Anda di halaman 1dari 4

SAGU,MASA DEPAN INDONESIA

Beberapa dekade terakhir issue pangan menjadi trending topic, baik di kancah
Nasional maupun Internasional. Issue pangan mulai memanas di awal tahun 2011,
mencuatnya issue pangan ini disebabkan oleh adanya kekhawatiran akan terjadi krisis
pangan dunia di era mendatang, dan dunia menjadi panik tak terkecuali Indonesia. Hal
ini mengakibatkan munculnya berbagai program yang mendorong peningkatan produksi
pangan dan pemanfaatan pangan lokal untuk mengantisipasi terjadinya krisis pangan
nasional.

Diawal tahun 2011 banyak ekonom dunia memperingatkan, bahwa dunia harus
waspada terhadap krisis pangan. Krisis ini merupakan dampak dari resesi ekonomi
global, Ekonom Amerika Serikat, Nouriel Roubini, seperti dikutip CNN, beberapa
waktu lalu mengatakan “meroketnya harga komoditas pangan bisa menjadi sumber
ketidak stabilan, tidak hanya di sektor ekonomi dan keuangan, namun juga politik”.

Dalam konteks ini, sejatinya Indonesia dapat bernapas lega. Mengingat apa yang
dimiliki dan dikandung oleh bumi pertiwi ini. Sebagai negara agraris sedikit pun tidak
akan menutup kemungkinan untuk bangsa Indonesia berdiri tegak dengan segala potensi
dan hasil alam yang ada, demi meredam kekhawatiran tersebut.

Sebagai pejuang sekaligus penggerak bangsa Indonesia, sudah sepatutnya kita


pandai-pandai memanfaatkan ekosistem-ekosistem yang ada demi keberlanjutan pangan
bagi masyarakat Indonesia. Didorong dengan cangkupan wilayah Indonesia yang
tersebar luas dan memiliki keadaan yang beragam semakin menambah keunggulan
Indonesia untuk menjadi raja penghasil pangan yang bervariasi dan berkualitas.

Mengingat permasalahan yang sedang terjadi sekarang, Indonesia masih banyak


melakukan impor untuk bahan-bahan makanan pokok, padahal impor tersebut
seharusnya dapat ditekan, bahkan ditiadakan dengan cara lebih mengoptimalkan potensi
sumber pangan lokal yang ada di Indoensia. Ini dapat digolongkan sebagai salah satu
faktor utama yang menyebabkan kegiatan dalam ketahanan pangan menjadi tidak
maksimal. Fenomena tersebut kemudian berdampak pada tidak stabilnya ketahanan
pangan negara Indonesia.
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 (PP Ketahanan Pangan):
mengisyaratkan pengelolaan pangan secara nasional, terlaksananya swasembada pangan
yang diutamakan produksi dalam negeri dan bertumpu pada sumber daya pangan lokal
yang mengandung keragaman antardaerah dan harus dihindari sejauh mungkin
ketergantungan pada pemasukan pangan dari luar (Louhenapessy, 2010:119).

Peraturan di atas telah menegaskan bahwa Indonesia tidak dibenarkan


memandang sebelah mata potensi pangan yang dimiliki apalagi melakukan impor secara
besar-besaran yang sudah jelas kemampuan indonesia untuk menghidangkannya jauh
lebih besar.

PENGEKPLOITASIAN SAGU SEBAGAI PANGAN LOKAL

Tanaman sagu (Metroxylon sp) merupakan salah satu komoditi bahan pangan
yang banyak mengandung karbohidrat, sehingga sagu merupakan bahan makanan pokok
untuk beberapa daerah di Indonesia seperti Maluku, Irian Jaya dan sebagian Sulawesi.
Sagu juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pangan yang antara lain
dapat diolah menjadi bahan makanan seperti bagea, mutiara sagu, kue kering, mie,
biskuit, kerupuk dan laksa (Harsanto, 1986).

Sagu meruapakan salah satu jenis pangan yang banyak dikonsumsi rakyat
Indonesia dikarnakan ketidaktersediaannya beras dalam kuantitas yang besar. Listyani
mengungkapkan bahwa tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia sebanyak 130
kg/kapita/tahun. Itu merupakan angka yang tinggi dibanding tingkat konsumsi beras
dunia yang rata-rata hanya 60 kg/kapita/tahun. Swasembada beras pun lanjutnya
menghadapi ancaman, karena alih fungsi lahan persawahan untuk pemukiman, fasilitas
umum dan industri sebesar 120.000 hektare per tahun. Sementara pencetakan sawah
baru hanya 100.000 hektare per tahun. Tantangan lain yang juga ditemui adalah
ketersediaan air untuk persawahan. Belum lagi dinamika iklim global sehingga terjadi
gagal panen oleh bencana banjir dan kekeringan.

Berbagai tantangan di atas mendorong kita semua untuk mengembangkan


sumber pangan lain, yaitu sagu. Untuk diketahui, sagu merupakan sumber pangan lokal
Indonesia dan menjadi salah satu sumber pangan yang memiliki potensi tinggi untuk
dikembangkan, dengan merujuk pada data luas hutan sagu Indonesia sekitar 1,25 juta
hektare, maka Indonesia Indonesia dapat memanfaatkan cadangan sagu yang besar itu
sebagai potensi besar bagi pangan, sebagai bahan baku industri dan sebagai sumber
energi. Selain sebagai sumber pangan, sagu juga diharapkan menjadi salah satu pijakan
kuat bagi peningkatan kesejahteraan penduduk Papua dan Papua Barat.

Sagu tumbuh dalam bentuk rumpun. Setiap rumpun terdiri dari 1-8 batang sagu,
pada setiap pangkal tumbuh 5-7 batang anakan. Pada kondisi liar rumpun sagu akan
melebar dengan jumlah anakan yang banyak dalam berbagai tingkat pertumbuhan
(Harsanto, 1986). Lebih lanjut Flach (1983) dalam Djumadi (1989) menyatakan bahwa
sagu tumbuh berkelompok membentuk rumpun mulai dari anakan sampai tingkat
pohon. Tajuk pohon terbentuk dari pelepah yang berdaun sirip dengan tinggi pohon
dewasa berkisar antara 8-17 meter tergantung dari jenis dan tempat tumbuhnya.

Tanaman sagu merupakan tanaman yang dapat tumbuh baik di daerah


khatulistiwa, di daerah tepi pantai dan sepanjang aliran sungai pada garis lintang antara
10˚ LU dan 10˚ LS dan pada ketinggian 300 sampai 700 meter di atas permukaan laut
(dpl), mempunyai curah hujan lebih dari 2000 mm per tahun (Tan, 1982; Harsanto,
1986).

Pengeksploitasian yang sekaligus menjadi tindak lanjut dalam mengoptimalkan


ketersediaannya, sagu dapat diolah menjadi berbagai bentuk olahan, seperti ongol-ongol
sagu, bihun, mie gleser, papeda-papeda, biscuit, beras analog, dan sebainya.

Adapaun manfaat dari sagu yakni menghasilkan tepung sagu yang kaya dengan
karbohidrat (pati) sehingga memiliki gizi yang cukup lumayan besar. Ini terjadi akibat
kandungan tinggi pati di dalam teras batang maupun proses pemanenannya. Seratus
gram sagu kering setara dengan 355 kalori. Di dalamnya rata-rata terkandung 94 gram
karbohidrat, 0,2 gram protein, 0,5 gram serat, 10mg kalsium, 1,2 mg besi, dan lemak,
karoten, tiamin, dan asam askorbat dalam jumlah sangat kecil. Karena itu banyak
manfaat jika memakan tepung sagu antara lain:

a. Dapat memberikan efek mengenyangkan, tetapi tidak menyebabkan gemuk.


b. Mencegah sembelit dan dapat mencegah risiko kanker usus.
c. Tidak cepat meningkatkan kadar glukosa dalam darah (indeks glikemik rendah)
Dari hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam pengelolaan pembuatan
industri jajanan makanan, sudah tidak terlalu menggunakan bahan dari terigu, maizena
maupun beras ketan lainnya dan tentunya memiliki nilai jual ekonomis yang dapat
diperdagangkan di mancanegara, termasuk di kawasan Asia-Tenggara.
Kepala Pusat Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan, BKP, Ir. Sri
Sulihanti, M.Sc mengatakan, sudah saatnya Indonesia untuk semakin memantapkan
upaya pengembangan sagu sebagai bagian dalam menjawab tantangan penyediaan
pangan global yang semakin meningkat. Salah satu jalan yang sedang ditempuh adalah
project Promoting Sago Starch Utilization in Indonesia yang dibiayai oleh Food and
Agriculture Organization (FAO) secara bertahap untuk melakukan unjuk gigi pangan
sagu di mata Nasional dan Dunia melalui peningkatan akses kualitas serta peningkatan
akses ekonomi akibat meningkatnya peluang pasar dalam mencapai ketahanan pangan.

Anda mungkin juga menyukai