatan pembelajaran. Selain ituu, dipaparkan
juga mengenai kegiatan yang dilakukan anak didik tanpa perencanaan
sebelumnya yang disebut dengan pengalaman, bukan disebut sebagai
pembelajaran. Sekalipun kegiatan-kegiatan itu menyebabkan terjadinya
perubahan perilaku anak didik, tetapi tanpa rencana yang bertujuan.
Pengembangan pembelajaran sebagai suatu proses yang sistematis untuk
menghasilkan suatu sistem pembelajaran melalui tahapan berikut.
1. Perumusan tujuan instruksional umum.
2. Analisis tujuan instruksional umum.
3. Analisis kemampuan awal siswa.
4. Menuliskan tujuan instruksional khusus.
5. mengembangkan tes acuan patokan.
6. mengembangkan strategi pembelajaran.
7. mengembangkan bahan pembelajaran.
8. Mendesain dan melaksanakan evaluasi formatif.
9. Merevisi pembelajaran.
10. Melaksanakan evaluasi formatif.

Visualisasi tahapan, dapat digambarkan sebagai berikut.

112
Gambar. Model Dick and Carey

B. Pengertian Media

Definisi media pembelajaran. Kata media berasal dari bahasa latin


dan merupakan bentuk jamak dari kata medium. Medium dapat
didefinisikan sebagai perantara atau pengantar terjadinya komunikasi dari
pengirim menuju penerima (Heinich et.al., 2002; Ibrahim, 1997; Ibrahim
et.al., 2001). Media merupakan salah satu komponen komunikasi, yaitu
sebagai pembawa pesan dari komunikator menuju komunikan (Criticos,
1996). Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa proses
pembelajaran merupakan proses komunikasi. Proses pembelajaran
mengandung lima komponen komunikasi, guru (komunikator), bahan
pembelajaran, media pembelajaran, siswa (komunikan), dan tujuan
pembelajaran.

Media juga berasal dari bahasa Latin yang mempunyai arti


antara. Makna tersebut dapat diartikan sebagai alat komunikasi yang
digunakan untuk membawa suatu informasi dari suatu sumber kepada
penerima. Sejumlah pakar membuat batasan tentang media, diantaranya
yang dikemukakan oleh Association of Education and Communication
Technology (AECT) Amerika. Menurut AECT, media adalah bentuk dan
saluran yang digunakan untuk menyalurkan pesan atau informasi. Apabila
dikaitkan dengan kegiatan pembelajaran maka media dapat diartikan
sebagai alat komunikasi yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk
membawa informasi dari pengajar ke peserta didik. Hal yang sama

113
dikemukakan sebelumnya oleh Briggs (1970) yang menyatakan bahwa
media adalah segala bentuk fisik yang dapat menyampaikan pesan serta
merangsang peserta didik untuk belajar.

Dari batasan yang telah disampaikan oleh para ahli mengenai


media, dapat disimpulkan bahwa pengertian media dalam pembelajaran
adalah segala bentuk alat komunikasi yang dapat digunakan untuk
menyampaikan unformasi dari sumber ke peserta didik yang bertujuan
merangsang mereka untuk mengikuti kegiatan pembelajaran. Media, selain
digunakan untuk menyampaikan pembelajaran secara utuh, dapat juga
dimanfaatkan untuk menyampaikan bagian tertentu dari kegiatan
pembelajaran, memberikan penguatan maupun motivasi, sehingga dapat
merangsang perhatian, minat, pikiran, dan perasaan siswa dalam kegiatan
belajar untuk mencapai tujuan belajar.

C. Jenis dan Klasifikasi Media

Jenis media yang dimanfaatkan dalam proses pembelajaran cukup


beragam, mulai dari media yang sederhana sampai pada media yang cukup
rumit dan canggih. Untuk mempermudah mempelajari jenis- jenis media,
karakter, dan kemampuannya, dilakukan pengklasifikasian atau
penggolongan.

Salah satu klasifikasi yang dapat menjadi acuan dalam


pemanfaatan media adalah klasifikasi yang dikemukakan oleh Edgar Dale
yang dikenal dengan kerucut pengalaman (Cone Experience). Kerucut
pengalaman Dale mengklasifikasikan media berdasarkan pengalaman
belajar yang diperoleh oleh peserta didik, mulai dari pengalaman belajar
langsung, pengalaman belajar yang dapt dicapai melalui gambar, dan
pengalaman belajar yang bersifat abstrak. Untuk dapat memberikan
gambaran yang lebih jelas mengenai kerucut pengalaman,

114
perhatikangambar berikut.
Kerucut pengalaman Dale, menunjukkan bahwa informasi yang diperoleh
melalui pengalaman langsung yang berada pada dasar kerucut mampu
menyajikan pengalaman belajar secara lebih konkret. Semakin menuju ke
puncak, penggunaan media semakin memberikan pengalaman belajar yang
bersifat abstrak.

Penggolongan lain yang dapat dijadikan acuan dalam pemanfaatan


media adalah berdasarkan pada teknologi yang digunakan, mulai media yang
teknologinya rendah (low technology) sampai pada media yang menggunakan
media yang menggunakan teknologi tinggi (high technology). Apabila
penggolongan media ditinjau dari teknologi yang digunakan, maka
penggolongannya sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. Dengan
demikian, penggolongan media dapat berubah dari waktu kewaktu. Misalnya,
dalam era tahun 1950 media televise dikategorikan sebagai media
berteknologi tinggi, tetapi kemudian pada era tahun 1970/1980 media tersebut
bergeser dengan kehadiran media komputer. Pada masa tesebut, computer
digolongkan sebagai media dengan teknologi yang paling tinggi, tetapi
kemudian dapa tahun 1990 tergeser kedudukannya dengan kehadiran media
komputer conferencing melalui internet. Kondisi seperti ini akan berlangsung
selama ilmu dan teknologi terus berkembang.
Salah satu bentuk klasifikasi yang mudah dipelajari adalah
klasifikasi yang disusun oleh Heinich, sebagai berikut.

115
KLASIFIKASI JENIS MEDIA
Media yang tidak dapatRealita, model, bahan grafis
diproyeksikan (non projected(graphical material), display
media)
Media yang diproyeksikanOHT, Slide, Opaque
(projected media)
Media Audio (Audio) Audio kaset, audio vision, active
audio vissioon
Media Video (Video) Video
Media berbasis komputerComputer Assisted Instruction (CAI)
(computer based media)
Computer Managed Instruction (CMI)
Multimedia kit Perangkat Praktikum

Pengklasifikasian yang dilakukan oleh Heinich ini pada dasarnya


adalah penggolongan media berdasarkan bentuk fisiknya, yaitu apakah
media tersebut masuk dalam golongan media yang tidak diproyeksikan
atau yang diproyeksikan, atau apakah media tertentu masuk dalam
golongan media yang dapat didengar lewat audio atau dapat dilihat secara
visual, dan seterusnya.

D. Peran Media

Dalam proses pembelajaran media memiliki kontribusi dalam


meningkatkan mutu dan kualitas pengajaran. Kehadiran media tidak saja
membantu pengajar dalam menyampaikan materi ajarnya, tetapi
memberikan nilai tambah pada kegiatan pembelajaran. Hal ini berlaku bagi
segala jenis media, baik yyang canggih dan mahal ataupun media yang
sederhana dan murah. Kemp, dkk. (1985) menjabarkan sejumlah kontribusi
media dalam kegiatan pembelajaran antara lain :

116
4. penyajian materi ajar menjadi lebih standar;
5. kegiatan pembelajaran menjadi lebih menarik;
6. kegiatan belajar dapat menjadi lebih interaktif;
7. waktu yang dibutuhkan untuk pembelajaran dapat dikurangi;
8. kualitas belajar yang dapat ditingkatkan;
9. pembelajaran dapat disajikan di mana dan kapan saja sesuai
dengan yang diinginkan;
10.meningkatkan sifat positif peserta didik dan proses belajar
menjadi lebih kuat/baik;
11.memberikan nilai positif bagi pengajar.

Penjabaran tentang peranan media dalam pembelajaran yang


dikemukakan oleh Kemp memberikan wawasan yang luas mengenai
pemanfaatan media dalam pembelajaran.

1) Media pembelajaran juga sebagai salah satu sumber belajar,


secara umum media pembelajaran dapat digunakan untuk:
2) Merekam dan menyimpan data/informasi, misalnya bunyi suara
berbagai burung dapat direkam pada casette recorder.
3) Memanipulir objek-objek, misalnya proses pembagian sel pada
tumbuh-tumbuhan dapat diperlihatkan pada film dengan
mempercepatnya atau memperlambatnya.
4) Menyebarluaskan data/informasi, misalnya melalui siaran televisi
yang disalurkan lewat satelit komunikasi, sehingga dapat dengan
cepat apa yang terjadi pada negara lain.

Selain itu, Heinich melihat kontribusi media dalam proses


pembelajaran secara lebih global ditinjau dari kondisi berlangsungnya
proses pembelajaran, seperti berikut :
a. Proses pembelajaran yang bergantung pada kehadiran pengajar,

Pada kondisi ini, penggunaan media dalam proses pembelajaran

117
umumnya besifat sebagai pendukung bagi pengajar. Perancangan
media yang tepat akan sangat membantu menguatkan materi
pembelajaran yang disampaikan oleh pengajar secara langsung.
b. Proses pembelajaran tanpa kehadiran pengajar

Ketidakhadiran pengajar dalam proses pembelaran dapat


disebabkan oleh tidak tersedianya pengajar atau pengajar sedang
bekerja dengan peserta didik lain.

Media dapat digunakan secara efektif pada pendidikan formal


dimana pengajar yang karena suatu hal tidak dapat hadir di kelas
atau sedang bekerja dengan peserta didik lain.

c. Pendidikan jarak jaauh

Pendidikan jarak jauh telah berkembang dengan cepat di seluruh


dunia. Hal utama yang membedakan antara pendidikan jarak jauh
dengan pendidikan tatap muka adalah adanya keterpisahan antara
pengajar dan peserta didik dalam proses pembelajaran. Adanya
keterpisahan ini membutuhkan suatu media yang berperan sebagai
jembatan antar pengajar dengan peserta didik. Peranan media
dalam pendidikan jarak jauh mampu mengatasi masalah jarak,
ruang, dan waktu. Media yang paling umum digunakan dalam
pendidikan jarak jauh adalah media cetak dengan menggunakan
sistem korespondensi.
d. Pendidikan khusus

Media memiliki peran yang penting dalam pendidikan bagi peserta


didik yang memiliki keterbatasan kemampuan, misalnya yang
memiliki keterbelakangan mental, tuna netra, atau tuna rungu.
Penggunaan media tertentu akan sangat membantu proses
pembelajaran bagi mereka. Media yang digunakan adalah jenis-

118
jenis media yang sesuai dan tepat bagi masing-masing keterbatasan.

Menurut Wina (2008) mdia pembelajaran juga memiliki fungsi dan


berperan sebagai berikut :

1. Menangkap suatu obyek atau peristiwa-peristiwa tersebut.

Peristiwa penting atau obyek langka dapat diabadikan dengan foto,


film, atau direkam melalui video atau audio.sehingga guru dapat
menjelaskan proses yang telah diambil dengan media tersebut.

2. Memanipulasi keadaan, peristiwa, atau obyek tertentu.

Melalui media pembelajaran, guru dapat menyajikan bahan


pelajaran yang bersifat abstrak menjadi konkrit, sehingga mudah
dipahami dan dapat menghilangkan verbalisme.

3. Menambah gairah dan motivasi belajar siswa.

Penggunaan media dapat menambah motivasi belajar siswa,


sehingga perhatian siswa terhadap materi pembelajaran dapat lebih
meningkat.

4. Media pembelajaran memiliki nilai praktis, sebagai berikut:

1) Dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimili siswa.

119
2) Dapat mengatasi batas ruang kelas.
3) Dapat memungkinkan terjadinya interaksi langsung antara
siswa dengan lingkungan.
4) Dapat menghasilkan keragaman pengamatan.
5) Dapat menanamkan konsep dasar yang benar, nyata, dan tepat.
6) Dapat membangkitkan motivai dan merangsang peserta untuk
belajar dengan baik.
7) Dapat membangkitkan keinginan danminat baru.
8) Media dapat mengontrol kecepatan beljar siswa.
9) Dapat memberikan pengalaman yang menyeluruh dari hal-hal
yang konkrit sampai yang abstrak.

E. Media yang Tidak Diproyeksikan

Media ini sering disebut sebagai pameran atau displayed media.


Jenis media yang tergolong media yang tidak diproyeksikan, yaitu :

1. Realia
Realia adalah benda nyata yang digunakan sebagai bahan ajar.
Pemanfaatan media realia tidak harus selalu dihadirkan dalam ruang
kelas, tetapi dapat digunakan sebagai suatu kegiatan observasi pada
lingkungannya. Realia dapat digunakan dalam kegiatan belajar dalam
bentuk sebagaiman adanya, tidak perlu dimodofikasi, tidak ada
pengubahan, kecuali dipindahkan dari kondisi lingkungan hidup
aslinya. Cirri media realia adalah benda asli yang masih berada dalam
keadaan utuh, dapat dioperasikan, hidup, dalam ukuran yyang
sebenarnya, dan dapat dikenali sebagaimana wujud aslinya. Selain
dalam bentuk aslinya, penggunaan realia dapat dimodifikasi. Menurut
Heinich, modiifikasi penggunaan realia dalam proses pembelajaran
dapat dilakukan dengan tiga cara, sebagai berikut.
a. Cutaways/potongan

120
Cutaways adalah belahan atau potongan benda sebenarnya
yang digunakan untuk dapat melihat bagian dalam dari benda tersebut.
Misalnya realia sebuah mesin, dengan cara membelah mesin tersebut,
peserta didik akan dapat melihat bagaimana cara kerja mesin tersebut.

b. Specimen/contoh
Specimen adalah bentuk media realia yang digunakan dalam
bentuk asli dari sebuah benda dalam jenis atau kelompoknya, misalnya
kupu-kupu dalam berbagai jenis. Untuk mempermudah pengamatan,
pada umumnya specimen tersebut dikemas atau disimpan dalam botol,
kotak, atau tempat lain yang dapat di observasi.

c. Exhibit/pameran
realita dapat ditampilkan dalam bentuk pameran yang
dirancang seolah berada dalam lingkungan atau situasi yang asli.
Misalnya benda sejarah, benda-benda tersebut dipamerkan dalam
warna atau kondisi asli atau situasi bagaimana pemanfaatan benda
tersebut pada kuun masa tertentu, media realia dapat diadakan atau
dapat dimanfaatkan. Dengan demikian, media realia ini memberikan
suatu konstribusi yang sangat beasr dalam proses belajar mengajar.

2. Model
Pemanfaatan media realia dalam proses
pembelajaran
merupakan cara yang cukup efektif, karena dapat memberikan informasi
yang lebih akurat. Walaupun tidak semua benda nyata dapat digunakan
sebagai media realia karena keterbatasan penyediaanya, misalnya kerena
ukuran ataupun biayanya. Alternative pemanfaatan media yang
menyerupai realia adalah model. Menurut brown (1985), model
didefinisikan sebagai benda nyata yang dimodifikasikan ; heinich et al.,
(1996) menyebutkan hal yang senada, yaitu gambaran yang berbentuk tiga
dimensi dari sebuah benda nyata. Penggunaan model didefinisikan

121
sebagai media dalam pembelajaran dimaksudkan untuk mengatasi
kendala pengadaan relia, seperti harga yang tinggi atau benda yang sulit
digunakan sebagai realia. Model dapat berukuran lebih besar, lebih
kecil, atau berukuran saa persis dengan benda aslinya, serta dapat
menampilkan wujud yang lengkap dan rinci dari benda aslinya, atau
dapat ditampilkan dalam wujud yang sederhana untuk mempermudah
proses kegiatan pembelajaran. Sebagai salah satu media yang dapat
dimanfaatkan dalam kegiatan belajar mengajar, model memiliki
keunggulan yang tentunya sangat membantu proses tersebut, walaupun
terdapat pula keterbatasan tertentu.

3. Bahan Grafis
Media grafis yang juga dapat digolongkan sebagai media
visual nonproyeksi, mudah digunakan karena tidak membutuhkan
peralatan serta relative murah. Umumnya media yang termasuk dalam
golongan ini hanya membutuhkan biaya yang relative rendah atau
bahkan tidak memerlukan biaya sama sekali. Brown et al.,(1985)
melihat setidaknya ada lima jenis media grafis yang memiliki
keunggualan yang cukup tinggi dalam kegiatan pembelajaran, yaitu
graft, char, diagram, kartu, poster, peta dan globe. Sementara heinich,
et al., (1996) menyebutkan beberapa jenis media grafis antara lain :
gambar diam, sketsa, diagram, charts, graft, poster, dan kartun.
Sebagian dari media grafis ini memerlukan kecermatan dan perhatian
khusus, karena visualisasi dari sebagian media grafis bersifat simbolis,
tidak menampilkan gambaran yang utuh, hal ini kadangkala
menimbulkan kesalahan dalam menginterprestasikan atau mengartikan
bentuk visualisasinya.

Masing-masing jenis media grafis memiliki keunikan,


keunggulan, dan keterbatasan tersendiri yang tentunya menarik untuk
dibahas satu persatu, mulai dari gambar diam, sketsa, diagram, grafik,
charts, dan poster.

122
➢ Gambar diam

Dari semua media grafis, gambar diam merupakan jenis


yang paling banyak digunakan, mudah dikenali, dan mudah
dimengerti secara langsung tanpa memerlukan interprestasi.
Gambar didefinisikan representasi visual dari orang, tempat ataupu
benda yang diwujudkan di atas kanvas, kertas, atau bahan lain, baik
dengan cara lukisan , gambar, atau foto. Ukuran foto atau gambar
dapat diperbesar atau diperkecil agar dapat digunakan untuk keperluan
proses pembelajaran tertentu.
Pemanfaatan gambar dalam proses pembelajaran sangat membantu
mengajar dalam beberapa hal seperti yang dikemukakan oleh
hackbarth (1996) sebagai berikut.
a. Menarik perhatian , pada umumnya semua orang senang melihat
foto/ gambar.
b. Menyediakan gambar nyata suatu objek yang karena suatu hal
tidak mudah untuk diamati.
c. Unik.
d. Memperjelas hal-hal yang bersifat sbstrak.
e. Mampu mengilustrasikan suatu proses.
➢ Sketsa

Merupakan gambar yang tiodak lengkap dan sederhana,


atau dapat dikatakan sebagai gambar kasar yang hanya
menampilkan bagian-bagian pokok/utama dan mengabaikan
bagian-bagian yang bersifat detail sketsa ini biasanya digunakan
apabila gambar yang lengkap dari objek yang ditampilkan tidak
tersedia, atau memang bertuhuan hanya ingin menampilkan bagian-
bagian pokok dari suatu objek.
➢ Diagram

Visualisasi dalam bentk grafis yang masih tergolong dalam


gambar yang sedehana dalam diagram. Penggunaan diagram pada
umumnya ditunjukkna untuk menggambarkan suatu hubungan atau

123
menjelaskan suatu proses (Heinich et al., 1996). Diagram dapat
memberikan gambaran mengenai cara kerja suatu benda atau
bagaimana membuat, menyusun, atau membangun suatu benda.
➢ Grafik

Grafis didefinisikan sebagai bahan-bahan nonfotografis


dengan format dua dimensi yang didesain khusus untuk
mengomunikasikan pesan dan informasi tertentu. Umumnya data yang
berbentuk data biasa ataupun table dapat disusun kedalam bentuk
grafik. Penampilan data dalam bentuk grafik umumnya akan menjadi
lebih mudah dipahami dan lebih menarik. Penggunaan grafik dalam
kegiatan pembelajaran memiliki berbagai pilihan dan variasi.
Setidaknya grafik dapat ditampilkan dalam empat jenis, yaitu batang,
gambar lingkaran, dan garis. Keempat jenis grafik ini memiliki
penampilan serta tingkat keterbacaan yang berbeda. Grafik biasanya
dilengkapi dengan tuliskan yang menjelaskan symbol-simbol yang
terdapat didalamnya. Pemilihan jenis grafik yang akan digunakan
biasanya tergantung pada kompleksitas dari informasi atau data yang
ingin disampaikan, selain itu juga tergantung pada
kemampuan atau keterampilan peserta didik dalam
menginterprestasikan grafik (Heinich et al., 1996).

Grafik batang umumnya digunakan untuk membandingkan


objek yang sejenis yang diukur dalam waktu yang berbeda atau
membandingkan objek yang berbeda dalam waktu sama.

Grafik gambar merupakan jenis grafik yang paling sederhana


dan merupakan jenis grafik yang paling sederhana dan merupakan
bentuk alternative dari grafik batang, dimana jumlah atau angka -
angka yang igin yang ingin disampaikan ditampilkan dalam bentuk
gambar. Grafik gambar ini biasanya menarik bagi semua tingkatan
usia. Untuk dapat menggunakan grafik gambar sebagai media dalam
proses pembelajaran, perlu diperhatikan symbol

124
gambar yang sederhana serta mudah dipahami. Misalnya, gambar
orang dapat digunakan sebagai symbol untuk menjelaskan jumlah
penduduk, atau gambar toga digunakan untuk menyimbolkan
jumlah peserta didik yang lulus.

Grafik lingkaran juga dikenal dengan sebutan grafik pie


merupakan grafik yang sangat mudah untuk dibaca dan
diinterprestasikan. Lingkaran yang digunakan untuk
menggambarkan grafik ini bagi dalam beberapa porsi atau segmen.
Tiap segmen menggambarkan bagian atau persentase dari
keseluruhan. Gabungan dari segmen-segmen dalam lingkaran
tersebut bernialai 100%. Pemberian warna dapat digunakan untuk
menonjolkan dan membedakan segmen satu dengfan segmen lain.

Jika dibandingka dengan ketiga jenis grafik lain, grafik garis


merupakan grafik yang paling akurat dan paling kompleks. Grafik ini adalah
grafik yang termasuk dalam jenis grafik dua skala yang menggunakan absis
vertical dan horizontal. Poin-poin yang tergambar dihubungkan satu dengan
dengan yang lain sehingga terlihat sebagai sebuah garis. Garis tersebut dapat
terlihat lurus atau turun naik, hal ini ditentukan oleh nilaio yang terdapat pada
skala vertical dan skala horizontal.

➢ Chart/Bagan

Chart atau bagan adalah salah satu jenis dari media grafis yang
digunakan untuk menyampaikan informasi atau materi yang cukup
sulit jika disampaikan secara lisan ataupun tulisan. Chart atau
bagan mampu memvisualisasikan sebuah hubungan yang bersifat
abstrak, seperti kronologis suatu kejadian atau struktur organisasi.
Dengan kemampuan tersebut, chart merupakan cara yang sederhana
dan singkat. Untuk merancang sebuah chart yang efektif dapat
dimanfaatkan berbagai macam jenis grafis, seperti gambar, sketsa,
grafik, diagram, atau bahkan bentuk verbal.

125
Pemanfaatan Bahan Grafis :

1. Seleksi gambar atau visual lain berdasarkan tuhuan instruksional


untuk mempengaruhi emosi atau sikap penggunaan foto akan dapat
membantu.
2. Untuk tujuan instruksional yang bersifat pendefinisian suatu
konsep, penggunaan ilustrasi kurang tepat.
3. Seleksi gambar atau visual lain juga harus berdasarkan penggunaan
gambar tersebut. Jika waktu yang digunakan untuk
menginterprestasikan sesuatu yang lebih rinci. Namun apabila
waktunya terbatas maka sebaiknya memilih gambar atau visual
yang sederhana dan mudah dimengerti, seperti diagram sederhana,
chart, atau gambar tangan biasa.
4. Criteria lain yang perlu diperhatikan adalah estetika penampilan dan
kualitas produksi. Misalnya untuk memilihg foto, perlu diperhatikan
prospektifnya, pencahayaan, focus, exposure, dan komposisi.
5. Untuk pembuatan segala jenis media grafis, disajikan satu
ide/pokok pikiran dalajm satu gambar, usahakan sederhana dengan
penggunaan kata-kata minimal.

4. Papan Display
Berbagai media yang tidak diproyeksikan, seperti gambar,
poster, chart, realia, atau lainya yang akan digunakan dalam proses
pembelajaran kadangkala membutuhkan tempat untuk men-display atau
memanjang. Banyak pilihan yang dapat digunakan untuk mendisplay
atau memanjang media yang tidak diproyeksikan, yaitu papan tulis
(blackbroads), whitebroads, copybroads, dan bulletin broads. Keempat
jenis media display ini dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan.

126
F. . Media yang Diproyeksikan (Projected Media)

Media yang tergolong sebagai media yang diproyeksikan


antara lain overhead transparency (OHT), slide, filmstrips, dan
opaque. Media tersebut diproyeksikan ke layer dengan menggunakan
alat khusus yang dinamakan proyektor (overhead projector, slide
projector, dan opaque projector). Namun, dengan perkembangan
teknologi telah memungkinkan computer dan video dapat
diproyeksikan dengan menggunakan peralatan khusus, yaitu LCD.

1. OHT
OHT merupakan media yang paling sering digunakan.
Tidak hanya karena popular, tetapi juga relative lebih mudah
mempersiapkan materi ataupun pengoperasianya. Selain dibutuhkan
bahan transparansi, dibutuhkan juga alat tulis khusus/pena.

Untuk mendapatkan hasil yang baik, alat tulis yang


digunakan sebaiknya khusus untuk overhead transparency. Alat tulis
yang di khususkan untuk transparansi pun dibedakan dalam dua jenis,
yaitu yang bersfat permanent dan yang dapat dihapus. Pena khusus
transparansi yang dapat dihapus biasanya digunakan untuk pemberian
tanda-tanda tertentu untuk stressing pada transparansi yang telah ditulis
secara permanent. Selain itu, pena tranparan yang tidak permanent juga
digunakan untuk menulis materi presentasi pada saat proses
pembelajaran berlangsung.

Pemanfaatan OHT dalam pembelajaran


Untuk dapat memanfaatkan media OHT dalam proses pembelajaran
dengan hasil optimal, perlu diperhatikan bebepara hal (Teague, dkk., 1994).

a. Mengajar sebaiknya mematikan overhead projector apabila tidak


sedang digunakan untuk presentasi. Dalam penggunaan OHT kerap
kali seorang pengajar mengabaikan keberadaan tombol power untuk

127
menghidupkan dan mematikan overhead projector. Seorang pengajar
kerap kali membiarkan overhead tetap menyala sepanjang presentasi
yang dilakukan, bahkan tanpa bahan yang diproyeksikan. Hal ini selain
mengganggu peserta didik dengan cahaya yang menyilaukan, juga
mempercepat masa hidup (life time) dari lampu proyektor.

b. Pada saat penggantian transparansi yang akan dipresentasikan sebaiknya


overhead projector dalam posisi mati (power off). Menyalakan kembali
proyektor pada saat transparansi yang akan dipresentasikan siap atas
proyektor memberikan semacam kejutan yang akan menarik perhatian dan
membuat peserta didik kembali memfokuskan perhatiannya kepada
menteri baru yang sedang dipresentasikan.

c. Untuk mendapatkan perhatian yang berkesinambungan dari peserta


didik, sebaiknya pengajar menggunakan berbagai jenis penyajian
transparansi, seperti transparansi tunggal, overlay, dan mask,
disesuaikan dengan materi yang dipresentasikan.

2. Slide
Slide tergolong dalam media visual yang penggunaannya
diproyeksikan ke layer. Media slide dapat menampilkan gambar yang
sangat realistis. Hal ini disebabkan bahan dasar media slide merupakan
film fotografis berbentuk transparan yang sangat tepat untuk digunakan
sebagai suplemen belajar pada bidang studi eksakta, seperti jurusan MIPA
(biologi, kimia, dan fisika), arsitektur, kedokteran, dan juga pada bidang
studi social. Pada bidang studi biologi, slide dipergunakan untuk
memperlihatkan berbagai objek yang akan membuat pengajaran lebih
menarik dan hidup. Demikian pula pada bidang studi kimia, slide dapat
untuk memberikan informasi tentang perubahan warna yang terjadi pada
proses persenyawaan, dan topic-topik lain yang memerlukan penjelasan
melalui visual. Bidang-bidang ilmu social, seperti antropologi, sejarah,
kesenian, serta bidang lain yang memiliki karakteristik materi yang perlu

128
divisualisasikan akan sangat terbantu dengan penggunaan media slide.
Keunggulan media slide untuk memproyeksikan gambar yang kecil
menjadi ukuran yang lebih besar sangat membantu pemahaman peserta
didik tentang detail suatu objek. Penggunaan slide dalam proses
pembelajaran dapat dilakukan dengan ataupun tanpa suara. Slide tanpa
suara pada umumnya digunakan apabila dambar yang satu dengan
gambar yang lain dapat berdiri sendiri, sementara penjelasan langsung
diberikan oleh pengajar. Lain hal dengan slide suara, penyajian
dilakukan dengan urutan tertentu yang disinkronisasi dengan unsure
suara. Walaupun slide suara dapat digunakan untuk proses
pembelajaran dalam ruang kelas secara kelompok, namun biasanya
slide suara digunakan untuk keperluan pembelajaran secara individual.

3. Media Audio
Media audio merpakan media yang sangat fleksibel, relative murah,
praktis dan ringkas, serta mudah dibawa (portable). Media ini dapat
digunakan, baik untuk keperluan belajar kelompok (group learning)
maupun belajar individual. Dengan karakteristik yang dimilikinya, media
audio sangat efektif digunakan dalam beberapa bidang studi, seperti
bahasa, drama, dan seni musik. Penggunaan media audio untuk pelajaran
bahasa umumnya difokuskan pada dua pokok bahasa utama, yaitu
pengucapan (pronounciation) dan structure drill (hackbarth,1996). Untuk
mempelajari pronounciation, peserta didik dapat mendengarkan kata atau
frase, mengulang pengucapan, dan dapat membandingkan pengucapan
yang dilakukan dengan pengucapan yang terdengar melalui kaset. Peserta
didik dapat mengulang pengucapannya sehingga sama atau hamper
menyamai pengucapan yang terdapat pada rekaman audio. Penggunaan
rekaman audio pada bidang studi bahasa untuk keahlian tertentu sangat
berguna karena mampu memperlihatkan penggunaan tata bahasa yang agak
aneh, karena transisi yang hilang serta kesalahan lain dari segi gramatikal.
Untuk kelas seni musik, media audio selain dapat digunakan oleh pengajar
dalam ruang kelas, untuk memberikan contoh-

129
contoh yang berkaitan dengan bidang musik, dapat pula digunakan oleh
peserta didik untuk merekam hasil karyanya dan mendengarkan kembali
penampilanya. Pemanfaatan lain dari media ini adalah pada bidang
dtudi tersebut dapat menggunakan media audio untuk memberikan
contoh mengenai bagaimana memberikan reportase atau pidato yang
baik dan materi- materi lain yang sesuai dan tepat untuk direkam dan
dipresentasikan melalui kaset audio.

Menurut Rowntree (1994), format penyajian audio kaset secara garis


besar dibedakan dalam tiga bentuk penyajian, yaitu:

❖ Hanya mendengar;

❖ Mendengar yang melihat;


❖ Mendengar, melihat, dan melakukan.

Penyajian audio kaset dengan bentuk hanya mendengar biasanya


berdiri sendiri. Nemtuk penyajian audio kaset lain yang dapat dikembangkan
adalah bentuk penyajian dimana peserta didik tidak hanya mendengar suara,
tetapi juga melihat. Oleh Rowntree (1994) bentuk sajian ini dikenal dengan
istilah audio-vission. Media audio kaset memang merupakan media yang tidak
hanya mendengar, tetapijuga melihat secara bersamaan. Apa yang didengar
dan dilihat berkaitan satu dengan yang lain dan saling menguatkan atau lebih
dikenal dengan sebutan terintegrasi. Visual atau sesuatu yang dilihat dalam
paket ini dapat berbentuk bahan cetakan, misalnya gambar, grafis, peta, foto,
chart, diagram, table, dan sebagianya yang tentunya sesuai dan berkaitan
dengan apa yang disuarakan. Selain itu, dapat pula berbentuk bahan visual
noncetak, seperti slide atau bahkan benda nyata yang perlu mereka pelajari,
misalnya potongan batu-batuan, dan sebagainya. Penyajian seperti ini akan
sangat membantu karena selain mendapat informasi dari pendengaran, peserta
didik dapat pula menggunakan penglihatan mereka yang dapat memperkuat
informasi yang mereka dengar. Bentuk pengajian seperti ini tentu memerlukan
persiapan

130
dan rancangan yang lebih matang dibandingkan dengan bentuk audio kaset
yang hanya didengar.

Bentuk penyajian audio kaset yang mengombinasikan kemampuan


mendengar, melihat, dan melakukan sesuatu oleh Rowntree (1994) disebut
dengan istilah active audiovision. Bentuk penyajian ini merupakan
modifikasi dari audiovision yang menambahkan factor actif dari peserta
didik untuk melakukan sesuatu. Media audio kaset sebagai media satu arah
yang tidak mempunyai kemampuan interaksi ternyata dapat memberikan
proses interaksi walaupun dalam tingkat tertentu melalui penyajian active
audivision.

Rekaman audio dapat dilakukan dalam bentuk format audio kaset


dan audio compact disk (audio CD). Untuk materi-materi tertentu,
rekaman video siap pakai yang dikemas dalam format audio kaset maupun
CD dapat ditemuklan dipasaran. Walaupun demikian, jika materi dirasakan
kurang tepat maka seseorang pengajar dapat merancang dan membuat
program audio sendiri.

4. Media Video
Pemanfaatan media video dalam proses pembelajaran diruang
kelas sudah merupakan hal yang biasa. Sebagai media audiovisual dengan
memiliki unsure gerakan dan suara, video dapat digunakan sebagai alat
Bantu mengajar pada berbagai bidang studi. Kemampuan video untuk
memanipulasi waktu dan ruang dapat mengajak peserta didik untuk
melanglang buana kemanasaja walaupun dibatasi dengan ruang kelas.
Objek-objek yang terlalu kecil, terlalu besar, berbahaya, atau bahkan tidak
dapat dikunjungi oleh peserta didik karena lokasinya dibelahan bimi lain,
dapat dihadirkan melalui media video.

Pada bidang studi yang banyak mempelajari keterampilan


motorik dapaat mengandalkan kemampuan video. Melatih kemampuan

131
kegiatan dengan prosedur tertentu akan membantu dengan pemanfaatan
media video. Dengan kemampuan untuk menyajikan gerakan lambat
(slow motion), media video membantu pengajar untuk menjelaskan
gerakan atau prosedur tertentu dengan lebih rinci. Keterampilan yang
dapat dilatih melalui media video tidak hanya berupa keterampilan fisik
saja, tetapi juga keterampilan interpersonal, seperti keterampilan dalam
psikologi dan hubungan masyarakat. Disamping itu, keterampilan
manajerial juga dapat dilatihkan melalui pemanfaatan media video.
Pengajar dapat memilih program0program video yang sesuai dengan
materi yang akan diajarkan, kemudian menyaksikan bersama-sama
diruang kelas, smembahas serta mendiskusikannya. Selain digunakan
untuk melihat program-program yang telah siap pakai, media video juga
dapat dimanfaatkan untuk merekam aktivitas peserta didik yang tengah
berlatih menguasai keterampilan interpersonal, kemudian hasil rekaman
tersebut dibahas dan analisis oleh sesame rekan peserta didik dan
pengajar. Kemampuan video untuk mengabadikan kejadian-kejadian
factual dalam bentuk program documenter bermanfaat untuk membantu
pengajar dalam mengetengahkan fakta, kemudian membahas fakta
tersebut secara lebih jelas dan mendiskusikannya diruang kelas.
Format Video
Dengan kemajuan teknologi yang pesat, format video untuk
merekam gambar, gerakan, dan suara tidak hanya dalam bentuk
kaset, tetapi juga dalam bentuk lain, seperti laser video disc dan
copact disc. Walaupun format kaset memiliki beragam jenis format,
pemanfaatan video dalam ruang kelas umumnya digunakan kaset
VHS yang memiliki kualitas yang cukup memadai untuk digunakan
sebagai alat Bantu pengajaran.
5. Media Berbasis Komputer
Computer dewasa ini tidak lagi merupakan konsumsi
mereka yang bergerak dalam bidang bisnis atau dunia kerja, tetapi juga
dimanfaatkan secara luas oleh dunia pendidikan. Menurut Hannafin dan
Peck (1998), potensi media computer yang dapat dimanfaatkan untuk

132
meningkatkan efektivitas proses pembelajaran antara lain sebagai
berikut.
Memungkinkan terjadinya interaksi langsung antara peserta didik
dan materi pelajaran.
Proses belajar dapat berlangsung secara individual sesuai dengan
kemampuan belajar peserta didik.
Mampu menampilkan unsure audio visual untuk meningkatkan
minat belajar (multimedia).
Dapat memberikan umpan balik terhadap respons peserta didik
dengan segera.
Mampu menciptakan proses belajar secara kesinambungan.

Heinich, et al., (1996) mengemukakan enam bentuk


interaksi yang dapat diaplikasikan dalam merancang sebuah media
pembelajaran, berupa:

Praktik dan latihan (drill and


practice), Tutorial,

Permainan
(games),
Simulasi
(simulation),

Penemuan (discovery), dan


Pemecahan masalah (problem
solving).

Program yang berbentuk drill and practice umumnya digunakan


apabila peserta didik diasumsikan telah mempelajari konsep, prinsip, dan
prosedur sebagai materi pembelajaran. Tujuan dari bentuk program ini
adalah melatih kecakapan dan keterampilan, dan biasanya menyajikan
sejumlah soal atau kasus yang memerlukan respons peserta didik dengan

133
diserupai umpan balik, program ini umumnya juga menyajikan
pengukuhan terhadap jawaban yang tepat.

Bentuk lain dari penyajian program computer adalah program


turitorial. Program ini menyajikan informasi dan pengetahuan dalam topic-
topik tertentu diikuti dengan latihan pemecahan soal dan kasus.
Keunggulan lain dari program turitorial adalah kemampuanya untuk
menyajikan informasi dalam bentuk bercabang (branches). Bentuk ini
memberikan kebebasan lagi peserta didik untuk mempelajari bahan ajar
yang lebih disukai terlebih dahulu.

Permainan (games) selalu menarik untuk diikuti, demikian pula


halnya dengan program computer yang mengemas informasi dalam bentuk
permainan. Program yang berisi permainan dapat memberi motivasi siswa
untuk mempelajari informasi yang ada didalamnya. Hal ini sangat
berkaitan erat dengan esensi bentuk permainan yang selalu menampilkan
masalah menantang yang perlu dicari solusinya oleh pemakai.

Program simulasi berupaya melibatkan siswa dalam persoalan yang


mirip dengan situasi yang sebenarnya, namun tanpa resiko yang nyata.
Melalui program simulasi, peserta didik diajak untuk membuat keputusan
yang diambil akan memberikan dampak tertentu.

Dalam program bentuk penemuan (discovery), program computer


mampu menayangkan masalah yang harus dipecahkan oleh peserta didik
dengan cara trial and error. Peserta didik harus terus mencoba sampai
berhasil menemukan solusi yang diperlukan untuk memecahkan masalah.
Dengan cara ini mereka diharapkan dapat lebih memahami prosedur yang
ditempuh untuk memecahkan suatu masalah dan mampu mengingatnya
lebih lama.

Bentuk lain dari tayangan computer interaktif adalah problem

134
solving (pemecahan masalah). Program ini dapat dibedakan menjadi dua jenis
berdasarkan cara yang ditempuh siswa dalam memberikan respons. Pada cara
yang pertama, siswa merumuskan sendiri solusi masalah yang ditampilkan
lewat computer dan memasukkan program ke dalamnya. Sedangkan pada cara
yang kedua, computer menyediakan jawaban yang mewakili respons siswa
terhadap masalah yang ditayangkan oleh computer.

G. Internet Dan E-Mail

Dengan teknologi yang berkembang pesat dewasa ini, pemanfaatan


computer dalam proses embelajaran tidak hanya dapat digunakan secara
stand alone, tetapi dapat pula dimanfaatkan dalam suatu jaringan. Jaringan
computer (computer network) telah memungkinkan proses belajar menjadi
lebih luas, lebih interaktif, dan lebih fleksibel. Peserta didik dapat
melakukan proses belajar tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Artinya,
jika ada faslitas jaringan, peserta didik dapat melakukan proses belajar
dimana saja dan kapan saja.

Kelebihan dari jaringan computer sebagai media pendidikan adalah


adanya kemungkinan bagi peserta didik untuk melakukan interaksi dengan
sesamapeserta didik, dengan pengajar diluar ruang kelas. Kemampuan
interaktif ini mampu membuat proses belajar menjadi lebih yang memberi
kemungkinan kedapa pengajar untuk memberikan umpan balik (feedback)
terhadap proses dan hasil belajar peserta didik. Jaringan computer yang
paling umum digunakan adalah internet. Saat ini teknologi internet telah
memungkinkan setiap orang memperoleh akses yang lebih besar terhadap
beragam informasi yang tersedia. Teknologi ini telah dimanfaatkan secara
luas mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai pada jenjang yang lebih
tinggi.
Pemanfaatan computer tersebut dapat digunakan secara bervariasi,
pengajaran dapat digunakan secara penuh melalui computer, namun dapat
pula dikombinasikan dengan tatap muka yang telah menjadi bagian dari

135
proses pembelajaran. Untuk langkah awal, kombinasi antara pemanfaatan
computer dengan tatapmuka yang lebih fleksibel. Tugas- tugas dapat
diberikan oleh pengajar dan dikerjakan oleh peserta didik melalui
computer, hal ini membuka kemungkinan bagi pengajar untuk memberikan
penilaian yang terbuka dan juga memberi kesempatan kepada peserta didik
lain untuk memberikan masukkan.

6. Multimedia Kit

Multimedia kit dapat diartikan sebagai paket naham ajar yang


terdiri dari berbagai jenis media yang digunakan untuk menjelaskan suatu
topic/materi tertentu, yang dilengkapi dengan study guide, lembar kerja,
dan modul. Multimedia kit biasanya digunakan dalam mata pelajaran
fisika, kimia, dan biologi yang siap digunakan oleh pengajar untuk
menyajikan pelajarannya. Multimedia kit dapat juga digunakan langsung
oleh peserta didik, baik secara kelompok atau individual dalam melakukan
eksperimen mengenai prinsip dan mekanisme kerja suatu benda.

Multimedia untuk materi-materi tertentu dapat dibeli sebagai paket


lengkap yang siap pakai, tetapi pengajar dapat pula mempersiapkan paket
multimediakit yang sesuai dengan dana yang tersedia dan tujuan
instruksional yang ingin dicapai.

Penggunaan multimedia kit yang beredar dipasaran maupun yang


dirancang sendiri oleh pengajar perlu memperhatikan tujuan utama dari
penggunaannya, yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
belajar secara langsung, mengamati, untuk melakukan eksperimen,
meningkatkan rasa ngin tahu, dan memberikan suatu keputusan terhadap
apa yang telah diujicobakan.

136
DAFTAR PUSTAKA

Fukuyama, F. 1996. Trust The Social Virtues and the Creation of Prosperity.
London: Penguin Books.
Hasibuan, Malayu, S.P. 2007. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarat: Bumi
Aksara.
Sikula, Andrew, F. 1981. Personnel Administration and Human Resources
Management. New York: A. Wiley Trans Ed. By John Wiley & Sons Inc.
Tilaar, H.A.R. (1998). Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam
Perspektif Abad 21. Magelang: Tera Indonesia.
UURI No. 20 Tahun 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Fokusmedia.
http://sadisurhato1977.blogspot.in/2013/10/guru-sebagai-teladan-
bagisiswa.html?m=1
http://shakuyaa.blogspot.com/2014/09/menjadi-guru-yang-berwibawa-dan-
suri.html?m=1
http://aminuddi.blogspot.com/2012/09/cirri-ciri-guru-yang-baik-dan-
disukai.html?m=1
https://arassh.wordprees.com/2013/06/13/guru-teladan/
https://catatanmanajer.wordprees.com/2012/02/21/teladan
https://aceh.tribunnews.com/2017/09/10/profesionalisme-guru
https://text-id.123dok.com/document/lzgwgje8y-peranan-guru-dalam-
pembelajaran-tatap-muka.html
B Uno, Hamzah. 2011. Profesi Kependidikan. Jakarta: Bumi Aksara http://layla-
innocent.blogspot.com/2012/06/makalah-merekontruksi-masyarakat-dan.html
(diakses pada tanggal 24 maret 2013).
Azzam, N. K. (2015, april 1). Naufal Khairul Azzam. Retrieved from Naufal
Khairul Azzam: http://kangenakangarie.blogspot.com/2015/04/usaha-
usaha-pengembangan-guru-sebagai.html
Prihartini, Y. (2013). Dasar Pengembangan Profesi Guru. Jurnal
Kependidikan Islam IAIN Sulthan Thaha Saifuddin, 112-115.
Depdiknas. 2002. Peraturan Pemerintah Nomor 044 Tahun 2002 tentang Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah.

137
Depdiknas. 2003. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Depdiknas. 2006. Modul Komite 3: Peningkatan Wawasan Kependidikan Pengurus
Komite Sekolah.
Depdiknas. 2010. Peraturan Pemerintah RI Nomor 17 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan Penyelenggaraan Pendidikan.
Paduppi, Darwing & Suradi & Sabri. 2006. Pemberdayaan Komite Sekolah dalam
Meningkatkan Tata Kelola dan Akuntabilitas Pendidikan Dasar di Sulawesi
Selatan. Jurnal Pendidikan &
Kebudayaan. http://digilib.unm.ac.id/files/disk1/5/universitas%20negeri%20makassar-
digilib-unm-darwingpad-249-1-pemberda-n.pdf. Diakses pada 25 Oktober 2013 pukul
19:08 WIB.
Tjuana, Alpres.____. Memberdayakan Komite Sekolah Untuk Meningkatkan Mutu
Layanan Pendidikan. http://journal.uniera.ac.id/pdf_repository/juniera6-
0Ai0A2yhIBFamR5I55SB90AJ3.pdf. Diakses pada 25 Oktober 2013 pukul 18:53
WIB.
Budiman, Haris. 2017. Peran Teknologi Inforamsi Dan Komunikasi Dalam
Pendidikan. Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, Mei 2017.
Lampung.
Riana, Cepi. 2018. Peranan Teknologi Dalam Pembelajaran. Universitas
Pendidikan Indonesia.Bandung.
Sudibyo, Lies. 2011 Peranandan Dampak Teknologi Informasi dalam Dunia
Pendidikan di Indonesia. Sukoharjo
Lestari, Sudasri. 2018. “Peran Teknologi dalam Pendidikan di Era Globalisasi”. .
Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. 2, No. 2: 97
Jamun, Yohannes Maryono. 2018. “Dampak Teknologi Terhadap Pendidikan”.
Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Missio, Vol. 10, No. 1: 50-51

138

Anda mungkin juga menyukai