Beberapa dekade terakhir issue pangan menjadi trending topic, baik di kancah
Nasional maupun Internasional. Issue pangan mulai memanas di awal tahun 2011,
mencuatnya issue pangan ini disebabkan oleh adanya kekhawatiran akan terjadi krisis
pangan dunia di era mendatang, dan dunia menjadi panik tak terkecuali Indonesia. Hal
ini mengakibatkan munculnya berbagai program yang mendorong peningkatan produksi
pangan dan pemanfaatan pangan lokal untuk mengantisipasi terjadinya krisis pangan
nasional.
Diawal tahun 2011 banyak ekonom dunia memperingatkan, bahwa dunia harus
waspada terhadap krisis pangan. Krisis ini merupakan dampak dari resesi ekonomi
global, Ekonom Amerika Serikat, Nouriel Roubini, seperti dikutip CNN, beberapa
waktu lalu mengatakan “meroketnya harga komoditas pangan bisa menjadi sumber
ketidak stabilan, tidak hanya di sektor ekonomi dan keuangan, namun juga politik”.
Dalam konteks ini, sejatinya Indonesia dapat bernapas lega. Mengingat apa yang
dimiliki dan dikandung oleh bumi pertiwi ini. Sebagai negara agraris sedikit pun tidak
akan menutup kemungkinan untuk bangsa Indonesia berdiri tegak dengan segala potensi
dan hasil alam yang ada, demi meredam kekhawatiran tersebut.
Tanaman sagu (Metroxylon sp) merupakan salah satu komoditi bahan pangan
yang banyak mengandung karbohidrat, sehingga sagu merupakan bahan makanan pokok
untuk beberapa daerah di Indonesia seperti Maluku, Irian Jaya dan sebagian Sulawesi.
Sagu juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pangan yang antara lain
dapat diolah menjadi bahan makanan seperti bagea, mutiara sagu, kue kering, mie,
biskuit, kerupuk dan laksa (Harsanto, 1986).
Sagu meruapakan salah satu jenis pangan yang banyak dikonsumsi rakyat
Indonesia dikarnakan ketidaktersediaannya beras dalam kuantitas yang besar. Listyani
mengungkapkan bahwa tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia sebanyak 130
kg/kapita/tahun. Itu merupakan angka yang tinggi dibanding tingkat konsumsi beras
dunia yang rata-rata hanya 60 kg/kapita/tahun. Swasembada beras pun lanjutnya
menghadapi ancaman, karena alih fungsi lahan persawahan untuk pemukiman, fasilitas
umum dan industri sebesar 120.000 hektare per tahun. Sementara pencetakan sawah
baru hanya 100.000 hektare per tahun. Tantangan lain yang juga ditemui adalah
ketersediaan air untuk persawahan. Belum lagi dinamika iklim global sehingga terjadi
gagal panen oleh bencana banjir dan kekeringan.
Sagu tumbuh dalam bentuk rumpun. Setiap rumpun terdiri dari 1-8 batang sagu,
pada setiap pangkal tumbuh 5-7 batang anakan. Pada kondisi liar rumpun sagu akan
melebar dengan jumlah anakan yang banyak dalam berbagai tingkat pertumbuhan
(Harsanto, 1986). Lebih lanjut Flach (1983) dalam Djumadi (1989) menyatakan bahwa
sagu tumbuh berkelompok membentuk rumpun mulai dari anakan sampai tingkat
pohon. Tajuk pohon terbentuk dari pelepah yang berdaun sirip dengan tinggi pohon
dewasa berkisar antara 8-17 meter tergantung dari jenis dan tempat tumbuhnya.
Adapaun manfaat dari sagu yakni menghasilkan tepung sagu yang kaya dengan
karbohidrat (pati) sehingga memiliki gizi yang cukup lumayan besar. Ini terjadi akibat
kandungan tinggi pati di dalam teras batang maupun proses pemanenannya. Seratus
gram sagu kering setara dengan 355 kalori. Di dalamnya rata-rata terkandung 94 gram
karbohidrat, 0,2 gram protein, 0,5 gram serat, 10mg kalsium, 1,2 mg besi, dan lemak,
karoten, tiamin, dan asam askorbat dalam jumlah sangat kecil. Karena itu banyak
manfaat jika memakan tepung sagu antara lain: