Anda di halaman 1dari 21

INDONESIA DALAM MENGHADAPI PANDEMI COVID-19

“PENYAKIT TB PARU”
(UAS ANTROPOLOGI KESEHATAN)
DOSEN : Dr. Ignasius Welerubun, S.S, M.A (Pastor)

NAMA : SHEILLA GABRIELA LEUWOL


NIM : 2019054
KELAS : TINGKAT II B

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN GUNUNG MARIA TOMOHON

1
2
Abstrak
Indonesia pada terkena dampak wabah baru yakni virus covid-19. Covid-19 telah
menjadi pandemi dikarenakan jumlah kasusdi Indonesia yang terkonfirmasi terus
meningkat, maka Indonesia sangat memerlukan tata cara pengendalian dan
pencegahan pandemi covid-19. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisa langkah-
langkah yang telah dilakukan Indonesia dalam menghadapi covid-19. Metode yang
digunakan oleh penulis adalah studi kepustakaan (literature review). Hasil yang
didapat bahwa Indonesia telah banyak menerapkan berbagai kebijakan dalam
pengendalian dan pencegahan covid-19. Namun, kebijakan tersebut harus didukung
juga dengan kesadaran masyarakat serta sistem kesehatan yang baik.
Kata kunci: Covid-19; Indonesia; Pandemi.

Abstract
Indonesia was affected by a new epidemic namely the covid-19 virus. Covid-19
has become a pandemic because the number of confirmed cases in Indonesia
continues to increase, so Indonesia urgently needs procedures for controlling
and preventing the covid-19 pandemic. This paper aims to analyze the steps
Indonesia has taken in dealing with covid-19. The method used by the authors is
literature review. The results obtained that Indonesia has implemented many
policies in controlling and preventing covid-19. However, the policy must also be
supported by public awareness and a good health system.

Keywords: Covid-19; Indonesian; Pandemic.

A. PENDAHULUAN

1
Akhir tahun 2019 tepatnya pada bulan desember, dunia dihebohkan dengan
sebuah kejadian yang membuat banyak masyarakat resah yaitu dikenal
dengan virus corona (covid-19). Kejadian tersebut bermula di Tiongkok,
Wuhan (Yuliana, 2020). Pada awalnya virus ini diduga akibat paparan pasar
grosir makanan laut huanan yang banyak menjual banyak spesies hewan
hidup. Penyakit ini dengan cepat menyebar di dalam negeri ke bagian lain
China (Dong et al., 2020). Tanggal 18 Desember hingga 29 Desember 2019,
terdapat lima pasien yang dirawat dengan Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS) (Ren L et al., 2020). Sejak 31 Desember 2019
hingga 3 Januari 2020 kasus ini meningkat pesat, ditandai dengan
dilaporkannya sebanyak 44 kasus (Susilo et al., 2020). Munculnya 2019-
nCoV telah menarik perhatian global, dan Pada 30 Januari WHO telah
menyatakan COVID-19 sebagai darurat kesehatan masyarakat yang menjadi
perhatian internasional (Dong et al., 2020). Penambahan jumlah kasus
COVID-19 berlangsung cukup cepat dan sudah terjadi penyebaran antar
negara. Sampai dengan tanggal 25 Maret 2020, dilaporkan total kasus
konfirmasi 414.179 dengan 18.440 kematian (CFR 4,4%) dimana kasus
dilaporkan di 192 negara/wilayah. Diantara kasus tersebut, sudah ada
beberapa petugas kesehatan yang dilaporkan terinfeksi (Kemenkes RI,
2020). Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit jenis baru
yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus
penyebab COVID-19 ini dinamakan Sars-CoV-2. Virus corona adalah
zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia). Adapun, hewan yang
menjadi sumber penularan COVID-19 ini masih belum diketahui.
Berdasarkan bukti ilmiah, COVID-19 dapat menular dari manusia ke manusia
melalui percikan batuk/bersin (droplet), Orang yang paling berisiko tertular
penyakit ini adalah orang yang kontak erat dengan pasien COVID-19
termasuk yang merawat pasien COVID-19 (Kemenkes RI, 2020). Tanda dan
gejala umum infeksi covid-19 termasuk gejala gangguan pernapasan akut
seperti demam, batuk, dan sesak napas. Masa inkubasi rata-rata adalah 5 - 6
hari dengan masa inkubasi demam, batuk, dan sesak napas. Pada kasus
yang parah, covid-19 dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan
akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian (Tosepu et al., 2020). Indonesia
adalah negara berkembang dan terpadat keempat di dunia, dengan demikian
diperkirakan akan sangat menderita dan dalam periode waktu yang lebih
lama. Ketika coronavirus novel SARS-CoV2 melanda Cina paling parah
selama bulan-bulan Desember 2019 – Februari 2020. Pada 27 Januari
2020, Indonesia mengeluarkan pembatasan perjalanan dari provinsi Hubei,
yang pada saat itu merupakan pusat dari COVID-19 global, sementara pada
saat yang sama mengevakuasi 238 orang Indonesia dari Wuhan. Presiden Joko
Widodo melaporkan pertama kali menemukan dua kasus infeksi COVID-19 di
Indonesia pada 2 Maret 2020 (Djalante et al., 2020). Pasien yang

2
terkonfirmasi covid-19 di Indonesia berawal dari suatu acara di Jakarta
dimana penderita kontak dengan seseorang warga Negara asing (WNA) asal
Jepang yang tinggal di Malaysia. Setelah pertemuan tersebut penderita
mengeluh demam, batuk dan sesak nafas (WHO, 2020).
WHO mengumumkan COVID-19 pada 12 Maret
2020 sebagai pandemic. Jumlah kasus di Indonesia terus
meningkat dengan pesat, hingga Juni 2020 sebanyak
31.186 kasus terkonfirmasi dan 1851 kasus meninggal
(PHEOC Kemenkes RI, 2020). Kasus tertinggi terjadi di
Provinsi DKI Jakarta yakni sebanyak 7.623 kasus
terkonfirmasi dan 523 (6,9%) kasus kematian (PHEOC
Kemenkes RI, 2020). WHO mengeluarkan enam strategi
prioritas yang harus dilakukan pemerintah dalam
menghadapi pandemic covid-19 pada tangal 26 Maret,
yang terdiri dari Perluas, latih, dan letakkan pekerja
layanan kesehatan; Menerapkan sistem untuk dugaan
kasus; Tingkatkan produksi tes dan tingkatkan layanan
kesehatan; Identifikasi fasilitas yang dapat diubah
menjadi pusat kesehatan coronavirus; Mengembangkan
rencana untuk mengkarantina kasus; dan Refokus
langkah pemerintah untuk menekan virus (WHO, 2020).
Wabah ini telah ditetapkan sebagai darurat
kesehatan global. Virus ini sempat membuat semua
kegiatan sehari-hari manusia terhambat. Karantina saja
mungkin tidak cukup untuk mencegah penyebaran virus
COVID-19 ini, dan dampak global dari infeksi virus ini
adalah salah satu yang semakin memprihatinkan
(Sohrabi et al., 2020). Pemerintah Indonesia telah
melakukan banyak langkah-langkah dan kebijakan untuk
mengatasi permasalahan pandemic ini. Salah satu
langkah awal yang dilakukan oleh pemerintah yaitu
mensosialisasikan gerakan Social Distancing untuk
masyarakat. Langkah ini bertujuan untuk memutus mata
rantai penularan pandemi covid-19 ini karena langkah
tersebut mengharuskan masyarakat menjaga jarak aman
dengan manusia lainnya minimal 2 meter, tidak
melakukan kontak langsung dengan orang lain serta
menghindari pertemuan massal (Buana D.R, 2020).
Namun, pada kenyataannya langkah-langkah tersebut
tidak disikapi dengan baik oleh masyarakat, sehingga
jumlah kasus terus meningkat. Di samping itu,

3
pelayanan kesehatan di Indonesia dan SDM kesehatan
yang ada dalam menangani kasus pandemic covid-19 ini
juga belum memadai sedangkan kasus terus melonjak
naik. Berdasarkan latar belakang dari tulisan ini maka
penulis ingin melihat bagaimana Indonesia dalam
menghadapi pandemic covid-19 yang terjadi saat ini.

B. METODE
Tulisan ini di analisis dengan analisis kajian studi
kepustakaan (literature review) terkait dengan masalah
pandemi covid-19. Studi kepustakaan merupakan studi
yang objek penelitiannya berupa karya-karya
kepustakaan baik berupa jurnal ilmiah, buku, artikel
dalam media massa, maupun data-data statistika.
Literatur review ini digunakan untuk mengetahui
langkah-langkah yang dilakukan Indonesia dalam
menghadapi pandemi covid-19 yang dilihat dari sudut
pandang kebijakan maupun sistem kesehatan di
Indonesia.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN


Langkah-Langkah yang Telah di Lakukan Indonesia
Indonesia saat ini terkena dampak pandemi virus
baru, bahkan bukan hanya di Indonesia tetapi secara
global di berbagai Negara telah terkena dampak yang
sangat hebat dari virus ini. World Health Organization
memberi nama virus ini Severe Acute Resporatory
Syndrome coronavirus-2 (SARS-CoV-2) dengan nama
penyakitnya yakni Coronavirus disease 2019 (Covid-19)
(WHO, 2020). Pandemi covid-19 ini akan berdampak
secara sosial dan ekonomi. Dalam hal ini Indonesia
harus bersiap siaga dalam menghadapinya terutama
dalam hal sistem kesehatan yang ada.
Status siaga darurat adalah keadaan ketika potensi
ancaman bencana sudah mengarah pada terjadinya
bencana, yang ditandai dengan adanya informasi
peningkatan ancaman berdasarkan sistem peringatan dini
yang diberlakukan dan pertimbangan dampak yang akan
terjadi di masyarakat (Kemenkes RI, 2018). Indonesia
perlu siaga dan tanggap dikarenakan corona virus
disease 2019 (Covid-19) ini telah ditetapkan sebagai

4
pademi. Dampak yang ditimbulkan akan sangat meluas,
mulai dari politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan,
dan keamanan, serta kesejahteraan masyarakat. Dalam
hal ini Indonesia tidak bisa hanya mengandalkan petugas
kesehatan dan sarana prasarana saja, tetapi juga harus
melibatkan msyarakat serta sistem kesehatan yang
mendukung.
Sistem kesehatan menurut World Health
Organization (WHO) adalah “sebuah kegiatan yang
bertujuan dalam mempromosikan, memulihkan, atau
menjaga kesehatan”. Indonesia adalah negara kepulauan
terbesar di dunia, yang memiliki penduduk lebih dari
240 juta jiwa. Indonesia juga termasuk status ekonomi
yang berpenghasilan menengah ke bawah (Putri R.N,
2019). Dengan terjadinya pandemi covid-19 ini, maka
dampak ekonomi sangat dirasakan oleh Indonesia
dikarenakan kasus yang terkonfirmasi terus meningkat
(Gambar 1)

Gambar 1. Grafik Perkembangan Covid-19 (Per Juni 2020)

5
Tabel 1. Persentase Kasus Kematian Tertinggi di Indonesia
(Per Juni 2020)

Berdasarkan grafik tersebut dapat dilihat bahwa


kasus yang terkonfirmasi terus meningkat. Potensi
pandemi COVID-19 menuntut pengawasan ketat dan
pemantauan yang sedang berlangsung secara akurat
melacak dan berpotensi memprediksi adaptasi host,
evolusi, transmisibilitas, dan patogenisitas di masa
depan. Faktor-faktor ini pada akhirnya akan
mempengaruhi angka kematian dan prognosis, maka
sangat diperlukan panduan pengendalian dan
pencegahan penyakit ini (Sohrabi et al., 2020)
Pada 27 Januari 2020, Kebijakan yang pertama
dilakukan oleh Indonesia adalah mengeluarkan
pembatasan perjalanan dari pusat covid-19 yaitu provinsi
Hubei. Pada saat yang sama Indonesia juga
mengevakuasi 238 orang Indonesia dari Wuhan. Setelah
terjadi laporan awal kasus yang terinfeksi, Indonesia
mulai menyadari kekejaman situasi saat itu serta
mengeluarkan berbagai kebijakan dan tindakan untuk
mengatasi pandemic covid-19, termasuk menunjuk 100
rumah sakit umum dalam negeri sebagai Rumah Sakit
Rujukan pada 3 Maret 2020. Sedangkan pada 8 Maret
2020, Indonesia meningkatkan jumlah Rumah Sakit
Rujukan menjadi 227 untuk mengatasi jumlah pasien
COVID-19 yang terus meningkat. Akan tetapi, upaya
tersebut tidak dapat mengatasi permasalan pandemi
covid-19, dikarenakan jumlah korban terus meningkat
dengan cepat (WHO, 2020).
Pemerintah Indonesia juga menerapkan langkah

6
social distancing bagi masyarakat serta memberikan
prinsip protocol kesehatan, yaitu gunakan masker, cuci
tangan/hand sanitizer, jaga jarak/hindari kerumunan,
meningkatkan daya tahan tubuh, konsumsi gizi
seimbang, kelola penyakit comorbid dan memperhatikan
kelompok rentan serta perilaku hidup bersih dan sehat.
Namun pada kenyataannya banyak masyarakat yang
tidak mematuhi protokol kesehatan yang diberikan
dalam menghadapi pandemi covid-19 (Buana D.R.,
2020).
Selain itu juga, terdapat keputusan Presiden
Indonesia mengenai satuan tugas untuk respon cepat
covid-19. Pada akhir Maret 2020, Satuan Tugas
Indonesia untuk COVID-19 (Gugus Tugas Percepatan
Penanganan COVID-19) mengeluarkan Pedoman untuk
Respon Cepat Medis dan Aspek Kesehatan Penanganan
COVID-19 di Indonesia. Panduan ini menargetkan
tenaga medis dan masyarakat umum dalam hal
menginformasikan cara untuk mengurangi dampak dan
tingkat kematian. Informasi termasuk protokol untuk tes
cepat menggunakan RDT, pengujian laboratorium,
penanganan pasien, dan sarana
penjangkauan/komunikasi. Protokol untuk pengujian
cepat dan pengujian laboratorium mengenali tiga tingkat
risiko: tanpa gejala, orang di bawah pengawasan
(ODP/Orang Dalam Pemantauan), dan pasien di bawah
pengawasan. Tes ini melibatkan isolasi orang yang
dicurigai, pengujian cepat, dan pada akhirnya, jika
diperlukan, PCR (Djalante et al., 2020).
Sedangkan Kebijakan yang baru-baru ini yang
dilakukan pemerintah yaitu PSBB (Pembatasan Sosial
Beskala Besar). PSBB tertuang dalam Peraturan
Pemerintah No 21 Tahun 2020 tentang PSBB dalam
rangka percepatan penanganan coronavirus disease
(Covid-19). Beberapa hal yang dibatasi selama PSBB,
diantaranya aktivitas sekolah dan tempat kerja, kegiatan
keagamaan, kegiatan di fasilitas umum, kegiatan sosial
dan budaya, serta operasional transportasi umum
(Kemenkes RI, 2020). Namun, kenyataannya masyarakat
banyak yang tidak mematuhi peraturan yang ada. maka
dari itu meskipun pemerintah telah banyak berupaya
untuk memutus mata rantai covid-19 tetapi harus

7
didukung dan memerlukan kesadaran yang lebih dari
masyarakat untuk bersama-sama memutus mata rantai
covid-19.

Pelayanan Kesehatan
Wabah covid-19 ini tidak hanya meresahkan
masyarakat saja, tetapi pelayanan kesehatan merupakan
ujung tombak penanganan covid-19 ini. Kelompok
resiko yang paling rentan terkena covid-19 ini asalah
orang yang tinggal di daerah terpencil yang mana sistem
kesehatan dan akses ke layanan kesehatan masih
terbatas.
Di Indonesia, kapasitas sistem kesehatan berada di
bawah kapasitas untuk mengatasi pandemi covid-19.
Upaya yang dilakukan oleh Fasilitas Layanan Kesehatan
dalam menghadapi covid-19 ini diantaranya,
memperkuat sistem kesehatan agar menjamin rumah
sakit memiliki kapabilitas yang baik dalam menangani
pasien, pemanfaatan jejaring/ online medicine treatment
(pengobatan online), pemanfaatan sistem/ platform
telemedicine (pengobatan jarak jauh), penyiapan dana
darurat sector kesehatan untuk meminimalisir
pembiayaan kesehatan. selain dari layanan kesehatannya,
yang tak kalah penting adalah SDM yang ada dalam
menangani kasus ini.
Peran tenaga kesehatan dalam mas covid-19 yaitu
melakukan koordinasi lintas program di Puskesmas/
Fasilitas kesehatan dalam menentukan langkah-langkah
menghadapi pandemic covid-19, melakukan analisis data
dan mengidentifikasi kelompok sasaran berisiko yang
memerlukan tindak lanjut, melakukan koordinasi kader,
RT/RW/Kepala Desa/Kelurahan dan tokoh masyarakat
setempat terkait sasaran kelompok berisiko dan
modifikasi pelayanan sesuai kondisi wilayah, serta
melakukan sosialisasi terintegrasi dengan lintas program
lain kepada masyarakat tentang pencegahan penyebaran
covid-19 (Kemenkes, 2020). Dalam hal ini, langkah-
langkah dalam menyikapi pandemi ini berdampak
langsung dalam hal pengembangan kompetensi SDM.
Selain itu, yang menjadi garda terdepan dalam
menghadapi covid-19 ini adalah dokter dan perawat serta
semua SDM yang ada di Rumah Sakit maupun

8
pelayanan kesehatan beresiko terpapar virus tersebut.
Dokter dan Perawat merupakan garda terdepan yang
berhubungan/kontak langsung dalam menangani pasien.
Pada kasus ini, rumah sakit memerlukan upaya
pembinaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Rumah
Sakit (K3RS). Strategi pencegahan kecelakaan kerja dan
kontrol infeksi yang diterapkan oleh tenaga kesehatan
adalah dengan lebih menekankan alat pelindung diri
(APD) (Apriluana et al., 2016).
APD yang harus digunakan dalam mengatasi
wabah ini antara lain masker N95, gaun, sarung tangan,
pelindung mata, apron, dan sepatu boots. Kenyataannya,
APD yang digunakan terkadang tidak sesuai. Masih
terdapatnya rumah sakit /pelayanan kesehatan yang
minim dengan APD bagi tenaga kesehatan. Selain APD,
jumlah tenaga kesehatan yang terkait juga masih minim,
bukan hanya dalam menangani kasus pandemi covid-19,
sebelumnya tenaga kesehatan di Indonesia juga masih
kuran dan penyebarannya tidak merata. SDM yang
diharapkan adalah SDM yang kompeten, professional
dan berdaya saing, karena dalam kasus ini tidak sedikit
tenaga medis yang meninggal akibat wabah pandemi
covid-19 (Kemenkes, 2020).
Pengendaliaan wabah covid-19 di Indonesia
bukan hanya dilihat dari rumah sakit yang memadai serta
SDM yang berkualitas, tetapi yang harus diperhatikan
untuk menghadapi covid-19 ini yaitu sistem kesehatan
mulai dari pemberian layanan kesehatan, tenaga kerja,
sistem informasi, akses ke obat-obatan, pembiayaan
layanan kesehatan, tenaga kerja, dan tata kelola layanan
kesehatan.

9
- Pemahaman tentang Pandemi di Masyarakat

Gejala-gejala COVID-19 yang paling umum adalah demam, batuk


kering, dan rasa lelah. Gejala lainnya yang lebih jarang dan mungkin
dialami beberapa pasien meliputi rasa nyeri dan sakit, hidung tersumbat,
sakit kepala, konjungtivitis, sakit tenggorokan, diare, kehilangan indera
rasa atau penciuman, ruam pada kulit, atau perubahan warna jari tangan
atau kaki. Gejala-gejala yang dialami biasanya bersifat ringan dan muncul
secara bertahap. Beberapa orang menjadi terinfeksi tetapi hanya memiliki
gejala ringan.

Sebagian besar (sekitar 80%) orang yang terinfeksi berhasil pulih tanpa
perlu perawatan khusus. Sekitar 1 dari 5 orang yang terinfeksi COVID-19
menderita sakit parah dan kesulitan bernapas. Orang-orang lanjut usia
(lansia) dan orang-orang dengan kondisi medis penyerta seperti tekanan
darah tinggi, gangguan jantung dan paru-paru, diabetes, atau kanker
memiliki kemungkinan lebih besar mengalami sakit lebih serius. Namun,
siapa pun dapat terinfeksi COVID-19 dan mengalami sakit yang serius.
Orang dari segala usia yang mengalami demam dan/atau batuk disertai
dengan kesulitan bernapas/sesak napas, nyeri/tekanan dada, atau
kehilangan kemampuan berbicara atau bergerak harus segera mencari
pertolongan medis. Jika memungkinkan, disarankan untuk menghubungi
penyedia layanan kesehatan atau fasilitas kesehatan terlebih dahulu,
sehingga pasien dapat diarahkan ke fasilitas kesehatan yang tepat.

- Pemahaman Masyarakat Tentang Penyakit TB


Paru
Penyakit tuberkulosis (TB) Paru merupakan penyakit menular
yang masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat
Indonesia. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas ) tahun 2010
menunjukkan bahwa prevalensi TB berdasarkan pengakuan
responden yang diagnosis tenaga kesehatan secara nasional
sebesar 0.7 persen, dan dalam hal ini terjadi peningkatan Angka
Prevalensi dibandingkan dengan Riskesdas *Peneliti Bappeda
Sumatera Barat 2007 (0,4%).1 Penyakit TB Paru juga masih
menjadi masalah bagi masyarakat di Propinsi Sumatera barat.
Menurut Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera
Barat tahun 2007 jumlah kasus BTA positif di Sumatera Barat
adalah 3.693 orang." Jumlah ini meningkat jika dibandingkan
dengan data Profil Kesehatan tahun 2005 (3.084 orang)" dan
tahun 2006 (3.410 orang).'

10
Sementara itu, dari hasil Riskesdas tahun 2010 di Propinsi
Sumatera Barat diketahui bahwa prevalensi TB berdasarkan
pengakuan responden yang diagnosis tenaga kesehatan adalah
sebesar 0,37%.1 Selanjutnya jika ditinjau dari angka cakupan
penemuan penderita TB Paru, data Dinas Kesehatan Tahun 2009
menunjukkan bahwa temyata cakupan penemuan penderita TB
(CDR TB) yang diharapkan 70%, hanya bisa dicapai sebesar
49,43% dengan success rate 88,75 (Dinkes, 2009).5 Kondisi
masih rendahnya cakupan penemuan TB Paru tersebut
memberikan dampak pada peningkatan penyebaran penyakit TB
Paru. Salah satu penyebab rendahnya cakupan penemuan
penderita TB Paru tersebut adalah masih rendahnya kesadaran
penderita dalam menjalani proses pengobatan dan penyembuhan.
Penularan penyakit TB Paru juga tidak terlepas dari faktor sosial
budaya, terutama berkaitan dengan pengetahuan, sikap dan
perilaku dari masyarakat setempat. 6 Di Indonesia telah
dilakukan berbagai upaya untuk menanggulangi penyakit TB
Paru, antara lain dengan melaksanakan strategi DOTS, yang
telah dilaksanakan semenjak tahun 1995. Upaya ini merupakan
cara yang paling efektif memberantas penyakit TB paru yaitu
dengan menghentikan TB pada sumbernya. Upaya
penanggulangan TB paru dengan strategis DOTS ini,
prioritasnya ditujukan pada peningkatan mutu pelayanan dan
penggunaan obat yang rasional guna memutuskan mata rantai
penularan serta mencegah meluasnya resistensi kuman TB paru
di masyarakat. Puskesmas dalam hal ini merupakan ujung
tombak program sebagai unit pelaksana operasional
pemberantasan penyakit TB Paru." Kebijakan pembangunan
kesehatan telah diarahkan dan diprioritaskan pada upaya
kesehatan dasar, yang lebih menitikberatkan pada upaya
pencegahan dan penyuluhan kesehatan. Namun, persepsi
masyarakat cenderung masih tetap berorientasi pada upaya
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Upaya
meningkatkan kesadaran masyarakat untuk dapat menciptakan
pola hidup sehat (Paradigma Sehat) sulit dicapai karena tidak
ditunjang oleh faktor sosial, ekonomi, tingkat pendidikan dan
budaya masyarakat. 8 Sehubungan dengan penelitian ini
bertujuan hal tersebut, maka untuk mengetahui gambaran
pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat tentang penyakit TB
Paru.

11
-Bahan dan Cara
Penelitian Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Masyrakat tentang
Penyakit TB Paru ini merupakan bagian dari Kajian
Pengembangan Model Penanggulangan Penyakit TB Paru
melalui Pendekatan Sosial Budaya, yang dilakukan pada 4
(empat) lokasi penelitian (kabupaten/kota) di Propinsi Sumatera
Barat yang termasuk rendah dalam cakupan penemuan TB Paru,
dan salah satunya dilakukan di Kabupaten Tanah Datar dengan
angka cakupan penemuan TB Paru pada Tahun 2009 hanya
mencapai 25%.9 Selanjutnya dengan berdasarkan pertimbangan
angka cakupan yang rendah, biaya dan waktu, maka dari
Kabupaten Tanah Datar diambil satu kecamatan (satu
puskesmas) yaitu Kecamatan Sungai Tarab, tepatnya di wilayah
kerja Puskesmas Sungai Tarab II dengan angka cakupan
penemuan TB Paru pada tahun 2009 hanya sebesar 7%.9
Penelitian Pengetahuan Sikap dari Perilaku Masyarakat tentang
Penyakit TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Sungai Tarab II
tersebut dilaksanakan pada tahun 2010. Penelitian mi merupakan
penelitian lapangan yang berbentuk deskriptif-interpretatif, yang
menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan Fokus Grup Diskusi (FGD) dan wawancara
mendalam (indepth interview). Informan untuk wawancara
mendalam terdiri dari penderita TB Paru (yang sedang menjalani
pengobatan, suspek dan mantan penderita), Tokoh masyarakat
(TOMA), dan pengobat tradisional (Batra). Jumlah informan
adalah berdasarkan kecukupan informasi. Fokus Grup Diskusi
(FGD) dilakukan kepada kelompok Kader Kesehatan dan
kelompok Tokoh Masyarakat. Masing-masing kelompok FGD
terdiri dari 6 peserta. Pengolahan dan analisis data dilakukan
secara manual oleh peniliti dengan pendekatan kualitatif.

12
Hasil Penelitian

A. Karakteristik Informan
Hasil wawancara mendalam dengan informan tokoh
masyarakat diketahui bahwa Media Litbang Kesehatan
Volume 21 Nomor 2 Tahun 2011 83 sebagian besar umur
dari tokoh masyarakat adalah diantara kelompok umur 60-65
tahun. Latar belakang pendidikan informan adalah Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan Perguruan Tinggi,
sedangkan pekerjaan adalah Pensiunan! Pegawai Negeri.
Selanjutnya penderita adalah berada pada kelompok usia
yang masih produktif 30-60 tahun, yang berlatar belakang
pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama (SLTP) serta Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
(SLTA), dan mempunyai pekerjaan sebagai wiraswasta, ibu
rumah tangga dan petani. Informan dari pengobat tradisional
(Batra) atau dukun kampung sebagian besar berada pada
kelompok umur yang relatif usia lanjut (50-60 tahun). Dari
segi pendidikan, berlatar belakang pendidikan dan Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) serta Sekolah Lanjutan
Tingkat Atas (SLTA). Peserta FGD dari kelompok tokoh
masyarakat sebagian besar berada kelompok usia 30-65
tahun, dengan latar belakang pendidikan adalah SLTA dan
Perguruan Tinggi. Dari segi pekerjaan, adalah bervariasi,
pensiunan, guru, wiswasta, dan ibu rumah tangga. Peserta
FGD dari kelompok kader kesehatan, sebagian besar berada
kelompok umur 30-45 tahun, dengan latar belakang
pendidikan adalah SLTP dan SLTA, dan pada umumnya
adalah ibu rumah tangga.

B. Pengetahuan Masyarakat tentang Penyakit TB Paru


Hasil wawancara mendalam dengan informan dan Fokus
Grup Diskusi (FGD) dengan kelompok tokoh masyarakat dan
kader kesehatan diketahui bahwa ada perbedaan konsep sehat
dan sakit di masyarakat, dimana pengertian sehat menurut
sebagian besar masyarakat adalah jika kondisi fisik seseorang
tidak terganggu/stabil dan bisa melaksanakan pekerjaaannya
sehari-hari. Pengertian sakit menurut sebagian besar
informan adalah di mana kondisi fisik seseorang sudah parah
dan tidak bisa lagi melakukan aktifitas seharihari. Dengan
kata lain bahwa selagi mereka bisa melaksanakan

13
pekerjaannya sehari-hari, maka tidak dikatakan sakit.
Sebagian masyarakat sudah mengetahui dan menganggap
penyakit TB Paru merupakan penyakit menular dan
berbahaya yang sangat memalukan, sehingga penyakit itu
perlu untuk dirahasiakan. Sedangkan sebagian masyarakat
lainnya beranggapan bahwa penyakit TB Paru tidak
berbahaya dan merupakan penyakit bias. Karena
kesibukannya mereka berlama-lama/ membiarkan saja batuk
yang dirasakan. Selanjutnya penyakit TB Paru/TBC menurut
sebagian masyarakat adalah penyakit akibat
guna-guna/kiriman dari perbuatan manusia dan setan.
Penyakit TB Paru di daerah ini disebut dengan batuk songkah
atau batuk 100 hari dan ini biasanya karena keturunan.
Penyakit ini juga disebut dengan manciok angoknyo (batuk
kering), tamakan , isak, dan penyakit kotor sebagai akibat
dari memakan sesuatu yang bukan haknya. Penyakit ini
biasanya ditemukan kelompok masyarakat yang secara
ekonomi kemampuannya masih kurang. Gejala penyakit TB
Paru menurut sebagian masyarakat adalah batuk-batuk yang
tidak sembuhsembuh lebih dari tiga minggu, kadang-kadang
sesak nafas, badan panas dingin pada malam hari, nafsu
makan berkurang, dan berat badan makin lama makin
menurun. Masyarakat lainnya menyatakan bahwa gejala
penyakit TB Paru adalah batuk yang mengeluarkan darah dan
sesak nafas. Penyebab dari penyakit tersebut menurut
persepsi sebagian masyarakat adalah karena kuman yang
ditularkan oleh penderita TB Paru, kiriman/guna-guna atau
magic (perbuatan manusia dan setan), dan karena faktor
keturunan (dari orang tua). Hal lain menurut informan yang
juga dianggap menjadi penyebab penyakit TB Paru adalah
kebiasaan keluar malam (duduk di kedai) atau kena angin
malam, merokok, minum kopi dan alkhohol, lingkungan
rumah yang kurang bersih, bekerja di lingkungan yang
banyak mengeluarkan debu, bekerja terlalu berat dan makan
tidak teratur Cara penularan penyakit TB Paru adalah melalui
pernafasan dan percikan air ludah! percikan dahak dari
penderita. Lebih lanjut dikatakan bahwa biasanya penderita
akan menghindar dari orang lain, karena penyakitnya
termasuk penyakit menular. Sebagian besar masyarakat
memiliki kepercayaan untuk kesembuhan penyakitnya pada
tenaga kesehatan, karena mereka berkeyakinan bahwa
penyakit TB Paru dapat disembuhkan oleh tenaga kesehatan.

14
Namun sebagian kecil masyarakat lainnya memiliki
kepercayaan kesembuhan penyakitnya melalui jasa pengobat
tradisional, dengan alasan bahwa ada beberapa gejala
penyakit yang hanya dapat disembuhkan oleh tenaga
pengobat tradisional (penyakit berkaitan dengan hal-
hallkekuatan di luar medis).

C. Sikap dan Perilaku Masyarakat yang berkaitan


dengan Penyakit TB Paru Sebagian masyarakat kurang
peduli dengan gejala yang dialaminya dengan membiarkan
batuk yang lebih dari tiga minggu dan tidak menganggap hal
tersebut sebagai penyakit yang serius, sehingga tidak segera
mencari upaya pengobatan. Dalam hal ini biasanya mereka
hanya dengan meminum obat yang dibeli di warung, dan jika
tidak sembuh dan cukup parah barulah mereka akan mencari
pengobatan ke pelayanan kesehatan atau pengobat
tradisional. Sikap keluarga dan masyarakat sekitar tentang
penyakit TB Paru, menurut sebagian penderita biasa-biasa
saja, di mana dalam pergaulan sehari-hari baik bertetangga
maupun pergaulan dengan teman sebaya tetap menunjukkan
hal yang wajar. Namun demikian, ada sebagian keluarga
penderita yang melakukan pemisahan pemakaian alat-alat
untuk makan dan minum. Begitu juga dengan lingkungan
masyarakat/ pergaulan penderita ada juga yang berupaya
menghindari penderita untuk berkomunikasi.

Upaya Pencegahan dan Kebiasaan yang


berkaitan dengan Penularan Penyakit dan
upaya Pencegahan :
Upaya pencegahan yang dilakukan
masyarakat agar terhindar dari penyakit TB Paru
diantaranya adalah dengan membiasakan pola
hidup bersih dan sehat. Pola hidup bersih dan
sehat sebenamya sudah diajarkan dalam agama
Islam, di mana kebersihan adalah sebagian dari
iman. Selain itu upaya pencegahan yang dilakukan
adalah jika batuk harus tutup mulut dan tidak
meludah di sembarangan tempat, mengisolasikan
secara langsung peralatan makan dan minuman
penderita, mengurangi hubungan/ komunikasi
dengan penderita.
Kebiasaan masyarakat yang dianggap

15
berkaitan dengan penularan penyakit adalah
kebiasaan untuk tidak menutup mulut ketika batuk
dan meludah di sembarangan tempat. Di samping
itu, kebiasaan anggota keluarga atau masyarakat
yang cenderung menutup jendela rumah pada
siang hari dengan alasan keamanan, dan jarak
berkomunikasi yang relatif dekat dengan penderita
juga dianggap dapat menularkan penyakit tersebut.
Perilaku Pencarian Pengobatan
Sebagian besar masyarakat menyatakan
bahwa ketika penderita merasakan adanya gejala/
keluhan penyakit, masyarakat biasanya akan
mencan pengobatan dengan membeli obat di
warung, dengan alasan karena masih penyakit
ringan. Selanjutnya jika kondisi penyakitnya tidak
ada perubahan/parah, maka biasanya mereka akan
mencari pengobatan ke puskesmas atau ke tenaga
pengobat tradisional.
Alasan informan memilih puskesmas/
tenaga kesehatan untuk pengobatan penyakit
TB Paru adalah karena keyakinan mereka akan
kesembuhan penyakit dengan melalui tenaga medis
serta biaya pengobatan gratis. Sedangkan alasan
mereka yang memilih pengobatan tradisional
adalah karena penyakit TB Paru berkaitan dengan
hal gaib/magic, pengobatannya lebih cepat, obat
yang diberikan tidak ada efek samping, sudah
merupakan kebiasaan keluarga, pelayanannya
bersifat kekeluargaan, jarak untuk mencapai lokasi
pengobatan relatif dekat dan murah.
Faktor lain yang menjadi salah satu
penghambat penderita mencari upaya pengobatan
ke puskesmas yaitu dari segi kemampuan ekonomi.
Sebagian masyarakat beranggapan bahwa biaya
transportasi untuk mencapai pelalayanan kesehatan
relatif mahal, karena harus ditempuh dengan
kendaraan roda dua (ojeg), dan hal ini berkaitan
dengan lokasi tempat tinggal mereka yang relatif
jauh untuk mencapai akses pelayanan kesehatan.
Apabila ditinjau dari kepatuhan minum
obat, sebagian besar penderita patuh dan taat untuk
minum obat. Namun, sebagian kecil penderita ada

16
yang drop out, karena kesibukan dengan pekerjaan
sehingga lupa untuk meminum obat secara teratur.
Namun, menurut informan penderita yang drop out
disebabkan karena penderita tersebut merasa malu
sehingga tidak datang-datang lagi ke puskesmas
untuk mengambil obat.

Pembahasan :
Kesimpulan Pengetahuan sebagian masyarakat di lokasi penelitian
mengenai tanda-tanda penyakit TB Paru relatif cukup baik.
Namun, sebagian masyarakat lainnya masih beranggapan bahwa
penyebab penyakit TB Paru adalah berkaitan dengan hal-hal yang
ghaib/magic dan karena keturunan. Persepsi sebagian masyarakat
bahwa penyakit yang dialaminya adalah bukan penyakit
berbahaya, melainkan penyakit batuk biasa, temyata berpengaruh
pada munculnya sikap kurang peduli dari masyarakat terhadap
akibat yang dapat ditimbulkan oleh penyakit TB Paru. Perilaku dan
kesadaran sebagian masyarakat untuk memeriksakan dahak dan
menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan masih kurang, karena
mereka malu dan takut divonis menderita TB Paru.

Kesimpulan
Pengetahuan sebagian masyarakat di lokasi penelitian mengenai
tanda-tanda penyakit TB Paru relatif cukup baik. Namun, sebagian
masyarakat lainnya masih beranggapan bahwa penyebab penyakit
TB Paru adalah berkaitan dengan hal-hal yang ghaib/magic dan
karena keturunan. Persepsi sebagian masyarakat bahwa penyakit
yang dialaminya adalah bukan penyakit berbahaya, melainkan
penyakit batuk biasa, temyata berpengaruh pada munculnya sikap
kurang peduli dari masyarakat terhadap akibat yang dapat
ditimbulkan oleh penyakit TB Paru. Perilaku dan kesadaran
sebagian masyarakat untuk memeriksakan dahak dan
menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan masih kurang, karena
mereka malu dan takut divonis menderita TB Paru.

17
Saran
Dalam rangka peningkatan pengetahuan, pemahaman dan
kesadaran masyarakat mengenai penyakit TB Paru perlu
ditingkatkan penyuluhan secara lebih intensif, dan untuk itu
tentunya dibutuhkan tenaga kesehatan yang memiliki
kemampuan komunikasi yang sesuai dengan kondisi sosial
budaya dari masyarakat setempat. Adanya perbedaan
konsep sehat sakit dan penyakit yang terdapat di
masyarakat, maka diperlukan upaya pemahaman yang
holistik dan integratif di kalangan berbagai pihak, khususnya
dalam upaya penanggulangan penyakit TB Paru, agar
berbagai intervensi yang diwujudkan adalah merupakan
kebutuhan masyarakat

Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kasubid serta
teman-teman yang terlibat dalam penelitian ini.

18
Daftar Pustaka
1. Departemen Kesehatan, 2010. Laporan Hasil
Riset Kesehatan Dasar tahun 2010.
2. Dinas Kesehatan, 2007. Profil Kesehatan
Tahun Sumatera Barat 2007. Dinas Kesehatan
Propinsi Sumatera Barat.
3. Dinas Kesehatan, 2005. Profil Kesehatan
Propinsi Sumatera Barat Tahun 2005. Dinas
Kesehatan Propinsi Sumatera Barat.
4. Dinas Kesehatan, 2006. Profil Kesehatan
Tahun Sumatera Barat 2006. Dinas Kesehatan
Propinsi Sumatera Barat.
5. Dinas Kesehatan, 2009. Kebijakan Dinas
Kesehatan Propinsi Sumatera Barat Dalam
Penanggulangan Penyakit TB.
6. Departemen Kesehatan, 2006. Studi
Prevalensi dan Faktor Resiko Penyakit
Tuberkulosis (TB) Paru di Sumatera Barat.
Pali Teknik Kesehatan Padang
7. Departemen Kesehatan, 2007. Pedoman
Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi
2, cetakan pertama.
8. Departemen Kesehatan, 1999. Rencana
Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia
Sehat 2010.
9. Dinas Kesehatan, 2008. Profil Kesehatan
Kabupaten Tanah Datar Tahun 2008. Dinas
Kesehatan Kabupaten Tanah Datar
10. Foster, George M. dan Anderson, B. G., 1986.
Antropologi Kesehatan (Terjemahan oleh
Priyanti Pakan S. dan Meutia F. Hatta. Jakarta
UI Press.
11. Departemen Kesehatan, 2001. Buku Pedoman
Penyusunan Strategi KIE. Direktorat Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan
Penyehatan Lingkungan Pemukiman.
12. Elfemi, Nilda, 2003. Aspek Sosial Kultural
Dalam Perawatan Kesehatan, di Kabupaten
Ciamis, Jawa Barat. Tesis pada Program Pasca
Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia.
13. Tobing, Tonny L, 2009. Pengaruh Perilaku
Penderita TB Paru dan Kondisi Rumah
terhadap Pencegahan Potensi Penularan TB
Paru pada Keluarga di Kabupaten Tapanuli
Utara. Tesis Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara.
14. Woro, oktia, 2005. Tuberkulosis (TB)
dan Faktor-faktor yang Berkaitan. Jurnal
Epidemiology Indonesia, Volume 7 Edisi I.

19

Anda mungkin juga menyukai